BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Secara luas aditif pangan telah ada lebih dari 2.500 jenis yang digunakan untuk pengawet (preservative) dan pewarna (dye). Zat-zat aditif ini digunakan untuk mempertinggi nilai pangan sebagai konsekuensi dari industrialisasi dan perkembangan proses teknologi pangan (Moutinho, et al., 2007).
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI telah menetapkan peraturan terkait jenis pewarna yang diizinkan untuk digunakan pada pangan olahan serta batas maksimum penggunaannya. Hal ini sebagai langkah antisipatif untuk melindungi masyarakat dari bahaya keracunan pewarna yang marak beredar di pasaran. Di Indonesia, penggunaan pewarna pada pangan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BPOM, 2012).
Namun hingga kini konsumen masih dihadapkan pada masalah terkait penyalahgunaan pewarna pada pangan. Faktanya saat ini di pasaran masih banyak ditemukan pangan yang ditambahkan pewarna non pangan. Tingginya penggunaan bahan kimia yang dilarang untuk pangan, membuat Pemerintah mencanangkan Program Pasar Aman dari Bahan Berbahaya selama tiga tahun, mulai tahun 2013 hingga 2015, salah satunya adalah pewarna kuning metanil (BPOM, 2012).
Makanan atau minuman yang baik umumnya tidak berwarna terlalu mencolok. Pangan yang mengandung pewarna alami biasanya harganya relatif lebih mahal dan warnanya juga mudah pudar pada saat pangan tesebut diolah dan
disimpan sehingga warnanya menjadi tidak menarik. Pewarna sintetis memiliki tingkat stabilitas yang lebih baik sehingga warna lebih cerah meskipun sudah melalui proses pengolahan. Terdapat pewarna sintetis yang diperbolehkan tetapi ada juga yang dilarang seperti pewarna tekstil. Oleh sebab itu, hindari pangan dengan warna kuning yang mencolok, tidak menutup kemungkinan warna yang mencolok tersebut berasal dari pewarna tekstil kuning metanil yang berbahaya bagi kesehatan (Yuliarti, 2012).
Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap mi basah di Bogor, Jakarta dan Depok menunjukkan bahwa mi basah di daerah tersebut masih mengandung kuning metanil (Ayuningtyas, 2012). Penelitian yang dilakukan terhadap es lilin berwarna kuning yang diproduksi oleh Industri Rumah Tangga “X” di Surabaya menunjukkan bahwa es lilin tersebut tidak layak diedarkan karena mengandung zat warna kuning metanil (Wahyuni, 2013).
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk menguji ada tidaknya zat warna kuning metanil pada minuman yang berada di pasaran kota Medan serta untuk menentukan kadarnya dengan menggunakan metode spektrofotometri sinar tampak karena metode ini memiliki keuntungan antara lain dapat digunakan untuk analisis suatu zat dalam jumlah kecil, pengerjaannya cepat, sederhana, cukup sensitif dan selektif serta mudah dalam interpretasi hasil yang diperoleh (Munson, 1991). Sampel yang digunakan merupakan minuman berwarna kuning mencolok tanpa merek dan izin edar dari Balai POM yang diperoleh dari lima pasar yaitu Pusat Pasar, Pasar Glugur, Pasar Sukaramai, Pasar Beruang dan Pasar Hongkong.
1.2Perumusan Masalah
1. Apakah minuman yang berwarna kuning mengandung zat pewarna tekstil Kuning Metanil?
2. Berapakah kadar Kuning Metanil yang terdapat pada minuman yang ditentukan secara spektrofotometri sinar tampak?
1.3 Hipotesis
1. Minuman yang berwarna kuning mengandung zat pewarna tekstil Kuning Metanil.
2. Zat warna Kuning Metanil yang terdapat pada 9minuman terdapat dalam jumlah tertentu.
1.4Tujuan Penelitian
1. Melakukan uji kualitatif zat warna Kuning Metanil dalam minuman dengan metode reaksi warna.
2. Menentukan kadar zat warna Kuning Metanil dalam minuman dengan metode spektrofotometri sinar tampak.
1.5 Manfaat Penelitian
Memberikan informasi kepada masyarakat dan intansi yang terkait tentang adanya zat warna Kuning Metanil pada minuman yang beredar di pasaran di kawasan kota Medan.