• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Keluarga Teungku Di Tiro Dalam Perang Di Aceh Besar 1874-1911

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Keluarga Teungku Di Tiro Dalam Perang Di Aceh Besar 1874-1911"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Secara kultural, teungku adalah panggilan/gelar kehormatan yang diberikan masyarakat Aceh kepada seseorang yang berpredikat sebagai alim ulama/seorang ulama. Mereka merupakan tamatan dari dayah.1 Hal ini dipahami karena sampai sekarang ini dayah untuk kultur Aceh masih dipandang sebagai soko guru pendidikan agama dan keulamaan. Demikian juga orang-orang yang terlibat dalam lembaga keagamaan desa umumnya adalah lulusan dari dayah.2

- Pernah belajar di lingkungan dayah dan mempunyai pengetahuan kuat tentang Agama Islam,

Gelar teungku diperoleh seseorang dengan dua syarat:

- Mendapat pengakuan dari masyarakat.3

Syarat pertama dapat dipenuhi seseorang setelah menempuh pendidikan agama, baik pendidikan formal maupun informal. Syarat kedua, baru dapat dipenuhi sesudah masyarakat melihat ketaatannya terhadap ajaran Islam serta pengetahuannya

1

Dayah merupakan istilah yang disebutkan oleh masyarakat Aceh yang dikenal di Jawa dan berbagai tempat lainnya sebagai pondok pesantren. Dayah mempunyai fungsi sebagai tempat belajar berbagai ilmu Agama Islam, membentuk karakter keislaman bagi para santri, tempat para remaja mendapat status terhormat dalam masyarakat dan menjadi sebuah lembaga yang mengingatkan dan mengarahkan mereka yang telah jauh dari ajaran Islam. Lihat Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh, Lhokseumawe: Nadya Foundation, 2003, hlm. 33.

2

Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik, Yogyakarta: Ceninnets Press, 2004, hlm. 1

3

(2)

tentang Islam yang mendalam. Mengetahui tanpa mengamalkan pengetahuan itu, tidak cukup membuat masyarakat mengakui bahwa dia pantas untuk menjadi seorang ulama. Hal ini disebabkan karena pengakuan sebagai ulama, di iringi dengan penghormatan terhadap yang diakui tersebut.4

Dalam sejarah Aceh, terdapat hubungan yang kuat antara ulama dan masyarakat. Hal ini terlihat dari kebersamaan mereka berjuang mempertahankan Aceh. Pada masa itu posisi ulama malah di depan bertindak sebagai pemimpin rakyat.

5

Kejatuhan istana/ keraton dan dikuasainya Aceh Besar pada agresi Belanda ke II di bawah komando Jendral Van Swieten pada 16 Maret 1874, membuat para pejuang memutuskan menyingkir ke daerah pedalaman karena dari segi kekuatan baik dari jumlah tentara maupun persenjataan Belanda lebih unggul dibandingkan pejuang Aceh.

Ulama yang dimaksud disini adalah Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman yang berasal dari Tiro, Pidie.

6

Keberhasilan Van Swieten merebut Keraton Aceh dipelajarinya dari kegagalan Agresi Pertama yang di pimpin oleh Jendral J.H.R Kohler sebagai pemegang pimpinan militer dan Niuwhuyzen sebagai pimpinan sipil. Maka Van Swieten mendapat mandat memangku dua jabatan tersebut sekaligus yaitu sebagai pimpinan militer dan sipil. Srategi yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda

4

Ismuha, loc. cit.

5

Ismail Jakub, Teungku Tjhik Di-Tiro (Muhammad Saman): Pahlawan Besar Dalam Perang Atjeh (1881-1891), Jakarta: N.V Bulan Bintang, 1952, hlm. 35.

6

(3)

pada Agresi ke II tersebut sukses merebut Aceh Besar yang kemudian diganti namanya menjadi ”Kutaraja”.7

Perlawanan rakyat Aceh untuk dapat merebut kembali Aceh Besar khususnya tidak pernah berhenti, mereka mempunyai modal kekuatan yaitu keikutsertaan semua lapisan masyarakat, para Tuanku (keluarga Sultan) uleebalang, ulama, rakyat, sehingga perang ini dapat dikatakan perang rakyat semesta (volks oorlog).8 Peperangan di Aceh juga merupakan perang terlama dalam sejarah pendudukan Belanda di Nusantara.9

Untuk tetap meneruskan perjuangan para pejuang Aceh yang ingin tetap melakukan perlawanan berkumpul di gunung Biram dekat Lamtamot, kira-kira 10 km dari Seulimun untuk mengadakan pertemuan. Pertemuan ini dimaksudkan untuk membahas langkah-langkah lebih lanjut dalam menghadapi situasi saat itu. Hasil dari pertemuan itu memutuskan untuk mencari bantuan ke luar Aceh Besar.

10

Bantuan tersebut harus berasal dari ulama karena ulamalah yang mempunyai pengaruh besar dalam menghadapi kondisi yang sulit seperti itu. Mereka kemudian mengirimkan beberapa utusan ke daerah Tiro (Pidie). Pemilihan daerah tersebut disamping karena memiliki tokoh ulama, juga merupakan daerah yang terdekat dan lebih mudah dihubungi. Salah satu ulama yang terkenal di Tiro saat itu adalah

7

Paul Van’t Veer, Perang Aceh, Jakarta: Graviti Pers, 1985, hlm. 69. 8

Uleebalang adalah golongan yang memerintah negeri. Mereka merupakan kepala wilayah. Lihat Snouck Hurgronje, Aceh Di Mata Kolonialis, Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985, hlm. 99.

9

Muhammad Ibrahim, dkk., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1991, hlm. 119.

10

(4)

Teungku Chik Dayah Cut Muhammad Amin, beliau adalah tokoh yang sangat dihormati dan disegani masyarakat Tiro karena memiliki pengetahuan yang luas dalam agama Islam dan merupakan pimpinan pesantren di Tiro. Faktor lain karena daerah Tiro belum dikuasai Belanda, kecuali daerah Sigli saja.11

“Saya bersedia pergi memimpin perang ke Aceh Besar, bila hadirin sekalian menaruh kepercayaan dan bersedia membantu dari belakang. Benar kesulitan demikian memuncak, tetapi semangat keimanan dan contoh yang diperlihatkan Untuk menghindari dari mata-mata musuh, utusan dari gunung Biram berangkat menuju Tiro melalui bukit barisan dipinggir Gunung Seulawah. Ulama yang dijumpai pada saat itu adalah Teungku Chik Dayah Cut. Kepada beliaulah utusan gunung Biram menyampaikan amanah yang dibawa langsung dari Aceh Besar. Selanjutnya, Teungku Chik Dayah Cut mengundang orang-orang terkemuka di sekitar Tiro untuk melakukan rapat di Dayah Krueng (Tiro). Dalam rapat pertama, utusan Gunung Biram menjelaskan suasana Aceh Besar pada waktu itu. Kemudian Teungku Chik Dayah Cut memberikan komentar seperlunya. Rapat kedua diadakan di Dayah Lampoh raya (Tiro) untuk menentukan sikap dan bantuan yang dapat diberikan kepada pejuang yang masih ada di Aceh Besar. Rapat kedua ini juga untuk menentukan siapa pemimpin yang akan diutus ke Aceh Besar, guna membantu perjuangan menghadapi Belanda di Aceh Besar.

Dalam rapat kedua Teungku Chik Dayah Cut berbicara dengan keponakannya yang baru pulang dari Mekkah yaitu Teungku Haji Syekh Muhammad Saman. Kemudian Syekh Muhammad Saman maju kedepan untuk berpidato yang isinya :

11

(5)

Junjungan Nabi Besar Muhammad S.A.W., beliau tegak seorang diri mengemukakan kebenaran di tengah-tengah tanah Arab, mendorong kita untuk maju kemuka dan tidak berputus asa. Sekiranya dibiarkan terus musuh leluasa menjalankan usahanya menaklukan negeri kita dari satu daerah ke satu daerah, niscaya pada suatu masa kelak, kita akan terusir ke gunung-gunung ataupun musnah dari permukaan bumi. Seluruh daerah sudah habis diambil musuh, hanya tinggal lagi sekeping tanah ditempat kita ini. Bila ini pun kita lepaskan, maka lenyaplah seluruh negeri kita ditelan musuh. Dari itu saya bersedia menerima seruan utusan Gunung Biram dengan segala senang hati.”12

Semua yang hadir dalam rapat itu menyambut hangat dan dengan suara bulat menyetujui beliau menjadi Panglima Perang.

13

Tidak ada satu keluarga Aceh pun pada waktu itu, yang mempunyai peran besar dalam Perang Aceh, selain keluarga Teungku di Tiro, dan tidak ada satu pun keluarga Aceh lainnya, yang meneruskan perjuangan sampai titik darah penghabisan, selain keluarga tersebut. Teungku Chik Di Tiro-lah tokoh yang paling besar perannya Semenjak itu Teungku Haji Syekh Muhammad Saman yang lebih dikenal dengan nama Teungku Chik Di Tiro memegang pimpinan perjuangan melawan Belanda di Aceh. Beliau dengan keberanian tampil ke depan sebagai pimpinan peperangan yang sudah terbengkalai. Maka dimulailah pembinaan lasykar-lasykar muslimin, bermodalkan semangat jihad. Perjalanan Teungku Chik Di Tiro dimulai dari Tiro kabupaten Pidie, menuju ke medan peperangan di Aceh Besar, dengan mendapat bantuan dari segenap golongan rakyat, baik berupa alat-alat perang, bekal makanan, materi, maupun tenaga sukarela. Mereka bergabung menjadi lasykar muslimin yang dibentuk mencapai jumlah puluhan ribu.

12

Ismuha, op. cit.,hlm. 38. 13

(6)

untuk mengatur srategi mengusir penjajah Belanda dari Aceh. Dialah yang berhasil menghimpun angkatan perang dengan jumlah yang besar pada masanya.14

Melihat sepak terjang Teungku Chik Di Tiro yang sangat berpengaruh besar bagi perjuangan di Aceh, Belanda mulai mengatur siasat untuk melenyapkannya. Menurut Belanda, bila Teungku Chik Di Tiro tidak ada lagi, maka perlawanan akan berakhir dan Aceh akan menyerah. Dengan bantuan seorang perempuan bernama Nyak Ubit, Teungku Chik Di Tiro berhasil dibunuh. Pembunuhan terhadap Teungku Chik Di Tiro dilakukan oleh Nyak Ubit dengan cara membubuhi racun pada makanannya pada saat Teungku Chik Di Tiro mengunjungi Benteng Tui Seulimeng (Aceh Besar) bagian sagi XXII. Racun itu dimasukkan kedalam daging burung berkik. Tiga hari kemudian beliau meninggal dunia dengan meninggalkan pesan pada panglima-panglima dan kaum keluarganya. Pesan beliau adalah, sekiranya dipanggil Allah SWT, hendaklah peperangan diteruskan. Siapapun kelak yang menggantikannya, hendaklah dipilih bersama-sama. Beliau meninggal di benteng Aneuk Galong (Aceh Besar) pada malam selasa tanggal 10 djumadil akhir tahun 1308 hijriah bertepatan dengan bulan 28 Januari tahun 1891, dalam usia 55 tahun.15

Wafatnya Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman tidak menyebabkan perjuangan rakyat Aceh melemah. Perjuangan tetap dilanjutkan silih berganti oleh keturunannya. Dimulai dari Tengku Muhammad Amin atau yang lebih dikenal dengan Teungku Chik Di Tiro Muhammad Amin, anak tertua dari Tungku Chik Di

14

H.C. Zentgraaff, Aceh, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1983, hlm. 16. 15

(7)

Tiro Muhammad Saman. Dari tahun 1891 sampai tahun 1896, Teungku Muhammad Amin meneruskan program yang telah digariskan oleh ayahnya untuk mengusir Belanda. Lima tahun kemudian tepatnya tanggal 28 Juli 1896, Teungku Chik Muhammad Amin tewas setelah Belanda menyerang benteng Aneuk Galong (Aceh Besar).16 Perjuangan selanjutnya secara bergantian dipimpin oleh Tengku Chik Di Tiro Mahyiddin, dan Teungku Chik Di Buket Tiro, sampai tahun 1911.

Besarnya peran Teungku-teungku Di Tiro dalam perjuangan melawan Belanda di Aceh Besar, tentu sangat penting untuk dituliskan. Selama ini orang hanya mengenal Teungku Chik Di Tiro saja, sedangkan peran keluarga dari Teungku Chik Di Tiro tidak banyak yang mengetahui. Mereka berperan besar dalam menentang kekuasaan Belanda di Aceh Besar. Skop waktu penelitian ini di awali tahun 1874 karena tahun tersebut merupakan awal dari kejatuhan Keraton Aceh ke tangan Belanda. Adapun tahun 1911 sebagai batasan akhir dari penelitian ini karena pada tahun tersebut berakhirnya perjuangan ulama dari Tiro.

16

(8)

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan suatu landasan yang digunakan untuk mengetahui hal-hal apa saja yang akan dibahas dan menjadi akar permasalahan dalam sebuah penelitian. Berdasarkan latar belakang di atas untuk mempermudah menghasilkan penelitian yang objektif, maka perlu diberikan batasan masalah terhadap penelitian tentang “Peran Keluarga Teungku Di Tiro Dalam Perang Di Aceh Besar 1874-1911”, untuk itu dibuatlah pokok permasalahan yang kemudian dirangkum dalam pertanyaan, antara lain :

1. Apa latar belakang Keluarga Teungku Di Tiro ikut dalam perang melawan Kolonialisme Belanda di Aceh Besar?

2. Bagaimana peranan Keluarga Teungku Di Tiro dalam memimpin perjuangan di Aceh Besar pada periode 1874-1911?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Di dalam sebuah penelitian tentunya memiliki suatu tujuan dan manfaat dari penelitian yang dilakukan. Sehingga sedikit banyaknya dapat menjawab mengapa penelitian tersebut dilakukan. Dalam prosesnya penelitian bertujuan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya.

Adapun tujuan penelitian yang dilakukan ini adalah :

(9)

2. Untuk mengetahui peran Keluarga Teungku Di Tiro dalam memimpin perjuangan di Aceh Besar pada periode 1874-1911.

Manfaat penelitian yang dilakukan ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis, penelitian ini akan menambah wawasan dalam bidang kesejarahan mengenai peranan Keluarga Teungku Di Tiro dalam menghadapi Kolonialisme Belanda di Aceh Besar.

2. Untuk menambah wawasan sejarah perjuangan Aceh dalam menghadapi Belanda kepada generasi penerus bangsa.

3. Dapat digunakan sebagai bahan bacaan dan rujukan yang penting di bidang kesejarahan untuk masa sekarang dan yang akan datang.

1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam penyelesaian penelitian ini tentunya dibutuhkan buku-buku yang berhubungan dengan penelitian tentang Peran Keluarga Teungku Di Tiro Dalam Perang di Aceh Besar 1874-1911 sehingga dilakukan tinjauan pustaka. Dalam hal ini buku-buku yang digunakan antara lain, Hasbi Amiruddin dalam bukunya “Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik”, (2004), Ismuha dalam bukunya

“Ulama Aceh Dalam Perspektip Sejarah”, (1976), Ismail Jakub dalam bukunya

“Teungku Chik Di Tiro (Muhammad Saman) Pahlawan Besar Dalam Perang Aceh

(1881-1891)”, (1952), H.C. Zentgraaff dalam bukunya”Aceh”, (1983), Ibrahim

(10)

bukunya Perang Aceh, Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje (1985). Dan Snouck Hurgronje dalam bukunya Aceh Di Mata Kolonialis (1985).

Hasbi Amiruddin dalam bukunya Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik (2004), menjelaskan pandangan masyarakat Aceh tentang ulama, karena golongan ulama merupakan salah satu kelompok yang sangat penting karena posisinya sebagai pemimpin informal di Aceh.17 Dalam buku ini juga diterangkan hubungan ulama dengan masyarakat dan pemerintah yang kuat, seperti dicontohkan pada masa perjuangan mempertahankan negara dari agresi Belanda, bahkan juga dalam usaha mengusir bangsa penjajah Belanda di Aceh.18

Ismuha dalam bukunya Ulama Aceh Dalam Perspektip Sejarah (1976), merupakan buku yang memberikan keterangan tentang dasar pengakuan masyarakat Aceh terhadap seorang yang diberi gelar ulama, syarat tersebut ada dua yaitu mempunyai pengetahuan Agama Islam dan mendapat pengakuan masyarakat. Selain itu dalam buku ini menceritakan tentang kisah pengangkatan Teungku Haji Syekh Muhammad Saman sebagai panglima perang laskar Aceh yang berjuang ke Aceh Besar untuk merebut kembali wilayah Aceh Besar yang telah dikuasai Belanda.

Buku ini memberikan pengetahuan bagi penulis bagaimana aspirasi dan peran yang diberikan oleh ulama dalam penyelesaian konflik di Aceh.

19

17

Hasbi Amiruddin, 2004, op. cit., hlm. 1. 18

Ibid., hlm. 48. 19

Ismuha, op. cit., hlm. 38.

(11)

Ismail Jakub dalam bukunya Teungku Chik Di Tiro (Muhammad Saman)

Pahlawan Besar Dalam Perang Aceh (1881-1891). Buku ini melukiskan perjalanan

Teungku Chik Di Tiro semasa hidupnya. Buku ini juga bisa dikategorikan sebagai biografi dari Teungku Chik Di Tiro Sendiri, dan memberikan keterangan penting dalam masa perjuangan beliau dengan keberanian sehingga diangkat menjadi panglima perang sabil.20 Di dalam buku ini juga diterangkan cerita pilu dibalik terbunuhnya beliau yang diakibatkan pengkhianatan atas gagasan Belanda untuk menyingkirkan salah satu tokoh penting dalam perjuangan Aceh pada masa Kolonialisme Belanda. Kemudian perjuangan diambil alih oleh putra tertua Teungku Chik Di Tiro Sendiri yaitu Teungku Chik Di Tiro Muhammad Amin untuk meneruskan perjuangan yang telah digariskan oleh ayahnya sendiri.21

H.C. Zentgraaff dalam bukunya Aceh (1983), menerangkan peran Teungku Chik Di Tiro dalam menghimpun setiap orang agar ikut dalam perjuangan melawan Belanda. Dan, barang siapa yang tidak mampu memegang senjata, wajiblah memberi sumbangan untuk membiyai peperangan.

Buku ini di anggap penting oleh penulis karena berisi tentang perjuangan Teungku Chik Di Tiro menentang Belanda semasa hidupnya.

22

20

Ismail Jakub, op. cit., hlm. 51. 21

Ibid., hlm. 143. 22

H.C. Zentgraaff, op. cit., hlm. 16.

(12)

Panglima, dan akhirnya kepada semua masyarakat.23

Ibrahim Alfian dalam bukunya yang berjudul Perang di Jalan Allah, Perang

Aceh 1873-1912 (1987). Dalam buku ini menjelaskan peran-peran ulama yang sangat

penting dalam kancah peperangan di Aceh.

Buku ini di anggap penting oleh penulis karena Teungku Chik Di Tiro dianggap mampu memobilisasi pejuang untuk melawan Belanda dalam perang Aceh.

24

Muhammad Said dalam bukunya yang berjudul Aceh Sepanjang Abad jilid II. Dalam buku ini banyak di ceritakan tentang perjuangan menentang keberadaan Belanda di berbagai tempat di Aceh.

Tulisan ini juga menjelaskan tentang kemampuan agama memobilisasi kekuatan masyarakat untuk ikut dalam peperangan melawan Belanda. Hal ini tidak terlepas dari ideologi perang sabil ketika terjun ke medan peperangan. Dari buku ini dapat ditarik kesimpulan bahwa keberanian pejuang Aceh dalam menentang Belanda tidak lepas dari semangat dan ideologi yang di berikan para ulama untuk terus kuat mempertahankan wilayah Aceh.

25

Paul Van’t Veer dalam bukunya Perang Aceh, Kisah Kegagalan Snouck

Hurgronje (1985). Dalam tulisan ini menjelaskan tentang perang terdahsyat dan

Kemudian penulis juga menceritakan tentang keberanian sosok panglima perang seperti Teungku Chik Di Tiro dalam memangku jabatan sebagai panglima perang. Dari buku ini dapat di ambil sebuah kesimpulan bahwa Aceh Sepanjang Abadnya tidak pernah berhasil dijajah oleh bangsa asing.

23

H.C. Zentgraaff, op. cit., hlm. 23. 24

Ibrahim Alfian, Perang Di Jalan Allah Perang Aceh 1873-1912, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987, hlm. 66.

25

(13)

terlama yang pernah dihadapi Belanda.26

Snouck Hurgronje dalam bukunya Aceh Di Mata Kolonialis (1985). Buku ini bisa dikatakan sebuah buku yang menyerupai sebuah laporan tentang segala aspek sosial kultural dan keagamaan masyarakat Aceh yang berguna untuk mencari siasat untuk menundukkan Aceh tanpa kekerasan.

Dalam tulisan ini juga menceritakan kegagalan-kegalan Belanda serta beberapa babak perang yang terjadi di Aceh yang dimulai pada tahun 1874. Buku ini memberikan sebuah fakta sejarah bahwa Indonesia tidak sepenuhnya dapat dijajah Belanda selama 350 tahun lamanya sehingga buku ini menjadi salah satu sumber penting dalam penulisan ini.

27

Dalam rangka menuliskan sebuah peristiwa bersejarah ini penulis menggunakan metode sejarah. Metode sejarah dapat diartikan sebagai proses menguji dan menganalis kesaksian sejarah guna menemukan data yang otentik dan dapat

Selanjutnya buku ini juga menceritakan tentang Perang Aceh dan posisi ulama yang berperang penting bagi masyarakat. Buku ini sangat penting bagi penulis untuk dijadikan sebuah sumber bagi penulisan ini agar menjadi sebuah karya yang baik.

1.5 Metode Penelitian

26

Paul Van’t Veer, Perang Aceh Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, Jakarta: PT Grafiti Pers, 1985, hlm. 41.

27

(14)

dipercaya, serta usaha sintesis atas data semacam itu dapat menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya.28

1. Heuristik yaitu langkah awal untuk mengumpulkan sumber yang terkait dengan objek penelitian penulis. Dalam hal ini penulis menggunakan metode library

research (studi kepustakaan) yaitu mengumpulkan berbagai sumber tertulis

seperti buku, skripsi (belum diterbitkan), makalah dan sumber-sumber lainnya yang dianggap penting. Sebagian sumber buku, penulis dapatkan di perpustakaan Banda Aceh, Pusat Dokumentasi dan Arsip Aceh (PDIA), Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Banda Aceh dan beberapa buku penulis dapatkan dari dosen pembimbing. Penelitian ini tidak menggunakan sumber lisan seperti wawancara, karena penelitian ini berkisar sekitar abad 19.

Tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian sejarah antara lain :

2. Kritik sumber (verifikasi) yaitu proses yang dilakukan peneliti untuk mencari nilai kebenaran dari data yang telah dikumpulkan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh keaslian sumber yang telah dikumpulkan melalui kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal digunakan untuk mengetahui asli atau tidaknya sumber seperti buku, skripsi (belum diterbitkan), makalah dan lain-lain. Sedangkan kritik internal dilakukan untuk mendapatkan fakta sejarah dari sumber dengan meneliti isi sumber tersebut.

28

(15)

3. Interpretasi yaitu tahap dimana peneliti berusaha untuk menghubungkan data-data yang didapatkan dilapangan dengan fakta yang ada. Sehingga diharapkan data tersebut menjadi data yang objektif dalam penulisan.

Referensi

Dokumen terkait

Mahasiswa program studi D3 Kebidanan STIKes Santa Elisabeth Medan mendapat pengalaman nyata dalam melaksanakan Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas Ny.W P 2 A 0 dengan

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa dengan penerapan model pembelajaran Talking Stick dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran

Dalam pelaksanaan PPL ini ada beberapa pihak yang sangat membantu, yaitu guru pamong yang dalam proses pelaksanaan PPL di sekolah memberikan bimbingan bagaimana mengajar

Target primer dari perancangan promosi adalah wisatawan dari seluruh Indonesia yang sedang berada di Pekalongan dan yang sedang berencana akan ke kota Pekalongan dengan

audience maka konsep desain yang digunakan dalam perancangan ini adalah “Bumi Cendrawasih”. Konsep ini berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan Kabupaten

Jakarta: CV. Idealnya, seorang guru memang seorang pendidik professional dan berkarakter. Hal ini agar dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan kemajuan

Peran pemda dalam penataan aspek sarana dan prasarana usaha PKL kuliner, antara lain; menyediakan lahan sebagai lokasi usaha yang dapat digunakan oleh PKL kuliner