• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Atas Pembatalan Perkawinan Serta Akibat Hukumnya (Studi Putusan No.1009 PDT.G 2009 PA.Mdn Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Atas Pembatalan Perkawinan Serta Akibat Hukumnya (Studi Putusan No.1009 PDT.G 2009 PA.Mdn Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Medan)"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA PEMBATALANPERKAWINAN

A. Pengertian Perkawinan

Pada bidang perkawinan, bangsa Indonesia telah memiliki Undang-undang

nasional yang berlaku bagi seluruh warga Negara Indonesia, yaitu Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang disahkan pada tanggal 2 Januari 1974

dan diundangkan di dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1974 Nomor

1, sedangkan penjelasannya dimuat di dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3019. Menurut Dr. Mr. Hazairin, Undang-Undang Perkawinan ini

adalah hasil suatu usaha untuk menciptakan hukum nasional, yaitu hukum yang

berlaku bagi setiap warga negara Republik Indonesia.30

Sebelum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut keluar, di Indonesia

berlaku ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (B.W), Ordonansi PerkawinanIndonesia Kristen (Huwelyks Ordonansi voor

de Christenen Indoensiers) Staatblad 1933 Nomor 74, Peraturan Perkawinan

Campuran (Regeling op de gemengde Huwelyken) Staatblad 1898 Nomor 158, dan

Undang-Undang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, Lembaran Negara 1954 Nomor

32 serta peraturan-peraturan Menteri Agama mengenai penjelasannya. Berlakunya

hukum perkawinan Islam bagi umat Islam di Indonesia disamping adanya

Undang-30

(2)

Undang No. 1 tahun 1974 tidak berarti bahwa pasal-pasal yang ada dalam

undang-undang tersebut bertentangan dengan ketentuan perkawinan Islam.

Dengan mengadakan perbandingan akan kita peroleh kepastian bahwa banyak

pasal dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 sejalan dengan ketentuan-ketentuan

hukum perkawinan Islam.

1. Perkawinan Menurut Fiqih Islam

Pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu akad atau

perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan

dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa

ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi oleh Allah SWT.31

Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan

atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan suatu jalan

yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga

dapat dipandang sebagai suatu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum

dengan kaum yang lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan

pertolongan antara satu dengan yang lainnya.32

Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam

hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya,

melainkan antara dua keluarga, dari baiknya pergaulan antara si istri dengan

suaminya, kasih mengasihi, akan berpindahlah kebaikan itu pada semua keluarga dari

31Ahmad Azhar Basyir,

Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000, hlm. 14. 32H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Cet. 51, Bandung, Sinar Baru

(3)

kedua belah pihak, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan

bertolong-tolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan.

Selain itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa

nafsunya.

Faedah yang terbesar dalam pernikahan ialah untuk menjaga dan memelihara

perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan, sebab seorang perempuan apabila

ia sudah menikah, maka nafkahnya (biaya hidupnya) wajib ditanggung oleh

suaminya, pernikahan juga berguna untuk memelihara keturunan anak cucu

(keturunan), sebab kalau tidak dengan nikah, tentulah anak tidak berketentuan siapa

yang akan mengurusnya dan siapa yang akan bertanggung jawab atasnya.

Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, sebab kalau tidak ada

pernikahan tentu manusia akan menurutkan sifat kebinatangan, dan dengan sifat itu

akan timbul perselisihan, bencana dan permusuhan antara sesamanya, yang mungkin

juga sampai menimbulkan pembunuhan yang mahadahsyat.

Demikianlah maksud pernikahan yang sejati dalam Islam, singkatnya untuk

kemaslahatan dalam rumah tangga dan keturunan, juga untuk kemaslahatan

masyarakat

QS. An-Nisa’: 22-24 menyebutkan macam-macam perempuan yang haram

dinikahi laki-laki, sebagai berikut: ibu tiri (janda ayah), ibu, anak perempuan, saudara

perempuan, bibi (saudara perempuan ayah), bibi (saudara perempuan ibu),

kemenakan (anak perempuan saudara laki-laki), kemenakan (anak perempuan saudara

(4)

apabila ibunya sudah dicampuri (sebelum ibunya dicampuri apabila berpisah, anak

tiri dapat dikawini), menantu (istri anak kandung), mengumpulkan dua perempuan

bersaudara sebagai istri dan perempuan yang dalam ikatan perkawinan dengan

laki-laki lain.

Dari ayat-ayat Al Qur’an tersebut, perempuan yang haram dinikahi itu dapat

dibagi dua: haram untuk selamanya dan haram untuk sementara.

a. Haram Dinikah untuk Selamanya

Sebab-sebab perempuan haram dinikah selamanya ada empat macam yaitu :

1) Perempuan haram dinikahi karena hubungan senasab, yaitu :

a) Ibu, yang dimaksud adalah yang mempunyai hubungan darah dalam garis

keturunan lurus ke atas, yaitu, nenek dari garis ayah atau ibu yang

seterusnya ke atas.

b) Anak perempuan, yang dimaksud adalah perempuan yang mempunyai

hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah, yaitu anak

perempuan, cucu perempuan (dari anak laki-laki maupun perempuan),

buyut perempuan dan seterusnya ke bawah.

c) Saudara perempuan kandung (seayah dan seibu), seayah saja atau seibu

saja.

d) Bibi, yaitu saudara perempuan ayah atau ibu kandung, seayah atau seibu,

dan seterusnya ke atas, yaitu saudara kakek atau nenek, saudara kakek

(5)

e) Kemenakan perempuan, yaitu anak saudara laki-laki atau perempuan dan

seterusnya kebawah.

2) Perempuan haram dinikah karena hubungan susuan, yaitu :

a) Ibu susuan, ibu yang menyusui seorang anak dipandang sebagai ibu anak

yang disusuinya.

b) Nenek susuan, yaitu dari ibu dan susuan dan ibu dari suami ibu susuan

(suami ibu susuan dipandang seperti ayah sendiri anak susuan).

c) Bibi susuan, yaitu saudara perempuan dari ibu susuan atau suami ibu

susuan dan seterusnya ke atas.

d) Kemenakan perempuan susuan, yaitu cucu-cucu dari ibu susuan sebab

mereka itu dipandang anak dari saudara-saudara sendiri.

e) Saudara perempuan susuan, baik seayah seibu, seayah saja atau seibu

saja; yang disebut saudara perempuan sesusuan kandung adalah yang

disusui ibu susuan dari suaminya (ayah susuan), baik disusui

bersama-sama dengan anak susuan, sebelumnya atau sesudahnya. Yang disebut

saudara perempuan sesusuan seayah adalah yang disusui oleh istri dari

ayah susuan; dan yang dimaksud dengan saudara perempuan sesusuan

seibu ialah disusui oleh ibu susuan dari laki-laki lain.

3) Perempuan haram dinikah karena hubungan semenda, yaitu:

a) Mertua, yaitu ibu kandung istri, demikian pula nenek istri dari garis ibu

atau ayah dan seterusnya ke atas. Haram nikah dengan mertua dan

(6)

antara suami dan istri bersangkutan. Dengan terjadinya akad nikah telah

mengakibatkan haram nikah dengan mertua dan seterusnya ke atas

tersebut.

b) Anak tiri, dengan syarat telah terjadi persetubuhan antara suami dengan

ibu anak. Apabila belum pernah terjadi persetubuhan, tiba-tiba suami istri

bercerai, karena talak atau kematian, dimungkinkan perkawinan antara

laki-laki dan anak tirinya.

c) Menantu, yaitu istri anak, istri cucu (dari anak laki-laki maupun

perempuan) dan seterusnya ke bawah, tanpa syarat setelah terjadi

persetubuhan antara suami dan istri.

d) Ibu tiri, yaitu janda ayah tanpa syarat pernah terjadi persetubuhan antara

suami dan istri. Dengan terjadinya akad nikah antara ayah dan seorang

perempuan telah berakibat haram nikah antara anak dan ibu tiri.

4) Perempuan haram dinikah karena sumpahlian

Apabila seorang suami menuduh istrinya berbuat zina tanpa saksi yang cukup,

sebagai gantinya, suami mengucapkan persaksian kepada Allah bahwa ia

dipihak yang benar dalam tuduhannya itu, sampai empat kali, dan yang

kelimanya ia menyatakan bersedia menerima laknat Allah apabila ternyata ia

berdusta dalam tuduhannya itu. Istri yang dituduhkan zina akan bebas dari

hukuman zina apabila ia pun menyatakan persaksian kepada Allah bahwa

suaminya berdusta, sampai empat kali dan yang kelimanya ia pun menyatakan

(7)

b. Haram dinikahi untuk sementara

1) Mengumpulkan antara dua perempuan bersaudara menjadi istri seseorang.

Apabila dengan jalan pergantian, setelah berpisah dengan salah seorang

saudara, lalu ganti mengawini saudaranya diperbolehkan. Hal ini sering terjadi

pada seseorang karena kematian istrinya lalu ganti mengawini adik iparnya.

Kecuali larangan mengumpulkan dua orang perempuan bersaudara menurut

ketentuan Al Qur’an, Nabi mengajarkan pula bahwa tidak boleh seseorang

mengumpulkan antara seorang perempuan dan kerabatnya yang jika

diperkirakan salah satunya laki-laki tidak dibolehkan kawin dengan yang lain;

misalnya antara seorang perempuan dan kemenakannya, seorang perempuan

dan cucunya dan sebagainya.

2) Perempuan dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain, sebagaimana

ditentukan dalam Surah An-Nisa : 24

3) Perempuan sedang dalam menjalani masa iddah, baik iddah kematian maupun

iddah talak.

4) Perempuan yang ditalak tiga kali tidak halal kawin lagi dengan bekas suami

yang mentalaknya, kecuali setelah kawin lagi dengan laki-laki lain, kemudian

bercerai dan telah habis masa iddahnya.

5) Perkawinan orang yang sedang ihram, baik melakukan akad nikah untuk diri

sendiri atau bertindak sebagai wali atau wakil orang lain.

Hadits Nabi riwayat Muslim dari Usman bin Affan mengajarkan, “Orang yang

(8)

meminang.” Nikah orang yang sedang menjalani ihram apabila terjadi juga,

dipandang batal, tidak mempunyai akibat hukum.

6) Kawin dengan pezina, baik antara laki-laki baik-baik dan perempuan pelacur

atau perempuan baik-baik dan laki-laki pezina, tidak dihalalkan, kecuali

setelah masing-masing menyatakan bertobat. Apabila pezina benar-benar

bertobat, mohon ampun kepada Allah, menyesali perbuatannya pada masa

lampau dan berjanji tidak akan kembali lagi berbuat zina, diikuti dengan

ketaatan menjalankan aturan-aturan Allah, pasti Allah akan menerima

tobatnya dan akan memasukkannya ke dalam golongan orang-orang saleh.

QS Al-Furqan: 68-70 menyebutkan beberapa sifat orang-orang saleh, tidak

musyrik, tidak membunuh tanpa alasan yang sah dan tidak berzina.

Orang-orang yang berbuat demikian akan menanggung dosa, dilipat gandakan

siksanya pada hari kiamat dan akan kekal menderita siksaan; kecuali

orang-orang yang mau bertobat, beriman, dan beramal saleh;Allah akan mengganti

keburukan mereka dengan kebaikan karena Allah Maha Pengampun lagi

Maha Pengasih.

7) Mengawini wanita musyrik. Para fukaha sepakat bahwa laki-laki muslim

haram mengawini perempuan musyrik sesuai ketentuan QS Al-Baqarah: 221.

Kepercayaan syirik adalah yang mempertuhankan selain Allah, apa pun

agamanya kecuali Yahudi dan Nasrani. Para penganut agama Yahudi dan

(9)

8) Kawin dengan lebih dari empat istri. Dalam Q.S. An-Nisa: 3 memberi

kelonggaran laki-laki kawin poligami sebanyak-banyaknya empat orang istri.

Laki-laki yang telah mempunyai empat orang istri haram kawin lagi dengan

istri kelima dan seterusnya.

Tujuan dilaksanakan perkawinan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan

sedemikian rupa menurut hukum nasional adalah untuk membentuk suatu keluarga

atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sedangkan bila mendasarkan pada Alqur'an dan hadist dapat diperoleh

kesimpulan, bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan

naluri hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka

mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan RasulNya.

Menurut hukum Islam, tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga

dengan maksud melanjutkan keturunan serta mengusahakan agar dalam rumah tangga

dapat diciptakan ketenangan berdasarkan cinta dan kasih sayang. Ketenangan yang

menjadi kebahagiaan hidup dapat diperoleh melalui kesadaran bahwa seseorang

dengan ikhlas telah menunaikan kewajibannya baik kepada Tuhan maupun kepada

sesama manusia.

Saling memahami kewajiban antara suami istri dan anggota keluarga dalam

rumah tangga merupakan salah satu cara membina rumah tangga bahagia. Dengan

demikian perkawinan dan tujuan perkawinan sangat erat hubungannya dengan agama,

(10)

pentinguntuk membentuk keluarga bahagia karena sesungguhnya agama akan

membuat hidup dan kehidupan manusia menjadi lebih bermakna.

2. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagaisuami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia

dankekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Sangat ideal sekali tujuan perkawinan yang diinginkan oleh

Undang-undangini, tidak hanya melihat dari segi ikatan kontrak lahirnya saja tetapi sekaligus

ikatanpertalian kebatinan antara suami istri yang tujuannya untuk membangun

keluarga yang kekal dan bahagia sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

Selanjutnya pengertian perkawinan dapat dilihat dari beberapa pendapatb

erikut ini:

Menurut Hukum Islam:

“Nikah adalah akad yang mengandung kebolehan untuk bersetubuh dengan

lafadz atau terjemahan dari kata-kata tersebut, jadi maksud pengertian tersebut

adalah apabila seorang laki-laki dan perempuan sepakat untuk membentuk

suatu rumah tangga, keduanya melakukan akad nikah terlebih dahulu.”33

Menurut K. Wantjik Saleh,

“perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan material, yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yangbahagia dan kekal itu

(11)

haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama dalam pancasila.”34

Menurut Victor Situmorang:

“Perkawinan dilangsungkan dengan persetujuan timbal balik yang bebas yangtidak dapat digantikan oleh campur tangan siapapun. Sebagai persetujuan timbal balik untuk hidup bersama, yang hakikatnya adalah sosial dan pentingbagi pergaulan hidup manusia. Persetujuan bebas suami istri mempunyaiakibat-akibat hukum. Perkawinan diakui dan dilindungi hukum, oleh sebabitu perkawinan dapat dipandang sebagai suatu kontrak, akan tetapi iamerupakan suatu kontrak tersendiri”.35

Mengingat peranan yang dimiliki dalam hidup bersama itu sangat pentingbagi

tegak dan sejahteranya masyarakat, maka negara membutuhkan tata tertib dan

kaidah-kaidah yang mengatur mengenai hidup bersama ini. “Peraturan-peraturan inilah yang

menimbulkan pengertian perkawinan yaitu hidup bersama dari seoranglaki-laki dan

perempuan yang memenuhi syarat yang termasuk dalam peraturan tersebut.”

a. Asas-asas perkawinan

Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974, ditentukan asas-asas mengenai

perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah

disesuaikan dengan perkembangan zaman. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk

itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing

dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai

kesejahteraan sprituil dan materil.

34K. Wantjik Saleh,Hukum Perkawinan Indonesia,Ghalia Indonesia, Jakarta,1976, hal. 15.

35Victor Situmorang,Kedudukan Wanita di Mata Hukum,Bina

(12)

2. Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap

perkawinan itu harus dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku.

Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan

peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian

yang dinyatakan dengan surat keterangan, suatu aktaresmi yang juga dimuat

dalam pencatatan.

3. Menganut asas monogami. Hanya apabila yang dikehendaki oleh yang

bersangkutan, karena hukum dan agama orang tersebut mengizinkan, seorang

suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang

suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun halini dikehendaki oleh

pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapatdilakukan apabila memenuhi persyaratan

tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.

4. Menganut prinsip bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwaraganya

untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan

perkawinan secara baik tanpa berakhir kepada perceraian dan mendapat

keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegahperkawinan antara

suami istri yang masih berada dibawah umur. Selain itu perkawinan juga

mempunyai hubungan permasalahan dengan kependudukan, ternyata dengan

batas umur yang lebih rendah dari seorangwanita untuk kawin mengakibatkan

(13)

menentukan batas umur kawin bagi pria ialah 19 tahun dan wanita adalah 16

tahun.

5. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia kekal

dansejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar

terjadinya perceraian. Harus dengan alasan tertentu serta dilakukan didepan

pengadilan.

6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami

baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kedudukan pergaulan

masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu dalamkeluarga dapat

dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.

b. Syarat-Syarat Perkawinan

Untuk dapat melakukan suatu perkawinan yang sah menurut ketentuan

Undang-undang maka kedua calon mempelai yang hendak melangsungkan pernikahan

haruslah memenuhi syarat-syarat formil dan syarat-syarat materilnya.

Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

menentukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:

Pasal 6:

(1). Perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua calon mempelai.

(2). Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21

(14)

(3). Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia

ataudalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin

dimaksud ayat (1) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih

hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(4). Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan

tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperolehnya

dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai

hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih

hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

(5). Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut

dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih

diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam

daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan

perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin

setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3)

dan (4) pasal ini.

(6). Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku

sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu

dariyang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 7:

(1). Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16

(15)

(2). Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta

dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh

keduaorang tua pihak pria maupun pihak wanita.

(3). Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orangtua

tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlakujuga

dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak

mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Syarat-syarat formil yang harus dipenuhi dalam melaksanakan perkawinan

diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975,

tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:

1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai

pencatat perkawinan.

2. Penelitian yang dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan, yang meneliti

apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan tidak terdapat halangan

perkawinan menurut Undang-Undang.

3. Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan

oleh pegawai pencatat perkawinan.

4. Pelaksanaan perkawinan menurut agama dan kepercayaan masing-masing.

5. Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.

(16)

Pada sisi lainnya persyaratan yang ditentukan oleh Undang-undang

Perkawinan adalah:36

1. Adanya persetujuan bebas dari kedua calon mempelai.

2. Bagi yang belum berumur 21 tahun, harus mendapat izin dari orang tua atau salah satu orang tua atau wali atau orang yang memeliharanya atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas atas pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan.

3. Perkawinan hanya dapat diizinkan, jika pria telah berumur 19 tahun dan wanita telah berumur 16 tahun.

4. Para pihak yang akan kawin, tidak terlarang kawin karena adanya hubungan darah atau hubungan semenda atau hubungan sepesusuan atau hubungan saudara karena suami beristri lebih dari seorang (istri sebelumnya masih bersaudara dengan istri sebelumnya) atau hubungan lain yang dilarang oleh agama atau peraturan lain yang berlaku.

5. Tidak terikat dalam satu perkawinan lain.

6. Para pihak yang akan kawin, tidak terhalang kawin berhubung keduanya telah bercerai untuk kedua kalinya.

7. Bagi pihak wanita, tidak sedang dalam masa iddah.

3. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Ketentuan yang ada pada Kompilasi Hukum Islam yang secara tegas dan juga

menyebutkan pembagian rukun dan syarat perkawinan. Ketentuan rukun dan syarat

perkawinan dapat dilihat pada pasal 14 sampai dengan Pasal 29, rukun perkawinan

terdiri dari calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, serta ijab dan kabul,

sedangkan yang termasuk dalam syarat perkawinan, yaitu:

1. Syarat calon mempelai (calon suami dan calon istri)

a. Calon suami kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri

sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

(17)

b. Calon mempelai yang belum berumur 21 tahun, harus mendapat izin dari

orang tua atau salah satu orang tua atau wali atau orang yang memeliharanya

atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus

keatas atau pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan

melangsungkan perkawinan.

c. Adanya persetujuan dari calon mempelai. Persetujuan dari calon mempelai

wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau

isyarat, tetapi dapat juga berupa diam, dalam arti selama tidak ada penolakan

yang tegas. Bagi calon yang tuna wicara atau tuna runggu, persetujuannya

dapat dinyatakan secara tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.

d. Persetujuan kedua calon mempelai dinyatakan oleh Pegawai pencatat Nikah

dihadapan dua orang saksi.

e. Kedua calon mempelai, tidak terdapat halangan perkawinan.

2. Syarat wali nikah:

a. Muslim.

b. Aqil dan baligh.

c. Tidak tuna wicara, tidak tuna runggu atau tidak udzur.

3. Syarat saksi:

a. Laki-laki.

b. Muslim.

c. Adil.

(18)

e. Tidak terganggu ingatan dan tidak tuna runggu atau tuli.

4. Syarat ijab dan kabul:

a. Jelas, beruntun dan tidak berselang waktu.

b. Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang

bersangkutan. Wali nikah dapat diwakilkan kepada orang lain.

c. Yang berhak mengucapkan kabul adalah calon mempelai pria secara pribadi.

Dalam hal-hal tertentu kabul nikah dapat diwakilkan pada pria lain, dengan

ketentuan mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan

wali atas akad nikahitu adalah untuk mempelai pria, apabila calon mempelai wanita

atau walinya keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh

dilangsungkan.37

Selain persyaratan-persyaratan sebagaimana yang diuraikan diatas,

sebenarnya Undang-undang Perkawinan itu sendiri juga memberikan batasan tentang

persyaratan perkawinan, oleh sebab itu bagi pasangan suami istri yang beragama

Islam, ada dua persyaratan yang harus diindahkan, yang diatur dalam dua bentuk

aturan hukum berbeda, yaitu agamanya dan Undang-Undang Perkawinan.

Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan telah diatur dalam

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinandan Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975Tentang Pelaksanaan Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

37Tengku Erwinsyahbana,

(19)

Menurut pendapat H. Bismar Siregar, perkawinan yang didambakan sah

secara hukum, sah pula di mata Tuhan. Dua sisiyang tidak terpisahkan, sah secara

hukum dilaksanakan sesuai atau memenuhi syarat formal.38Syarat yang beragama,

sesuai agama masing-masing. Hal inidapat dilihat dalam rumusan Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang No. 1Tahun 1974, “Perkawinan itu sah, apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”.

Syarat-syarat utama untuk melangsungkan perkawinan dapat dikelompokkan :

1. Syarat-syarat Materiil.

Syarat-syarat materiil adalah syarat tentang orang yang hendak kawin dan

izin-izin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal ditentukan oleh

undang-undang. Syarat ini terbagi dua, yaitu :

a. Syarat Material Mutlak, adalah syarat yang mutlak dan harus dipenuhi oleh

siapapun yang hendak kawin, yaitu :

1) adanya persetujuan kedua calon suami-istri

2) adanya izin orang tua bagi calon suami-istri yang belum mencapai usia 21

tahun.

3) batas usia untuk melangsungkan perkawinan adalah :

a) umur 19 tahun bagi laki-laki

b) umur 16 tahun bagi wanita

4) waktu tunggu bagi wanita

38 Rusli dan R. Tania,Perkawinan Antara Agama, Cet. Pertama, Shantika Dharma, Bandung,

(20)

a) 130 hari, jika ditinggal mati suaminya.

b) tiga kali suci, atau 90 hari bagi wanita yang tidak datang bulan lagi.

c) sampai anak lahir, jika janda dalam keadaan hamil.

d) apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan antara janda

dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka

tidak ada waktu tenggang.

b. Syarat Material Relatif, adalah syarat bagi pihak yang hendak dikawini.

Dalam syarat Material Mutlak seseorang yang telah memenuhi

syarat-syarat diperbolehkan kawin, akan tetapi tidak dengan semua orang.

Orang-orang yang dapat dikawini harus memenuhi syarat Material Relatif.

Syarat Material Relatif adalah sebagai berikut :

1. Perkawinan dilarang antara dua orang yang :

a) Adanya hubungan darah dalam garis keturunan baik ke atas maupun

kebawah.

b) Adanya hubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yakni

antara saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara

neneknya.

c) Adanya hubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu

tiri.

d) Adanya hubungan antara saudara dengan istri atau bibi atau

(21)

e) Adanya hubungan agamanya atau peraturan lain yang berlaku (Pasal

8Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan).

2. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali

yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

3. Jika suami-istri telah bercerai dan kemudian kawin lagi untuk kedua

kalinya, maka tidak boleh ada perkawinan lagi, sepanjang bahwa

masing-masing agama dan kepercayaan tidak menentukan lain Pasal 10

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

2. Syarat-syarat Formil

Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan, dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 TentangPerkawinan, terdiri dari tiga tahap, yaitu :

a. Pendaftaran atau pemberitahuan kepada Pegawai Catatan Sipil.

b. Penelitian dan pengecekan terhadap syarat-syarat perkawinan yang

didaftarkan

c. Pengumuman tentang pemberitahuan untuk dilangsungkan

perkawinannya.

Sahnya Perkawinan Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-undang

(22)

1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing hukum,

agama dan kepercayaannya.

2. Tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan Perundang-undangan yang

berlaku.

Ketentuan ini bisa dijabarkan bahwa perkawinan dianggap sah, jika

diselenggarakan:

a. Menurut hukum masing-masing, agama dan kepercayaan.

b. Secara tertib menurut hukum syariah bagi yang beragama Islam.

c. Dicatat menurut perundang-undangan dengan dihadiri oleh Pegawai

Pencatat Nikah.

Untuk orang Cina selain Islam, juga untuk orang Indonesia yang beragama

Kristen, pencatatan dilakukan oleh pegawai dari KantorCatatan Sipil sedangkan untuk

yang beragama Islam dilakukan pencatatan oleh petugas pencatat nikah, talak, rujuk

dari Kantor Urusan Agama.

Sebagaimana hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan hasil wawancara

yang dilakukan pada pengadilan Agama kelas I-A medan bahwasannya pernikahan

yang telah dilaksanakan ternyata wali nikahnya tidak sah hal ini dapat diketahui

karena adanya laporan dari pihak keluarga yang merasa keberatan, namun untuk itu

perlu diperhatikan syarat dan rukun untuk melaksanakan pernikahan sebagaimana

yang telah ditentukan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974tentang perkawinan.39

39Hasil wawancara dengan Bapak Jumrik, SH, Panitera Pengganti pada Pengadilan Kelas I-A

(23)

B. Pihak-Pihak Yang Berhak Untuk Menikahkan

Orang yang berhak menikahkan seorang perempuan adalah wali yang

bersangkutan, apabila wali yang bersangkutan sanggup bertindak sebagai wali. Namun

adakalanya seorang wali tidak hadir atau karena sesuatu sebab tidak dapat bertindak

sebagai wali maka hak kewaliannya berpindah kepada orang lain.40

Defenisi wali akad secara istilah adalah orang-orang yang memiliki otoritas

menjalankan akad atau yang berhak memberikan izin untuk melakukan akad, dalam

hubungan dengan laki-laki atau perempuan yang memiliki kelayakan yang sempurna

untuk menjalankan akad.41

Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari orang yang

paling berhak, yaitu orang yang paling akrab, lebih kuat hubungan darahnya. Jumhur

ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’I, mengatakan bahwa wali itu adalah ahli

waris yang diambil dari garis ayah, bukan dari garis ibu.42

1. Syarat untuk menjadi wali

Wali nikah bertanggung jawab atas sahnya perkawinan, sehingga orang yang

menjadi wali nikah memiliki sifat-sifat dan syarat sebagai berikut dan paraulama telah

sepakat bahwa syarat-syarat orang yang dapat dijadikansebagai seorang wali adalah

sebagai berikut:

1. Orang Mukallaf atau Baliqh, karena orang yang mukallaf adalah orang yang

dibebani hukum dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

40

Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A., MM. dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H. Fikih Munahakat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta, Rajawali Pers, 2010. Hal. 90.

41M.T. MudarresiFikih Khusus Dewasa,Al-Huda, Jakarta, 2007, hal.104.

(24)

Hadist Nabi: “Diangkatnya hukum itu dari tiga perkara; dariorang yang tidur

hingga ia bangun, dari anak-anak hingga iabermimpi (dewasa) dan dari

orang-orang yang gila hingga iasembuh”. (H.R. Bukhari dan Muslim).

b. Muslim. Apabila yang kawin itu orang muslim, disyaratkan walinya juga

seorang muslim. Hal ini berdasarkan Firman Allah S.w.t: “Janganlah

orang-orang mukmin mengangkat orang-orang kafir sebagai wali-wali (mereka) dengan

meninggalkan orang- orang mukmin”. (Q.S. Ali Imran : 28).

c. Berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehatlah yang dapat dibebani hukum

dan dengan Hadist Nabi yang telah disebut diatas tadi dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan perbuatannya.

d. Laki-laki.

e. Adil.43

Wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak berma’siat, tidak fasik, ia

orang baik-baik, orang soleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat yang

munkar.44

Syarat-syarat baragama Islam, baliqh dan berakal sehatdisepakati para ulama.

Tetapi untuk syarat laki-laki dan adildiperselisihkan, Imam Abu Hanifah

membolehkan perempuan danorangfasik(muslim yang tidak taat menjalankan

ajaran-ajaranagama) bertindak menjadi wali.

43

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982,hal. 43

44Prof. Drs. Zakiah Daradjat, (et.al),Ilmu Fiqh, Jilid 2, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta,

(25)

Menurut Abu Hanifah, bagi wali yang penting bukanlah laki-laki dan

ketaatannya menjalankan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan

agamatetapi kepandaiannya memilihkan jodoh yang tepat bagiperempuan di bawah

perwaliannya. Di Indonesia, syarat adil (taatberagama Islam) bagi wali tidak

mendapat tekanan. Asal seorangmenyatakan beragama Islam, di samping adanya

syarat-syaratbaliqh, berakal sehat, dan laki-laki, sudah dipandang cakap bertindak

sebagai wali.

2. Macam-macam wali

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa orang-orang yangberhak bertindak

menjadi wali adalah:

a. Ayah, kakek, dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki.

b. Saudara laki-laki kandung (seayah dan seibu) atau seayah.

c. Kemenakan laki-laki kandung atau seayah (anak laki-laki saudara laki-laki

kandung atau seayah).

d. Paman kandung atau seayah (saudara laki-laki kandung atauseayah).

e. Saudara sepupu kandung atau seayah (anak laki-laki paman kandung atau

seayah).

f. Sultan (penguasa tertinggi) yang disebut juga Hakim (bukan qadi, Hakim

Pengadilan).

g. Wali yang diangkat oleh mempelai bersangkutan, yang disebut wali

muhakkam.45

(26)

Dari macam-macam orang yang dinyatakan berhak menjadiwali tersebut di

atas, dapat dilihat adanya tiga macam wali yaitu:

a. Wali nasab

Wali nasab adalah orang yang berasal dari keluarga mempelai wanita dan

berhak menjadi wali. Urutan kedudukan kelompok yang satu didahulukan dari

kelompok yang lain berdasakan erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon

mempelai. Adapun urutan kelompok yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1). Kelompok pertama adalah kerabat laki-laki garis lurus keatas, yaitu ayah,

kakek, buyut, dan seterusnya ke atas.

2). Kelompok kedua adalah kerabat saudara laki-lakikandung atau saudara

laki - laki seayah dan keturunan anak laki-laki mereka.

3). Kelompok ketiga adalah kerabat paman, yaitu saudara laki-laki kandung

ayah atau saudara laki - laki seayah, serta keturunan laki-laki mereka.

4). Kelompok keempat adalah kerabat saudara laki kakek, saudara

laki-laki seayah kakek serta keturunanlaki-laki - laki-laki mereka.46

Jika dalam satu kelompok wali nikah itu terdapatbeberapa orang yang

mempunyai hak yang sama untukmenjadi wali nikah, maka yang paling berhak

menjadi waliadalah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calonmempelai

wanita dan apabila derajat kekerabatannya samauntuk menjadi wali nikah maka yang

paling berhak untukmenjadi wali nikah yaitu kerabat kandung dari kerabat yanghanya

seayah, dan apabila di dalam satu kelompok juga terdapat sama-sama derajat kandung

(27)

atau sama-sama derajat kerabat seayah maka mereka sama-sama berhak untuk

menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan juga memenuhi

syarat-syarat untuk menjadi walinikah dan jika wali nikah yang paling berhak urutannya

tidak memenuhi syarat-syarat sebagai wali nikah atau oleh karenawali nikah itu

menderita tunawicara atau sudah uzur maka hak untuk menjadi wali bergeser kepada

wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.

b. Wali hakim

Wali Hakim adalah orang yang diangkat oleh Pemerintah atau lembaga

masyarakat yang biasa disebut ahlu al-halli waal-‘aqdi untuk menjadi Hakim dan

diberi wewenang untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Namun

dalam pelaksanaannya Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atau Pegawai

Pencatat Nikah, yang bertindak sebagai wali Hakim dalam pelaksanaan akad nikah

bagi mereka yang tidak memiliki wali atau walinyaAdlol.

Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah dalam perkawinan

apabila wali nasab tidak ada atau tidakmungkin untuk menghadirkannya atau pun

tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau Adlol atau enggan. Didalam hal

waliAdlol atau enggan maka wali Hakim dapat bertindak sebagai wali nikah setelah

ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut, yang dimaksud dengan wali

(28)

dimungkinkan juga bertindak menjadi wali Hakim apabila memang memperoleh

kuasa dari Kepala Negara cq Menteri Agama.47

Dalam masalah wali nasab menolak bertindak sebagai wali hanya dalam yang

benar-benar dipandang tidak beralasan. Orang tua tidak menyetujui perkawinan

anaknya dan menolak menjadi wali, misalnya orang tua menolak atas pertimbangan

materiil, pangkat, dan sifat-sifat lahiriah calon suami, bukan atas pertimbangan

akhlak, perwalian dapat dimintakan kepada Sultan, Kepala Negara yang disebut juga

Hakim.

Perwalian nasab atau kerabat pindah kepada perwalian Hakim apabila:48

1. Wali nasab memang tidak ada.

2. Wali nasab bepergian jauh atau tidak di tempat, tetapi tidak memberi kuasa

kepada wali yang lebih dekat yang ada di tempat.

3. Wali nasab kehilangan hak perwaliannya.

4. Wali nasab sedang berihram haji atau umrah.

5. Wali nasab menolak bertindak sebagai wali.

6. Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dari perempuan di bawah

perwaliannya. Hal ini terjadi apabila yang kawin adalah seorang perempuan

dengan saudara laki-laki sepupunya, kandung atau seayah.

Akan tetapi wali Hakim tidak berhak menikahkan:

1. Wanita yang belumbaligh.

47Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1998, hal. 89

48

(29)

2. Kedua belah pihak (calon wanita dan pria) yang tidaksekufu.

3. Tanpa seizin wanita yang akan menikah.

4. Di luar daerah kekuasaannya.

c. Wali muhakkam

Dalam keadaan tertentu, apabila wali nasab tidak dapat bertindak sebagai wali

karena tidak memenuhi syarat atau menolak, dan wali hakim pun tidak dapat

bertindak sebagai wali nasab karena berbagai macam sebab, mempelai yang

bersangkutan dapat mengangkat seseorang menjadi walinya untuk memenuhi syarat

sahnya nikah bagi yang mengharuskan ada wali.

Wali yang diangkat oleh mempelai disebut Wali Muhakkam. Misalnya,

apabila seorang laki-laki beragama Islam kawin dengan seorang perempuan beragama

Kristen tanpa persetujuan orang tuanya, biasanya yang berwenang bertindak sebagai

wali hakim di kalangan umat Islam tidak bersedia menjadi wali apabila orang tua

mempelai perempuantidak memberi kuasa. Dalam hal ini, agar perkawinan dapat

dipandang sah menurut hukum Islam, mempelai perempuan dapat mengangkat Wali

Muhakkam.49

Wali ialah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain

sesuai dengan bidang hukumnya. Wali ada yang umum dan ada yang khusus.

Dikatakan khusus artinya ialah yang berkenaan dengan manusia dan harta benda.

Disini yang dibicarakan Wali terhadap manusia, yaitu masalah perwalian dalam

perkawinan.

49

(30)

Perwalian dalam istilah fiqih disebut wilayah yang berarti penguasaan dan

perlindungan. Menurut istilah fiqih yang dimaksud perwalian adalah penguasaan

penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi

orang atau barang. Penguasaan dan perlindungan ini disebabkan oleh:

1. Pemilikan atas barang atau orang, seperti perwalian atas budak yang

dimiliki atau barang-barang yang dimiliki.

2. Hubungan kerabat atau keturunan seperti perwalian seseorang atas salah

seorang kerabatnya atau anak-anaknya.

3. Karena memerdekakan budak seperti perwalian seseorang atau

budak-budak yang telah dimerdekakannya.

4. Karena pengangkatan seperti perwalian seseorang Kepala Negara atas

rakyatnya atau perwalian seseorang pemimpin atas orang-orang yang

dipimpinnya.

Oleh sebab itu dalam garis besarnya perwalian itu dapat dibagi atas:

1. Perwalian atas orang.

2. Perwalian atas barang.

3. Perwalian atas orang dalam perkawinannya.50

Dalam hal ini yang dibicarakan ialah yang berhubungan dengan perwalian

atas orang dalam perkawinannya. Orang yang diberi kekuasaan disebut “wali”. Wali

50

(31)

nikah hanya ditetapkan bagi pihak pengantin perempuan, sedangkan pihak laki - laki

tidak memerlukan seorang wali.

Perdebatan tentang wali nikah suatu akad perkawinan sudah lama dibicarakan

oleh para ahli hukum Islam, terutama kedudukan wali dalam akad tersebut.

Sebahagian para ahli hukum Islam mengatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan

tanpa wali, perkawinan tersebut tidak sah karena kedudukan wali dalam akad

perkawinan adalah salah satu rukun yang harus dipenuhi.

Sebagian para ahli hukum Islam yang lain mengemukakan bahwa wali dalam

suatu akad perkawinan bukanlah suatu rukun yang harus dipenuhi, tetapi sekedar

sunnah saja dan perkawinan yang dilaksanakan tanpa hadirnya wali dalam akad

perkawinan bukanlah suatu hal yang cacat hukum perkawinan tersebut tetap sah dan

perkawinan itu tidak menjadi batal.51

Menurut Muhammad Jawad Mughniyah,

”yang dimaksud wali dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau

wewenang syar’i atas segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang

yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu demi

kemaslahatannya sendiri.52

Sedangkan Sayid sabiq mengemukakan bahwa secara umum yang dimaksud

dengan wali adalah ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang

lain sesuai dengan bidang hukumnya.53

51

Dr. H. Abdul Manan, S. H.,Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2006, hal. 58.

52Ibid.

(32)

Asy Syafi’I memgemukakan bahwa nikah seorang wanita tidak dapat

dilaksanakan kecuali dengan pernyataan seorang wali dekat dengan calon

mempelaiwanita, jika tidak ada wali yang dekat, maka perwalian itu pindah

kepada wali yang jauh.54

Sementara Zahri Hamid menjelaskan bahwawali nikah adalah seorang

laki-laki yang dalam suatu akad nikah berwenang mengijabkan pernikahan calon

mempelai perempuan, adanya wali nikah itu merupakan rukun yang dipenuhi adalah

suatu akad perkawinan.

Kedudukan wali nikah sangat penting dan menentukan dalam sahnya

perkawinan, dan tidak sah perkawinan tanpa adanya wali nikah. Wali adalah mereka

yang dekat dengan calon mempelai wanita, dimulai dari yang paling dekat dan

seterusnya, jika mereka berhalangan dapat diganti oleh wali hakim.55

Berdasarkan hukum Islam, wali dalam suatu pernikahan merupakan keharusan

yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita, karena wali merupakan rukun akad

nikah, sebagaimana firman Allah SWT Q.S Al-Baqarah (2) ayat 232, yang artinya :

“Bila kamu menceraikan istri, dan mereka sampai batas iddah, jangan kamu halangi mereka kawin dengan calon suami mereka, bila mereka setuju dengan cara yang baik. Inilah nasehat bagi siapapun diantaramu yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih suci dan bersih bagi kamu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahuinya”.

Dalam hukum Islam, terdapat alasan-alasan kuat yang mengharuskan adanya

wali dalam perkawinan karena itu dengan tegas Mazhab Syafi’i mengharuskan

54Ibid., hal. 59

(33)

adanya wali, tanpa wali perkawinan tidak sah. Di Indonesia pada umumnya menganut

paham Mazhab Syafi’i yang menganggap wali adalah salah satu dari rukun

perkawinan.

C. Pencatatan Perkawinan

Syarat-syarat yang menentukan sahnya suatu perkawinan diatur dalam Pasal 2

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal ini

memuatdua ketentuan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan perkawinan, yaitu:

a. Pasal 2 ayat (1): ”Perkawinan baru merupakan perkawinan yang sah apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”.

b. Pasal 2 ayat (2): “setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan

yang berlaku.”

Yang dimaksud dengan hukum masing masing agamanya dan kepercayaan itu

termasuk pelaksanaan ketentuan perundangan menurut agama dan kepercayaan yaitu

asal tidak bertentangan dengan undang-undang sah tidaknya suatu perkawinan

semata-mata ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang hendak

melaksanakan perkawinan. “Setiap perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan

ketentuan agama dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak

mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.”

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2) membuat ketentuan “Negara

menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

(34)

disesuaikan dengan bunyi Pasal 2 ayat (1) di atas ialah agama dan kepercayaan bagi

mereka yang akan melaksanakan perkawinan. Bagi mereka yang memeluk

agamaIslam, yang menentukan sah atau tidaknya perkawinan ditentukan oleh kaidah

Hukum Islam. Demikian juga dengan agama-agama lainnya.

Bagi mereka yang belum memeluk agama dan kepercayaan, juga tidak ada

kesulitan, misalnya sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan ethnograpimasih

adalagi dijumpai suku di negara Indonesia yang menganut kepercayaan animisme,

maka kaidah yang berlaku bagi mereka dengan sendirinya ditentukan oleh tata cara

perkawinan yang terdapat dalam kehidupan sosial budaya masyarakat tersebut.

Selanjutnya, “pencatatan perkawinan bukanlah termasuk ketentuan yang

menentukan sah tidaknya perkawinan, namun merupakan salah satu unsur esensial

dalam persoalan sahnya perkawinan, sebab didalamnya tersangkut

kepentingan-kepentingan yang menghendaki perlindungan negara.”

Pencatatan hanya tindakan administratif, sama halnya dengan pencatatan

peristiwa penting dalam kehidupan seseorang yang dinyatakan dalam surat-surat

keterangan, suatu akta resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan. Tentang pencatatan

perkawinan diatur dalam Bab II Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang

memberi penjelasan tentang pencatatan perkawinan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, antara lain:

a. Bagi mereka yang beragama Islam dan yang melangsungkan

(35)

Pencatat sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32

tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk.

b. Bagi mereka yang bukan beragama Islam dan yang melangsungkan

perkawinan menurut agama dan kepercayaan mereka, pencatatan dilakukan

oleh pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud

dalam berbagai Perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

c. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus bagi tata cara

pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata

cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal

3 sampai dengan pasal 9 Peraturan ini.

Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975

tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan

bahwasanya setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan

kehendaknya itu kepada pegawai pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan,

pemberitahuan tersebut sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum

perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan ini dilakukan secara lisan atau tertulis oleh

calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya.

Suatu kenyataan yang masih sering kita jumpai dalam realitas kehidupan kita

adalah masih banyak orang yang melangsungkan perkawinan tanpa dicatatkan di

kantor percatatan perkawinan (Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan

(36)

Terhadap perkawinan semacam ini, sebagian ulama dan ahli hukum

berpendapat bahwa perkawinan seperti itu sah apabila dilakukan sesuai ketentuan

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

Sedangkan pencatatan perkawinan merupakan tindakan adminstrasi saja,

apabila tidak dilakukan tidak mempengaruhi sahnya perkawinan yang telah

dilaksanakan itu. Tetapi di pihak lain menganggap perkawinan yang tidak dicatatkan

tidak sah dan dikategorikan sebagai nikah fasid (rusak), sehingga bagi pihak yang

merasa dirugikan akibat dari perkawinan tersebut dapat dimintakan pembatalan

kepada Pengadilan Agama karena ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang

No. 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan tersebut, merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisahkan dan harus dilaksanakan secara kumulatif, bukan anternatif, secara

terpisah dan berdiri sendiri.56Sedangkan menurut Soerjono Soekamto dan Purnadi

Purbacaraka bahwa ketentuan tersebut bersifat imperatif. Artinya, ketentuan tersebut

bersifat memaksa.57

Akibat terjadinya penafsiran terhadap ketentuan tersebut, maka berbeda pula

putusan yang diberikan oleh para hakim dalam menyelesaikan perkara pembatalan

nikah yang diajukan ke pengadilan. Bagi hakim yang berpendapat bahwa Pasal 2 ayat

(1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan

satu kesatuan yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang tidak

56 Abdul Mannan,

Aneka Masalah Hukum Materiel dalam Praktak Pengadilan Agama, Jakarta, Pustaka Bangsa Press, 2002, hal. 50.

(37)

terpisahkan, maka perkawinan baru dianggap sah apabila dilaksanakan menurut

ketentuan agama dan kepercayaannya itu serta dicatat sesuai ketentuan yang berlaku.

Pencatatan perkawinan merupakan hal yang wajib dilaksanakan karena hal ini erat

hubungannya dengan kemashlahatan manusia yang dalam konsep syari’ah harus

dilindungi. Oleh karena itu, perkawinan yang tidak tercatat merupakan nikah fasid

karena belum memenuhi syarat yang ditentukan dan belum dianggap sah secara

yuridis formal dan permohonan pembatalan perkawinan dapat dikabulkan.

D. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Pembatalan Perkawinan

Ada dua macam sebab untuk pembatalan perkawinan yaitu:

a. Pelanggaran prosedural perkawinan

Misalnya:

1. Syarat-syarat wali nikah tidak dipenuhi

2. Tanpa dihadiri oleh saksi-saksi pada saat berlangsungnya perkawinan

3. Oleh pegawai pencatat nikah yang tidak berwenang

b. Pelanggaran materi perkawinan

Misalnya:

1. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman

2. Jika perkawinan berlangsung. Terjadi salah sangka mengenai diri

suami atau istri.

Hak mengajukan pembatalan itu gugur, jika:58

a. Dalam hal pelanggaran prosedural tersebut di atas; jika mereka telah hidup

bersama sebagai suami istri dan mempelai dapat memperlihatkan akta

58Lihat Pasal 26 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang

(38)

perkawinan dibuat oleh pencatat yang tidak berwenang yang telah

diperbaharui.

b. Dalam hal pelanggaran materi tersebut di atas; jika ancaman telah berhenti

atau telah disadari keadaannya, tetapi dalam tempo 6 bulan setelah

perkawinan itu ternyata masih tetap sebagai suami istri.

Syarat-syarat pembatalan perkawinan dalam Pasal 22 Undang-Undang

Perkawinan menyatakan, bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak

memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.59 Sedangkan menurut

Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan dapat

dibatalkan apabila:

1. Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak melakukan akad nikah,

karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun dari keempat

isterinya itu dalamiddah talak raj’i.

2. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dili’annya.

3. Seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi 3 kali talak

olehnya, kecuali bekas isterinya tersebut pernah menikah dengan pria lain

yang kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dari pria tersebut dan telah

habis masaiddahnya.

4. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah

dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.

59P.N.H.Simanjuntak, SH,Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia,Djambatan, Jakarta,

(39)

5. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah

dalam garis lurus menyamping, yaitu antara saudara, antara seseorang

dengan sudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.

6. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan

semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau bapak tirinya.

7. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan

sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi

atau paman sesusuan.

8. Perkawinan dilakukan dengan saudara kandung dari isteri atau sebagai bibi

atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya.

9. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.

10. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri

pria lain yangmafqud.

11. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalamiddahdari suami lain.

12. Perkawinan yang dilangsungkan melanggar batas umur perkawinan yaitu

untuk pria harus berumur 19 tahun dan untuk wanita harus berumur 16

tahun.

13. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak

berhak.

14. Perkawinan yang dilakukan dengan paksaan.

15. Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.

16. Perkawinan dilakukan dengan penipuan atau salah sangka mengenai diri

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari pengujian fuzzy Node MCU bertujuan untuk menerapkan metode fuzzy dalam pengambilan keputusan yang nanti akan dijadikan output alat ini sesuai

berdasarkan hasil penelitian dalam hal penyampaian/transmisi dilakukan oleh dinas sosial kepada pihak puskesmas yaitu dengan cara seminar atau juga bimbingan teknik oleh

Fungsi penting sebuah transistor adalah kemampuannya untuk menggunakan sinyal yang sangat kecil yang masuk dari satu terminal transistor tersebut untuk

Sistem melakukan analisis atas transaksi keuangan yang dilakukan oleh nasabah, analisis berdasarkan skenarion yang telah ditetapkan dalam sistem, yang kemudian sistem akan

Walaupun berdasarkan uji sidik ragam tidak nyata, namun berdasarkan hasil perhitungan sidik regresi terlihat bahwa makin lama waktu aktivasi dan makin tinggi

M Dengan Gangguan Sistem Persarafan: Stroke Non Hemoragik di Desa Jagalan Rt 01 Rw 07 Pabelan Kartasura Wilayah Kerja Puskesmas Kartasura”Program Studi Diploma III

Dengan mengetahui dan memahami pemberian nama gelar abdi dalem, memberikan manfaat untuk IPS, sebagai ilmu pengetahuan yang bisa disampaikan dan dapat dijalankan dalam

Agenda Clustering Requirement untuk clustering Tipe data dalam cluster analysis Interval-scale variable Binary variable Nominal variable Ordinal variable Ratio-scaled