• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Dengan Pengan Ditengah Perubahan Studi Kasus Perilaku Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Orang Mbatakapidu T2 092013003 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Dengan Pengan Ditengah Perubahan Studi Kasus Perilaku Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Orang Mbatakapidu T2 092013003 BAB II"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

D u a

Perspektif Teori

Untuk dapat memahami fenomena yang menarik perhatian penulis maka penulis menggunakan beberapa teori dan berbagai hasil penelitian yang topiknya hampir sama dengan topik yang dikaji dalam penelitian ini.

Agama Sebagai Sebuah Sistem Kepercayaan

Dalam bukunya yang berjudul The Intrepetation Of Cultures: Selected Essays (1974) yang kemudian diterjemahkan ke dalam buku

yang berjudul kebudayaan dan agama (1992),Geertz menyebut agama

berlaku sebagai sebuah sistem kebudayaan dan bukan sebagai ideologi hasil rekayasa sosial belaka. Hal ini terjadi kerena adanya batas-batas pemikiran, penderitaan yag tidak tertahankan, masalah moral yang tidak terpecahkan, ketidaksanggupan manusia untuk membuat penafsiran dan ditemukannya “dunia lain” yang aneh, kacaudan tidak terselami. Agama bukan terkait dengan bagaimana manusia memecahkan penderitaan, melainkan bagaimana manusia mampu untuk menderita. Pertanyaannya apakah ketika seseorang mengalami penderitaan maka dapat dikatakan bahwa dia memiliki kekuatan untuk bertahan dalam penderitaan? Atau apakah dengan menderita maka dia akan menemukan kehidupan yang sejati? Jawabannya adalah tergantung pada ajaran agama tersebut apakah agama cenderung mendomestifikasi atau memberdayakan.

(2)

sakral dari nilai-nilai lokal yang dianut dipraktekkan oleh orang M batakapidu?

Geertz (1981) dalam disertasinya yang berjudul The Religion Of Java (abangan, santri, and priyayi) menyebut dalam struktur sosial di M ojokuto, varian agama santri diasosiasikan dengan pasar (market) yang merupakan salah satu inti dari sosial-struktural lainnya seperti desa dan pemerintahan atau birokrasi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ada hubungan antara satu tradisi agama dengan pasar. Sebagai serangkaian sistem simbol yang sakral, agama juga menghasilkan etos. Geertz mengkaji bagaimana simbol-simbol sakral itu dihayati dalam berbagai ritus dan kebudayaan dari berbagai bangsa, khususnya dalam pertunjukan wayang kulit di Jawa.

Liliweri (2007) dalam Palekahelu (2010 : 16) menyebut agama atau sistem kepercayaan suatu masyarakat adalah salah satu bentuk dari kebudayaan, yang diterima tanpa sadar atau tanpa dipikirkan dan proses perwarisannya dilakukan melalui komunikasi dan peniruan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Oleh karena itu, untuk memahami agama dengan baik tentunya membutuhkan pemahaman tentang kebudayaan, baik terkait dengan batasan kebudayaan maupun bentuk-bentuk kebudayaan.

Dalam konteks ini, penulis ingin memahami secara mendalam tentang pandangan dunia (world view), sistem kepercayaan (belief), nilai-nilai yang diyakini (value) dan keseluruhan perilaku (actions) yang dianut oleh orang M batakapidu.

Kepercayaan Terhadap Leluhur

(3)

diistilahkan dengan marapu.1 Kepercayaan kepada marapu adalah

kepercayaan kepada arwah para leluhur. Arwah ini dipercayai dapat memberikan malapetaka jika tidak dipedulikan. Tampaknya di kalangan para leluhur terdapat suatu stratifikasi tertentu. Para leluhur dibedakan atas dua golongan yaitu maha-leluhur (marapu ratu) dan leluhur biasa (marapu). M aha-leluhur dibedakan atas dua golongan yaitu maha-leluhur yang langsung turun dari langit dan yang datang ke Sumba dengan menggunakan perahu. M aha-leluhur adalah leluhur yang menurunkan beberapa leluhur biasa. Para leluhur biasa terdiri dari leluhur besar (marapu bokulu) dan leluhur kecil (marapu pakahopi).2

Pada umumnya setip marapu terikat pada klan (kabihu-nya).

Setiap klan memiliki marapu sendiri. M asing-masing marapu

mempunyai sejarah sendiri yang terkait erat denga sejarah klan. Oleh karena itu, leluhur biasa dapat disebut sebagai marapu klan (marapu kabihu). M arapu klan adalah pemimpin, pendiri, pahlawan, klannya dan disekitarnya berbentuk mite-mite yang melukiskan bahwa ia

mempunyai kekuatan-kekuatan supranatural. Setiap marapu

mempunyai kuasa, kemampuan dan kesaktian yang tidak sama.3

M arapu diwujudkan dalam berbagai bentuk benda seperti tombak, emas, gong, gading, manik-manik dan sebagainya. Benda-benda ini merupakan Benda-benda keramat yang tidak dapat dijamah oleh sembarang orang, kecuali imam atau juru sembahyang dalam suatu upacara keagamaan. Benda-benda ini diletakkan dalam sebuah keranjang atau peti dan disimpan di atas balai-balai loteng rumah. Orang Sumba percaya bahwa marapu hadir dalam benda-benda itu, bahkan benda-benda itu kadang-kadang dilihat sebagai marapu itu sendiri. Benda-benda ini disebut sebagai milik atau bagian marapu (tanggu marapu).4

1 Harun Hadiwijono, “Religi suku murba di I ndonesia” (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

2009) hal. 25-26

2 F . D. W ellem, “Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi” (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2004) hal. 45

(4)

Di samping para leluhur yang dijadikan obyek penyembahan, klan-klan tertentu menyembah binatang-binatang tertentu seperti klan Kabuling, marapu-nya adalah ular; klan W awangu, marapu-nya adalah buaya; klan Karangguwatu, marapu-nya adalah burung tekukur dan klan M aru W atubulu; marapu-nya adalah anjing. M arapu dipandang sebagai perantara antara sang pencipta dan manusia. Sang marapu-lah yang menyampaikan permohonan manusia kepada sang pencipta dan sang pencipta menjawabnya melalui marapu.

Penulis sendiri memahami marapu sebagai mediator dari

keintiman hubungan antara manusia dengan sang pencipta yang dilakukan dalam sebuah ritual. Langer (1942) dalam Dhavamony (1995 : 174) menyebut ritual merupakan ungkapan yang lebih bersifat logis daripada hanya bersifat logis. Ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobjekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan perasaan, serta membentuk disposisi pribadi dari para pemuja mengikuti modelnya masing-masing. Pengobjekan ini penting untuk kelanjutan dan kebersamaan dalam kelompok keagamaan. Kalau tidak, pemujaan yang bersifat kolektif tidak dimungkinkan. Akan tetapi, sekaligus harus tahu bahwa penggunaan sarana-sarana simbolis yang sama secara terus-menerus menghasilkan suatu dampak yang membuat simbol-simbol tersebut menjadi biasa sebagaimana diharapkan.

(5)

kurban untuk bagi para leluhur dan pelaksanaan magi, tetapi juga lewat pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh anggota-anggota jemaah dalam konteks peranan sekular mereka.

Teori Animisme

E. B. Taylor adalah orang yang sangat besar pengaruhnya dalam teori tentang perkembangan religi suku murba. Pada tahun 1873, ia menulis buku berjudul Primitive Culture (kebudayaan bersahaja). Dalam buku itu, ia mengemukakan teori animisme. Kata animisme berasal dari bahasa Latin animus, yang berarti jiwa. M enurut Taylor, animisme adalah suatu kepercayaan mengenai adanya roh-roh dan makhluk-makhluk halus yang mendiami seluruh alam semesta ini.5

Teori ini dimaksud sebagai suatu usaha menemukan asal mula dan perkembangan religi dalam kebudayaan manusia. Kesadaran manusia akan adanya jiwa dan roh dipandang sebagai asal mula religi. Ada dua keyakinan pokok yang terkandung dalam teori animisme ini yaitu: (1) keyakinan adanya jiwa pada setiap makhluk, yang dapat terus berada sekalipun makhluk itu sudah mati atau tubuhnya sudah dibinasakan dan (2) keyakinan adanya banyak roh yang berpangkat-pangkat dari yang rendah hingga yang tinggi, dengan para dewa sebagai puncaknya.6

M enurut Taylor, suku murba merasa diperhadapkan dengan dua macam persoalan yaitu perbedaan antara orang yang hidup dengan yang mati dan pengalaman di dalam mimpi. Persoalan pertama mengandung arti bahwa orang yang hidup jelas-jelas berbeda dengan orang yang sudah mati karena orang hidup dapat bergerak, berbicara, mengeluarkan isi hatinya, sementara orang yang sudah mati tidak demikian. Apa sebenarnya yang mengakibatkan orang tiba-tiba tidak bergerak, berbicara dan lain sebagainya dapat dikatakan mati? Apa yang menyebabkan orang tidak lagi menunjukan gejala-gejala hidup? Apa yang mengakibatkan hidup itu?. Orang tidur, secara lahiriah

(6)

menunjukan gejala yang sama dengan orang yang mati, tetapi ia tidak mati. Semua persoalan ini menjadikan setiap orang berpikir mengenai hidup atau mati. Persoalan kedua mengandung arti bahwa keyakinan akan adanya banyak roh, dikatakan bahwa di dalam mimpi orang dapat melihat hal-hal yang tidak dapat dilihat pada waktu bangun. Di dalam mimpi itu, seorang dapat bertemu dengan orang-orang yang sedang tidak bersama-sama dengannya atau dengan orang yang sudah mati. Di dalam mimpi, orang dapat mengalami hal-hal yang tidak mungkin terjadi pada bangun, umpamanya ia dapat terbang dan sebagainya.7

Pada akhir abad ke-19, dalam pandangan umum, teori animisme tidak dapat menerangkan suku murba secara komprehensif. Banyak orang semakin yakin bahwa dalam menerangkan religi suku murba sebenarnya harus diperhatikan kepercayaan adanya daya adikrodati yang berdiri sendiri, sehingga mereka memandang bahwa daya adikodrati ini mendahului kepercayaan adanya jiwa atau roh. Selain itu, perlu dipahami bahwa orang-orang suku murba bukanlah para filsuf atau ahli pikir, tetapi mereka hanya bergantung pada gejala-gejala yang dialaminya. Berdasarkan pertimbangan ini maka muncullah suatu teori baru yang disebut sebagai teori pra-animisme atau teori dinamisme. M enurut teori ini, religi yang tertua bukanlah animisme, melainkan kepercayaan adanya kekuatan gaib adikodrati yang berada pada segala sesuatu, di mana kekuatan ini disebut mana.8

Pada tahun 1891, R. H. Codrington menulis buku yang berjudul The M elanesians (suku M elanesia). M enurutnya, mana adalah suatu daya yang tidak bersifat bendawi, tetapi juga bukan juga bersifat rohani dalam arti yang biasa dipakai. M ana adalah daya atau kekuatan adikodrati dalam arti tertentu, daya yang menyimpang dari yang biasa, sekaligus juga bersifat adikodrati. Segala sesuatu yang memiliki mana dipandang sebagai panas, yang dapat mengakibatkan hal-hal yang baik maupun yang buruk.9

(7)

Setahun berselang tepatnya pada tahun 1892, John H. King menulis buku yang berjudul The Supernatural, It’s Origin, Nature And Evolution (yang adikodrati, tabiat dan perkembangannya). Selanjutnya, pada tahun 1909 R. R. M arett menulis buku berjudul The Treshold Of Religion (ambang religi). M arret tidak mengakui bahwa permulaan religi adalah kesadaran manusia mengenai adanya perbedaan antara unsur-unsur jasmani dan rohani. M enurutnya, pangkal dari segala perilaku keagamaan adalah perasaan rendah terhadap gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa di dalam kehidupan sehari-hari yang menyimpang dari yang biasa. Jadi, sebelum manusia memiliki suatu bentuk religi animisme, manusia sudah memiliki suatu bentuk religi yang lain.10

Pada awal abad ke-20, disamping teori pra-animisme timbul juga suatu teori yang disebut teori tokoh dewa yang tertinggi. Pada tahun 1898, Andrew Lang menulis buku berjudul The Making Of Religion (pembentukan religi) dan kemudian disusul buku lainnya yang berjudul M agic and Religion (magi dan religi) yang diluncurkan tahun 1901. Berdasarkan dongeng dan mitos suku-suku bangsa murba, Lang menyebut bahwa suku murba tidak mungkin memandang dewa-dewa sebagai roh, seperti yang dikemukakan dalam teori animisme oleh Taylor. Dari dongeng dan mitos itu, Lang mengambil kesimpulan bahwa suku murba percaya akan adanya seorang tokoh dewa, yang dipandang sebagai tokoh dewa yang tertinggi (supreme being, high God).11

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian H. G. Schulte Nordholt pada tahun 1971 yang berjudul The Political System Of The Atony Of Timor. Dalam penelitian ini, H. G. Schulte - Nordholt menyebut agama pada orang Atoni digambarkan dalam tuhan yang berada dalam dunia tersembunyi (the hidden world). M enurut orang Atoni, tuhan disebut sebagai uis neno (dewa langit, Allah yang tertinggi atau the lord of heaven is the supreme God).12

10 Hadiwijono, Op, cit., hal. 6

11 Hadiwijono, Op, cit., hal. 6-7

12 W ilhelmus Foni, “Budaya Bertani Atoni Pah Meto” (Salatiga: Satya W acana

(8)

Teori Tindakan

Parsons (Cubbon dalam Beilharz, 2002 : 292 - 293) menyebut aspek-aspek pertentangan kuno antara materialisme dan idealisme menjadi persoalan penting dalam karya-karyanya, yakni di dalam bentuk pelbagai positivisme dan idealisme yang oleh Parsons dirangkai dalam teori tindakan voluntaristik.

Dalam karyanya yang bertajuk The Structure Of Social Action (1973), Parsons menyebut tindakan adalah perilaku yang disertai aspek upaya subyektif dengan tujuan membawa kondisi-kondisi situasional atau isi kenyataan yang lebih dekat kepada keadaan yang ideal atau yang ditetapkan secara normatif (Cubbon dalam Beilharz, 2002 : 293).

Dalam tradisi positivistik, masalah Hobbesian mengenai ketertiban muncul karena pandangan Hobbes yang keliru mengenai regulasi normatif. Hal ini terjadi karena pada hakikatnya individu-individu saling berlomba untuk memuaskan hasrat mereka, di mana rasio mereka hanya menjadi alat maka kekuatan dan kecurangan menjadi sarana paling efisien untuk mencapai tujuan dan satu-satunya solusi atas “perang semua melawan semua” yang diakibatkan oleh kenyataan tadi adalah dengan memberangus kebebasan individu lewat kekuasaan koersif yang di konsepsikan sebagai sumber eksternal dan faktual bagi ketertiban (Cubbon dalam Beilharz, 2002 : 293).

(9)

Sistem Sosial

Sebuah karya bersama Parsons dan Shils (Cubbon dalam Beilharz, 2002: 293) lewat tulisan yang berjudul Toward A General Theory Of Action (1951) menyebut nilai, motif dan sistem tindakan mengacu kepada suatu sistem tindakan umum yang terdiri dari tiga sistem yang saling berdiri sendiri namun tetap berkaitan, yakni sistem-sitem sosial, personalitas dan kultural.

Dalam bukunya yang berjudul Social System (1951), Parsons (Cubbon dalam Beilharz, 2002 : 294) menyebut pada tahap teorisasi ini mengarah pada “orientasi nilai”. Regularitas di antara cara-cara dasar dalam hubungan antarmanusia membentuk “pola-pola orientasi nilai” yang merupakan bagian utama dari sistem kultural. Pola-pola tersebut muncul dari suatu matriks lima pilihan dikotomis yang disebut sebagai “variabel-variabel pola”. Pola-pola pilihan itu menjadi bagian dari sistem personalitas lewat internalisasi dan menjadi bagian dari sistem sosial lewat institusionalisasi.

Oleh karena nilai-nilai dalam suatu masyarakat sangat erat hubungannya dengan sistem sosial maka Parsons (1965 : 171) dalam Sosrodihardjo (1987 : 111) menyebut values are modes of normative orientation of action in a social system which define the main directions of action without reference to spesific goals or more detailed situations or structures. Dengan kata lain, nilai-nilai bersifat abstrak dan memberikan pengarahan yang normatif. Berbeda dengan lembaga, walaupun sama-sama merupakan pola-pola yang normatif, tetapi lebih ditujukan kepada situasi tertentu.

(10)

Kelembagaan Adat dan Non Adat

Jennifer Brick, dalam penelitiannya di daerah pedesaan Afghanistan yang berjudul The Political Economy Of Customary Village Organizations In Rural Afghanistan (2008) menyebut terdapat tiga macam organisasi adat yang berperan dalam pembangunan pedesaan di Afghanistan. Organisasi adat tersebut dibagi atas tiga bagian yaitu Shura, M alik dan M ullah. Shura merupakan badan deliberatif terkecil di masyarakat, dewan ini bersifat informal yang bertanggungjawab membahas sengketa yang terjadi dalam desa atau dengan desa tetangganya (sengketa tanah, air, isu pengelolaan sumberdaya dan keamanan). M alik merupakan perwakilan komunitas dalam institusi pemerintahan formal yang bertanggungjawab menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah (jembatan antara masyarakat dan pemerintah) dan menangani isu keamanan, pembangunan dan pemerintahan. Sedangkan M ullah merupakan pemimpin agama dalam masyarakat yang bertanggungjawab membantu membahas penyelesaian suatu perselisihan dalam keluarga atau masalah pribadi lainnya, pemimpin spiritual tradisional yang memainkan peran sebagai hakim, guru dan tabib, mengumpulkan sedekah untuk diberikan kepada kaum yang kurang beruntung dan pembangunan masjid, serta menangani urusan pembiayaan lokal. Ketiga jenis organisasi adat ini didukung dengan teori local self governance untuk menyediakan dan menyalurkan barang publik.

(11)

Konstruksi peran kelembagaan adat dan non adat di daerah pedesaan Afghanistan dapat digambarkan sebagai berikut:13

13 Hasil anotasi jurnal pada mata kuliah analisis kebijakan ekonomi politik di Program

Pascasarjana Magister Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana

Gambar 1. Konstruksi Peran Kelembagaan Adat dan Non Adat

Peran organisasi adat dan non adat di pedesaan Afghanistan dalam aras politik lokal

Pemimpin agama dalam masyarakat

Membantu membahas penyelesaian suatu perselisihan dalam keluarga atau masalah pribadi lainnya

Pemimpin spiritual tradisional yang memainkan peran sebagai hakim, guru dan tabib. Mengumpulkan sedekah untuk

diberikan kepada kaum yang kurang beruntung dan bagi pembangunan masjid Menangani urusan pembiayaan

lokal

Kesimpulan:

1.Organisasi adat merupakan lembaga informal yang concern dalam hal penyaluran sumberdaya atau barang publik kepada masyarakat di pedesaan Afghanistan.

2.Adanya peran politik lokal pasca konflik yang mendukung proses pembangunan di Afghanistan. 3.Organisasi adat memiliki peran produktif dalam pembangunan negara.

4.Organisasi adat tetap eksis di kawasan pedesaan Afghanistan walaupun telah masuknya organisasi non adat.

5.Organisasi adat masih sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga sangat dimungkinkan kerjadinya korupsi, kroni kapitalisme dan sebagainya

Perwakilan komunitas dalam institusi pemerintahan formal Menyampaikan aspirasi masyarakat

kepada pemerintah (Jembatan antara masyarakat dan pemerintah). Dirancang untuk melayani

penyaluran barang dan jasa

menjalankan tata kelola dan penyaluran barang publik lokal dengan baik

Adanya peran produktif dari organisasi untuk menyediakan barang publik

(12)

Sistem Ekonomi Jasa

Sosrodihardjo (1987 : 91 – 92) menyebut sistem ekonomi jasa mempunyai pengaruh yang besar terhadap pola hubungan antarwarga masyarakat. Tukar menukar jasa harus selalu dilakukan secara tatap muka. Pemberi jasa harus berhubungan secara langsung dengan pihak penerima, sedangkan dalam sistem ekonomi uang tidak perlu saling mengenal dan tidak perlu berhubungan secara langsung. Hubungan tatap muka dalam sistem ekonomi jasa mengakibatkan adanya hubungan yang subyektif, artinya ditujukan kepada subyeknya. Sedangkan hubungan dalam sistem ekonomi uang dapat menghasilkan hubungan yang obyektif, ditujukan kepada obyek yang diperjual belikan dengan menyisihkan subyektivitas dan emosi. M aka sifat hubungan dalam ekonomi jasa tercampur dengan emosi, tetapi ekonomi uang dapat rasional, bahkan dengan menyisihkan rasa perikemanusiaan.

Perilaku Ekonomi

Ekonom neoklasik menyebut manusia sebagai agen rasional yang dalam aktivitas ekonominya berorientasi untuk memaksimalkan kegunaan atau kebahagiaan. Sifat rasional ini mempunyai ciri seperti (1) memperhitungkan untung-rugi; (2) mementingkan keuntungan diri sendiri dan (3) memberikan hasil yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya.14

Konsep ketiga di atas sangat kurang tepat. Secara tidak sadar kesalahan konsep mempunyai dampak yang cukup dalam. Yuwono (2013: i) menyebut pengorbanan terkecil adalah nol, sehingga rumusan isi hukum ekonomi bermakna mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya tanpa pengorbanan, sehingga dalam kehidupan sehari-hari seringkali terjadi tindakan yang tidak etis seperti korupsi, suap-menyuap dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan pandangan Gandhi yang menegaskan bahwa terdapat tujuh dosa sosial yang paling

14 http://sharingtheory.blogspot.com/2009/06/teori-perilaku-ekonomi.html, Diunduh

(13)

mematikan yaitu: (1) wealth without work; (2) pleasure without conscience; (3) knowledge without character; (4) commerce (bussiness) without morality; (5) science without humanity; (6) religion without sacrifice dan (7) politics without principle.15

Untuk meluruskan banalitas (kesalah-kaprahan) ini, maka Yuwono menyebut optimisasi menjadi kata kunci bagi individu dalam setiap perilaku ekonominya, bukan dicapai tanpa pengorbanan sama sekali. Optimisasi hanya dapat dilakukan dengan memilih dengan dengan tepat satu dari berbagai pilihan berdasarkan kaidah-kaidah yang bernalar, tanpa meninggalkan etika. Etika merupakan suatu kondisi yang inherent dalam setiap keputusan berperilaku ekonomi secara benar. Dengan kata lain, dalam setiap berperilaku ekonomi selalu diatur oleh norma-norma atau nilai-nilai yang dianut.

Sejalan dengan pemikiran Yuwono (2013), Frank Knight menyebut manusia tidak didorong semata-mata oleh hasrat, tetapi mereka merealisasikan atau memanifestasikan nilai-nilai tertentu dan oleh Knight memasukan nilai sebagai elemen normatif. Dengan kata lain, dalam memilihpun manusia akan selalu diperhadapkan dengan value judgement (keputusan nilai) atau valuation (penilaian).16

Perilaku Sosial

Parsons (1968) menyebut perilaku atau tindakan mengandaikan adanya kesatuan antara bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Kesatuan antara bagian itu pada umumya mempunyai tujuan tertentu. Dengan kata lain, bagian-bagian ini membentuk satu kesatuan (sistem) demi tercapainya tujuan atau maksud tertentu.17

15 Covey (dalam Kameo, 2013)

16 http://sharingtheory.blogspot.com/2009/06/teori-perilaku-ekonomi.html, diunduh

tanggal 21 November 2014

17 http://perilakuorganisasi.com/talcott-parsons-teori-struktur-fungsional.html,

(14)

Parsons (1968) dalam Haryati (2014 : 70) menyebut perilaku sosial dipengaruhi oleh beberapa hal seperti yang diejawantahkan dalam formulasi sebagai berikut:

A = S + M + I

Keterangan:

A : action (tindakan atau perilaku)

S : situation (situasi yang berhubungan langsung dengan perilaku) M : motivation (motivasi)

I : ideal (norma)

Formulasi di atas menunjukkan bahwa perilaku sosial secara agregat dibentuk oleh tujuan, situasi, dorongan dan norma. Begitu pula dengan orang M batakapidu, jika kita ingin mengetahui rangka (frame) pengalaman masyarakat, maka kita harus melihat kolektivitas yang secara agregat dari pengalaman nenek moyang penduduk yang sampai saat ini mendiami desa.

(15)

sebagaimana halnya dengan tipe reaktif imitasi, terletak di perbatasan atau kadang-kadang melintasi perilaku berorientasi yang mempunyai arti. Perilaku yang berkaitan dengan nilai berbeda dengan perilaku afektif. Dasar perbedaannya adalah formulasi yang sadar terhadap nilai-nilai yang menguasai perilaku dan orientasi terencana yang konsisten pada nilai-nilai tersebut. Namun kedua hal itu mempunyai persamaan yakni perilaku tidaklah terletak pada pencapaian tujuan tertentu. Akan tetapi, keterlibatan dalam perilaku tertentu demi perilaku itu.18

Perilaku Lingkungan

Shumacher19 (1979) menyebut kemakmuran sering dicapai

dengan cara-cara yang bertentangan dengan nilai dan norma seperti keserakahan, iri hati dan sebagainya. Dengan kata lain, dalam menjalani kehidupannya maka manusia cenderung mengabaikan kearifan (wisdom). Dari sisi ekonomi, kearifan berarti kelestarian. Artinya penggunaan teknologi seharusnya tidak meracuni lingkungan. Pertanyaannya apakah memang hal ini telah sesuai dengan yang

diharapkan? Rasanya hal tersebut sangat sulit untuk

diimplementasikan. Kearifan memungkinkan kita untuk tidak mengejar kepentingan-kepentingan material dan lebih cenderung untuk mengejar tujuan spiritual.

Nilai moral dan spiritual dalam perkembangan ilmu ekonomi adalah bagian dari mereduksi sifat serakah (greed) yang bisa menghancurkan manusia itu sendiri. Apabila manusia terus menuruti keserakahannya dan memandang bahwa alam memang diciptakan untuk dikuasai maka alam akan terus mengalami degradasi dan sangat sulit untuk dilakukan recovery. M anusia yang merasa telah menguasai

18 http://antropnesia.blogspot.com/2012/02/teori-perilaku-dari-max-weber.html,

Diunduh tanggal 20 November 2014

19 Cendekiawan ekonomi berkebangsaan Jerman yang merupakan penggagas dari

(16)

alam dan menimbulkan kerusakan berarti secara tidak sadar menghancurkan diri sendiri karena manusia itu merupakan bagian dari alam. Oleh karena itu, kesadaran moral merupakan pionir dalam mendamaikan kekacauan yang telah dan akan terus terjadi.

Prinsip-prinsip kesederhanaan, kearifan dan segala hal berbau spiritual memang nampaknya sulit dimasukkan dalam kajian ekonomi. Namun, kita perlu merenung kembali ajaran Gandhi tentang semangat “swadesi”20. Dengan kata lain, menjadi negara dengan pertumbuhan

ekonomi yang rendah bukan berarti akan selalu berada dalam kondisi terbelakang dan selalu bergantung kepada negara lain. Namun, hal yang paling penting adalah sejauhmana impak dari pertumbuhan tersebut dapat dirasakan oleh seluruh lapisan rakyat atau tanpa adanya diskriminasi. Hal inilah yang disebut Schumacher sebagai konsep dari kebahagiaan (happiness).

Hadirnya modernisasi mengisyaratkan bahwa setiap negara harus melakukan spesialisasi produksi sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Karl M arx merupakan salah seorang pemikir yang dianggap oleh banyak kalangan telah tergelincir kedalam sebuah kesalahan yang besar ketika dia merumuskan apa yang disebut dengan teori nilai tenaga kerja. Teori ini memandang bahwa modal sebagian besar hanya dihasilkan oleh manusia (contoh: alat-alat modern yang dapat membantu kegiatan produksi manusia), sedangkan M arx lupa bahwa sebenarnya yang jauh lebih penting adalah dengan melihat alam sebagai sumber modal. Hasil dari alam cenderung dihabiskan dengan kecepatan yang sangat tinggi dan semakin mengkhawatirkan.21 Kehadiran teori inipun sampai saat ini masih

menjadi perdebatan diantara banyak kalangan.

Salah satu pemikir yang pernah mengkritik M arx adalah Schumacher. Salah satu isu penting yang dikritik oleh Schumacher bahwa M arx di dalam teorinya cenderung melakukan pengabaian terhadap keberlanjutan alam. Kesalahan utama M arx yaitu karena dia

20 Kemandirian

21 E.F. Schumacher, “Kecil itu indah: ilmu ekonomi yang mementingkan rakyat kecil”

(17)

menganggap bahan bakar fosil sebagai sumber pendapatan, namun sebenarnya elemen tersebut sejatinya merupakan bentuk dari modal. Alasan fundamentalnya adalah jika manusia memandang dan memperlakukan bahan bakar fosil sebagai bagian dari modal alam maka manusia akan menjadi lebih bijak dan cenderung melakukan penghematan terhadap penggunaan bahan bakar fosil.

Dalam menjalani kehidupan maka tentunya manusia akan selalu dihampiri dengan berbagai pertanyaan dialektis yang sebenarnya membuat manusia semakin menjadi lebih bijak. Pertanyaan-pertanyaan yang sejatinya harus menjadi bahan perenungan manusia antara lain apakah sumber daya yang bersifat non-renewable hanya boleh kita gunakan dalam jumlah yang sedikit? Apakah sumber daya yang bersifat non-renewable sama sekali tidak boleh kita gunakan? Berapakah jumlah ideal dari sumber daya yang bersifat non-renewable yang harus kita gunakan? Apakah sumber daya yang bersifat renewable boleh kita gunakan dalam jumlah yang banyak? Apakah sumber daya yang bersifat renewable sama sekali tidak boleh kita gunakan? Berapakah jumlah ideal dari sumber daya yang bersifat renewable yang harus kita gunakan? Berapakah jumlah sumber daya (non-renewable maupun renewable) yang harus kita simpan? Dimanakah batasan antara needs dan wants?.

M asalah pembangunan memang merupakan persoalan pilihan. Dalam pilihan diandaikan ada kebebasan, sehingga pembangunan merupakan persoalan etis. Oleh karena pembangunan merupakan persoalan etis maka kita perlu mempertahankan dan menjaga kelestarian lingkungan dalam menjalankan kegiatan ekonomi (environment preserve for sustainable development).

Kritik Terhadap Tesis M endeville

(18)

setelah menjadi komunitas yang bermoral. Dalam edisi kedua yang populer, M endeville mendeskripsikan sebuah masyarakat yang makmur, di mana semua warga negaranya memutuskan untuk mening-galkan kemewahan, pengeluaran dan menangmening-galkan senjata. Hasilnya adalah timbul depresi, ambruknya perdagangan dan rusaknya perumahan.

Tulisan M endeville menunjukkan bahwa keserakahan,

kemewahan dan ketamakan akan membawa publik menuju pada

kemakmuran. Artinya jika moment kejahatan itu hilang maka

masyarakat pasti rusak atau bahkan bisa lenyap sepenuhnya. Jadi, dalam paradoks M endeville ini tersirat makna bahwa mengejar kepentingan diri sendiri akan menciptakan kebaikan sosial.

Friedrich Hayek dan John M aynard Keynes menyetujui dongeng dari M endeville. Hayek (1984: 184 - 185, dalam Skousen 2006 : 45) menyebut bahwa melalui M endeville inilah Adam Smith mendapatkan pandangan tentang pembagian kerja, kepentingan diri, kebebasan ekonomi dan ide tentang konsekuensi yang tidak diharapkan. Keynes (1973: 358-361, dalam Skousen 2006: 45) juga setuju dengan pandangan M endeville tentang sentimen anti-penghematan dan tekanan statis untuk memastikan terciptanya lapangan kerja dalam masyarakat.

Dalam tulisannya yang berjudul The Theory Of M oral

Sentiments, Smith (1759 : 308 - 310, dalam Skousen 2006 : 46) tidak menyetujui pandangan M endeville. Smith menyebut karya M endeville sebagai pandangan yang sepenuhnya merusak dan tesisnya sangat keliru. Smith tidak setuju dengan pandangan yang menyatakan bahwa kemajuan ekonomi bisa dicapai melalui keserakahan, ketamakan dan cinta diri tanpa kendali, sehingga Smith mengecam M endeville karena tampaknya dia tidak bisa membedakan antara yang baik dan jahat.

Kritik Terhadap Tesis W eber

(19)

penyebab utama kemajuan ekonomi yang pesat pada beberapa negara di Eropa dan Amerika Serikat adalah apa yang disebut sebagai etika protestan. Etika protestan menjadi sebuah konsep umum yang tidak dihubungkan lagi dengan agama protestan itu sendiri. Konsep tersebut menjadi sebuah nilai tentang kerja keras tanpa pamrih untuk mencapai sukses.

Tesis W eber yang memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi hingga saat ini masih menimbulkan perdebatan. Tesisnya dipertentangkan dengan teori M arx tentang kapitalisme, dasar asumsinya dipersoalkan dan ketepatan interpretasinya digugat. Samuelsson menyebut bahwa dari penelitian sejarah, tidak bisa diketemukan dukungan untuk teori W eber tentang kesejajaran doktrin protestanisme dengan kapitalisme dan konsep tentang korelasi antara agama dan tingkah laku ekonomis.22

Tentu saja penolakan ini tidaklah terpisah dari pilihan bukti historis yang masing-masing dipakai oleh W eber dan Samuelsson terhadap tanggapan mereka tentang doktrin protestan (khususnya Calvinis yang puritan), yang dianggap oleh W eber memainkan peranan penting. Perbedaan pokok ialah pada keinginan W eber untuk membuat suatu kerangka konseptual, yang diambil dari pengalaman sejarah untuk menerangkan suatu gejala historis dan sosiologis yang sampai saat ini dikenal dengan kapitalisme modern, sedangkan Samuelsson lebih berusaha melukiskan peristiwa sejarah dari sudut logika peristiwa sendiri.23

M emang perdebatan historis merupakan darah daging dari penulisan sejarah. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa serta merta bangkit pula para pembela W eber, yang bukan saja meragukan ketepatan pilihan bukti historis dan interpretasi Samuelsson, tetapi juga meragukan kemampuannya untuk memahami W eber dengan tepat. Bahkan Bellah menjadikan buku Samuelsson sebagai salah satu

22 Taufik Abdullah, “Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi” (Jakarta: LP3ES,

1979) hal. 4

(20)

contoh dari tetap pentingnya tesis W eber, menyebut penolakan Samuelsson sebagai sebuah bentuk permusuhan yang irrasional.24

Penolakan terhadap tesis W eber pun tidak juga berhenti. Lenski seorang peneliti katolik terkemuka yang meneliti tentang faktor agama dalam kehidupan sosial, menyebut bahwa masalah etika protestan sudah waktunya memperoleh moratorium. Namun, W eber tetap konsisten dengan asumsinya bahwa rasionalitas adalah unsur pokok yang menyebabkan peradaban barat mempunyai arti dan pengaruh yang universal. Dalam kegiatan ekonomi, dapat dilihat bahwa banyak peradaban dalam sejarah mengenal apa artinya mencari keuntungan, tetapi hanya di dunia barat-lah pencarian keuntungan itu diselenggarakan dalam kerangka organisasi yang diatur secara rasional. Inilah akar utama dari sistem kapitalisme, yang mewujudkan diri dalam sistem perilaku ekonomis.25

Keberatan terhadap tesis W eber dari sudut historis juga diajukan oleh Tawney yang menyebutkan bahwa jika masalahnya adalah soal panggilan, bukanlah ini merupakan suatu pertimbagan pribadi? Jika demikian, maka di mana harus dicari pertautan pribadi dengan masyarakat dalam hal sistem tindakan? Para teolog kristen mengajukan keberatan terhadap interpretasi W eber mengenai doktrin protestan. Dengan tegas mereka menyatakan bahwa ajaran-ajaran dari para teolog yang disebut W eber sama sekali tidak mengarahkannya untuk kepentingan ekonomi. Tidak ada yang lebih jauh dari pikiran Calvin dan pengikut-pengikutnya selain dari usaha mencari pemenuhan materialistis.26

Terhadap kritik di atas, W eber mengajukan jawaban bahwa yang dicarinya ialah kemungkinan adanya hubungan antara beberapa fenomena. Dalam hal ini, W eber hanya memperhatikan fenomena yang secara teoritis dapat dianggap memiliki kaitan atau interaksi. Jadi, sifatnya mencari kemungkinan (probabilistic) dan bukan langsung mencari kaitan fungsional, yang menentukan fungsi bagian-bagian dari

24 Abdullah, I bid., hal. 5-6

(21)

suatu sistem. Seorang ahli sosiologi menyebutnya elementaristic dalam arti bahwa W eber hanya mereduksi permasalahan, padahal yang paling pokok ialah panggilan.27

Kritik-kritik di atas umumnya bertolak dari tradisi ilmiah yang sama, hanya saja mereka tidak menemukan kesesuaian dengan tesis tersebut. Oleh karena itu, pengikut W eber mencoba memperlihatkan aspek lain dari tesis W eber dengan mengatakan bahwa para pengeritik lupa bahwa sebenarnya W eber ingin memperlihatkan masalah transformasi struktural. Pokok utama persoalannya ialah pada hal dinamika sosial itu sendiri dan faktor-faktor yang menyebabkannya. Dengan kata lain, hal ini menyangkut apa yang pernah disebut oleh Parsons sebagai breakthrough atau keterlepasan dari ikatan lama. Jadi, bukan sekedar soal ada atau tidaknya kemungkinan hubungan kausal antara doktrin agama dan tindakan ekonomi.28

M alah lebih dari pada itu, betapa pun sesungguhnya isi dan maksud dari suatu nilai atau norma, tesis W eber secara implisit menyebutkan bahwa tindakan yang muncul dapat sama sekali berbeda dari dasar norma itu. Artinya sangat terbatasnya pengaruh ide, cita atau pikiran dalam menentukan sistem tindakan (system of action).29

Kesimpulannya adalah W eber menekankan pada peranan sekte yang berfungsi sebagai indikator dari status serta mekanisme pengawasan terhadap sikap moral, sehingga sebenarnya memang hubungan etika protestan dengan semangat kapitalisme tidak telepas dari pembaharuan sebagai konsekuensi logis dari diferensiasi yang terjadi. Hal inilah yang disadari oleh Geertz tentang adanya perbedaan (variant) dalam penghayatan agama, seperti di M ojokuto atau status seperti di Tabanan. Geertz melihat adanya unsur semangat kapitalisme dalam arti tekun, hemat dan berperhitungan (ajaran Calvin atau Calvinist). Akan tetapi, hal ini tidak didukung oleh kemampuan organisasi yang baik.30

27 Abdullah, I bid., hal. 12

(22)

Ketidakmampuan organisasi dan tidak adanya corporateness, solidaritas kekaryaan juga dilihat oleh Siegel di Aceh. Ia melihat bahwa aktivitas dagang dibimbing oleh moral dari pedagang itu sendiri dan tidak harus ditentukan oleh ikatan agama. Hubungan dalam usaha dagang bukanlah hubungan antar usaha, tetapi antar pribadi. Demikian halnya dengan kepemimpinan dalam usaha, tidak ada hubungan antara majikan dan pegawai, yang ada hanyalah hubungan induk semang dengan anak semang yang sifatnya pribadi. Jadi, tidak seperti etika protestan yang menyumbang bagi peneguhan semangat kapitalisme, yang rasional dan berperhitungan, maka di Aceh yang muncul adalah perhitungan dagang di satu pihak dan pandangan terhadap manusia di pihak lain. Di mana keduanya dibimbing oleh logikanya masing-masing.31

Siegel memang lebih memperhatikan sikap pribadi dalam kegiatan ekonomi, sedangkan Geertz mencoba menangkap situasi rohaniah yang mewarnai kegiatan ekonomi dan kemudian mencoba menghubungkannya dengan kegiatan ekonomi. Keduanya melihat kelemahan organisasi sebagai penghalang utama peningkatan kemampuan ekonomi dari santri Jawa dan pedagang Aceh.32

Kearifan Lokal

Quaritch W ales (dalam Ayatrohaedi, 1986) menyebut kearifan lokal (local wisdom), yang dalam disiplin antropologi dikenal dengan istilah local genius. Haryati Soebadio (dalam Ayatrohaedi, 1986 : 18 - 19) menyebut local genius adalah juga cultural identity, identitas atau kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri.

M oendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986: 40 - 41) menyebut unsur budaya daerah berpotensial sebagai local genius karena telah

31 Abdullah, I bid., hal. 34-35

(23)

teruji kemampuannya untuk bertahan sampai saat ini. Ciri-ciri kearifan lokal atau local genius tersebut yaitu (1) mampu bertahan terhadap budaya luar; (2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; (3) mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli; (4) mempunyai kemampuan mengendalikan dan (5) mampu memberi arah pada perkembangan budaya.

Sibarani (2012 : 112 - 113) menyebut kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Kearifan lokal juga dapat didefinisikan sebagai nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana. Artinya karifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup karena kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai.

(24)

Ataupah (2004) menyebut kearifan lokal bersifat historis tetapi positif. Nilai-nilai diambil oleh leluhur dan kemudian diwariskan secara lisan kepada generasi berikutnya lalu oleh ahli warisnya tidak menerimanya secara pasif dapat menambah atau mengurangi dan diolah, sehingga apa yang disebut kearifan itu berlaku secara situasional dan tidak dapat dilepaskan dari sistem lingkungan hidup atau sistem ekologi yang harus dihadapi orang-orang yang memahami dan melaksanakan kearifan itu.

Pembangunan Berkelanjutan

Dewasa ini kita diperhadapkan dengan banyak persoalan dan pandangan yang sangat paradoksal. Pada satu sisi, kita merayakan banyak kemajuan ekonomi, sosial dan budaya khususnya di berbagai belahan dunia yang melakukan pembangunan selama bertahun-tahun, di sini kemiskinan bisa dikurangi secara signifikan. Namun, kita juga diperhadapkan dengan banyak gugatan atas berbagai usaha pembangunan yang bertahun-tahun telah menjadi sebuah ideologi, seperti laporan tentang kemiskinan, gizi buruk, ketimpangan, lingkungan dan sebagainya yang terus menghiasi surat kabar maupun jurnal. Dari persoalan inilah yang memaksa manusia untuk berpikir mengenai gagasan pembangunan berkelanjutan yang berangkat dari berbagai fenomena yang telah terjadi.33

Sen dalam diskusinya tentang pembangunan jauh lebih luas, karena mempersoalkan definisi pembangunan klasik yang cenderung mengejar pertumbuhan dan semata-mata untuk pemenuhan kebutuhan material masyarakat, sedangkan rumusan Sen tentang pembangunan berkelanjutan sampai menyentuh dimensi sosial dan politik. Dalam development as freedom, Sen (1993 : 3) menyebut pembangunan dapat dilihat dari berbagai perluasan kemerdekaan sejati yang dihadapi oleh masyarakat (development can be seen as a process of expending the real freedoms that enjoy people). Pandangan ini pada hakikatnya mengarah kepada kebebasan politik,

(25)

kesempatan ekonomi, peluang-peluang sosial, jaminan keterbukaan dan perlindungan keamanan.34

Pada zaman pencerahan, Shiva menyebut pembangunan berkelanjutan berpusat pada kesucian dua kategori yaitu ilmu pengetahuan modern dan pembangunan ekonomi.35 Definisi ini ingin

mengingatkan kita bahwa kedua kategori ini merupakan akar penyebab dari begitu banyaknya persoalan kehidupan manusia dan lingkungan.

Dari kedua pandangan tersebut tergambar bahwa pembangunan berkelanjutan sejatinya tidak bersifat mikro, namun lebih bersifat makro yang menyentuh berbagai aspek kehidupan dan bersifat komprehensif, sehingga Pembangunan yang sejati adalah proses menuju pada kebebasan dan lebih bertanggungjawab. Artinya pembangunan tidak hanya untuk segelintir orang saja, tetapi harus dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat di desa M batakapidu yang masih hidup dalam tatanan nilai-nilai lokal tradisonal.

Definisi Kerja

Ritus seperti hamayangu sebagai ancestor worship merupakan sebuah pengalaman religius mengenai interaksi antara orang M batakapidu dengan leluhur. Dalam penelitian ini, penulis melakukan observasi terkait dengan ritus yang masih dilakukan oleh orang M batakapidu sebagai entry point. Dari interaksi tersebut terakumulasi berbagai pengalaman yang dijadikan sebagai sumber pengetahuan oleh orang M batakapidu yang diturunkan dari generasi ke generasi. M elihat hal ini, membuat penulis memilih KAP (knowledge, attitude, and practice) study sebagai penuntun untuk dapat masuk ke dalam dunia36

34 W inarno, I bid., hal. 46

35 W inarno, I bid., hal. 138

36 I stilah dunia yang dimaksud ini sama dengan pendapat Kana (1983 : 9) yang

(26)

orang M batakapidu. Artinya pengetahuan (knowledge), sikap atau attitude (keyakinan, kepedulian dan kepercayaan) orang M batakapidu

akan membimbing perilaku (practice) yang dicerminkan dalam

kehidupan ekonomi, sosial dan lingkungan. Perilaku inilah yang akan

bermuara pada pembangunan berkelanjutan (sustainable

development). Argumentasi tersebut penulis gambarkan dalam sebuah skema definisi kerja (working definition) seperti di bawah ini:

hidup (termasuk aktivitas dan hasil aktivitas), lingkungan kemasyarakatan serta dunia gaib sebagai suatu keseluruhan yang teratur dan lengkap.

Tidak dikaji secara mendalam Dikaji secara mendalam

Gambar 2. Definisi Kerja (working definition) Marapu

Sang Pencipta

Manusia

Pengalaman Orang Mbatakapidu KAP study

Knowledge Attitude Practice

Ritus-ritus 1. Relasi antara orang Mbatakapidu dengan program pemerintah dan LSM

2. Hubungan Kekerabatan 3. Dinamika Organisasi Warga 4. Dinamika Kelembagaan Adat 1. Berladang

2. Berternak 3. Berdagang 4. Investasi

1. Menjaga mata air 2. Menjaga padang

rumput

Pembangunan Berkelanjutan

Interaksi Orang Mbatakapidu dengan

Gambar

Gambar 1. Konstruksi Peran Kelembagaan Adat dan Non Adat
Gambar 2. Definisi Kerja (working definition)

Referensi

Dokumen terkait

28 tahun 2007 tercantum dalam pasal I (25) tentang ketentuan dan tata cara perpajakan menyatakan bahwa pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur

2 Penulis melihat bahwa bahasa Indonesia yang mulai berkembang peminatnya di negara Ustralia merupakan suatu topik yang mnearik untuk dibahas, mengingat bahasa Indonesia

 Hak istimewa orang Melayu,Islam sebagai agama persekutuan dan Bahasa Melayu diterima sebagai bahasa kebangsaan menjadi prasyarat penerimaan hak kewarganegaraan oleh etnik

Pokja ULP Kegiatan Pembangunan gedung kantor Pekerjaan Pengawas Pembanguan Gedung DPU Kota Tegal Pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Tegal akan melaksanakan Seleksi Sederhana

Jika email Anda tidak divalidasi dan tampilan date Anda secara kalender tidak jalan, Anda harus menjalankannya pada browser Chrome terbaru. </p> </body>

Pada makalah ini akan dibahas beberapa hal mengenai hubungan hubungan internasional yang meliputi hal hal yang melatarbelakangi timbulnya hubungan internasional, kebijakan

Pembahasan Untuk mempermudah dalam memahami soal, kita dapat membuat tabel untuk merangkum informasi yang diberikan oleh soal.. Selanjutnya kita gambarkan daerah selesaian

Kelompok Kerja Pengadaan Barang/Jasa pada pekerjaan Pengadaan Meja Rapat Pejabat dan Pengadaan Meja Kerja Pejabat di Sekretariat DPRD Kota Tegal akan melaksanakan