• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Budaya Sasi: Perlawanan Negara dan Masyarakat terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam T2 092009110 BAB VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Budaya Sasi: Perlawanan Negara dan Masyarakat terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam T2 092009110 BAB VI"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

109

Kearifan Lokal, Usaha

Konservasi SDA,

Perlawanan Negara dan

Masyarakat dalam Wujud

Budaya Sasi

Pengantar

Melindungi dan menjaga sumber daya alam sebagai modal dari pembangunan yang berkelanjutan adalah sebuah keharusan. Sebab tanpa sumber daya alam tentu tidak akan pernah ada yang namanya pembangunan. Berbagai cara dapat dilakukan untuk melindungi sumber daya alam yang dimiliki sebuah daerah.

(2)

110

tahun 2013.82 Ini berarti pertambahan penduduk tentu akan

berdampak pada meningkatnya konsumsi sumber daya alam. Ketika sumber daya alam yang dipergunakan sebagai konsumsi tanpa ada pemberdayaan dan pemeliharaan dapat dipastikan semakin bertambah jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber daya alam. Selain itu, meningkatnya pengunjung wisatawan yang berkunjung ke Raja Ampat menambah daftar ancaman terhadap kerusakan lingkungan oleh pariwisata. Penulis bersepakat bahwa dunia pariwisata adalah salah satu cara meningkatkan kualitas hidup ekonomi masyarakat, tetapi itu bukan berarti bahwa efek negatif dari pariwisata menjadi tidak ada. Ketut Gede Dharma Putra (2006) dalam sebuah tulisannya

mengungkapkan :83

“Keramaian wisatawan memberikan dampak kepada perubahan perilaku binatang yang ditunjukkan dengan tingkah agresif yang seringkali membahayakan. Pembangunan fasilitas kepariwisataan (akomodasi, dan sarana penunjang lainnya), selain menyebabkan kerusakan bentang alam, potensi peningkatan longsor dan banjir, ternyata memunculkan daerah-daerah kumuh di sekitarnya. Hal ini sebagai akibat datangnya pencari kerja yang tidak memiliki keterampilan yang terjebak dengan mimpinya tentang keindahan dunia gemerlap pariwisata. Namun, setelah sadar dengan kesukaran lapangan kerja tidak berani pulang karena malu. Akhirnya mereka menyambung hidup dengan tinggal di daerah kumuh dan terperangkap dengan pekerjaan yang amoral.

Dibutuhkan sebuah pengelolaan pariwisata oleh pemerintah yang bertanggungjawab untuk menjawab semua tantangan ini. Tidak hanya itu saja, masyarakat pun dituntut juga untuk mengambil peran serta dalam menjawab tantangan ini. Arus jumlah wisatawan di Raja Ampat dalam 2 tahun belakangan ini meningkat sangat drastis. Dari catatan BPS Kabupaten Raja Ampat, dari tahun 2011-2013, jumlah

82 Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat, 2014.“Statistik Daerah Kabupaten

Raja Ampat 2014”, Hal. 7, BPS Kabupaten, Raja Ampat.

(3)

111 wisatawan yang datang ke Raja Ampat meningkat sebanyak 3.884 wisatawan. Dengan data dasar jumlah wisatawan pada tahun 2011 berjumlah 7.253 wisatawan dan pada tahun 2013 bertambah menjadi 11.137 wisatawan. Maka ancaman terhadap kerusakan lingkungan juga akan berpotensi semakin besar.

Tidak hanya itu saja, seperti yang telah penulis ungkapkan dalam bab sebelumnya tentang bagaimana perilaku nelayan dari luar Raja Ampat, dan juga nelayan lokal, yang menangkap ikan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan juga menjadi persoalan serius. Bom ikan, akar bore, pukat harimau, dan semua jenis cara tangkap ikan yang mengabaikan ekosistem lingkungan adalah ancaman yang serius dihadapi Raja Ampat.

Lalu apakah yang seharusnya dilakukan masyarakat dan pemerintah untuk menghadapi tantangan dan ancaman ini? Pada bab sebelumnya, penulis telah memaparkan tentang temuan penelitian lapangan yang berlangsung di kampung Warsambin, distrik Teluk Mayalibit, kabupaten Raja Ampat tentang bagaimana budaya sasi dilaksanakan. Budaya sasi yang dilakukan oleh masyarakat adalah salah satu cara untuk memproteksi sumber daya alam yang mereka miliki. Dan pada bab ini, penulis akan melakukan analisa dan pembahasan terhadap objek penelitian (budaya sasi) dengan memakai teori yang sudah tersampaikan pada bab II.

Budaya Sasi, Kearifan Lokal Masyarakat Kampung

Warsambin

Jika merujuk pada sejarah bagaimana budaya sasi bisa dilakukan oleh masyarakat di kampung Warsambin, tidak ada informasi yang sangat akurat untuk menjawab kapan sasi mulai pertama dilakukan. Yang dapat diketahui tentang budaya sasi adalah jauh sebelum istilah itu digunakan masyarakat kampung Warsambin

sudah memiliki budaya yang sama dengan sasi yaitu kabus. Kehadiran

gereja menjadi salah satu faktor terjadinya pergantian istilah dari Kabus

(4)

112

Perubahan nama dari kabus menjadi sasi, bukan berarti sasi itu

bukan produk dari sebuah kearifan lokal. Ayatroheidi (1986) mengatakan salah satu ciri-ciri dari kearifan lokal adalah mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli.84 Dan ini juga terjadi dengan budaya sasi, dimana ada integrasi

nilai budaya sasi di Maluku ke dalam budaya kabus yang sudah dimiliki

oleh masyarakat kampung. Walaupun pada akhirnya nama yang digunakan adalah budaya sasi, tetapi pada beberapa tatanan pelaksanaan sasi dilakukan sesuai dengan kebiasaan adat di kampung Warsambin. Misalnya sesembahan yang disebut masyarakat dengan

kakes tetap dipakai dalam pelaksanaan sasi.

Budaya sasi dapat dikatakan sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat kampung Warsambin. Kehadiran budaya sasi yang ingin menjawab tantangan dan ancaman terhadap kerusakan lingkungan serta eksploitasi oleh nelayan dari luar Raja Ampat dan nelayan lokal sendiri. Budaya sasi yang dilakukan oleh masyarakat kampung Warsambin, juga dapat dikatakan sebagai usaha untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat dalam persoalan pemanfaataan sumber daya alam. Sehingga kemudian terciptanya keseimbangan kehidupan dengan alam, dimana masyarakat menjadi arif dan bijaksana untuk menggunakan hasil sumber daya alam. Itulah yang kemudian diutarakan oleh Sibarani (2012) tentang kearifan lokal, bahwa kearifan lokal juga dapat didefinisikan sebagai nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana.85

Sasi Hadir Ditengah Ancaman

Dalam bab V, penulis menyampaikan temuan di lapangan tentang bagaimana budaya sasi itu hadir dalam kehidupan

masyarakat Raja Ampat. Ketika kabus kemudian dihilangkan oleh

gereja dengan alasan sangat sarat dengan praktek penyembahan

(5)

113 berhala, bersamaan itu pula ancaman eksploitasi dan kerusakan ekosistem pun mulai terjadi.

Terbukanya sebuah daerah yang sebelumnya sudah di

kabus lalu kemudian terbuka dan bisa diakses oleh siapa saja, hal

ini menjadi „makanan empuk‟ bagi para nelayan yang berasal dari

sekitar Raja Ampat untuk mengeruk hasil alam yang ada, bahkan dengan cara tangkap ikan yang tidak ramah dengan lingkungan.

Itupun berlaku bagi daerah daratan, ketika kabus mulai

dihilangkan untuk sebuah wilayah hutan, maka saat itupula para penjarah kayu mulai menguras isi hutan dengan melakukan penebangan ilegal (Illegal logging).

Nah, ditengah kondisi inilah kemudian gereja bersama dengan masyarakat mulai berpikir kembali untuk bagaimana mampu menahan ancaman terhadap eksploitasi ini. Lahirlah sebuah kesadaran etis baru dalam gereja dan masyarakat untuk bertanggungjawab terhadap keberlangsungan sumber daya alam. Memberikan rasa hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta serta mengubah cara pandang

antroposentrisme ke cara pandang biosentrisme dan ekosentrisme,

adalah makna dibalik budaya sasi. Kesadaran baru inilah yang menurut Keraf (2002) yang melahirkan sebuah kearifan lokal (budaya sasi) yang berasal dari semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam

komunitas ekologis.86

Dengan kata lain bahwa sasi adalah sebuah kearifan lokal yang lahir di tengah-tengah ancaman eksploitasi dan kerusakan lingkungan. Lahir dengan sebuah kesadaran baru untuk melihat bahwa alam adalah bagian dari kehidupannya yang seharusnya dilindungi dan dijaga kelestariannya. Dan gereja pada saat itu merekonstruksi sebuah nilai-nilai baru dalam masyarakat dalam setiap ajaran kekristenan yaitu memandang alam sebagai sesama

(6)

114

ciptaan Tuhan yang sudah sepantasnya dihormati dan dihargai dengan perilaku menjaga dan melindungi alam. Pemahaman ini juga yang memperkokoh keberadaan budaya sasi sebagai kearifan lokal masyarakat di kampung Warsambin.

Budaya Sasi Riwayatmu Kini

Ketika berada di lapangan untuk mengumpulkan informasi dan data terkait dengan pelaksanaan budaya sasi. Kesulitan penulis saat itu adalah mencari narasumber-narasumber yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam menjelaskan tentang budaya sasi ini.

Sekalipun budaya sasi ini adalah kearifan lokal yang seharusnya bersifat historis dan terus diwariskan kepada generasi muda lewat tradisi lisan, ternyata itu tidak berlangsung maksimal di kampung Warsambin. Para pemuda di kampung ini hampir semua yang saya temui mengatakan bahwa mereka tidak bisa menjelaskan apa itu budaya sasi. Tapi mereka pernah tahu, bahwa di kampungnya tersebut ada sebuah budaya yang disebut sasi yang sering dilakukan oleh masyarakat pada jaman dahulu. Bahkan ada yang menolak untuk diwawancarai oleh karena benar-benar tidak mengetahui apa itu budaya sasi.

Menurut Ataupah (2004) seharusnya kearifan lokal yang bersifat historis itu, harus menjadi informasi penting dalam bentuk nilai-nilai yang ditanamkan kepada generasi selanjutnya dan tidak diterima secara pasif melainkan melakukan inovasi sehingga warisan tersebut akan menjawab persoalan dengan kontekstual. Namun berbeda dengan budaya sasi di kampung Warsambin ini, proses transfer informasi berlangsung sangat tidak maksimal.

Faktor lain yang membuat generasi muda di kampung Warsambin ini tidak mengetahui secara pasti apa itu budaya sasi, oleh karena sudah jarang sekali praktek sasi itu dilakukan oleh masyarakat. Terakhir masyarakat melakukan sasi pada tahun 2010 dalam deklarasi sasi Mon. Setelah diselenggarakan deklarasi sasi

(7)

115 bagaimana budaya sasi itu dilakukan. Namun tetap saja, hal-hal mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi budaya sasi itu, tidak pernah diketahui dan dipahami oleh generasi muda di kampung Warsambin.

Kesimpulan Sementara

Budaya sasi dalam sejarah perjalanannya di kampung Warsambin memang mengalami pasang surut. Di awal kehadirannya ingin mengatasi ancaman berupa eksploitasi dan kerusakan lingkungan oleh perilaku oknum yang melakukan penangkapan ikan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan dan oknum yang melakukan penebangan liar, sempat tidak mendapatkan perhatian serius oleh masyarakat. Ketidakseriusan dapat terlihat dari intensitas pelaksanaan budaya sasi yang semakin jarang dilakukan oleh masyarakat. Ditambah juga dengan ketidaktahuan generasi muda tentang apa itu budaya sasi dan pelaksanaannya. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat untuk menghidupkan kembali budaya sasi ini. Dikarenakan ancaman terhadap sumber daya alam berupa eksploitasi dan kerusakan lingkungan ternyata masih menjadi problem yang sama sampai hari ini.

Tetap menjadikan budaya sasi sebagai kearifan lokal yang harus dipertahankan serta juga diwariskan kepada generasi selanjutnya adalah cara yang paling tepat untuk melakukan perlindungan terhadap sumber daya alam di Raja Ampat, terlebih khusus di kampung Warsambin.

Budaya Sasi itu Konservasi Sumber Daya Alam

“Ade Edo, coba bapa tanya ko?” sergah Abraham Goram disela

-sela wawancara penulis bersama beliau. “Iya apa itu bapa?” jawab penulis. “Coba ade ko bayangkan, bapa kasih tugas ko pi ke

masyarakat di kampung. Dan bapa minta ko jelaskan ke mereka

tentang apa itu konservasi? Apa ade ko bilang ke mereka?” tanya

(8)

116

akan jelaskan ke mereka tentang konsep konservasi lebih dahulu. Bahwa konservasi itu adalah usaha untuk mengelola, melindungi, dan

mempergunakan sumber daya alam dengan arif dan bijaksana” jawab penulis dengan lancar. “Kira-kira kalo ade kasih penjelasan kayak

begitu dong paham atau tidak?” tanya Bambang selanjutnya. “Tra tau e

bapa, mungkin paham mungkin juga dong bingung” jawab penulis lalu

diikuti gelak tawa kami berdua yang memenuhi ruang meeting di

kantor Conservation International, perwakilan cabang Sorong. “Kalau

sa yang disuruh pergi ke masyarakat kampung untuk menjelaskan apa

itu konservasi, maka sa cuma bilang ke mereka kalau konservasi itu

budaya sasi” lanjut Bambang. Sejenak ruang meeting tersebut jadi senyap seketika. Penulis menatap tajam kepada nara sumber sambil

mengernyitkan dahi. “Sasi?” tanya kembali penulis kepada sosok yang

ada dihadapan penulis untuk memastikan apa yang baru saja penulis

dengarkan. “Iya budaya sasi, sasi yang sekarang ade datang mo lakukan

penelitian itu” jawab Bambang dengan suara penuh keyakinan sambil

menyunnggingkan senyuman yang khas.87

Seketika pikiran penulis pun mulai mencari-cari jawaban, bagaimanakah untuk menjelaskan tentang konservasi kepada masyarakat di kampung, cukup dengan menjawab konservasi itu

budaya sasi. “Ade ingat, untuk memberikan pemahaman kepada

masyarakat dikampung jang pake bahasa yang tinggi-tinggi atau

konsep yang dong tidak pernah ketahui. Cukup ade ambil contoh dari

sekitar kehidupan mereka saja sehari-hari itu justru lebih relevan dan

mudah dimengerti” lanjut Bambang.

Setelah penulis turun ke lapangan untuk mencari segala informasi tentang budaya sasi, penulis baru memahami mengapa jawaban yang diberikan Bambang Goram tentang konservasi sesederhana itu. Ya! Budaya sasi itulah konservasi.

(9)

117 Pengertian Sasi dan Konservasi Sumber Daya Alam

Dalam pengertiannya sasi adalah suatu bentuk larangan pengambilan sumber daya alam baik darat maupun laut dalam kurun waktu tertentu sehingga memungkinkan sumberdaya alam

dapat tumbuh, berkembang dan dilestarikan (Renjaan dkk, 2013).88

Sedangkan konservasi sumber daya alam menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengelolaan sumber daya alam (hayati) dengan pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan

meningkatkan kualitas nilai dan keragamannya.89

Berdasarkan kedua pengertian diatas, maka secara garis besar budaya sasi dan konservasi SDA sama-sama berbasis pada pemanfaatan dan pengelolaan SDA secara arif dan bijaksana. Kedua konsep diatas menekankan pada bagaimana menggunakan SDA yang dimiliki tanpa kehilangan sistem ketahanan sumber daya, dan memperhatikan keberlangsungan sumber daya tersebut. Hal ini juga berarti bahwa budaya sasi dan konservasi SDA secara bersama melawan perilaku eksploitatif terhadap SDA yang berdampak pada krisis SDA itu sendiri.

Budaya Sasi Mencapai Sasaran, Tujuan dan Manfaat Konservasi Jika kita mengamati pelaksanaan budaya sasi dan dampak yang ditimbulkan, maka kita akan menemukan bahwa keseluruhan budaya sasi itu sudah mencakup keseluruhan dari sasaran, tujuan dan manfaat konservasi itu sendiri. Secara sederhana dapat penulis katakan bahwa dengan melaksanakan budaya sasi sebetulnya masyarakat kampung Warsambin sudah melakukan aktifitas konservasi itu sendiri.

Misalnya dapat kita ambil contoh pada sasaran konservasi. Salah satu sasaran konservasi adalah menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan

(10)

118

teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan. Lewat pelaksanaan budaya sasi pun sasaran ini dapat tercapai. Berbicara tentang terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya ternyata dalam budaya sasi sangat terperhatikan. Pelarangan pengambilan sumber daya berdasarkan salah satu jenis biota adalah bagian dari upaya untuk memelihara keanekaragaman sumber genetik. Dengan adanya pelarangan ini, kita memberikan kesempatan bagi sumber genetik tersebut untuk bertumbuh dan kemudian bereproduksi, yang pada akhirnya perilaku ini justru meminimalisir kepunahan sumber genetik yang dimaksudkan.

Begitu pula jika kita memperhatikan makna dari tujuan dilaksanakan konservasi. Secara sederhana kita dapat melihat tujuan dari konservasi itu meliputi proteksi SDA, pemulihan terhadap kondisi yang mengancam produktifitas SDA, penentuan lokasi yang tepat guna dan integrasi sehingga pelaksanaan konservasi tidak mengabaikan kepentingan yang lainnya.

Tujuan dari konservasi ini termuat dan terakomodir dalam budaya sasi. Misalnya persoalan proteksi SDA, budaya sasi adalah cara tradisional yang digunakan masyarakat untuk melindungi SDA. Lewat sasi sebenarnya proteksi itu dapat berlangsung lebih kuat karena berangkat dari nilai budaya lokal, dan dengan sanksi yang lebih kuat, melihat masyarakat di kampung Warsambin adalah masyarakat tradisional yang terikat kuat dengan akar budaya. Dengan proteksi yang dilakukan budaya sasi terhadap salah satu sumber daya alam juga sekaligus terjadi pemulihan terhadap kondisi lingkungan yang bisa meningkatkan produktifitas SDA. Misalnya sasi taripang yang dilakukan oleh masyarakat Kalitoko di Distrik Tiplol Mayalibit, masyarakat merasakan bertambahnya jumlah produksi taripang selepas melakukan budaya

sasi. Jika melihat sasi Mon yang dilaksanakan oleh masyarakat

(11)

119 tidak. Namun lewat wawancara penulis pada Januari 2015, beberapa masyarakat mengutarakan bahwa memang sekarang hasil tangkapannya lumayan mudah dan tinggi, terlebih ketika mereka memancing pada wilayah di pinggiran yang di sasi.

Pemulihan kondisi terhadap produktifitas SDA ini juga nampak pada pemulihan terumbu karang. Budaya sasi yang menutup beberapa area laut sangat membantu proses pemulihan terumbu karang. Dan ini juga berdampak pada bertambahnya jumlah populasi ikan, sebab ekosistemnya yaitu terumbu karang yang semakin membaik. Walaupun untuk terumbu karang pulih dan baik kembali memakan waktu yang sangat panjang, tetapi jika budaya sasi dilakukan dengan rutin dan berkelanjutan maka sangat membantu proses pemulihan terumbu karang.

Selain itu, persoalan penentuan lokasi dan integrasi dalam konservasi ternyata berlaku juga dalam budaya sasi. Misalnya

pemilihan lokasi untuk sasi Mon. Awalnya alasan budaya, oleh

karena wilayah yang disasi masuk dalam wilayah adat masyarakat Ansan. Dan selaku salah satu pelopor serta penopang deklarasi sasi

Mon, LSM Conservation International juga mendukung wilayah yang diajukan oleh masyarakat sebagai wilayah sasi. Alasan dukungannya oleh karena wilayah yang dimaksud termasuk wilayah hutan mangrove pesisir, dimana wilayah ini memiliki ekosistem yang mendukung proses reproduksi ikan. Soal integrasi, pelaksanaan budaya sasi pun tidak mengabaikan/mengganggu kepentingan masyarakat dalam mata pencaharian. Sebab masih tetap ada wilayah yang dipergunakan oleh masyarakat sebagai lahan pencaharian. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi pemborosan atau eksploitasi terhadap sumber daya alam.

(12)

120

kesempatan bereproduksi sehingga terhindar dari segala macam bentuk ancaman kepunahan, sebab ada pengendalian dan pengaturan dalam soal pemanfaatan sumber daya alam.

Ada satu hal yang menurut penulis belum menjadi perhatian pemerintah dalam soal kontribusi kearifan lokal bagi kepariwisataan. Budaya sasi yang dilakukan oleh masyarakat kampung Warsambin sangat berpotensi sebagai salah satu objek wisata budaya. Dikepulauan Maluku seperti di Seram, sasi sudah menjadi salah satu destinasi wisata budaya yang sering didatangi para wisatawan. Sekalipun memang pelaksanaannya bersamaan pada saat tutup sasi yang mungkin dalam setahun hanya terjadi sekali atau dua kali tergantung berapa lamanya masyarakat melakukan tutup sasi tersebut. Tetapi ini sudah menjadi salah satu destinasi wisata baik bagi wisatawan lokal bahkan sampai internasional. Pemerintah Raja Ampat juga bisa melakukan hal yang serupa dalam rangka memperkenalkan potensi budaya daerah, sekaligus menjadi motivasi bagi masyarakat sendiri untuk terus menyelenggarakan sasi.

Budaya Sasi dan Konservasi Membutuhkan Peran Serta Masyarakat Dalam usaha peningkatan perlindungan dan pelestarian sumber daya alam, faktor yang tidak boleh terlupakan adalah peran

serta masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam usaha

perlindungan dan pelestarian sumber daya alam menjadi sangat penting sebab merekalah yang berada pada garis depan usaha konservasi. Oleh sebab itu, sumber daya manusia yang berwawasan ramah lingkungan dan memiliki jiwa konservasi harus dibangun semenjak dini.

(13)

121 padahal disanalah letak potensi ekosistem sebagai penghasil sumber daya terbesar. Maka memang yang harus dilakukan adalah membangun sebuah kesadaran baru mengenai betapa pentingnya perlindungan dan pelestarian sumber daya alam bukan hanya karena persoalan milik pribadi atau klan, melainkan demi kelangsungan kehidupan generasi mendatang.

Dalam persoalan menanamkan nilai-nilai pada masyarakat tentang bagaimana melindungi dan melestarikan alam, menurut penulis, gereja sudah mengambil bagiannya. Dalam khotbah-khotbah minggu di gereja, pelayan firman baik itu pendeta, guru jemaat, majelis jemaat yang berkhotbah selalu menyampaikan agar masyarakat sudah seharusnya menghormati dan melindungi alam sebagai bagian dari tanggungjawab manusia kepada Allah. Nilai yang disebarluaskan lewat mimbar gereja ini diharapkan mampu mendorong keterlibatan masyarakat jauh lebih besar untuk melindungi dan melestarikan potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh kampung Warsambin.

Namun fakta di lapangan membuktikan bahwa dengan penanaman nilai ini lewat mimbar gereja, tidak secara otomatis membuat masyarakat/warga jemaat patuh. Masih juga sering ditemukan oknum-oknum masyarakat yang mencari ikan dengan cara tangkap yang tidak ramah lingkungan dan dapat merusak ekosistem.

Sehingga membentuk SDM masyarakat yang memiliki wawasan ramah lingkungan dan memiliki kemampuan untuk melakukan perlindungan dan pelestarian sumber daya alam terlebih khusus untuk menggiatkan kembali budaya sasi, merupakan sesuatu yang urgent untuk dilakukan sekarang ini.

Kesimpulan Sementara

(14)

122

kembali aktifitas kearifan lokal masyarakat setempat menjadi sangat penting untuk segera dilakukan. Selama potensi ancaman itu ada walaupun masih kecil pengaruhnya, bukan berarti kita tidak perlu khawatir karena kecil pengaruhnya. Melainkan kita harus mempersiapkan cara, paling tidak untuk meminimalisir potensi ancaman agar tidak membesar.

Pengaktifan dan penggiatan kembali kearifan lokal, harus pula diimbangi dengan pengembangan SDM. Mengapa demikian? Posisi masyarakat dalam usaha perlindungan dan pelestarian SDA terletak di barisan terdepan, sebab mereka yang berada di lapangan dan langsung berhadapan dengan alam. Maka penguatan SDM masyarakat sehingga tercapainya masyarakat yang berwawasan lingkungan dan menopang konservasi menjadi suatu kenyataan.

Memberikan peran kepada masyarakat untuk terlibat langsung dalam aktifitas penggiatan kembali budaya sasi dan konservasi adalah cara agar kesinambungan dan keberlanjutan bagi generasi ke depan bisa terlaksana. Proses transfer nilai dan transfer ilmu adalah proses yang sepatutnya dilewati dalam rangka penguatan SDM masyarakat yang berwawasan lingkungan.

Perlawanan Negara dan Masyarakat Dalam Wujud Budaya

Sasi

Deklarasi sasi Mon diselenggarakan pada tahun 2010 di Teluk Mayalibit, pada saat itu dianggap merupakan deklarasi paling meriah yang pernah dilakukan oleh masyarakat Teluk Mayalibit. Semua lapisan masyarakat yang berada di Teluk Mayalibit hadir dan

memeriahkan deklarasi sasi Mon tersebut. Tidak hanya itu pemerintah

pun ikut terlibat aktif dan memberi dukungan penuh pada deklarasi

sasi Mon saat itu. Menurut Abraham Goram, itulah deklarasi sasi yang

luas cakupan wilayah sasi terbesar selama CI dengan masyarakat di kepulauan Indonesia bagian timur itu melakukan sasi. Luas wilayah

sasi Mon di Teluk Mayalibit adalah 3.194 ha dan sekaligus ditetapkan

sebagai salah satu zona inti atau sering disebut sebagai No Take Zone

(15)

123 saat itu masuk dalam kawasan perairan tertutup bagi aktifitas

pencaharian ikan. Wilayah sasi Mon di Teluk Mayalibit adalah 6.01%

dari total luas wilayah perairan Kawasan Konservasi Laut Teluk Mayalibit yaitu 53.100 ha. Yang menarik dari bagian ini adalah peran

serta pemerintah dalam pelaksanaan sasi Mon. Sebab dalam setiap

upacara tutup sasi, yang hadir hanyalah tokoh masyarakat dan tokoh agama, sedangkan pemerintah biasanya paling tinggi cuma dihadiri

oleh kepala kampung. Namun sasi Mon kali ini, langsung dihadiri oleh

kepala SKPD dan beberapa pejabat daerah.90

Dalam bagian tulisan ini, penulis akan memaparkan tentang analisa dan bahasan mengenai dukungan pemerintah terhadap pelaksanaan budaya sasi yang dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk perlawanan Negara dan masyarakat.

Teori Perlawanan Sosial Scott dan Budaya Sasi Sebagai Bentuk Perlawanan

Jika merujuk pada tulisan James C. Scott tentang perlawanan sosial yang dilakukan oleh para petani di Asia Tenggara, kita akan mendapat pengertian perlawanan sebagai segala tindakan yang dilakukan oleh kaum atau kelompok subordinat yang ditujukan untuk mengurangi atau menolak klaim (misalnya harga sewa atau pajak) yang dibuat oleh pihak atau

kelompok superdinat terhadap mereka.91 Pada pengertian ini Scott

menjelaskan bahwa telah terjadi ketidakadilan yang dilakukan oleh kelompok superdinat yaitu negara yang memberlakukan kebijakan dengan menaikkan harga sewa lahan tahan ataupun pajak pendapatan bagi para petani. Kebijakan fiskal yang sangat ketat dan banyak jumlahnya ditimpakan kepada kaum tani. Negara dalam hal ini juga tidak sendiri, melainkan negara bersama dengan kaum elit pemilik tanah (tentu dalam sebuah konspirasi) meraup keuntungan dari hasil pajak dan kebijakan agraris. Kebijakan fiskal ini adalah

90 Wawancara dengan Yakub, Kamis, 8 Januari 2015, Pukul. 08.30 WIT.

91 Scott, James C., 1981. Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia

(16)

124

sebuah celah bagi para pemilik tanah dan rentenir untuk

mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari kaum petani.92

Dari sinilah kemudian muncul respon perlawanan yang begitu besar dari kelompok subordinat yaitu para petani. Munculnya perlawanan menurut Scott salah satunya oleh karena telah terjadi yang namanya kerawanan ekologis, dimana kemampuan produksi petani dari lahan pertanian mereka semakin menurun tetapi kebijakan fiskal justru membuat kondisi semakin

runyam.93 Sebagai contoh Scott bercerita tentang kondisi yang

terjadi di salah satu tempat penelitiannya:

“Sudah barang tentu curah hujan hanya merupakan

salah satu penyebab variasi tahunan yang besar dalam persediaan pangan. Di daerah-daerah yang beririgasi terdapat juga distrik-distrik, seperti Hanthawaddy di Burma Hilir, dimana bahaya yang sering mengancam panen dengan kerusakan (kali ini berupa banjir) telah menumbuhkan suatu tradisi pemberontakan yang paling jelas menampakkan diri setelah panen yang buruk”94

Kerawanan ekologis yang berdampak pada menurunnya hasil panen bagi Scott adalah salah satu sebab munculnya perlawanan dari kaum petani. Kondisi ini diperparah dengan ketidakberpihakan negara bagi kepentingan kaum tani. Pada saat yang bersamaan pula ditengah ketidakadilan struktural yang menimpa kaum tani justru muncul sebuah perilaku yang bagi Scott

disebut dengan “moral ekonomi” yang membimbing mereka sebagai warga desa dalam mengelola kelanjutan kehidupan kolektif dan hubungan sosial resiprokal saat menghadapi tekanan-tekanan struktural dari hubungan kekuasaan baru yang mencengkam. Tekanan struktural dari pasar kapitalistik, pengorganisasian negara kolonial dan paska-kolonial, dan proses modernisasi di Asia

(17)

125

Tenggara mengacaukan “moral ekonomi” itu dan menyebabkan

kaum tani berontak.

Pengalaman empirik yang didapatkan Scott dalam rangkaian penelitiannya di Asia Tenggara membawa penulis melihat pengalaman empirik yang didapatkan selama berada di penelitian lapangan. Dan penulis menemukan adanya pengalaman empirik yang sama dengan pengalaman empirik Scott.

Salah satu kesamaan pengalaman empirik antara Scott dan penelitian ini adalah perilaku masyarakat yang muncul akibat adanya sebuah ancaman ekologis yang dialami. Dalam Scott petani merasa terancam oleh karena kerawanan ekologis yang berakibat pada menurunnya hasil panen. Sedangkan pada penelitian ini masyarakat merasa terancam oleh karena kerawanan ekologis berupa eksploitasi dan kerusakan lingkungan yang berakibat pada menurunnya hasil sumber daya alam. Jika Scott menggambarkan kerawanan ekologis datang secara alamiah dari alam oleh karena cuaca bahkan peristiwa alam seperti curah hujan yang tinggi mengakibatkan hasil tanam petani menjadi gagal. Dalam penelitian ini kerawanan ekologis disebabkan oleh perilaku manusia yaitu nelayan dari seputar kepulauan Raja Ampat dan juga nelayan lokal sendiri yang menangkap ikan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan sehingga berdampak pada kerusakan ekosistem laut.

Ancaman yang dirasakan oleh petani di Asia Tenggara dan masyarakat di kampung Warsambin ini menghasilkan perilaku. Jika dalam Scott perilaku yang dihasilkan adalah perlawanan dalam bentuk pemberontakan kaum tani terhadap negara, oleh karena dalam kondisi terancam itu petani justru tidak mendapatkan perlindungan dari negara. Melainkan negara justru mengambil kebijakan yang semakin melemahkan kondisi para petani.

(18)

126

masyarakat untuk menghadapi setiap ancaman eksploitasi dan kerusakan lingkungan akibat penangkapan ikan yang berlebihan dan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Budaya sasi digunakan oleh masyarakat kampung Warsambin untuk memproteksi seluruh sumber daya alam lautnya dari perilaku yang mengancam ekosistem dan sekaligus juga melakukan usaha pelestarian terhadap ekosistem laut agar terjadi keberlanjutan sumber daya alam.

Sehingga dapat dikatakan demikian, dalam penelitian yang dilakukan Scott di Asia Tenggara, perlawanan kaum petani berangkat dari moral ekonominya yang terbentuk dalam kondisi terancam secara ekologis terwujudkan pada bentuk pemberontakan kaum tani dengan kekerasan. Sedangkan penelitian ini mengungkapkan bahwa perlawanan masyarakat lokal yang berangkat dari ancaman eksploitasi dan kerusakan ekosistem laut oleh karena cara tangkap berlebihan dan tidak ramah lingkungan, terwujudkan dalam bentuk menggiatkan kembali kearifan lokal yaitu budaya sasi untuk memproteksi sumber daya alam. Dengan kata lain jika Scott menggambarkan pemberontakan kaum tani

dengan kekerasan (Hard Weapon) sedangkan penelitian ini

menggambarkan perlawanan masyarakat lokal dengan

menggunakan kearifan lokalnya yaitu budaya sasi (Soft Weapon).

(19)

127 nelayan dari luar Raja Ampat yang melakukan penangkapan secara

eksploitatif dan tidak ramah lingkungan.95

Sikap Pemerintah Tentang Budaya Sasi

“Sasi merupakan budaya yang sudah dilakukan

masyarakat Raja Ampat secara turun-temurun dari semenjak nenek moyang kita. Oleh sebab itu sebetulnya tidak ada alasan bagi pemerintah ataupun masyarakat sendiri menolak melakukan sasi. Sesuai dengan arahan Pak Bupati bahwa kearifan lokal sekarang ini harus digiatkan kembali, salah satunya adalah sasi. Karena itu cara yang paling dekat dan dipahami oleh masyarakat untuk mereka mampu melindungi sumber daya alam

Raja Ampat.” ungkap Lucky.96

Dalam wawancara secara tegas Lucky menyatakan keseriusan pemerintah kabupaten Raja Ampat untuk mendukung pelaksanaan sasi di tataran masyarakat. Harapan dari digiatkannya kembali budaya sasi, adalah masyarakat bisa dilibatkan oleh pemerintah menjadi pelopor bagi keselamatan ekosistem lautnya. Keseriusan pemerintah ini ditunjukkan dengan menaikkan kapasitas keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan budaya sasi. Masyarakat terus diminta untuk sebisa mungkin melakukan deklarasi sasi disetiap kampung sehingga setiap wilayah di Raja Ampat terdapat wilayah-wilayah sasi yang menjadi basis sumber daya atau reproduksi ikan. Dengan menggiatkan budaya sasi,

sebenarnya masyarakat sedang mengisi “lumbung laut” mereka

sendiri dengan potensi sumber daya ikan. Keberadaan pemerintah adalah menjamin bahwa sasi yang dilakukan oleh masyarakat bisa terus berjalan dengan baik dan berkelanjutan.

95 Wawancara dengan Lucky, Sabtu, 24 Januari 2015, Pukul 08.00 WIT. Dalam

wawancara yang dimaksudkan sebagai nelayan dari luar Raja Ampat adalah nelayan dari seputaran daerah Sorong Raja, Kepualaun Maluku (Seram, Ambon dan Halmahera), wilayah Jawa (Madura), dan nelayan dari Vietnam. Nelayan ini yang beroperasi masuk dalam wilayah kawasan konservasi laut daerah.

(20)

128

Penguatan kapasitas untuk mendukung budaya sasi juga ditunjukkan oleh pemerintah dengan menugaskan para petugas untuk langsung mendampingi masyarakat mempersiapkan semua rencana pelaksanaan sasi. Sama halnya dengan keterlibatan

pemerintah dalam pelaksanaan sasi Mon di kampung Warsambin,

Teluk Mayalibit.

Dengan digiatkan kembali budaya sasi itu artinya masyarakat dan negara secara bersama-sama membentengi diri dari ancaman perilaku eksploitatif dan kerusakan ekosistem yang dilakukan oleh oknum-oknum nelayan lokal Raja Ampat, nelayan sekitar kepulauan Raja Ampat, dan nelayan dari luar negeri.

Dari gambaran ini sebetulnya telah menunjukkan pembedaan antara pengalaman empirik Scott dan penelitian ini.

Jika Scott menggambarkan bahwa negara justru tidak

bertanggungjawab untuk membantu kaum tani dalam menghadapi kerawanan ekologis yang dialami mereka, melainkan membuat kebijakan fiskal dan kebijakan agraria yang memberatkan petani. Sedangkan pada penelitian ini, pemerintah justru melakukan intervensi secara terbuka mendukung perlawanan masyarakat dan membantu masyarakat untuk menjawab keresahan mereka dengan mengeluarkan kebijakan membuat regulasi tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah yang adalah cikal bakal dari budaya sasi.

Kawasan Konservasi Laut Daerah dan Budaya Sasi sebagai “Senjata

Perlawanan”

Jika Scott menggambarkan perlawanan kaum tani dalam bentuk pemberontakan dengan kekerasan. Penelitian ini

memberikan gambaran perlawanan tanpa pemberontakan

kekerasan melainkan dengan menggunakan kearifan lokal dan regulasi yang dibuat pemerintah. Sebagai partner perlawanan masyarakat, pemerintah membangun sebuah sistem untuk mampu mencapai tujuan perlawanan yang dilakukan bersama masyarakat.

(21)

129 segala peruntukkan sumber daya laut ditentukan. Peruntukkan sumber daya laut yang diatur dalam KKLD membagi kawasan dalam beberapa zona sehingga tetap masih dapat digunakan oleh masyarakat. KKLD dibagi dalam 3 zona yaitu: Zona Inti, Zona Pemanfaatan, dan Zona Lainnya.

Yang dimaksudkan Zona Inti atau sering disebut sebagai

No Take Zone (zona dilarang ambil) adalah wilayah yang ditutup dan tidak boleh ada aktifitas pengambilan ikan. Penentuan zona

inti atau No Take Zone biasanya berdasarkan kondisi ekosistem

sebuah wilayah, misalnya wilayah hutan mangrove dan wilayah terumbu karang. Ditujukan kepada wilayah ekosistem ini karena biota laut menjadikan ekosistem ini sebagai tempat bereproduksi, sehingga untuk tidak mengganggu reproduksi biota laut maka wilayah ini kemudian dijadikan zona inti. Untuk mendukung kepentingan masyarakat dalam melindungi sumber daya alam mereka lewat budaya sasi, maka wilayah yang disasi oleh masyarakat dikategorikan sebagai zona inti.

Untuk zona pemanfaatan terbatas dibagi menjadi 2 sub zona yaitu: sub zona ketahanan pangan dan pariwisata dan sub zona perikanan berkelanjutan dan budidaya. Sedangkan zona lainnya juga dibagi menjadi 2 sub zona yaitu: sub zona pemanfaatan tradisional masyarakat dan sub zona pemanfaatan lainnya.

Mengapa KKLD dan budaya sasi, penulis sebut sebagai

“senjata perlawanan”? Karena wilayah KKLD hanya diperuntukkan

bagi nelayan lokal Raja Ampat, dan tidak bagi nelayan dari luar kepulauan Raja Ampat. Inilah cara pemerintah dan masyarakat memproteksi sumber daya alam Raja Ampat, sehingga tidak terjadi eksploitasi dan pengambilan ikan dengan menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkungan seperti yang sebelum-sebelumnya terjadi.

(22)

130

besar untuk menangkap ikan. Cara menangkap ikan yang diperkenankan hanya dengan cara tradisional seperti memancing dan tekhnik lobe97. Dengan membuat regulasi soal alat tangkap,

pemerintah sedang meminimalisir potensi kerusakan ekosistem.

Kawasan Konservasi Laut Daerah dan Sasi adalah Bentuk Perlawanan Terbuka

Melihat bentuk dan karakteristik perlawanan yang dilakukan masyarakat dan pemerintah lewat budaya sasi menurut Scott masuk dalam kategori perlawanan publik atau terbuka

(public transcript). Scott mendefenisikan perlawanan terbuka adalah perlawanan yang dilakukan lewat interaksi terbuka. Dari tinjauan karakteristik perlawanan terbuka, apa yang dilakukan masyarakat dan pemerintah memenuhi keempat karakteristik perlawanan terbuka.

Yang pertama, bersifat organik, sistematik dan kooperatif. Artinya perlawanan murni lahir oleh karena kondisi sebenarnya tanpa direkayasa, terjadi secara terencana dan memiliki rencana strategis dalam pencapaian tujuan, serta membangun jejaring dengan segala pihak dalam mencapai tujuannya. KKLD dan budaya sasi memiliki karakteristik yang pertama. Hal itu terlihat dari pergumulan masyarakat dan pemerintah yang melihat bahwa potensi ancaman eksploitasi dan kerusakan lingkungan semakin nyata. Penangkapan ikan secara berlebihan, penebangan hutan mangrove serta kerusakan terumbu karang karena penangkapan ikan dengan alat-alat yang merusak seperti bom dan akar bore, menjadi ancaman yang ada didepan mata.

97 Tekhnik lobe adalah salah satu cara tangkap tradisional yang digunakan oleh

(23)

131 Berikutnya bagaimana melihat perlawanan juga terjadi secara sistematik dan terencana dengan sangat baik. Dimulai dengan penentuan KKLD dan mendorong masyarakat untuk menggiatkan budaya sasi adalah cara yang secara sistematik dilakukan dalam perlawanan. Untuk legalitas hukum maka perangkat regulasi hukum pun dibuat. Maka dibuatlah Peraturan Daerah N0. 27 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat. Dalam PERDA ini mengatur bagaimana KKLD diperuntukkan untuk masyarakat lokal, pengelolaan sumber daya hayati termasuk jenis-jenis biota yang dilindungi, sampai pada pengawasan wilayah KKLD dan sanksi yang diberikan kepada para pelanggar aturan ini. Menurut Adrian Yusuf Kaiba, dalam beberapa peristiwa petugas lapangan yang melakukan pengawasan dalam wilayah KKLD sering mendapatkan nelayan luar yang melakukan penangkapan. Dan mereka yang kedapatan melakukan pelanggaran akan ditindak secara hukum tergantung seberapa besar pelanggaran yang dibuat. Jika pelanggaran berat misalnya pencurian jenis ikan yang dilarang seperti Pari Manta, Lumba-lumba punggung bengkok, Ikan Hiu Sirip Putih, maka langsung kasus tersebut akan dilimpahkan kepada aparat hukum untuk menindak. Sedangkang untuk kategori yang masuk dalam pelanggaran ringan seperti masuk tanpa sengaja melakukan penangkapan ikan secara tradisional di wilayah KKLD, maka cuma diberikan teguran dan pembinaan agar kesalahan tersebut tidak terjadi kembali. Pada kondisi ini pulalah karakteristik koperatis juga berlaku dalam perlawanan. Bahwa setiap pelanggar dengan kategori pelanggaran ringan selalu diberikan pemahaman dan informasi tentang apa itu KKLD agar dikemudian hari tidak lagi terjadi pelanggaran.

(24)

132

dalam rangka mensinergikan kekuatan perlawanan. Salah satu contohnya pemerintah selalu mengirimkan petugas lapangan ke kampung-kampung untuk terus mensosialisasikan tentang KKLD sekaligus meminta masyarakat kampung menggiatkan kembali budaya sasi. Selain itu, pemerintah dan masyarakat pun membangun jejaring dengan mitra kerja yaitu lembaga-lembaga

non pemerintah (Non Government Organitation) antara lain

Conservation International, Coremap, dan TNC. Pengembangan jejaring mitra kerja ini dalam rangka untuk menguatkan kapasitas dalam pencapaian tujuan perlindungan dan pelestarian sumber daya alam hayati. Karakteristik tidak mementingkan diri sendiri juga terlihat dalam kebijakan KKLD, dimana salah satu zona dari wilayah KKLD diperuntukkan untuk pemanfaatan nelayan lokal. Jika pemerintah secara tegas ingin semua wilayah terlindungi cukup dengan menjadikan seluruh KKLD adalah zona inti, dan itu berarti tidak ada lagi ruang bagi nelayan lokal untuk mencari ikan. Tetapi justru pembagian KKLD dalam zona-zona termasuk zona pemanfaatan membuktikan bahwa pemerintah tidak memikirkan dirinya sendiri, melainkan masih mimikirkan masyarakatnya untuk mata pencaharian mereka.

(25)

133

“Kepuasan saya sebagai orang yang hidup di jaman sekarang ini adalah ketika suatu saat kelak di masa depan cucu/cicit saya bisa merasakan apa yang saya rasakan saat ini. Cucu/cicit saya tahu apa itu ikan pari manta dan ikan hiu sirip atau juga tahu apa itu penyu belimbing. Dan kalau kita mau itu terjadi pada cucu/cicit kita di masa depan, maka kita yang ada sekarang ini harus memulai untuk menjaga dan melindunginya. Jangan sampai yang

cucu/cicit kita dengar hanyalah cerita saja.” ungkap

Bambang.98

Yang keempat, karakteristik yang dimiliki oleh perlawanan terbuka adalah mencakup gagasan atau meniadakan basis dominasi. Untuk karakteristik yang satu memang tidak ditemukan pada perlawanan yang dilakukan dalam penelitian ini. Sebab dalam penenelitian Scott perlawanan yang terjadi dari kaum tani berhadapan dengan kemapanan dan dominasi yang dilakukan oleh negara bersama dengan kaum kapitalis. Sedangkan pada penelitian ini justru negara berada berdampingan dengan masyarakat melakukan perlawanan kepada perilaku eksploitasi dan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh oknum masyarakat. Pada perlawanan ini justru dominasi seharusnya tercipta antara negara dan masyarakat agar kekuatan perlawanannya semakin kuat. Selain itu agar sistem yang dibangun untuk mewujudkan tujuan perlawanan dapat terealisasikan oleh karena kemapanan SDM yang ada dalam pergerakan.

Kesadaran Kerawanan Ekologis sebagai Modal Perlawanan

Scott menggambarkan perlawanan sosial kaum tani di Asia tenggara bermodalkan Moral Ekonomi. Dimana moral ekonomi ini terbentuk oleh karena berbagai interaksi kondisi yang dialami oleh kamu tani. Sebagai daerah-daerah yang telah melewati masa kolonial dan yang sedang memasuki masa paskakolonial, maka

(26)

134

negara membutuhkan sumber pendapatan untuk memulai pembangunan. Salah satu cara yang dilakukan adalah melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam untuk dapat meraup keuntungan. Selain itu cara lain yang dilakukan adalah melakukan kebijakan fiskal yang ketat mengenai sewa lahan dan pembayaran pajak yang tinggi bagi kaum petani. Sementara itu kondisi kehidupan kaum tani dalam masa kolonial dan paskakolonial bukanlah kondisi masyarakat yang mapan. Scott menggambarkan kondisi kaum tani pun masih subsistensi, artinya kaum tani melakukan pemenuhan kebutuhan berdasarkan apa yang bisa ia lakukan. Sebagai contoh dalam kondisi yang mendesak ketika desakan kebutuhan hidup semakin tinggi dan harus menghidupi anggota keluarga yang jumlahnya tidak sedikit, terkadang pilihan jatuh kepada menjual tanah bagi para saudagar-saudagar atau pemilik modal agar dapat melanjutkan kehidupan. Dan selanjutnya petani tersebut bukanlah menjadi pemilik lahan lagi tetapi sebagai penggarap lahan. Kondisi diatas bisa semakin parah ketika jumlah hasil panen ikut menurun oleh karena fakor ekologis, curah hujan yang tinggi, ataupun serangan hama yang berakibat pada gagalnya panen kaum petani.

Muncullah moral ekonomi petani yang membangun basis perlawanan baik secara terbuka maupun secara tertutup. Membangun solidaritas antar para petani, untuk menyelesaikan

persoalan-persoalannya sendiri. Sampai pada membangun

kekuatan kaum tani untuk melakukan pemberontakan kepada negara.

Lalu apakah yang menjadi modal dari perlawanan bagi penelitian penulis ini? Penulis menyebutnya dengan kesadaran kerawanan ekologis. Sehingga dapat dikatakan bahwa budaya sasi (yang kemudian bagi KKLD) berangkat dari sebuah kesadaran kerawanan ekologis. Secara historis kehadiran budaya sasi di kampung Warsambin memang berawal dari kerawanan ekologis yang dirasakan oleh para pendeta. Ancaman eksploitasi dan

(27)

135 beberapa wilayah yang dahulu tertutup bagi masyarakat kini menjadi terbuka dan terancam rusak. Kini kesadaran kerawanan ekologis kemudian muncul lagi setelah Raja Ampat dimekarkan menjadi kabupaten mandiri. Ancaman yang sama seperti terulang kembali, ketika melihat bahwa pembangunan akan membutuhkan sumber daya alam yang banyak, baik sebagai modal pembangunan ataupun sebagai konsumsi masyarakat.

Pada awalnya penulis beranggapan bahwa budaya sasi ini digunakan masyarakat untuk melindungi sumber daya alamnya dari pengaruh pembangunan, dan lawannya adalah negara dalam hal ini pemerintah. Tetapi setelah melakukan penelitian lapangan, anggapan penulis ternyata salah. Sebab sudah dari tahun 2008 lewat Peraturan Daerah No. 27, PEMDA Kabupaten Raja Ampat sudah memulai memproteksi wilayah perairannya dengan membentuk Kawasan Konservasi Laut Daerah Perairan Kabupaten Raja Ampat. Menurut Adrianus Yusuf Kaiba, S.St.Pi, MA selaku Kepala Badan Layanan Umum Daerah Unit Pelaksana Teknis Kawasan Konservasi Perairan Daerah Raja Ampat pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat, bahwa KKLD sudah terbentuk semenjak tahun 2008. Dan KKLD ini terinspirasi justru dari kearifan lokal yang sudah sejak lama dimiliki oleh masyarakat Raja Ampat yaitu budaya sasi. Dalam wawancara bersama Adrianus pula terungkap bahwa Pemerintah Kabupaten Raja Ampat memiliki kekhawatiran yang sama dengan masyarakat di kampung Warsambin.

(28)

136

cepat untuk mengatasi ancaman ini, jika tidak kasian kita punya masyarakat yang hidup dari laut. Itu dapur mereka, itu pasar mereka, dari laut mereka peroleh

kehidupan” ungkap Lucky.99

Semangat dan keinginan untuk melindungi sumber daya alam ternyata juga dimiliki oleh pemerintah. Justru pemerintah kini terus mendorong masyarakat lokal untuk terus menggiatkan budaya sasi di kampung-kampung.

Pemerintah dan masyarakat memiliki ketakutan,

kekhawatiran, perasaan dan kepedulian yang sama terhadap sumber daya alam Raja Ampat. Rasa yang sama inilah penulis sebut sebagai Kesadaran Kerawanan Ekologis.

Kesimpulan Sementara

Apabila dalam Scott merumuskan perlawanan sosial itu antara kekuatan superdinat (negara) dan subordinat (rakyat). Dalam penelitian ini, justru perlawanan yang terjadi antara kekuatan koalisi negara dan rakyat dan oknum rakyat yang melakukan eksploitasi serta kerusakan lingkungan. Ini artinya bahwa tidak selamanya negara sebagai penguasa menggunakan kewenangannya hanya untuk meraup keuntungan diri sendiri dan berkoalisi dengan kaum kapitalis. Tetapi dalam hal tertentu (khususnya dalam penelitian ini) penguasa justru menjadi partner dengan rakyat dalam melawan perilaku dari luar yang mengancam keberadaan sumber daya alam Raja Ampat.

Dengan membangun sistem proteksi yang sistematik lewat kearifan lokal yang didukung dengan regulasi dan legalitas hukum, negara (pemerintah daerah) dan masyarakat sedang melakukan perlawanan terbuka kepada perilaku eksploitasi dan merusak lingkungan. Senjata perlawanan yang digunakan bukanlah pemberontakan dengan kekerasan seperti yang ditemukan Scott dalam penelitiannya, melainkan kearifan lokal yaitu budaya sasi

(29)

137 dan kebijakan pemerintah dalam penentuan Kawasan Konservasi Laut Daerah.

Dalam melakukan perlawan ini negara dan masyarakat memiliki modal perlawanan. Modal perlawanan tersebut adalah

kesadaran kerawanan ekologis. Kesadaran inilah yang

Referensi

Dokumen terkait

Pokja ULP Kegiatan Pembangunan gedung kantor Pekerjaan Pembangunan Gedung DPU Kota Tegal pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Tegal akan melaksanakan Lelang Umum dengan

Pada bidang empat T.ABC, bidang alas ABC merupakan segitiga sama sisi, TA tegak lurus pada bidang alas, panjang TA sama dengan 1 dan besar sudut TBA adalah 30 . Limas beraturan

Berdasarkan Hasil Evaluasi Penawaran untuk Kegiatan Pelaksanaan Normalisasi Saluran Sungai (DAK 2015) Pekerjaan Paket 2 - Rehabilitasi Saluran Tambak Sibaya Kel.. 2015, penyedia

Luas sebuah persegi sama dengan luas sebuah persegi panjang yang berukuran panjang 16 cm lebar 9cm.. Panjang sisi persegi tersebut

 Langkah berikutnya menentukan lokasi titik potong antara garis tersebut dengan batas area gambar.  Titik potong dihitung berdasarkan bit=1 dari region code dengan menggunakan

Bagi orang tua anak retardasi mental hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan agar orang tua yang memiliki anak retardasi mental memiliki koping

Menurut penuturannya bisnis ini banyak dikerjakan oleh kasta pekerja dan yang sangat disayangkan yaitu saat ini sudah banyak pedagang dari orang yang beragama

Penelitian ini merekmendasikan kepada: (1) guru: untuk menjadikan permainan air sebagai salah satu metode alternatif dalam meningkatkan kebugaran jasmani anak