• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Politik Luar Negeri Amerika Se

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kebijakan Politik Luar Negeri Amerika Se"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

“Kebijakan Politik Luar Negeri Amerika Serikat Dalam Merespon

Terorisme di Kawasan Asia Tenggara”

Di susun oleh:

Noor Isma Rosanti / 20120510200 Hendy Hermadiasanto / 20120510222

Abbie Anggara / 20120510226 Brahma Kusuma W / 20120510235

M. Yasir Qorib / 20120510245

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL UNIVERSITAS MUHAMADIYAH YOGYAKARTA

1.Latar balakang

Peristiwa WTC bagi Amerika Serikat sendiri merupakan pukulan telak bagi supremasi

adidaya, yang menuntut respon dalam bentuk “perang” terhadap terorisme. Hal ini tentunya juga

(2)

kemanusiaan dapat mengambil bentuk yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, tragedy

WTC dan respon AS terhadap terorisme merupakan awal dari terbangunnya sebuah tatanan

politik dunia yang ditandai oleh meningkatnya ancaman non-tradisional (khususnya dalam

bentuk terorisme) dan hegemoni AS sebagai adidaya tunggal.

AS berusaha untuk menunjukkan hegemoninya kepada dunia dan adanya keinginan untuk

memerangi teroris yang sampai dengan saat ini identik dengan dunia islam. Penggiringan opini

bahwa pelaku adalah umat islam, terlepas dari tanpa bukti dan fakta, menyebabkan antipati

publik terhadap islam. Terlebih lagi beberapa kelompok islam yang dituding sebagai pelaku

tindak terorisme menunjukkan indikasi membenarkan aktivitas-aktivitas tersebut.

Asia Tenggara dengan jumlah muslim terbanyak tentunya menjadi sorotan bagi Amerika

Serikat dalam penerapan kebijakannya.

2.KerangkaPemikiran

Dalam masalah ini, konsep yang digunakan adalah teori atau konsep kebijakan luar negeri

terorisme dan kepentingan nasional. Politik luar negeri cenderung dimaknai sebagai sebuah

(3)

dunia. Politik luar negeri adalah sebuah posisi pembeda. Politik luar negeri adalah paradigma

besar yang dianut sebuah negara tentang cara pandang negara tersebut terhadap dunia. Politik

luar negeri adalah wawasan internasional. Oleh karena itu politik luar negeri cenderung bersifat

tetap.

Kebijakan luar negeri adalah segala tindakan suatu pemerintah terhadap negara lain dalam

politik internasional, dengan di dasarkan pada serangkaian asumsi dan tujuan tertentu, serta

dimaksudkan untuk menjamin keamanan nasional. Kebijakan luar negeri dapat dijalankan

melalui berbagai cara, namun tiga yang paling umum adalah perang, perdamaian, dan kerjasama

ekonomi.

Sampai saat ini belum ada definisi yang baku mengenai terorisme. Dikalangan pakar Sosial

Politik Barat sendiri sebenarnya ada kesepakatan tentang definisi Terorisme. Teror atau

Terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak aksi kekerasan,

terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror

tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan

sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan terorisme seringkali

adalah orang yang tidak bersalah. yang menjadi ciri dari suatu tindakan terorisme adalah :

1. Adanya rencana untuk melakukan tindakan tersebut

2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu

3. Menggunakan kekerasan

(4)

5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama .

Kepentingan nasional merupakan konsep yang paling populer dalam analisa hubungan

internasional, baik untuk mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan, maupun menganjurkan

perilaku internasional. Konsep kepentingan nasional merupakan dasar untuk menjelaskan

perilaku suatu negara.1 Kepentingan nasional merupakan konsepsi yang sangat umum tetapi

merupakan unsur yang menjadi kebutuhan sangat vital bagi negara. Unsur tersebut mencakup

kelangsungan hidup bangsa dan negara, kemerdekaan, keutuhan wilayah, keamanan militer dan

kesejahteraan ekonomi sehingga pperlu suatu usaha untukmemperoleh kepentingan tersebut.

Kepentingan nasional memberikan ukuran konsistensi yang diperlukan dalam kebijakan

nasional. Suatu negara sangat memperhatikan kepentingan nasionalnya dalam situasi yang sangat

cepat berubah, akan lebih cenderung untuk mempertahankan keseimbangannya dan selalu

melanjutkan usaha ke arah tujuannya dari pada mengubah kepentingannya dalam menyesuaikan

diri dengan situasi baru di lingkungan sekitarnya.2

3. ImplementasiKerangkaPemikiran

1 Mochtar Masoed, Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin dan Metodologi, PT. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hal 139

(5)

Serangan menara kembar dimanfaatkan oleh Amerika Serikat untuk merubah kebijakan

keamanan, pertahanan, dan luar negeri AS, dan akan mempengaruhi politik dunia internasional.

Pertama, dengan sikap kerasnya, AS tampak ingin melahirkan semacam struktur bipolar

baru. Pernyataan Presiden George W. Bush, “either you are with us or you with terrorist”, secara

jelas menggambarkan dunia yang terpilah dalam sebuah pertarungan antara kekuatan baik dan

kekuatan jahat.

Kedua, tragedy 11 September, juga telah membuka kemungkinan berubahnya parameter

yang digunakan AS dalam menilai seuah negara. Sekarang ini, AS cenderung lebih

mengkhawatirkan masalah terorisme daripada isu demokrasi dan hak asasi manusia.

Ketiga, ditambah dengan adanya kecenderungan yang mengaitkan islam dengan terorisme

di kalangan para pengambil kebijakan di AS, tatanan politik global semakin diperumit oleh

ketegangan antara AS dengan negara-negara Islam ataupun negara dengan penduduk mayoritas

islam.

Keempat, untuk mengantisipasi kemungkinan serangan-serangan teroris di masa depan, AS

membentuk sebuah doktrin baru,yakni doktrin preemption. Melalui doktrin ini, AS secara

sepihak memberikan hak kepada dirinya sendiri untuk mengambil tindakan terlebih dahulu,

khususnya melalui tindakan militer, untuk menghancurkan apa yang dianggapnya berpotensi

sebagai ancaman terror terhadap kepentingan AS dimana saja, termasuk Asia Tenggara. Doktrin

Preemption tersebut jelas meresahkan banyak negara, dan dapat mengubah tatanan, nilai dan

norma-norma hubungan antarnegara. Dalam konteks doktrim preemption, prinsip kedaulatan

negara, arti penting dan peran institusi-institusi multilateral seperti PBB dan organisasi regional,

(6)

Kelima, AS kini tampil sebagai negara adidaya tunggal yang sangat yakin bahwa

pendekatan militer merupakan pendekatan terbaik dalam memenuhi dan melindungi

kepentingan-kepentingan kepentingannya. Aksi serangan militer ke Afghnaistan dan invasi ke

Irak merupakan contoh nyata dari pendekatan ini.3

Dari strategi yang di terapkan AS di atas, tersirat bahwa AS berusaha untuk menunjukkan

hegemoninya kepada dunia dan adanya keinginan untuk memerangi teroris yang sampai dengan

saat ini identik dengan dunia islam. Penggiringan opini bahwa pelaku adalah umat islam, terlepas

dari tanpa bukti dan fakta, menyebabkan antipati publik terhadap islam. Terlebih lagi beberapa

kelompok islam yang dituding sebagai pelaku tindak terorisme menunjukkan indikasi

membenarkan aktivitas-aktivitas tersebut.

Asia Tenggara dengan jumlah muslim terbanyak tentunya menjadi sorotan bagi Amerika

Serikat dalam penerapan kebijakannya. Malaysia memberlakukan Undang-Undang yang akan

memungkinkan negosiasi perjanjian bantuan hukum timabal balik dengan negara lain. Malaysia

telah menandatangani deklarasi anti terorisme dari kerjasama dengan Amerika Serikat, dan

menyetujui pembentukan pusat pelatihan anti-terorisme regional di Kuala Lumpur.

Indonesia, pada tahun 2005 Bush menyetujui partisipasi Indonesia Military Education and

Training (IMET). Dan diteruskan dengan keputusannya Bush pada Mei 2005 untuk

mengaktifkan kembali non-lethal Foreign Military Sales (FMS) di Indonesia dan November

2005 diputuskan juga untuk membatasi Foreign Military Financing (FMF) karena kekhawatiran

keamanan nasional AS.

Filiphina, Pemerintahan Bush mendukung kebijakan pemerintah Filiphina menerapkan

militer untuk menekan Abu Sayyaf dan mencari penyelesaian yang di negosiasikan dengan

(7)

MILF. Pada tahun 2002, Amerika memasukkan 1.300 pasukan ke Filiphina Selatan untuk

membantu Filiphina dalam Operasi melawan Abu Sayyaf di Pulau Brasilian daya Mindanao.

Thailand, Pembentukan Counter Terrorism Intellegence Center (CTIC) tahun 2001 yang

merupakan kerjasama Thailan dengan dinas Intilejen AS, CIA.

Asia Tenggara merupakan kawasan yang sangat merasakan dampak langsung dari

langkah-langkah AS tersebut. Karena tidak lama setelah AS menyerang Afghanistan, pejabat

pemerintahan Bush mengumumkan: adanya upaya Osama Bin Laden dan pengikutnya untuk

memperluas kegiatan-kegiatan mereka di Asia Tenggara, tidak hanya di filipina, tetapi juga di

Singapura dan Indonesia.4Berbagai media cetak AS juga banyak mengeluarkan artikel mengenai

potensi teror dari gerakan-gerakan kelompok Islam radikal yang berkembang dengan subur di

Asia Tenggara.

Implikasi lebih jauh yang dirasakan Asia Tenggara adalah ketika PBB resmi menyatakan

bahwa kelompok “Jamaah Islamiah” digolongkan sebagai organisasi teroris internasional.

Keputusan PBB ini tentu saja sangat mempengaruhi Asia Tenggara, dimana selama ini AS selalu

menekankan bahwa Jamaah Islamiah merupakan perpanjangan tangan Al-Qaeda, dan

jaringannya menyebar di Malaysia, Singapura, serta Indonesia. Sehingga AS mempunyai

kekuatan untuk menekan pemerintahan negara-negara Asia Tenggara agar lebih aktif

bekerjasama dalam memberantas terorisme seperti yang diinginkan AS.

Pada akhirnya “War on Terrorism”, menjadi instrumen AS untuk dapat menghadirkan

kekuatan militernya diluar teritorialnya. Khususnya bagi Asia Tenggara, indikasi menjadi

“second front” dari perang melawan terorisme semakin terlihat jelas. AS telah menempatkan

Asia Tenggara menjadi salah satu prioritas dalam kebijakan luar negeri-nya setelah sekian lama

kawasan ini menghilang dari layar radar AS. Sebagai kawasan dengan tingkat prioritas

(8)

kepentingan yang tinggi, maka AS perlu memastikan kehadiran kekuatan militernya di Asia

Tenggara untuk menjaga kepentingan-kepentingan tersebut.

Dibawah spanduk “global war on terrorism”, pemerintahan presiden Amerika Serikat (AS)

pada waktu itu, George W. Bush mulai mendorong kepala pemerintahan negara-negara Asia

Tenggara untuk bekerjasama dengan AS. Ada pendapat yang berkembang, bahwa kemunduran

pengaruh AS di kawasan Asia Tenggara selama beberapa dekade sebelumnya melatarbelakangi

pemikiran untuk menghadirkan kembali militernya di kawasan ini. Namun yang pasti, setelah

serangan militer pertama dimulai dengan menyerang Al-Qaeda dan rezim Taliban di Afghanistan

pada 7 Oktober 2001, dan spekulasipun dengan cepat menggunung, bahwa operasi-operasi

selanjutnya akan segera dilakukan di tempat lain. Hal ini muncul tidak lama setelah Asia

Tenggara disebut-sebut sebagai “Second Front in the war on terrorism”.5

Ada beberapa alasan yang tidak mungkin dilepaskan mengapa Asia Tenggara menjadi

fokus AS dalam memberantas terorisme, antara lain:

1. Seperti yang diberitakan, ada koneksitas antara Asia Tenggara dengan serangan 11 September. Beberapa pembajak, termasuk petinggi-petingginya yaitu Mohhammad Atta

dan Zacarias Moussaoui yang sejauh ini diklaim AS memiliki keterlibatan dengan

serangan 11 september, dimana mreka diketahui telah mengadakan pertemuan di kuala

Lumpur untuk membicarakan rencana-rencana mereka.

2. Sebelum serangan 11 September terjadi, AS telah memperingatkan mengenai operasi kelompok-kelompok militan Islam radikal di kawasan Asia Tenggara, termasuk beberapa

(9)

diantaranya berhubungan langsung dengan jaringan Al-Qaedah. Antara lain Al-Ma’unah

(Malaysia), Laskar Jihad (Indonesia), beberapa cabang Moro (Filipina).

3. Asia Tenggara adalah rumah dari umat Muslim, dimana Indonesia dan Malaysia mayoritas penduduknya adalah Muslim. Dengan Jumlah penduduk yang besar,

batas-batas wilayah yang rawan serta lemahnya institusi negara, membuat AS telah lama

mengindentifikasi Kawasan ini potensial menjadi surganya teroris.6

Dengan ketiga faktor diatas, kemudian dengan peristiwa Bom Bali-Indonesia, 12 Oktober

2002, memperkuat kesan bahwa Asia Tenggara akan menjadi kawasan penting dalam perjuangan

melawan para militan Islamis.7 Rizal Sukma mengemukan beberapa faktor mengapa diskursus

mengenai kemungkinan Asia Tenggara menjadi “the second front” dari perang melawan

terorisme muncul kepermukaan:

1. Adanya fakta bahwa Asia Tenggara merupakan kawasan dengan jumlah penduduk muslim yang sangat signifikan. Bahkan Indonesia merupakan sebuah negara dengan

jumlah penduduk terbesar di dunia. Fakta ini kemudian dikaitkan dengan adanya

pandangan bahwa kebanyakan dari teroris dan kelompok-kelompok militan identik

dengan ideologi islam radikal. Sehingga ketika kemunduran kondisi ekonomi dan sosial

yang dialami Asia Tenggara pasca krisis ekonomi serta kerusuhan politik yang terjadi di

indonesia, menciptakan lingkungan yang sangat ideal bagi pertumbuhan dan

perkembangan aktivitas teroris, kelompok radikal, serta kelompok-kelompok

separatisme.

(10)

2. Eksistensi pergerakan kelompok separatis di Asia Tenggara ini mendorong kemungkinan hadirnya terorisme dan jaringan teroris di sekitar daerah pusat gerakan tersebut terjadi.

3. Meningkatnya peran serta pengaruh kelompok-kelompok islam militan di Indonesia {Laskar Jihad, Fron Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)},

Malaysia {Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM)}, dan Singapura {Jemaah Islamiah

(JI)}.

4. Berkenaan dengan 3 faktor diatas, diperkuat dengan ditangkapnya orang-orang dari kelompok-kelompok tersebut yang disinyalir memiliki keterlibatan dengan aktivitas

terorisme, semakin meyakinkan bahwa adanya jaringan terorisme di Asia Tenggara.

5. Ancaman-ancaman teroris di kawasan Asia Tenggara yang terus meningkat acapkali memperlihatkan sentimen anti-amerika dikalangan komunitas muslim setelah peristiwa

11 September dan serangan militer AS ke Afghanistan.8

(11)

4.Kesimpulan

Dalam menghadapi terorisme, khususnya di Asia Tenggara, Pemerintah Amerika Serikat

memilih untuk bersikap tegas, tidak melakukan kompromi, dan menolak secara tegas untuk

melakukan negosiasi dengan kelompok terorisme, baik itu berupa tebusan, perubahan

kebijakaan, penukaran atau pembebasan tawanan.

Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan politik luar negeri secara umum dalam

menghadapi terorisme internasional di kawasan Asia Tenggara yakni, mengeluarkan Kebijakan

travel advisory dan travel warning terhadap Negara-negara yang potensial mendapat serangan

terorisme di Kawasan Asia Tenggara. Meningkatkan kuantitas personil militer di kawasan Asia

untuk melindungi kepentingan dan warga negaranya. Menggiatkan kampanye anti terorisme

internasional melalui forum kerjasama regional seperti APEC dan ASEAN.

Kebijakan luar negeri secara khusus yang bersifat bilateral antara pemerintah Amerika

Serikat dan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara. Dengan Malaysia berupa kerjasama

pembentukan pusat koordinasi anti terorisme regional Asia Tenggara di Malaysia. Bersama

Filiphina melakukan kerjasama latihan militer. Dengan Indonesia, pemerintah Amerika Serikat

memberikan bantuan dana sebesar 50 juta USD untuk membiayai pelatihan dan pembentukan

(12)

DaftarPustaka

C Plano & Roy Olton Jack. (1999). Kamus Hubungan Internasional . Jakarta: Putra A Bardir.

Masoed, M. ( 1994). Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin dan Metodologi. Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan.

Sukma, R. (2002). “The Second Front Discourse: Southeast Asia & The Problem of Terrorism”, dalam . Asia Pacific Security: Uncertainty in a Changing World Order”, (pp. 78-80). Kuala Lumpur.

Sukma, R. (n.d.). Rizal Sukma . “Keamanan Internasional Pasca 11 September: Terorisme, Hegemoni AS dan Implikasi Regional".

Referensi

Dokumen terkait

Dalam beberapa hal, para desainer bersandar pada teks untuk menyampaikan suatu pesan, tetapi mereka menggunakan kata-kata dengan cara yang berbeda dari tatacara yang biasa

Suatu dalam memasarkan produk atau jasanya selalu disertai dengan pelayanan, dengan adanya suatu perusahaan dapat memberikan gambaran mengenai produknya dengan

ATPK adalah perusahaan yang berbasis di Indonesia bergerak di bidang pertambangan batubara dan mineral lainnya, eksploitasi minyak dan gas dan investasi dalam bisnis energy

Aktivitas spesifik, recovery, dan faktor purifikasi protein enzim lipase yang diekstrak dari biji Canarium indicum dapat dilihat pada Tabel 1.. Dari Tabel 1

MS 004 /POKJA/BULUSPESANTREN/2017 YULIANTI P CILACAP, 07 JULI 1981 DS SETROJENAR RT 01/V

*)prodi: Silakan dikoordinasikan dengan dosen pembimbing. Rini Agustina, S.Kom., M.Pd. Gaguk Susanto, S.Kom., M.Cs.. Judul diganti dengan metode profil matching. - Jurnal

Proses sorpsi ion-ion logam dalam SIR (Benamor dkk., 2008) Berdasarkan penelitian yang telah banyak dilaporkan, untuk sorpsi ion-ion logam menggunakan SIR, terjadi melalui

Hak didefinisikan sebagai sesuatu yang universal dan tidak dapat dipisah-pisahkan, dimana setiap manusia memiliki hak mereka tanpa memperhatian budaya, system politik, suku, dan