BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Usia lanjut
2.1.1 Definisi Usia Lanjut
Undang-undang RI No 23 tahun 1992 pasal 19 ayat 1 tentang kesehatan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial yang memberikan pengaruh pada seluruh aspek kehidupan (Khoiriyah, 2011)
Usia lanjut merupakan menurunnya kemampuan akal dan fisik, dimulai dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup. Ketika manusia mencapai usia dewasa, akan mempunyai kemampuan reproduksi dan melahirkan anak berlanjut dengan usia lanjut kemudian mati. Bagi manusia normal tentu telah siap menerima keadaan baru dalam setiap fase kehidupan dan menyesuaikan diri dalam lingkungan (Darmojo, 2004)
2.1.2 Klasifikasi Usia Lanjut
Menurut World Health Organization, usia lanjut dibagi menjadi 4 bagian. Usia pertengahan (Middle age) berusia 45-59 tahun, usia lanjut (elderly) 60-74 tahun, usia lanjut tua (old) antara 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
kesehatan. Lansia potensial adalah lansia yang masi mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang masih menghasilkan barang dan jasa. Lansia tidak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
2.1.3 Perubahan-perubahan pada usia lanjut
Menurut Maryam et al (2008) usia mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut :
a) Perubahan fisik 1) Sel
Terjadinya penurunan jumlah sel, perubahan ukuran sel, berkurangnya jumlah cairan dalam tubuh dan berkurangnya cairan intra seluler, menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati, penurunan jumlah sel pada otak, terganggunya mekanisme perbaikan sel, serta otak menjadi atrofis beratnya berkurang 5-10%.
2) Sistem Persyarafan
3) Sistem Pendengaran
Terjadinya presbiakusis yaitu gangguan dalam pendengaran pada telinga dalam terutama terhadap bunyi suara, nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, otosklerosis akibat atropi membran timpani. Pengumpulan serumen dapat mengeras karena meningkatnya keratinin. Terjadinya perubahan penurunan pendengaran pada lansia yang mengalami ketegangan jiwa atau stres.
4) Sistem Penglihatan
5) Sistem Kardiovaskuler
Terjadinya penurunan elastisitas dinding aorta, katup jantung menebal dan menjadi kaku, menurunnya kemampuan jantung untuk memompa darah yang menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya, kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, perubahan posisi yang dapat mengakibatkan tekanan darah menurun (dari tidur ke duduk dan dari duduk ke berdiri) yang mengakibatkan resistensi pembuluh darah perifer.
6) Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh
Pada pengaturan sistem tubuh, hipotalamus dianggap bekerja sebagai thermostat, yaitu menetapkan suatu suhu tertentu, kemunduran terjadi berbagai faktor yang mempengaruhinya, perubahan yang sering ditemui antara lain temperature suhu tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologik kurang lebih 35 °C, ini akan mengakibatkan metabolisme yang menurun. Keterbatasan refleks mengigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi rendahnya aktivitas otot.
7) Sistem Respirasi
dinding dada dan kekuatan otot pernapasan menurun seiring pertambahan usia.
8) Sistem Pencernaan
Kehilangan gigi, penyebab utama periodontal disease yang bisa terjadi setelah umur 30 tahun, indra pengecap menurun, hilangnya sensitifitas saraf pengecap terhadap rasa asin, asam dan pahit, esophagus melebar, rasa lapar nenurun, asam lambung menurun, motilitas dan waktu pengosongan lambung menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi, fungsi absorpsi melemah, hati semakin mengecil dan tempat penyimpanan menurun, aliran darah berkurang.
9) Sistem Perkemihan
10) Sistem Endokrin
Produksi semua hormon turun, aktivitas tiroid, BMR (basal metabolic rate), dan daya pertukaran zat menurun, produksi aldosteron menurun, sekresi hormon kelamin seperti progesteron, estrogen, dan testosteron menurun. 11) Sistem Integumen
Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak. Permukaan kulit cenderung kusam, kasar, dan bersisi, timbul bercak pigmentasi, kulit kepala dan rambut menipis dan berwarna kelabu, berkurangnya elestisitas akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi, kuku jari menjadi keras dan rapuh, jumlah dan fungsi kelenjar keringat berkurang.
12) Sistem muskuloskeletal
Tulang kehilangan densitas (cairan) dan semakin rapuh, kekuatan dan stabilitas tulang menurun, terjadi kifosis, gangguan gaya berjalan, tendon mengerut dan mengalami sklerosis, atrofi serabut otot, serabut otot mengecil sehingga gerakan menjadi lamban, otot kram, dan manjadi tremor, aliran darah ke otot berkurang.
b) Perubahan mental
dan perkataan verbal, berkurangnya penampilan, persepsi dan keterampilan psikomotor (terjadinya perubahan pada daya membayangkan karena tekanan-tekanan dari faktor waktu).
2.1.4 Sifat Penyakit pada Usia Lanjut 1. Penyebab penyakit
Penyebab penyakit pada lansia umumnya berasal dari dalam tubuh (endogen), dan pada orang dewasa berasal dari luar tubuh (eksogen). Hal ini disebabkan karena pada lansia telah terjadi penurunan fungsi organ-organ tubuh akibat kerusakan sel proses menua, sehingga produksi hormon, enzim, dan zat-zat yang diperlukan untuk kekebalan tubuh menjadi berkurang. Dengan demikian lansia akan mudah mengalami infeksi, memiliki penyakit lebih dari satu jenis (multipatologi).
2. Gejala penyakit tidak khas / tidak jelas
Misalnya pada penyakit infeksi paru (pneumonia) sering kali tidak didapati demam tinggi dan batuk darah, gejala terlihat ringan padahal penyakit sebenarnya cukup serius, sehingga penderita menganggap penyakitnya tidak berat.
3. Memerlukan banyak obat (polifarmasi)
dengan orang dewasa. Oleh karena itu, dosis obat pada lansia perlu dikurangi. Efek samping obat pada usia lanjut dapat menyebabkan timbulnya penyakit-penyakit baru. Misalnya, sering berkemih akibat pemakaian obat diuretik (obat untuk meningkatkan pengeluaran air seni), dapat terjatuh akibat penggunaan obat-obat penurun tekanan darah, penenang, antidepresi, dan lainnya.
4. Mengalami gangguan jiwa
Pada lansia yang telah lama menderita sakit sering mengalami tekanan jiwa (depresi). Oleh karena itu, dalam pengobatannya tidak hanya gangguan fisiknya saja yang diobati, tetapi juga gangguan jiwanya yang justru sering tersembunyi gejalanya. Jika yang mengobatinya tidak teliti akan mepersulit penyembuhan penyakitnya.
2.2 Inkontinensia urin
2.2.1 Definisi Inkontinensia urin
dan merupakan masalah kesehatan umum yang bisa menyebabkan kecacatan dan penurunan kualitas hidup (Henderson, 1996)
Dari beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa inkontinensia adalah suatu kondisi pengeluaran atau kebocoran urin tanpa disadari dan tidak terkendali yang terjadi diluar keinginan dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sering serta bisa menyebabkan kecacatan dan penurunan kualitas hidup.
2.2.2 Tipe-tipe inkontinensia urin 1. Inkontinensia stres
Kondisi keluarnya urin ketika tekanan intraabdomen meningkat seperti pada saat batuk, bersin, tertawa, atau latihan yang disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul. Melemahnya otot dasar panggul juga dapat disebabkan terlalu banyak latihan atau aktivitas, batuk yang terus menerus, konstipasi, luka pada dasar panggul atau uretra, melahirkan, atau masalah pada lapisan spinal belakang bawah (lumber disc syndrome). Kondisi ini lebih sering terjadi pada wanita usia lanjut walaupun pada pria dapat terjadi.
2. Inkontinensia Urgensi
Kondisi ketidakmampuan untuk menahan urin cukup lama untuk mencapai toilet, keinginan yang kuat dan tiba-tiba diikuti keluarnya urin tanpa dapat ditahan. Penyebabnya karena daya tampung kandung kemih yang menurun, iritasi pada reseptor peregang kandung kemih, konsumsi alkohol atau kafein, peningkatan asupan dan adanya infeksi (Potter&Perry, 2005)
3. Inkontinensia Overflow
Kondisi keluarnya urin dalam jumlah sedikit dari kandung kemih yang selalu penuh, kehilangan urin tanpa disengaja yang biasanya dihubungkan dengan overdistensi kandung kemih. Inkontinensia overflow lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita biasanya disebabkan oleh sumbatan anatomis, seperti pada hipertrofi prostat, akibat faktor saraf (pada diabetes) atau obat-obatan. Keluhan yang terjadi sedikitnya urin keluar tanpa ada sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.
4. Inkontinensia fungsional
Kondisi keluarnya urin tanpa dikehendaki (mengompol) dan merupakan akibat di luar faktor saluran kemih sendiri. Faktor utama yang menyebabkan inkontinensia urin adalah gangguan mobilitas dan gangguan kognitif. Demensia berat, gangguan musculoskeletal, lingkungan tidak mendukung sehingga sulit untuk mencapai kamar mandi, dan adanya faktor psikologis seperti depresi dapat menyebabkan inkontinensia urin. Pada pasien geriatrik sering pula terjadi inkontinensia tidak satu tipe melainkan tipe campuran atau kombinasi dari dua tipe atau lebih.
5. Inkontinensia refleks
6. Inkontinensia total
Kondisi hilangnya urin yang berkelanjutan dan tidak dapat diprediksi. Menurut Potter dan Perry (2005) Inkontinensia total disebabkan karena adanya neuropati saraf sensorik, trauma/penyakit pada saraf spinalis atau spingter uretra, fistula yang berada diantara kandung kemih dan vagina. Gejalanya antara lain urin tetap mengalir pada waktu-waktu yang tidak dapat diperkirakan, nokturia, tidak menyadari bahwa kandung kemihnya terisi atau inkontinensia.
2.2.3 Dampak inkontinensia urin
Inkontinensia urin juga memiliki efek terhadap kualitas hidup, bahkan pada kegiatan sehari-hari, seperti bekerja, berjalan, kegiatan interpersonal, aktivitas fisik, fungsi seksual, dan tidur. Pasien dengan inkontinensia urin juga memiliki kualitas hidup yang lebih rendah di setiap domain (fungsi fisik, fungsi peran, fungsi sosial, kesehatan mental, persepsi kesehatan, dan nyeri). Sedangkan dari segi ekonomi, biaya terkait konsekuensi inkontinensia urin diperkirakan mencapai $16.3 miliar per tahun. Sedangkan untuk biaya perawatannya, jumlah yang dibutuhkan berkisar antara $860 sampai $960 per bulan (Doughlity, 2006)
Menurut Booker (2009), inkontinensia urin memiliki beberapa dampak, di antaranya:
a. Perubahan pada kesejahteraan emosi, sosial, fisik, dan ekonomi individu yang mengalami inkontinensia urin
c. Orang yang mengalami inkontinensia menunjukkan suatu rentang emosi mencakup peningkatan depresi, iritabilitas, cemas, dan perasaan tidak berdaya.
Adapun menurut Continence Essential Guide (2009), dampak inkontinensia urin yaitu jatuh, depresi, luka dekubitus, masalah bowel, infeksi kulit, isolasi, penurunan kualitas hidup, dan peningkatan perhatian institusi kesehatan.
2.3 Depresi
2.3.1 Definisi Depresi
Depresi adalah salah satu bentuk gangguan jiwa pada alam perasaan (afektif, mood) yang ditandai kemurungan, kesedihan, kelesuan, kehilangan gairah hidup, tidak ada semangat, dan merasa tidak berdaya, perasaan bersalah atau berdosa, tidak berguna dan putus asa (Yosep, 2007). Menurut Hawari (2001) depresi merupakan gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga hilangnya kegairahan hidup, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA masih baik), kepribadian tetap utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian) perilaku dapat terganggu tetapi dalam batas-batas normal. Sedangkan menurut Nugroho (2000) depresi itu adalah suatu perasaan sedih dan pesimis yang berhubungan dengan suatu penderitaan, dapat berupa serangan yang ditunjukkan pada diri sendiri atau perasaan marah yang dalam.
2.3.2 Gejala Depresi
kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi dalam meningkatkan keadaan, rasa mudah lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja, dan menurunnya aktivitas. Sedangkan gejala lainnya ditandai dengan konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri rendah, merasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesemistis, perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu dan nafsu makan berkurang.
Menurut Stanley dan Beare (2006) gejala-gejala depresi, yang tetap sama selama rentang kehidupan, dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama, sering disebut dengan triad depresif yaitu:
a) Gangguan alam perasaan pervasive
Diantaranya adalah adanya kesedihan, kehilangan semangat, menangis, ansietas, serangan panik, murung, iritabilitas, pernyataan merasa sedih, tertekan, rendah atau susah dan paranoid.
b) Gangguan persepsi diri, lingkungan dan masa depan
Menarik diri dari aktivitas biasa, penurunan gairah seks, ketidakmampuan mengekspresikan kesenangan, perasaan tidak berharga, ketakutan yang tidak beralasan, pendekatan diri kembali pada kegagalan kecil, delusi, halusinasikritik yang ditujukan pada diri sendiri dan orang lain.
2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi
Banyak usia lanjut yang menghadapi berbagai stressor, seringkali kumulatif, yang dapat mencetuskan depresi. Stressor-stressor tersebut dapat berupa stressor ekonomi, sosial, fisik, emosional dan kehilangan aktivitas. Teori sosiologis mengemukakan bahwa stressor-stressor dan kehilangan tersebut dapat bergabung menghasilkan kehilangan status peran dan sistem pendukung sosial, suatu pandangan yang diperkuat dengan kerugian, sikap terhadap penuaan dari masyarakat. Perubahan-perubahan ini dapat menyebabkan kehilangan makna dan tujuan hidup sehingga menyebabkan depresi (Stanley&Beare, 2006)
2) Penyakit fisik
Berbagai penyakit fisik yang sering terjadi pada usia lanjut dapat menyebabkan gejala-gejala depresi. Hal tersebut mencakup gangguan metabolik, gangguan endokrin, penyakit neurologis, kanker, infeksi virus dan bakteri, gangguan muskuloskeletal, gangguan gastrointestinal, gangguan genitourinaria, penyakit vaskuler kolagen dan anemia. Penyakit fisik juga dapat memicu depresi karena dapat menyebabkan nyeri kronis, disabilitas dan kehilangan fungsi, penurunan harga diri, peningkatan ketergantungan atau menyebabkan ketakutan terhadap nyeri atau kematian (Stanley&Beare, 2006) 3) Inkontinensia urin
4) Jenis kelamin
Depresi lebih sering terjadi pada wanita. Ada dugaan bahwa wanita lebih sering mencari pengobatan sehingga depresi lebih sering terdiagnosis. Dan menyatakan bahwa wanita lebih sering terpajan dengan stressor lingkungan dan ambangnya terhadap stressor lebih rendah dibandingkan pria. Adanya, depresi yang berkaitan dengan ketidakseimbangan hormon pada wanita menambah prevalensi depresi pada wanita (Amir, 2005)
5) Status perkawinan
Gangguan depresi mayor lebih sering dialami individu yang bercerai atau berpisah bila dibandingkan dengan yang menikah atau lajang. Status perceraian menempatkan seseorang pada risiko yang lebih tinggi untuk menderita depresi, hal ini juga dapat terjadi sebaliknya yaitu depresi menempatkan seseorang pada risiko perceraian. Depresi juga lebih sering pada orang yang tinggal sendiri dibandingkan dengan yang tinggal bersama kerabat lain (Amir, 2005)
6) Geografis
7) Kepribadian
Seseorang dengan kepribadian yang lebih tertutup, mudah cemas, hipersensitif dan lebih bergantung pada orang lain lebih rentah terhadap depresi (Amir, 2005). Seseorang yang sehat jiwanya bisa saja jatuh dalam depresi apabila yang bersangkutan tidak mampu menanggulangi stressor psikososial yang dialaminya. Selain itu ada juga orang yang lebih rentan (vulnerable) jatuh dalam keadaan depresi dibandingkan dengan orang lain. Orang yang lebih rentan ini biasanya mempunyai corak kepribadian depresif (Amir, 2005)
8) Usia
Depresi meningkat secara drastis diantar lansia yang berada diinstitusi, sekitar 50%-70% penghuni perawatan jangka panjang memiliki gejala depresi ringan sampai sedang (Stanley&Beare, 2006)
2.3.4 Dampak Depresi