BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka bertujuan untuk menggambarkan batasan teori-teori yang akan digunakan sebagai landasan teori. Adapun landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori mengenai peribahasa, penerjemahan, transposisi, modulasi, penilaian kualitas terjemahan, dan penelitian terdahulu.
2.1Landasan Teori 2.1.1 Peribahasa
2.1.1.1 Pengertian Peribahasa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) pengertian peribahasa mencakup dua hal, yaitu:
1. kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu
2. ungkapan atau kalimat ringkas padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku
Susunan kata di dalam peribahasa bersifat tetap karena jika diubah, susunan kata itu tidak lagi dapat dikatakan peribahasa melainkan kalimat biasa.
Dari kesemua definisi yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa peribahasa memiliki tiga ciri utama yaitu:
1. kalimatnya ringkas dan padat 2. susunannya tetap
3. isinya berupa perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku
Jika dihubungkan dengan penerjemahan terlihat bahwa penelitian mengenai peribahasa sangatlah penting karena seperti dijelaskan sebelumnya bahwa esensi dari sebuah penerjemahan adalah tersampaikannya pesan atau makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran dengan tetap memperhatikan bentuk dan susunan dari peribahasa tersebut.
2.1.1.2Jenis Peribahasa
Azis (2013) menyebutkan ada 5 jenis peribahasa, yaitu: 1. Bidal
Bidal adalah bahasa kias yang tetap susunannya. Contoh:
a. Habis gelap terbitlah terang. b. Bahasa menunjukkan bangsa.
2. Pepatah
Contoh:
a. Ikut hati mati, ikut rasa binasa.
b. Berjalan pelihara kaki, berkata pelihara mulut.
3. Perumpamaan
Perumpamaan adalah kalimat yang menyatakan keadaan atau kelakukan seseorang dengan menggunakan perbandingan alam sekitar dan selalu menggunakan kata-kata perbandingan.
Contoh:
a. Seperti anjing dan kucing. b. Laksana kera dapat bunga.
4. Ibarat
Ibarat sebenarnya sama halnya dengan perumpamaan, ibarat pun memperbandingkan, tetapi diiringi dengan bagian-bagian kalimat yang menjelaskan.
Contoh:
a. Bagai karakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau. b. Ibarat balam, mata lepas badan terkurung.
5. Pemeo
Contoh:
a. Sekali merdeka, tetap merdeka.
b. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
2.1.1 Penerjemahan
2.1.2.1Pengertian Penerjemahan
Penerjemahan bukanlah hal yang baru dalam kehidupan masyarakat saat ini. Berbicara tentang definisi penerjemahan, sangat banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli. Oleh karena itu, untuk mengindari kesalahpahaman mengenai definisi penerjemahan, terlebih dahulu dipahami konsep dasar tentang penerjemahan yang dikemukakan oleh Bell (1991), yaitu:
1. translating: the process (to translate: the activity rahther than tangible object);
2. a translation: the product of the process of translating (i.e. the translated text);
3. translation: the abstract concept which encompasses both the process of translating and the product of that process.
Adapun yang menjadi fokus dari definisi-definisi yang dikemukakan adalah konsep yang ketiga, yang tidak memisahkan terjemahan sebagai sebuah proses saja atau sebuah produk saja. Akan tetapi, merupakan sebagai satu kesatuan atau satu kemasan, yakni penekanan keduanya; proses penerjemahan dan hasil atau produk dari proses penerjemahan tersebut.
penerjemahan. Jika makna yang dimaksud tidak tersampaikan dalam bahasa sasaran, terjemahan tersebut tidak bisa dianggap sebagai sebuah terjemahan.
Defenisi ini kurang lengkap jika hanya menyampaikan pesan, mengingat tata bahasa dan budaya bahasa sumber dan bahasa sasaran terdapat perbedaan. Banyak hal yang harus diperhatikan bukan hanya sekedar pengalihan makna.
Catford (1965) lebih jauh mendefinisikan terjemahan sebagai pengalihan wacana dalam bahasa sumber (BSu) dengan wacana padanannya dalam bahasa sasaran (BSa). Disini Catford menekankan bahwa dalam penerjemahan wacana alihan haruslah sepadan dengan wacana aslinya. Karena padanan merupakan kata kunci dalam proses terjemahan, dengan sendirinya pesan dalam wacana alihan akan sebanding dengan pesan pada wacana asli. Sebaliknya, jika wacana alihan dan wacana asli tidak sepadan, wacana alihan tidaklah dianggap sebagai suatu terjemahan.
Hal senada juga dinyatakan oleh Machali (2009) dengan memberikan definisi penerjemahan sebagai berikut:
1. penerjemahan adalah upaya “mengganti” teks bahasa sumber dengan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran;
2. yang diterjemahkan adalah makna, sebagaimana yang dimaksudkan pengarang
pembaca asing. Jika hal ini tidak terjadi, maka terjemahan tersebut gagal karena dalam terjemahan terjadi transfer ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Dari semua definisi yang telah dijelaskan di atas, terdapat empat hal penting yang menjadi teori dasar dalam pengembangan penelitian ini yaitu:
1. terjemahan adalah pengalihan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran
2. kesepadanan makna harus tetap diupayakan dalam penerjemahan untuk mendapatkan pesan yang dimaksud bahasa sumber pada bahasa sasaran 3. kesepadanan makna yang didapat menjadi tolak ukur sebuah teks untuk
dikatakan sebagai sebuah terjemahan
4. terjemahan memegang peranan penting dalam transfer ilmu pengetahuan dan informasi antar pembaca dengan bahasa dan budaya yang berbeda. Jika keempat hal tersebut telah dipenuhi, seseorang akan lebih mudah untuk mengetahui mengapa prosedur tertentu diterapkan oleh seorang penerjemah dalam suatu proses penerjemahan.
Proses penerjemahan dalam hal ini memiliki makna tahap-tahap atau langkah-langkah yang dilakukan oleh seorang penerjemah sehingga dihasilkan sebuah terjemahan. Menurut Larson (1984), ketika seorang penerjemah terlibat dalam proses penerjemahan, tentunya dia akan melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. mempelajari leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi dan konteks budaya dari teks bahasa sumber
3. mengungkapkan kembali makna yang sama itu dengan menggunakan leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran dan konteks budayanya
Secara skematis, proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
BAHASA SUMBER BAHASA SASARAN
Gambar 2.1 Proses penerjemahan (Larson 1984)
Dari gambar 2.1. di atas terlihat bahwa teks yang akan diterjemahkan dan terjemahan ditempatkan dalam bentuk bangun yang berbeda. Teks yang akan diterjemahkan dalam bentuk persegi panjang dan terjemahan dalam bentuk segitiga. Hal ini memiliki arti bahwa Larson ingin menunjukkan adanya perbedaan antara teks bahasa sumber dengan teks bahasa sasaran. Akan tetapi, dengan melalui proses penafsiran makna pada teks yang akan diterjemahkan akan didapatkan pengungkapan makna dimana kedua proses tersebut bertemu pada satu titik yang sama, yakni makna. Hal ini memberikan implikasi bahwa proses terpenting dalam sebuah proses penerjemahan adalah didapatkannya makna. Dengan demikian, tentunya seorang penerjemah harus menerapkan prosedur penerjemahan yang tepat agar makna pada BSu dapat disampaikan pada BSa.
Teks yang akan diterjemahkan
Penafsiran Makna Pengungkapan Makna
MAKNA
2.1.2.2Prosedur Penerjemahan
Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary (1995) disebutkan bahwa “A procedure is (1) a formal or official order or way of doing things or (2) series of
actions that need to be completed in order to achieve something”.
Sedangkan dalam KBBI (2008) disebutkan bahwa prosedur adalah: 1. tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas
2. metode langkah demi langkah secara pasti dalam memecahkan suatu masalah
Molina dan Albir (2002) berpendapat bahwa prosedur adalah strategi yang digunakan oleh penerjemah untuk memecahkan masalah-masalah dalam proses penerjemahan berdasarkan tujuan penerjemah itu sendiri. Menurut Machali (2009) bahwa prosedur penerjemahan berlaku untuk kalimat dan satuan-satuan bahasa yang lebih kecil seperti klausa, frasa, dan kata. Machali (2009) lebih lanjut menyatakan bahwa ada lima prosedur penerjemahan yang dianggap penting untuk menerjemahkan dari BSu ke BSa. Kelima prosedur tersebut yaitu, transposisi (pergeseran bentuk), modulasi (pergeseran makna), adaptasi (penyesuaian), serta pemadanan berkonteks dan pemadanan bercatatan.
2.1.2.2.1 Transposisi
Transposisi atau pergeseran bentuk merupakan prosedur penerjemahan yang sudah sejak lama diperkenalkan oleh Catford (1965) yang dikenal sebagai ‘shift’, sedangkan Vinay dan Darbelnet dalam Newmark (1988) dan Molina dan Albir (2002) menyebutnya sebagai ‘transposition’. Machali (2009) menyatakan bahwa transposisi adalah suatu prosedur penerjemahan yang melibatkan pengubahan bentuk gramatikal dari BSu ke BSa yang dibagi menjadi empat jenis, yaitu:
1. Pergeseran bentuk wajib dan otomatis yang disebabkan oleh sistem dan kaidah bahasa. Dalam hal ini penerjemah tidak mempunyai pilihan lain selain melakukannya.
a. Beberapa nomina jamak dalam bahasa Inggris menjadi tunggal dalam bahasa Indonesia.
Contoh: BSa : a pair of trousers BSu : sebuah celana
b. Pengulangan adjektiva atau kata sifat dalam bahasa Indonesia yang maknanya menunjukkan variasi yang tersirat dalam adjektiva menjadi penjamakan nominanya dalam bahasa Inggris.
Contoh: BSu : Rumah di Jakarta bagus-bagus.
BSa : The houses in Jakarta are built beautifully. c. Adjektiva + nomina menjadi nomina + pemberi sifat.
2. Pergeseran yang dilakukan apabila suatu struktur gramatikal dalam BSu tidak ada dalam BSa.
a. Peletakkan objek di latar depan dalam bahasa Indonesia tidak ada dalam konsep struktur grammatikal bahasa Inggris, kecuali dalam kalimat pasif atau struktur khusus, sehingga terjadi pergeseran bentuk menjadi struktur kalimat berita biasa.
Contoh: BSu : Buku itu harus kita bawa. BSa : We must bring the book.
b. Peletakkan verba di latar depan dalam bahasa Indonesia tidak lazim dalam struktur bahasa Inggris, kecuali dalam kalimat imperatif. Maka padanannya menjadi struktur kalimat berita biasa.
Contoh:BSu : Telah disahkan penggunaannya BSa : Its usage has been approved.
3. Pergeseran yang dilakukan karena alasan kewajaran pengungkapan. a. Nomina/frase nomina dalam BSu menjadi verba dalam BSa. Contoh: BSu : …to train intellectual men for the persuits of an intellectual life.
BSa : …untuk melatih para intelektual untuk mengejar kehidupan intelektual.
b. Gabungan adjektiva bentukan dengan nomina atau frasa nominal dalam BSu menjadi nomina + nomina dalam BSa.
Medical student mahasiswa kedokteran
c. Klausa dalam bentuk partisipium (bergaris bawah) dalam BSu dinyatakan secara penuh dan eksplisit dalam BSa.
Contoh: BSu : The approval signed by the doctor is valid BSa : Persetujuan yang ditandatangani oleh…..
d. Frase nominal dengan adjektiva bentukan dari verba (tak) transitif dalam BSu menjadi nomina + klausa dalam BSa.
Contoh: Adjektiva + nomina nomina + klausa
Thinking person orang yang berpikir
e. Semua struktur yang oleh Catford (1965) disebut pergeseran kelas adalah transposisi.
Contoh: BSu : The neighbours were hostile to the family.
BSa : Para tetangga itu memusuhi keluarga tersebut (adjektiva menjadi verba)
4. Pergeseran yang dilakukan untuk mengisi kerumpangan kosa kata (termasuk perangkat tekstual seperti/-lah /-pun/ dalam BSu dengan menggunakan suatu struktur grammatikal.
a. Suatu perangkat tekstual penanda fokus dalam BSu yang dinyatakan dengan konstruksi gramatikal dalam BSa.
Contoh: BSu : Perjanjian inilah yang diacu.
BSa : It is this agreement which is referred to (not anything else)
menjadi klausa, dan sebagainya, yang sering kita jumpai dalam penerjemahan kata-kata lepas bahasa Inggris.
Contoh:
- Adept : sangat terampil
- Amenity : sikap ramah tamah, tata karma, sopan santun.
2.1.2.2.2 Modulasi
Ada kalanya pergeseran struktur seperti yang terjadi pada proses transposisi melibatkan perubahan yang menyangkut pergeseran makna karena terjadi juga perubahan perspektif, sudut pandang atau segi maknawi yang lain. Pergeseran makna semacam itu disebut modulasi (Machali, 2009). Hal ini senada dengan Viney dan Darbelnet dalam Newmark (1988) yang menyatakan bahwa modulasi adalah “a variation through a change of view point, of perspective and very often of category of thought.”
Machali (2009) mengambil konsep modulasi berdasarkan pandangan Newmark yang menamai modulasi menjadi modulasi wajib dan modulasi bebas. Modulasi wajib dilakukan apabila suatu kata, frase ataupu struktur tidak ada padanannya dalam BSa sehingga perlu dimunculkan. Berikut beberapa contohnya:
a. Pasangan kata dalam BSu yang salah satunya saja ada dalam BSa. Contoh: Kata lessor dan lessee dalam bahasa Inggris.
Biasanya kata lessee diterjemahkan sebagai ‘penyewa’ tetapi padanan untuk kata lessor tidak ada. Maka padanannya dapat dicari dengan mengubah sudut pandangnya atau dicari kebalikannya: ‘Orang/pihak yang menyewakan atau pemberi sewa’.
Contoh:
(i) Infinitive of purpose dalam bahasa Inggris: BSu : The problem is hard to solve.
BSa : Masalah itu sukar (untuk) dipecahkan. (kata ‘untuk’ bersifat manasuka)
(ii) Konstruksi pasif nol dalam bahasa Indonesia menjadikonstruksi aktif dalam bahasa Inggris.
Contoh: BSu : Laporan itu akan saya sampaikan besok pagi. BSa : I will submit the report tomorrow morning.
c. Struktur subjek yang dibelah dalam bahasa Indonesia perlu modulasi dengan menyatukannya dalam bahasa Inggris.
Contoh: BSu : Buku tersebut telah disahkan penggunaannya oleh Dikti. BSa : The use of the book has been approved by Dikti.
Sedangkan modulasi bebas adalah prosedur penerjemahan yang dilakukan karena alasan linguistik, misalnya untuk memperjelas makna menimbulkan kesetalian dalam BSa, dan sebagainya. Berikut beberapa contohnya:
1. Menyatakan secara tersurat dalam BSa apa yang tersirat dalam BSu dan sebaliknya.
BSu : ‘environmental degradation
BSa : penurunan mutu lingkungan (konsep mutu tersirat dalam Bsu) 2. Frase prepositional sebab-akibat dalam BSu menjadi Klausa sebab akibat
dalam BSa.
BSa : Kita semua menderita karena (adanya) penurunan mutu lingkungan.
3. Bentuk negatif ganda dalam BSu menjadi positif dalam BSa. Contoh: BSu : Conflicts are bound to occur.
BSa : Konflik militer tak urung terjadi juga.
Teori transposisi dan modulasi yang dijelaskan oleh Machali merupakan acuan dalam penelitian ini untuk mengetahui jenis-jenis transposisi dan modulasi yang diterapkan penerjemah dalam menerjemahkan peribahasa sekaligus sebagai tolak ukur untuk menilai kualitas terjemahan.
2.1.2.3Penilaian Kualitas Terjemahan
Pengujian atau penilaian terhadap kualitas suatu terjemahan sangatlah penting untuk dilakukan sebagai representasi keahlian bagi seorang penerjemah dan perkembangan dunia terjemahan itu sendiri. Larson (1984) menyatakan bahwa “There are three main reasons for testing a translation. The translator wants to be sure his translation is accurate, clear and natural”. Hal tersebut
diperkuat dengan pendapat Nababan, dkk (2012) yang memberikan parameter terjemahan berkualitas yang dalam hal ini memenuhi tiga aspek, yaitu aspek keakuratan, aspek keberterimaan, dan aspek keterbacaan dengan penjelasan sebagai berikut.
2.1.2.3.1 Aspek Keakuratan
pada kesamaan isi atau pesan antar keduanya. Suatu teks dapat disebut sebagai suatu terjemahan, jika teks tersebut mempunyai makna atau pesan yang sama dengan teks lainnya (baca: teks bahasa sumber). Oleh sebab itu, usaha-usaha untuk mengurangi atau menambahi isi atau pesan teks bahasa sumber dalam teks bahasa sasaran harus dihindari. Usaha-usaha yang seperti berarti menghianati penulis asli teks bahasa sumber dan sekaligus membohongi pembaca sasaran.
Dalam konteks yang lebih luas, pengurangan atau penambahan dapat menimbulkan akibat yang fatal pada manusia yang menggunakan suatu karya terjemahan, terutama pada teks-teks terjemahan yang beresiko tinggi, seperti teks terjemahan di bidang hukum, kedokteran, agama dan teknik.
2.1.2.3.2 Aspek Keberterimaan
Aspek kedua dari penilaian kualitas terjemahan terkait dengan masalah keberterimaan. Istilah keberterimaan merujuk pada apakah suatu terjemahan sudah diungkapkan sesuai dengan kaidah-kaidah, norma dan budaya yang berlaku dalam bahasa sasaran ataukah belum, baik pada tataran mikro maupun pada tataran makro. Konsep keberterimaan ini menjadi sangat penting karena meskipun suatu terjemahan sudah akurat dari segi isi atau pesannya, terjemahan tersebut akan ditolak oleh pembaca sasaran jika cara pengungkapannya bertentangan dengan kaidah-kaidah, norma dan budaya bahasa sasaran.
cucu berinteraksi dengan kakeknya. Dalam konteks budaya batak Tapanuli, penyebutan nama kecil seorang kakek dianggap tidak sopan. Contoh ini menunjukkan bahwa konsep keberterimaan merupakan suatu konsep yang relatif.Sesuatu yang dianggap sopan dalam suatu kelompok masyarakat bisa dipandang tidak sopan dalam masyarakat lainnya.
Di atas telah dijelaskan bahwa salah satu parameter dari konsep keberterimaan adalah apakah suatu terjemahan sudah diungkapkan sesuai dengan kaidah-kaidah tatabahasa sasaran. Suatu terjemahan dalam bahasa Indonesia yang diungkapkan menurut kaidah-kaidah tata bahasa Inggris, misalnya, akan membuat terjemahan tersebut menjadi tidak alamiah dan dalam banyak kasus akan sulit dipahami maksudnya. Demikian pula, suatu terjemahan abstrak penelitian sebagai salah bentuk dari teks ilmiah akan ditolak pembaca sasaran jika terjemahan tersebut diungkapkan dengan bahasa gaul. Demikian pula sebaliknya, suatu terjemahan karya sastra akan tidak berterima bagi pembaca sasaran jika terjemahan karya sastra tersebut diungkapkan dengan kaidah-kaidah tata bahasa baku. Suatu istilah teknis mungkin mempunyai padanan yang akurat dalam bahasa sasaran. Namun, penerjemah seyoganya tidak dengan serta merta menggunakan padanan tersebut karena bisa berakibat terjemahan yang dihasilkannya tidak berterima bagi pembaca sasaran.
2.1.2.3.3 Aspek Keterbacaan
dasarnya tidak hanya menyangkut keterbacaan teks bahasa sumber tetapi juga keterbacaan teks bahasa sasaran. Hal itu sesuai dengan hakekat dari setiap proses penerjemahan yang memang selalu melibatkan kedua bahasa itu sekaligus. Akan tetapi, hingga saat ini indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat keterbacan suatu teks masih perlu dipertanyakan keandalannya. Terlepas dari belum mantapnya alat ukur keterbacaan itu, seorang penerjemah perlu memahami konsep keterbacaan teks bahasa sumber dan bahasa sasaran. Pemahaman yang baik terhadap konsep keterbacaan itu akan sangat membantu penerjemah dalam melakukan tugasnya.
Lebih jauh Silalahi (2009) menyatakan bahwa penilaian suatu terjemahan menggunakan kuesioner untuk mengumpulkan data tentang kualitas terjemahan. Kuesioner yang dimaksud ada tiga, yaitu: 1) Accuracy Rating Instrument, yang digunakan untuk menentukan tingkat kesepadanan terjemahan, 2) Acceptability Rating Instrument, yang digunakan untuk mengukur tingkat keberterimaan
terjemahan, 3) Readability Rating Instrument, yang digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan terjemahan. Dalam melakukan penilaian kualitas terjemahan, peneliti harus menggunakan ketiga kuesioner di atas. Parameter yang dijelaskan oleh Nababan, dkk (2012) dan Silalahi (2009) merupakan panduan dalam penelitian yang digunakan untuk mengukur kualitas terjemahan.
2.2 Penelitian Terdahulu
Kuncara (2013) dalam jurnalnya yang berjudul Analisis Terjemahan Tindak Tutur Direktif pada Novel ‘The Godfather’ dan Terjemahannya dalam Bahasa
Indonesia. Dalam jurnal tersebut dinyatakan bahwa Penerjemahan suatu tuturan
memerlukan perhatian khusus. Hal tersebut dikarenakan terkadang dalam suatu tuturan ada maksud lain dari penutur. Maksud lain penutur inilah yang harus diungkap oleh seorang penerjemah. Konteks situasi yang menaungi suatu tuturan, isi topik tuturan, kedudukan sosial penutur dan mitra tutur merupakan hal-hal yang harus diperhatikan dalam menganalisis suatu ujaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penerapan fungsi ilokusi tindak tutur direktif, penggunaan teknik penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia, dan dampaknya terhadap kualitas hasil penerjemahannya. Tindak tutur yang mengandung ilokusi direktif dalam novel ‘The Godfather’ karya Mario Puzo adalah objek kajian dalam penelitian ini. Hasil penelitian, dari 152 data, ditemukan sebanyak delapan fungsi ilokusi direktif. Fungsi tersebut antara lain memerintah, menyarankan, meminta, memohon, melarang, menasihati, membujuk, dan menyilakan. Kemudian, ditemukan sebanyak 12 teknik penerjemahan dengan frekuensi total penggunaan sebanyak 244 kali. Teknik tersebut meliputi teknik harfiah, peminjaman murni, transposisi, reduksi, penambahan, modulasi, partikularisasi, adaptasi, amplifikasi linguistik, penghilangan, padanan lazim, deskripsi dan generalisasi. Teknik yang digunakan cenderung menghasilkan terjemahan yang akurat, berterima dan mudah dipahami.
Tinambunan (2013) dalam tesisnya yang berjudul Kesepadanan Terjemahan dalam Buku Bilingual Active English for Nurses. Tujuan penelitian ini adalah: 1)
bahasa Indonesia, 2) mendeskripsikan kesepadanan terjemahan kata dan frasa dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Peneliti menerapkan metode deskriptif kualitatif, sumber data adalah buku bilingual Active English for Nurses sebagai produk terjemahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 91 data (80.5%) menggunakan teknik penerjemahan tunggal, teknik penerjemahan kuplet 16 data (14.2%) dan teknik penerjemahan triplet ada 6 data (5.3%). Berdasarkan frekuensi penggunaannya, dari 112 data yang berwujud kata dan frasa teridentifikasi bahwa teknik penerjemahan harafiah dipakai pada 42 (37.1%), adaptasi 19 (17%), peminjaman alamiah 17 (15%), peminjaman murni 10 (9%), deskripsi 6 (5.3%), amplifikasi 5 (4.4%), kreasi diskursif 4 (2.6%). Hasil penelitian ini menunjukkan 76 (67.9%) data diterjemahkan secara akurat, 25 (22.3%) data diterjemahkan dengan kurang akurat dan 11 (9,8%) data diterjemahkan secara tidak akurat.
Nababan, dkk (2012) dalam jurnal mereka yang berjudul Pengembangan Model Penilaian Kualitas Terjemahan. Tujuan utama dari penelitian ini adalah
bagi para rater untuk memberikan penilaian terjemahan dalam berbagai satuan unit, baik pada tataran mikro maupun makro. Keempat, keefektifan model penilaian kualitas terjemahan ini dalam menilai kualitas terjemahan sangat tergantung pada kemampuan para penilai atau rater tersebut dalam menerapkannya di berbagai hal, utamanya bagi mereka yang terlibat dalam penilaian kualitas penerjemahan tersebut harus membaca dan mengerti semua informasi yang relevan serta prosedur bagaimana seharusnya menggunakan alat penilaian ini.
Prasetyo (2011) dalam jurnalnya yang berjudul Analisis Transposisi dan Modulasi Pada Buku Teori Budaya Terjemahan dari Buku “Culture Theory”.
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan teknik transposisi dan modulasi dengan menggunakan metode dsekriptif-kualitatif dan menggambarkan tingkat keakuratan, keterbacaan, dan keberterimaan dari kalimat-kalimat terjemahan yang mengalami transposisi dan modulasi. Data primer dalam penelitian diambil dari buku Culture Theory dan terjemahannya melalui observasi dan teknik catat sedangkan data sekunder diperoleh dari kuesioner dan wawancara mendalam. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hal keakuratan, transposisi lebih akurat daripada modulasi. Akan tetapi, dalam hal keberterimaan dan keterbacaan, modulasi lebih tinggi daripada transposisi. Dari 100 data yang mengalami transposisi, 86% dikategorikan akurat, 73% berterima, dan 91% mudah. Dari 80 data yang mengalami modulasi, 83,75% dikategorikan akurat, 73,75% berterima, dan 93.75% mudah.
Indonesia dan Dampaknya Pada Kualitas Terjemahan. Penelitian ini bertujuan
keakuratan, keberterimaan dan keterbacaan yang baik. Teknik yang banyak memberi kontribusi positif terhadap tingkat keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan terjemahan adalah teknik penerjemahan harfiah, peminjaman murni, dan padanan lazim. Sementara, teknik penerjemahan yang banyak mengurangi tingkat keakuratan dan keberterimaan adalah modulasi, penambahan, dan penghilangan. Implikasi penelitian, penerjemah perlu meningkatkan kompetensi penerjemahan dan mesti berhati-hati dalam menentukan teknik penerjemahan agar diperoleh terjemahan yang berkualitas baik.
Ardi (2010) dari Universitas Sebelas Maret Surakartadalam tesisnya yang berjudul Analisis Teknik Penerjemahan dan Kualitas Terjemahan Buku “Asal Asul Elite Minangkabau Modern: Respons terhadap Kolonial Belanda Abad ke
XIX/XX”. Tujuan penelitian tersebut untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan
penerjemahan dari 731 teknik yang digunakan penerjemah dalam 285 data. Berdasarkan frekuensi penggunaan teknik tersebut adalah: amplifikasi 122 (16,69%), penerjemahan harfiah 86 (11,76%), padanan lazim 84 (11,49%), modulasi 73 (9,99%), peminjaman murni 71 (9,71%), reduksi/implisitasi 61 (8,34%), adaptasi 57 (7,80%), penambahan 37 (5,06%), transposisi 27 (3,69%), generalisasi 22 (3,01%), kalke 19 (2,60%), inversi 16 (2,19%), partikularisasi 15 (2,05%), penghilangan 15 (2,05%), kreasi diskursif 10 (1,37%), deskripsi 9 (1,23%), peminjaman alami 6 (0,82%), dan koreksi 1 (0,14%). Berdasarkan teknik yang dominan terungkap bahwa buku ini cenderung menggunakan metode komunikatif dengan ideologi domestikasi. Dampak dari penggunaan teknik penerjemahan ini terhadap kualitas terjemahan cukup baik dengan rata-rata skor keakuratan terjemahan 3,33, keberterimaan 3,55, dan keterbacaan 3,53. Hal ini mengindikasikan terjemahan memiliki kualitas keakuratan, keberterimaan dan keterbacaan yang baik. Teknik yang paling banyak memberi kontribusi positif terhadap tingkat keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan terjemahan adalah teknik amplifikasi, penerjemahan harfiah, dan padanan lazim. Sementara, teknik penerjemahan yang banyak mengurangi tingkat keakuratan & keberterimaan adalah modulasi, penambahan, dan penghilangan.
Harahap (2010), dalam tesisnya yang berjudul Fiksi Halilian dari Bahasa Angkola ke Bahasa Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan
masalah kesepadanan dan pergeseran dalam teks terjemahan Fiksi Halilian Angkola Indonesia. Peneliti menggunakan teori semantik, termasuk 1) reference theory yang bisa mengungkapkan hubungan antar kata dengan entitas melalui cara
kemiripan dan keberbedaan antar konsep dan 3) componential analysis yang mampu melihat tipe kesepadanan lintas bahasa dan pergeseran makna sebagai akibat dari proses pemadanan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang dilandasi oleh kerangka teori yang bersifat plural dan elektik (text based on theory dan translator based theory) dan disisi lainform-based translation
dan meaning based translation yang diterapkan dengan cara mana suka, parsial, atau simultan mengingat hakekat terjemahan sebagai suatu bidang ilmu terapan dan kompleksitas fenomena terjemahan itu sendiri. Peneltian ini menerapkan deskriptif kualitatif untuk menganalisis teknik penerjemahan dan kesepadanan terjemahan pada tingkat kata dan frasa.
Mustaqin (2010) dalam jurnalnya yang berjudul Pergeseran dan Pemahaman Konteks dalam Penerjemahan Novel. Dalam jurnal tersebut
Penelitian lainnya dilakukan oleh Silalahi (2009) dalam disertasinya yang berjudul Dampak Teknik, Metode dan Ideologi Penerjemahan Pada Kualitas Terjemahan Teks Medical-Surgical Nursing dalam Bahasa Indonesia. Dalam
penelitian tersebut ditemukan bahwa teknik, metode dan ideologi penerjemahan mempunyai dampak terhadap kualitas terjemahan. Kualitas terjemahan yang dinilai adalah bagaimana tingkat kesepadanan terjemahan, tingkat keberterimaan terjemahan, serta tingkat keterbacaan terjemahan. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa 338 (64,75%) diterjemahkan secara akurat, 136 (26,05%) kurang akurat, 48 (9,2%) tidak akurat. Dari aspek keberterimaan ditemukan 396 (75,86%) berterima, 91 (17,44%) kurang berterima, dan 35 (6,70%) tidak berterima. Sementara itu, 493 (96,29%) data sasaran mempunyai tingkat keterbacaan tinggi dan 19 (3,71%) mempunyai tingkat keterbacaan sedang.
Selanjutnya Susilawati (2009) dalam tesisnya Analisis Transposisi dan Modulasi pada Terjemahan Petunjuk Pemakaian Produk-Produk Oriflame
sehingga mereka puas yang akhirnya dapat mempertinggi tingkat penjualan produk.
Felistyana (2008) dalam tesisnya yang berjudul Analisis Penerjemahan Kosakata Kebudayaan Fisik Bahasa Jepang ke Indonesia dalam Cerita Pendek
“Imogayu”. Penelitian ini berfokus pada penerjemahan kosakata kebudayaan fisik
bahasa Jepang ke Indonesia dalam cerita Imogayu. Permasalahan yang diangkat adalah pergeseran bentuk dan makna yang terjadi dan pengurangan isi pesan. Data berjumlah 27 data yang berupa kosakata kebudayaan fisik dalam bahasa Jepang beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Data analisis secara bentuk bahasa untuk mengetahui pergeseran bentuk yang terjadi. Data dianalisis secara semantis dengan cara analisis komponen makna untuk mengetahui pergeseran makna, kemudian dianalisis pengurangan isi pesannya berdasarkan kesesuaian bentuk dan fungsi benda yang terkandung dalam kosakata kebudayaan fisik tersebut. Dari analisis tersebut disimpulkan bahwa:1) Sebagain besar data mengalami pergeseran bentuk, yaitu pergeseran tataran sintaksis atau tataran unit, pergeseran struktur gramatikal dan pergeseran sistem bahasa; 2) Sebagian besar data mengalami pergeseran makna, yaitu pergeseran makna spesifik ke generik dan pergeseran makna yang tidak tergolong pergeseran makna spesifik-generik; 3) Sebagian besar data tidak mengalami pengurangan isi pesan kosakata karena fungsi benda dipertahankan walaupun bentuk bendanya berbeda antara benda/objek dalam bahasa sumber dengan bahasa sasaran.
Halverson (2006) dalam artikelnya yang berjudul Concept of Equivalence in Translation Studies: Much Ado about Something. Dalam artikel tersebut
kesepadanan dan relevansinya terhadap teori terjemahan dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang beragam sudut pandang dan anggapan filosofis. Dia juga menekankan analogi antara konsep kesepadanan dan konsep ilmu pengetahuan yang telah dipelajari dalam pilosofi ilmu dengan melibatkan kesepadanan, terjemahan, dan ilmu pengetahuan.
Penelitian-penelitian tersebut sangatlah berguna dalam penelitian ini karena memberikan pengetahuan tentang konsep teori dan gambaran mengenai cara-cara untuk menganalisis prosedur penerjemahan transposisi dan modulasi yang diterapkan dalam suatu terjemahan dan menemukan model yang sesuai untuk mengukur kualitas suatu terjemahan dari segi keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan. Penelitian ini mengadopsi model penilaian kualitas yang digunakan oleh Silalahi (2009) dan Nababan, dkk (2012) baik dari aspek keakuratan, keberterimaan, maupun keterbacaan. Dari hasil penelitian-penelitian yang telah disebutkan sebelumnya ditemukan bahwa prosedur penerjemahan transposisi dan mdoulasi sangat sering terjadi dalam kegiatan penerjemahan dan penerapan dari kedua prosedur tersebut dalam terjemahan memberikan dampak yang besar terhadap kualitas terjemahan. Kontribusi semua penelitian terdahulu yang relevan tentunya sangat membantu dalam penelitian ini, terlebih untuk mendapatkan gambaran mengenai langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini.
2.3. Kerangka Berpikir
digunakan dalam terjemahan peribahasa dengan berpedoman pada jenis transposisi dan modulasi oleh Machali (2009). Data tersebut kemudian digunakan untuk menilai kualitas terjemahan yang meliputi tingkat keakuratan, keberterimaan dan keterbacaan yang dilakukan oleh rater dan peneliti sendiri dengan menerapkan model penilaian kualitas terjemahan oleh Silalahi (2009) dan Nababan, dkk (2012). Berikut diagram kerangka berpikir dari peneliti.
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir BSu
Bahasa Batak Toba
Modulasi
Keberterimaan Keterbacaan
Kesimpulan Prosedur Penerjemahan
(Machali, 2009)
Keakuratan
BSa
Bahasa Indonesia
Transposisi
Kualitas Terjemahan Silalahi (2009) Nababan, dkk (2012)
Peneliti Raters
Buku