• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PNPM-P2KP (Kasus: KSM Ekonomi Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PNPM-P2KP (Kasus: KSM Ekonomi Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh

AMANDA ANGGRAINI

I34070076

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(2)

Indonesia started sticking since the economic crisis in 1997. Various measures taken by the government to solve the problem of poverty, one of them by issuing the Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) in collaboration with the World Bank in 1997 by providing loan funds to the poor. P2KP considered successful in alleviating poverty so that by the year 2008 the government entered into an integrated program P2KP PNPM Mandiri  The implementation of the PNPM-P2KP unlike other programs that focus on community empowerment. The success of the program be seen from the increasing prosperity of the poor, but in practice the success of the program is only seen from the smoothness level of loan repayment. One goal of this program is to empower women. Unfortunately that meant the empowerment of the program is the provision of loans to women without a more in-depth follow-up. Empowerment of women must be seen from the extent of the development program is able to meet practical gender needs and strategic gender needs.

Keywords: poverty, development programs, PNPM-P2KP, gender, gender anlysis, women empowerment

(3)

Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Di bawah bimbingan WINATI WIGNA).

Kemiskinan masih menjadi permasalahan penting yang harus segera dituntaskan, karena kemiskinan merupakan persoalan multidimensional yang tidak saja melibatkan faktor ekonomi tetapi juga faktor sosial, budaya, dan politik. Permasalahan kemiskinan mulai mencuat saat krisis ekonomi yaitu pada tahun 2007. BPS (2000) menyebutkan bahwa setelah krisis ekonomi melanda, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 79,4 juta orang. Bertolak dari kenyataan tersebut, maka pemerintah merancang berbagai program pembangunan yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan.

Pada tahun 2009, BPS melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia berkurang menjadi 32, 5 juta orang. Hal ini menunjukkan bahwa program-program pembangunan yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan berhasil dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Salah satu program pengentasan kemiskinan tersebut adalah Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang merupakan program kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia pada tahun 1997. P2KP adalah program pemberian pinjaman dana kepada masyarakat miskin yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta sebagai modal untuk membuka usaha.

Sesuai dengan namanya, awalnya P2KP hanya dilaksanakan di wilayah perkotaan saja, mengingat tingkat kemiskinan di perkotaan saat itu lebih tinggi daripada di pedesaan (BPS, 2000). Kemudian seiring berjalannya waktu, P2KP dinilai berhasil dalam mengurangi tingkat kemiskinan di perkotaan sehingga pada tahun 2008 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri mengadopsi P2KP menjadi salah satu program unggulan. Sejak bergabung dalam PNPM Mandiri, jangkauan P2KP mulai meluas yakni menuju wilayah-wilayah di kabupaten serta sasaran program juga tidak hanya berupa pinjaman dana usaha, tetapi juga pinjaman dana untuk lingkungan dan sosial.

(4)

tersebut di Desa Srogol sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pedoman Umum PNPM-P2KP, yaitu terdapat Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), Unit Pengelola (UP), dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), yang semuanya dibentuk sendiri oleh masyarakat. Berdasarkan pengakuan dari BKM dan UP, selama dua periode berjalannya program, Desa Srogol menjadi desa yang paling berhasil dalam Program PNPM-P2KP dibandingkan dengan desa-desa lain di wilayah Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Keberhasilan tersebut dilihat dari tiga hal antara lain (1) dalam bidang lingkungan, pembangunan jalan dan drainase sudah mencapai seluruh wilayah desa; (2) dalam bidang sosial, Kursus Sewing telah menghasilkan banyak tenaga kerja untuk pabrik garmen; (3) dalam bidang ekonomi, tingkat pengembalian dana pinjaman bergulir terbilang paling lancar di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini khusus untuk melihat pengembalian pinjaman pada KSM Ekonomi.

Tingkat pengembalian pinjaman di Desa Srogol yang tergolong lancar, belum menggambarkan keberhasilan program dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti yang tercantum dalam tujuan umum Program PNPM-P2KP. Terlebih program tersebut mengaku sebagai program yang telah memberdayakan kelompok perempuan, maka perlu dilihat sejauhmana keterlibatan dan peran perempuan dalam program. Kerangka Analisis Mosher digunakan untuk melihat sejauhmana program berhasil dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan pemenuhan kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender.

Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan keberhasilan pelaksanaan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol, yakni meliputi relasi gender masyarakat, besar pinjaman, dan tingkat pendidikan. Pelaksanaan Program PNPM-P2KP dilihat berdasarkan akses perempuan terhadap program dan tingkat pengembalian pinjaman. Akses perempuan dalam pelaksanaan Program PNPM-P2KP dilihat dari sejauhmana perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam program mulai dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan program. Pada tahap

(5)

Terdapat hubungan negatif antara besar pinjaman dengan akses perempuan terhadap program, yang berarti jika responden mendapatkan pinjaman dengan jumlah besar, maka seharusnya akses responden terhadap program juga besar. Sayangnya, mayoritas anggota KSM hanya mendapatkan pinjaman dengan jumlah kecil. Tingkat pendidikan tidak memiliki hubungan dengan akses perempuan terhadap program, artinya baik berpendidikan tinggi maupun berpendidikan rendah, semua orang memiliki akses yang sama di dalam pogram. Besar pinjaman juga tidak memiliki hubungan dengan pengembalian pinjaman, artinya jumlah pinjaman yang besar maupun kecil, anggota KSM masih mampu untuk melunasinya. Sedangkan tingkat pendidikan memiliki hubungan positif dengan pengembalian pinjaman, yaitu semakin tinggi pendidikan perempuan maka semakin lancar dalam mengembalikan pinjaman.

Pemberdayaan perempuan tidak dilihat dari sejauhmana program mampu membuat perempuan menjadi berdaya dalam memenuhi kebutuhuan hidupnya serta meningkatkan kesejahteraannya, tetapi lebih pada peran perempuan dalam program sehingga perempuan menjadi berdaya untuk menentukan dan memutuskan sendiri hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangganya. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh perempuan berkaitan dengan relasi gender mereka, sehingga relasi gender juga menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan Program PNPM-P2KP. Relasi gender masyarakat Desa Srogol cenderung rendah, artinya sudah tidak terlalu membedakan peran laki-laki dan perempuan, sehingga relasi gender memiliki hubungan positif dengan akses perempuan terhadap program. Sedangkan terhadap pengembalian pinjaman, relasi gender memiliki hubungan yang negatif. Hal ini berarti relasi gender yang rendah lebih lancar dalam mengembalikan pinjaman.

Berdasarkan analisis gender, peningkatan kesejahteraan masyrakat setelah mengikuti Program PNPM-P2KP merujuk pada pemenuhan kebutuhan praktis dan strategis gender. Tujuan program yang ingin memberdayakan kelompok perempuan mengacu pada pemenuhan kebutuhan strategis. Dari penelitian,

(6)

berarti kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi. Kemudian dalam pemenuhan kebutuhan strategis pun, akses dan pengembalian pinjaman tidak memiliki hubungan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol gagal.

Kegagalan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol perlu menjadi perhatian karena merupakan cerminan bagi pelaksanaan program tersebut di daerah lain. Lancarnya pengembalian pinjaman menjadi indikator keberhasilan program dan mengesampingkan peningkatan kesejahteraan warga miskin. Oleh karena itu, perlu dibuat sebuah indikator untuk peningkatan kesejahteraan yang dimaksud agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menilai keberhasilan program. Sebagai program pemberdayaan kelompok perempuan, pemenuhan kebutuhan strategis menjadi fokus utama dalam program, sehingga pelaksanaan program harus lebih melibatkan perempuan. Sejatinya, pemberdayaan perempuan tidak hanya dengan memberikan pinjaman pada perempuan, tetapi lebih pada upaya membuat perempuan menjadi berdaya terhadap pengambilan keputusan di dalam rumah tangga dan perkembangan usaha mereka dengan dana yang dipinjamkan.

(7)

Oleh

AMANDA ANGGRAINI

I34070076

Skripsi

Sebagai Bahan Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Sains Komunikasi Dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(8)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Amanda Anggraini

NRP : I34070076

Program Studi : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Judul Skripsi : Pemberdayaan Perempuan Melalui Program PNPM-P2KP (Studi Kasus: KSM Ekonomi Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dra Winati Wigna, MDS NIP. 19480327 198303 2 002

Mengetahui,

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua

Dr.Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003

(9)

Ekonomi Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, 9 Februari 2011

Amanda Anggraini I34070076

(10)

menyelesaikan sekolah menengah atas pada SMU Negeri 5 Semarang pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan seperti organisasi dan kepanitiaan, disamping kegiatan asistensi. Penulis aktif dalam beberapa organisasi yakni Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Patra Atlas Semarang, UKM Century, PSM AGRIASWARA, dan Himpunan Profesi (HIMPRO) HIMASIERA. Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan seperti Upgrading UKM Century, Masa Perekenalan Departemen (MPD), Bukti Cinta Lingkungan, Panitia Gebyar Nusantara 2009, dan lain-lain. Penulis menjadi Asisten M.K. Dasar-Dasar Komunikasi selama dua semester.

Selain aktif dalam organisasi dan kepanitiaan, penulis juga aktif dalam perkumpulan teater UP2DATE KPM dan berhasil memenangkan perlombaan IPB Art Contest dua kali berturut-turut. Penulis juga sebagai pendiri dan masih tergabung dalam vokal group Voice Of Communication (VOC) KPM .

(11)

dengan sebaik-baiknya. Skripsi yang berjudul Pemberdayaan Perempuan Melalui PNPM-P2KP (Kasus: KSM Ekonomi Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) ini mengupas tentang penilaian pemberdayaan perempuan sebagai kunci keberhasilan program pembangunan dalam mengatasi kemiskinan dengan menggunakan alat analisis gender. Semoga penulisan Skrispi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

.

(12)

bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya kepada:

1. Allah SWT, pemilik semesta alam, penentu segala kebijakan, tempat mengadu, tiada waktu terindah dan ternyaman selain curhat padaMu Ya Rabb.

2. Dosen Pembimbing Skripsi, Dra. Winati Wigna, MDS yang tidak pernah lelah membimbing, memberi saran dan kritik yang membangun, serta motivasi kepada penulis sehingga Skripsi ini dapat terselesaikan.

3. Dosen Penguji Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS dan Ir. Nuraini W Prasodjo, MS yang bersedia menguji dan memberikan kritikan serta masukan yang membangun.

4. Dosen Penguji Petik, Martua Sihaloho, SP.M.Si, yang telah memberikan kritikan dan masukan pada penulisan skripsi ini sehingga menjadi lebih baik. 5. Dosen Pembimbing Akademik, Dr. Ir. Djuara P. Lubis yang selama ini telah

memberikan saran dan kritik serta semangat disetiap langkah penulis.

6. Ibunda tersayang dan tercinta Siti Nuraini yang telah mengiringi setiap langkah dengan doa dan semangat, serta Ayahanda tercinta Bambang Supriyatna yang selalu mendukung penulis baik moril maupun materil , dan tak lupa adik tersayang Ibnu Fauzar yang selalu menyemangati penulis.

7. Teman menjalani hidup, Taufiq Perdana yang selalu ada dalam suka dan duka, selalu sabar menunggu, membimbing dan memberi cinta dalam setiap langkah penulis.

8. Seluruh masyarakat Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat pada umumnya dan pengurus BKM, UPK serta anggota KSM Ekonomi khususnya yang telah berbagi dan memberikan informasi mengenai Program PNPM-P2KP.

9. Keluarga Sidoarjo, Bapak Wahyudhi, Ibu Soeryatini, dan Kakak Ovie yang selalu menyemangati penulis dalam menyelesaikan kuliah dan skripsi.

(13)

menyemangati penulis dalam setiap langkah penyusunan skripsi, serta selalu mengingatkan bahwa hal terindah adalah cinta dan persahabatan.

12. Teman-teman KPM 44, Dyah, Ali, Wiwit, Ira, Christin, dan Dedy yang senantiasa membantu penulis ketika sedang sangat membutuhkan bantuan. Teman tak disangka, bukan pahlawan kesiangan.

13. Teman-teman Rangers Monyet, Anza, Argya, Besta, dan Aisyah, yang tetap dan terus menjadi sahabat penyemangat selama di IPB.

14. Teman-Teman satu kosan Bateng 23, Ka Indri, Ka Beybi, Ka Nana, dan Nyoman, yang selalu menyemangati penulis dan terkadang mengganggu penulis dalam bekerja.

15. Teman-teman Up2Date dan VOC (Rajib, Fera, Asri, Arsyad, Lukman, Haidar, Yoshinta, Laras, Yuvita, Dian, Gian, Hendra, Diadji, dan lain-lain) yang selalu memberikan penampilan terbaik dalam setiap perform, memberikan banyak pengalaman dalam teater dan menyanyi. Berkat kalian, saya dapat memahami bahwa ada banyak hal yang lebih penting daripada mencari ketenaran.

16. Teman-teman KPM 44, dari kecerewetan kita inilah akan lahir pemikir-pemikir besar, pemimpin-pemimpin baru. Tunjukkan bahwa tak selamanya banyak omong pertanda otak kosong. You Rock guys !

Segala pihak yang terlewatkan dan tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu, menyemangati, dan mengisi hari-hari penyusunan skripsi saya dengan tawa, semangat, dan doa.

(14)

DAFTAR TABEL………... x

DAFTAR GAMBAR……….. xiii

BAB I. PENDAHULUAN………... 1 1.1. Latar Belakang………. 1.2. Perumusan Masalah………... 1.3. Tujuan Penelitian………. 1.4. Kegunaan Penelitian……… 1 6 7 7 BAB II. PENDEKATAN TEORITIS……….. 8

2.1.Tinjauan Pustaka……….. 2.1.1. Gender dan Jenis Kelamin……… 2.1.2. Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender……….. 2.1.2.1. Marginalisasi……… 2.1.2.2. Subordinasi Terhadap Perempuan……… 2.1.2.3. Stereotype………. 2.1.2.4. Beban Kerja Ganda……….. 2.1.2.5. Kekerasan Terhadap Perempuan………. 2.1.3. Analisis Gender………

2.1.3.1. Kerangka Analisis Harvard……….. 2.1.3.2. Kerangka Analisis Mosher………... 2.1.3.3. Kerangka Pemberdayaan……….. 2.1.4. Pemberdayaan Perempuan Berdasarkan Analisis Gender 2.1.5. Kesejahteran dan Pembangunan………... 2.1.6. Gambaran Umum PNPM-P2KP………... 2.1.6.1. Tujuan Umum dan Tujuan Khusus……….. 2.1.6.2. Nilai-Nilai dan Prinsip Yang Mendasari PNPM-P2KP……….. 2.1.6.3. Sasaran PNPM-P2KP………... 2.2. Penelitian Sebelumnya……… 2.3. Kerangka Pemikiran……….. 2.4. Hipotesis Penelitian……… 2.5. Definisi Operasional………... 2.5.1. Tingkat Relasi Gender…..……… 2.5.2. Tingkat Pendidikan………... 2.5.3. Tingkat Besarnya Pinjaman……….. 2.5.4. Pinjaman Dana Program PNPM-P2KP……… 2.5.4.1. Tingkat Akses Terhadap Program…..…………. 2.5.4.2. Tingkat Pengembalian Pinjaman..………... 2.5.5. Pemberdayaan Perempuan………

2.5.5.1. Kebutuhan Praktis Gender……… 2.5.5.2. Kebutuhan Strategis Gender……….

8 8 10 10 12 12 12 13 14 15 16 16 17 19 22 23 23 25 25 26 31 32 32 33 33 33 33 34 34 34 35

(15)

3.4. Teknik Pengumpulan Data………... 3.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data………

38 39 BAB IV. KEADAAN UMUM DESA SROGOL……… 41

4.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian……….. 4.1.1. Kondisi Fisik Desa Srogol……….. 4.1.2. Keadaan Umum Pendudukan……….… 4.1.3. Kelembagaan……….. 4.2. Profil Responden……….. 4.2.1. Umur Responden……… 4.2.2. Tingkat Pendidikan……… 4.2.3. Mata Pencaharian………... 41 41 43 46 49 49 50 50 BAB V. KERAGAAN PROGRAM PNPM-P2KP DI DAERAH

PENELITIAN..……… 52

5.1. Gambaran Umum Program PNPM-P2KP di Desa Srogol…... 5.2. Pelaksanaan Program PNPM-P2KP……….

5.2.1. Pembentukan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan Unit Pelaksana (UP)………. 5.2.2. Pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).

52 54

54 61 BAB VI. PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PROGRAM

PNPM-P2KP………

64

6.1. Keberhasilan Program Berdasarkan Pengembalian Pinjaman 6.1.1. Dana Pinjaman Bergulir di Desa Srogol……… 6.1.2. KSM dan Pengembalian Pinjaman………. 6.1.3. Analisis Keberhasilan Program Berdasarkan Pengembalian Pinjaman………... 6.2. Analisis Gender Terhadap Keberhasilan Program…………... 6.2.1. Relasi Gender Masyarakat Desa Srogol……….. 6.2.2. Gender dalam Program PNPM-P2KP……… 6.3. Pemberdayaan Perempuan Melalui Program PNPM-P2KP…

6.3.1. Pemenuhan Kebutuhan Praktis dan Kebutuhan Strategis Gender………... 6.3.2. Hubungan Keberhasilan Program PNPM-P2KP Dengan Pemberdayaan Perempuan………..

64 64 66 73 77 77 83 87 87 92

BAB VII. PENUTUP………... 97

7.1. Kesimpulan………... 7.2. Saran……… 97 100 DAFTAR PUSTAKA……….. 101 LAMPIRAN……… 103

(16)

Tabel 2. Daftar Nama KSM Bidang Ekonomi PNPM-P2KP Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010

38

Tabel 3. Luas Tanah Desa Berdasarkan Penggunaannya, 2008……….. 42 Tabel 4. Komposisi Jumlah Penduduk Desa Srogol Berdasarkan

Tingkat Umur dan Jenis Kelamin, 2008………. 44

Tabel 5. Komposisi Jumlah Penduduk Desa Srogol Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin, 2008………

45

Tabel 6. Komposisi Jumlah Penduduk Desa Srogol Berdasarkan Usia Kerja dan Jenis Kelamin, 2008………..

45

Tabel 7. Komposisi Jumlah Penduduk Desa Srogol Berdasarkan Mata Pencaharian Utama dan Jenis Kelamin, 2008………

46

Tabel 8. Nama Kampung Berdasarkan Rukun Warga (RW) Desa Srogol, 2008………...

48

Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Umur, 2010.. 50 Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat

Pendidikan, 2010……… 50

Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Mata Pencaharian, 2010………..

51

Tabel 12. Komposisi Pengurus BKM Desa Srogol, 2009……….. 53 Tabel 13. Distribusi Perguliran Dana Pinjaman Program PNPM-P2KP di

Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010………....

65

Tabel 14 Jenis dan Jumlah KSM Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010………..

67

Tabel 15. Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Responden Berdasarkan Tingkat Kekayaan di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010……….

68

Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usaha Yang Dimiliki di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010………

69

Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Perkembangan Usaha Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010………..

70

Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarakan Tingkat Besarnya Pinjaman Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010…..………

71

Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Akses Terhadap Program di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010………..

72

Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pengembalian Pinjaman Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010………

72

Tabel 21. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Besar Pinjaman dan Tingkat Akses Terhadap Program di Desa

(17)

2010………. Tabel 23. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Besar Pinjaman dengan Tingkat Pengembalian Pinjaman di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010………...

74

Tabel 24. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pengembalian Pinjaman di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010……..

75

Tabel 25. Jumlah dan Presentase Responden Berdasarkan Tingkat Relasi Gender dalam Rumah Tangga Responden, Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010………..

78

Tabel 26. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Relasi Gender yang Dianut di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010……….

79

Tabel 27. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Relasi Gender dan Tingkat Akses Terhadap Program Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010………..

84

Tabel 28. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Relasi Gender dan Pengembalian Pinjaman di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010………..

85

Tabel 29. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Relasi Gender dan Tingkat Besar Pinjaman di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010………..

86

Tabel 30. Persentase Responden Berdasarkan Pemenuhan Kebutuhan Praktis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010………

87

Tabel 31. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Keberhasilan Program Dalam Memenuhi Kebutuhan Praktis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010……….

88

Tabel 32. Persentase Responden Berdasarkan Perubahan Pemenuhan Kebutuhan Strategis Gender di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010……….

89

Tabel 33. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Keberhasilan Program Dalam Memenuhi Kebutuhan Strategis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010…….

91

Tabel 34. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Besar Pinjaman dan Pemenuhan Kebutuhan Praktis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010………..

93

Tabel 35. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Akses Terhadap Program dan Pemenuhan Kebutuhan Praktis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010…….

93

Tabel 36. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pengembalian Pinjaman dan Pemenuhan Kebutuhan Praktis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010.

(18)

Terhadap Program dan Pemenuhan Kebutuhan Strategis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010. Tabel 39. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat

Pengembalian Pinjaman dan Pemenuhan Kebutuhan Strategis di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010……….

(19)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Perempuan Melalui Program PNPM-P2KP, 2010………..

30

Gambar 2. Bagan Pencairan Dana PNPM-P2KP Desa Srogol, 2008…….. 58 Gambar 3. Pembangunan Drainase di RW 04, Desa Srogol, 2008……….. 60 Gambar 4. Kursus Sewing di Desa Srogol, 2010………. 60 Gambar 5 Jenis Usaha Warung yang Dimiliki Oleh Anggota KSM, 2010 69 Gambar 6 Jenis Usaha Jahit yang Dimiliki Oleh Anggota KSM, 2010….. 69 Gambar 7. Kegiatan Pengajian Ibu-Ibu di RW 03, 2010………. 83

(20)

Lampiran 1. Gambar Denah Desa Srogol Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor,2000………..…………

104

Lampiran 2. Matriks Alokasi Waktu Pelaksanaan Penelitian……… 105

Lampiran 3. Panduan Pertanyaan Wawancara Mendalam Kepada Pengurus BKM Desa Srogol, 2010………..…………. 106 Lampiran 4. Panduan Pertanyaan Wawancara Mendalam Kepada UPK Desa Srogol, 2010……….……… 107 Lampiran 5. Kuesioner Penelitian……….. 108

Lampiran 6. Data Potensi Sumber Daya Alam Desa Srogol, 2008……. 120

Lampiran 7. Data Kependudukan Desa Srogol, 2008……….. 121

Lampiran 8. Data Tabungan KSM Ekonomi Tahun 2009………. 127

Lampiran 9. Data Register Tabungan KSM Tahun 2009...………... 128

(21)

1.1 Latar Belakang

Menurut para ahli, kemiskinan masih menjadi permasalahan penting yang harus segera dituntaskan, karena kemiskinan merupakan persoalan multidimensional yang tidak saja melibatkan faktor ekonomi, tetapi juga faktor sosial, budaya, dan politik. Menurut Ellis (1984) dalam Suharto (2005), dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik, dan sosial-psikologis, sementara Nainggolan (2005) menyatakan bahwa kemiskinan merupakan masalah pembangunan kesejahteraan sosial yang berkaitan dengan aspek-aspek pengangguran, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan pada penduduk miskin.

Sejatinya, hakikat pembangunan adalah pengubahan dan pembaharuan. Dalam konteks tersebut, Mosse (1993) menyatakan bahwa pembangunan sebaiknya mencakup sejumlah hal berkenaan: (1) penanggulangan kemiskinan, (2) keterlibatan semua orang secara adil dalam perekonomian, (3) perbaikan kualitas hidup perempuan dan laki-laki, khususnya untuk akses terhadap barang dan jasa esensial, yang bersama-sama dengan informasi diperlukan mereka untuk membuat pilihan, (4) penciptaan berbagai macam basis kegiatan produktif untuk memenuhi kebutuhan penduduk dan memungkinkan keadaan perekonomian negara berubah dalam perekonomian internasional, (5) pembentukan kembali pembagian kerja secara seksual, (6) penciptaan pranata politik yang melindungi dan memungkinkan pelaksanaan hak azasi warga negara dan sosial (termasuk hak-hak perempuan), dan menyediakan kondisi-kondisi bagi akses terhadap hak-hak ini dalam cara yang memungkinkan konflik sosial dipecahkan secara damai, (7) penghargaan terhadap nilai kultural dan aspirasi pelbagai kelompok sosial.

Sejak krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 lalu, memasuki era reformasi pemerintah telah menetapkan sejumlah kebijakan dan program untuk mengembalikan keadaan ekonomi negara supaya menjadi stabil kembali, terutama berkaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Dewasa ini, penduduk miskin di Indonesia relatif masih besar. Data BPS tahun 2000, menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin

(22)

di Indonesia adalah 79,4 juta orang (BPS, 2000). Jumlah dan persentasenya

menurun menjadi 37,2 juta orang 2007, dan pada tahun 2009 menjadi 32,5 juta

orang (BPS, 2009).

Menurunnya jumlah penduduk miskin di Indonesia ini tidak luput dari usaha-usaha pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Berbagai kebijakan dan program-program pembangunan dibuat oleh pemerintah untuk menanggulangi masalah kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat. Sajogyo

(1999) dalam Nur (2004) mengungkapkan bahwa penanggulangan kemiskinan

adalah sebuah kebijakan strategis yang mau tidak mau mesti diambil oleh pemerintah sebagai agen pembangunan yang bertanggung jawab atas terselenggaranya perbaikan sosial pada segenap lapisan masyarakat.

Sejumlah program pembangunan yang telah diintroduksikan pemerintah untuk pengentasan kemiskinan, antara lain berupa Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S), Program Mandiri Pangan. Selain itu, terdapat program-program pemberdayaan perempuan diantaranya melalui Pelatihan Kepemimpinan Wanita (LKW), Bimbingan Usaha Swadaya Wanita Desa (USWD), Pengembangan Usaha Kelompok (PUK), Bimbingan Pencegahan Desa Rawan Masalah Sosial (PDR), Proyek Penyantunan dan Pengentasan Fakir Miskin (PPFM), Pengembangan Dasa Wisma, Pengembangan Masyarakat oleh Perusahaan, Inpres Desa Tertinggal (IDT), serta Pengembangan Karang Taruna.

Pasca krisis ekonomi 1997, pemerintah bekerjasama dengan Bank Dunia mengintroduksikan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), untuk mengatasi permasalahan kemiskinan penduduk di wilayah perkotaan, dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) untuk di wilayah pedesaan. Dalam pelaksanaannya, P2KP diwadahi oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).

Sejak pelaksanaan P2KP-1 hingga pelaksanaan P2KP-3 saat ini telah terbentuk sekitar 6.405 BKM yang tersebar di 1.125 kecamatan di 235 kota/kabupaten, telah memunculkan lebih dari 291.000 relawan-relawan dari masyarakat setempat, serta telah mencakup 18,9 juta orang pemanfaat (penduduk miskin), melalui 243.838 KSM (Pedoman Umum PNPM-P2KP, 2008).

(23)

Mempertimbangkan perkembangan positif P2KP tersebut, mulai tahun 2007 telah dirintis untuk mengadopsi P2KP menjadi bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program ini menjadi program terpadu yang menaungi seluruh program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat, yang tujuan umumnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri. Untuk selanjutnya P2KP berubah nama menjadi PNPM-P2KP.

Secara umum, PNPM-P2KP menganut tujuan dan pendekatan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pedoman Umum PNPM Mandiri. Salah satu tujuan PNPM-P2KP adalah untuk meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil, dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan dan sering terpinggirkan ke dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan (Pedoman Umum PNPM-P2KP, 2008). Berdasarkan rumusan tujuan tersebut, terlihat dengan jelas bahwa sepertinya program pembangunan PNPM-P2KP telah berwawasan gender, karena di dalam pelaksanaan program, peran dan kedudukan laki-laki maupun perempuan adalah setara.

Lebih lanjut, oleh karena, salah satu sasaran PNPM-P2KP adalah kelompok perempuan, maka sepertinya dapat dipastikan bahwa program ini mampu untuk memberdayakan perempuan. Hal ini antara lain dikemukakan Sari

(2003) dalam Nainggolan (2005), yang menyatakan bahwa P2KP merupakan

program yang mengadopsi mekanisme perencanaan bottom-up planning yang dimulai dari level komunitas dan secara khusus melibatkan partisipasi perempuan dalam semua kegiatannya, mulai dari perencanaan maupun pelaksanaan proses pembangunan. Namun demikian, faktanya menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam proses pembangunan belum memberikan manfaat yang optimal bagi pemenuhan kebutuhan praktis gender yakni pemenuhan kebutuhan sekarang dan kebutuhan strategis gender yang berupa penyetaraan kedudukan laki-laki dan perempuan.

Merujuk pada tata cara pelaksanaan Program PNPM-P2KP -yang tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan P2KP, perempuan tampaknya menjadi salah satu subyek program yang cukup penting, sehingga dapat dikatakan bahwa

(24)

Program PNPM-P2KP telah berwawasan gender. Akan tetapi, berdasarkan beberapa studi dan hasil observasi sebelumnya, diketahui bahwa perempuan sering tidak dilibatkan dalam pelaksanaan program. Hal tersebut diantaranya dikemukakan Lu’Lu (2005) yang dalam,studinya menemukan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan P2KP di Kelurahan Kedung Badak tidak berhasil adalah karena tidak dilibatkannya perempuan dalam program, baik pada tahap perencanaan maupun tahap pelaksanaan. Hal itu tercermin diantaranya dari sedikitnya perempuan yang hadir dalam rapat atau musyawarah desa pada tahap persiapan program, yaitu hanya dua sampai tiga orang dari jumlah seluruh peserta musyawarah desa. Demikian halnya pada tahap pelaksanaan, dalam tataran keorganisasian BKM dan KSM, keterlibatan perempuan pada kedua lembaga tersebut masih kurang, bahkan dijumai adanya perempuan yang tidak dilibatkan dalam struktur kepengurusan BKM. Demikian pula pada tataran kelompok sasaran (penerima kredit) masih didominasi oleh laki-laki (Nainggolan, 2005).

Berbeda dengan P2KP, pemilihan daerah sasaran PNPM-P2KP juga mencakup sejumlah kelurahan di kabupaten. Berdasarkan data Podes 2005, telah dipilih sejumlah kecamatan di perkotaan dan kecamatan yang menjadi ibukota kabupaten untuk ditetapkan menjadi daerah sasaran program. Pada tahun 2005 terdapat 1072 kecamatan perkotaan sebagai calon kecamatan sasaran Program PNPM-P2KP (Pedoman Umum PNPM-P2KP, 2008).

Diantara sejumlah desa penerima PNPM-P2KP, Desa Srogol, merupakan salah satu desa penerima bantuan Program PNPM-P2KP dari tahun 2007 yang dinilai berhasil dari segi administrasi dan memperoleh peringkat yang cukup baik di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Keberhasilan Desa Srogol ini berkaitan dengan tingginya tingkat kelancaran pengembalian pinjaman dari anggota-anggota KSM.

Permasalahannya adalah bahwa keberhasilan dalam kelancaran pengembalian pinjaman dari para anggota KSM tersebut belum menggambarkan kemampuan PNPM-P2KP dalam meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Tingkat pengembalian pinjaman di Desa Srogol yang terbilang lancar berkaitan dengan jumlah nominal dana pinjaman yang sangat kecil. Dana pinjaman yang kecil tersebut hanya bermanfaat bagi anggota KSM yang sudah memiliki usaha

(25)

karena dapat digunakan untuk menambah modal usaha. Namun demikian, faktanya banyak usaha yang dimiliki oleh anggota KSM tersebut tidak berkembang, sementara bagi anggota KSM yang tidak memiliki usaha, dana pinjaman hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena tidak cukup jika digunakan untuk membuka usaha baru.

Sebagai program yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan, pelaksanaan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol belum mampu untuk meningkatkan peran perempuan dalam program. Walaupun jumlah KSM yang beranggotakan perempuan di Desa Srogol jumlahnya lebih banyak dibanding KSM yang beranggotakan laki-laki, belum menggambarkan bahwa Program PNPM-P2KP telah berhasil memberdayakan perempuan. Pemberdayaan perempuan dalam program dilihat dari sejauhmana program tersebut mampu memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan dan laki-laki dalam pelaksanaan program. Terlebih lagi program mampu membuat perempuan menjadi berdaya dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan program dan pengembangan usaha yang dimilikinya. Pemberdayaan perempuan tidak hanya dilihat dari sejauhmana program mampu memenuhi kebutuhan praktis gender, yaitu meningkatkan kesejahteraan perempuan, tetapi yang lebih utama adalah program mampu mencukupi kebutuhan strategis gender, yakni menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan.

Berdasarkan pemasalahan di atas, penting untuk melakukan kajian untuk menelaah keberhasilan atau kemampuan PNPM-P2KP dalam memberdayakan perempuan berdasarkan pemenuhan kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.

(26)

1.2 Perumusan Masalah

Misi utama program-program pembangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu program pemerintah yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan adalah Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang telah berjalan dari tahun 1999-2004. P2KP merupakan program kerjasama antara pemerintah dengan Bank Dunia yang awalnya bertujuan untuk mengatasi krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997. P2KP dinilai berhasil dalam mengentaskan kemiskinan sehingga pemerintah mengadopsi program tersebut ke dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) pada tahun 2008. PNPM Mandiri merupakan program terpadu yang menaungi seluruh program-program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat. Salah satu tujuan Program PNPM-P2KP adalah untuk meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil, dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan dan sering terpinggirkan ke dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan.

Pelaksanaan program P2KP dari tahun 1999 hingga kini berubah menjadi Program PNPM-P2KP, masalah yang paling penting dan sering dirasakan oleh pengurus BKM dan UPK adalah sulitnya mengembalikan pinjaman atau kredit macet. Beberapa studi dan observasi yang telah dilakukan sebelumnya (Lu’Lu, 2005 dan Nainggolan, 2005) mengenai pengembalian kredit P2KP menunjukkan bahwa banyak anggota KSM yang menunggak kredit atau terlambat mencicil. Berbeda halnya dengan pelaksanaan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol yang terbilang cukup lancar dalam mengembalikan pinjaman. Jumlah pinjaman yang tidak terlalu besar menjadi salah satu penyebab lancarnya pengembalian pinjaman anggota KSM. Akan tetapi, tingkat pengembalian pinjaman yang cukup tinggi belum tentu menunjukkan peningkatan kesejahteraan anggota. Banyak juga kasus yang menunjukkan bahwa dana pinjaman tidak digunakan untuk menjalankan usaha tetapi digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Walaupun anggota KSM di Desa Srogol mayoritas adalah perempuan, belum menggambarkan program tersebut berhasil dalam memberdayakan perempuan.

(27)

Pemberdayaan perempuan dilihat dari sejauhmana perempuan mampu menjadi pengambil keputusan dalam rumah tangga, terutama dalam pengembangan usahanya. Pada kenyataannya, pengambil keputusan dalam rumah tangga untuk mengikuti program dan mengembalikan pinjaman masih dipegang oleh laki-laki.

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam kajian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana tingkat keberhasilan Program PNPM-P2KP dilihat dari tingkat

pengembalian pinjaman?

2. Adakah dan bagaimana hubungan tingkat relasi gender dengan tingkat

pengembalian pinjaman?

3. Apakah Program PNPM-P2KP berhasil memberdayakan perempuan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Bagaimana tingkat keberhasilan Program PNPM-P2KP dilihat dari tingkat

pengembalian pinjaman;

2. Bagaimana hubungan tingkat relasi gender tingkat pengembalian pinjaman;

dan

3. Apakah Program PNPM-P2KP berhasil memberdayakan perempuan.

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari kajian penelitian ini adalah:

1. Memberikan wawasan tentang analisis gender terhadap program-program

partisipatif bagi peneliti yang ingin mengkaji lebih dalam.

2. Memberikan sumbangsih bagi pengambil kebijakan dalam menyusun

dasar-dasar program pembangunan dalam upaya untuk mengentaskan kemiskinan serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat miskin agar lebih memperhatikan aspek gender dan keragaman dalam masyarakat.

3. Bagi peneliti kajian ini dapat bermanfaat sebagai bahan untuk menambah

wawasan dan pengetahuan tentang program pemberdayaan masyarakat yang berbasis gender.

(28)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Gender dan Jenis Kelamin

Pada umumnya, masyarakat menganggap bahwa gender merupakan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan sebagai refleksi dari perbedaan jenis kelamin, bahkan pada masyarakat tertentu, gender dianggap sebagai kodrat Tuhan. Pengertian seperti ini sangat keliru, namun telah berkembang dan mengakar dalam budaya masyarakat. Konsep gender berbeda dengan jenis kelamin.

Secara struktur biologis atau jenis kelamin, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang masing-masing memiliki alat dan fungsi biologis yang melekat serta tidak dapat dipertukarkan. Fakih (1999) dalam Qoriah (2008) mendefinisikan jenis kelamin sebagai pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang melekat secara permanen pada diri seseorang yang tidak dapat dipertukarkan. Begitu pula yang dikemukakan oleh Mosse (1993) bahwa jenis kelamin biologis merupakan pemberian, kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Pendapat ini diperkuat dengan pernyataan Handayani (2008) bahwa laki-laki tidak dapat menstruasi, tidak dapat hamil, karena tidak memiliki organ reproduksi, sedangkan perempuan tidak bersuara berat, tidak berkumis, karena keduanya memiliki hormon yang berbeda.

Mosse (1993) menjelaskan bahwa jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita. Sejak kita sebagai bayi mungil hingga mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Hal inilah yang disebut dengan gender.

Istilah gender merupakan penafsiran yang melekat pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari proses pembentukan struktur sosial dan kultural (Hadiprakoso, 2005). Pernyataan ini diperkuat dengan pendapat Fakih (1999) dalam Qoriah (2008) yakni gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum

(29)

laki-laki dan perempuan yang dikontruksikan secara sosial maupun kultural. Begitu pula yang dikemukakan oleh Mugniesyah (2002) bahwa konsep gender adalah perbedaan sifat laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan oleh sistem nilai budaya dan struktur sosial. Bentukan sosial atas laki-laki dan perempuan itu antara lain: perempuan dikenal sebagai makhluk yang lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sifat-sifat di atas dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu.

Holzner (1997) dalam Saptari (1997) menyatakan bahwa ideologi gender ialah segala aturan, nilai-nilai stereotipe yang mengatur hubungan antara wanita dan pria, melalui pembentukan identitas feminin dan maskulin. Maskulin adalah sifat-sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ciri-ciri yang ideal bagi pria, sedangkan feminin merupakan ciri-ciri atau sifat-sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ideal bagi wanita. Feminitas dan maskulinitas berkaitan dengan stereotipe peran gender. Lebih lanjut Mosse (1996) menjelaskan bahwa peran gender dapat berubah seiring waktu dan berbeda antara satu kultur dengan kultur lainnya. Peran juga dipengaruhi oleh kelas sosial, usia, dan latar belakang etnis. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan (Handayani, 2008).

(30)

2.1.2. Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender

Perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan gender (gender inequality). Ketidakadilan gender bisa berakar dari ketimpangan hubungan gender tradisional (misalnya akses perempuan terhadap lahan) atau muncul dalam bentuk baru (masalah segregasi gender dalam industri modern) (Nainggolan, 2005). Kesenjangan peran gender merupakan kontruksi sosial yang secara sistematis terbentuk melalui budaya dan pendidikan, dan telah berjalan dalam waktu yang lama sehingga ketidakadilan gender dianggap sebagai hal biasa saja. Anggapan seperti ini bukan hanya milik laki-laki, sebagian besar perempuan juga berpikir demikian.

Fakih (2003) dalam Nainggolan (2005) menyatakan bahwa perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequlities). Diperkuat dengan pendapat Hadiprakoso (2005), jika secara biologis perempuan dapat hamil lalu melahirkan sehingga perempuan memiliki peran gender sebagai perawat, pengasuh, dan pendidik anak, sesungguhnya tidak menjadi masalah dan tidak perlu digugat. Namun persoalannya perbedaan peran gender tersebut telah terbentuk dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga terbentuk anggapan bahwa peran perempuan sebagai ibu rumah tangga yang harus mengurus dan merawat anak. Perbedaan peran tersebut menghasilkan ketidakadilan gender.

Fakih (1999) dalam Puspitasari (2006) kemudian menjelaskan bahwa ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai korban dari sistem. Bentuk manifestasi ketidakadilan gender ini adalah mempersepsi, memberi nilai serta dalam pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan. Handayani dan Sugiarti (2008) menjelaskan beberapa bentuk ketidakadilan gender sebagai berikut:

2.1.2.1. Marginalisasi Perempuan

Bentuk manifestasi ketidakadilan gender adalah proses merginalisasi atau pemiskinan terhadap kaum perempuan. Marginalisasi atau disebut juga pemiskinan ekonomi. Dari segi sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi, dan kebiasaan atau bahkan asumsi

(31)

ilmu pengetahuan. Nainggolan (2005) menyebutkan terdapat beberapa contoh marginalisasi perempuan antara lain:

a. Marginalisasi dalam Negara

Dalam praktik kehidupan bernegara pemimpin birokrasi jarang diberikan kepada perempuan, walaupun dalam pernyataannya dikatakan bahwa pimpinan birokrasi itu dapat dijabat perempuan. Akibat marginalisasi terjadi proses domestifikasi, sehingga pekerjaan perempuan di sektor publik dianggap ketidaknormalan, sekedar mencari pekerjaan tambahan. Selain itu marginalisasi juga menyebabkan perempuan menjadi obyek, seperti obyek alat kontrasepsi.

b. Marginalisasi dalam Masyarakat

Dalam proses pembangunan, perempuan diikutsertakan tetapi tidak pernah diajak turut serta mengambil keputusan. Pendapat perempuan jarang didengarkan. Perempuan diberi tugas melaksanakan pekerjaan hasil keputusan laki-laki.

c. Marginalisasi dalam Organisasi atau tempat kerja

Penerimaan kerja dalam suatu lembaga/organisasi, diutamakan untuk laki-laki dengan alasan perempuan kurang produktif (misalnya cuti hamil dan sakit karena haid). Apabila ada lowongan jabatan pimpinan, pihak laki-laki lebih mendapat prioritas, sementara perempuan disingkirkan dari jabatan kepemimpinan sekalipun ia mampu melaksanakannya.

d. Marginalisasi dalam Keluarga

Perempuan tidak diakui sebagai kepala keluarga. Perempuan tidak boleh memimpin dan memerintah suami, sekalipun suami tidak bisa memimpin. Walaupun yang menyediakan makan ibu, tetapi bapak dan anak laki-laki yang didahulukan. Ibu dan anak perempuan juga membereskan semuanya, seperti mencuci piring, membersihkan meja makan, dan lain sebagainya. Apabila keuangan terbatas, pilihan yang harus sekolah adalah anak laki-laki, walaupun anak perempuannya lebih pandai. Istri dinyatakan “berdosa” bila tidak tersedia melayani kebutuhan seks suami, walaupun ia sangat penat karena bekerja, dan lain sebagainya.

(32)

e. Marginalisasi dalam Diri Sendiri

Dalam diri perempuan sendiri ada perasaan tidak mampu, lemah, menyingkirkan diri sendiri, karena tidak percaya diri.

2.1.2.2. Subordinasi Terhadap Perempuan

Subordinasi adalah anggapan bahwa perempuan tidak penting terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Perempuan tersubordinasi oleh faktor-faktor yang dikonstruksikan secara sosial. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional, sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, dan berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Bentuk subordinasi terhadap perempuan yang menonjol adalah bahwa semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai reproduksi dianggap lebih rendah dan menjadi subordinasi dari pekerjaan produksi yang dikuasai lelaki.

2.1.2.3. Stereotype

Stereotype adalah pelabelan negatif terhadap suatu kelompok atau jenis pekerjaan tertentu, biasanya pelabelan ini selalu berakibat pada ketidakadilan, sehingga dinamakan pelabelan negatif. Hal ini disebabkan pelabelan yang sudah melekat pada laki-laki, misalnya laki-laki adalah manusia yag kuat, rasional, jantan, dan perkasa sedangkan perempuan adalah makhluk yang lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Dengan adanya pelabelan tersebut tentu saja akan muncul banyak stereotipe yang dikonstruksi oleh masyarakat sebagai hasil hubungan sosial tentang perbedaan lelaki dan perempuan. Oleh karena perempuan identik dengan pekerjaan-pekerjaan di rumah, maka peluang perempuan untuk bekerja di luar rumah sangat terbatas, bahkan ada juga perempuan yang tidak pernah menerapkan pendidikannya untuk mengaktualisasikan diri.

2.1.2.4. Beban Kerja Ganda

Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Karena adanya anggapan bahwa kaum perempuan bersifat memelihara, rajin dan tidak akan menjadi kepala rumah tangga, maka akibatnya semua pekerjaan domestik

(33)

menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Oleh karena itu, perempuan menerima beban ganda, selain harus bekerja domestik, mereka masih harus bekerja membantu mencari nafkah.

2.1.2.5. Kekerasan Terhadap Perempuan

Kekerasan (violence) adalah suatu serangan (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan yang bersumber dari anggapan gender disebut sebagai “gender-related violence”, yang pada dasarnya disebabkan oleh kekuasaan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan sering terjadi karena budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan. Kekerasan digunakan laki-laki untuk memenangkan perbedaan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan seringkali hanya untuk menunjukkan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan. Pada dasarnya kekerasan yang berbasis gender adalah refleksi dari sistem patriarkhi yang berkembang di masyarakat.

Fakih (1999) dalam Puspitasari (2006) menyatakan bahwa ketidakadilan gender dapat bersifat:

1. Langsung, yaitu pembedaan perlakuan secara terbuka dan berlangsung

disebabkan perilaku/sikap, norma/nilai, maupun aturan yang berlaku.

2. Tidak langsung, seperti peraturan sama, tetapi pelaksanaannya

menguntungkan jenis kelamin tertentu.

3. Sistemik, yaitu ketidakadilan yang berakar dalam sejarah, norma, atau

struktur masyarakat yang mewariskan keadaan yang bersifat membeda-bedakan.

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI (2002) mendefinisikan kesetaraan gender sebagai kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (Hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi

(34)

penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.

2.1.3. Analisis Gender

Analisis Gender adalah kerangka kerja yang dipergunakan untuk mempertimbangkan dampak suatu program pembangunan yang mungkin terjadi terhadap laki-laki dan perempuan, serta terhadap hubungan ekonomi dan sosial di antara mereka (Handayani, 2008). Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan RI (2002) menyatakan bahwa analisis gender mencakup kegiatan-kegiatan yang dibangun secara sistemik untuk mengidentifikasikan dan memahami pembagian kerja/peran antara perempuan dan laki-laki; akses dan kontrol yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki atas sumber-sumber daya serta hasil kinerja mereka; pola relasi sosial diantara perempuan dan laki-laki yang asimetris, dan dampak kebijakan, program, proyek, kegiatan-kegiatan pembangunan terhadap perempuan dan laki-laki. Analisis gender memperhitungkan pula bagaimana faktor-faktor lain seperti kelas sosial, ras, suku, ekonomi-politik makro atau faktor-faktor lainnya berinteraksi dengan gender untuk menghasilkan keadaan yang diskriminatif. Analisis gender biasanya dilakukan pada tingkat mikro seperti keluarga, kelompok-kelompok kecil atau komunitas, dan pada semua sektor. Hadiprakoso (2005) menyatakan bahwa analisis gender merupakan analisis sosial (mencakup ekonomi, budaya, dan lain sebagainya) yang melihat perbedaan perempuan dan laki-laki dari segi kondisi/situasi dan kedudukan/posisi di dalam keluarga dan masyarakat.

Secara garis besar terdapat tiga kategori alat yang dapat digunakan untuk menganalisis situasi dan posisi gender di dalam masyarakat dan keluarga (Handayani, 2008). Melalui teknik analisis gender berbagai kesenjangan maupun isu gender yang terjadi dalam masyarakat dan lingkungan dapat teridentifikasi. Ketiga teknik analisis gender tersebut adalah: (1) Kerangka Analisis Harvard, (2) Kerangka Analisis Moser, dan (3) Kerangka Pemberdayaan. Ketiga alat analisis gender tersebut secara singkat dijelaskan dalam bentuk matriks sebagai berikut:

(35)

Tabel 1. Matriks Alat Analisis Gender dan Pembangunan Tiga Kategori Utama Alat Analisis Gender

Kerangka Harvard* Kerangka Moser** Kerangka

Pemberdayaan***

• Pembagian Kerja:

produktif, reproduktif, dan sosial budaya.

• Akses dan kontrol

terhadap sumberdaya dan manfaat. • Faktor-faktor yang mempengaruhi di dalam masyarakat. • Pembagian peran produktif, reproduktif, dan sosial budaya.

• Kebutuhan praktis

(menyangkut kondisi).

• Kebutuhan strategis

(menyangkut posisi)

• Penguasaan (kontrol).

• Partisipasi aktif dalam

pengambilan keputusan. • Penyadaran. • Akses terhadap sumberdaya dan manfaat. • Kesejahteraan

Alat ini dapat digunakan untuk analisa sebelum membuat perencanaan program pembangunan.

Alat ini dapat digunakan

untuk perencanaan program/proyek

pembangunan.

Alat untuk melihat tahapan pemberdayaan (semakin bertahap ke arah dari kesejahteraan sampai ke penguasaan. Menggambarkan adanya pemerataan dan peningkatan perempuan. Sumber: Wigna, 2002

2.1.3.1 Kerangka Analisis Harvard

Kerangka analisis Harvard memadai untuk menggali data yang berguna pada tahap analisa situasi. Data yang dikumpulkan dapat bersifat umum maupun sangat rinci tergantung kebutuhan. Kerangka analisis ini juga mudah diadaptasi untuk beragam situasi. Selain itu kerangka merupakan alat baru untuk meningkatkan kesadaran gender dan alat latihan yang efektif untuk menganalisis situasi hubungan gender di dalam komunitas (masyarakat) atau suatu organisasi pembangunan. Kerangka analisis Harvard terdiri dari tiga komponen utama yaitu: 1. Pembagian Kerja (dapat dilihat dari profil kegiatan laki-laki dan perempuan). 2. Profil akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi profil kegiatan, akses, dan kontrol

terhadap sumberdaya dan manfaat, partisipasi dalam lembaga dan pengambilan keputusan.

(36)

2.1.3.2 Kerangka Analisis Moser

Teknik analisis Moser adalah suatu teknik analisis yang membantu perencana atau peneliti dalam menilai, mengevaluasi, merumuskan usulan dalam tingkat kebijaksanaan program dan proyek yang lebih peka gender, dengan menggunakan perdekatan terhadap persoalan perempuan (kesetaraan, keadilan, anti kemiskinan, efisiensi, penguatan atau pemberdayaan), identifikasi terhadap peranan majemuk perempuan (reproduksi, produksi, sosial-kemasyarakatan), serta identifikasi kebutuhan gender praktis-strategis.

Alat analisis gender yang dipakai oleh Moser adalah pembagian peran: produktif, reproduktif, dan sosial budaya; pemenuhan kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender. Peran atau kegiatan produktif adalah kegiatan yang menyumbang pendapatan keluarga dalam bentuk uang atau barang, misalnya bertani, berkebun, beternak, berdagang, kerajinan tangan, dsb. Kegiatan reproduktif adalah kegiatan yang menjamin kelangsungan hidup manusia dan keluarga, misalnya melahirkan dan mengasuh anak, pekerjaan rumah tangga, memasak, mencuci, mengambil air, mencari bahan bakar, dsb. Kegiatan sosial adalah kegiatan yang tidak terbatas pada pengaturan rumah tangga, tetapi yang menyangkut kegiatan masyarakat, misalnya berorganisasi dalam kelompok tani, koperasi, PKK, LKMD, kelompok simpan pinjam, dan partisipasi dalam kelompok agama dan sosial budaya. Pembagian peran dan kebutuhan praktis gender menggambarkan akses perempuan terhadap program sedangkan kebutuhan strategis gender menggambarkan kontrol perempuan terhadap program.

2.1.3.3 Kerangka Analisis Pemberdayaan

Pembangunan perempuan merupakan upaya untuk mengatasi hambatan guna mencapai pemerataan/persamaan bagi laki-laki dan perempuan pada setiap tingkat proses pembangunan. Teknik analisis pemberdayaan atau teknik analisis Longwe sering dipakai untuk peningkatan pemberdayaan perempuan khususnya dalam pembangunan. Tingkatan proses pembangunan tersebut secara hierarkhis diawali dengan (1) tingkat kesejahteraan, (2) tingkat akses (terhadap sumberdaya dan manfaat), (3) tingkat penyadaran, (4) tingkat partisipasi aktif (dalam pengambilan keputusan), dan (5) tingkat penguasaan (kontrol).

(37)

Wigna (2002) menyatakan bahwa pemahaman akses (peluang) dan kontrol

(penguasaan) perlu tegas dibedakan. Akses (peluang) yang dimaksud di sini

adalah kesempatan untuk menggunakan sumberdaya ataupun hasilnya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumberdaya tersebut, sedangkan kontrol (penguasaan) diartikan sebagai kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumberdaya. Dengan demikian, seseorang yang mempunyai akses terhadap sumberdaya tertentu, belum tentu selalu mempunyai kontrol atas sumberdaya tersebut, dan sebaliknya. Dicontohkan Wigna bahwa seorang buruh yang menggarap tanah milik orang lain atau seorang anak yang disekolahkan orangtuanya di sekolah unggulan berarti memiliki akses, sementara seorang tuan tanah yang memanfaatkan lahannya atau seorang ayah yang memutuskan sekolah mana yang akan dimasuki anaknya ataupun seorang ibu yang memutuskan apa saja yang boleh dimakan oleh anggota keluarganya.

2.1.4. Pemberdayaan Perempuan Berdasarkan Analisis Gender

Suharto (2005) dalam Sumarti (2008) bahwa pemberdayaan merupakan bentuk tindakan kolektif yang berfokus pada upaya menolong anggota masyarakat (khususnya golongan yang tidak beruntung/tertindas baik oleh kemiskinan maupun diskriminasi kelas sosial, gender) yang memiliki kesamaan minat untuk bekerjasama, mengidentifikasi kebutuhan bersama, dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan. Lebih lanjut, Suharto (2005) dalam Sumarti (2008) menyimpulkan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah kegiatan memperkuat kekuasaan dan keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan merujuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh perubahan sosial, yaitu masyarakat menjadi berdaya.

Konsep pemberdayaan perempuan menurut Zothraa Nadaa (1999) dalam Riana (2003) adalah suatu kondisi atau langkah-langkah yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan kemitrasejajaran antara pria dan wanita dalam pembangunan. Kemitrasejajaran dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan hak dan kewajiban, yang terwujud dalam

(38)

kesempatan, kedudukan, dan peranan yang dilandasi sikap dan perilaku saling membantu dan saling mengisi di semua bidang kehidupan (Riana, 2003). Jadi dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan perempuan bukanlah sebatas upaya menjadikan perempuan menjadi berdaya dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, melainkan sebuah upaya agar perempuan memiliki kesempatan dan status yang setara dengan laki-laki dalam berbagai bidang.

Mengukur keberhasilan program pembangunan menurut perspektif gender, tidak hanya dilihat dari peningkatan kesejahteraan masyarakat atau penurunan tingkat kemiskinan, tetapi lebih kepada sejauhmana program mampu memberdayakan perempuan. Dalam mengukur pengaruh sebuah kebijakan, dan atau program pembangunan terhadap masyarakat menurut perspektif gender, Moser mengemukakan dua konsep penting, yakni pemenuhan kebutuhan praktis dan kebutuhan praktis gender. Pemberdayaan perempuan berdasarkan analisis gender adalah membuat perempuan berdaya dalam memenuhi kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender. Analisis kebutuhan praktis dan strategis berguna untuk menyusun suatu perencanaan ataupun mengevaluasi apakah suatu kegiatan pembangunan telah mempertimbangkan ataupun ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan baik oleh laki-laki maupun perempuan (Moser 1993 dalam Wigna 2002).

Suatu program pembangunan yang berwawasan gender seharusnya berusaha untuk mengidentifikasi ataupun memperhatikan kebutuhan komunitas. Dengan menggunakan pendekatan Gender And Development, kebutuhan komunitas tadi dibedakan antara kebutuhan laki-laki dan perempuan baik bersifat praktis maupun strategis. Kebutuhan praktis berkaitan dengan kondisi (misalnya: kondisi hidup yang tidak memadai, kurangnya sumberdaya seperti pangan, air, kesehatan, pendidikan anak, pendapatan, dll), sedangkan kebutuhan strategis berkaitan dengan posisi (misalnya: posisi yang tersubordinasi dalam komunitas atau keluarga).

Pemenuhan kebutuhan praktis melalui kegiatan pembangunan kemungkinan hanya memerlukan jangka waktu yang relatif pendek. Proses tersebut melibatkan input, antara lain seperti peralatan, tenaga ahli, pelatihan, klinik atau program pemberian kredit. Umumnya kegiatan yang bertujuan

(39)

memenuhi kebutuhan praktis dan memperbaiki kondisi hidup akan memelihara atau bahkan menguatkan hubungan tradisional antara laki-laki dan perempuan yang ada. Kebutuhan strategis biasanya berkaitan dengan perbaikan posisi perempuan (misalnya memberdayakan perempuan agar memperoleh kesempatan lebih besar terhadap akses sumberdaya, partisipasi yang seimbang dengan laki-laki dalam pengambilan keputusan) memerlukan jangka waktu relatif lebih panjang.

2.1.5. Kesejahteraan dan Pembangunan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), miskin adalah tidak berharta benda atau serba kurang. World Bank (2003) menyatakan bahwa kemiskinan diukur dari pendapatan tertentu yakni dua dolar AS perhari. Sementara menurut Soekanto dalam Handayani (2009), kemiskinan merupakan suatu kondisi ketidaksesuaian penghasilan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang terjadi secara terus-menerus dengan waktu relatif lama seiring dengan ritme kehidupan sehari-hari dan akan mempengaruhi tingkat konsumsi, kesehatan, dan proses pengambilan keputusan. Diperkuat oleh Hadiprakoso (2005) bahwa kemiskinan merupakan fenomena sosial yang ditandai dengan ketidakmampuan seseorang atau kelompok dalam memenuhi standar kebutuhan dasar sehari-hari. Supriyatna (1997) mengungkapkan bahwa suatu keadaan disebut miskin ditandai dengan kekurangan atau tidak mampu memenuhi tingkat kebutuhan dasar yang mencakup aspek primer (mencakup pengetahuan dan ketrampilan) dan sekunder (mencakup jaringan sosial, sumber keuangan, dan sebagainya). Jika ditarik benang merah, maka dapat disimpulkan, kemiskinan merupakan suatu keadaan dimana individu tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makan, pakaian dan rumah karena tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai.

Sejak Indonesia merdeka, pemerintah telah merancang berbagai program pembangunan yang bermuara pada pengentasan kemiskinan dan pembangunan kesejahteraan sosial masyarakat. Menurut Suharto (2005), kesejahteraan sosial sering diartikan sebagai kondisi sejahtera, yaitu suatu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti

(40)

makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Wattimena (2009) mengungkapkan bahwa tingkat kesejahteraan mengacu pada keadaan komunitas atau masyarakat luas. Kesejahteraan adalah kondisi agregat dari kepuasan individu-individu. Tingkat kesejahteraan mencakup pangan, pendidikan, kesehatan, dan seringkali diperluas kepada perlindungan sosial lainnya seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua, keterbatasan dari kemiskinan, dsb. Dengan demikian, pembangunan kesejahteraan sosial adalah usaha yang terencana dan melembaga yang meliputi berbagai bentuk investasi sosial dan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, mencegah dan mengatasi masalah sosial, serta memperkuat institusi-institusi sosial (Suharto, 2005).

Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan dibahas oleh BPS (2006), sebagai berikut:

1. Kependudukan

Masalah kependudukan yang antara lain meliputi jumlah, komposisi, dan distribusi penduduk merupakan salah satu masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi potensi tetapi dapat pula menjadi beban dalam proses pembangunan jika berkualitas rendah. Oleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional, dalam penanganan masalah kependudukan, pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk, tetapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusianya.

2. Kesehatan dan Gizi

Kesehatan dan gizi merupakan indikator dari kesejahteraan penduduk dalam hal kualitas fisik. Indikator tersebut meliputi angka kematian bayi dan angka harapan hidup yang menjadi indikator utama. Selain itu, aspek penting yang turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status kesehatan yang diukur melalui angka kesakitan dan status gizi.

3. Pendidikan

Tinggi rendahnya kualitas sumber daya manusia antar lain ditandai dengan tingkat pendidikan. Aspek yang dapat menggambarkan kesejahteraan masyarakat di bidang pendidikan yaitu anka melek huruf, tingkat partisipasi sekolah, dan putus sekolah.

(41)

4. Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting yang menunjukkan kesejahteraan masyarakat, dimana tolak ukur keberhasilan pembangunan ketenagakerjaan diantaranya adalah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), lapangan usaha dan status pekerjaan, jumlah jam kerja, dan pekerja anak.

5. Taraf dan Pola Konsumsi

Berkurangnya jumlah penduduk miskin mencerminkan bahwa secara keseluruhan pendapatan penduduk meningkat, sebaliknya meningkatnya jumlah penduduk miskin mengindikasikan menurunnya jumlah pendapatan penduduk. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Indikator distribusi pendapatan, walau didekati dengan pengeluaran, akan memberi petunjuk tercapai atau tidaknya aspek pemerataan. Dari data pengeluaran juga diungkapkan tentang pola konsumsi rumah tangga secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan dan non makanan.

6. Perumahan dan Lingkungan

Secara umum, kualitas rumah tinggal menunjukkan tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga, dimana kualitas tersebut ditentukan oleh fisik rumah yang dapat terlihat dari fasilitas yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai fasilitas mencerminkan kesejahteraan rumah tangga tersebut diantaranya dapat terlihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, dan fasilitas tempat buang air besar.

7. Sosial Lainnya

Pembahasan mengenai aspek sosial lainnya difokuskan pada kegiatan yang mencerminkan kesejahteraan seseorang. Semakin banyaknya waktu luang untuk melakukan kegiatan yang bersifat sosial maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat, karena waktu yang ada tidak digunakan hanya untuk mencari nafkah.

Hakikat pembangunan adalah pengubahan dan pembaharuan, maka pembangunan merupakan proses yang dinamis dan berorientasi pada upaya tanpa akhir (Dudung, 2001). Pembangunan juga menyangkut proses bagaimana manfaat

(42)

itu diperoleh. Didukung oleh pendapat Sen dalam Prasodjo dan Wigna (2003), pembangunan seharusnya merupakan kapasitas yang berkelanjutan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Suharto (2005) menjelaskan bahwa fungsi pembangunan nasional dirumuskan ke dalam tiga tugas utama yang mesti dilakukan sebuah negara-bangsa, yakni pertumbuhan ekonomi, perawatan masyarakat, dan pengembangan manusia.

Pembangunan yang berkelanjutan hendaknya adalah program yang berperspektif gender, yakni program pembangunan yang melibatkan seluruh warga baik laki-laki maupun perempuan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi program. Pada kenyataannya, hingga sampai saat ini, dalam implementasi program pembangunan masih terjadi bias gender terutama meminggirkan kaum perempuan dalam program. Perempuan tidak dilibatkan dalam program karena dipengaruhi oleh budaya patriakhi yang masih kental dalam masyarakat (Nainggolan, 2005).

2.1.6. Gambaran Umum PNPM-P2KP

Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) merupakan suatu upaya pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan secara berkelanjutan. Sejak pelaksanaan P2KP-1 hingga pelaksanaan P2KP-3 pada tahun 2000, telah terbentuk sekitar 6.405 BKM yang tersebar di 1.125 kecamatan di 235 kota/kabupaten. Program ini telah memunculkan lebih dari 291.000 orang relawan dari masyarakat setempat, serta telah mencakup 18,9 juta orang pemanfaat (penduduk miskin), melalui 243.838 KSM. Dengan mempertimbangkan perkembangan positif P2KP tersebut, mulai tahun 2007 telah dirintis untuk mengadopsi P2KP menjadi bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri.

2.1.6.1 Tujuan Umum dan Khusus PNPM-P2KP

Tujuan umum PNPM-P2TP adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri. Adapun tujuan khusus program ini meliputi:

(43)

a. Meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil, dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan dan sering terpinggirkan ke dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan.

b. Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar,

reperesentatif dan akuntabel.

c. Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada

masyarakat terutama masyarakat miskin melalui kebijakan, program dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor).

d. Meningkatnya sinergi masyarakat, pemerintah daerah, swasta, asosiasi,

perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dan kelompok peduli lainnya, untuk mengefektifkan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan.

e. Meningkatnya keberdayaan dan kemandirian masyarakat, serta kapasitas

pemerintah daerah dan kelompok setempat dalam menanggulangi kemiskinan di wilayahnya.

f. Meningkatnya modal sosial masyarakat yang berkembang sesuai dengan

potensi sosial dan budaya serta untuk melestarikan kearifan lokal.

g. Meningkatnya inovasi dan pemanfaatan teknologi tepat guna, informasi dan

komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat.

2.1.6.2 Nilai-nilai dan Prinsip-prinsip yang melandasi PNPM-P2KP

Pelaksanaan P2KP dilandasi oleh nilai-nilai luhur kemanusiaan, prinsip-prinsip kemasyarakatan yang bersifat universal, dan prinsip-prinsip-prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Sistem nilai yang mendasari P2KP adalah Nilai-Nilai Universal Kemanusiaan (Gerakan Moral) di mana semua pelaku P2KP harus menjunjung tinggi dan melestarikan nilai-nilai kemanusian, antara lain: (1) jujur, (2) dapat dipercaya, (3) ikhlas/kerelawanan, (4) adil, (5) kesetaraan, dan (6) kesatuan dalam keragaman. Program ini harus dilandasi oleh Prinsip-Prinsip Universal Kemasyarakatan (Good Governance) dimana semua pelaku P2KP harus menjunjung tinggi, menumbuhkembangkan prinsip-prinsip tata kelola

Referensi

Dokumen terkait

207 Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten /kota, PPK, PPS, dan PPLN tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan,

halnya mikroorganisme lain, diduga eksudat yang dikeluarkan oleh akar tanaman akan mempengaruhi pula populasi dan keragaman mikroorganisme pelarut fosfat di tanah

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan, dikemukakan beberapa temuan yang berhubungan dengan pola pengendalian sosial pelanggaran disiplin sekolah

Kompetensi standar atau standar kompetensi yaitu kemampuan minimal yang harus dicapai setelah anak didik menyelesaikan suatu mata pelajaran tertentu pada setiap

Pada saat penelitian siklus 1, dengan menggunakan lembar observasi IPKG1 dan IPKG2, pengamatan dilakukan oleh Jaelani, S.Pd.SD. sebagai observer yang dilakukan

Aplikasi Web E-commerce pada Inkubator Bisnis Politeknik Negeri Sriwijaya adalah sebuah perangkat lunak e-commerce yang terdiri dari kumpulan perintah-perintah yang

Dari data yang diperoleh untuk tahap memahami masalah subjek tepat dapat menuliskan apa yang diketahui soal sehingga subjek mengalami proses berpikir konseptual (B1.1) dan

Sesuai dengan pendapat Roesli (2007) bahwa dengan pengetahuan.. yang benar tentang menyusui, seorang ibu semakin mudah untuk memberikan ASI secara eksklusif. Hasil survey