BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tenaga Kerja
Tenaga kerja sebagai Sumber Daya Manusia yang sangat penting perannya
dalam pengembangan dan pembangunan nasional. Produktivitas dan kualitas tenaga
kerja akan menjadi suatu gambaran bagi kemajuan suatu negara. Tingkat daya saing
tenaga kerja dalam suatu negara menjadi salah satu tolak ukur pembangunan
nasional yang berkelanjutan. Tenaga kerja dijadikan sebagai salah satu unsur
pendukung pembangunan nasional dalam suatu negara. Semakin baik kualitas dan
produktivitas tenaga kerja maka akan semakin berdampak baik bagi pembangunan
nasional, begitu pula sebaliknya.
2.1.1 Pengertian Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut
UU No. 13 tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja adalah
setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa
baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Secara garis
besar penduduk suatu negara dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tenaga kerja
dan bukan tenaga kerja. Penduduk tergolong tenaga kerja jika penduduk tersebut
telah memasuki usia kerja. Batas usia kerja yang berlaku di Indonesia adalah
berumur 15 tahun – 64 tahun. Menurut pengertian ini, setiap orang yang mampu bekerja disebut sebagai tenaga kerja.
Tenaga kerja merupakan modal utama dalam pelaksanaan pembangunan
masyarakat pancasila. Tujuan terpenting dari pembangunan masyarakat tersebut
pembangunan harus di jamin haknya, diatur kewajibannya dan dikembangkan daya
gunanya. Menurut Fransiscus (dalam Subagio, 2014:101) tenaga kerja merupakan
faktor paling penting untuk menyokong daya saing industri di pasar internasional
(dunia). Peningkatan kualitas tenaga kerja, wajib bagi bangsa Indonesia saat ini dan
di masa mendatang dalam pelaksanaan proses pembangunan nasional.
Hamalik (2005: 7) menyatakan bahwa tenaga kerja sebagai sumber daya
manusia yang memiliki potensi, kemampuan, yang tepat guna, berdaya guna,
bekepribadian dalam kategori tertentu untuk bekerja dan berperan serta dalam
pembangunan sehingga berhasil guna bagi dirinya dan masyarakat secara
keseluruhan. Tenaga kerja sebagai sumber daya ekonomi menunjuk kepada
kepemilikan pekerjaan tertentu, melakukan kegiatan bekerja, menempati lapangan
kerja yang tersedia dan dapat menciptakan lapangan kerja baru bagi orang lain.
2.1.2 Klasifikasi Tenaga Kerja
Pada dasarnya ketenagakerjaan dapat diklasifikasikan minimal menjadi tiga
macam yakni tenaga kerja terdidik (skill labour), tenaga kerja terlatih (trainer
labour), tenaga kerja tidak terlatih (unskill labour).
a. Tenaga kerja terdidik (skill labour)
Tenaga kerja terdidik (skill labour) adalah tenaga kerja yang pernah
memperoleh pendidikan formal dalam bidang tertentu tetapi mereka belum pernah
dilatih dalam bidang tersebut. Tenaga kerja terdidik ini diidentikkan dengan tenaga
kerja yang belum berpengalaman.
b. Tenaga kerja Terlatih (trained labour)
Tenaga kerja terlatih adalah tenaga kerja yang telah bekerja dan pernah
mengikuti latihan sesuai dengan bidangnya, misalnya seorang yang telah
sebagai tenaga kerja terlatih. Tenaga kerja terlatih ini dapat disamakan dengan
tenaga kerja yang sudah berpengalaman.
c. Tenaga kerja tidak terlatih (unskill labour)
Tenaga kerja tidak terlatih adalah tenaga kerja di luar tenaga kerja terdidik
dan juga tenaga kerja terlatih. Tenaga kerja tidak terlatih ini merupakan bagian
terbesar dari seluruh tenaga kerja yang ada. Mereka umumnya hanya mengenyam
pendidikan formal pada tataran tingkat bawah dan tidak mempunyai keahlian yang
memadai karena memang belum ada pengalaman kerja, sehingga pekerjaan yang
dikerjakannyapun umumnya tidak memerlukan keahlian secara spesifik.
2.2 Pelatihan Tenaga Kerja 2.2.1 Pengertian Pelatihan
Pelatihan kerja berdasarkan UU RI No.13 Tahun 2013 disebutkan bahwa
pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin,
sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan
jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan. Pelatihan dapat didefenisikan sebagai
suatu cara yang digunakan untuk memberikan atau meningkatkan keterampilan yang
dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjannya (Panggabean, 2004:41).
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 bahwa Pelatihan Kerja adalah keseluruhan kegiatan
untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi
kerja, produktivitas, disiplin, sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan
keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
mengembangkan keterampilan atau keahlian kerja guna meningkatkan kemampuan,
produktivitas, dan kesejahteraan tenaga kerja.
Pelatihan kerja didefenisikan oleh As‟ad (dalam Sutrisno, 2012), sebagai
usaha-usaha berencana yang diselenggarakan agar dicapai penguasaan akan
keterampilan, pengetahuan, dan sikap-sikap yang relevan terhadap pekerjaan. Studi
yang dilakukan Tall dan Hall (dalam Sutrisno, 2009) menghasilkan kesimpulan
bahwa dengan mengombinasikan berbagai macam faktor seperti teknik pelatihan
yang benar, persiapan dan perencanaan yang matang, serta komitmen terhadap esensi
pelatihan, perusahaan dapat mencapai manfaat kompetisi yang sangat besar di dalam
pasar yang sangat ketat.
Menurut PP No.31 tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional,
Pelatihan kerja atau yang sekarang biasa kita kenal dengan istilah training adalah
seluruh kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan
kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat
keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau
pekerjaan. Singkatnya,pelatihan kerja merupakan proses mengajarkan pengetahuan
dan pengembangan keterampilan bekerja (vocational) serta sikap agar karyawan
semakin terampil dan mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan semakin
baik sesuai dengan standar.
Pelatihan kerja yang merupakan hak setiap pekerja dalam rangka
meningkatkan dan mengembangkan keterampilan serta keahlian sesuai dengan
bakat, minat, dan kemampuannya diselenggarakan oleh lembaga pelatihan
pemerintah, swasta, dan perusahaan. Penyelenggaraan pelatihan kerja wajib
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
b. Tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan
kerja
c. Kurikulum
d. Akreditasi
e. Sarana dan prasarana pelatihan kerja.
Perspektif ketenagakerjaan secara nasional mengungkapkan bahwa pelatihan
kerja merupakan salah satu fungsi dari manajemen tenaga kerja yang akan
menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan yang
diharapkan, untuk mendukung hal tersebut maka diperlukan adanya suatu
perencanaan tenaga kerja yang profesional agar dapat mencapai sasaran (goal) yang
telah ditentukan. Oleh sebab itu perencanaan pembinaan tenaga kerja adalah sangat
penting.
Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kualifikasi keterampilan atau
keahlian kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh
pemerintah, swasta, atau perusahaan. Pengakuan kualifikasi keterampilan atau
keahlian kerja dapat diikuti tenaga kerja yang berpengalaman kerja. Sertifikasi
keterampilan atau keahlian kerja dapat diikuti tenaga kerja yang berpengalaman
kerja. Oleh karena itu, untuk melaksanakan sertifikasi keterampilan atau keahlian
kerja dibentuk lembaga sertifikasi berdasarkan profesi yang unsurnya terdiri atas
pemerintah, asosiasi profesi, asosiasi perusahaan, serikat pekerja, dan pakar di
bidangnya.
2.2.2 Manfaat Pelatihan Kerja
Pelatihan bagi tenaga kerja merupakan sebuah proses mengajarkan
mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan semakin baik sesuai dengan
standar. Adapun manfaat pelatihan bagi karyawan adalah:
1. Meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan dalam
melaksanakan tugas sehari-hari.
2. Meningkatkan rasa percaya diri dan menghilangkan rasa rendah diri.
3. Memperlancar pelaksanaan tugas.
4. Meningkatkan motivasi kerja.
5. Menumbuhkan sikap positif terhadap perusahaan.
6. Meningkatkan semangat dan kegairahan kerja.
7. Mempertinggi rasa saling harga menghargai antara karyawan.
8. Memberikan dorongan bagi karyawan untuk menghasilkan yang terbaik.
9. Memberikan dorongan bagi karyawan untuk memberikan pelayanan terbaik.
(Tanjung, 2003:58)
2.2.3 Ciri-Ciri Pelatihan Kerja
Pelatihan kerja sebagai salah satu bentuk dari pendidikan non formal yang
dalam masyarakat memiliki karakteristik khusus dan masing-masing lembaga
pelatihan memiliki spesifikasi tersendiri. Sebagai pendidikan non formal berarti
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. diselenggarakan dengan di luar sekolah
2. peserta umumnya mereka yang sudah tidak sekolah
3. tidak mengenal jenjang dan program pendidikan untuk jangka waktu pendek
4. terdapat waktu belajar dan metode formal, serta evaluasi yang sistematis
5. isi pendidikan bersifat praktis dan khusus
6. keterampilan kerja sangat ditekankan sebagai jawaban terhadap kebutuhan
Pelatihan kerja sebagai upaya meningkatkan keterampilan bagi tenaga kerja
(penganggur) untuk menjadi tenaga kerja yang terampil, disiplin, dan produktif
merupakan upaya yang perlu mendapat dukungan agar dapat berhasil dengan baik
sesuai dengan harapan. Tenaga kerja (penganggur) yang memiliki kemampuan, skill
yang cukup dan sesuai dengan perkembangan yang ada merupakan suatu dambaan
bagi setiap komponen pengguna tenaga kerja.
2.2.4 Sasaran Pelatihan Kerja
Pelaksanaan pelatihan kerja memerlukan adanya konsekuenitas dan
rasionalitas antara pengelola program tersebut mulai dari perencana, instruktur, dan
pelaksana yang lainnya. Hal ini sangatlah penting dalam rangka untuk kelancaran
pelaksanaan program pelatihan kerja. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
bagi tenaga kerja dapat dilaksanakan di dalam maupun di luar perusahaan maupun
lembaga atau badan lain di luar perusahaan (Sastrohadiwiryo.2001: 205).
Sasaran pelatihan SDM adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan produktivitas kerja
Pelatihan dapat meningkatkan performance kerja pada posisi jabatan yang
sekarang. Jika level of performance-nya naik/ meningkat, maka berakibat
peningkatan dari produktivitas dan peningkatan keuntungan bagi perusahaan.
b. Meningkatkan mutu kerja
Peningkatan mutu kerja dalam hal ini berarti peningkatan baik kualitas
maupun kuantitas. Tenaga kerja yang berpengetahuan jelas akan lebih baik
dan akan lebih sedikit berbuat kesalahan dalam organisasi.
Pelatihan yang baik bisa mempersiapkan tenaga kerja untuk keperluan di
masa yang akan datang. Apabila terdapat lowongan-lowongan, maka secara
mudah akan diisi oleh tenaga-tenaga dari dalam perusahaan sendiri.
d. Meningkatkan moral kerja
Apabila diadakan program pelatihan yang tepat, maka iklim dan suasana
organisasi pada umumnya akan lebih baik. Dengan iklim kerja yang sehat,
maka moral kerja juga akan meningkat.
e. Menjaga kesehatan dan keselamatan
Suatu pelatihan yang tepat dapat membantu menghindari timbulnya
kecelakaan-kecelakaan akibat kerja. Selain daripada itu lingkungan kerja
akan menjadi lebih aman dan tentram.
f. Menunjang pertumbuhan pribadi
Program pelatihan yang tepat sebenarnya memiliki keuntungan kedua belah
pihak yaitu perusahaan dan tenaga kerja itu sendiri. Bagi tenaga kerja, jelas
dengan mengikuti program pelatihan akan lebih memasakkan dalam bidang
kepribadian, intelektual, dan keterampilan (Sutrisno, 20012:69).
Pelatihan tenaga kerja dalam hubungan sektor informal dan di luar hubungan
kerja perlu dilakukan untuk perlindungan dan peningkatan kesejahteraan tenaga
kerja yang bersangkutan. Pelatihan tenaga kerja di dalam hubungan kerja sektor
informal dan di luar hubungan kerja dilaksanakan dengan:
a. Memasyarakatkan dan membudayakan tenaga kerja bekerja mandiri
b. Meningkatkan keterampilan teknis dan manajerialtenaga kerja mandiri
c. Meningkatkan keterampilan dan keahlian kerja melalui lembaga pendidikan
dan pelatihan, serta konsultasi bagi tenaga kerja bekerja mandiri
2.2.5 Karakteristik Perencanaan Pelatihan
Terdapat sejumlah karakteristik yang perlu dimiliki oleh perencanaan
pelatihan sumber daya manusi. Terdapat eenam karakteristik program pelatihan,
yaitu:
a. Stategis
Perencanaan pelatihan sumber daya manusia harus bersifat strategis. Artinya
mendasar, menyeluruh, terpadu, berjangka panjang, kompetitif, adaptif, dan
proyektif.
b. Realistik
Perencanaan pelatihan sumber daya manusia harus realistik, dalam arti
disusun berdasarkan kebutuhan kongkrit pada saat ini dan di waktu yang
akan datang, serta disusun berdasarkan kemampuan nyata yang dimililki oleh
manajemen.
c. Humanistik
Perencanaan pelatihan sumber daya manusia harus mengutamakan
pengembangan sikap, perilaku, dan potensi manusia hingga efektif.
d. Futurustik
Perencanaan pelatihan sumber daya manusia harus mampu melihat ke masa
yang akan datang yang jauh berdasarkan masukan-masukan berupa data yang
telah berlalu yang dihimpun pada hari ini. Tren perkembangan merupakan
acuan bagi perencanaan tersebut. Dengan perkataan lain, perencanaan
pelatihan harus visioner.
e. Integral
Perencanaan pelatihan sumber daya manusia hendaknya mempunyai
keterlibatan seluruh personalia terhadap pentingnya fungsi pelatihan bagi
dirinya masing-masing dan bagi mereka secara kolektif maupun bagi
organisasi.
f. Interdisipliner
Pelatihan sumber daya manusia hendaknya menggunakan pendekatan
interdisipliner sehingga segala ilmu pengetahuan yang relevan dengan
kemanusiaan (khususnya manusia dewasa yang sedang bekerja)
diintegrasikan dengan fungsional (Sastradipoera, 2006:149).
2.2.6 Prinsip-Prinsip Pelatihan Kerja
Dalam melakukan tugasnya seorang trainer akan memperoleh kesulitan.
Oleh karena itu, ia harus memiliki kapasitas yang memadai dalam mempertahankan
kredibilitasnya dari trainee. Beberapa prinsip-prinsip pelatihan yang dapat menjadi
panduan trainer / instruktur dalam menjalankan tugasnya, sebagai berikut:
1. Pelatihan yang terbaik meliputi bimbingan, simulasi arahan, dan dukungan
atas proses belajar.
2. Pembelajaran berjalan efektif hanya jika relasi antara trainter dan trainee
saling menghormati dan memahami.
3. Pelatihan yang baik melibatkan perencanaan dan evaluasi belajar.
4. Trainer yang bijaksana memberikan saran bukan memaksakan kehendak.
5. Hak trainee selalu dihargai dan semua trainee mendapatkan perlakuan
yuang adil dan tidak memihak.
6. Trainer mendorong pembelajaran melalui kepribadian dan aktivitas
7. Trainer yang baik belajar dari pengalaman masa lalunya dan pengalaman
trainee.
8. Tanggap dengan kesulitan dalam proses pelatihan.
9. Trainer yang baik memiliki sikap profesional dalam menghadapi tugasnya.
10.Trainer harus ramah dan memiliki rasa humor tapi jangan terlalu berlebihan
sikap dengan trainee.
11.Trainer harus memiliki pengendalian diri, antusiasme, jujur, tulus, sopan
dan bijaksana.
12.Trainer harus memiliki pengetahuan dengan apa yang akan diajarkan dan
yang tidak disesuaikan dengan kemampuan trainee.
13.Pelatihan adalah proses komunikasi.
14.Pelatihan adalah upaya mengelola materi pelatihan menjadi sesuatu yang
bermakna dan mudah dipahami.
15.Pelatihan yang baik adalah sebuah bisnis yang kreatif.
2.2.7 Strategi Pelatihan Kerja
Terdapat empat strategi pelatihan yaitu:
1. Strategi Kecepatan
Perkataan kecepatan berhubungan dengan waktu. Oleh karena itu inti dari
strategi ini adalah kompetisi/persaingan waktu. Bersaing dengan waktu maksudnya
adalah pelatihan harus mampu menanamkan sikap dan motivasi untuk bertindak
cepat dalam melaksanakan fungsi bisnis. Fungsi itu mencakup kecepatan dalam
merancang dan melaksanakan disain suatu produk, proses produksi, pengembangan
produk dan kecepatan bereaksi terhadap umpan balik dari konsumen.
Inovasi pada dasarnya berarti pembaharuan yang bersumber dari kreativitas
dan inisiatif dalam proses berpikir yang produktif. Pelatihan dalam strategi ini adalah
untuk mewujudkan kemampuan merespon secara tepat, sesuai dengan hasil analisis
informasi yang memiliki peluang luas untuk melaksanakannya secara kreatif.
Dengan kata lain strategi ini dipergunakan dalam pelatihan untuk mewujudkan
kemampuan mengembangkan produk dan pelayanan baik jenis, cara maupun
kualitasnya. Tujuan utama untuk menciptakan sesuatu yang berbeda dari yang lain
harus berpegang pada prinsip sesuai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen.
3. Strategi Peningkatan Kualitas
Strategi ini bertolak dari kenyataan bahwa keinginan dan kebutuhan
masyarakat, khususnya konsumen setiap perusahaan selalu berubah ke arah kepuasan
yang semakin tinggi tuntutannya terhadap produk (barang/jasa) dan pelayanan, yang
dapat diperolehnya dengan membayar. Oleh karena itu tujuan utama kegiatan
pelatihan adalah untuk mewujudkan para pekerja yang tidak saja mempunyai
komitmen tetapi juga memiliki kemampuan dalam meningkatkan kualitas produk
(barang dan jasa).
4. Strategi Mereduksi Pembiayaan (Cost)
Strategi ini bermaksud untuk tidak mengurangi kualitas sebagai faktor yang
menentukan dalam merebut dan mempertahankan konsumen. Beberapa aspeknya
adalah kesediaan bekerja keras dengan disiplin kerja dan kecermatan yang tinggi,
mampu melakukan kontrol kualitas agar terhindar dari menghasilkan produk yang
tidak memenuhi persyaratan, termasuk kontrol terhadap pengadaan dan kualitas
2.3 Balai Latihan Kerja (BLK)
Kualitas Sumber Daya Manusia menjadi sangat diperlukan pada masa
sekarang mengingat persaingan antar tenaga kerja secara global yang semakin ketat.
Unit Pelaksana Teknis Balai Latihan Kerja sebagai Lembaga Pelatihan Milik
Pemerintah dalam menghadapi tantangan saat ini dan kedepan adalah dengan
meningkatkan daya saing tenaga kerja melalui pelatihan-pelatihan.
2.3.1 Pengertian Balai Latihan Kerja
Balai Latihan Kerja (BLK) adalah sebuah wadah yang menampung kegiatan
pelatihan untuk memberikan, memperoleh, meningkatkan serta mengembangkan
keterampilan, produktivitas, disiplin, sikap kerja, dan etos kerja yang
pelaksanaannya lebih mengutamakan praktek dari pada teori. Menurut Wikipedia
ensiklopedia bebas, Balai Latihan Kerja atau sering disebut dengan singkatan BLK
adalah prasarana dan sarana tempat pelatihan untuk mendapatkan keterampilan atau
yang ingin mendalami keahlian dibidangnya masing-masing.
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 bahwa Balai Latihan Kerja yang selanjutnya
disingkat BLK, adalah tempat diselenggarakannya proses pelatihan kerja bagi
peserta pelatihan sehingga mampu dan menguasai suatu jenis dan tingkat kompetensi
kerja tertentu untuk membekali dirinya dalam memasuki pasar kerja dan/ atau usaha
mandiri maupun sebagai tempat pelatihan untuk meningkatkan produktivitas
kerjanya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya.
Membangun Balai Latihan Kerja berarti membangun lembaga pendidikan
yang akan mempersiapkan tenaga-tenaga kerja usia produktif, menjadi
individu-individu yang memiliki ketrampilan sebagai bekal untuk memasuki dunia kerja baik
Tujuannya:
a) Meningkatkan produktivitas Tenaga Kerja baik di daerah pedesaan dan
pinggiran kota.
b) Memperluas lapangan usaha dan kesempatan kerja.
c) Menciptakan pelatihan produksi serta uji keterampilan.
d) Mendorong dan mengembangkan jiwa kewirausahaan.
e) Meningkatkan motivasi dan jiwa mandiri.
2.3.2 Sejarah Perkembangan Balai Latihan Kerja (BLK) di Indonesia
BLK lahir pertama kali di Solo, Jawa Tengah pada tahun 1947. Pada mulanya
BLK-BLK didirikan hanya di Pulau Jawa. Pendirian BLK di luar Pulau Jawa dimulai
pada tahun 1957 dengan dibangunnya BLK di Padang, Sumatera Barat. Seiring
dengan perkembangan jaman dan kebutuhan akan ketersediaan SDM yang
kompeten, jumlah BLK (Balai Latihan Kerja, Balai Latihan Transmigrasi dan Balai
Produktivitas) meningkat secara pesat dan kini telah berjumlah 321 (Tiga Ratus Dua
Puluh Satu) BLK yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Menurut sejarahnya, perkembangan BLK di Indonesia dibagi menjadi 7
periode yaitu:
1. Periode 1945-1950
BLK pertama dibangun di Solo pada tahun 1947. Pada awal periode ini,
sebanyak 10 (sepuluh) BLK seluruhnya dibangun di Pulau Jawa. Program pelatihan
di BLK dalam periode ini lebih difokuskan pada keterampilan industri seperti
konstruksi, elektronika dan listrik.
Pembangunan BLK di luar Pulau Jawa pertama kali dilakukan pada tahun
1957, yaitu dibangunnya BLK Padang di Sumatera Barat. Kemudian dilanjutkan
dengan BLK lainnya termasuk di Jayapura, Manokwari dan Palembang. Selanjutnya
perkembangan BLK selama periode tahun 1950an ditandai dengan meningkatnya
BLK yang dibangun di luar Pulau Jawa. Pada periode ini mulai dikembangkan
“Unit-Unit Pelatihan Keliling (Mobile Training Unit/MTU)” untuk mencapai
kelompok sasaran yang berada di daerah pedesaan.
3. Periode 1970an: Awal Pertumbuhan BLK
Pada periode ini dibangun 21 (dua puluh satu) BLK di seluruh wilayah
Indonesia.
4. Periode 1980an: Puncak Pertumbuhan BLK
Pada periode ini perkembangan BLK memasuki tahap perkembangan puncak
dengan dibangunnya 16 (enam belas) BLK tipe B dan 104 (seratus empat) BLK tipe
C (BLK Kecil), sehingga pada akhir Repelita IV di tahun 1988 secara keseluruhan
terdapat 157 (seratus lima puluh tujuh) BLK. Program pelatihan di BLK dalam
periode ini dititikberatkan pada pelatihan untuk para penganggur dan dilaksanakan
berdasarkan prinsip Trilogi Latihan yaitu:
a. Latihan Kerja harus sesuai dengan kebutuhan pasar kerja/kesempatan kerja
b. Latihan Kerja harus senantiasa mengikuti perkembangan dan kemajuan
IPTEK
c. Latihan Kerja merupakan kegiatan yang bersifat terpadu, baik dalam
pengertian proses (kaitan antara latihan, pendidikan dan pengembangan)
maupun implementasinya (keterpaduan antara Depnaker, Departemen lain
dan swasta).
Pada periode ini diadakan reformasi pengelolaan BLK yang diarahkan untuk
menata ulang seluruh sistem pengelolaan BLK agar bisa mandiri baik dari segi
manajemen maupun finansial. Program pelatihan disusun sebagai kegiatan usaha
yang beriorientasi pada permintaan.
6. Periode 1998-2006: Masa Transisi
Dengan diterapkannya otonomi daerah di tahun 2001, sebagai implikasinya
diterapkan pula desentralisasi manajemen BLK. Hal ini mengakibatkan sebagian
besar BLK diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Pada periode ini sebanyak 154
(seratus lima puluh empat) BLK diserahkan kepada Pemda dan hanya 11 (sebelas)
BLK yang masih dikelola langsung oleh pemerintah pusat.
7. Periode 2007-sekarang: Revitalisasi BLK
Pada periode ini dicanangkan kebijakan revitalisasi BLK dan Program „3 in 1‟. Revitalisasi BLK dilaksanakan dalam rangka mengembalikan fungsi BLK
menjadi lembaga pelatihan yang menghasilkan lulusan yang kompeten dan sesuai
dengan kebutuhan pasar kerja. Revitalisasi tersebut menyangkut aspek manajemen,
sarana dan prasarana, sumber daya manusia/instruktur dan program pelatihan.
Sedangkan program „3 in 1‟ merupakan pengintegrasian pelatihan, sertifikasi dan
penempatan. Dengan demikian, maka bagi setiap lulusan pelatihan dari BLK
dilakukan sertifikasi melalui uji kompetensi dalam rangka meningkatkan daya saing
lulusan BLK serta diakhiri dengan penempatan (http://uptdblksekayu.blogspot.co.id
diakses pada 20 Oktober 24:00 WIB).
2.4 Pelatihan Berbasis Kompetensi
Secara harfiah kompetensi berasal dari kata competence yang artinya
kompetensi adalah suatu karakteristik dasar dari seseorang yang memungkinkannya
memberikan kinerja unggul dalam pekerjaan, peran, atau situasi tertentu.
Karakteristik dasar kompetensi berarti sesuatu yang kronis dan dalam bagian
kepribadian seseorang dan dapat diramalkan perilaku di dalam suatu tugas pekerjaan.
Menurut Organisasi Industri Psikologi Amerika Mitrani, Palziel, and Fitt
(dalam Sutrisno, 2012), setelah melakukan beberapa studi mengungkapkan bahwa
hasil belajar di sekolah dan diploma tidak dapat memprediksi kinerja atau
keberhasilan dalam kehidupan. Oleh sebab itu terdapat beberapa prinsip yang perlu
diperhatikan dalam pelatihan berbasis kompetensi, yaitu:
a. Membandingkan individu yang secara jelas berhasil di dalam pekerjaannya
dengan individu yang tidak berhasil. Melalui cara ini perlu diidentifikasikan
karakteristik yang berkaitan dengan keberhasilan tersebut.
b. Mengidentifikasikan pola pikir dan perilaku individu yang berhasil.
Pengukuran kompetensi harus menyangkut reaksi individu terhadap situasi
yang terbuka ketimbang menggantungkan kepada pengukuran responden
(Sutrisno, 2012:202).
Terdapat beberapa aspek yang terkandung dalam konsep pelatihan berbasis
kompetensi sebagaimana diungkapkan oleh Gordon (dalam Sutrisno, 2012:204)
yaitu:
a. Pengetahuan (knowledge), yaitu kesadaran dalam bidang kognitif, misalnya,
seseorang mengetahui cara melakukan identifikasi belajar dan melakukan
pembelajaran yang baik sesuai dengan kebutuhan yang ada..
b. Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman kognitif yang dimiliki oleh
mempunyai pemahaman yang baik tentang karakteristik dan kondisi kerja
secara efektif dan efesien.
c. Kemampuan (skill), adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk
melaksanakan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Misalnya,
kemampuan seseorang dalam memilih metode kerja yang dianggap lebih
efektif dan efisien.
d. Nilai (value), adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara
psikologis telah menyatu dalam diri seseorang. Misalnya, standar perilaku
para karyawan dalam melaksanakan tugas (kejujuran, keterbukaan,
demokratis, dan lain-lain).
e. Sikap (attitude), yaitu perasaan (senang-tidak senang, suka-tidak suka) atau
reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar. Misalnya, reaksi
terhadap krisis ekonomi, perasaan terhadap kenaikan gaji, dan sebagainya.
f. Minat (interest), adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu
perbuatan. Misalnya, melakukan suatu aktivitas kerja.
2.5 Efektifitas
2.5.1 Pengertian Efektifitas
Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil
atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah populer
mendefinisikan efetivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau menunjang
tujuan. Efektivitas di definisikan oleh para pakar dengan berbeda-beda tergantung
pendekatan yang digunakan oleh masing-masing pakar.
1. Menurut Supriyono pengertian efektivitas, sebagai berikut: “Efektivitas merupakan hubungan antara keluaran suatu pusat tanggung jawab dengan
dihasilkan terhadap nilai pencapaian sasaran tersebut, maka dapat dikatakan
efektif pula unit tersebut” (Supriyono, 2000:29).
2. Menurut Hani Handoko (2000) Efektivitas merupakan hubungan antara
output dengan tujuan, semakin besar kontribusi (sumbangan) output terhadap
pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program atau kegiatan.
Efektivitas berfokus pada outcome (hasil), program, atau kegiatan yang
dinilai efektif apabila output yang dihasilkan dapat memenuhi tujuan yang
diharapkan.
Beberapa pendapat dan teori efektivitas yang telah diuraikan tersebut, dapat
dsimpulkan bahwa dalam mengukur efektivitas suatu kegiatan atau aktifitas perlu
diperhatikan beberapa indikator, yaitu :
1. Pemahaman program.
2. Tepat Sasaran.
3. Tepat waktu.
4. Tercapainya tujuan.
5. Perubahan nyata (Sutrisno, 2007 : 125-126).
2.5.2 Pendekatan Efektivitas
Pendekatan efektivitas digunakan untuk mengukur sejauh mana aktifitas itu
efektif. Terdapat beberapa pendekatan yang digunakan terhadap efektivitas yaitu:
1. Pendekatan sasaran (Goal Approach)
Pendekatan ini mencoba mengukur sejauh mana suatu lembaga berhasil
merealisasikan sasaran yang hendak dicapai. Pendekatan sasaran dalam pengukuran
efektivitas dimulai dengan identifikasi sasaran organisasi dan mengukur tingkatan
Sasaran yang penting diperhatikan dalam pengukuran efektivitas dengan
pendekatan ini adalah sasaran yang realistis untuk memberikan hasil maksimal
berdasarakan sasaran resmi “Official Goal” dengan memperhatikan permasalahan
yang ditimbulkannya, dengan memusatkan perhatian terhadap aspek output yaitu
dengan mengukur keberhasilan programdalam mencapai tingkat output yang
direncanakan. Dengan demikian, pendekatan ini mencoba mengukur sejauh mana
organisasi atau lembaga berhasil merealisasikan sasaran yang hendak dicapai.
Efektivitas juga selalu memperhatikan faktor waktu pelaksanaan. Oleh
karena itu dalam efektivitas selalu terkandung unsur waktu pelaksanaan dan tujuan
tercapainya dengan waktu yang tepat makan program tersebut akan lebih efektif.
Pendekatan sasaran dalam pelaksanaan program penguatan keluarga dilihat dari
pendampinga kepada anak dan keluarga yang menjadi anggota binaan dalam
mengarahkan tujuan yang ingin dicapai.
2. Pendekatan Sumber (System Resource Approach)
Pendekatan sumber mengukur efektivitas melalui keberhasilan suatu lembaga
dalam mendapatkan berbagai macam sumber yang dibutuhkannya. Suatu lembaga
harus dapat memperoleh berbagai macam sumber dan juga memelihara keadaan dan
sistem agar dapat menjadi efektif. Pendekatan ini didasarkan pada teori mengenai
keterbukaan sistem suatu lembaga terhadap lingkungannya, karena lembaga
mempunyai hubungan yang merata dalam lingkungannya dimana dari lingkungan
diperoleh sumber-sumber yang terdapat pada lingkungan seringkai bersifat langka
dan bernilai tinggi.
3. Pendekatan Proses (Internal Process Approach)
Pendekatan proses menganggap sebagai efisiensi dan kondisi kesehatan dari
lancar dimana kegiatan bagian-bagian yang ada berjalan secara terkoordinasi.
Pendekatan ini tidak memperhatikan lingkungan melainkan memusatkan perhatian
terhadap kegiatan yang dilakukan terhadap sumber-sumber yang dimiliki lembaga,
yang menggambarkan tingkat efisiensi serta kesehatan lembaga.
2.6 Kerangka Pemikiran
Kondisi kualitas dan produktivitas masyarakat telah mempengaruhi daya
saing tenaga kerja di Indonesia. Tidak menutup kemungkinan dengan besarnya
jumlah penduduk, Indonesia membutuhkan tenaga kerja yang terampil dan
berpengetahuan untuk menunjang keberadaan dan daya saing industri yang kuat.
Pembangunan nasional akan terwujud apabila tenaga kerja sebagai unsur
pembangunan memiliki produktivitas yang baik. Tenaga kerja terampil menjadi
kunci peningkatan kualitas hidup bangsa dan pembangunan nasional.
Tenaga Kerja sebagai Sumber Daya Manusia (SDM) memiliki peranan
penting dalam pembangunan suatu negara. Sebagai salah satu unsur penting dalam
pembangunan diharap secara optimal tenaga kerja mampu menjadi sumber yang
potensial dan berdampak baik untuk kemajuan. Suatu negara akan mampu bergerak
ke arah yang lebih baik apabila kualitas dari tenaga kerja mampu ditingkatkan dan
dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan negara. Tenaga kerja yang baik adalah
tenaga kerja yang mampu memberi kontribusi positif baik dalam skala besar ataupun
kecil. Dengan segala potensi baik yang dimiliki tenaga kerja akan lebih mudah
membangun suatu negara yang memiliki masyarakat dengan tingkat produktifitas
dan kualitas yang baik.
Balai Latihan Kerja (BLK) adalah sebuah wadah yang menampung kegiatan
keterampilan, produktivitas, disiplin, sikap kerja, dan etos kerja yang
pelaksanaannya lebih mengutamakan praktek dari pada teori. Pelatihan yang
diselenggarakan oleh Balai Latihan kerja merupakan salah satu upaya oleh
pemerintah dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerja di Indonesia. Fokus
pelatihan BLK adalah tenaga kerja yang perlu ditingkatkan kualitas dan
produktivitas ke arah yang lebih baik.
Unit Pelaksana Teknis Balai Latihan Kerja (UPT BLK) Dinas Tenaga Kerja
dan Sosial Kabupaten Dairi mengusahakan produktivitas tenaga kerja dalam rangka
pembangunan produktivitas tenaga kerja di Kabupaten Dairi. UPT Balai Latihan
Kerja Kabupaten Dairi menyelenggarakan berbagai pelatihan yang memandirikan
masyarakat agar mampu memanfaatkan dan mengembangkan potensi pada diri tiap
peserta pelatihan. Peserta pelatihan dididik ke arah praktek langsung menggunakan
peralatan pendukung yang tersedia.
Balai Latihan Kerja Kabupaten Dairi merupakan institusi yang melaksanakan
pelatihan kerja bagi penganggur/pencari kerja di Kabupaten Dairi. Program pelatihan
kerja yang dilaksanakan oleh BLK tersebut akan dapat sesuai dengan harapan
apabila didasari dengan manajemen pelatihan kerja yang baik, sejak dari
perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi program pelatihannya. Pelatihan kerja
oleh UPT BLK disesuaikan dengan kemampuan dan kemauan dari peserta pelatihan.
Pelatihan berbasis kompetensi menekankan pada peningkatan tenaga kerja
yang produktif dan memiliki daya saing. Hal tersebut sejalan dengan usaha
pembangunan yang dimulai dari unsur tenaga kerja sebagai unsur potensial. Tenaga
kerja dilatih dan dimotivasi agar mampu memberdayakan dirinya sendiri melalui
Untuk melihat keefektifan pelaksanaan program pelatihan kerja berbasis
kompetensi oleh Balai Latihan Kerja (BLK) Kabupaten Dariri dapat dilihat dari teori
efektivitas dengan indikator sebagai berikut:
a. Pemahaman program, yaitu dilihat dari sejauhmana tenaga kerja memahami
program pelatihan kerja yang diberikan.
b. Ketepatan sasaran, yaitu dilihat dari apakah tenaga kerja yang telah diberikan
program pelatihan kerja adalah tepat sasaran yang sesuai dengan program
pelatihan tenaga kerja berbasis kompetensi.
c. Tepat waktu, yaitu penggunaan waktu dalam melakukan program pelatihan
kerja sesuai dengan yang sudah ditentukan.
d. Tercapainya tujuan, yaitu dilihat dari pencapaian tujuan yang ditetapkan
melalui kegiatan pelatihan kerja berbasis kompetensi dan masyarakat.
e. Adanya perubahan nyata, dapat dilihat dari bagaimana program pelatihan
tenaga kerja memberikan dampak yang baik atau perubahan nyata bagi
peserta pelatihan.
Skematisasi kerangka pemikiran adalah proses transformasi narasi yang
menerangkan hubungan atau konsep-konsep atau variable-variabel penelitian
menjadi sesuatu yang berbentuk skema, artinya yang ada hanyalah perubahan cara
penyajian dari narasi menjadi skema (Siagian, 2011: 132). Untuk itu skematisasi
Bagan 1.1 Bagan Alur Pemikiran
Balai Latihan Kerja (BLK)
Dinas Tenaga Kerja dan Sosial
Kabupaten Dairi
Pelatihan Berbasis Kompetensi
Efektifiktas Program Pelatihan Kerja
1. Pemahaman program: Tenaga kerja mampu memahami program
pelatihan kerja yang diberikan
2. Ketepatan sasaran: Tenaga kerja yang membutuhkan pelatihan berbasis
kompetensi dalam rangka peningkatan keterampilan
3. Ketepatan waktu: Pelaksanaan pelatihan sesuai dengan jadwal dan
penggunaan waktu dalam melaksanakan program pelatihan kerja sesuai
dengan perencanaan awal
4. Tercapainya tujuan: Pencapaian tujuan yang ditetapkan melalui kegiatan
pelatihan seperti tenaga kerja memiliki keterampilan yang sesuai dengan
kebutuhan di masyarakat.
5. Perubahan nyata: Munculnya dampak yang baik pada peserta pelatihan,
2.6 Defenisi Konsep
Defenisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang
dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011:136). Defenisi konsep ditujukan untuk
mencapai keseragaman pemahaman tentang konsep-konsep, baik berupa objek,
peristiwa maupun fenomena yang diteliti. Untuk lebih memahami pengertian
mengenai konsep-konsep yang akan digunakan, maka peneliti membatasi konsep
yang digunakan sebagai berikut:
1. Efektifitas merupakan taraf sampai sejauh mana peningkatan kesejahteraan
manusia dengan adanya suatu program dan merupakan unsur pokok untuk
mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Efektifitas
disebut efektif apabila tercapainya tujuan atau sasaran yang telah ditentukan
sebelumnya.
2. Pelatihan Kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas,
disiplin, sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu
sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan. Pelatihan kerja
diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan
mengembangkan keterampilan atau keahlian kerja guna meningkatkan
kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan tenaga kerja. Pelatihan kerja
diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar
kualifikasi keterampilan atau keahlian yang pelaksanaannya dilakukan secara
berjenjang, berkait dan berlanjut.
3. Pelatihan kerja berbasis kompetensi adalah pelatihan untuk meningkatkan
kemampuan yang dilandasi oleh keterampilan dan pengetahuan yang
pekerjaan di tempat kerja yang mengacu pada persyaratan kerja yang
ditetapkan.
4. Balai Latihan Kerja Kabupaten Dairi merupakan institusi yang melaksanakan
pelatihan kerja bagi penganggur/pencari kerja di Kabupaten Dairi. Pelatihan
kerja oleh UPT BLK disesuaikan dengan kemampuan dan kemauan dari
peserta pelatihan. Latihan kerja menekankan pada peningkatan tenaga kerja
yang produktif dan memiliki daya saing.
2.7 Defenisi Operasional
Defenisi operasional bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam
melaksanakan kegiatan penelitian dilapangan. Maka perlu operasionalisasi dan
konsep untuk menggambarkan tentang apa yang harus diamati (Silalahi, 2009: 120).
Defenisi operasional ditujukan dalam upaya transformasi konsep ke dunia nyata
sehingga konsep-konsep penelitian dapat di observasi (Siagian 2011: 141).
Adapun yang menjadi defenisi operasional, efektifitas pelaksanaan program
pelatihan berbasis kompetensi dapat diukur melalui indikator sebagai berikut:
1. Pemahaman program
Peserta Pelatihan mampu memahami program pelatihan kerja yang diberikan
dengan melihat pemahaman akan:
a. Tingkat pemahaman responden setelah mendapatkan informasi program
pelatihan kerja
b. Pengetahuan responden mengenai program yang direncanakan
c. Pengetahuan responden mengenai program yang terealisasi
d. Pengetahuan responden mengenai hak dan tanggung jawab dalam masa
2. Ketepatan sasaran.
Ketepatan sasaran program pelatihan dapat dilihat dari:
a. Pihak yang memperoleh pelatihan
b. Pihak yang menetapkan sasaran program
c. Ukuran yang digunakan dalam menetapkan sasaran
d. Ketepatan ukuran yang digunakan dalam menetapkan sasaran
e. Pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik
3. Ketepatan waktu, meliputi:
a. Pemberian informasi waktu pelaksanaan penyuluhan sebelum menjadi
peserta program Pelatihan Berbasis Kompetensi
b. Ketepatan waktu pemberian materi dan praktek pelatihan kepada
responden setelah menjadi peserta program pelatihan berbasis
kompetensi
c. Kesesuaian waktu pemberian pelatihan dengan waktu yang telah
ditentukan.
d. Frekuensi awal pelaksanaan program sampai akhir pelaksanaan program
e. Keberlangsungan program
4. Tercapainya Tujuan, meliputi:
a. Pencapaian tujuan yang ditetapkan melalui berbagai kegiatan
b. Manfaat yang diperoleh
c. Kelanjutan pelaksanaan program pelatihan kerja
5. Perubahan nyata, meliputi:
a. Perubahan pada kemampuan
b. Perubahan pada hasil yang dicapai
d. Perubahan pada keterampilan kerja