BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan anak merupakan suatu kebahagiaan yang tertinggi dalam
keluarga. Dari sudut pandangan hukum, keberadaan seorang anak menimbulkan
konsekuensi yuridis karena menimbulkan hak-hak dan kewajiban dalam proses
pelaksanaan pendidikan keluarga. Kewajiban orangtua terhadap anak-anak
dilandasi oleh falsafah moralitas bahwa anak itu merupakan amanat dari Tuhan.
Salah satu kewajiban orangtua terhadap anak adalah memberikan pendidikan yang
terbaik sehingga anak-anak tersebut menjadi generasi penerus bangsa dan
memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa
yang akan datang. Agar kelak sang anak mampu memikul tanggung jawab
tersebut. Pendidikan terbaik yang harus diperhatikan adalah pendidikan agama
dan pendidikan moral.
Anak juga merupakan salah satu golongan kelompok rentan yang perlu
dilindungi dari segala bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Berkaitan dengan
tersebut maka si anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang
secara optimal baik fisik, mental, maupun psikologinya. Di samping itu pula anak
harus mendapatkan jaminan pemenuhan hak-haknya serta tanpa adanya perlakuan
diskriminasi dan kekerasan.
Namun pada kenyataannya masih terjadi pelanggaran terhadap hak anak,
tercermin dari masih adanya anak-anak yang mengalami kekerasan. Kekerasan
dan penyalahgunaan seksual masa kanak dapat berdampak sangat serius. Di satu
sisi, anak akan mengalami hal-hal yang menakutkan dan menjadi teror sepanjang
hidupnya. Selain itu berbagai bujukan, ancaman sekaligus langkah-langkah pelaku
dapat menambah rumit permasalahan dengan memunculkan perasaan bersalah dan
berdosa pada diri anak. Karena masalah seksual adalah masalah yang
ditutup-tutupi dan tabu dibicarakan, anak tidak dapat memahami apa yang terjadi padanya
terjadi dapat memunculkan gangguan-gangguan yang terbawa terus ke masa
dewasa. Beberapa hal yang dapat terjadi :
1. Anak mengembangkan pola adaptasi dan keyakinan-keyakinan keliru sesuai
dengan sosialisasi yang diterimanya. Misalnya, anak akan menganggap
wajar perilaku orang dewasa sedemikian rupa, meniru tindakan yang
dilakukan kepadanya, menyalahkan ibu atau orang dewasa yang
mengasuhnya yang dianggapnya tidak membelanya dari hal-hal buruk yang
dialaminya. Yang juga sering terjadi adalah self-blame, merasa bersalah,
merasa menjadi penanggungjawab kejadian yang dialaminya, menganggap
diri aneh dan terlahir sial (missal: sudah dikutuk untuk selalu mengalami hal
buruk dan menyusahkan orang lain dan sebagainya).
2. Anak merasa dikhianati. Bila pelaku kekerasan adalah orang dekat dan
dipercaya, apalagi orangua sendiri, anak akan mengembangkan perasaan
dikhianati, dan akhirnya menunjukkan ketakutan dan ketidakpercayaan pada
oranglain dan kehidupan pada umumnya. Hal ini akan sangat berdampak
pada kemampuan sosialisasi, kebahagiaan dan hampir semua dimensi
kehidupan psikologis pada umumnya.
3. Stigmatisasi. Di satu sisi, masyarakat yang mengetahui sejarah kehidupan
anak akan melihatnya dengan kacamata berbeda. Misalnya dengan rasa
kasihan sekaligus merendahkannya, atau menghindarinya. Di sisi lain, anak
mengembangkan gambaran negatif tentang diri sendiri. Anak merasa malu
dan rendah diri, dan yakin bahwa yang terjadi pada dirinya adalah karena
adanya sesuatu yang memang salah dengan dirinya tersebut (misalnya
melihat diri sendiri anak sial).
4. Traumatasi seksual. Pemaparan pengalaman seksual terlalu dini, juga yang
terjadi secara salah, dapat berdampak pada munculnya trauma seksual.
Trauma seksual dapat tertampilkan dalam dua bentuk, yaitu inhibisi seksual,
yakni hambatan-hambatan untuk dapat tertarik dan menikmati seks, atau
justru disinhibisi seksual, yakni obsesi dan perhatian berlebihan pada
Dari laporan akhir tahun 2013, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) sebanyak 3.023 kasus pelanggaran hak anak terjadi di Indonesia dan 58 persen atau 1.620 anak jadi korban kejahatan seksual. Sekretaris Jendeal Komnas PA, Samsul Ridwan mengungkapkan, jika dibandingkan dengan tahun 2012, jumlah tahun 2013 meroket tajam hingga mencapai 60 persen, dimana korban yang paling banyak anak perempuan dan rata-rata berasal dari kelas ekonomi bawah. Dilihat dari klasifikasi usia, dari 3.023 kasus tersebut, sebanyak 1.291 kasus (45 persen) terjadi pada anak berusia 13 hingga 17 tahun, korban berusia 6 hingga 12 tahun sebanyak 757 kasus (26 persen), dan usia 0 hingga 5 tahun sebanyak 849 kasus atau 29 persen.
Karena semakin meningkatnya tindak pidana terhadap anak, maka mendorong pemerintah untuk memberikan perhatian berupa perlindungan kepada anak agar terhindar dari segala tindakan kekerasan.
Sebagai suatu bentuk kejahatan, tindakan kekerasan tampaknya tidak akan pernah hilang dari muka bumi ini. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa frekuensi dan insidensi tindakan kekerasan terhadap anak tidak dapat diatasi.
Masalah kepedulian terhadap perlindungan anak telah menjadi perhatian bukan saja dalam lingkungan nasional seperti adanya Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undnag-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bahkan dalam lingkungan global atau internasional, dibuktikan dengan adanya Konvensi Hak Anak tahun 1989, dan juga Konvensi PBB yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 36 tahun 1990.
Berdasarkan uraian di atas penulis menetapkan judul skripsi ini dan selanjutnya penulis akan mengadakan pembahasan tentang TINJAUAN YURIDIS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR DARI SUDUT KRIMINOLOGI (STUDI KASUS PUTUSAN NO: 95/Pid.B./2013/PN/MDN).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini sebagai berikut :
1. Faktor-faktor penyebab timbulnya kekerasan seksual terhadap anak dibawah
umur?
2. Bagaimana pengaturan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di
bawah umur dalam KUHP, UU NO. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, dan UU NO. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
(studi kasus Putusan No. 95/Pid.B./2013/PN/MDN)?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan dari penulisan adalah :
1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab timbulnya kekerasan seksual
terhadap anak dibawah umur.
2. Untuk menganalisa pengaturan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak
dibawah umur dalam KUHP, UU PERLINDUNGAN ANAK, dan UU
SISTEM PERADILAN ANAK (studi kasus Putusan No.
95/Pid.B./2013/PN/MDN).
D. Manfaat Penulisan
Penelitian ini mempunyai manfaat subjektif dan manfaat objektif. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut :
Skripsi ini bermanfaat bagi penulis untuk memenuhi syarat kelulusan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Manfaat Objektif
Skripsi ini bermanfaat untuk menerapkan hukum pidana yang telah dipelajari, terutama kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur, serta diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum.
E. Keaslian Penulisan
Sepengetahuan Penulis tidak ada judul yang sama dengan skripsi ini
dilingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu berjudul “TINJAUAN YURIDIS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR DITINJAU DARI SUDUT KRIMINOLOGI (STUDI KASUS PUTUSAN NO : 95/Pid.B/2013/PN.MDN)”. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tulisan ini adalah asli.
F. Metode Penelitian
Sebagai bahan di dalam menyusun skripsi ini, penulis mempergunakan metode ilmiah dalam mengumpulkan bahan-bahan atau sumber-sumber data yang dibutuhkan, sehingga penulisan skripsi ini dapat diuji objektivitasnya berdasarkan mtode-metode ilmiah. Adapun metode penelitian hukum yang dipergunakan, yaitu:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah kombinasi penelitian
yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian yurdis normatif yaitu mengacu
kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan dan norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Sementara
penelitian yuridis empiris adalah penelitian permasalahan mengenai hal-hal
yang bersifat yuridis dan didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari hasil
penelitian dengan mengacu kepada pola-pola perilakku masyarakat yang nyata
Pendekatan hukum normatif dilakukan dengan cara penelurusan terhadap
norma-norma hukum yang terdapat di dalam perundang-undangan
perlindungan anak, serta memperoleh data maupun keterangan yang terdapat
dalam berbagai literature di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, majalah, situs
internet dan sebagainya.
Sementara penelitian hukum empiris dilakukan melalui prosedur dan
teknik wawancara kepada informan atau responden yang terkait dengan
penelitian ini.
2. Sumber Data
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder dan data
primer. Data sekuder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan,
meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet, media
massa, dan kamus serta data yang terdiri atas:
a. Bahan hukum primer, yaitu : ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundangan-undangan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,
baik peraturan yang telah disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia
yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang
Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002), dan juga Undang-Undang
Sistem Peradilan Anak (UU No. 11 No. 2012), maupun peraturan yang
sedang dirancang oleh Pemerintah Republik Indonesia.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu : bahan-bahan hukum yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer seperti jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah,
koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang
berkaitan dengan rumusan permasalahan diatas.
c. Bahan hukum tersier, yaitu : Kamus, Ensklopedia, bahan dari Internet dan
lain-lain yang merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan
tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku milik pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah termasuk Peraturan Perundang-Undangan, dan untuk memperoleh data pendukung seperti Putusan No. 95/Pid.B./2013/PN/MDN.
4. Analisis Data
Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif. Metode kualitatif ini digunakan agar dapat mengerti dan memahami gejala yang ditelitinya.
G. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian kekerasan seksual terhadap anak
Abuse adalah kata yang biasa diterjemahkan menjadi kekerasan, penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Dalam The Social work dictionary, Barker mendefinisikan kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial, baik yang dialami individu maupun kelompok. Barker juga mendefenisikan kekerasan terhadap anak (child abuse) adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi, dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan para orangtua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak.
Menurut Suharto, kekerasan seksual terhadap anak (child abuse) dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian, yakni:
a. Kekerasan anak secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan
penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda
tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk
tumpul seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang, atau rotan. Dapat pula
berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok
atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan,
mulut, pipi, dada, perut, punggung, atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan
terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak
disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, memecahkan barang
berharga.
b. Kekerasan anak secara psikis meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata
kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar atau film pornografi terhadap
anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala
perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemali, menangis jika didekati, takut
ke luar rumah dan takut bertemu dengan oranglain.
c. Kekerasan anak secara seksual dapat berupa perlakuan pra kontra seksual
antara anak dengan orang yang lebi besar (melalui kata, sentuhan, gambar
visual) maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan
orang dewasa (incest perkosaan, eksploitasi seksual).
d. Kekerasan anak secara social dapat mencakup penelantaran anak dan
eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang
tidak memberikan perhatian yang layak terhadap tumbuh kembang anak,
misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan
pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk
pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak
yang dilakukan keluarga atau masyarakat, misalnya memaksa anak untuk
melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa
memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai
dengan perkembangan fisik, psikis dan status sosialnya.
2. Pengertian Kekerasan Seksal terhadap anak menurut KUHP
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah
Anak adalah tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa. Menurut
The Minimum Age Convention nomor 138 (1973), pengertian tentang anak adalah
seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam Convention on the
Rights of the Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui
Keppres nomor 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang
berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF mendefenisikan anak sebagai
penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-Undang RI
nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, mengatakan anak adalah
seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Hal ini
merupakan penjelasan dari Pasal 1 angka 2 UU Nomor 4 Tahun 1979 Menurut
UU Perlindungan Anak, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Pengertian anak dapat ditinjau dari usia atau dari aspek kejiwaan. Seseorang
dapat dikategorikan sebagai anak bila ia berumur antara 8 sampai 17 tahun, bila
ditinjau dari batasan usia, sementara dari aspke kejiwaan terdapat
pengklasifikasian definisi yang agak rinci dan mempunyai tingkatan yang lebih
jelas, yaitu anak, remaja dini, remaja penuh, dewasa muda, dan akhirnya dewasa.
Untuk mendekati makna yang benar tentang anak itu sendiri, sangatlah
diperlukan suatu pengelompokkan pengertian anak, yang dapat kita bagi dari
berbagai sudut pandang, seperti secara religius, sosiologis, psikologis, ekonomi,
yuridis (hukum).
a. Pengertian anak secara religius
Pandangan tentang anak yang dibangun oleh sudut pandang agama, dalam
hal ini sudut pandang agana islam, bahwa anak adalah sebagai sesuatu yang
mulia kedudukannya. Seorang anak dalam pengertian islam harus
diperlakukan secara manusiawi dan diberi pendidikan, pengajaran,
keterampilan dari akhlak nul karimah agar anak tersebut kelak dapat
bertanggung jawab dalam mensosialisasikan diri untuk memenuhi
kebutuhan hidup dari masa depan yang lebih baik.
Seseorang dapat dikategorikan sebagai seorang anak, bukan semata-mata
didasarkan pada batas usia yang dimiliki seseorang melainkan dipandang
dari segi mampu tidaknya seseorang untuk dapat hidup mandiri menurut
pandangan social kemasyarakatan dimana ia berada.
c. Pengertian anak secara psikologis
Ditinjau dari aspek psikologis, pertumbuhan manusia mengalami fase-fase
perkembangan kejiwaan yang masing-masing ditandai dengan ciri-ciri
tertentu. Sebagai seorang anak adalah sejak masa bayi hingga masa
kanak-kanak terakhir, yaitu sejak dilahirkan sampai usia 12 tahun. Namun karena
dikenal adanya masa remaja, maka setelah kanak-kanak berakhir seorang
ana belum dapat dikategorikan sebagai orang yang sudah dewasa,
melainkan baru menginjak remaja (pubertas). Pada masa remaja ini
merupakan masa pertumbuhan baik dari segi rohani maupun jasmani. Pada
masa ini umumnya mengalami suatu bentuk krisis, berupa kel=hilangan
keseimbangan jasmani dan rohani. Pada masa remaja atau pubertas dibagi
dalam empat fase :
1) Masa awal pubertas, disebut pula sebagai masa pueral atau
pra-pubertas.
2) Masa menentang kedua, fase negatif Trotzelter kedua, periode
Verneinung.
3) Masa puber sebenarnya, mulai kurang dari 14 tahun. Masa pubertas
wanita pada umumnya berlangsung lebih awal dari pada pubertas anak
laki-laki.
4) Fase odolesensi, mulai usia kurang lebih 17 tahun sampai sekitar 19
tahun atau 21 tahun.
d. Pengertian anak secara ekonomi
Dalam pengertian ekonomi, status anak sering dikelompokkan pada
golongan orang yang non produktif. Jika terdapat kemampuan ekonomi
yang persuasif dalam kelompok anak, kemampuan tersebut dikarenakan
anak mengalami transformasi financial yang disebabkan dari terjadinya
interaksi dalam lingkungan keluarga yang berdasarkan nilai kemanusiaan.
Kenyataan-kenyataan dalam masyarakat yang sering memproses anak-anak
melakukan kegiatan ekonomi atau kegiatan produksi dapat menghasilkan
nilai-nilai ekonomi.
e. Pengertian anak secara yuridis (hukum)
Secara yuridis kedudukan seorang anak menimbulkan akibat hukum.
Kedudukan hukum tersebut meliputi kedudukan anak dari pandangan
system hukum atau disebut kedudukan dalam arti khusus sebagai subjek
hukum. Kedudukan anak dalam artian dimaksud meliputi ke dalam
beberapa bagian sebagai berikut :
1. Pengertian anak dalam UUD 1945
Pengertian anak dalam UUD 1945, terdapat didalam kebijaksanaan Pasal 34 UUD 1945, yang menyebutkan: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”.
Mengandung kekhususan bagi pengelompokkan anak-anak yang terlantar dan
kemudian dijadikan objek pembangunan, pembinaan, pemeliharaan, dengan
tujuan anak-anak tersebut akan dapat menjalani kehidupan yang layak suatu
saat.
Pasal ini mempunyai makna khusus terhadap pengertian da status anak dalam
bidang politik, karena esensi dasar dari pengelompokkan kedudukan anak ini
adalah bahwa anak adalah subjek hukum nasional, yang harus dilindungi,
dipelihara, dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak.
2. Pengertian anak menurut hukum perdata
KUHPer yang menyebutkan sebagai berikut: “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendaki”.
Jadi dalam ketentuan hukum perdata, kedudukan anak sangat luas dan mempunyai peranan yang penting, dan ketentuan Hukum Perdata ini juga memberikan perlindungan terhadap hak-hak keperdataan anak, dalam hal ini ada kaitannya dengan masalah pembagian harta warisan. Dengan demikian perlindungan anak dalam huku perdata tidak hanya dilihat dari lahirnya saja tetapi sejak berada dalam kandungan pun hak-hak anak ini tetap dilindungi.
3. Pengertian Anak menurut Hukum Pidana
Anak dalam pengertian hukum pidana, lebih diutamakan pemahaman
terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara kodrati
memiliki substansi yang lemah dan dalam sistem hukum dipandang sebagai
subjek hukum yang dicangkokkan dari bentuk pertanggungjawaban,
sebagaimana layaknya seorang subjek hukum normal.
Pada hakekatnya kedudukan status pengertian anak dalam hukum pidana
meliputi dimensi-dimensi pengertian yaitu:
a. Ketidakmampuan bertanggungjawab tindak pidana
b. Pengambilan hak-hak anak dengan jalan mensubsitusikan hak-hak anak
yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata negara dengan
maksud untuk mensejahterakan anak.
c. Rehabilitasi yaitu anak berhak untuk mendapatkan proses perbaikan
mental spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak
itu sendiri.
d. Hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan.
e. Hak-hak anak dalam proses hukum acara pidana.
Dengan demikian di dalam ketentuan Hukum Pidana telah memberikan
perlindungan terhadap hak-hak anak yang kehilangan kemerdekaan,
karena anak dipandang sebagai subjek hukum yang berada pada usia
dan perlu mendapatkan hak-hak yang khusus yang diberikan oleh Negara
atau pemerintah.
Kekerasan seksual terhadap anak menurut KUHP, sering sekali menggunakan pasal 294 ayat (1) KUHP, dimana menyatakan “barangsiapa melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan anaknya sendiri, dengan anak tirinya, dengan anak asuhnya, dengan anak angkatnya yang belum dewasa, atau dengan seseorang belum dewasa yang pengurusannya, pendidikan atau penjagaannya telah dipercayakan kepadanya, atau dengan seorang pembantu ata seorang bawahannya yang belum dewasa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun.
3. Pengertian Kriminologi
Menurut segi etimologinya, kriminologi berasal dari kata crime yang artinya kejahatan, dan logos yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi, kriminologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan.
Menurut E. H. Sutherland, kriminologi adalah seperangkat pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial, termasuk di dalamnya proses pembuatan undang, pelanggaran undang dan reaksi terhadap pelanggaran undang-undang.
Kriminologi terdiri dari tiga kelompok prinsip antara lain :
a) Sosiologi hukum adalah yang mencoba melalui analisa ilmiah,
mengungkapkan kondisi-kondisi yang membentuk hokum pidana dan jarang
disentuh dalam buku kriminologi umumnya.
b) Etiologi criminal adalah yang mencoba melalui analisa ilmiah meneliti
sebab musabab kejahatan.
c) Penologi adalah yang berhubungan dengan control terhadap kejahatan.
Menurut Mr. W. A. Bonger, kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang
Menurut Muljatno menyatakan kriminologi merupakan ilmu pengetahuan
tentang kejahatan-kejahatan dan kelakuan jelek dan tentang orangnya yang
tersangkut pada kejahatan dan kelakuan jelek itu.
Manfaat kriminologi, antara lain:
a) Salah satu dasar /latar belakang ilmu untuk profesi dan pekerja sosial dapat
menggunakan kriminologi dalam menaggulangi masalah masyarakat yang
ditangani.
b) Untuk menghindarkan rasa benci atau rasa simpati yang tidak positif/tidak
sehat pada pelaku kejahatan.
c) Manfaat lain baik bagi pribdi, masyarakat maupun ilmu pngetahuan sendiri.
Hubungan kriminologi dengan disiplin ilmu lain, antara lain:
1) Ilmu sosial yakni kelompok ilmu pengetahuan yang meneliti hidup manusia
seperti ekonoi, antropologi, psikologi, sejaah sosologi.
2) Ilmu pengetahuan kerohanian (humaniora) yakni ilmu pengetahuan yang
mempelajari perwujudan spritual kehidupan bersama seperti filsafat,
kesenian, agama, ilmu bahasa.
3) Ilmu pengetahuan alam yakni kelompok ilmu pengetahuan yang
mempelajari alam seperti fisika dan biologi Dari hal diatas terlihat
kriminologi termasuk dalam ilmu Sosial.
4)
Objek dari kriminologi, yaitu:
a) Kejahatan
Berbicara tentang kejahatan, maka sesuatu yang dapat kita tangkap secara
spontan adalah tindakan yang merugikan orang lain atau masyarakat
umum, atau lebih sederhana lagi kejahatan adalah suatu perbuatan yang
bertentangan dengan norma. Seperti apakah batasan kejahatan menurut
kriminologi. Banyak para pakar mendefiniskan kejahatan dari berbagai
sudut. Pengertian kejahatan merupakan suatu pengertian yang relatif, suatu
Kejahatan menurut Kamus Bahasa Indonesia yaitu perilaku yang
bertentangan dengan nilainilai dan norma-norma yang berlaku yang telah
disahkan oleh hukum tertulis (hukum pidana).
Donald R Taft,kejahatan adalah perbuatan yang melanggar hukum pidana
(a crime is an act forbidden and made punishable by law).
Kejahatan secara praktis yaitu pelanggaran atas norma-norma agama,
kebiasaan, kesusilaan yang hidup dalam masyarakat.
Kejahatan secara religi adalah pelanggaran atas perintah Tuhan (dosa).
Kejahatan secara yuridis yaitu setiap perbuatan ataupun kelalaian yang
dilarang oleh hukum publik untuk melindungi masyarakat dan diberi
pidana oleh negara dan nyata-nyata dinukilkan dalam
perundang-undangan pidana negara.
Ketiga pengertian inilah kejahatan menurut kriminologi karena
kriminologi lebih luas dari hukum pidana.
Kejahatan yang dimaksud disini adalah kejahatan dalam arti pelanggaran terhadap undang-undang pidana. Disinilah letak berkembangnya kriminologi dan sebagai salah satu pemicu dalam perkembangan kriminologi. Mengapa demikian, perlu dicatat, bahwa kejahatan dedefinisikan secara luas, dan bentuk kejahatan tidak sama menurut tempat dan waktu. Kriminologi dituntut sebagai salah satu bidang ilmu yang bisa memberikan sumbangan pemikiran terhadap kebijakan hukum pidana. Dengan mempelajari kejahatan dan jenis-jenis yang telah dikualifikasikan, diharapkan kriminologi dapat mempelajari pula tingkat kesadaran hukum masyarakat terhadap kejahatan yang dicantumkan dalam undang-undang pidana.
Untuk membatasi pengertian yang berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat itu sendiri, bentuk-bentuk dari kejahatan dapat kita tinjau dari segi:
1) Cara melakukan kejahatan; umpamanya kejahatan itu terjadi dilihat dan
dialami korban misalnya penganiayaan, atau cara yang tidak terlihat
Pengkajian kejahatan yang tradisional yang pada saat ini dilakukan
dengan modus operandi baru, atau munculnya kejahtan-kejahatan baru
seperti kejahatan dalam menggunakan komputer, kejahatan lingkungan,
tercakup dalam studi kejahatan ditinjau dari segi bentuk-bentuk
kejahatan.
2) Luasnya perlakuan jahat; misalnya apa yang menjadi titik berat (objek)
dari kejahatan, di lokasi mana atau di tempat mana perlakuan jahat itu
terjadi dan waktu yang bagaimana kejahatan itu sering terjadi.
3) Frekuensi kejahatan; jumlah kejahatan yang terjadi dalam suatu
masyarakat pada suatu periode tertentu, dicatat dan dipelajari sehingga
kelihatan bentuk kejahatan mana yang dominan pada daerah itu,
bagaimana perbandingan perkembangannya sesuai dengan dinamika
dan sosial kondisi dari masyarakat bersangkutan.
Penyebab terjadinya kejahatan sendiri diakibatkan oleh beberapa faktor, diantaranya antara lain:
Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika berpakaian yang menutup aurat, yang dapat merangsang pihak lain
untuk berbuat tidak senonoh dan jahat.
Gaya hidup atau mode pergaulan di antara laki-laki dengan perempuan yang semakin bebas.
Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-norma keagamaan yang terjadi di tengah masyarakat.
Tingkat kontrol masyarakat yang rendah, artinya berbagai perilaku yang diduga sebagai penyimpangan , melanggar hukum dan norma
keagamaan kurang mendapatkan responsi dan pengawasan dari
unsur-unsur masyarakat.
Putusan hakim yang merasa tidak adil.
Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam tehadap sikap, ucapan, dan perilaku korban yang dianggap menyakiti
dan merugikan.
b) Pelaku
Sangat sederhana sekali ketika mengetahui objek kedua dari kriminlogi ini. Setelah mempelajari kejahatannya, maka sangatlah tepat kalau pelaku kejahatan tersebut juga dipelajari. Akan tetapi, kesederhanaan pemikiran tersebut tidak demikian adanya, yang dapat dikualifikasikan sebagai pelaku kejahatan untuk dapat dikategorikan sebagai pelaku adalah mereka yang telah ditetapkan sebagai pelanggar hukum oleh pengadilan. Objek penelitian kriminologi tentang pelaku adalah tentang mereka yang telah melakukan kejahatan, dan dengan penelitian tersebut diharapkan dapat mengukur tingkat kesadaran masyarakat terhadap hukum yang berlaku dengan muaranya adalah kebijakan hukum pidana baru. Mathew dan Moreau membagi penjahat atas:
Penjahat profesional yang menghabiskan masa hidupnya dengan kegiatan kriminal.
Penjahat accidental yang melakukan kejahatan sebagai akibat situasi lingkungan yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya.
Penjahat terbiasa yang terus melakukan kejahatan oleh karena kurangnya pengendalian diri.
Lindesmith dan Dunham membagi atas:
Penjahat individual yang bekerja atas alasan pribadi tanpa dukungan budaya.
Penjahat sosial yang di dukung oleh norma-norma tertentu dengan memperolehstatus dan penghargaan dari kelompoknya .
Gibbons dan Garrit y membedakan:
Kelompok penjahat yang orientasi hidupnya sebagian besar dibimbing oleh kelompok bukan pelanggar hukum.
GW Bawengan yang dikutip dari Ruth Shonle Cavan tediri dari:
The casual offender, pelanggaran kecil sehingga tidak bisa disebut penjahat seperti naik sepeda tidak pakai lampu di malam hari.
The occasiona criminal, kejahatan enteng.
The episodic criminal, kejahatan karena dorongan nemosi yang hebat, awalnya bercanda akhirnya karena tersinggung membunuh.
The white collar crime, menurut Sutherland adalah kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha dan pejabat dalam hubungan dengan fungsinya.
Menurut Ruth S.Cavan mereka kebal dengan hukum karena punya
kekuasaan dan kemampuan materil.
The habitual criminal, yang mengulangi kejahatan(residivis)
The profesional criminal, kejahatan sebagai mata pencaharian dan mengeai delik ekonomi atau yang berlatar perekonomian.
Organized crime, kejahatan dengan suatu organisasi dengan organisator yang mengatur operasi kejahatan.
The mentally abnormal criminal, menurut Cavan seperti golongan psychopatis dan psychotis.
The nonmalicious criminal, kejahatan yang mempunyai arti relatif, karena ada sebagian bagi kelompok lain itu bukan merupakan kejahatan seperti
bugil dalam suatu ritual kepercayaan itu perbuatan suci bagi kelompok
lain ini merupakan kejahatan.
c) Reaksi masyarakat terhadap perbuatan melanggar hukum dan pelaku
kejahatan
masyarakat inilah yang perlu mendapatkan perhatian dari kajian-kajian kriminologi.
Sejarah perkembangan akal pemikiran manusia yang menjadi dasar dibangunnya teori-teori kriminologi, yaitu:
a) Spritualisme
Bahwa segala kebaikan bersumber dari Tuhan dan segala keburukan datang dari setan, orang yag melakukan kejahatan dianggap sebagai orang yaang telahterkena bujukan setan. Bencana alam dipandang sebagai hukuman atas pelanggaran norma.
b) Naturalisme
Perkembangan paham rasionalis muncul dari ilmu alam setelah abad pertengahan menyebabkan manusia mencari model penjelasan lain yang lebih rasionil dan mampu dibuktikan secara ilmiah, lahirnya rasionalisme di Eropa menjadikan pendekatan ini mendominasi pemikiran tentang kejahatan pada abad selanjutnya.
Teori-teori sebab terjadinya kejahatan yang terdapat dalam kriminologi, yaitu: a) Teori Biologi Kriminal
Cesare Lombroso (1835-1909), seorang dokter kedokteran kehakiman
merupakan tokoh penting dalam mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri
fisik (biologis) penjahat. Ajaran-ajaran yang dikemukakan yaitu:
1) Penjahat adalah orang yang mempunyai bakat jahat.
2) Bakat jahat tersebut diperoleh karena kelahiran yaitu diwariskan dari
nenek moyang.
3) Bakat jahat tersebut dapat dilihat dari ciri-ciri biologis tertentu seperti
muka yang tidak simetris, bibir tebal, hidung pesek, dan sebagainya.
4) Bakat jahat tersebut tidak dapat diubah, artinya bakat jahat tersebut
b) Teori Psikologi Kriminal
Usaha mencari ciri-ciri psikis pada prara penjahat didasarkan anggapan
bahwa penjahat merupakan orang-orang yang mempunyai ciri-ciri psikis
yang berbeda dengan orang-orang yang bukan penjahat dan ciri-ciri psikis
tersebut terletak pada intelegensinya yang rendah.
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia di tingkat
individu dalam melakukan kejahatan.
c) Teori Sosiologi Kriminal
Dalam teori iini, mempelajari, meneliti, dan membahas hubungan antara masyarakat dengan anggotanya, antara kelompok baik karena hubungan tempat maupun etnis dengan anggotanya, antara kelompok dengan kelompok, sepanjang hubungan tersebut dapat menimbulkan kejahatan. Teori ini dapat dibagi atas dau bagian antara lain:
1. Non Class Oriented Theories Teori Ekologis
Teori ini mempersoalkan hubungan antara kejahatan dengan
faktor-faktor kepadatan penduduk, mobilitas penduduk,
perbedaan desa dengan kota, daerah delinkwen dengan
perumahan.
Teori Konflik Kebudayaan
Teori ini mempersoalkan hubungan antara kejahatan dengan
konflik antara berbagai sistem nilai dalam suatu daerah.
Faktor Ekonomi
Faktor ini mencoba mencari hubungan antara kejahatan dengan
kemiskinan dan penderitaan rakyat.
Differential Association Theory (Sutherland)
Menurut teori ini kejahatan yang dilakukan seseorang adalah
hasil peniruan terhadap perbuatan kejahatan yang ada dalam
2. Class Oriented Theory Teori Anomie
Teori ini menggambarkan keadaan suatu masyarakat dimana
himpunan-himpunan peraturan yang mengatur hubungan
unsur-unsur dalam sistem sosial menjadi kacau balau, akibatnya ialah
bahwa anggota masyarakat mengalami kebingungan sendiri. Teori Sub Kultur
Teori ini pada dasarnya membahas dan menjelaskan bentuk
kenakalan remaja serta perkembangan berbagai tipe geng.
Teori sub kultur ini sebenarnya dipengaruhi kondisi intelektual.
Teori Labeling (teori label)
Teori label ini diartikan dari segi pandangan pemberian nama
yaitu bahwa sebab utama kejahatan dapat dijumpai dalam
pemberian nama atau pemberian label dalam masyarakat untuk
mengidentifikasi anggota-anggota tertentu pada masyarakatnya.
Berdasarkan perspektif ini pelanggaran hukum tidak bisa
dibedakan dari mereka yang tidak melanggar hukum, terkecuali
bagi adanya pemberian nama atau label terhadap mereka yang
ditentukan demikian, oleh sebab itu maka kriminal dipandang
oleh teoritisi pemberian nama sebagai korban lingkungannya
dan kebiasaan pemberian nama oleh masyarakat.
Teori Kontrol Sosial (Hirschi)
Teori ini memfokuskan diri pada teknik-teknik dan strategi yang
mengatur tingkah laku manusia dan membawanya kepada
penyelesaian atau ketaatan kepada aturan-aturan masyarakat.
Menurut Hirschi, terdapat empat unsur kunci dalam teori sosial
mengenai perilaku kriminal, yaitu:
1) Ikatan untuk para remaja yang dipandang penting
2) Keterikatan dalam sub konvensional
4) Percaya pada nilai moral dari norma-norma dan
nilai-nilai dari pergaulan hidup.
Teori Psychoanalitical
Keinginan-keinginan yang ditekan karena tidak memenuhi
norma-norma, menimbulkan kejahatan. Sigmund Freud penemu
Psikoanalisa hanya tertuju pada neurosis dan faktor-faktor diluar
kesadaran yang tergolong ke dalam struktur yang lebih umum
mengenai tipe-tipe ketidak beresan atau penyakit. Teori Sobural
Sobural sebagai akronim dari nilai-nilai sosial, aspek budaya
dan faktor structural dari suatu masyarakat tertentu.
Tujuan teori sobural bukan semata-mata untuk mencegah
kejahatan, melainkan merekayasa hukum dalam kebenaran dan
keadilan agar tercipta kedamaian dan kesejahteraan, maka hanya
polrilah yang dapat memberitahukan kepada semua aparat
pemerintah baik pusat maupun daerah bahwa timbulnya dan
semakin meningkatnya kejahatan atau tindak pidana.
4. Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi dan situasi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif.
Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak. Serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Jadi perlindungan hukum bagi anak mencakup ruang lingkup yang luas. Perlindungan hukum bagi anak dapat mencakup berbagai bidang, antara lain:
a. Perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak
b. Perlindungan anak dalam proses peradilan
c. Perlindungan kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga,
pendidikan, dan lingkungan sosial)
d. Perlindungan anak dalam masalah pemahaman dan perampasan
kemerdekaan.
e. Perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan,
perdagangan, anak pelacuran, pornografi, perdagangan/penyalahgunaan
obat-obatan, memperalat anak dalam melakukan kejahatan dan
sebagainya)
f.Perlindungan terhadap anak jalanan
g. Perlindungan anak dari akibat-akibat peperangan dan konflik bersenjata
h. Perlindungan anak terhadap tindakan kekuasaan.
Perlindungan anak dalam perspektif hukum pidana pada umumnya diatur dalam dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan sebagian lagi tersebar dalam undang-undang lain yang ada memuat tentang ketentuan pidana.
Perlindungan terhadap anak yang diatur dalam KUHP terdiri dari perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban dari tindak pidana.
Perlindungan hukum terhadap anak menurut Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, ketentuan tentang anak diatur dalam bagian tersendiri yaitu di Bagian Kesepuluh khusus tentang anak. Pasal-pasal yang mengatur tentang anak itu adalah Pasal-Pasal 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, dan 66.
Perlindungan hukum terhadap anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diharapkan mampu mewujudkan bentuk perlindungan terhadap anak yang selama ini hanya merupakan suatu cita-cita.
Menurut Pasal 1 bagian 2, bahwa:
“ Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabta kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Dalam Undang-undnag Nomor 23 Tahun 2003, disamping perlindungan anak secara umum juga terdapat pasal yang mengatur tentang perlindungan khusus yaitu seperti yang tercantum di dalam Pasal 1 bagian 15:
“ Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam
situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alcohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.”
Menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002, perlindungan anak haruslah berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD Republik Indonesia 1945, serta tak lepas dari prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak yang meliputi:
a) Non diskriminasi
b) Kepentingan yang terbaik bagi anak
c) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan,
Dalam pasal 3 UU No. 23/2002, perlindungan anak bertujuan untuk
menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat manusia, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak, mulia, dan sejahtera.
Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang, orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah maupun Negara. Pasal 20 Undang-undang perlindungan anak menentukan : “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan
anak.”
Jadi yang mengusahakan perlindungan anak adalah setiap anggota
masyarakat sesuai dengan kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam
situasi dan kondisi tertentu. Setiap warga Negara ikut bertanggung jawab terhadap
dilaksanakannya perlindungan anak demi kesejahteraan anak.
Kewajiban dan tanggung jawab Negara dan pemerintah dalam usaha
perlindungan anak diatur dalam Undang-undang Perlindungan Anak yaitu :
a. Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan
suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa,
status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau
mental (Pasal 21);
b. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 22);
c. Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak
dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang
lain yang secara umum bertanggung jawab terhadap anak dan
mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23);
d. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan
Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 25 Undang-Undang Perlindungan Anak).
Kewajiban tanggungjawab keluarga dan orang tua dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak, yaitu:
a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. Menumbuhkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak, dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya atau karena suatu sebab, tidak dapat dilaksanakan kewajiban dan tanggungjawabnya, maka kewajibannya dan bertanggungjawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perlindungan anak merupakan tameng bagi anak dalam menghadapi berbagai perlakuan yang kemungkinan akan didapatnya dalam pengasuhan orangtua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pergaulannya. Adapun perlakuan-perlakuan yang mungkin didapatnya adalah:
a. Diskriminasi
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual
c. Penelataran
d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan
e. Ketidakadilan,
f. Perlakuan salah lainnya.
“ dalam hal orangtua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman”.
Mengenai perlindungan khusus terhadap anak seperti yang terdapat dalam undang-undang Perlindungan Anak, penulis hanya mencoba mengetengahkan Pasal-Pasal yang mempunyai relevansi dengan judul skripsi ini.
Pasal-pasal yang penulis anggap erat kaitannya dengan judul skripsi yang penulis pilih adalah Pasal 81.
Pasal 81
(1) setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan oranglain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) ddan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berlaku pula
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan oranglain.
H. Sistematika Penulisan
Pembahasan tentang judul dan materi skripsi ini diperinci secara sistematis
dengan lima bab :
BAB I Pendahuluan, memaparkan tentang Latar Belakang, Perumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan
Kepustakaan, Sistematika Penulisan.
BAB II Faktor-faktor penyebab timbulnya kekerasan seksual terhadap anak di
bawah umur, memaparkan tentang tinjauan mengenai kekerasan seksual
kejahatan menurut kriminologi, faktor-faktor timbulnya kekerasan
seksual,dimana berisi tentang faktor inter dan faktor ektern yang
menyebabkan terjadinya kekerasan seksual, akibat-akibat dari
kekerasan seksual, dimana berisi tentang hal-hal yang berhubungan
dengan diri korban setelah terjadinya kekerasan seksual, kekerasan
seksual terhadap anak di bawah umur ditinjau dari sudut kriminologi,
dimana berisi tentang reaksi dan tanggapan atas terjadi kekerasan
seksual terhadap anak.
BAB III Tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur ditinjau
dari KUHP, UU Perlindungan Anak, dan UU Sistem Peradilan Anak,
menguraikan tentang pengaturan terhadap kekerasan seksual pada
anak-anak, terdiri atas :
a. Pengaturan kekerasan seksual pada anak-anak menurut KUHP, berisi
tentang tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak ditinjau
berdasarkan sistem pemidanaan dalam KUHP dan Konsep dalam
KUHP
b. Pengaturan kekerasan seksual pada anak-anak menurut UU No.
23/2002, berisi tentang sistem pemidanaan dalam UU ini dalam
penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.
c. Pengaturan kekerasan seksual pada anak-anak menurut UU No.
11/2012, berisi tentang sistem pemidanaan anak yang menjadi
korban tindak pidana dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
BAB IV Kasus dan Analisa kasus, menguraikan tentang analisa putusan hakim
yang ditinjau dari kriminologi dalam putusan No :
95/Pid.B/2013/PN.MDN.
BAB V Kesimpulan dan Saran, memuat tentang kesimpulan dan saran penulis
pikiran dalam perkembangan hukum di Indonesia terutama yang