BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
2.1.1 Pengertian Buruh
Istilah buruh sudah sangat populer dalam dunia perburuhan/ketenagakerjaan, selain
istilah ini sudah dipergunakan sejak lama bahkan mulai zaman penjajahan Belanda juga
karena peraturan perundang-undangan yang lama (sebelum Undang-Undang nomor 13 tahun
2003 tentang ketenagakerjaan) menggunakan istilah buruh. Pada zaman penjajahan Belanda
yang dimaksud dengan buruh adalah pekerja kasar seperti kuli, tukang, mandor yang
melakukan pekerjaan kasar, orang-orang ini disebut sebagai “Blue Collar”.Sedangkan yang
melakukan pekerjaan dikantor pemerintah maupun swasta disebut sebagai
“Karyawan/Pegawai” (White Collar).Pembedaan yang membawa konsekuensi pada
perbedaan perlakuan dan hak-hak tersebut oleh pemerintah Belanda tidak terlepas dari upaya
untuk memecah belah orang pribumi.
Setelah merdeka kita tidak lagi mengenal perbedaan antara buruh halus dan buruh
kasar tersebut, semua orang yang bekerja di sektor swasta baik pada orang maupun badan
hukum disebut buruh.Hal ini disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yakni Buruh adalah “Barang siapa yang
bekerja pada majikan dengan menerima upah” (Pasal 1 ayat 1 a). (Husni,2007: 33-34).Dalam
selaras dengan Undang-Undang yang lahir sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 21
tahun 2000 yang menggunakan istilah Serikat Pekerja/Buruh.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 3
memberikan pengertian Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Pengertian ini agak umum namun maknanya lebih
luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan,
persekutuan, badan hukum atau badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam
bentuk apapun. Penegasan imbalan dalam bentuk apapun ini perlu karena upah selama ini
diidentikkan dengan uang, padahal ada pula buruh/pekerja yang menerima imbalan dalam
bentuk barang (Husni,2007: 35).
2.1.2 Pengertian Organisasi/Serikat Buruh
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan serikat
pekerja/buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik
diperusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis,
dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh dan keluarganya (UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
pasal 1 angka 17).Kehadiran organisasi pekerja dimaksudkan untuk memperjuangkan hak
dan kepentingan pekerja, sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak
pengusaha. Keberhasilan dimaksud sangat tergantungdari kesadaran para pekerja untuk
mengorganisasikan dirinya, semakin baik organisasi itu, maka akan semakin kuat. Sebaliknya
semakin lemah, maka semakin tidak berdaya dalam melakukan tugasnya. Karena itulah kaum
pekerja/buruh di Indonesia harus menghimpun dirinya dalam suatu wadah atau organisasi
(Husni, 2007: 37-38).Dengan demikian jelaslah bahwa keberadaan serikat pekerja/buruh
kepentingan pekerja/buruh serta melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya.
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja/buruh memuat
beberapa prinsip dasar yaitu:
1. Serikat buruh, dibentuk atas kehendak bebas/pekerja tanpa tekanan atau campur
tangan pengusaha, pemerintah dan pihak manapun.
2. Jaminan bahawa setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat
pekerja/buruh.
3. Basis utama serikat pekerja/buruh ada di tingkat perusahaan, serikat buruh yang ada
dapat mengembangkan diri dalam Federasi Serikat Pekerja/Buruh. Demikian halnya
dengan Federasi Serikat Pekerja/Buruh dapat menggabungkan diri dalam Konfederasi
Serikat Pekerja/Buruh.
4. Serikat pekerja/buruh dapat dibentuk berdasarkan sektor usaha, jenis pekerjaan, atau
bentuk lain sesuai dengan kehendak pekerja/buruh.
5. Serikat pekerja/buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/buruh yang telah
terbentuk memberitahukan secara tertulis kepada kantor DEPNAKER setempat untuk
dicatat.
6. Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk
membentuk atau tidak membentuk, menjadi atau tidak menjadi anggota dan atau
menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/buruh.
Tugas yang diemban oleh serikat pekerja/buruh menjadi semakin berat seiring dengan
kebebasan pekerja/buruh untuk mengorganisasikan dirinya, yakni tidak saja memperjuangkan
hak-hak normatif pekerja/buruh tetapi juga memberikan perlindungan, pembelaan, dan
2.1.3 Pengertian Pengusaha/Perusahaan
Istilah majikan juga sangat populer sebagaimana halnya dengan istilah buruh karena
sebelum Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 menggunakan istilah majikan.Majikan
adalah orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh. Istilah majikan juga kurang
sesuai dengan konsep Hubungan Industrial Pancasila karena istilah majikan selalu
berkonotasi sebagai pihak yang selalu berada diatas sebagai lawan dari pekerja/buruh,
padahal antara buruh dan majikan secara yuridis merupakan mitra kerja yang mempunyai
kedudukan yang sama. Karena itu lebih tepat dan sesuai bila disebut dengan istilah
Pengusaha.
Perundang-undangan yang lahir kemudian seperti UU No. 24 Tahun 2011 tentang
BPJS Ketenagakerjaan, UU Nomor 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan menggunakan
istilah Pengusaha. Dalam pasal 1 angka 5 UU no. 13 Tahun 2003 menjelaskan pengertian
Pengusaha yakni:
1. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri.
2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya.
3. Orang pereorangan, perskutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, 2 yang berkedudukan di
luar wilayah Indonesia.
1. Segala bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak yang mempekerjakan pekerja
dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan,
atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan
pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk apapun.
2. Usaha-usaha sosial atau usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain
(pasal 1 angka 6). (Husni,2007: 35-37).
2.1.4 Pengertian Peranan
Menurut Levinson sebagaimana dikutip oleh Soejono Soekamto, Peranan adalah suatu
konsep perihal apa yang apat dilakukan individu yang penting bagi struktur sosial
masyarakat, peran meliputi norma-norma yang dikembangkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat, peranan dalam arti ini merupakan rangkaian
peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan sosial.
2.2 Teori Perubahan Sosial
Aguste Comte (1798-1857) dalam membahas teori perubahan sosial (social change
theory) membagi dalam dua konsep penting, yaitu Social Statics (bangunan struktural) dan
Social Dynamics (dinamika struktural).Bangunan struktural merupakan hal-hal yang mapan,
berupa struktur yang berlaku pada suatu masa tertentu.Bahasan utamanya mengenai struktur
sosial yang ada di masyarakatyang melandasi dan menunjang orde, tertib dan kestabilan
masyarakat.Hasrat dan kodrat manusia adalah persatuan, perdamaian, kestabilan, dan
keseimbangan.Tanpa unsur-unsur struktur ini kehidupan manusia tidak dapat berjalan.Akan
selalu terjadi pertengkaran dan perpecahan mengenai hal-hal yang sangat mendasar, sehingga
dengan demikian bukanlah pembedaan yang menyangkut masalah faktual, melainkan lebih
tepat dikatakan sebagai masalah pembedaan teoritik.
Dinamika sosial merupakan hal-hal yang berubah dari suatu waktu ke waktu lain,
yang dibahas adalah dinamika sosial dari struktur yang berubah dari waktu ke waktu.
Dinamika sosial adalah daya gerak dari sejarah tersebut, yang setiap tahapan evolusi manusia
mendorong kearah tercapainya keseimbangan baru yang tinggi dari suatu masa (generasi)
kemasa berikutnya. Struktur dapat digambarkan sebagai Hierarchy masyarakat yang memuat
pengelompokan masyarakat kedalam kelas-kelas tertentu (elite, middle, dan lower
class).Sedangkan dinamika sosial adalah proses perubahan kelas-kelas masyarakat itu dari
suatu masa ke masa lain (Salim, 2002: 10).
Dinamika sosial yang paling menonjol pada masa August Comte adalah upaya
mengganti gagasan-gagasan lama dengan konsep-konsep positif dan ilmiah yang merupakan
bagian dari perkembangan ilmu pengetahuan.Perubahan sosial ada pada dinamika struktural
(social dynamic), yaitu perubahan pada dinamika atau isu perubahan sosial yang meliputi
bagaimana kecepatannya, arahnya, bentuk, agennya, serta hambatan-hambatannya.
Perubahan bangunan struktural dan dinamika struktural merupakan bagian yang
saling terkait, tidak dapat dipisahkan.Yang berbeda hanya pada kajian atau
analisisnya.Perubahan sosial (social change) memiliki ciri yaitu berlangsung terus menerus
dari waktu ke waktu, apakah direncanakan atau tidak yang terus terjadi tak tertahankan.
Perubahan adalah proses yang wajar, alamiah sehingga segala sesuatu yang ada di dunia ini
akan selalu berubah. Perubahan akan mencakup suatu sistem sosial, dalam bentuk organisasi
sosial yang ada di masyarakat, perubahan dapat terjadi dengan lambat, sedang atau keras
2.3.1 Teori Gerakan Sosial
Gerakan sosial (social movement) adalah aktivitas sosial berupa gerakan sejenis
tindakan sekelompok yang merupakan kelompok informal yang berbentuk organisasi,
berjumlah besar atau individu yang secara spesifik berfokus pada suatu isu-isu sosial atau
politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial
Teori pergerakan sosial dalam buku Robert Mirsel mendefenisikan Gerakan sosial
sebagai seperangkat keyakinan dan tindakan yang tidak terlembaga (non institutionalised)
yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk memajukan atau menghalangi sebuah
perubahan didalam sebuah masyarakat (Mirsel, 2006:6). Namun defenisi ini sendiri tidak
luput dari kontroversi, tetapi tampaknya ada sebuah kesepakatan diantara para pakar sosiologi
gerakan kemasyarakatan tentang hal tersebut.Sehingga dapat dipandang sebagai titik pangkal
yang berguna bagi analisa selanjutnya.Keyakinan dan tindakan-tindakan yang tidak
terlembaga mengandung arti bahwa mereka tidak diakui sebagai sesuatu yang berlaku dan
diterima umum secara luas dan sah dalam sebuah msyarakat. Akan tetapi, diantara pengikut
dan pendukung sebuah gerakan sosial, keyakinan ini didefenisikan secara positif, konsensus
ini merupakan salah satu dari sejumlah karakteristik yang membuat sebuah gerakan sosial
berbeda dari perilaku kriminal dan bentuk-bentuk kriminal lainnya.Gerakan Sosial ditandai
dengan kondisi yang penuh kegelisahan karena perasaan ketidakpuasan terhadap kehidupan
sehari-hari dan adanya keinginan serta harapan untuk dapat meraih tatanan kehidupan yang
lebih baru dilakukan secara bersama-sama. Merupakan pernyataan dari Herbert George
Blumer seorang sosiolog Amerika.
Karakteristik gerakan sosial menurut Thomas Woodrow Wilson ditandai dengan 5
1 Kelompok yang teratur, terdapat pembagian kerja dan pembedaan hirarki hak serta
tanggung jawab diantara para partisipan.
2 Banyak gerakan sosial yang keanggotaannya bersifat kecil, tetapi kemudian
berkembang (memiliki potensi) menjadi besar untuk menambah jumlah
keanggotaannya menjadi lebih besar.
3 Merupakan sarana yang tidak terlembaga untuk mencapai suatu tujuan. Dan dalam hal
ini upaya pergerakan sosial cenderung menggunakan cara nonkonvensional agar suara
mereka didengarkan dan menekan pihak yang berwenang untukmelakukan tujuan
(perubahan).
4 Gerakan sosial tidak memiliki tujuan yang terbatas, dan bukan untuk kepentingan
sekelompok orang tertentu dengan tujuan perbaikan pokok dalam masyarakat.
5 Bisa saja gerakan sosial timbul dari aksi kolektif yang tanpa perencanaan, tetapi bisa
dari kebetulan semata-mata
2.3.1 Pendekatan melalui Teori Marxist dan Neo-Marxisme
Pada masyarakat ekonomi/industri gerakan sosial dan revolusi berasal dari kontradiksi
struktural utama antara kapital dan buruh.Aktor-aktor utama dalam gerakan sosial kelas sosial
yang saling bersiteru didefenisikan berdasarkan kontradiksi sistematik fundamental ini. Akan
tetapi mereka juga dianggap sebagai aktor historis dan mereka pasti akan menyadari peran
dan takdir sejarah mereka.
Melihat dari perspektif Marxist, gerakan sosial dianggap sebagai gejala yang positif
yang kemunculannya disebabkan oleh karena terjadinya proses eksploitasi dan dominasi satu
kelas terhadap kelas yang lain. Gerakan sosial, dengan demikian dipahami sebagai reaksi
yang kontradiktif.Singkatnya, gerakan sosial adalah perjuangan kelas yang lahir karena
adanya kesadaran kelas
Marx akhirnya melahirkan suatu tanggapan bahwa faktor buruh merupakan penentu
exchange value.Itulah yang merupakan dasar dari The Labour theory of Value.Penemuan
Marx tentang nilai adalah bagaimana menggunakan buruh sebagai alat untuk menetapkan
ratio exchange, yaitu buruh menjadi alat untuk mengukur nilai suatu komoditi (Fakih, 2002:
10). Selanjutnya marx menganalisis ‘commodity labour power’-nya sendiri, baginya komoditi
mempunyai dua aspek, yakni aspek kegunaannya dan bisa diperdagangkan (exchangeability).
Tapi Marx menemukan kandungan Labour Power didalamnya yang membuat komoditi
mengandung use value yang menghasilkan surplus. Use value terdapat dalam produk
kapitalis yang diproduksi oleh buruh. Salaah satu syarat menjual ‘tenaga kerja’ sebagai
komoditi adalah, buruh tak ada hak untuk mengklaim produk yang diciptakannya.Maka
mobil yang dihasilkan pabrik menjadi milik pabrik yang memiliki ‘budak’ yakni buruh dan
manajemen.Marx menemukan rahasia utama kapitalisme bahwa profit sudah diperoleh
sebelum produk dilempar ke pasar, yakni profit bukan diperoleh dari perdagangan, tetapi
sebelum komoditi dijual, yakni ketika produksi. Sumber profit itu dicuri dari surplus value
yakni perbedaan nilai anatara tenaga kerja yang dijual buruh, dan nilai produk pada waktu
akhir produksi. ‘Appropriation of Surplus Value’ atau penghisapan surplus value dari buruh
oleh struktur kapitalisme melalui pemilik modal itulah yang disebut sebagai eksploitasi
(Fakih, 2002: 10).
Kapitalisme (pasar) juga telah mengakibatkan terjadinya ketimpangan dan
ketidakbebasan banyak manusia terhadap beberapa orang yang “bebas”. Di satu sisi terdapat
pemilik modal dan disisi lain mereka yang tidak memiliki modal dan oleh karenanya harus
buruh tidak memperoleh upah yang sama dengan nilai barang/jasa yang diproduksi. Dengan
demikian, pemilik modal selalu dapat mengakumulasi lebih banyak modal (Gombert: 23).
2.3.2 Teori Fungsionalisme Struktural
Fungsionalisme struktural adalah salah satu paham atau perspektif didalam sosiologi
yang memandang masyarakat sebagai sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling
berhubungan satu sama lain dan bagian yang satu tidak dapat berfungsi tanpa ada hubungan
dengan bagian yang lain. Perubahan yang terjadi pada salah satu bagian akan menyebabkan
ketidakseimbangan dan pada gilirannya akan menciptakan perubahan pada bagian lain.
Perkembangan fungsionalisme didasarkan atas model perkembangan sistem organisme yang
didapat dalam biologi (Theodorson dalam Raho, 2007: 48). Asumsi dasar teori ini adalah
bahwa semua elemenatau unsur kehidupan masyarakat harus berfungsi atau fungsional
sehingga masyarakat secara keseluruhan bisa menjalankan fungsinya dengan baik.
Elemen-elemen masyarakat antara lain adalah ekonomi, politik, hukum, agama,
pendidikan, keluarga, kebudayaan, adat-istiadat, dan lain-lain. Masyarakat normal akan
berjalan normal kalau masing-masing elemen atau institusi menjalankan fungsinya dengan
baik. Kemacetan salah satu institusi akan menyebabkan kemacetan pada institusi lain dan
pada gilirannya akan menciptakan kemacetan pada masyarakat secara keseluruhan (Raho,
2007: 49).
Pokok persoalan untuk para pendukung teori ini adalah bagaimana masyarakat
memotivasi dan menempatkan orang-orang kedalam posisi-posisi yang tepat didalam sistem
stratifikasi. Disini ada dua hal yang harus diperhatikan, yakni:
1. Bagaimana masyarakat membangkitkan didalam individu-individu yang tertentu
keinginannya untuk menduduki posisi tertentu.
2. Setelah orang itu menerima untuk menduduki posisi yang dirasa cocok, bagaimana
persyaratan-persyaratan yang dituntut oleh posisi itu atau bagaimana ia menjalankan
tugas-tugas sesuai dengan posisinya itu (Raho, 2007: 49-50).
2.3.3 Teori Konflik
Teori konflik adalah suatu perspektif didalam sosiologi yang memandang masyarakat
sebagai suatu sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang
mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dimana komponen yang satu berusaha untuk
menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi kepentingannya atau memperoleh
kepentingan sebesar-besarnya.
Pada dasarnya pandangan teori konflik tentang masyarakat sebetulnya tidak banyak
berbeda dari pandangan teori fungsionalisme struktural karena keduanya sama-sama
memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian.Perbedaan
antara keduanya terletak pada asumsi mereka yang berbeda-beda tentang elemen-elemen
pembentuk masyarakat itu.Menurut teori fungsionalisme struktural, elemen-elemen itu
fungsional sehingga masyarakat secara keseluruhan bisa berjalan secara normal. Sedangkan
bagi teori konflik, elemen-elemen itu mempunyai kepentingan yang mengalahkan satu sama
lain guna memperoleh kepentingan sebesar-besarnya (Raho, 2007: 71-72).
Menurut Karl Marx, hakekat kenyataan sosial adalah konflik. Konflik adalah satu
kenyataan sosial yang bisa ditemukan dimana-mana. Bagi Marx, konflik sosial adalah
pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk memperebutkan aset-aset yang
bernilai. Jenis dari konflik sosial ini bisa bermacam-macam yakni konflik antara individu,
konflik antara kelompok, dan bahkan konflik antar bangsa (Raho, 2007: 73). Dalam proses
produksi kaum kapitalis (pemilik modal) dan kaum ploretariat (buruh) terlibat dalam konflik
yang tak terelakkan.
Alasannya karena guna mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, para kapitalis
mendapatkan upah yang sebesar-besarnya. Oleh karena keuntungan dan upah berasal dari
sumber yang sama maka konflik menjadi tidak terhindarkan.
Satu-satunya cara yang ditempuh untuk keluar dari sistem kapitalis yang tidak adil itu
ialah dengan melakukan revolusi. Tetapi revolusi itu bisa terjadi kalau ada dua hal.Pertama,
kaum proletariat (buruh) harus menyadari diri sebagai orang-orang yang tertindas.Kesadaran
menjadi sangat penting untuk menciptakan perubahan (konsientisasi).Kedua, mereka harus
mengelompokkan diri dalam suatu wadah yakni organisasi buruh.Secara individual, buruh
sulit untuk memperjuangkan perbaikan nasibnya.Tetapi lewat organisasi mereka bisa
memperjuangkan tuntutannya.Marx menyadari betapa sulitnya tingkat kesadaran yang
diinginkan. Tetapi pada suatu waktu, dengan penyebaran informasi yang terus-menerus
(propaganda), mereka akan menyadari bahwa merekalah yang menentukan masa depan
mereka sendiri (Raho, 2007: 77).
Jonathan Turner berusaha merumuskan kembali teori konflik. Dia mengatakan konflik
sebagai suatu proses dari peristiwa-peristiwa yang mengarah kepada interaksi yang disertai
kekerasan antara dua pihak atau lebih. Dia menjelaskan sembilan tahap menuju konflik
terbuka:
a. Sistem sosial terdiri dari unit-unit atau kelompok yang saling berhubungan satu
sama lain.
b. Didalam unit-unit atau kelompok-kelompok itu terdapat ketidakseimbangan
pembagian kekuasaan atau sumber-sumber penghasilan.
c. Unit-unit atau kelompok-kelompok yang tidak berkuasa atau tidak mendapat
bagian dari sumber-sumber penghasilan mulai mempertanyakan legitimasi sistem
d. Pertanyaan atas legitimasi itu membawa mereka kepada kesadaran bahwa mereka
harus mengubah sistem alokasi kekuasaan atau sumber-sumber penghasilan itu
demi kepentingan mereka.
e. Kesadaran itu menyebabkan mereka secara emosional terpancing untuk marah.
f. Kemarahan tersebut seringkali meledak begitu saja atas cara yang tidak
terorganisir.
g. Keadaan yang demikian menyebabkan mereka semakin tegang.
h. Ketegangan yang semakin hebat menyebabkan mereka mencari jalan untuk
mengorganisir diri guna melawan kelompok yang berkuasa.
i. Akhirnya kelompok terbuka bisa terjadi antara kelompok yang berkuasa dan tidak
berkuasa. Tingkatan kekerasan didalam konflik itu sangat tergantung pada
kemampuan masing-masing pihak untuk menangani, mengatur, dan mengontrol
konflik tersebut
2.4 Kesejahteraan Sosial
2.4.1 Pengertian kesejahteraan sosial
Sampai saat ini belum ada sebuah batasan kesejahteraan sosial yang dapat diterima
secara umum. Hal ini nampaknya sudah menjadi fitrah dari ilmu sosial apa saja, termasuk
ilmu kesejahteraan sosial. Para cendekiawan ilmu kesejahteraan sosial atau praktisi pekerjaan
sosial merumuskan batasannya sendiri-sendiri sehingga terdapatlah beraneka ragam defenisi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial,
bahwa kesejahteraan sosial didefinisikan sebagai berikut, “Kesejahteraan Sosial adalah
kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup
Sosial”.Midgley (dalam Suud, 2006: 5) menjelaskan bahwa suatu keadaan sejahtera secara
sosial tersusun dari tiga unsur sebagai berikut. Pertama, setinggi apa masalah-masalah sosial
dikendalikan, kedua, seluas apa kebutuhan-kebutuhan dipenuhi dan ketiga, setinggi apa
kesempatan-kesempatan untuk maju tersedia. Tiga unsur ini berlaku bagi individu-individu,
keluarga-keluarga, komunitas-komunitas dan bahwa seluruh masyarakat.
Perserikat Bangsa-bangsa (PBB), sebagai lembaga yang lebih bersifat praktis dari
pada akademis, mengemukakan pada tahun 1959 bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu
kegiatan yang terorganisasi dengan tujuan membantu penyesuaian timbalbalik antara
individu-individu dengan lingkungan sosial mereka. Tujuan ini dicapai secara seksama
melalui teknik-teknik dan metode-metode dengan maksud agar supaya memungkinkan
individu-individu, kelompok-kelompok maupun komunitas memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dan memecahkan masalah-masalah penyesuaian diri mereka terhadap perubahan pola-pola
masyarakat, serta melalui tindakan kerja sama untuk memperbaiki kondisi-kondisi ekonomi
sosial (Suud, 2006: 6-7).
Dalam konteks kesejahteraan sosial Khan (dalam Suud, 2006: 10-11) merumuskan
pelayanan sosial sebagai: program-program yang disediakan oleh selain kriteria pasar untuk
menjamin pemenuhan suatu tingkat kebutuhan dasar seperti kesejahteraan, pendidikan,
kesejahteraan, untuk meningkatkan kehidupan komunal dan keberfungsian sosial, untuk
memfasilitasi akses terhadap pelayanan-pelayanan lembaga-lembaga pada umumnya, dan
untuk membantu mereka dalam kesulitan dan pemenuhan kebutuhan.
Orientasi ilmu kesejahteraan sosial, yaitu suatu arah kerja kemana perkembangan
sedang terjadi.Menurut T.Sumarnonugroho (dalam Suud, 2006: 23-24) paling tidak ada tiga
orientasi ilmu kesejahteraan sosial yang dalam prakteknya dapat terjadi pertautan antar
ketiganya. Masing-masing adalah:
1. Orientasi akademik, mengemban tugas memprediksikan dan memecahkan masalah
secara teoritis. Ilmu kesejahteraan sosial diharapkan menunjukan kompetensinya
membina teori-teori, baik dalam mengembangkan meta teori (pembinaan dan
pengembangan teori tentang teori dan hipotesa teori) mapun teori praktek (penciptaan
model-model pemecahan masalah).
2. Orientasi klinis, mengemban tugas mengarahkan tinjauan teoritik dan prediksi ilmu
pada sistem klien, mencakup kegiatan diagnosa klien dan keterlibatan terhadap
pemecahan masalah. Sejak awal perkembangan ilmu kesejahteraan sosial dan profesi
pekerjaan sosial mengedepankan orientasi ini.
3. Orientasi strategis, mengemban tugas memandang masalah yang ada diluar sistem
klien. Sumber daya atau lingkungan diluar diri klien berpengaruh pemecahan masalah
klien. Studi-studi kelayakan, riset dan kebijakan sosial politik menandai
keterkaitannya dengan penerapan ilmu kesejahteraan sosial dan praktek kesejahteraan
2.4 Kerangka Pemikiran
Solidaritas Buruh Sumatera Utara (SBSU) melaksanakan suatu peranan yang sangat
penting dalam menyelesaikan masalah-masalah buruh dan memperjuangkan hak-hak
normatif buruh di PT Asia Karet yang disebabkan oleh ketidakadilan dari sebuah sistem
kapitalisme dan neoliberalisme.SBSU juga memberikan kesadaran kolektif bagi kaum buruh
dalam melakukan suatu perjuangan yang berorientasi pada kesejahteraan dan kedaulatan
kaum buruh. Berbagai metode organisasi dilakukan oleh Solidaritas Buruh Sumatera Utara
(SBSU) dalam mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial, bukan hanya sekedar membangun
sebuah wacana perjuangan terhadap kelas buruh tetapi melakukan sebuah tindakan yang
strategis agar tercapainya cita-cita buruh,
Hak-hak normatif buruh akan tercapai jika Solidaritas Buruh Sumatera Utara (SBSU)
berperan secara maksimal dan terus berlangsung secara terus menerus. Oleh karena itu
solidaritas buruh bukan hanya berperan dalam pengorganisasian buruh dan mekanisme
organisasi, tetapi perjuangan terhadap kaum-kaum buruh merupakan suatu langkah kongkrit
Bagan Alur Pikir
PENGUSAHA/PERUSAHAAN Pemilik Modal
PT ASIA KARET MEDAN
BURUH
HAK NORMATIF PEKERJA/BURUH Ekonomis (Upah,THR).
Politis (membentuk serikat buruh, menjadi atau tidak menjadi anggota serikat buruh, mogok kerja).
Medis (keselamatan dan kesehatan kerja).
Sosial (cuti nikah/kawin, libur resmi, dll)
SOLIDARITAS BURUH SUMATERA UTARA
2.5 Defenisi Konsep
Konsep adalah suatu gagasan/ide yang relatif sempurna dan bermakna, suatu
pengertian tentang suatu objek, produk subjektif yang berasal dari cara seseorang membuat
pengertian tentang objek-objek atau benda-benda melalui pengalamannya (setelah melakukan
persepsi terhadap objek/benda). Pada tingkat kongkrit, konsep merupakan suatu gambaran
mental dari beberapa objek atau kejadian yang sesungguhnya.Pada tingkat abstrak dan
komplek, konsep merupakan sintesis sejumlah kesimpulan yang telah ditarik dari pengalaman
dengan objek atau kejadian tertentu.
Adapun yang menjadi batasan konsep dalam penelitian adalah :
1. Buruh adalah orang yang bekerja pada siapa saja, baik perorangan, persekutuan,
badan hukum atau badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam
bentuk apapun.
2. Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh
baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka,
mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela
serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
3. Peranan serikat buruh adalah fungsi dari sebuah lembaga atau serikat yang
dibentuk untuk memperjuangkan hak-hak yang semestinya dimiliki oleh setiap
buruh secara utuh.
4. Hak Normatif Buruh adalah hak-hak yang sudah ditetapkan oleh pemerintah
indonesia melalui peraturan ketenagakerjaan, hak normatif dikelasifikasikan
menjadi beberapa bagian yaitu yang bersifat ekonomis (seperti upah, THR), yang
serikat buruh, mogok kerja), yang bersifat medis (kesehatan ddan keselamatan