• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Sinema: Melihat Lebih Dalam Film Indonesia. Yogyakarta: Buku Litera. hal. vii.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Sinema: Melihat Lebih Dalam Film Indonesia. Yogyakarta: Buku Litera. hal. vii."

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Seks pernah menjadi pembicaraan yang tabu dan tidak patut untuk dibicarakan di Indonesia. Seiring dengan arus globalisasi, dimana informasi dapat diakses dari seluruh belahan dunia, wacana seks mengalami pergeseran yang perlahan tapi pasti. Pada awalnya, seks di Kebudayaan Barat pun merupakan hal yang tabu. Seks awalnya dianggap sebagai hal yang suci, terkait dengan agama dan hanya sebagai sarana prokreasi (menghasilkan keturunan). Namun, seiring dengan perkembangan, seks yang awalnya restriktif menjadi semakin permisif.1

Kini, hal yang sama juga sedang berlangsung di Indonesia. Seks menjadi hal yang mulai lumrah dibicarakan di ruang-ruang publik. Media sebagai salah satu sarana penyalur informasi ke ruang publik juga menyisipkan unsur-unsur seks dalam pesannya. Film adalah media yang terbukti dapat menjadi tempat yang tepat untuk disisipi unsur-unsur seks.

Merujuk pada penyelenggaraan FFI sebagai barometer, terlihat bahwa ada pergeseran wacana seks dalam film melalui aktivitas pelacuran. Pada tahun 1970- an, sosok pelacur dihadirkan dalam tujuan untuk menciptakan obyek tatapan seksual penonton. Pelacur dianggap layak berpakaian minim, dilecehkan, sekaligus memiliki pengalaman seksual yang luar biasa. Pada FFI 1977, tercatat tiga persen penggambaran hubungan seks dengan pelacur.2

Pada dekade selanjutnya, dalam seleksi FFI 1987, adegan seks masih menjadi menu utama dalam film nasional. Dari seluruh film yang diseleksi, 47 persen menampilkan hubungan seksual. Hal yang menarik adalah, tidak satupun hubungan seksual tersebut melibatkan pelacur. Penggambaran hubungan seks dalam film tersebut terjadi antara: pemuda dan pacarnya dalam film Naga Bonar

1 E.R. Mahoney. 1983. Human Sexuality. USA: McGraw-Hill. hal. 1.

2 Fajar Junaedi. 2013. Ada Apa dengan Film Kita? dalam Mayang Nova Lestari dkk. Mata Sinema: Melihat Lebih Dalam Film Indonesia. Yogyakarta: Buku Litera. hal. vii.

(2)

dan Cinta Cuma Sepenggal Dusta; lelaki dengan keluarga istrinya sendiri dalam film Di Balik Dinding Kelabu; dengan pasien sendiri dalam film Tujuh Manusia Harimau; antar perempuan masokis dan laki-laki sadis dalam film Cinta Seumur Hidup; antar nyonya rumah dan seorang pemuda dalam film Arini; hingga adegan hubungan seks sejenis dalam film Cinta Hanya Sepenggal Dusta.3

Selain adegan seks, tubuh perempuan juga sering dijadikan daya tarik bagi sebuah film. Dalam film Pacar Hantu Perawan (2011) misalnya, perempuan selalu diadegankan dengan mengenakan pakaian yang seksi, baik bikini maupun pakaian tidur yang menerawang. Terkadang, pakaian yang seksi ini juga tidak sesuai dengan situasi dan tempat. Misalnya, dalam Air Terjun Pengantin (2009), tokoh perempuan yang sedang melakukan tracking di hutan pun mengenakan pakaian yang seksi.

Genre horor dalam film Indonesia dianggap sebagai lokasi yang strategis untuk mempertontonkan hal-hal yang dianggap tabu, salah satunya adalah seks4. Dari judul saja, kesan seksi dalam film horor Indonesia sudah bisa dirasakan.

Sebut saja Tali Pocong Perawan, Pocong Mandi Goyang Pinggul, Diperkosa Setan, Arwah Goyang Karawang, Hantu Binal Jembatan Semanggi, Darah Perawan Bulan Madu, dan sebagainya. Film-film horor juga sering menggunakan artis-artis yang memiliki citra seksi, seperti Dewi Persik, Julia Perez, Andi Soraya, Cynthiara Alona, Nikita Mirzani, dan lain-lain. Bahkan, bintang porno luar negeri pun juga ikut didatangkan untuk bermain dalam film-film horor Indonesia. Sebut saja nama Sora Aoi, Vicky Vette, Misa Campo, dan Sasha Grey.

Kehadiran konten seksual dalam film horor Indonesia membuat banyak orang menghujat film-film ini sebagai film yang tidak berkualitas. Namun, data membuktikan film horor seperti ini justru laris manis di pasaran. Selama enam tahun (2008-2013), film-film horor terbukti selalu termasuk dalam daftar 10 film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton di Indonesia.5

3 Ibid.

4 John Fiske dalam Ekky Imanjaya (ed.). 2011. Mau Dibawa ke Mana Sinema Kita? Jakarta:

Salemba Humanika. hal. 216.

5 Data diperoleh dari situs filmindonesia.or.id dengan sumber data adalah Cinema 21, PPFI, Blitzmegaplex, produser film dan sumber-sumber lainnya.

(3)

Tabel 1.1

Film Horor Indonesia dalam Peringkat Teratas Perolehan Penonton Tahun 2008-2013

Tahun Peringkat Judul Film Jumlah Penonton

2008 3 Tali Pocong Perawan 1.082.081

6 Hantu Ambulance 862. 193

2009

6 Air Terjun Pengantin 1.060.058

7 Suster Keramas 840.880

9 Setan Budeg 700.000*

2010 4 Pocong Rumah Angker 503.450

7 Tiran (Mati di Ranjang) 418.347

2011 2 Arwah Goyang Karawang 727.540

2012

7 Nenek Gayung 434.732

8 Rumah Kentang 413.102

10 Rumah Bekas Kuburan 284.733

2013 6 Taman Lawang 526.761

9 308 358.507

* = Perkiraan jumlah penonton hasil kombinasi data dari berbagai sumber.

Bertolak dari hal ini, peneliti tertarik untuk mengetahui seperti apa adegan seks dan perilaku seksual lainnya serta eksploitasi tubuh dalam film, khususnya dalam film horor Indonesia. Adapun untuk menentukan objek film yang diteliti, peneliti memutuskan untuk menganalisis film-film horor yang dibintangi oleh Dewi Persik. Hal ini bukan tanpa alasan. Dapat dilihat, dari judul-judul film horor yang menempati peringkat sepuluh besar dalam perolehan jumlah penonton dari tahun 2008-2013 di atas, empat di antaranya dibintangi oleh Dewi Persik. Film- film tersebut adalah Tali Pocong Perawan, Setan Budeg, Tiran (Mati di Ranjang), dan Arwah Goyang Karawang. Selain itu, Dewi Persik merupakan aktris yang dikenal dengan citra seksi, berani, dan “panas”.

Peneliti berasumsi bahwa film-film yang dibintangi oleh Dewi Persik mengandung perilaku seksual maupun eksploitasi tubuh di dalamnya. Penelitian ini menggunakan metode analisis isi (content analysis) kuantitatif untuk menghitung frekuensi perilaku seksual dan eksploitasi tubuh yang divisualisasikan dalam film. Penelitian ini diharapkan dapat menangkap fakta dan data atas rekam jejak seksualitas dalam film horor di Indonesia yang dibintangi oleh Dewi Persik.

(4)

Film merupakan sebuah kajian yang menarik. Sayang, kajian mengenai film di Indonesia tidak banyak ditemui, terutama kajian secara kuantitatif.

Kelangkaan ini mungkin menjadi salah satu alasan kurang dikenalnya sinema kita.

Kini, zaman telah berbicara sinema dunia, bukan hanya semata-mata film-film Amerika dan Eropa. Khasanah film studies mulai asyik membicarakan film-film Iran, Thailand, atau Filipina. Namun, sedikit sekali ahli-ahli film yang familiar dengan film Indonesia. Semoga penelitian ini dapat menjadi tambahan atas kajian film Indonesia yang dirasa masih sedikit, serta dapat menjadi bahan refleksi bagi industri perfilman Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

Beranjak dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan, rumusan masalah yang penulis angkat pada penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana bentuk perilaku seksual dalam film-film horor yang dibintangi oleh Dewi Persik?

2. Bagaimana tubuh (perempuan dan laki-laki) dieksploitasi dalam film-film horor yang dibintangi oleh Dewi Persik?

C. TUJUAN PENELITIAN

Dari rumusan masalah di atas, dapat ditarik tujuan dilakukannya penelitian ini, yaitu:

1. Mengetahui bentuk dan frekuensi perilaku seksual yang terkandung dalam film-film horor yang dibintangi oleh Dewi Persik.

2. Mengetahui bentuk dan frekuensi eksploitasi tubuh baik perempuan maupun laki-laki dalam film-film horor yang dibintangi oleh Dewi Persik.

3. Melakukan generalisasi mengenai perilaku seksual dan eksploitasi tubuh dalam film-film horor yang dibintangi oleh Dewi Persik.

(5)

D. KERANGKA PEMIKIRAN 1. Film Sebagai Media Hiburan

Sebuah film merupakan hasil karya berbagai pihak yang bekerja sama.

Mulai dari sutradara, penulis skenario, penata kamera, penata artistik, penata suara, bintang film hingga produser yang membiayai terwujudnya sebuah film.

Secara sederhana, film didefinisikan sebagai gambar bergerak (moving image).

Film merupakan serentetan gambar yang bergerak, dengan atau tanpa suara, baik yang terekam pada film, video tape, video disc, atau pada media lain yang kita kenal. Dengan sendirinya, bahasa film merupakan bahasa gambar.6

Dalam UU No. 33 tahun 2009 tentang Perfilman, Pasal 1, didefinisikan:

“Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.”

Film merupakan salah satu karya sastra yang kompleks. Film merupakan hasil perpaduan dari video dan audio yang dikemas dengan efek-efek menarik berdasarkan berbagai jenis seni, seperti seni suara, seni musik, seni olah tubuh (acting), seni dekorasi, dan sebagainya. Selain sebagai seni (film as art), film juga salah satu media komunikasi massa yang efektif dalam menyampaikan pesan.

Film sebagai bentuk komunikasi massa berperan sebagai sumber atau komunikator yang menyampaikan pesan kepada khalayaknya, yaitu penonton film. Dari beberapa fungsi komunikasi massa, film seringkali berfungsi sebagai media hiburan.

Studi yang dilakukan oleh Katz, Gurevitch dan Hass pada tahun 1973 dalam John Fiske7 menjelaskan hubungan timbal balik dari lima media massa yang utama, yaitu surat kabar, televisi, sinema/film, radio, dan buku. Mereka menggunakan survei khalayak berskala besar untuk mengetahui mengapa orang cenderung memilih media tertentu dibanding medium yang lain. Mereka

6 Eddy D. Iskandar. 1987. Mengenal Perfilman Nasional. Bandung: Rosda. hal. 53.

7 John Fiske. 2006. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra. hal. 30-32.

(6)

menyelidiki kebutuhan-kebutuhan yang orang rasakan dan alasan-alasan seseorang untuk berpaling ke medium tertentu.

Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa orang cenderung menggunakan film dan buku untuk sejenak melarikan diri dari realitas (escape from reality), dan menggunakan surat kabar, radio dan televisi untuk menghubungkan diri mereka sendiri dengan masyarakat. Secara personal, sinema berada pada urutan pertama dalam preferensi media khalayak untuk memenuhi kebutuhan hiburan atau

„kesenangan‟. Secara lebih lengkap hasil survei Katz, Gurevitch dan Hass dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1.2

Kebutuhan Khalayak Menurut Katz, Gurevitch & Hass

Kebutuhan

Urutan preferensi media untuk memuaskan kebutuhan Ke-1 Ke-2 Ke-3 Ke-4 Ke-5 A. Kebutuhan Personal

1. Memahami diri sendiri B N R T C

2. Kesenangan C T B R N

3. Eskapisme B C T R N

B. Kebutuhan Sosial

1. Pengetahuan tentang dunia N R T B C

2. Kepercayaan diri, kestabilan, dan rasa harga diri

N R T B C

3. Memperkuat hubungan dengan keluarga T C N R B

4. Memperkuat hubungan dengan teman C T N R B

Keterangan:

B = Buku | C = Sinema | N = Surat kabar | R = Radio | T = Televisi

Gipson8 berpendapat bahwa sebuah film dapat memberikan banyak keuntungan bagi penontonnya sebagaimana pengalaman aktual. Gambar-gambar bergerak dapat disajikan dengan shot yang diambil secara luas hingga shot dari jarak sangat dekat, sehingga detail-detailnya terlihat dengan jelas. Di samping itu, para psikolog juga menemukan fakta bahwa proses pembelajaran pada manusia paling banyak dilakukan dengan cara melihat.

8 Henry Clay Gipson. 1947. Films in Business and Industry. New York: McGraw-Hill Book Company. hal. 13.

(7)

“Psychologist say that approximately 90 % of learning comes through the eyes, 5 % through the ears, and 5 % from taste, smell, and feeling.”9

Fakta bahwa manusia mengalami 90 persen proses pembelajaran melalui penglihatan dan fungsi film sebagai media hiburan menyebabkan tidak sedikit masyarakat yang menikmati film. Hubungan antara film dan masyarakat sebagai

“orang banyak”, tidak dapat dilepaskan dari perkembangan awal penelitian komunikasi yang selalu berkutat di kajian dampak media. Awalnya, paradigma ini mengasumsikan komunikan selalu berada pada posisi pasif dalam menerima pengaruh media massa. Hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier. Artinya, film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) di baliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya.10

Film merupakan salah satu media komunikasi massa yang efektif dalam menyampaikan pesan kepada khalayaknya. Dari hanya layar tancep di lapangan sampai gedung bioskop ber-AC, adalah rumah-rumah yang menjadi saksi bahwa film punya penikmat. Film merupakan medium hiburan dan sebuah seni yang selalu menyerap perhatian masyarakat luas.

2. Film, Seks dan Perempuan Sebagai Sebuah Komoditas

Budi Irawanto dalam Film, Ideologi, dan Militer, menyatakan bahwa sebuah film kini tidak hanya dimaknai sebagai karya seni (film as art), tetapi lebih sebagai “praktik sosial”.

“Film tidak dimaknai sebatas ekspresi seni dari pembuatnya. Film juga melibatkan interaksi yang kompleks dan dinamis dari elemen-elemen pendukung proses produksi, distribusi, maupun eksebisinya. Bahkan, lebih luas lagi, perspektif ini mengasumsikan interaksi antara film dengan ideologi kebudayaan di mana film ini diproduksi dan dikonsumsi.”11

9 Ibid. hal. 16.

10 Budi Irawanto. 1999. Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo. hal. 13.

11 Ibid. hal. 11.

(8)

Sejarah sinema Indonesia didasarkan pada kemunculan „sebuah generasi pembuat film pribumi yang sadar diri, nasionalis‟, di mana Umar Ismail menjadi tokoh yang paling dirayakan. Filmnya Darah dan Doa mengikuti Divisi Siliwangi yang melakukan long march dari Jawa Timur kembali ke markasnya di Jawa Barat melalui perspektif komandannya. Film ini tidak hanya memotret

„kepribadian nasional‟, namun juga sutradara mengklaim bahwa film ini tidak dibuat dengan „perhitungan komersial apa pun, dan semata-mata hanya didorong idealisme‟12. Maka, Darah dan Doa menjadi contoh utama tentang kriteria film Indonesia yang ideal: nasionalis, idealis, dan pribumi atau ‟asli‟.

Musuh dari apa yang disebut sebagai film nasional yang idealis adalah pembuatan film komersial yang diasosiasikan dengan eskapisme serta film-film hiburan khas Hollywood dan Hong Kong. Dalam risalah sejarah popular tentang sinema Indonesia, produser Tionghoa dilihat sebagai pihak yang telah memperkenalkan dan memopulerkan modus operandi komersial ini, atau seperti yang disebut Salim Said (1992 [1975]: 22, „dosa asal‟ industri film Indonesia13. Seorang tokoh film, Asrul Sani, pada tahun 1951 pernah menulis:

“Bahwa produser-produser film di Indonesia adalah semata-mata mereka yang hanya memikirkan kantong dan tidak menimbang atau bermaksud untuk mendirikan sesuatu yang patut diberi harga tinggi, tidak usah disangsikan lagi. Boleh dikatakan: mereka semua adalah orang Tionghoa.”14

Garth Jowett (1971: 74)15 melihat film sebagai refleksi masyatakat, sebagai akibat dari tekanan kepentingan komersial yang selalu berusaha menarik khalayak banyak:

12 Salim Said. 1991. Shadows on the Silver Screen: A Social History of Indonesian Film. Jakarta:

The Lontar Foundation. hal. 51.

13 Charlotte Setiijadi-Dunn dan Thomas Barker. 2011. Membayangkan ‘Indonesia’: Produser Etnis Tionghoa dan Sinema Pra-Kemerdekaan. dalam Ekky Imanjaya (ed.). 2011. Mau Dibawa Kemana Sinema Kita. Jakarta: Salemba Humanika. hal. 33.

14 Ibid.

15 Dalam Irawanto. 1999. Op. Cit., hal. 13.

(9)

“It is more generally agree that mass media are capable of „reflecting‟

society because they are forced by their commercial nature to provide a level of content which will guarantee the widest possible audience.”

Pernyataan Jowett di atas menunjukkan bahwa kepentingan komersial justru menjadi tekanan bagi isi media massa (film) agar memperhitungkan khalayaknya. Senada dengan Jowett, Salim Said16 dalam kumpulan tulisannya yang dibukukan dengan judul Pantulan Layar Putih, mengutip Sigfreid Kracauer mengenai “film suatu bangsa”. Disebutkan bahwa film suatu bangsa mencerminkan mentalitas bangsa itu lebih dari yang tercermin lewat media artistik lainnya. Ada dua alasan yang menopang teori ini. Pertama, film adalah karya bersama. Artinya dalam proses pembuatan film, sutradara memang memimpin, tapi dalam proses kerja, sutradara tidak bisa menghindar dari sumbangan berbagai pihak. Kedua, film dibuat untuk orang banyak. Artinya, penyajian cerita film ini memperhitungkan selera sebanyak mungkin orang. Itulah mengapa film tidak bisa jauh beranjak dari masyarakat.

Film di bawah kepentingan komersial justru menjadi tekanan bagi isi media massa (film) agar memperhitungkan khalayaknya, sehingga film dapat diterima secara luas. Penyajian cerita film yang harus memperhitungkan selera sebanyak mungkin orang menjadi titik tolak bagaimana film kemudian menjadi komoditas ekonomi dan ditujukan untuk mencari keuntungan.

Misalnya seperti salah satu film horor yang mendulang sukses pada awal 2000-an, Jelangkung (2001). Film garapan Jose Purnomo dan Rizal Mantovani ini tercatat meraup penonton 748.003 orang di Jabotabek saja, sejak Oktober 2001 hingga Januari 2002. Dalam artikel “Selamat Datang di Republik Hantu” (Edna C.

Pattisina) di Kompas, 25 Maret 2007, film ini bahkan disebut mencapai angka 1,5 juta penonton. Hikmat Darmawan17 mengasumsikan, dengan rata-rata biaya film horor Indonesia adalah 2-2,5 milyar rupiah, maka pendapatan film horor lokal yang bisa menembus angka sejuta penonton kira-kira bisa mencapai hampir 8

16 Salim Said. 1991. Pantulan Layar Putih. Jakarta: Penebar Swadaya. hal. 29.

17 Hikmat Darmawan. 2008. Mengapa Film Horor (1). Up-dated by 10 Mei 2014. Archieved at:

new.rumahfilm.org/artikel-feature/mengapa-film-horor-1/#more-1139

(10)

milyar. Dengan kata lain, apabila sebuah film horor sudah memperoleh sedikitnya 500.000 penonton, pendapatan yang diraup sekitar 4 milyar rupiah. Angka ini setidaknya sudah menutup biaya produksi yang berkisar antara 2-2,5 milyar rupiah.

Dalam dunia perfilman, salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan penjualan adalah dengan istilah yang menurut Nurul Arifin18 sensual its sells. Hal- hal yang berbau sensual pasti menjual dari segi ekonomi. Seperti halnya film Bay Watch produksi Hollywood, bagi laki-laki, film ini pasti sangat menarik karena banyak menampilkan adegan seksi. Masuknya fakta dimana seks dijadikan komoditas dalam film merupakan fenomena yang terjadi ketika orientasi perfilman lebih condong ke arah industri.

Di Indonesia, fenomena ini sudah bukan barang baru. Pada tahun 1978 dalam tulisan JB Kristanto, fenomena ini pernah dibahas dalam bagaimana kerepotan dunia film Indonesia hingga tiga bagian19: “Dari Rebutan Pemain sampai Foto Telanjang”, “Bagaimana Seksnya? Hot Nggak?”, dan “Riak-Riak Kecil”. Kristanto menceritakan pengalaman seorang distributor film yang datang ke kantor produser film. Di sana terjadi dialog:

“Buat apa adegan „a‟ itu? Potong saja. Mustinya ditambah seksnya. You bikin film terbalik sih. Drama 70 persen, seks 30 persen. Dibalik perbandingan ini.”

Dari dialog tersebut, sangat terlihat bagaimana seorang distributor merasa bahwa film yang mengandung konten seksual tinggi cenderung lebih laris di pasaran pada tahun 1978. Hal ini membuat para produser berlomba-lomba membuat adegan-adegan hot dalam filmnya untuk mendongkrak popularitas film tersebut. Hal ini menjadikan tidak hanya film yang menjadi komoditas, begitu pula dengan muatan seks di dalamnya. Adegan seks, dari ciuman hingga adegan ranjang disisipi dalam film. Gunting sensor urusan belakang.

18 Nurul Arifin. 2000. Perempuan dalam Iklan. dalam Ashadi Siregar dkk (ed.). Eksplorasi Gender di Ranah Jurnalisme dan Hiburan. Yogyakarta: LP3Y. hal. 99.

19 JB Kristanto. 2004. Nonton Film Nonton Indonesia. Jakarta: Kompas. hal. 403-417. Pernah diterbitkan dalam Kompas, 29 April 1978; Kompas, 1 Mei 1978; dan Kompas, 2 Mei 1978.

(11)

Selain adegan seksual, tubuh perempuan juga kerap digunakan untuk menambah nilai film sebagai sebuah komoditas. Sehingga, film, seks dan perempuan sama-sama menjadi suatu komoditas yang „diperjualbelikan‟.

Fenomena yang paling baru saat ini adalah kehadiran bintang film porno dari luar negeri dalam beberapa film Indonesia. Sebut saja nama Miyabi, Sora Aoi, Vicky Vette, Sasha Grey, Misa Campo, dan lain-lain, yang secara khusus dihadirkan untuk mendongkrak popularitas sebuah film. K. K. Dheraaj adalah salah seorang produser dan sutradara film Indonesia yang terkenal sering menggunakan aktris porno dari luar negeri dalam film-filmnya20. Dheeraj berkilah meskipun artisnya merupakan seorang bintang porno di luar negeri, namun tidak sepenuhnya sang artis melakukan adegan porno dalam film yang diproduksinya. Sebagai seorang produser, Dheraaj merasa yakin bahwa penonton butuh hiburan dan mereka bisa dengan dewasa memilih tontonan yang tepat, termasuk soal adegan seksi dalam film.21

Penggunaan „tubuh‟ dan „representasi tubuh‟ (body sign) perempuan sebagai komoditas di dalam berbagai media hiburan telah mengangkat berbagai persoalan yang tidak hanya menyangkut „relasi ekonomi‟, akan tetapi juga „relasi ideologi‟. Bagaimana penggunaan tubuh dan citra yang dihasilkan menandakan sebuah relasi sosial dimana perempuan berada pada posisi subordinasi, serta semata-mata menjadi obyek eksploitasi kelompok dominan, yaitu laki-laki. Inilah sebuah sistem ideologi yang disebut dengan patriarki (patriarchy).22

Komoditas -khususnya media hiburan seperti televisi, musik, dan film- di sini menjadi wahana bagi sebuah proses pengalamiahan (naturalization) berbagai posisi „ketimpangan‟, „subordinasi‟, „marjinalisasi‟, dan „seksisme‟ di dalam

20 K. K. Dheeraj beberapa kali menggunakan aktris porno dari luar negeri dalam film yang disutradarai atau diproduserinya. Beberapa di antaranya adalah Leah Suzuki dalam Rayuan Arwah Penasaran, Tera Patrick dalam Rintihan Kuntilanak Perawan, Vicky Vette dan Misa Campo dalam Pacar Hantu Perawan, dan Sasha Grey dalam Pocong Mandi Goyang Pinggul.

21 Anonim. 2011. Sasha Grey Tidak Selalu Negatif. Up-dated by 3 Mei 2014. Archived at:

http://www.kapanlagi.com/indonesia/k/kk_dheeraj/berita/2011/index6.html.

22 Yasraf Amir Piliang. 2000. Perempuan dan Mesin Hasrat Kapitalisme: Komodifikasi Perempuan dalam Program Hiburan Media Televisi. dalam Ashadi Siregar dkk (ed.).

Eksplorasi Gender di Ranah Jurnalisme dan Hiburan. Yogyakarta: LP3Y. hal. 106.

(12)

relasi gender. Antonio Gramsci menyebut hal ini sebagai penciptaan „consent‟

atau „common-sense‟ di dalam masyarakat dalam rangka mempertahankan

„hegemoni‟ sebuah kelas atas kelas lainnya di dalam masyarakat: hegemoni laki- laki. Dunia (komoditas) yang dibangun berlandaskan ideologi patriarki adalah sebuah dunia, yang di dalamnya perempuan direpresentasikaan lewat bahasa (verbal, visual, digital), yang menempatkan mereka pada posisi the second sex – yang lemah, pasif, tidak berdaya, pelengkap, yang tidak lebih dari „obyek‟

kesenangan dari dunia laki-laki yang dominan. Peminggiran perempuan secara fisik dan citra di dalam komoditas, sekaligus menggambarkan pula peminggiran perempuan secara „psikis‟. Komoditas, dalam hal ini menempatkan perempuan di dalam posisi sebagai „obyek hasrat‟ (object of desire) laki-laki.23

Sistem kapitalisme menawarkan sebuah ruang, yang didalamnya

„pembebasan tubuh‟ dan „hasrat‟ menemukan kanal-kanalnya. Bersamaan dengan arus perputaran modal, terjadi pula arus perputaran hasrat yang tanpa henti dan tanpa interupsi. Lewat mesin hasratnya yang berputar tanpa henti, ia memberi peluang bagi setiap orang untuk menggali setiap potensi hasrat dan energi libidonya, untuk diproduksi dan dipasarkan sebagai komoditas. Sebagaimana yang dikemukakan oleh J. F. Lyotard dalam Libidinal Economy, dikutip oleh Piliang, di dalam wacana kapitalisme tidak saja tercipta pluralitas ekonomi-politik tubuh (politica-economy of body), akan tetapi juga pluralitas wacana pelepasan hasrat.

Di dalamnya, setiap orang diajak untuk dapat mengambil keuntungan maksimal dari kekuatan hasratnya. “Setiap orang harus dapat memasarkan setiap rangsangan libido, untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang maksimal.” 24

Putaran mesin hasrat dan pembebasan tubuh di ranah media, khususnya sinema adalah sarana efektif untuk meraup keuntungan ekonomi. Seks dalam ranah sinema dapat dikatakan sebagai variabel yang konstan.Kehadiran seks yang terus-menerus ini merupakan hasil sistem kapitalisme antara penawaran dan permintaan. Dengan kata lain, untuk menarik sebanyak mungkin penonton, para produsen akan memanfaatkan magnet paling ampuh: seks.

23 Ibid. hal. 107.

24 Ibid. hal. 115.

(13)

3. Seks dan Seksualitas

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), seks berarti jenis kelamin;

hal yang berhubungan dengan alat kelamin seperti senggama; atau dapat juga diartikan sebagai berahi.25 J.P. Chaplin dalam Kamus Lengkap Psikologi menjelaskan bahwa seks (sex) adalah perbedaan yang khas antara perempuan dan laki-laki atau antara organisme yang memproduksi telur dan sel sperma. Seks juga brarti proses reproduksi atau perkembangbiakan. Serta, seks juga berhubungan dengan kesenangan atau kepuasan organis yang berasosiasi dengan perangsangan terhadap organ-organ kemaluan (alat kelamin).26

untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatom yaitu dengan melihat aspek biologis seseorang yang meliputi anatomi fisik, reproduksi, karakteristik biologis dan reproduksi. Seks merupakan pemberian Tuhan yang bersifat kodrati dan bukan hasil dari konstruksi sosial budaya.

Sementara itu, seksual adalah hal-hal yang berhubungan dengan seks.

Dalam KBBI, seksual berarti: 1. Berkenaan dengan seks (jenis kelamin); 2.

Berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.27 Senada dengan pengertian tersebut, J.P. Chaplin mendefinisikan seksual secara umum menyinggung tingkah laku, perasaan, atau emosi yang berasosiasi dengan perangsangan alat kelamin, daerah-daerah erogenous, atau dengan proses perkembangbiakan.28

Sedangkan kata „seksualitas‟ bermakna lebih luas dari arti „seks‟ dan

„seksual‟, yaitu segala sesuatu yang ada hubungannya dengan seks atau yang muncul dari seks, melingkupi persoalan-persoalan seks, perilaku seksual menyimpang, hingga dampaknya. Menurut Weeks dalam Munti29, seksualitas kebanyakan mengenai kata-kata, imaji-imaji, ritual dan fantasi menyangkut tubuh,

25 Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi IV. Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Utama. hal. 1245.

26 J.P. Chaplin. 2011. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali Pers. hal. 458.

27 Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit., hal. 1245

28 Chaplin, Op. Cit., hal. 460.

29 Ratna Bantara Munti. 2005. Demokrasi Keintiman: Seksualitas di Era Global. Yogyakarta:

LKiS. hal. 25.

(14)

seperti cara manusia berpikir mengenai model-model atau gaya-gaya seks, dan cara manusia hidup dengannya.

Menurut Ratna Bantara Munti, istilah seksualitas secara umum memiliki makna yang meliputi hasrat-hasrat erotis, praktik-praktik erotis dan identitas- identitas erotis. Seksualitas tidak hanya terbatas pada sex act, tapi mencakup perasaaan dan hubungan seksual, cara bagaimana individu manusia dirumuskan atau ditentukan sebagai makhluk seksual oleh yang lainnya, maupun cara individu mendefinisikan dirinya sendiri menyangkut seksualitasnya.30

Dalam buku Seks, Seksualitas dan Jender31, pemahaman mengenai seksualitas manusia terdiri atas komponen-komponen sebagai berikut:

a. Seks (alat kelamin atau jenis kelamin, yaitu laki-laki, perempuan, dan interseks),

b. Orientasi seksual (rasa ketertarikan secara emosi dan seksual pada orang lain berdasarkan jenis kelamin tertentu),

c. Perilaku seksual (tindakan yang dilakukan dalam rangka memenuhi dorongan seksual untuk mendapatkan kepuasan seksual),

d. Reproduksi (menghasilkan kembali keturunan),

e. Identitas seksual (sebagai siapa seseorang tampil dalam masyarakat, mengacu pada orientasi seksual).

Untuk memudahkan pemahaman mengenai seksualitas, Made Oka Negara membuat kategori dimensi-dimensi untuk melihat seksualitas dari berbagai perspektif. Dimensi-dimensi ini meliputi dimensi biologi, psikososial, perilaku, klinis, dan kultural.32

a. Dimensi biologi melihat seksualitas mulai dari bentuk anatomis organ seks hingga fungsi dan proses-proses biologis yang menyertainya. Faktor biologi ini mengontrol perkembangan seksual dari konsepsi sampai

30 Ibid. hal. 30.

31 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Seks, Seksualitas dan Jender: Modul B-3 Pelatihan Intervensi Perubahan Perilaku. Jakarta. hal. 23.

32 Made Oka Negara. 2005. Mengurai Persoalan Kehidupan Seksual dan Reproduksi Perempuan. dalam Jurnal Perempuan. No. 41. hal. 8-9.

(15)

kelahiran dan kemampuan bereproduksi setelah pubertas. Sisi biologi seksualitas juga mempengaruhi dorongan seksual, fungsi seksual, dan kepuasan seksual.

b. Dimensi psikososial seksualitas meliputi faktor psikis yaitu emosi, pandangan, dan kepribadian manusia yang berkolaborasi dengan faktor sosial, yaitu bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungannya secara seksual.

c. Dimensi perilaku menerjemahkan seksualitas menjadi perilaku seksual, yaitu perilaku yang muncul berkaitan dengan dorongan atau hasrat seksual.

d. Dimensi klinis menangani persoalan-persoalan fisik seperti penyakit, trauma, atau obat-abatan, dan masalah-masalah perasaan atau psikis, seperti kecemasan, rasa bersalah, malu, depresi dan konflik, yang keduanya dapat mengganggu fungsi reproduksi dan seksualitas.

e. Dimensi kultural seksualitas menekankan pada konstruksi kultural terhadap seksualitas yang menjadikan makna dan norma-norma seksualitas berbeda dari budaya yang satu dengan budaya yang lain.

Dalam perkembangannya, seksualitas juga dipahami sebagai hasil dari kontruksi sosial budaya. Giddens mengutip Foucault33, mendefinisikan seksualitas sebagai konstruksi sosial yang beroperasi dalam wilayah-wilayah kekuasaan. Ia bukan sekadar sekumpulaan dorongan biologis yang menemukan –atau tidak menemukan- pelepasannya. Foucault juga menganggap bahwa dalam seksualitas terkandung empat wacana, dimana salah satunya adalah mengenai histerisasi tubuh perempuan34. Tubuh perempuan telah dianalisis –baik untuk dikualifikasi ataupun didiskualifikasi- sebagai tubuh yang secara menyeluruh penuh seksualitas.

33 Anthony Giddens. 2004. Transformation of Intimacy: Seksualitas, Cinta dan Erotisisme dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Fresh Book. hal. 30. dalam Ratna Bantara Munti.

2005. Demokrasi Keintiman: Seksualitas di Era Global. Yogyakarta: LKiS. hal. 26.

34 Michel Foucault. 1990. The History of Sexuality: An Introduction. New York: Random House. hal. 104.

(16)

Sebagai negara yang menganut budaya ketimuran, pada awalnya seks merupakan bahan yang tabu untuk diperbincangkan di Indonesia. Namun seiring dengan arus globalisasi dan perkembangan teknologi komunikasi, pandangan mengenai seks pun ikut bergeser. Keterbukaan informasi melalui beragam media, baik media cetak, media penyiaran, hingga media sosial, memudahkan semua orang mengakses segala informasi yang ingin diketahui. Sehingga, pihak media pun kini semakin tak malu-malu untuk mengulas bahasan seks kepada khalayak.

E. KERANGKA KONSEP

1. Skala Seksualitas dalam Perilaku Seksual

Untuk mengukur seksualitas dalam penelitian ini, peneliti menggunakan salah satu perspektif dalam melihat seksualitas, yaitu dari dimensi perilaku.

Menurut psikolog Sarlito Wirawan Sarwono, perilaku seksual dapat dipahami sebagai berikut:

“Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis.

Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri.”35

Dalam Sarwono36, Nuss & Luckey menggolongkan tingkah laku seksual menjadi lima, yaitu:

a. pelukan dan pegangan tangan, b. berciuman,

c. meraba payudara, d. meraba alat kelamin, e. hubungan seks.

35 Sarlito Wirawan Sarwono. 2002. Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada. hal.

140.

36 Ibid. hal. 164.

(17)

Menurut Broderick dan Rowe (1968) dalam Santrock37, tingkah laku seksual biasanya bersifat meningkat atau progresif. Tingkah laku seksual umumnya diawali dengan necking (berciuman sampai ke daerah dada), diikuti oleh petting (saling menempelkan alat kelamin). Kemudian dilanjutkan dengan hubungan intim, atau pada beberapa kasus dengan seks oral.

John DeLamater dan Patricia MacCorquodale, dalam Santrock, juga pernah melakukan penelitian untuk mengetahui pada usia berapa remaja di Amerika Serikat untuk pertama kalinya melakukan berbagai tingkah laku seksual.

Dalam penelitian tersebut, mereka mengategorikan tingkah laku seksual sebagai berikut: 1) necking, 2) berciuman di bibir, 3) memegang payudara, 4) laki-laki memegang genital perempuan, 5) perempuan memegang genital laki-laki, 6) hubungan seks, 7) laki-laki melakukan oral pada genital perempuan, 8) perempuan melakukan oral pada genital laki-laki.38

Sementara itu, kajian mengenai seksualitas dalam media pernah dilakukan oleh Susan Franzblau pada tahun 1975. Susan Franzblau melakukan kajian mengenai konten seksual dalam televisi.39 Ia menganalisis sebanyak 61 program dari tiga stasiun TV berbeda pada bulan Oktober. Hasil penelitiannya menunjukkan berbagai perilaku seksual dalam televisi yang mencakup:

2. Kissing (berciuman) 3. Embracing (berpelukan)

4. Heterosexual intercourse (hubungan intim dengan lawan jenis) 5. Homosexual behavior (perilaku seksual dengan sesama

jenis/homoseksual)

6. Rape and other sex crimes (pemerkosaan dan kejahatan seksual lain)

7. Touching – aggressive (menyentuh dengan agresif)

8. Touching – nonaggressive (menyentuh dengan tidak agresif)

37 John W. Santrock. 2003. Adolescence: Perkembangan Remaja. Edisi VI. Jakarta: Erlangga.

hal. 401.

38 Ibid.

39 Susan Franzblau, Joyce N. Sprafkin, dan Eli Rubenstein. “Sex on TV: A Content Analysis,”

Journal of Communication, 27 (Spring 1977), 164-170. dalam Dennis DeFleur.

Understanding Mass Communication. Boston: Houghton Mifflin Company. hal. 413-414.

(18)

9. Flirting and seductiveness (menggoda dan merayu)

10. Innuendo - with canned laughter (sindiran seksual dengan humor) 11. Innuendo - no canned laughter (sindiran seksual tanpa humor) 12. Atypical sex roles (penyimpangan peran seksual)

13. Partner seeking (pencarian pasangan)

Kajian terhadap konten seksual dalam media juga dilakukan pada music video (MV) atau video klip oleh Jacob S. Turner pada periode Desember 2004 hingga Januari 2005 dengan judul An Examination of Sexual Content in Music Videos40. Dalam tesisnya, Turner menggabungkan berbagai skala dalam mengukur konten seksual atau perilaku seksual dari beberapa penelitian terdahulu.

Mengacu pada Silverman (1978), Turner melihat skala seksualitas melalui dua konsepsi utama, yaitu perilaku (behavior) karakter dan praktik-praktik seksual yang menyimpang secara sosial (socially discouraged sexual practices).41

Pertama, skala seksualitas dapat dilihat dari perilaku (behavior) karakter.

Terdapat tujuh subkategori pada kategori perilaku, yaitu:

1. Kiss (ciuman), 2. Hug (pelukan),

3. Interpersonal Touching (sentuhan interpersonal),

4. Suggestiveness and Sexual Innuendo (hal yang tidak senonoh dan sindiran seksual),

5. Heterosexual Intercourse (hubungan seksual dengan lawan jenis),

6. Nonsexual Aggressive Bodily Contact (kontak tubuh nonseksual dengan agresif),

7. Physical Contact with Children (kontak fisik dengan anak-anak).

40 Jacob S. Turner. 2005. An Examination of Sexual Content in Music Videos. Up-dated by 6 Mei 2014. Archived at:

http://www.udel.edu/communication/web/thesisfiles/jaketurnerthesis.pdf

41 Ibid. hal. 54-58.

(19)

Dari tujuh subkategori dalam kategori perilaku (behavior) karakter, lima di antaranya merupakan skala seksualitas dilihat dari perilaku seksual (sexual behavior), yaitu:

1. Kiss (ciuman), 2. Hug (pelukan),

3. Interpersonal Touching (sentuhan interpersonal),

4. Suggestiveness and Sexual Innuendo (hal yang tidak senonoh dan sindiran seksual),

5. Heterosexual Intercourse (hubungan seksual dengan lawan jenis).

Selain subkategori perilaku seksual menurut Silverman (1978) di atas, Gow (1996), Sherman dan Dominick (1986) menambahkan konsep perilaku seksual juga melingkupi suggestiveness/flirtation (sikap menggoda atau merayu) dan affectionate touching (sentuhan yang penuh perasaan). Adapun sugggestiveness/flirtation dapat dimaknai sama dengan suggestiveness and sexual innuendo. Kategori ini diartikan sebagai perilaku menggoda atau merayu yang mengajak pada aktivitas seksual lainnya. Sedangkan affectionate touching dapat dimaknai sama dengan interpersonal touching. Sentuhan yang dimaksud di sini merupakan sentuhan yang penuh perasaan, di luar ciuman dan pelukan, yang membuat seseorang terlibat dalam kontak fisik secara seksual dengan orang lain.

Kemudian, konsep kedua dalam mengukur skala seksualitas menurut Silverman dapat dilihat dari praktik-praktik seksual yang menyimpang secara sosial (socially discouraged sexual practices). Terdapat sebelas tipe perilaku yang diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu:

1. Socially Discouraged Sexual Contacts (kontak/sentuhan seksual yang menyimpang secara sosial), mencakup 5 tipe perilaku, yaitu homosexuality (homoseksual)42, incest43, pederosis44, prostitution (pelacuran), dan Aggressive Sexual Contact (kontak seksual agresif).

42 Homoseksual merupakan kelainan seksual berupa disorientasi ketertarikan dengan pasangan sesama jenis. Disebut gay bila pelakunya sesama laki-laki dan lesbian untuk pelaku sesama perempuan.

(20)

2. Socially Discouraged Modes of Gratification (cara pemuasan yang menyimpang secara sosial), mencakup 6 tipe perilaku, yaitu Exhibitionism45, Fetishism46, Masturbation (masturbasi)47, Transvestism/

Transsexualism48, Voyeurism49, dan Other Unnatural Sexual Behavior (perilaku seksual abnormal lainnya).

Dari berbagai definisi di atas, peneliti mengombinasikan konsep perilaku seksual dan mengurutkan perilaku seksual secara progresif (meningkat).

Sehingga, dihasilkan konsep perilaku seksual yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. Perilaku Seksual Biasa (ordinary sexual behavior), yaitu:

a. Suggestiveness/flirting (sikap menggoda atau merayu),

b. Affectionate Touching (sentuhan interpersonal dengan perasaan), c. Hug (pelukan),

d. Kiss (ciuman),

e. Heterosexual Intercourse (hubungan seksual dengan lawan jenis, baik eksplisit maupun implisit),

2. Praktik Perilaku Seksual yang Menyimpang atau Socially Discouraged Sexual Practices (SDSP),

43 Incest adalah hubungan seks dengan sesama anggota keluarga sendiri non suami istri seperti antara ayah dan anak perempuan, ibu dengan anak laki-laki, saudara laki-laki dengan saudara perempuan sekandung.

44 Pederosis disebut juga pedofilia, yaitu kelainan seksual dimana individu yang telah dewasa memiliki orientasi pencapaian kepuasan seksual melalui cara hubungan fisik atau

hubungan seks yang bersifat merangsang dengan anak-anak di bawah umur.

45 Exhibitionism merupakan kelainan seksual dengan pencapaian kepuasan seksual dengan memperlihatkan alat kelamin kepada orang lain yang sesuai dengan kehendaknya.

46 Fetishism merupakan kelainan seksual dengan pencapaian kepuasan seksual melalui bermasturbasi barang-barang tertentu seperti dengan BH (breast holder), celana dalam, kaos kaki, foto, atau benda lain yang dapat meningkatkan hasrat atau dorongan seksual.

47 Masturbasi merupakan pemenuhan hasrat seksual yang dilakukan sendiri dengan berfantasi atau dengan bantuan alat seperti dildo, vibrator, dan lain sebagainya.

48 Transvestism/Transsexualism merupakan kelainan pemuasan hasrat seksual dengan cara mengenakan pakaian lawan jenis yang berhubungan dengan kepuasan seksual secara psikologis dengan cara bertingkah laku seperti lawan jenis

49 Voyeurism merupakan kelainan seksual dengan pencapaian kepuasan seksual dengan cara mengintip atau melihat orang lain yang sedang telanjang, mandi, bahkan berhubungan seksual.

(21)

a. Socially Discouraged Sexual Contacts (kontak/sentuhan seksual yang menyimpang secara sosial), mencakup 5 tipe perilaku, yaitu homosexuality (homoseksual), incest, pederosis, prostitution (pelacuran), dan aggressive sexual contact (kontak seksual agresif).

b. Socially Discouraged Modes of Gratification (cara pemuasan yang menyimpang secara sosial), mencakup 6 tipe perilaku, yaitu exhibitionism, fetishism, masturbation (masturbasi), transvestism/transsexualism, voyeurism, dan other unnatural sexual behavior (perilaku seksual abnormal lainnya).

Menurut Ratna Bantara Munti, wacana seksualitas terutama dalam perilaku seksual saat ini menunjukkan perempuan tidak lagi digambarkan sebagai figur yang pasif, tetapi sebaliknya ditempatkan sebagai aktor kunci yang seharusnya aktif mengejar kenikmatan seks sebagai wujud ekspresi kebebasan diri dan kebebasan seksualnya50.

Untuk itu, dalam penelitian ini juga dilihat bagaimana keaktifan perempuan dan laki-laki dalam adegan perilaku seksual tersebut. Kategori keaktifan ini digolongkan dalam tiga subkategori, yaitu:

a. Laki-laki yang lebih aktif.

b. Perempuan yang lebih aktif.

c. Perempuan dan laki-laki sama-sama aktif.

Selain bentuk perilaku seksual dan keaktifan perempuan dan laki-laki dalam perilaku seksual, dalam penelitian ini juga dianalisis tujuan atau fungsi perilaku seksual dalam film. Michael et al (1994) membagi sikap dan keyakinan individu tentang seksualitas menjadi tiga kategori51:

50 Ratna Bantara Munti. 2005. Demokrasi Keintiman: Seksualitas di Era Global. Yogyakarta:

LKiS. hal. 81.

51 Argyo Demartoto . Mengerti, Memahami dan Menerima Fenomena Homoseksual. Jurusan Sosiologi FISIP UNS. hal. 10. Up-dated by 17 April 2014. Archived at:

http://argyo.staff.uns.ac.id/files/2010/08/seksualitas-undip.pdf

(22)

a. Tradisional, berarti perilaku seksual dilakukan antara pasangan yang sudah menikah (suami dan istri). Di sini, unsur keagamaan selalu dijadikan pedoman bagi perilaku seksual yang dilakukan. Dengan demikian, homoseksual, aborsi dan hubungan seksual pra nikah dan di luar nikah selalu dianggap sebagai sesuatu hal yang salah. Kategori ini juga disebut dengan tujuan prokreasional, yaitu seks bertujuan untuk menghasilkan keturunan.

b. Relasional, berarti perilaku seksual dilakukan sebagai bagian dalam hubungan yang menunjukkan rasa saling ketertarikan dan relasi saling mencintai, tetapi tidak harus dalam ikatan pernikahan.

c. Rekreasional, berarti perilaku seksual dilakukan berdasarkan kebutuhan seks yang bertujuan untuk kesenangan dan tidak ada kaitannya dengan cinta. Di sini, memungkinkan antar pelaku bukanlah individu yang saling kenal. Misalnya adalah perilaku seksual pada pemerkosaan dan pelacuran.

2. Skala Seksualitas dalam Tubuh

Menurut Yasraf Amir Piliang52 Kehadiran perempuan dalam media-media yang menjadi komoditas seperti film, telah mengangkat ke permukaan tiga persoalan yang menyangkut eksistensi kaum perempuan di dalam wacana ekonomi-politik (political-economy), khususnya di dunia komoditas. Pertama, persoalan „ekonomi-politik tubuh‟ (political-economy of the body); kedua, persoalan „ekonomi-politik tanda‟ (political-economy of the signs); dan ketiga, persoalan „ekonomi-politik hasrat‟ (political-economy of desire).

Persoalan „ekonomi politik tubuh‟ berbicara tentang bagaimana tubuh perempuan digunakan di dalam berbagai aktivitas ekonomi, berdasarkan pada konstruksi sosial atau „ideologi‟ tertentu. Hal ini berkaitan dengan sejauh mana eksistensi perempuan di dalam kegiatan ekonomi-politik, khususnya di dalam proses produksi komoditas.

52 Piliang, Op. Cit., hal. 105.

(23)

Persoalan „ekonomi-politik tanda‟ melihat bagaimana perempuan diproduksi sebagai tanda-tanda (signs) di dalam sebuah sistem pertandaan (sign system) –khususnya dalam masyarakat kapitalis- yang membentuk citra (image), makna (meaning), dan identitas (identity) diri mereka di dalamnya. Dengan kata lain, persoalan ini berkaitan dengan eksistensi perempuan sebagai „citra‟ di dalam berbagai media, baik televisi, film, video, musik, majalah, koran, komik, seni lukis, dan sebagainya.

Sementara, persoalan „ekonomi-politik hasrat‟ yaitu bagaimana „hasrat‟

perempuan disalurkan atau „direpresi‟ di dalam berbagai bentuk komoditas, khususnya komoditas hiburan dan tontonan. Dari ketiga persoalan ini, dapat disederhanakan: yang pertama melukiskan perempuan di „dunia fisik‟, yang kedua di „dunia citra‟, dan yang ketiga di „dunia psikis‟, meskipun ketiga dunia tersebut saling berkaitan satu sama lain.

Di Amerika, Laura Mulvey53 melihat bagaimana dunia film Hollywood menjadi semacam „laboratorium‟ eksperimentasi tubuh perempuan untuk dijadikan sebagai obyek tontonan, dalam rangka menghasilkan „kesenangan melihat‟ (voyeurism) di dalam budaya patriarki (patriarchy). Perempuan diposisikan sebagai pembawa makna (bearer), bukan pencipta makna (creator) film yang mampu menawarkan sejumlah kemungkinan kesenangan (pleasures).

Meskipun telah banyak pernyataan yang menunjukkan bahwa tubuh perempuan yang selalu dieksploitasi dalam produk media, penelitian ini tidak hanya terbatas pada tubuh perempuan, namun juga melihat eksploitasi tubuh laki- laki. Dalam melihat bagaimana tubuh ditampilkan dalam media visual, penelitian ini menggunakan konsepsi ketelanjangan menurut Signorielli.

Konsepsi ketelanjangan menurut Signorielli digunakan dalam meneliti konten seksual dalam music video (MV) dengan melihat pakaian yang dikenakan oleh karakter laki-laki dan perempuan, baik sebagai major character, supporting

53 Laura Mulvey. 1973. Visual Pleasure and Narrative Cinema. French Department of University of Wisconsin, Madison. dalam Ashadi Siregar dkk. 2000. Eksplorasi Gender di Ranah Jurnalisme dan Hiburan. Yogyakarta: LP3Y. hal. 112

(24)

character, dan wallpaper54. Dalam penelitian ini, konsepsi ketelanjangan menurut Signorielli diterapkan untuk melihat eksploitasi tubuh melalui pakaian yang dikenakan oleh karakter laki-laki dan perempuan, baik sebagai pemeran utama, pemeran pendukung, dan figuran dalam film.

Adapun tingkat ketelanjangan dilihat dari penggunaan pakaian, dikategorikan sebagai berikut55:

1. Neutral clothing.

2. Somewhat sexy clothing:

a. Man with open shirt/man in “wife-beater” tank-top.

b. Woman with open shirt/display of heavy cleavage/exposed midriff.

c. Man in “hot pants”.

d. Woman in “hot pants”/woman in (particularly) short skirt.

e. Man in bathing suit/man without shirt.

3. Very sexy clothing:

a. Woman in bathing suit.

b. Man in clothes with undergarments partially or totally exposed.

c. Woman in clothes with undergarments partially or totally exposed.

d. Man in undergarments.

e. Woman in undergarments.

4. Outright nudity – no clothing, character is nude:

a. Nudity – woman in-between wearing undergarments and being totally nude.

b. Total nudity – man or woman.

Dari pendefinisian konsep-konsep di atas serta pengkategorian perilaku seksual dan tingkat ketelanjangan, berikut adalah rangkuman penjelasan unit analisis yang digunakan oleh peneliti. Adapun definisi dan batasan-batasan dari setiap unit kategori dan bagian-bagiannya dipaparkan lebih lanjut pada definisi operasional.

54 Turner, Op. Cit., hal. 203-205.

55 Signorielli et al. (1994) dalam Jacob S. Turner. 2005. An Examination of Sexual Content in Music Videos. hal. 60-61. Up-dated by 6 Mei 2014. Archived at:

http://www.udel.edu/communication/web/thesisfiles/jaketurnerthesis.pdf

(25)

Tabel 1.3 Unit Analisis

Unit Analisis Kategori Subkategori

Lokasi Scene

1 = Interior – Day 2 = Interior – Night 3 = Exterior – Day 4 = Exterior – Night

Perilaku Seksual (Sexual Behavior)

0 = tidak ada perilaku seksual

1 = Perilaku Seksual Biasa (Ordinary Sexual Behavior)

1 = suggestiveness/flirting 2 = affectionate touching 3 = hug

4 = kiss

5 = heterosexual intercourse

1 = heterosexual intercourse implicit 2 = heterosexual intercourse explicit 6 = kombinasi

2 = Perilaku Seksual Menyimpang (Socially

Discouraged Sexual Practices)

1 = Kontak seksual menyimpang 1 = homosexuality

2 = incest 3 = pederosis 4 = prostitution

5 = aggressive sexual contact 6 = kombinasi

2 = Cara pemuasan menyimpang 1 = exhibitionism

2 = fetishism 3 = maturbation

4 = transvestism/transsexualism 5 = voyeurism

6 = other unnatural sexual behavior 7 = kombinasi

Keaktifan dalam Perilaku Seksual

1 = laki-laki lebih aktif 2 = perempuan lebih aktif 3 = laki-laki dan perempuan sama-sama aktif

4 = lain-lain

Tujuan Perilaku Seksual

0 = tidak ada perilaku seksual 1 = tradisional

2 = relasional 3 = rekreasional 4 = lain-lain

Tipe Ketelanjangan

1 = perempuan (pemeran utama) 2 = perempuan (pemeran pendukung)

3 = perempuan (figuran)

1 = neutral clothing

2 = somewhat sexy clothing 3 = very sexy clothing 4 = outright nudity 5 = lain-lain 1 = laki-laki (pemeran utama)

2 = laki-laki (pemeran pendukung)

3 = laki-laki (figuran)

1 = neutral clothing

2 = somewhat sexy clothing 3 = very sexy clothing 4 = outright nudity 5 = lain-lain

(26)

F. DEFINISI OPERASIONAL

Operasionalisasi pada penelitian ini mengacu pada tesis Jacob S. Turner, An Examination of Sexual Content in Music Videos, dengan beberapa pengembangan dan modifikasi sesuai dengan tujuan penelitian.

1. Perilaku Seksual (Sexual Behavior), digunakan untuk melihat keberadaan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual antara pasangan lawan jenis (laki-laki dan perempuan) dalam satu scene film.

Bentuk-bentuk perilaku seksual ini meliputi sikap menggoda, sentuhan, pelukan, ciuman, dan hubungan seksual. Apabila perilaku tersebut dilakukan antara orang tua dan anak atau hubungan keluarga lain yang menunjukkan tindakan kasih sayang (bukan hasrat seksual) tidak dimasukkan dalam kategori ini. Kecuali, perilaku tersebut didasarkan atas hasrat seksual, dimana ada indikasi kelainan seksual berupa incest (ketertarikan seksual dengan keluarga sekandung).

a. Kode 0 = tidak ada perilaku seksual

b. Kode 1 = jika dalam satu scene terdapat perilaku seksual biasa (ordinary sexual behavior) yang meliputi:

i. Kode 1 = suggestiveness atau flirting, yaitu apabila terdapat perilaku yang bersifat merayu atau menggoda ke arah seksual.

Kategori ini termasuk tingkah laku untuk menarik perhatian yang ditujukan kepada orang lain baik secara langsung atau melalui media (misal telepon atau web camera). Beberapa contoh dari kategori ini, antara lain: mengedipkan mata, menjilat bibir dengan lidah, membuka kancing baju satu demi satu, hingga sexy dancing seperti striptease. Adapun sifat penggoda dan perayu ini ditujukan pada pemeran lain dalam film, bukan adegan merayu yang dirasakan penonton. Misalnya terdapat adegan perempuan mandi sendirian sambil menggosok bagian tubuhnya dengan pelan. Adegan tersebut mungkin akan bersifat menggoda bagi penonton film, namun tidak dapat digolongkan dalam subkategori ini.

(27)

ii. Kode 2 = affectionate touching, yaitu apabila terdapat aktivitas sentuhan di luar ciuman, pelukan, dan kontak tubuh secara agresif yang membuat seseorang terlibat dalam kontak fisik dengan orang lain. Sentuhan dapat terjadi antara tangan dengan tangan, tangan dengan anggota tubuh lain, atau antara anggota tubuh lain. Misalnya: laki-laki yang mengelus kepala kekasihnya, perempuan yang mengelus punggung laki-laki, sepasang kekasih berjalan sambil menggenggam erat tangan satu sama lain dan berpandangan mesra, hingga rabaan pada bagian tubuh sensitif seperti paha, dada, dan sebagainya.

iii. Kode 3 = hug, jika terdapat adegan pelukan atau rangkulan, baik dilakukan dari depan, samping, maupun belakang. Pelukan yaitu melingkarkan lengan pada tubuh orang lain sehingga jarak tubuh semakin dekat satu sama lain. Termasuk ketika laki-laki menggendong perempuan kemudian tangan perempuan melingkar di leher laki-laki.

iv. Kode 4 = kiss, jika terdapat adegan mencium salah satu dari bagian tubuh orang lain (pipi, kening, hidung, tangan, bibir, atau leher). Sedangkan mencium sebuah objek yang dianggap mewakili seseorang (foto seseorang atau pakaian yang pernah dipakai seseorang) dan melempar ciuman untuk orang lain (blowing kiss) tidak digolongkan dalam perilaku seksual.

v. Kode 5 = heterosexual intercourse, apabila terdapat adegan hubungan seksual lawan jenis. Kategori ini dapat digolongkan menjadi dua:

- Kode 1 = heterosexual intercourse implicit, jika terdapat adegan seksual yang dilakukan secara tidak langsung atau sembunyi-sembunyi, namun tetap menunjukkan bahwa hubungan seksual tersebut telah berlangsung. Misalnya, diisyaratkan dengan suara saja, namun visualisasinya lampu remang-remang; atau adegan laki-laki mendorong

(28)

perempuan ke atas tempat tidur, gambar menghilang, kemudian pagi harinya mereka tidur tanpa busana di bawah selimut.

- Kode 2 = heterosexual intercourse explicit, jika terlihat adegan seksual secara terang-terangan. Misalnya terlihat laki-laki dan perempuan di atas tempat tidur dengan kesan ketelanjangan (meski di bawah selimut) dengan menunjukkan gerakan hubungan seksual atau ekspresi- ekspresi yang menunjukkan perilaku hubungan seksual.

vi. Kode 6 = kombinasi, apabila dalam satu scene terdapat lebih dari satu perilaku seksual, misalnya ciuman dan pelukan.

c. Kode 2 = jika dalam satu scene terdapat perilaku seksual yang menyimpang (socially discouraged sexual practices) dari norma- norma sosial di masyarakat. Beberapa perilaku di bawah ini ada yang dapat ditoleransi, namun ada pula yang benar-benar ditolak oleh norma sosial. Tetapi, secara umum perilaku-perilaku di bawah ini dianggap menyimpang dari standar perilaku yang diterima di masyarakat.

i. Kode 1 = socially discouraged sexual contacts, apabila terdapat adegan yang menunjukkan kontak seksual yang menyimpang yang meliputi:

- Kode 1 = homosexuality, jika terdapat adegan yang menunjukkan perilaku homoseksual, yaitu perilaku seksual yang tertarik dengan sesama jenis kelamin, baik sesama laki-laki maupun sesama perempuan.

- Kode 2 = incest, jika terdapat adegan yang menunjukkan perilaku seksual dengan lawan jenis namun masih memiliki hubungan darah (keluarga atau saudara kandung)

- Kode 3 = pederois, jika terdapat adegan yang menunjukkan perilaku seksual yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak. Biasanya juga dikenal dengan istilah pedofilia.

(29)

- Kode 4 = prostitution, jika terdapat adegan yang menunjukkan perilaku seksual dalam konteks praktik prostitusi atau pelacuran, dimana ada pembayaran sebagai syarat untuk melakukan aktivitas seksual.

- Kode 5 = aggressive sexual contact, jika terdapat perilaku seksual dengan pemaksaan (pemerkosaan) atau perilaku seksual yang dilakukan secara sadis. Pemerkosaan merupakan hubungan seksual yang dipaksakan, dimana korban berada di bawah ancaman.

- Kode 6 = kombinasi, apabila dalam satu scene terdapat lebih dari satu kontak seksual menyimpang.

ii. Kode 2 = socially discouraged modes of gratification, apabila terdapat adegan yang menunjukkan aktivitas pemuasan seksual yang menyimpang secara seksual, meliputi:

- Kode 1 = exhibitionism, apabila terdapat adegan yang menunjukkan aktivitas pemuasan hasrat seksual secara tidak wajar, yaitu dengan memperlihatkan alat kelaminnya kepada orang lain. Sementara itu, tarian striptease yang memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya tidak termasuk dalam kategori ini namun dimasukkan pada kategori ordinary sexual behavior, subkategori suggestiveness/flirting.

- Kode 2 = fetishism, apabila terdapat adegan yang mengandung aktivitas pemuasan hasrat seksual secara tidak wajar, yaitu dengan menggunakan benda-benda atau bagian tubuh nonseksual dari lawan jenis, seperti stockings, lingerie, pakaian dalam, rambut, foto, dan lain sebagainya.

- Kode 3 = maturbation, apabila terdapat adegan yang mengandung aktivitas pemuasan hasrat seksual, baik yang dilakukan secara manual oleh diri sendiri (dengan

(30)

berfantasi seksual) atau dengan bantuan alat-alat bantu pemuas seksual seperti vibrator, dildo, dan lain sebagainya.

- Kode 4 = transvestism/transsexualism, jika terdapat adegan yang mengandung kelainan pemuasan hasrat seksual dengan cara mengenakan pakaian lawan jenis yang berhubungan dengan kepuasan seksual secara psikologis dengan cara bertingkah laku seperti lawan jenis.

- Kode 5 = voyeurism, jika terdapat adegan yang mengandung kelainan pemuasan hasrat seksual dengan cara mengintip orang lain telanjang atau melihat orang lain yang sedang berhubungan seksual.

- Kode 6 = other unnatural sexual behavior, jika terdapat adegan yang mengandung perilaku seksual menyimpang dan tidak dapat dimasukkan dalam kategori-kategori sebelumnya. Misalnya, aktivitas seksual antara manusia dengan hewan (bestiality) dan aktivitas seksual yang dilakukan oleh lebih dari dua orang (group sex) dapat dimasukkan dalam kategori ini.

- Kode 7 = kombinasi, yaitu jika dalam satu scene mengandung lebih dari satu cara pemuasan hasrat seksual yang menyimpang.

2. Keaktifan dalam Perilaku Seksual, digunakan untuk melihat siapa yang memiliki peran menonjol dalam perilaku seksual. Dalam perilaku seksual menyimpang, kategori ini dapat melihat pelaku perilaku tindakan tersebut..

a. Kode 0 = tidak ada, jika dalam satu scene tidak terdapat perilaku seksual.

b. Kode 1 = laki-laki lebih aktif, apabila terdapat perilaku seksual dimana laki-laki berperan lebih aktif dibanding perempuan. Misalnya, laki-laki meraba, mengelus, dan memeluk perempuan, sedangkan perempuannya diam saja; laki-laki mengambil inisiatif untuk mencium perempuan, sedangkan perempuan tidak membalas ciuman tersebut.

Gambar

Tabel 1.3  Unit Analisis

Referensi

Dokumen terkait

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripitif, dimana penelitian yang dilakukan terhadap variabel yang data-datanya sudah ada tanpa

Tenaga pemasar Bank Syariah Rajasa Kantor Kas Kalirejo bagian pemasaran memiliki multype role atau peran ganda, sebagai berperan sebagai marketing, tenaga pemasar juga

Oleh karena teater merupakan alat transmisi nilai tradisi, perubahan nilai-nilai bermasyarakat layak untuk diamati, demikian juga kehadiran pertunjukan teater Indonesia..

[r]

Jaminan kepastian hukum oleh konstitusi juga diwujudkan dengan mewajibkan kepada para hakim (hakim dan hakim konstitusi) sebagai pemberi dan pencipta keadilan

Stainless Steel adalah suatu baja yang mengandung lebih dari 11 % kromium, biasanya diantara 11,5% - 27%, dan stainless steel juga mengandung nikel, vanadium,

Alhamdulillahirobbil’alamin segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah menganugerahkan kasih sayang, ilmu, rezeki, dan hidayah- Nya, sehingga

Menimbang : a.bahwa untuk tertib administrasi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah serta untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 151 Peraturan Pemerintah