• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Cerebral Palsy. dijelaskan oleh William Little pada tahun 1840-an. Kondisi menimbulkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Cerebral Palsy. dijelaskan oleh William Little pada tahun 1840-an. Kondisi menimbulkan"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

5

A. Cerebral Palsy

1. Definisi cerebral palsy

Cerebral palsy (CP) adalah kecacatan perkembangan umum yang pertama

dijelaskan oleh William Little pada tahun 1840-an. Kondisi menimbulkan tantangan diagnostik dan terapeutik yang cukup besar dengan tingkat kecacatan mulai dari minimal hingga berat. CP bersifat non progresif dan merupakan salah satu dari tiga gangguan perkembangan dan pertumbuhan anak yang umum dan paling banyak terjadi, dua gangguan yang lain adalah autisme dan keterbelakangan mental (Sankar & Mundkur, 2005).

CP adalah kumpulan gangguan motorik akibat kerusakan otak yang terjadi sebelum, selama atau setelah lahir. Kerusakan otak anak, mempengaruhi sistem motorik dan sebagai hasilnya anak memiliki koordinasi yang buruk, keseimbangan yang kurang baik atau pola gerakan yang abnormal atau gabungan dari karakteristik tersebut (Shira Sender, 2019).

(2)

a. Anatomi otak 1) Korteks serebri

Korteks serebri merupakan selimut zat kelabu pada otak yang terdiri kira- kira 10 sampai 15 biliun neuron dan 50 biliun sel glia, memiliki peran penting dalam kecakapan intelektual dan bagi ekspresi saraf luhur yang lain. Atas dasar kriteria filogeni, ontodeni dan fungsional korteks serebri dibedakan menjadi archicortex (archipallium) yang terintegrasi dalam mekanisme saraf yang

berhubungan dengan perilaku emosional dan afektif, paleocortex (paleopallium) yang memiliki peranan bermakna dalam fungsi penghidu dan neocortex (neopallium) yang memiliki pola sitoarsitektur berlamina dengan enam lapis. Atas dasar sitoarsitektur, korteks telah dikotakkan menjadi beberapa area. Sistem yamg paling umum digunakan ialah penomoran area menurut Brodmann (Noback, 1995).

Korteks serebri dibagi dalam empat lobus, yaitu lobus frontalis, lobus parietal, lobus temporalis dan lobus oksipitalis (Chusid, 1990).

2) Ganglia basalis

Istilah ganglia basalis merujuk ke beberapa massa zat kelabu yang terletak di bagian dalam hemesfier serebrum. Ganglion basal secara fungsional diintegrasikan ke dalam aktivitas motorik. Ganglion basalis mencakup nucleus kaidat, nucleus lemtoform (lentikular), badan amigdaloid (komplek amigdaloid, corpus amigdaloideum) dan claustrum (Noback, 1995).

(3)

3) Serebelum

Serebelum ialah struktur yang berfisur dan berlobus dan menjadi mosulator serta koordinator aktivitas motorik (Noback, 1995). Serebelum dibagi menjadi 2 hemisfer yang saling dihubungkan oleh vermis. Dibagi menjadi arkiserebelum yang berperan pada sistem keseimbangan dan vestibular, paleserebelum berhubungan dengan gerakan propulasi dan steretoip seperti berenang dan berjalan dan sisa dari serebelum dianggap sebagai neoserebelum yang berhungam dengan koordinasi dari pergerakan halus (deGroot, 1997).

4) Batang otak

Batang otak dapat dibagi menjadi tiga bagian yang utama: medulla (mdula oblongata, mielensefalon), pons dan otak tengah (mesensefalon) (deGroot, 1997).

b. Neurofisiologi otak 1) Area Brodmann

Pembagian dan klasifikasi menurut sstem dari Brodmann yang lebih sering disebut sebagai area Brodmann. Area Brodmann disebut juga area pre motor, area ini terletak 1-3 cm di depan gyrus precentralis korteks motorik primer. Bila area ini dirangsang dapat menimbulkan kontraksi yang kompleks dari sekelompok otot. Terkadang menimbulkan gerakan yang adversif yaitu rotasi yang kasar dari mata, kepala dan tubuh ke sisi yang berlawanan. Gerakan adversif ini disebabkan karena adanya perangsangan pada traktus ekstrapiramidalis, tetapi dapat juga karena penyebaran rangsangan di dalam korteks ke sistem pyramidal. Maka fungsi area ini untuk mngontrol koordinasi gerakan dari otot yang terangsang dan area inilah spastisitas sering terjadi (Chusid, 1990).

(4)

Gambar 2.1

Pembagian area brodmann pada otak kiri (Zhou, 2019)

(5)

Gambar 2.2

Pembagian area brodmann pada otak kanan (Zhou, 2019)

(6)

Traktus piramidalis berada di dalam gyrus precentralis dan disebut juga sebagai korteks motorik. Neuron-neuron yang berada di korteks motorik yang menghadap ke fisura longitudinalis serebri akan mempersarafi otot-otot di kaki dan tungkai bawah. Neuron-neuron morteks motorik yang dekat dengan fisura lateralis serebri akan mempersarafi otot laring, faring dan lidah.

Traktus ekstrapiramidalis dapat dianggap sebagai suatu sistem fungsional dengan 3 lapisan integrasi: cortical, striata (basal ganglia) dan tegmental yang merupakan daerah inhibisi dan fasilitasi bulboreticularis menerima serabut- serabut dari daerah cortex cerebri, stratium dan cerebellum anteriori Fungsi utama dari traktus ektrapiramidalis berhubungan dengan gerakan yang berkaitan, pengaturan sikap tubuh dan integrasi otonom. Lesi pada setiap tingkat dalam sistem ekstrapiramidalis dapat menghilangkan gerakan di bawah sadar dan menggantikan dengan gerakan di luar sadar.

(7)

Gambar 2.3

Traktus piramidalis (Duss, 1996)

(8)

Gambar 2.4

Traktus ekstrapiramidalis (Duss, 1996)

(9)

c. Vaskularisasi otak

Diperlukan banyak darah yang harus disediakan untuk membuat otak tetap aktif. Aliran darah ke otak terutama diatur oleh efek hasil metabolic dalam aliran darah terhadap tonus vaskulus (arteriola) pembuluh darah serebrum. Vena-vena dalam otak menuju ke dalam pleksus vena superficial dan sinus dura, yaitu saluran-saluran tanpa katup yang terletak diantara kedua lapis durameter.

Anastomose pembuluh darah yang penting di dalam jaringan otak di sebut dengan sirkulus Willisi yang terletak di dasar otak. Darah mencapai sirkulus Willisi melalui arteri karotis interna dan arteri vertebralis.

(10)

Gambar 2.5

Vaskularisasi otak (deGroot & Chusid, 1997) Keterangan gambar :

1. Sirkuit wilisi

2. Arteri serebralis anterior 3. Arteri karotis interna 4. Arteri serebralis medialis 5. Arteri komunikan posterior 6. Arteri serebralis posterior 7. Arteri basilaris

8. Arteri serebralis posterior 9. Arteri vetrebalis

(11)

3. Etiologi

Etiologi dari cerebral palsy dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu (Haenggeli & Suter-Stricker, 2007):

a. Prenatal

Faktor-faktor resiko prenatal dapat dipengaruhi oleh infeksi selama masa kandungan, perdarahan selama trimester tiga, inkompeten serviks dan trauma.

b. Perinatal

Faktor-faktor resiko perinatal dapat dipengaruhi oleh hipoksia, perdarahan otak dan prematuritas. Hipoksia sering dijumpai pada bayi bayi dengan kesulitan persalinan. Asfiksia menyebabkan rendahnya suplai oksigen pada otak bayi dalam periode lama, anak tersebut akan mengalami kerusakan otak yang dikenal dengan hipoksik iskemik ensefalopati. Perdarahan otak dan anoksia dapat terjadi bersamaan sehingga sukar membedakannya, misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak mengganggu pusat pernafasan sehingga terjadi anoksia.

Bayi kurang bulan memiliki kemungkinan menderita perdarahan otak yang lebih banyak daripada bayi cukup bulan, karena pembuluh darah, enzim, faktor pembekuan darah dan lain-lain masih belum sempurna.

c. Pascanatal

Faktor-faktor resiko pascanatal dapat dipengaruhi oleh trauma kapitis, infeksi dan kern ikterus.

(12)

CP merupakan suatu kelainan pada gerakan dan postur yang bersifat menetap, disebabkan oleh kecacatan yang bersifat nonprogresif atau lesi yang terjadi pada otak yang belum matur. CP dapat disebabkan oleh abnormalitas struktural yang terjadi pada otak; cedera yang terjadi pada prenatal, perinatal atau postnatal karena vascular insufficiency; toksin atau infeksi risiko–risiko patofisiologi dari kelahiran prematur. Bukti–bukti yang ada menunjukkan bahwa faktor–faktor prenatal berperan dalam 70 – 80 % kasus CP. Dalam banyak kasus, penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi hampir sebagian besar kasus disebabkan oleh banyak faktor. Selama periode prenatal, pertumbuhan yang abnormal dapat terjadi kapan saja (dapat karena abnormalitas yang bersifat genetik, toksik atau infeksi, atau vascular insufficiency) (Marret, Vanhulle, &

Laquerriere, 2013).

Seperti di ketahui sebelumnya bahwa CP merupakan kondisi neurologis yang di sebabkan oleh cedera pada otak yang terjadi sebelum perkembangan otak sempurna. Karena perkembangan otak berlangsung selama dua tahun pertama. CP dapat di sebabkan oleh cedera otak yang terjadi selama periode prenatal, perinatal, dan postnatal. Trauma cerebral yang menyangkut trauma dari arteri cerebral media adalah rangkaian patologis yang paling sering di temukan dan dikonfirmasi dari pasien dengan CP spastic hemiplegia dengan menggunakan evaluasi dari computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) . Penilaian tersebut telah menunjukkan kehilangan jaringan (nekrosis dan atrofi) dengan atau tanpa gliosis (Kuban & Leviton, 1994).

(13)

Terjadinya gangguan pasokan oksigen ke janin dan otak dianggap sebagai faktor utama penyebab CP. Tapi pada klinis mendefinisikan cedera lahir atau gangguan lahir asfiksia untuk minoritas kasus CP. Beberapa faktor non iskemik sekarang telah diakui dalam studi epidemiologi manusia. CP jarang terjadi karena malformasi otak sekunder ke genetik yang unik. Defisit atau kerusakan perinatal diperoleh karena terjadinya asphyxic akut. Umumnya pada CP faktor-faktor penyebab tidak bertindak dalam isolasi, tapi memiliki sinergi untuk menimbulkan gangguan (Marret et al., 2013).

Pada saat di mana sirkulasi darah ke otak telah menyerupai sirkulasi otak dewasa, hipoperfusi akan merusak area batas air korteks (zona akhir dari arteri cerebral mayor), yang selanjutnya menyebabkan fenotip spastik quadriplegia.

Ganglia basalis juga dapat terpengaruh dengan keadaan ini, yang selanjutnya menyebabkan terjadinya gangguan pada ekstrapiramidal (seperti koreoathetoid atau distonik) (Mardiani, 2006).

Bayi prematur yang tidak menangis di lima menit pertama setelah dilahirkan, yang perlu alat bantu pernapasan selama lebih dari empat minggu, dan yang telah mengalami perdarahan di otak. Bayi yang memiliki cacat bawaan pada sistem seperti jantung, ginjal, atau tulang juga lebih mungkin untuk terjadi CP, mungkin karena mereka juga memiliki malformasi di otak. Bayi baru lahir yang memiliki kejang juga memiliki peningkatan risiko terjadi CP (Shira Sender, 2019).

Beberapa anak dengan CP hemiplegia mengalami atrofi periventricular, menunjukkan adanya ketidaknormalan pada white matter. Pada pasien dengan CP

(14)

lebih berat daripada tangan. Yang terkait dengan CP bentuk ini adalah adanya rongga yang terhubung dengan ventrikel lateral , multiple cystic lesion pada white matter, diffuse cortical atrophy, dan hydrocephalus. CP bentuk coreoathetoid

yang kadang mengalami spastisitas cenderung terjadi bayi pada cukup bulan, dystonia dari ekskremitas juga sering terjadi bersama spastisitas tapi cenderung tidak dikenali. Pembesaran sistem ventricular adalah yang paling sering dihubungkan pada neuro-imaging (Kuban & Leviton, 1994).

5. Tanda dan gejala

Pemeriksaan perkembangan motorik, sensorik dan mental perlu dilakukan secermat mungkin. Walaupun pada CP kelainan gerak motorik dan postur merupakan ciri utama, tetapi tidak boleh dilupakan bahwa sering juga disertai gangguan bukan motorik, seperti retardasi mental, kejang–kejang, gangguan psikologik dan lainnya (Mardiani, 2006).

Manifestasi dari gangguan motorik atau postur tubuh dapat berupa spastisitas, rigiditas, ataksia, tremor, atonik/hipotonik, tidak adanya reflek primitif (pada fase awal) atau reflek primitif yang menetap (pada fase lanjut), diskinesia (sulit melakukan gerakan volunter). Gejala-gejala tersebut dapat timbul sendiri- sendiri ataupun merupakan kombinasi dari gejala-gejala tersebut (Graham et al., 2016).

Gangguan motorik berupa kelainan fungsi dan lokalisasi serta kelainan bukan motorik yang menyulitkan gambaran klinis CP. Kelainan fungsi motorik

(15)

terdiri dari spastisitas dengan bentuk spastisitas tergantung pada letak dan besarnya kerusakan, yaitu monoplegia/monoparesis, hemiplegia/hemiparesis, tetraplegia/tetraparesis, tonus yang berubah seperti dalam bentuk athetosis dan khoreoathetosis, gangguan keseimbangan dalam bentuk ataxia, dan bisa juga dalam bentuk tonus yang menurun atau hipotonia (Graham et al., 2016).

6. Prognosis

Morbiditas dan mortalitas berhubungan dengan tingkat keparahan CP dan bersamaan dengan komplikasi-komplikasi medis lain (seperti kesulitan pernafasan dan kelainan gastrointestinal). Pada penderita quadriplegi lebih berisiko mengalami epilepsi, gangguan ekstrapiramidal dan kelainan kognitif berat dibandingkan anak-anak dengan diplegia atau hemiplegia. Epilepsi terjadi pada 15-60 % penderita CP dan lebih sering terjadi pada pasien dengan spastik quadriplegia atau retardasi mental. Ketika dibandingkan, anak-anak penderita CP memiliki insidensi epilepsi lebih tinggi dengan onset selama tahun pertama kehidupannya dan lebih banyak memiliki riwayat kejang neonatal, status epilepticus, politerapi dan melakukan pengobatan dengan menggunakan anti

konvulsan (Boosara, 2004 dikutip dari Mardiani, 2006).

Prognosis yang paling baik pada derajat fungsional ringan. Prognosis bertambah berat bila disertai dengan retardasi mental, kejang, gangguan penglihatan dan pendengaran. Angka kematian pada kasus ini adalah 53 % pada tahun pertama dan 11 % meninggal pada umur 7 tahun (Mardiani, 2006).

(16)

Upaya klasifikasi klinik cerebral palsy di perkirakan di awali oleh Sachs pada tahun 1891 yang menyarankan pengelompokan kasus berdasarkan waktu dari faktor etiologi dan berdasarkan distribusi dan tipe gangguan klinik. CP diklasifikasikan berdasarkan kerusakan gerakan yang terjadi dan dibagi dalam empat kategori, yaitu ( Soetjiningsih, 2012 dikutip dari Selekta, 2018):

1. CP spastik

Lokasi lesi yang menyebabkan spastisitas terutama pada traktus kortikospinal. Pada spastisitas terjadi peningkatan konstan pada tonus otot, peningkatan reflek otot kadang di sertai klonus (reflek peregangan otot yang meningkat) dan tanda Babinski positif. Tonic neck reflex muncul lebih lama dari normal namun jarang terlihat jelas, dan reflek neonatus lainnya menghilang pada waktunya. Hipertonik permanen dan tidak hilang selama tidur. Peningkatan tonus otot tidak sama pada sesuatu gabungan otot. Lengan adduksi, siku dan pergelangan tangan fleksi, tangan pronasi, jari fleksi dengan jempol melintang di telapak tangan. Kaki adduksi, panggul dan lutut fleksi, kaki plantar- fleksi dengan tapak kaki berputar ke dalam. Golongan spastisitas ini meliputi 2/3-3/4 penderita CP.

(17)

Gambar 2.6

Homonkulus serebri sensorik dan motorik (Pinterest, 2019)

CP spastik merupakan bentukan CP yang terbanyak (70-80%), otot mengalami kekakuan dan secara permanen akan menjadi kontraktur. Jika kedua tungkai mengalami spastisitas, pada saat seseorang berjalan, kedua tungkai tampak bergerak kaku dan lurus. Gambaran klinis ini membentuk karakterisitik berupa ritme berjalan yang dikenal dengan gait gunting (scissor gait). CP spastik dibagi berdasarkan jumlah ekstremitas yang terkena, yaitu:

(18)

Monoplegia adalah tipe CP yang hanya mengenai 1 ekstremitas saja, biasanya terjadi pada lengan.

b. Diplegia

Diplegia adalah tipe CP yang mengenai keempat ekstremitas terkena, tetapi kedua kaki lebih berat daripada kedua lengan.

c. Triplegia

Triplegia adalah tipe CP yang mengenai 3 ekstremitas, yang paling banyak adalah mengenai kedua lengan dan kaki.

d. Quadriplegia

Quadriplegia adalah tipe CP yang mengenai keempat ekstremitas terkena dengan derajat yang sama.

e. Hemiplegia

Hemiplegia adalah tipe CP yang mengenai salah satu sisi dari tubuh dan lengan terkena lebih berat.

2. CP atetoid atau diskinetik

Lokasi lesi utama yang menyebabkan CP atetoid adalah ganglia basalis. 5- 25% anak dengan CP menunjukkan atetoid atau choreoathethosis. Anak dengan choreoathetosis memiliki gangguan pergerakan dengan karakteristik pergerakan

yang tidak disadari dan sikap yang abnormal. Pasien biasanya flaccid pada 6 bulan pertama lahir dan kadang di salah diagnosiskan dengan gangguan motor unit.

Gerakan yang tidak disadari dan kelainan sikap biasanya berkembang selama

(19)

pertengahan tahun kedua. Refleks neonatus kadang tampak, spastisitas dan ataksia bisa ditemukan. Kecacatan motorik kadang berat, kelainan postur mengganggu fungsi normal eksremitas.

Gambar 2.7

Anatomi otak (Teach Me Anatomy, 2019) Keterangan gambar :

1. Basal ganglia 2. Globus pallidus 3. Thalamus 4. Subtansia nigra 5. Cerebellum

Bentuk CP atetoid atau diskinetik mempunyai karakteristik gerakan menulis yang tidak terkontrol dan perlahan.Gerakan abnormal ini mengenai tangan, kaki, lengan atau tungkai dan pada sebagian besar kasus, otot muka dan lidah, menyebabkan anak tampak selalu menyeringai dan selalu mengeluarkan air

(20)

saat tidur. Penderita juga mengalami masalah koordinasi gerakan otot bicara (disartria). CP atetoid terjadi pada 10-20% penderita CP.

3. CP ataksia

Lokasi lesi utama yang menyebabkan kelainan ini adalah cerebellum. 1- 15% anak dengan CP menunjukkan ataksia. Pasien dengan kondisi ini biasanya flaccid ketika bayi dan menunjukkan perkembangan retardasi motorik. Menjelang akhir tahun pertama ketika mereka memulai menjangkau suatu objek dan mencoba berdiri, itu mulai tampak dan mereka tidak seimbang. Ketidaknormalan akibat rendahnya tonus otot menetap hingga kanak-kanak. Reflek otot normal dan reflek neonatus hilang sesuai umur normal.

(21)

Gambar 2.8

Anatomi otak (Teach Me Anatomy, 2019) Keterangan gambar :

1. Cerebrum 2. Cerebellum 3. Pons

CP ataksia jarang dijumpai, mengenai keseimbangan dan kognisi.

Kerusakan terjadi di serebellum. Penderita yang terkena sering menunjukkan koordinasi yang buruk, berjalan tidak stabil dengan gaya berjalan kaki terbuka lebar, meletakkan kedua kaki dengan posisi yang saling berjauhan, kesulitan dalam melakukan gerkan cepat dan tepat, misalnya menulis atau mengancingkan baju. Mereka juga sering mengalami tremor, dimulai dengan gerakan volunter misalnya mengambil buku, menyebabkan gerakan seperti menggigil pada bagian

(22)

pendertia akan menuju obyek yang dikehendaki. Bentuk ataksid ini mengenai 5- 10% penderita CP.

4. CP Hipotonia

Hipotonus yang menetap atau atonic pada CP menunjukkan adanya keterlibatan cerebellar pathways. Long-track signs seperti reflex deep-tendon cepat dan respon plantar extensor cenderung disertai hipotonia.

Gambar 2.9

Cerebral pathway (Medicine Iowa, 2019) Keterangan gambar :

1. Cerebral cortex 2. Basal forebrain 3. Hypothalamus 4. Thalamus

(23)

5. CP campuran

CP campuran sering ditemukan pada seorang penderita mempunyai lebih dari satu bentuk CP yang akan dijabarkan di atas. Bentuk campuran yang sering dijumpai adalah spastik dan gerakan atetoid tetapi kombinasi lain juga mungkin dijumpai. Kerusakan bisa terjadi di daerah otak mana saja, dan merupakan jenis CP dengan semua gabungan jenis di atas.

C. Kemandirian

Pada anak CP spastik diplegi menimbulkan gangguan pada fungsi motorik berupa kelemahan dan gerakan tidak terkontrol. Menurut Haenggeli & Suter- Stricker (2007), perkembangan neurologis dan fungsional anak CP akan terganggu dalam tingkat yang berbeda-beda. Gangguan fungsionalnya, yaitu gangguan untuk transfer, gangguan keseimbangan duduk, kesulitan dalam mengerjakan kegiatan sehari-hari dan gangguan berjalan. Duduk merupakan salah satu dari gerakan fungsional yang sering kita lakukan. Pada anak CP gerakan tersebut akan sulit untuk dilakukan karena, postur tubuh yang tidak simetris.

Gerakan duduk membutuhkan otot-otot ekstensor batang tubuh, panggul, lutut dan plantar fleksor pergelangan kaki. Dimana pada anak CP otot-otot tersebut mengalami spastisitas sehingga susah untuk digerakan ke posisi duduk.

(24)

Gross Motor Function Classification System (GMFCS) adalah sistem yang

baru dikembangkan yang telah ditemukan menjadi sistem yang andal dan valid yang mengklasifikasikan anak-anak dengan CP oleh aktivitas motorik spesifik usia mereka. GMFCS menjelaskan fungsional karakteristik dalam lima level, dari I ke V. Level I menjadi paling ringan pada kelompok umur berikut: hingga 2 tahun, 2 hingga 4 tahun, 4 hingga 6 tahun dan antara 6 hingga 12 tahun. Pada setiap level, deskripsi terpisah disediakan. Anak-anak di level III biasanya memerlukan orthosis dan alat bantu mobilitas, sementara anak-anak di level II tidak memerlukan mobilitas pendampingan perangkat setelah usia 4 tahun. Anak- anak di level III duduk mandiri, memiliki mobilitas lantai independen, dan berjalan dengan bantuan perangkat mobilitas. Pada level IV, mobilitas mandiri sangat terbatas. Anak-anak di level V kurang mandiri bahkan di kontrol postural anti-gravitasi dasar dan membutuhkan daya mobilitas (Palisano et al., 1997).

E. Penelitian yang Relevan

Dalam suatu review literatur dari tahun 1965 hingga 2004 yang dilakukan tahun 2005 didapatkan data epidemiologi berdasarkan tipe dari CP, tipe terbanyak adalah group spastik yaitu antara 72-91%, sedangkan grup non spastik sebanyak 9-28%, dengan pembagian sub grup, spastik quadriplegia 20-43%, spastik hemiplegia 21-40%, dan spastik diplegia 13-25%, kemudian sub grup diskinetik sebanyak 12-14 %, sub grup ataksia sebanyak 4-13%, dan sub grup hipotonia sebanyak 6% (Odding et al., 2006).

(25)

Insidensi CP dari penelitiana yang dilakukan di Eropa memperoleh hasil prevalensi 5 dari 1000 anak memperlihatkan defisit motorik yang sesuai dengan CP; 50% kasus termasuk berat sedangkan 10% termasuk ringan.

Pengertian defisit motorik ringan ialah penderita yang dapat mengurus dirinya sendiri, sedangkan yang tergolong defisit motorik berat ialah penderita yang tidak bisa mengurus diri sendiri memerlukan perawatan khusus (Beckung et al., 2008).

Hasil suatu multi-centre study yang dilakukan oleh Beckung et al, anak CP dengan defisit motorik yang berat akan mengalami kesulitan dalam perkembangan fungsionalnya termasuk melakukan aktifitas bantu diri, sedangkan anak CP dengan defisit motorik yang ringan akan mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kemampuan fungsional yang lebih baik termasuk melakukan aktifitas bantu diri (Beckung et al., 2008).

Berdasarkan longitudinal cohort study yang dilakukan oleh McMaster University Ontario dengan observasi serial selama 4 tahun pada 657 anak CP dengan usia 1 hingga 12 tahun, didapatkan hasil bahwa anak dengan level motorik yang rendah (level I-III) mendapatkan hasil perkembangan motorik yang rendah dengan skor GMFM kurang dari 60%, sedangkan anak dengan level motorik yang tinggi (level IV-V) mendapatkan hasil perkembangan motorik dengan skor GMFM yaitu diatas skor 60 % (Graham et al., 2016).

(26)

Gambar 2.1 Kerangka Pikir

CP merupakan gangguan fungsi otak yang tidak progresif pada masa pertumbuhan dimana sel-sel motorik pada sistem saraf pusat mengalami kerusakan yang mengakibatkan anak mengalami gangguan fungsi gerakan dan postur. Berdasarkan topis lesi, cerebral palsy dikategorikan menjadi 5, yaitu CP spastik, CP atetoid, CP ataksia, CP hipotonia, dan CP campuran.

Gangguan yang dominan pada anak CP adalah gangguan fungsi motorik yang mengakibatkan anak mengalami gangguan fungsi gerakan dan postur, bukan hanya mengalami keterlambatan motorik, tetapi juga bisa mengalami kemunduran dalam fungsi motorik yang memengaruhi kemandirian fungsional anak, sehingga perkembangan motorik merupakan tujuan utama dari penanganan fisioterapi.

(27)

G. Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Penelitian ini adalah penelitian deskripsi melalui tabulasi data untuk melihat tipe CP berdasarkan jenis disabilitasnya kemudian akan dikorelasikan dengan kemandirian fungsional melalui kajian atau pemeriksaan yang dilakukan dengan alat ukur GMFCS-ER. Pengambilan data penelitian dilakukan di Klinik Kitty Centre Jakarta selama periode 5 tahun terakhir (2013-2017).

Anak dengan CP yang memiliki level GMFCS-ER level 1 dan 2 dikategorikan memiliki tingkat kemandirian yang baik. Sedangkan anak dengan CP yang memiki level GMFCS-ER level 3, 4 dan 5 dikategorikan memiliki kemandirian yang kurang sehingga dalam melakukan aktivitas dan mobilitas sehari-hari memerlukan alat bantu dan bantuan caregiver. Anak CP dengan level GMFCS-ER level 3, 4 dan 5 perlu adanya penangan medis dan tenaga kesehatan dalam beraktifitas. Dimana dalam hal ini, fisioterapis dan orang tua lebih banyak berperan dalam melatih kemandirian anak. Latihan yang dilakukan oleh fisioterapi di fasilitas kesehatan dan juga latihan yang dilakukan oleh orangtua anak yang sudah dilatih diharapkan bisa mengaktifkan reorganisasi sel-sel neuron yang

(28)

meningkatkan fungsi gerakan dan perbaikan postur anak CP.

H. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah (1) angka kejadian tipe CP spastik lebih banyak daripada tipe CP atetoid, CP ataksia, CP hipotonia, dan CP campuran, (2) anak CP dengan kemandirian aktivitas fungsional gerak dasar kategori tergantung lebih dominan jumlahnya dibandingkan dengan yang kategori mandiri, dan (3) ada hubungan antara tipe CP spastik dengan kemandirian aktivitas fungsional gerak dasar pada anak.

Referensi

Dokumen terkait

Urbanisasi yang terus terjadi menyebabkan kebutuhan akan lahan terus meningkat, sedangkan ketersediaan lahan semakin terbatas di pusat kota.. Ketidakseimbangan

Gambar lah kesimpu y Process (D ang ingin dua, penerap berikan pand kat kepercay ntuisi, penga mplementasik ak kepada mengambil roses pengam pertimbangan gembangan k (selain

Mereka orang-orang beriman (mukmin) yang kadar kecintaannya kepada Allah sangatlah besar melebihi dari segalanya (asyaddu ḥubbān lillāh), seperti mereka memberikan

Oleh karena itu, Rencana Aksi Bersama ini memaparkan secara garis besar serangkaian kegiatan yang ambisius untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan MOU di sektor kehutanan di tahun

Pengecualian dari instrumen ekuitas AFS, jika, pada periode berikutnya, jumlah kerugian penurunan nilai berkurang dan pengurangan tersebut dapat dikaitkan secara

Pendekatan ini tidak berarti menolak atau mengingkari adanya masalah di dalam masyarakat, namun yang pertama kali dilihat sebagai pekerja sosial adalah hendaknya

tersebut dapat menyulitkan dokter dalam pengambilan data anamnesis, demikian pula dalam pengobatan dan tindak lanjut adanya gangguan kognitif tentu akan mempengaruhi kepatuhan

Menurut ISO/IEC Guide 17025:2005 dan Vocabulary of International Metrology (VIM) adalah serangkaian kegiatan yang membentuk hubungan antara nilai yang ditunjukkan oleh