• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS IDENTIFIKASI RISIKO LUKA KAKI DIABETIK DENGAN PERBEDAAN SUHU MENGGUNAKAN INFRARED THERMOGRAPHY THE IDENTIFICATION OF DIABETIC FOOT WOUND RISK WITH DIFFERENT TEMPERATURE USING INFRARED THERMOGRAPHY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS IDENTIFIKASI RISIKO LUKA KAKI DIABETIK DENGAN PERBEDAAN SUHU MENGGUNAKAN INFRARED THERMOGRAPHY THE IDENTIFICATION OF DIABETIC FOOT WOUND RISK WITH DIFFERENT TEMPERATURE USING INFRARED THERMOGRAPHY"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

IDENTIFIKASI RISIKO LUKA KAKI DIABETIK DENGAN PERBEDAAN SUHU MENGGUNAKAN

INFRARED THERMOGRAPHY

THE IDENTIFICATION OF DIABETIC FOOT WOUND RISK WITH DIFFERENT TEMPERATURE USING

INFRARED THERMOGRAPHY

SERLINA SANDI P4200215407

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

(2)

ii

IDENTIFIKASI RISIKO LUKA KAKI DIABETIK DENGAN PERBEDAAN SUHU MENGGUNAKAN

INFRARED THERMOGRAPHY

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Magister Ilmu Keperawatan Disusun dan diajukan oleh

SERLINA SANDI P4200215407

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2017

(3)

iii

(4)

iv

(5)

v PRAKATA

Puji syukur ke Hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas Berkat dan Bimbingan-Nya sehingga peneliti telah selesai menyelesaikan tesis ini dengan judul “Identifikasi Risiko Luka Kaki Diabetik dengan perbedaan Suhu Menggunakan Infrared Thermography“.Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis selama penyusunan tesis ini. Akan tetapi, penulis banyak mendapatkan kesempatan, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, karenanya pada kesempatan ini penulis meyampaikan limpah terima kasih kepada :

1. Dr. Elly L. Sjattar, S.Kp.,M.Kes, selaku Ketua Program Studi Magister Keperawatan universitas Hasanuddin

2. Saldy Yusuf, S.Kep.,Ns.,MHS.,Ph.D sebagai Pembimbing 1 atas bantuan dan bimbingan yang telah diberikan mulai dari pengembangan minat terhadap permasalahan penelitian, pelaksanaan sampai dengan penulisan tesis ini.

3. dr. Cahyono Kaelan, Ph.D.,Sp.PA (K).,Sp.S sebagai Pembimbing II yang juga banyak membantu dalam proses pembimbingan penelitian ini.

4. Prof. Dr.dr. A. Wardihan Sinrang, MS.,Sp-And, Kusrini S. Kadar, S.Kp.,MN.,Ph.D dan Dr. Yuliana Syam, S.Kep.,Ns., M.Kes, sebagai tim penguji yang telah banyak memberi saran dan kritikan bagi kesempurnaan tesis ini.

(6)

vi

5. Para Kepala Puskesmas dan Penanggung Jawab PROLANIS yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian di Puskesmas yang dipimpin.

6. Pimpinan Yayasan Ratna Miriam yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melanjutkan studi ke jenjang magister.

7. Ketua STIK Stella Maris beserta jajaran staf yang telah banyak memberikan dukungan selama peneliti menempuh pendidikan di program magister keperawatan Universitas Hasanuddin.

8. Teristimewa buat orang tua, suami dan anak tercinta yang selalu setia mendampingi dan memberikan doa sampai saat ini

9. Rekan – rekan mahasiswa Magister Keperawatan angkatan VI dan seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan tesis ini.

Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi sesama dalam upaya peningkatan derajat kesehatan.

Makassar, 15 Agustus 2017

Serlina Sandi

(7)

vii

ABSTRAK

SERLINA SANDI. Identifikasi Risiko Luka Kaki Diabetik dengan Perbedaan Suhu Menggunakan Infrared Thermography (dibimbing oleh Saldy Yusuf dan Cahyono Kaelan).

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi risiko luka kaki diabetik dengan perbedaan suhu menggunakan infrared thermography pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas wilayah Kota Makassar.

Penelitian ini merupakan analitik observasional dengan pendekatan cross-sectionalmultisite study dengan jumlah sampel sebanyak 100 orang yang diperoleh melalui teknik accidental sampling.

Uji Friedman digunakan untuk menganalisis perbedaan suhu kaki pada empat zona setiap kaki pada kelompok status risiko luka kaki diabetik dan kelompok risiko luka kaki diabetik kategori IWGDF dan post hoc Wilcoxon untuk mengidentifikasi zona kaki yang berisiko luka kaki diabetik.

Analisa pola gambar pada kelompok status risiko menggunakan Uji Mann Whitney dan analisa nilai HbA1c (%) pada kelompok status risiko menggunakan Uji One Way Annova.

Hasil penelitian menujukkan bahwa infrared thermography mampu mendeteksi adanya perbedaan suhu kaki antara kelompok status risiko luka kaki diabetik (p=0.002) dan antara kelompok kategori risiko IWGDF (p=

0.018). Zona kaki berisiko luka kaki diabetik Lateral plantar artery (LPA), Medial calcaneal artery (MCA) dan Lateral calcaneal artery (LCA) pada kelompok neuropati dan angiopati sebagai kelompok status risiko dan zona Medial plantar artery (MPA) pada risiko 0 dan risiko 1, zona Lateral plantar artery (LPA) dan Medial calcaneal artery (MCA) pada risiko 1 dan risiko 2B.

Tidak ada perbedaan pola gambar hasil infrared tehrmography pada kelompok status risiko (p=1.000). Tidak ada perbedaan nilai HbA1c(%)pada kelompok status risiko luka kaki diabetik (p=0.575) dan kelompok kategori risiko IWGDF (p=0.812). Dengan demikian, pengukuran suhu kaki menggunakan infrared thermography dengan melihat perbedaan suhu efektif dalam mendeteksi dini risiko luka kaki diabetik.

Katakunci : perbedaan suhu kaki, infrared thermography, risiko luka kaki diabetik.

(8)

viii Absctract

SERLINA SANDI. The Identification of Diabetic Foot Wound Risk With Different Temperature Using Infrared Thermography. (supervised by Saldy Yusuf and Cahyono Kaelan).

This research aims to identify the risk of diabetic foot wounds with temperature differences using infrared thermography in patients with DM type 2 in Public Health Center area of Makassar city.

This observational research was conducted using cross-sectional multisite study approach with 100 samples obtained through accidental sampling technique. The Friedman test was used to analyze the difference in the temperature of the feet in the four zones of each foot in the risk status group and the IWGDF category group. Post hoc Wilcoxon was used to identify leg zones that were at risk diabetic foot wounds. Analyze the drawing patterns in the risk status group using the Mann Whitney test and the HbA1c (%) in the risk status group using One Way Annova test.

The results indicate that infrared thermography was able to detect a difference in leg temperature between the risk status group of leg wound (p=0.002) and IWGDF risk category (p=0.018). The foot zone at risk of diabetic foot injury Lateral plantar artery (LPA), Medial plantar artery (MPA) and Lateral calcaneal artery (LCA) in neuropathy and angiopathy groups as the risk status group and Medial plantar artery (MPA) zone at ris 0 and risk 1, Lateral plantar artery (LPA) zone at risk 1 dan 2B risk.There was no difference in the pattern of infrared thermography images in the risk status groups (p=1.000). There was no difference in HbA1c value (%)in the diabetic foot risk groups (p = 0.575) and the IWGDF risk category (p = 0.812). Thus, the measurement of foot temperature using infrared thermography by looking at the temperature difference is effective in detecting early risk of diabetic foot wound.

Keywords: difference of foot temperature, infrared thermography, risk of diabetic foot ulcer.

(9)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGAJUAN TESIS ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

PRAKATA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ……….. xiv

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTKA A. Tinjauan Literatur ... 8

B. Kerangka Teori ... 30

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 33

A. Kerangka Konseptual ... 33

B. Variabel Penelitian ... 33

C. Defenisi Operasional ... 34

D. Hipotesis Penelitian ... 34

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 37

A. Desain Penelitian ... 37

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

C. Populasi dan Sampel ... 37

D. Teknik Sampling ... 38

E. Intrumen, Metode dan Prosedur pengumpulan Data ... 38

F. Analisa Data ... 41

G. Etika Penelitian ... 42

(10)

x

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

A. Hasil Penelitian ... 45

B. Pembahasan ... 56

C. Keterbatasan penelitian ... 62

BAB VI PENUTUP ... 64

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 66

LAMPIRAN – LAMPIRAN ... 71

(11)

xi

DAFTAR TABEL

Nomor halaman

Tabel 1 Klasifikasi risiko kaki diabetik IWGDF 11 Tabel 2 Defenisi operasional dan kriteria objektif 27 Tabel 3 Karakteristik demografi responden 44

Tabel 4 Status kesehatan responden 45

Tabel 5 Analisis nilai HbA1c pada kelompok status risiko 47 Tabel 6 Analisis nilai HbA1c pada kelompok status risiko 48 Tabel 7 Rata – rata suhu kaki kanan dan kiri pada kelompok

risiko luka kaki diabetik 49

Tabel 8 Perbedaan suhu kaki pada kelompok risiko luka kaki

Diabetik 51

Tabel 9 Analisis perbedaan rata – rata suhu kaki empat zona

antara kelompok status risiko 52

Tabel 10 Analisis perbedaan rata – rata suhu kaki empat zona

Antara kelompok kategori IWGDF 53

Tabel 11 Analisis visualisasi pola gambar pada kelompok

status risiko luka kaki diabetik 54

(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Nomor halaman

Gambar 1 Alur pencarian literatur 9

Gambar 2 Modifikasi kategori risiko luka kaki diabetik 11

Gambar 3 Nonofilament test 17

Gambar 4 ABI Doppler 17

Gambar 5 Zona angiosome pengukuran suhu kaki 22 Gambar 6 Alat pengukur suhu infrared termography jenis

FLIR ONE for Iphone 5s 23

Gambar 7 Kerangka konseptual dalam penelitian 27 Gambar 8 Konseptual Model Self Care Deficit Nursing Theory 28 Gambar 9 Prosedur pengumpulan data penelitian 41

Gambar 10 Flowchart inklusi responden 45

Gambar 11 Visualisasi gambar FLIR ONE 45

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor halaman

1. Lembar inform consent 71

2. Lembar instrument penelitian 72

3. Jadual penelitian 75

4. Izin penelitian 76

5. Surat keterangan telah penelitian 78

6. Hasil olah statistik 79

(14)

xiv

DAFTAR SINGKATAN

IWGDF : International Working Group on the Diabetic Foot

MPA : Medial Plantar Artery LPA : Lateral Plantar Artery MCA : Medial Calcaneal Artery LCA : Lateral Calcaneal Artery LKD : Luka Kaki Diabetik

PAD : Peripheral Arterial Disease AR : Aldosa Reduktase

SDH : Sorbitol Dehydrogenase DAG : Diacyiglycerol

PKC : Protein Kinase C

AGE : Advanced Glycosylated End Product AV : Arterio Venous

VP : Venous Plexus

LDL : Low Density Lipoprotein NO : Nitric Oxide

PDGF : Platelet Derived Growth Factor SCDNT : Self Care Deficit Nursing Theory SCR : Self Care Requisites

BCF’s : Basic Conditioning Factors TSCD : Therapeutic Self Care Demand SCA : Self Care Agency

DCA : Dependent Care Agency SCD : Self Care Defisit

DCD : Dependent Care Defisit

PAOD : Peripheral Arterial Obtruktif Disease

ABI : Ankle Brachial Index

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Luka kaki diabetik (LKD) merupakan luka kronis yang terjadi pada kaki penderita Diabetes Mellitus (DM).DMyang berlangsung lama berdampak pada komplikasi LKD yang paling serius (Ndip, Ebah, & Mbako, 2012). Prevalensi LKD di seluruh dunia 6.3%, prevalensi tertinggi di Amerika 13.0% dan terendah di Ocean 3.0%

sedangkan di Asia 5.5%(Zhang et al., 2017). Prevalensi LKD di Indonesia Barat tahun 2011 sebesar 8.70% (Kemenkes, 2014), sementara di Indonesia Timur sendiri 12% (Yusuf et al., 2016).

Sebagai negara peringkat ke-7 dari 10 negara dengan penyandang diabetes terbesar di seluruh duniaIDF (2015), kemungkinan prevalensi LKD terus berpotensi meningkatmengingat kejadian DM juga terus meningkat setiap tahun di seluruh dunia (Singh, Armstrong, & Lipsky, 2005; Zhang et al., 2017).

Dengan meningkatnya kejadian LKD, maka dampak yang ditimbulkan juga meningkat.Dampak LKD jika tidak ditangani dengan baik akan memberikan risiko amputasi pada penderitanya(Young, McCardle, & Randall, 2008). Dari semua amputasi pada penderita diabetes, 85% didahului oleh LKD yang kemudian memburuk karena infeksi berat atau gangren (International WorkingGroup on The Diabetic Foot, 2011; Lepantalo et al., 2011; Moxey, Gogalniceanu, & Hinchliffe RJ, 2011). Tindakan

(16)

2

amputasi akibat komplikasi LKD diperkirakan terjadi tiap 20 detik (Hinchcliffe, Andros, Apelqvist, 2012) dan kematian setelah amputasi meningkat berkisar dari 50 - 70% dalam lima tahun, hal ini sebanding atau lebih buruk daripada kasus keganasan (Amstrong, Wrobel, & Robbins, 2007; Bharara, Schoess, &

Armstrong, 2012; Hinchcliffe et al., 2012; Young et al., 2008).

Dengan demikian, LKD tidak hanya memberikan kecatatan pada penderitanya akibat amputasi, tetapi juga kematian.

Presentasi kematian akibat amputasi dapat diturunkan dengan mencegah kejadian amputasi melalui intervensi dini (WHO, 2016), yang dilakukan melalui manajemen komprehensif untuk mencegah pembentukan luka baru dan mengurangi kekambuhan luka berupa pengkajian risiko LKD, pemberian terapi dan pencegahan infeksi (Ndip et al., 2012). Pengkajian risiko LKD melalui identifikasi risiko ternyata dapat mencegah tindakan amputasi sekitar 85% (International Working Group on The DiabeticFoot, 2000). Identifikasi risiko LKD dilakukan dengan mengukur suhu kaki dimana pengukuran suhu kaki ini telah menjadi salah satu dari lima (5) elemen untuk pencegahan LKD pertama ataupun berulang pada penderita diabetes (Armstrong et al., 2007;

Lavery et al., 2007; Lavery et al., 2004; Sibbald, 2016). Pengukuran suhu kaki juga menjadi salah satu rekomendasi dari IWGDF 2015 dalam pencegahan LKD (Bus et al., 2015). Selain itu, skrining melalui pengukuran suhu kaki telah menjadi metode efektif untuk

(17)

3

mencegah kejadian LKD (ADA, 2016). Melalui pemantauan suhu kaki, kejadian LKD pada kelompok risiko dapat dikurangi lebih dari 60% (Amstrong et al., 2007; Roback, 2010; Young et al., 2008), oleh karena itu deteksi dini melalui pengukuran suhu kaki bisa mencegah pembentukan luka baru bahkan mengurangi kejadian LKD pada penderita diabetes yang berisiko.

Pengkajian suhu kaki dengan mengukur suhu kaki dapat menggunakan alat infrared thermometery(IR), liquid cristal thermography (LCT), termometer sensor dan kamera infrared (Bus, 2016; Porras et al., 2016; Sibbald, Amstrong, & Mufti, 2015).Hasil penelitian oleh Armstrong et al (2007),menemukan penurunan signifikan kejadian LKD pada kelompok pengukuran suhu kaki dengan menggunakan termometer infrared kulit dibandingkan dengan kelompok standar (4.7% vs 12.2%). Penelitian ini relevan dengan hasil yang ditemukan Lavery et al(2007), dimana kejadian LKD 8.5% pada kelompok pengukuran suhu, persentase ini lebih sedikit dibanding dengan kejadian LKD pada kelompok standar dan kelompok inspeksi kaki atau tanpa pengukuran suhu (29.3%;30.4%).Penelitian lain oleh Nishide et al(2009), menemukan bahwa perbedaan suhu antara kedua kaki dapat dideteksi dengan jelas dengan menggunakan infrared thermography, selain itu infrared thermography mampu mendeteksi perubahan proses inflamasi dalam kalus kaki penderita diabetik yang tidak bisa diidentifikasi dengan teknik pemeriksaan fisik. Staffa et al

(18)

4

(2016),menyarankan penggunaan infrared thermographyuntuk memantau suhu kaki dalam mendeteksi dini timbulnya gangguan iskemik kaki pada pasien dengan peripheral arterial disease (PAD).

Dengan demikian, pengukuran suhu kaki dapat menurunkan kejadian LKD.

Luka kaki diabetic biasanya didahului oleh proses inflamasi(Armstrong et al., 2007; Lavery et al., 2007; Lavery et al., 2004) dan hasil dari proses inflamasi adalah perubahan suhu pada permukaan plantar kaki (Bharara et al., 2012). Oleh karena itu, identifikasi prediksi inflamasi melalui pengkajian suhu dapat digunakan (Amstrong et al., 2007; Amstrong & Lavery, 1997).Selain itu, neuropati dan PAD sebagai penyebab utama dari risiko LKD dimana neuropati menyebabkan gangguan kontrol neurogenik pembuluh darah kecil (small blood vessel)yang berdampak pada peningkatan aliran darah ke kaki dan ini akan meningkatkan perbedaan temperatur antara kedua kaki (Ward, Boulton, Simms, Sandler, & Knight, 1983), sedangkanpada kondisi PAD terjadi penurunan suhu yang disebabkan karena penurunan sirkulasi darah ke area kaki (Staffa et al., 2016).

B. RUMUSAN MASALAH

Pengukuran suhu di kaki telah menjadi metode efektif dalam mencegah bahkan mengurangi kejadian LKD, masalahnya adalah pengukuran suhu kaki pada penelitian sebelumnyahanya memprediksi adanya inflamasi sebagai gejala dini risiko LKD

(19)

5

yangdimanisfestasikan melalui peningkatan suhu kaki, sementarakondisi PAD sebagai salah satu faktor risiko LKD yang menyebabkan penurunan sirkulasi darah ke kaki justru memberikan manifestasi penurunan suhu pada kaki. Selain itu, alat yang digunakan pada penelitian sebelumnya mengharuskan kontak dengan kulit pasiensementara dengan Infrared thermographymerupakan alat non invasive hingga nyaman, aman digunakan oleh pasien, mudah dan cepat dalam menggunakannya sehingga menghemat waktu.

Infrared thermographyselain dapat mengidentifikasi potensi titik panas atau dingin di mana inflamasi atau penurunan sirkulasi darahterjadi, juga dapat memvisualisasikan gambar zona pada plantar sehingga memudahkandalam deteksi zona inflamasi ataupun non inflamasi, mmeudahkan dalam menentukan ukuran, bentuk ataupun kurvatura dari risiko luka sehingga dapat diketahui besar atau luas luka yang akan terbentukdalam satu kali pengukuransuhu (Ward et al., 1983).

Pengukuran suhu kaki penderita diabetes juga belum pernah dilakukan di Puskesmas khususnya di wilayah Makassar sendiri sesuai dengan pengamatan peneliti, selain itu pengukuran suhu di kaki belum menjadi bagian dari pengukuran tanda – tanda vitalpadapenderita diabetes walaupunpengukuran suhu telah menjadi salah satu bagian dari pengukuran tanda – tanda vital, padahal dari beberapa penelitian telah menemukan efektifnya

(20)

6

dilakukan tindakan tersebut dalam mendeteksi risiko LKD.

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka pertanyaan penelitian adalah apakah identifikasi perbedaan suhu kaki dengan menggunakan infrared thermography dapat mendeteksi risiko LKD

?

C. TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan Umum

Untuk menilai dan mendeteksi risikoLKD pada penderita diabetik melalui pengukuran suhu kaki dengan menggunakan infrared thermography.

2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini yaitu :

a. Mengidentifikasi perbedaan suhu kaki antara kaki yang berisiko luka diabetik dengan kaki yang tidak berisiko luka diabetik dengan menggunakan infrared thermography.

b. Mengidentifikasi zonakaki yang berisiko luka diabetik melalui perbedaan suhu mengggunakan infrared thermography.

c. Mengidentifikasi risiko luka kaki diabetik melalui pola gambar zona angiosome dengan menggunakan infrared thermography.

d. Mengidentifikasi perbedaan nilai HbA1cantara kelompok risiko luka kaki diabetik dengan kelompok tidak berisiko risiko luka kaki diabetik.

(21)

7 D. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian dapat menjadi evidence dalam mendeteksi dini risiko LKD pada pasien diabetes melalui pengukuran suhu kaki.

2. Manfaat Aplikatif

Hasil penelitian dapat digunakan untuk pengkajian sebagai bagian dari tahap pertama proses asuhan keperawatan dalam mendeteksi dini risiko LKD pada pasien dengan diabetes melalui pengukuran suhu kaki

E. RUANG LINGKUP PENELITIAN

Ruang lingkup penelitian ini yaitu penderita diabetes yang berisikoLKDdan tidak berisiko LKD di beberapa Puskesmas wilayah Kota Makassar yang diidentifikasi melalui pengukuran suhu pada kedua kaki dengan menggunakan infrared thermography.

(22)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN LITERATUR

Tinjauan literatur dilakukan melalui penelusuran hasil – hasil publikasi ilmiah menggunakan PubMed, ScienceDirect, Cochrane dan Scholary Google. PubMed dengan keyword 1 “skin temperature (title/abstrak)” ditemukan 6543 artikel dan keyword 2

“diabetic foot (MesH Term)” ditemukan 6.945 artikel. Dilakukan penggabungan keyword 1 dan 2 dan terdapat 37 artikel, filtrasi pada 10 tahun terakhir, human dan hasilnya 24 artikel, selanjutnya skrining abstrak dengan hasil akhir 6 artikel. ScienceDirect dengan keyword“skin temperature (abstract,title,keywords) AND “diabetic foot (abstract, title,keywords)”, filter dengan memilih nursing and health professions, tahun 2009 – 2017, ditemukan 1 artikel tapi tidak terkait dengan judul hingga hasil akhirnya 0 artikel. Cochrane dengan keyword“monitoring skin temperature AND diabetic foot ulcers“, filter tahun 2007 – 2017 ditemukan 5 artikel, 2 diantaranya duplikat sehingga hasil akhirnya 3 artikel. Scholary Google dengan keyword “skin temperature AND diabetic foot ulcers”, filter di tahun 2010 – 2017 ditemukan 16.200 artikel, dilihat hanya pada tampilan halaman 1 – 5 dengan hasil 32 artikel, skrining abstrak sehingga hasil akhir 5 artikel. Pencarian berikutnya di PubMed dengan keyword 1 “thermometer (MesH Term)” ditemukan 3.456 artikel dan

(23)

9

Total literatur primer dari keseluruhan databased (N=67)

Keyword “skin temperature (title/abstract)” AND “diabetic foot(MesHTerm), “skin temperature (abstract,title,keywords)”, AND

“diabetic foot (abstract,title,keywords)”, “monitoring skin temperature AND diabetic foot ulcers”, “skin temperature AND diabetic foot ulcers”,

“thermometer (MesHTerm)” AND “diabetic foot ulcer (MesHTerm)”.

PubMed 1 (n=24)

PubMed 2 (n=7)

Science Direct

(n=1)

Scholary Google

(n=32)

Cochrane (n=3)

Skrining judul dan abstrak (n=51)

Literatur setelah skrining (n=17) Eksklusi n=3 Sistematik review n=1 Review artikel n =1

Duplikasi(n=5)

PubMed n=14

Total inklusi (n=14)PubM

ed n=14 keyword 2 “diabetic foot ulcer (MesH Term)” ditemukan 6.979 artikel dan dilakukan penggabungan keyword 1 dan 2 sehingga ditemukan 7 artikel, skrining abstrak sehingga dieksklusi 3 artikel dan hasil akhirnya 4 artikel. Keseluruhan metode pencarian di atas merupakan teknik pencarian literatur secara primer.Pencarian literatur sekunder melalui PubMed dengan hasil 14 artikel. Alur pencarian literatur terangkum dalam gambar 1 di bawah ini :

Gambar 1. Alur pencarian literatur primer dan sekuder Full text (n=14)

Total inklusi(n=9)

Total literatur sekunder (N=14)

Keyword “epidemiologi diabetic foot ulcer”,

“management of diabetic foot ulcer”, infraredthermography (Title/Abstract)” AND “ diabetic foot (MesHTerm).”patofisiology foot ulcer”, guideline management foot ulcer”, patways foot ulcer”.

(24)

10 1. Luka Kaki Diabetik (LKD)

Luka kaki diabetik (LKD) adalah luka kronis yang terjadi pada kaki penderita diabetes mellitus yang disebabkan adanya gangguan saraf, gangguan pembuluh darah dan adanya infeksi. LKD akan berdampak pada tindakan amputasi, jika tanpa penanganan awal dan intervensi yang tepat (International Working Group on The Diabetic Foot, 2011; Moxey, Gogalniceanu, & Hinchliffe R.J, 2011; Young, McCardle, & Randall, 2008).

LKD sebagai salah satu komplikasi dari DM disebabkan oleh neuropati dan angiopati (Chadwick, Edmonds, McCardle,

& Amstrong, 2013). Meski demikian ada beberapa faktor risiko lainnya seperti demografi (usia dan tingkat pendidikan), deformitas kaki, riwayat luka kaki, riwayat amputasi, lamanya menderita DM, kontrol HbA1cyang buruk, merokok, perawatan kesehatan dan edukasi serta luka berulang(Bus et al., 2015;

Lavery et al., 2004; Levin & O’Neal, 2008). International Working on the Diabetic Foot (IWGDF) mengklasifikasikan risiko kaki diabetik ke dalam lima klasifikasi seperti pada tabel 1 di bawah ini :

Klasifikasi Risiko Kaki Diabetik IWGDF Risiko 0 Tanpa neuropati dan PAOD

Risiko 1 Dengan neuropati

Risiko 2A Dengan neuropati dan deformitas kaki

Risiko 2B Neuropati, PAOD, dengan atau tanpa deformitas

(25)

11 Risiko 3A Riwayat luka Risiko 3B Riwayat amputasi

Tabel 1.Klasifikasi risiko kaki diabetik IWGDF (Bus et al., 2015 ;Lavery et al., 2008)

Klasifikasi risiko kaki diabetik di atas telah dimodifikasi seperti pada gambar 2 di bawah ini :

Gambar 2.Modifikasi kategori risiko kaki diabetik (Coutersy :Griya Afiyat, 2017).

2. Patomekanisme Luka Kaki Diabetik

Hiperglikemia yang berlangsung lama berdampak pada komplikasi jangka panjang dimana dapat menyebabkan kerusakan pada berbagai sistem tubuh terutama saraf dan pembuluh darah.Kerusakan saraf perifer (neuropati) terutama di kaki akibat komplikasi mikrovaskuler dan kerusakan pembuluh darah (angiopati) akibat dari komplikasi makrovaskuler. Kondisi neuropati dan angiopati menjadi penyebab utama terjadinya LKD atau luka kaki diabetik (Chadwick, Edmonds, McCardle, &

Amstrong, 2013). Presentasi kejadian LKD 90% disebabkan

(26)

12

oleh neuropati, sisanya karena iskemik akibat angiopati (Yazdanpanah, Nasiri, & Adarvishi, 2015).

Patomekanisme terjadinya neuropati diabetes disebabkan oleh beberapa hal yaitu abnormal vasa nervorum (pembuluh darah kecil yang menyediakan pasokan darah ke saraf perifer) dan abnormal metabolisme lemak dimana keduanya menyebabkan iskemik pada saraf yang menyebabkan penurunan fungsi saraf.Selain itu, glukosa yang tidak terkontrol akibat hiperglikemia menyebabkan aktivitas jalur polyol meningkat sehingga terjadi konversi glukosa menjadi sorbitol melalui reduktase aldosa (AR), akibatnya konsentrasi sorbitol meningkat. Pada kondisi tersebut, terjadi kompensasi sorbitol dengan bantuan enzim sorbitol dehidydrogenase (SDH) untuk mencapai kadar rendah, akan tetapi kompensasi tersebut berjalan lambat sehingga sorbitol menumpuk dalam sel.

Penumpukan sorbitol dalam sel menyebabkan osmolalitas dalam sel meningkat. Untuk menjaga keseimbangan osmolalitas, maka myo-nositol menurun dan fosfatidilinositol menurun menyebabkan produksi diacyiglycerol (DAG) menurun, akibatnya aktivitas diacylglycerol–protein kinase C (PKC) menurun dalam mempertahankan fungsinya sehingga fungsi saraf menurun yang menyebabkan neuropati diabetes (Levin & O’Neal, 2008).

(27)

13

Neuropati juga disebabkan karena peningkatan advanced glycosylated end product (AGE) akibat glukosa darah tidak terkontrol, menyebabkan molekul kolagen mengeraskan ruangan yang sempit pada ekstremitas superior dan inferior (carpal, cubital, dan tarsal tunnel)sehingga elastisitas menurun menyebabkan double crush syndrome yang dapat menimbulkan kelainan fungsi saraf motorik, sensorik dan autonomik, terjadi iskemik saraf dan berdampak pada penurunan fungsi saraf atau neuropati. Menurut Papanas, Papatheodorus, Papazoglou, Kotsiu, & Maltezos, (2010);

Papanas, Papatheodorus, Papazoglou, Monastiriotis, &

Maltezos, (2009), pasien DM tipe 2 dengan neuropati signifikan memiliki suhu kaki lebih tinggi dibanding pasien DM tanpa neuropati. Selain itu, peningkatan AGE menyebabkan terjadinya konversi glukosa menjadi sorbitol melalui reduktase aldosa dan mengubah sorbitol menjadi fruktosa sehingga terjadi akumulasi fruktosa dan sorbitol yang menyebabkan osmolaritas intraseluler meningkat, terjadi edema saraf selanjutnya iskemik saraf yang menyebabkan penurunan fungsi saraf dan terjadi neuropati.

Neuropati dibedakan atas neuropati motorik, neuropati sensori dan neuropati autonomik. Pada neuropati motorik terjadi disfungsi kontrol motorik menyebabkan atropi otot dan ketidakseimbangan kelompok otot di kaki sehingga terjadi

(28)

14

deviasi koordinasi dan postural menyebabkan kelainan bentuk kaki (deformity foot) seperti claw foot, hammer toes, hallux valgus, pes planus, charchot ataupun maserasi interdigiti.

Kelainanan bentuk kaki tersebut menyebabkan peningkatan tekanan pada plantar kaki ataupun jari kaki dan ini meningkatkan risiko terbentuknya kalus. Kalus dapat mengalami inflamasi, seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Nishide et al (2009), terdapat 5 (10.0%) dari 50 kalus pada kelompok DM, positif mengalami inflamasi sedangkan pada kelompok non DM dengan 65 kalus (100%) tidak mengalami inflamasi. Peningkatan risiko inflamasi ini akan meningkatkan risiko kejadian LKD.

Risiko LKD juga terjadi pada neuropati sensori dimana terjadi penurunan sensasi pelindung pada kaki sehingga penderita tidak menyadari akan adanya sensasi nyeri atau sakit ketika mengalami trauma atau infeksi.

Menurut(Levin & O’Neal, 2008), pada neuropati autonomik terjadi disfungsi sudomotor dan perubahan aliran darah di telapak kaki dimana keduanya menyebabkan kulit kaki menjadi kering dan retak – retak. Penyebab lain kulit kaki menjadi kering dan retak adalah dilatasi arteriovenous (AV) shunts pada telapak kaki. AVshuntsdiatur oleh kontrol saraf simpatis dan terhubung dengan arteri- arteri kecil dan arteriola sampai pada vena dan venula yang berasal dari venous

(29)

15

plexus(VP). Normalnya, saraf simpatis berfungsi menutup AV shunt ini sehingga darah mengalir ke permukaan kulit melalui kapiler – kapiler yang membawa zat – zat nutrisi.

AV shunts digunakan tubuh dalammelindungi individu dari cuaca sangat dingin. Saat cuaca sangat dingin, AV shunt terbuka dan mengalihkan darah menjauh dari permukaan kulitkembali ke pusat bagian dari tubuh. Saluran ini terletak di telinga, yang jari-jari, ujung hidung, dan telapak kaki. Jika saraf ke shunttersebut rusak akibat neuropati otonom, maka shunt tersebut tidak konsisten menutup atau akan terbuka terus, akibatnya darah mengalir melalui shunt ke permukaan kulit, menyebabkan penurunan integritas kulit dan kulit menjadi kering.Hal ini juga yang menyebabkan kondisi dingin pada kaki.Kombinasi antara lubrikasi alami yang kurang dan penurunan aliran darah di telapak kaki menyebabkan kulit kering, retak, membentuk fissura dan menjadi keras sehingga meningkatkan risiko luka pada kaki, infeksi,dan amputasi.

Menurut Balbinot, Canani, Robinson, Achaval, &

Zaro(2012), pada penderita diabetes, aktivitas pembuluh darah ekstremitas bawah dipengaruhi oleh neuropati otonomik.

Karena tone vasomotor diatur oleh serabut simpatik neurovegetatif,maka disfungsi serabut simpatik neurovegetatif,dikaitkan dengan pola suhu yang bervariasi pada kaki. Degenerasi saraf simpatik neurovegetatif akibat

(30)

16

kerusakan neuropati otonomik yang mengatur kapiler dan aliran AV shunts menyebabkan peningkatan aliran shunts ke kaki.

Oleh tone simpatik neurovegetatif, pirau ini terbatas dalam membuka sehingga terjadi deviasi aliran darah dari kulit.

Selain neuropati, angiopati juga merupakan salah satu faktor risiko LKD. Hiperglikemia menyebabkan kerusakan dan disfungsi pembuluh darah yang menyebabkan hal berikut (Silbernagl & Lang, 2006) :

a. Peningkatan ambilan lemak LDL di dinding pembuluh darah dan oksidasi LDL dimana terjadi perubahan ikatan LDL karena LDL tidak dikenali oleh reseptor ApoB100 melainkan dikenali oleh reseptor scavenger yang sebagian besar dalam makrofag. Makrofag kemudian memfagositosis LDL dan berubah menjadi sela busa yang menetap dimana sel busa ini akan membentuk ekstrasel (kolagen, elastin dan proteoglikogen) menyebabkan peningkatan pembentukan aterom atau plak (atherosklerosis vaskuler perifer), akibatnya perfusi menurun ke esktremitas bawah, selanjutnya iskemik, nekrotik dan gangren.

b. Adhesi monosit dan migrasi monosit menyebabkan monosit masuk ke intima, diubah menjadi makrofag dan terjadi pelepasan radikal O2, NO + O2‾ →ONOO‾ sehingga aktifitas nitric oxide (NO) di endotel menurun dan ini akan menghambat adhesi trombosit dan monosit di endotel dan

(31)

17

efek proliferasi serta vasodilatasi pada otot pembuluh darah menyebabkan spasme pada pembuluh darah sehingga aliran darah menurun dan selanjutnya terjadi iskemik, nekrotik dan gangren.

c. Agregasi trombosit memicu perpindahan sel otot polos dari media ke dalam intima. Di dalam intima, sel tersebut akan distimulasi untuk berproliferasi oleh PDGF dan faktor pertumbuhan lainnya (makrofag, trombosit, endotel yang rusak dan sel otot polos sendiri). Ini akan diubah menjadi sel busa yang akhirnya meningkatkan pembentukan aterom (plak), akibatnya perfusi menurun ke esktremitas bawah, selanjutnya terjadi iskemik, nekrotik dan gangren.

Dalam mendeteksi adanya neuropati ataupun angiopati dapat dilakukan melalui skrining neuropati dan angiopati sebagai faktor risiko utama dari risiko LKD. Skrining tersbut menggunakan monofilamenttest10 gr Semmes Weinsteinsebagai golden standard untuk mendeteksi neuropati (Slater, Koren, Ramot, Buchs, & Rapoport, 2014) sedangkan deteksi angiopati dengan menggunakan Ankle brachial index atau ABI (Aerden, et al., 2011).

Gambar 3.Monofilament test Gambar 4. ABI (Hadeco,

(Levin & O’Neal, 2008) (Japan,coutersy:GriyaAfiat;Kartika, 2017)

(32)

18

3. Sistem Regulasi Temperatur Di Kaki

Salah satu bagian tubuh manusia yang memiliki peranan penting dalam menyokong tubuh saat berdiri maupun berjalan adalah plantar kaki. Jaringan kulit kaki biasanya distimulasi oleh reseptor sensorik. Reseptor sensorik akan mendeteksi stimulus berupasentuhan, tekanan, termal atau sensitivitas sel-sel saraf.

Konsentrasi reseptor sensorik relatiftinggi di daerah telapak kaki.

Reseptor termal terletak di dekat permukaan kulit, sedangkan reseptor mekanik kulit memiliki struktur yang lebih kompleks dan dibedakan menurut responnya yaitu perlahan- lahan beradaptasi, yang sensitif terhadap intensitas tekanan;

cepat beradaptasi dan sangat cepat beradaptasi.Kedua jenis reseptor beradaptasi dengan cepat menanggapi perubahan dinamis dalam tekanan plantar.Temperatur kulit akan mengubah reseptor termal maupun reseptor sentuhan.

Reseptor sensorik memiliki distribusi sensitivitas sepanjang permukaan kulit.

Reseptor dingin berada di kedalaman kulit 0.16 mm di ujung saraf bermyelin.Reseptor panas terletak di kedalaman 0.45 mm di ujung saraf tidak bermyelin dan lajunya bertambah sebanding dengan kenaikan temperatur.Kedua jenis reseptor termal ini berhubungan dengan sistem saraf pusat untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan, perubahan vaskular,

(33)

19

perubahan tulang, infeksi atau gabungan dari faktor-faktor tersebut (Bharara, 2006).

4. Hubungan Luka Kaki Diabetik Dengan Suhu Kaki Penderita Luka Diabetik

Luka kaki diabetik biasanya didahului oleh proses inflamasi (Armstrong et al., 2007; Lavery et al., 2007; Lavery et al., 2004), dan hasil dari inflamasi adalah peningkatan suhu pada permukaan plantar kaki (Bharara et al., 2012). Inflamasi lokal yang terjadi pada kaki dapat diamati melalui perbedaan suhu antara site yang sama pada kaki kontralateral dimana perbedaan suhu > 2°C di site yang sama pada kontralateral dikatakan berisiko mengalami LKD (Armstrong, 1997;

Armstrong et al., 2007; Bharara et al., 2012; Lavery et al., 2004;

Lavery et al., 2007; Sibbald, Mufti, & Amstrong, 2015; Skafjeld, Iversen, Holme, Hvaal, & Kilhovd, 2015). Menurut Armstrong et al(2007), kaki kontralateral digunakan sebagai kelompok kontrol karena kedua kaki secara bersama mengalami tekanan yang berulang-ulang selama berjalan dankarenanyamewakili sumber perbandingan. Selain itu, proses diabetik neuropati melibatkanbeberapa faktor yang mempengaruhi perfusi ekstremitas bawah danpengaturan suhu, sehingga sulit untuk mengidentifikasi suhu kulit kaki yang mutlak yang bisadianggap

(34)

20

normal atau jika hanya menggunakan salah satu kaki sebagai referensi secara umum.

Penelitian oleh Lavery et al(2004), menemukan hasil kejadian LKD lebih sedikit pada kelompok yang melakukan pemantauan suhu kaki menggunakan handheld infraredthermometer kulit dibanding pada kelompok standar yang tanpa pemantauan suhu kaki (2% vs 20%). Ini relevan dengan hasil penelitian selanjutnya oleh Lavery et al(2007),yang menemukan kejadian LKD pada kelompok yang melakukan pemantauan suhu kaki menggunakan digital infrared thermometer juga sedikit dibandingkan dua kelompok lainnya (kelompok pemantauan suhu kaki 8.5% vs kelompok standar 29.3% ; kelompok pemantauan suhu kaki 8.5% vs kelompok inspeksi kaki 30.4 %). Hal yang sama pula ditemukan oleh Armstrong et al(2007), yang menjelaskan bahwa pada kelompok kontrol yang tanpa pengukuran suhu kaki mengalami luka kaki lebih banyak dibandingkan pada kelompok pengukuran suhu kaki (12.2 % vs 4.7 %). Tiga penelitian di atas menunjukkan bahwa pengukuran suhu plantar kaki di rumah lebih efektif untuk mencegah risiko LKD pada penderita diabetes.

Peningkatan suhu pada neuropati Papanas et al (2009), ataupun penurunan suhu pada PAD akibat penurunan sirkulasi darah ke kaki bisa diamati dengan menggunakan infrared

(35)

21

thermography(Staffa et al., 2016). Hasil penelitian oleh Bagavathiappan et al (2010), pada pasien dengan neuropati memiliki suhu kaki lebih tinggi (32 - 35°C) dibandingkan dengan pasien tanpa neuropati (27 - 30°C). Penelitian ini relevan dengan yang dilakukan oleh Papanas et al (2010), dimana 51 pasien yang dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok A tanpa disfungsi sudomotor dan kelompok B disertai disfungsi sudomotor ditemukan hasil pada kaki kanan kelompok A vs B, 30.62 ± 1.13°C vs 32.12 ± 1.06°C, p < .001 dan kaki kiri, kelompok A vs kelompok B, 30.65 ± 1.06°C vs 32.19 ± 1.10°C, p < .001 yang berarti bahwa pada kedua kaki kelompok B suhu secara signifikan lebih tinggi dibanding pada kelompok A, dengan kata lain suhu kaki lebih tinggi pada penderita DM dengan neuropati dibandingkan tanpa neuropati dimana disfungsi sudomotor sendiri disebabkan karena kondisi neuropati, sedangkan pada PAD terjadi penurunan suhu disebabkan oleh sirkulasi darah menurun pada kaki (Staffa et al., 2016). Penurunan sirkulasi darah ke kaki akibat penyakit PAD menyebabkan gangguan iskemik pada kaki dan untuk mendeteksi dini timbulnya gangguan iskemik tersebut dapat dilakukan dengan mengukur suhu kaki menggunakan alat Infrared thermography(Nishide et al., 2009). Infrared thermography yang digunakan adalah jenis FLIR ONE for iphone 5s.Alat ini telah diuji secara validitas dan

(36)

22

reliabilitas.Selanjutnya pengukuran suhu kaki dilakukan di kedua plantar pada zona angiosome.Zona angiosome di kaki merupakan area yang memiliki suplai darah dari satu arteri(Nagase et al., 2011) dalam (Barreto et al., 2014). Area ini penting karena salah satu penyebab utama luka kaki diabetik disebabkan karena disfungsi suplai darah ke area tersebut(Bagavathiappan et al., 2010). Zone angiosome tersebut adalah medial plantar artery (MPA), lateral plantar artery (LPA), medial calcaneal artery (MCA) dan lateral calcaneal artery (LCA)seperti pada gambar 5 di bawah ini :

Gambar 5. Zona Angiosome (Barreto et al., 2014; Contreras, Barreto, Magdaleno, Bernal, & Robles, 2017; Nagase et al., 2011).(Barreto et al., 2014)(Barreto et al., 2014)

Dalam melakukan pengukuran suhu kaki, prosedur yang akan dilakukan adalah sebagai berikut Netten et al (2014);

Nishide et al (2009) :

- Subjek yang diteliti diberikan kesempatan istirahat selama 10 – 15 menit sebelum pengukuran suhu dilakukan

- Lepaskan sepatu, sandal, kaos kaki dan bebaskan area plantar kaki dari celana/rok

(37)

23

- Subjek dalam kondisi duduk atau berbaring (supine) dengan kaki posisi lurus ke depan

- Setelah semuanya stabil, lakukan pengukuran suhu pada empat zona angiosome di kedua kaki (kiri dan kanan) yaitu yaitu Medial plantar artery (MPA), Lateral plantar artery (LPA), Medial Calcaneal artery (MCA) dan Lateral calcaneal artery (LCA)dengan menggunakan alat infrared thermography jenis FLIR ONE for iPhone 5s.

Gambar 6.Infrared thermography jenis FLIR ONE foriPhone 5s (Courtesy : Griya Afiat Makassar, 2017).

5. Teori Defisit Self Care

Dengan melakukan skrining untuk mendeteksi dini risiko luka kaki diabetik melalui pengukuran suhu kaki pada pasien dapat mengurangi risiko LKD.Ini dapat dikategorikan sebagai bagian dari perawatan diri pasien dalam mencegah secara dini kejadian luka kaki diabetik. Dorothea E. Orem menyajikan Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT) menjadi tiga teori umum

(38)

24

yang memberikan gambaran lengkap keperawatan, yaitu (Alligood, 2014) :

a. Teori self care

Teori self care menggambarkan bagaimana seorang individu melakukan perawatan diri yang terdiri dari :

1) Self care (perawatan diri)

Perawatan diri merupakan serangkaian tindakan individu yang dilakukan secara sadar bertujuan mempertahankan hidup, memfungsikan kesehatan, melanjutkan pengembangan pribadan dan kesejahteraan.

2) Self care agency ( agen perawatan diri)

Agen perawatan diri merupakan kemampuan kompleks individu untuk mengetahui dan memenuhi kebutuhannya yang ditujukan untuk melakukan fungsi dan perkembangan tubuh.

3) Therapeutic self care demand

Kebutuhan perawatan diri terapeutik merupakan tindakan perawatan diri secara total yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri individu melalui cara tertentu dan mengelola faktor untuk memenuhi kecukupan udara, air dan makan.

(39)

25

Konsep lain yang berhubungan dengan teori self care adalah self care requisite. Orem mengidentifikasikan tiga katagori self carerequisite (Alligood, 2014) :

1) Syarat perawatan diri universal (Universal self care requisite) meliputi: pemeliharaan asupan udara, makanan dan air yang cukup, penyediaan perawatan terkait eliminasi, pemeliharaan keseimbangan antara aktivitas dan istirahat, pemeliharaan keseimbangan dan interaksi sosial, pencegahan bahaya bagi kehidupan manusia, serta promosi fungsi dan perkembangan manusiadalam kelompok sosial.

2) Syarat kebutuhan perkembangan diri (Development self care requisite) terdiri dari penyediaan kondisi yang mempromosikan perkembangan, keterlibatan dan pengembangan diri, serta pencegahan dan penanggulangan efek dari kondisi manusia yang berdampak negatif pada perkembangan manusia.

3) Syarat kebutuhan perawatan diri pada kondisi penyimpangan kesehatan (Health Deviation Self Care Requisite) berhubungan dengan akibat terjadinya perubahan struktur normal dan kerusakan integritas individu untuk melakukan self care akibat suatu penyakit.

(40)

26 b. Teori self care deficit

Defisit perawatan diri merupakan hubungan antara tuntutan perawatan diri teraupetik individual dan kekuatan agen perawatan dirinya dimana kemampuan perawatan diri yang telah dikembangkan di dalam agen perawatan diri tidak bisa dioperasikan.Keterbatasan ini menyebabkan mereka sepenuhnya atau sebagian tidak tahu syarat yang adadalam mengatur perawatan untuk dirinya sendiri. Terdapat 10 faktor dasar yang mempengaruhi kondisi self care individu, yaitu (1) usia, (2) jenis kelamin, (3) kondisi perkembangan, (4) kondisi kesehatan, (5) pola hidup, (6) faktor sistem perawatan kesehatan, (7) faktor sistem keluarga, (8) faktor sosial budaya, (9) ketersediaan sumber daya alam, dan (10) faktor lingkungan eksternal. Orem mengidentifikasi lima metode untuk membantu menangani self care deficit diantaranya yaitu : melakukan sesuatu untuk yang lain, memberikan dukungan fisik atau psikologi, menyediakan dan memelihara lingkungan yang mendukung pengembangan pribadi, dan memberikan edukasi.

Agen keperawatan terdiri dari kemampuan individu yang dididik menjadi perawat untuk mewakili diri mereka sebagai perawat dan dalam hubungna interpersonal untuk bertindak, mengetahui, dan membantu orang lain dalam memenuhi

(41)

27

tuntunan perawatan diri yang teraupetik serta mengatur dan mengembangkan agen perawatan diri mereka.

Desain keperawatan dilakukan sebelum maupun setelah diagnosa keperawatan ditegakkan hingga memungkinkan perawat untuk melakukan penilaian tentang kondisi individu saat ini dengan tujuan memberikan panduan untuk mencapai hasil yang diharapkan dalam prosedur keperawatan.

Gambar 7. Kerangka konseptual keperawatan (Secrest, 2008) c. Teori Nursing system

Menggambarkan kebutuhan klien/individu yang di dasari pada teori Orem tentang pemenuhan kebutuhan sendiri dan kemampuan pasien dalam melakukan perawatan mandiri.Bentuk teori ditunjukkan pada model yang dikembangkan oleh orem dan kawan-kawan.

(42)

28

1) Sistem Bantuan penuh (Wholly Compensatory System) Tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien yang

tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik, kondisi ini ditemukan pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran atau koma dan menggunakan alat bantu khusus untuk bertahan hidup serta tidak mampu mengambil keputusan yang tepat bagi dirinya.

2) Sistem Bantuan Sebagian (Partially Compensatory System)

Tindakan keperawatan sebagian dapat dilakukan oleh individu dan sebagian dilakukan oleh perawat.Perawat membantu dalam memenuhi kebutuhan self care akibat keterbatasan gerak yang dialami oleh individu.

3) Sistem Dukungan Pendidikan (Supportif-Education System)

Sistem bantuan yang diberikan pada individu yang membutuhkan edukasi dalam rangka mencapai derajat kesehatan setinggi-tingginya

Gambar 8. Konseptual model Self Care Deficit Nursing Theory(SCDNT) Orem (Biggs, 2005).

(43)

29

Biggs (2005), Universal, Developmental, dan Health-Deviation Self-Care Requisites (SCR) merupakan faktor kondisi dasar (Basic Conditioning Factors (BCF's)) untuk menentukan pasien mendapatkan terapi perawatan diri (Therapeutic Self-Care Demand (TSCD)). Ketika kita membandingkan Self-Care Agency (SCA) atau yang Dependent-Care Agency (DCA) dengan TSCD, kita menemukan apakah orang tersebut tidak memiliki Self- CareDefisit (SCD) atau Dependent-Care Defisit (DCD) karena situasi kesehatan pribadi. SCD atau DCD adalah apa yang melegitimasi penyesuaian kebutuhan. Jika ada SCD atau DCD karena orang tersebut mengalami gangguan kesehatan, maka Sistem Keperawatan dibutuhkan dan dirancang.Sistem Keperawatan yang diresepkan sebagai sepenuhnya kompensasi, kompensasi sebagian, atau suportif-edukatif. Sistem Keperawatan yang dirancang diimplementasikan dengan lima cara yaitu metode menolong, dan selanjutnya ditentukan oleh tindakan keperawatan yang akan diambil dalam metode umum untuk menolong individu.

Sistem keperawatan yang dirancang dievaluasi dalam hal pengembangan kembali kemampuan untuk SCA atau DCA.Penilaian ulang, replanning atau mendesain ulang hasil dari evaluasi ini dalam pengelolaan asuhan keperawatan. Asuhan keperawatan di Komunitas cenderung berfokus pada kebutuhan

(44)

30

pasien akan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan pasien sebagai salah satu upaya tindakan promotif dan preventif.

(45)

31 Hiperglikemia

Neuropati

Neuropati motor

Neuropati sensori

Neuropati Otonomik

Deformitas

kaki Penurunan

sensasi pelindung

Dilatasi AV shunt sehingga terjadi pintasan darah dari kapiler dermal papillae loops (kapiler

nutrisi), menurunkan tekanan oksigen di kulit, meningkatkan tekanan oksigen di vena

Tekanan pada

plantar meningkat Suhu kaki meningkat

Diidentifikasi melalui pengukuran suhu menggunakan Infrared Thermography

- Artrofi pada kaki

- Palpasi dingin pada kaki - Pucat dan kuku menebal

Angiopati PAOD

Iskemik Denyut nadi arteri dorsalis

pedis, arteri tibialis dan popliteal menurun

Nekrosis

Gangren

Risiko infeksi Suhu kaki lebih dingin

Disfungsi kontrol

saraf simpatik menurun

Risiko LKD B. KERANGKA TEORI

(46)

32

Sumber : Armstrong, Lipsky, Polis & Ambramsong, (2006); Alligood, (2014); Bharara , Schoess, & Armstrong. (2012); Chadwick , Edmonds, McCardle, & Amstrong.(2013); Cheer, Shearman, &

Jude. (2009); Levin & O’Neal, 2008; Mendes & Neves, (2012); Nishide et al, 2009; Staffa et al., 2016; Silbernagl & Lang, 2006; ;Yazdanpanah, Nasiri, & Adarvishi, 2015.

Sistem dukungan pendidikan (suppotif education system) dengan mengajarkan pemantauan suhu kaki melalui teknik

pengukuran suhu.

Universal Self Care Requisites Pencegahan kejadian LKD dengan cara deteksi dini risiko LKD melalui

pengukuran suhu kaki

Development Self Care Requisites

-

Healt Deviation Self Care Requisites

Penyakit DM tipe 2

Basic conditioning factors Therapeutic Self care demand Self care agency

Self care deficit

Nursing system

Referensi

Dokumen terkait

Widya Wasityastuti: Imunosenesens dan Kerentanan Populasi Usia Lanjut Terhadap Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). J Respir

Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kabupaten Cilacap membuat beberapa program dalam upaya pengentasan kemiskinan seperti : a) memberi bantuan usaha produktif dalam

Pengendali an dengan menggunakan PB 2% sampat dengan 6% mengalami osilasi seda ngkan pengendalian dengan PB 7% sampai dengan 10% mengalami osthtst yang kemudian

• Uji coba yang dilakukan menggunakan peta tiga dimensi interaktif yang dibuat pada tugas akhir ini yang mencakup Perpustakaan Pusat ITS. • Pengambilan data FPS dilakukan dengan cara

Perusahaan mencari rekan virtual yang tidak hanya dapat memberi mereka perangkat kebutuhan untuk ekspansi online, tetapi yang lebih penting lagi adalah dapat juga

Dampak positif kenaikan pendapatan masyarakat dapat dikonfirmasi dari hasil Survei Konsumen Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Utara pada April 2012 yang

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB (PBA) FAKULTAS TARBIYAH INSURI PONOROGO.. SEMESTER GENAP

Hasil penelitian diharapkan bahwa hasil dari pengukuran keluaran beberapa pesawat sinar-X dapat sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (PERKA