16 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Pengawasan Perbankan
Kegiatan perbankan merupakan kegiatan yang berkaitan dengan dana dari masyarakat. Dana tersebut diserahkan kepada lembaga bank, karena masyarakat menaruh kepercayaannya. Karena itulah setiap pelaku di bidang perbankan wajib menjaga kepercayaan masyarakat. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat tersebut, perbankan wajib menyelenggarakan tata kelola usahanya dengan prinsip kehati-hatian, sehingga tingkat kesehatannya terpelihara. Dalam rangka memelihara kepercayaan dari masyarakat maka diperlukan suatu pengawasan untuk memastikan agar kegiatan bank berjalan sebagaimana mestinya. Tujuan pengawasan perbankan secara fundamental antara lain :
a. Berkaitan dengan kepercayaan masyarakat terhadap integritas sistem perbankan dan individual bank. Kepercayaan tersebut penting karena sumber dana, tujuan dasar bank adalah memberikan jasa keuangan.
Kehadiran bank yang tidak sehat dapat mengancam integritas sistem perbankan harus ditutup melalui eveluasi pemeriksaan terhadap kecukupan modal, kualitas aset, manajemen, posisi likuiditas dan kemampuan pendapatan.
b. Pemeriksaan langsung secara berkala merupakan langkah yang terbaik untuk menentukan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang merupakan prioritas utama bagi pengawas.
c. Proses pemeriksaan dapat membantu mencegah masalah yang tidak dapat diperbaiki dan yang semakin memburuk, sehingga biaya penye- lamatan atau pembayaran terhadap terhadap nasabah penyimpan.
d. Pemeriksaan dapat memberikan masukan kepada pengawas tentang bentuk, tingkat keseriusan dan akibat dari suatu masalah bagi bank dan memberikan fakta dasar bagi langkah-langkah perbaikan yang tepat,
rekomendasi dan perintah. Dengan demikian pemeriksaan memainkan peranan kunci dalam proses pengawasan itu sendiri. (Zulkarnain Sitompul, 2005 :10).
Pengawasan perbankan dilakukan dimulai dari pemberian ijin sampai dengan pencabutan ijin suatu bank. Pada prinsipnya pengawasan perbankan terbagi dalam dua jenis yaitu :
a. Macro-economic supervision adalah pengawasan dalam rangka mendorong bank-bank untuk ikut menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan moneter. Tujuan yang ingin dicapai oleh macro-prudential supervision adalah mengarahkan dan mendorong bank serta sekaligus mengawasinya, agar dapat berperan dalam berbagai program pencapaian sasaran ekonomi makro.
b. Prudential supervision adalah pengawasan yang mendorong bank secara individual tetap sehat serta mampu memelihara kepentingan masyarakat secara baik. Tujuan prudential supervision adalah mengupayakan agar setiap bank secara individual sehat dan aman, serta seluruh industri perbankan sehat, sehingga kepercayaan masyarakat dapat terjaga, (Zulkarnain Sitompul, 2002 : 220-221).
Adapun tahapan proses dari pengawasan perbankan adalah sebagai berikut:
a. Dalam memahami bank pengawas dituntut untuk memahami sepenuhnya mengenai faktor-faktor internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi kinerja dan profil risiko bank.
b. Menilai risiko dan tingkat kesehatan bank, dimana pengawas perbabkan setiap triwulan menetapkan rating bank dari hasil penilaian terhadap profil risiko dan tingkat kesehatan.
c. Merencanakan pengawasan untuk mendukung efektifitas pengawasan berdasarkan risiko.
d. Melakukan pemeriksaan berdasarkan risiko bank.
e. Meng-update profil risiko dan tingkat kesehatan bank dilakukan secara periodik dan/atau apabila terdapat perubahan yang signifikan pada
penilaian kondisi dan kinerja bank berdasarkan hasil pengawasan tidak langsung maupun pengawasan langsung.
f. Melaksanakan tindak lanjut pengawasan dan pemantauan dalam rangka penyelesaian permasalahan bank berdasarkan hasil penilaian risiko dan tingkat kesehatan bank dan/atau hasil pemeriksaan (Bank Indonesia, 2009 : 60-61).
Di Indonesia pengawasan perbankan dapat dilakukan oleh beberapa pihak yaitu pengawasan eksternal yang dilakukan oleh otaritas pengawas perbankan (dilakukan oleh BI dan OJK setelah fungsi pengawasan berpindah pada OJK), pengawasan internal oleh manajemen dan pengawasan oleh masyarakat (market dicipline).
2. Tinjauan Umum tentang Bank Indonesia
Bank Indonesia (BI) adalah Bank Sentral Republik Indonesia yang merupakan lembaga negara independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang tentang Bank Indonesia (Ferry N Idroes, 2006 : 59).
Dalam proses menyusun dan menetepakan kedudukan lembaga- lembaga negara, batang tubuh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak secara eksplisit menyebut bank sentral sebagai alat kelengkapan negara. Penegasaan mengenai independensi BI, pertama kali dituangkan oleh pemerintah dalam UU Perbankan, dimana pemerintah menegaskan kemandirian BI dalam pembinaan dan pengawasan perbanakan, termasuk pengaturan perbankan, dan pengenaan sanksi dengan mengalihkan kewenangan seluruh perizinan di bidang perbankan dan pembukaan rahasia bank dari yang semula berada di tangan Menteri Keuangan kepada BI (Djoni S. Gozali dan Rachmadi Usman, 2010 : 97- 98).
Status kelembagaan dan kedudukan hukum BI sebagai lembaga yang mempunyai otonomi dan mandiri, juga disebutkan secara tegas
dalam Pasal 4 UU BI. Selanjutnya Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini. Pasal 4 ayat (3) juga memberikan BI satatus lembaga negara yang berbadan hukum, sehingga dengan kedudukannya sebagai badan hukum publik BI diberikan wewenang untuk menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi dalam batas kewenangannya. Peraturan yang dikeluarkan oleh BI dikenal dengan PBI. Disebutkan juga dalam Pasal 9 dilarang adanya pihak lain, termasuk pihak pemerintah melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas BI selaku otoritas moneter.
Dengan landasan ini, maka BI memiliki otonomi penuh dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai imbangan independensi BI, BI dituntut untuk accountable dan transparent dalam melaksanakan tugasnya.
Independensi bank sentra tanpa diimbangi akuntabilitas dan transparasi yang memadai dapat menjadikan bank sentral sebagai negara dalam negara
Menurut Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 (Suatu Tinjauan Hukum dari Praktek Kebanksentralan Berdasarkan Empat Konstitusi yang Pernah Berl Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan.
Vol. 1, No.1).
BI sebagai lembaga yang independen mempunyai tujuan yaitu untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, yang dilakukan dengan menggunakan berbagai istrumen kebijakan yang ditetapkan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 7 UU BI. Konsekuensi BI sebagai suatu lembaga yang bertujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, maka BI mempunyai tugas yang harus dilakukan. Terdapat 3 (tiga) pilar yang digunakan untuk mencapai tujuan BI tersebut sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 8, diamana BI mempunyai tugas dan wewenang untuk :
a. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter.
Dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, BI melakukan melalui kegiatan :
1) Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka dalam upaya mempengaruhi likuiditas di pasar uang.
2) Penetapan giro wajib minimum (GWM) untuk memperketat atau melonggarkan kebijakan moneter.
3) Bertindak sebagai pemberi pinjaman terakhir (lender of last resort) untuk membantu kesulitan pendanaan jangka pendek perbankan yang jika tidak dilakukan akan menimbulkan dampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan.
4) Melaksanakan kebijakan nilai tukar untuk memelihara stabilitas nilai tukar rupiah.
5) Mengelola cadangan devisa untuk memfasilitasi perdagangan internasional.
b. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.
Sistem pembayaran yang efisien, cepat, tepat, lancer, dan aman merupakan salah satu syarat dalam keberhasilan pencapaian kebijakan moneter. Sehubungan dengan hal itu, BI berwenang untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran melalui kewenangannya dalam :
1) Menetapkan penggunaan alat pembayaran.
Secara umum terdapat dua jenis alat pembayaran yaitu alat pembayaran tunai maupun non tunai. Kewenangan penggunaan alat pembayaran tunai ini secara garis besar meliputi mengeluarkan dan mengedarkan mata uang Rupiah serta mencabut, menarik, dan memusnahkan uang yang dimaksud dari peredaran.
Sementara itu kewenangan BI dalam hal pembayaran non tunai adalah meliputi pengaturan dan penggunaan alat pembayaran nontunai.
2) Mengatur penyelenggaraan jasa sistem pembayaran.
BI mempunyai kewenangan untuk memberikan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran, serta kewenangan mewajibkan penyelenggara sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan tenatang keegiatannya pada BI. Bank Indonesia juga bertanggung jawab dalam mengatur system kliring antar bank, menyelenggarakan kegiatan kliring, serta menyelenggarakan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank.
c. Mengatur dan mengawasi bank.
Pasal 25 UU BI. dikatakan bahwa dalam rangka melaksanakan tugas mengatur Bank, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian, yang mana pelaksanaan kewenangan tersebut ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.
Sehubungan dengan pengawasan bank menurut Pasal 27 UU BI dan penjelasan Pasal 29 UU Perbankan yang dimaksud dengan pengawasan adalah pengawasan langsung dan tidak langsung. Yang dimaksud dengan pengawasan langsung adalah pengawasan dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan, sedangkan yang dimaksud dengan pengawasan tidak langsung terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis dan evaluasi laporarn bank. Dalam menjalankan tugas pengawas bank tersebut, saat ini BI melaksanakan pengawasannya dengan menggunakan 2 pendekatan yakni pengawasan berdasarkan kepatuhan (compliance based supervision) dan pengawasan berdasarkan resiko (risk based supervision / RBS).
Sehubungan dengan tugas BI dalam mengatur dan mengawasai bank, dapat kita lihat juga pengaturannya dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perbankan, dimana diamanatkan bahwa pembinaan dan pengawasan Bank dilakukan oleh Bank Indonesia mengacu pada tersebut, terdapat dua hal prinsip terkait pengawasan kegiatan perbankan yang dilakukan oleh Bank
Indonesia, yaitu adanya upaya pembinaan serta pengawasan. Dalam penjelasan Pasal 29 ayat (1) UU diketahui bahwa yang dimaksud dengan pembinaan adalah upaya-upaya yang dilakukan dengan cara menetapkan peraturan yang menyangkut aspek kelembagaan, kepemilikan, pengurusan, kegiatan usaha, pelaporan serta aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional bank. Sedangkan yang dimaksud dengan pengawasan yaitu meliputi pengawasan tidak langsung yang terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi laporan bank.
Adapun tujuan pengawasan dini merupakan penerapan early warning system (deteksi dini) untuk mengetahui tingkat kesulitan bank secara lebih awal. Kemudian pengawasan langsung dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan. (Zulkarnain Sitompul, 2005:224).
3. Tinjauan Umum tentang Arsitektur Perbankan Indonesia
Pembentukan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dilatarbelakangi oleh krisis moneter tahun 1997 yang menimbulkan dampak negatif bagi industri perbankan nasional. Industri perbankan nasional saat itu rentan terhadap gejolak internal maupun eksternal. Hal ini ditandai dengan terkikisnya permodalan bank, meningkatnya non performing loans (NPL), dan penutupan beberapa bank. Untuk menyehatkan kembali industri perbankan nasional dan melanjutkan program restrukturisasi perbankan yang dicanangkan sejak tahun 1998, diperlukan kebijakan untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien yang berguna dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Tantangan ini justru tidak hanya muncul dari industri perbankan sendiri tetapi juga dari BI sebagai otoritas pengawas bank (Bank Indonesia. 2007. Booklet Perbankan Indonesia 2007. (online), (http://www.bi/go.id, diakses 15 November 2012). Beranjak dari adanya kebutuhan blueprint perbankan nasional serta sebagai lanjutan dari progam restrukturisasi perbankan yang sudah mulai berjalan sejak tahun 1998,
maka BI pada tanggal 9 Januari 2004 telah meluncurkan API sebagai suatu kerangka menyeluruh arah kebijakan pengembangan industri perbankan Indonesia ke depan.
Arsitektur perbankan nasional bukan hanya merupakan suatu policy recommendation bagi industri perbankan nasional dalam menghadapi segala perubahan yang terjadi di masa mendatang melainkan juga menjadi policy direction mengenai arah yang harus ditempuh oleh perbankan dalam kurun waktu yang cukup panjang. Dengan demikian arsitektur perbankan itu merupakan suatu blueprint mengenai tatanan industri perbankan ke depan, bagaimana arah serta bentuknya dan menyangkut hampir semua aspek yang berhubungan dengan perbankan seperti misalnya kelembagaan, struktur, pengawasan, pengaturan dan lembaga penunjang lainnya. Walaupun bersifat policy direction, arsitektur perbankan tersebut juga harus memuat tahapan-tahapan dan langkah- langkah kegiatan (action plans) yang bersifat konkrit mengenai implementasinya (Agus Sugiarto. API : Suatu Kebutuhan dan Tantangan
Kompas, 5 Juni 2003 ).
Pentingnya keberadaan API menurut Burhanuddin Abdullah secara kontekstual didasarkan pada tiga alasan yaitu :
a. Bank masih merupakan institusi penting dalam menyediakan sumber dana untuk dunia usaha. Fungsi financial intermediary bank yaitu kemampuan bank untuk mengumpulkan dana masyarakat kemudian membiayai pembangunan ekonomi menyebabkan perbankan menjadi industri yang penting.
b. Industri perbankan memiliki potensi risiko yang dapat memicu instabilitas perekonomian suatu negara bahkan perekonomian global.
c. API menggambarkan upaya Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan untuk lebih transparan dalam kebijakan perbankan dan merupakan salah satu bentuk dari adanya peningkatan good governance di pihak Bank Indonesia (Burhanuddin Abdullah, 2006 : 201).
Guna mempermudah pencapaian dibuatnya API, maka ditetapkan parameter / sasaran yang ingin dicapai, yaitu :
a. Menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan.
b. Menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dan mengacu pada standar internasional.
c. Menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko.
d. Menciptakan good corporate governance dalam rangka memperkuat kondisi internal perbankan nasional.
e. Mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan yang sehat.
f. Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan.
Untuk mewujudkan sasaran tersebut, maka dibuatlah enam pilar API yang dijabarkan kedalam enam progam utama pelaksanakan API, yang mana antara progam satu dengan progam yang lain saling terkait guna mencapai visi dan tujuan API yaitu mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna mewujudkan stabilitas sistem keuangan dan mendorong pembangunan ekonomi nasional. Enam pilar utama API tersebut, antara lain :
a. Struktur perbankan yang sehat
Struktur perbankan yang sehat merupakan sasaran utama bagi industri perbankan dinegara manapun, tidak terkecuali Indonesia. Prof.
Dr. Soedrajad Djiwandono memberi pendapat bahwa perbankan yang sehat memiliki beberapa kriteria didalamnya pertama , bank-bank dalam arti mikro harus sehat dalam aspek yang menyangkut permodalan, manajemen dan kegiatan, sesuai dengan peraturan dan pengawasan perbankan yang berlaku; kedua, adanya pengaturan dan pengawsan yang efektif yang dilakukan oleh lembaga yang secara
independen bertanggung jawab untuk itu; ketiga, adanya kelembagaan yang mendukung bekerjanya perbankan, selain lembaga pengawas dan pengaturannya, termasuk pula hukum dan peradilan; dan keempat, adanya kerjasama serta koordinasi internsional yang menjalankan surveillance secara efektif (Soedrajad Djiwandono dalam Hermansyah.
2011 : 197).
Sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Soedrajad Djiwandono diatas, salah satu cara guna mencapai struktur perbankan yang sehat dalam API ditetapkan mengenai penguatan permodalan bank. Permodalan bank konvensional, baik bank umum maupun bank syariah, yang mana memiliki permodalan dibawah Rp 100.000.000.000,00 harus ditingkatkan sehingga permodalan bagi industri perbankan minimum menjadi Rp 100.000.000.000,00. Modal minimum tersebut merupakan kebutuhan minimum bagi suatu bank untuk dapat menjalankan operasionalnya dengan baik.
Selain penguatan permodalan, untuk mencapai perbankan yang sehat API juga mencantumkan peningkatan peran serta Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam peta perbankan nasional. Hal ini dikarenakan BPR yang kuat dan kokoh dianggap mampu untuk melayani lapisan masyarakat di daerah pedesaan atau terpencil khususnya yang tidak terjamah oleh pelayanan bank-bank umum. Oleh karena itu, daya saing BPR akan terus ditingkatkan antara lain dengan memberikan kemudahan pembukaan kantor cabang BPR sehingga BPR akan mampu bersaing dengan bank-bank umum yang memiliki cabang-cabang di wilayah pedesaan. Selain itu, untuk memperkuat daya saing BPR, maka BPR perlu meningkatkan efisiensi dalam melakukan kegiatan operasional usahanya. Upaya tersebut dapat dilakukan oleh BPR melalui kerjasama dengan BPR-BPR lain untuk menggunakan fasilitas back office secara bersama-sama diantara BPR tersebut, sehingga mereka bisa beroperasi secara efisien dengan menekan overhead cost-nya. (Hermansyah, 2011 : 199).
b. Sistem pengaturan perbankan yang efektif
Mengenai pengaturan perbankan yang penting dan utama adalah ketaatan terhadap peraturan perbankan yang mengacu kepada standar internasional. Struktur perbankan yang sehat sulit diwujudkan apabila tidak disertai dengan sistem pengaturan yang efektif, sehingga pembangunan industri perbankan yang kuat harus disertai dengan pembenahan pada sistem pengaturan perbankan yang telah ada (Hermansyah, 2011 : 199).
Peningkatan efektivitas pengaturan serta pemenuhan standar pengaturan mengacu pada international best practices, termasuk Basel Core Principles for Effective Banking Supervision. Perbaikan proses penyusunan peraturan dan ketentuan perbankan tersebut
dilakukan dengan lebih banyak melibatkan
para stakeholders perbankan dalam proses penyusunannya sehingga peraturan yang dibuat akan selalu memperhatikan kemampuan stakeholders.
c. Sistem pengawasan yang independen dan efektif
Pengawasan yang independen dan efektif sangat diperlukan baik untuk saat ini maupun jangka panjang sebagai jawaban atas meningkatnya kegiatan usaha maupun kompleksitas risiko yang dihadapi oleh perbankan. Bank-bank tidak lagi hanya menjual produk dan jasa perbankan saja, melainkan juga produk-produk keuangan lainnya seperti misalnya asuransi (assurance), efek beragun aset (assetbacked securities) dan reksadana, sehingga sehingga diperlukan pengawasan yang lebih kompleks dan rumit. Oleh karena itu, Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas bank akan menyempurnakan sistem pengawasan bank dengan terus mengembangkan metode pengawasan bank yang berbasis pada risiko (risk-based supervision) serta melakukan konsolidasi organisasi pengawasan bank yang ada di Bank Indonesia. Selain untuk meningkakan efektivitas pengawasan, konsolidasi organisasi pengawasan bank yang ada di Bank Indonesia
juga ditujukan untuk memperkuat pelaksanaan enforcement atas ketentuan dan kebijakan perbankan yang telah dibuat oleh Bank Indonesia (Hermansyah, 2011: 200).
d. Industri perbankan yang kuat
Pilar ke empat mengenai industri perbankan yang kuat berkaitan dengn sasaran penciptaan API yaitu menciptakan good corporate governance dalam rangka memperkuat kondisi internal perbankan nasional. Sehingga adanya pilar ke empat ini bertujuan untuk meningkatkan good corporate governance (GCG), kualitas manajemen resiko dan kemampuan operasional manajemen. Semakin tingginya standar GCG dengan didukung oleh kemampuan operasional (termasuk manajemen risiko) yang handal diharapkan dapat meningkatkan kinerja operasional perbankan.
e. Infrastruktur pendukung yang mencukupi
Program ini bertujuan untuk mengembangkan sarana pendukung operasional perbankan yang efektif seperti credit bureau, lembaga pemeringkat kredit domestik, dan pengembangan skim penjaminan kredit. Pengembangan credit bureau akan membantu perbankan dalam meningkatkan kualitas keputusan kreditnya.
Penggunaan lembaga pemeringkat kredit dalam publicly-traded debt yang dimiliki bank akan meningkatkan transparansi dan efektivitas manajemen keuangan perbankan. Sedangkan pengembangan skim penjaminan kredit akan meningkatkan akses kredit bagi masyarakat.
Dalam waktu tiga tahun ke depan diharapkan telah tersedia infrastruktur pendukung perbankan yang mencukupi (Tim Arsitektur Perbankan Indonesia. 2007. Program Arsitektur Perbankan Indonesia.
(online), (http://www.bi.go.id, diakses 17 November 2012) f. Perlindungan konsumen
Program ini bertujuan untuk memberdayakan nasabah melalui penetapan standar penyusunan mekanisme pengaduan nasabah, pendirian lembaga mediasi independen, peningkatan transparansi
informasi produk perbankan dan edukasi bagi nasabah. Pilar ini merupakan salah satu permasalahan yang sampai saat ini belum mendapatkan tempat yang baik di dalam sistem perbankan nasional.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perbankan bersama-sama dengan masyarakat akan memiliki beberapa agenda yang bertujuan untuk memperkuat perlindungan konsumen. Agenda tersebut adalah dengan menyusun mekanisme pengaduan nasabah, membentuk lembaga mediasi perbankan (ombudsman), meningkatkan transparansi informasi produk dan melakukan edukasi produk-produk dan jasa bank kepada masyarakat luas.
4. Tinjauan Umum tentang the Basel Core Principles
Pembahasan mengenai the Basel Core Principles diawali dengan adanya kerjasama antara bank-bank sentral di Kota Basel pada tahun 1930 yang menjadi embrio terbentuknya the Bank for International Settlement (BIS). Diantara kerjasama tersebut adalah terkait dengan pengembangan dalam penelitian ekonomi moneter dan keuangan, pentingnya kontribusi dalam collection, compilation, dissemination ekonomi dan statistik ekonomi. Dalam bidang kebijakan moneter, kerjasama di BIS pasca perang dunia ke dua hingga tahun 1970-an memfokuskan pada implementasi atas Bretton Woods system. Beberapa fokus kegiatan yang dilakukan selanjutnya adalah terkait dengan pengelolaan cross-border capital flows yang diikuti dengan krisis minyak dan krisis hutang internasional. Krisis keuangan pada 1970an juga membawa dampak pada issu tentang supervisi atas bank-bank yang beroperasi secara internasional.
Basel Comittee on Banking Supervision (Komite Basel) didirikan oleh Gubernur Bank Sentral negara-negara Group of Ten (G10) pada 1974 sebagai reaksi atas bankrutnya I.D. Herstatt di Cologne, Jerman. Likuidasi bank Herstatt tersebut ternyata berdampak global karena banyak transaksi valuta asingnya tidak dapat diselesaikan sehingga menyebabkan terganggunya penyelesaian transaksi pada Clearing House International
Payment System (CHIPS) dan merugikan mitra bisnis Herstaat bank (Benton E. Gup, 2004 : 2)
Keanggotaan komite basel tersebut pada saat terbentuknya terdiri dari sepuluh negara G10 ditambah dengan Spanyol dan Luxemburg.
Dalam perkembangnnya negara-negara anggota komite tersebut terus bertambah, dan saat ini anggota komite tersebut adalah Argentina, Australia, Belgia, Brazil, China, Perancis, Hong Kong SAR, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea, Luxemburg, Meksiko, Belanda, Rusia, Saudi Arabia, Singapura, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Inggris dan Amerika Serikat, yang mana keanggotaan negara-negara tersebut direpresentasikan dengan kehadiran bank sentral dan pengawas bank.
Pembentukan Basel Committee pada dasarnya bertujuan untuk melakukan kerjasama dan harmonisasi dalam pengawasan perbankan secara internasional, hal ini dikarenakan bank yang dapat melakukan transaksi secara internasional memiliki risiko yang lebih luas dan dapat memberikan risiko kepada pihak lawan transaksinya Dengan adanya harmonisasi standar internasional dalam pengaturan dan pengawasan perbankan, diharapkan dapat memperbaiki iklim dan lingkungan operasi bagi bank-bank yang aktif melakukan transaksi internasional, di era globalisasi dengan semakin terintegrasinya sistem finansial dunia.
Pengaturan mengenai pengawasan perbankan yang dikeluarkan Basel Committee, secara garis besar terdiri dari tiga aturan, yaitu :
a. International Convergece of Capital Measurement and Capital Standards : Basel Capital Accord I.
b. Consultative Documment Overview of the New Basel Capital Accord : Basel Capital Accord II.
c. Core Principles for Effective Banking Supervision : the Basel Core Principle
The Basel Core Principle atau Core Principles for Effective Banking Supervision adalah prinsip-prinsip dasar sistem supervisi
perbankan yang disusun oleh the Basel Committee on Banking Supervision bersama dengan beberapa institusi supervisor perbankan lainnya. The Basel Core Principles telah di-endorse oleh berbagai otoritas moneter seperti Bank Sentral negara-negara G-10. The Basel Core Principles disusun sebagai syarat minimum yang dibutuhkan oleh perbankan di dalam merespon berbagai kondisi dan risiko di sistem keuangan suatu negara. The Basel Core Principles diharapkan dapat menjadi rujukan dasar bagi institusi supervisor keuangan/perbankan dan otoritas publik lainnya di seluruh negara maupun secara internasional ( Achmad Fauzi. 25 Mei 2011. Pokok-Pokok Basel Core Principles. (online), (www.bankirnews.com, diakses 17 November 2012). Penerapan the Basel Core Principle ini sendiri didasarkan pada penggunaan 25 prinsip dasar yang kemudian dikelompokkan menjadi tujuh kelompok prinsip utama the Basel Core Principles yang merupakan pedoman dasar pelaksanaan pengawasan pada proses pengawasan perbankan.
5. Implementasi Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang No.
6 Tahun 2009 (UU BI) dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI)
UU BI memberikan status dan kedudukan Bank Indonesia sebagai suatu lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini.
BI mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam undang- undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas BI, dan BI juga berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga.
Berkaitan mengenai status BI sebagai badan hukum. Status BI baik sebagai badan hukum publik maupun badan hukum perdata ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan hukum perdata, BI dapat bertindak
untuk dan atas nama sendiri di dalam maupun di luar pengadilan, sedangkan sebagai badan hukum publik BI berwenang menetapkan peraturan-peraturan hukum yang merupakan pelaksanaan dari undang- undang yang mengikat seluruh masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya.
BI sebagai suatau badan publik yang mempunyai kewenangan untuk menetapkan peraturan-peraturan hukum, hal tersebut juga diamanatkan dalam Pasal 25 UU BI diamana dalam pasal itu menyebutkan bahwa dalam rangka melaksanakan tugas mengatur Bank, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI). PBI adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan mengikat setiap orang atau badan dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. (Pasal 1 angka 8 UU BI).
Berkenaan dengan kedudukan PBI sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang, patut dikemukakan bahwa PBI sangat menentukan dalam pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas BI. Hal ini juga terkait dengan kedudukan BI sebagai lembaga negara yang independen (Santoso,
Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen Keempat) dan Usulan Komisi Konstitusi dalam Konsep Amandemen Kelima UUD Negara Buletin Hukum Perbankan dan Perbansentralan, Vol. 4, No. 2, hal. 12).
Mengenai kedudukan PBI ini, Agus Santoso dan Anton (2006 : 11- 12) menyatakan:
Apabila disepakati bahwa Bank Indonesia berada dalam lingkup kekuasaan eksekutif dan kedudukannya tidak setara dengan lembaga presiden, maka tentunya produk hukumnya (PBI) tidak dapat disetarakan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Namun apabila ditinjau dari fungsinya, yaitu sebagai ketentuan pelaksana undang-undang, maka Peraturan Bank Indonesia seharusnya dapat disetarakan dengan Peraturan Pemerintah. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 -undangan
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yan lebih antara lain dikelompokan dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). Mengenai hal ini dapat dikemukakan bahwa PERMA tentunya tidak dapat dianalogikan dengan Peraturan Bank Indonesia, karena PERMA tidak mengatur substansi hukum materil, tetapi hanya menyangkut hukum proseduril. Namun, apakah Peraturan Bank Indonesia dengan demikian dapat disetarakan dengan Peraturan Pemerintah dengan alasan bahwa secara analogi Peraturan Bank Indonesia adalah perangkat aturan pelaksana undang-undang (UU BI dan UU lainnya)? Kalaupun jawabnya Peraturan Bank Indonesia tidak dapat disetarakan dengan PP, namun untuk lingkup tugas yang menjadi kewenangan Bank Indonesia, maka Peraturan Bank Indonesia harus dapat mengenyampingkan PP atau sebaliknya PP tidak boleh mengatur hal-hal yang menjadi lingkup tugas dan wewenang Bank Indonesia.
Dapat disimpulkan bahwa PBI ini merupakan sebuah konsekuensi logis yang merupakan hasil dari kedudukan BI yang independen. UU BI memberikan kewenangan kepada BI untuk mengeluarkan peraturan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia untuk mengatur aspek-aspek yang terkait dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Sebagai produk hukum yang berfungsi sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang maka kedudukan Peraturan Bank Indonesia tidak dapat dikesampingkan oleh peraturan pelaksana lainnya.
Di dalam UU BI sedikitnya terdapat 11 pasal yang secara jelas dan tegas mengamanatkan agar masalah tertentu diatur dengan Peraturan Bank Indonesia, pasal-pasal tersebut antara lain :
a. Pasal 3 ayat (2) mengenai pelaksanaan pembawaan uang rupiah dalam jumlah tertentu keluar atau masuk wilayah pabean Republik Indonesia.
Implemetasi pasal tersebut salah satunya terdapat pada PBI No.
4/8/PBI/2002 tentang Persyaratan dan Tata Cara Membawa Uang Rupiah Keluar atau Masuk Wilayah Pabean Republik Indonesia.
b. Pasal 10 ayat (3) mengenai pelaksanaan pengendalian moneter.
Implemetasi pasal tersebut salah satunya terdapat pada PBI No. 14/ 5 /PBI/2012 tanggal 8 Juni 2012 tentang Perubahan PBI No.
12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter.
c. Pasal 11 ayat (3) mengenai pengaturan mengenai kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Implemetasi pasal tersebut salah satunya terdapat pada PBI 13/9/PBI/2011 tanggal 8 Februari 2011 tentang Perubahan atas PBI No. 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
d. Pasal 14 ayat (5) mengenai pengaturan mengenai pelaksanaan survei untuk mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Implemetasi pasal tersebut salah satunya terdapat pada PBI No. 1/4/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Survei Oleh Bank Indonesia.
e. Pasal 15 ayat (2) mengenai kewenangan mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Implemetasi pasal tersebut salah satunya terdapat pada PBI No. 14/7/PBI/2012 tentang Pengelolaan Uang Rupiah.
f. Pasal 17 ayat (2) mengenai pelaksanaan penyelenggaraan kegiatan kliring antar bank dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing.
Implemetasi pasal tersebut salah satunya terdapat pada PBI No.
14/2/PBI/2012 tentang Perubahan Atas PBI No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
g. Pasal 18 ayat (3) mengenai penyelenggaraan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing. Implemetasi pasal tersebut salah satunya terdapat pada pbi No.2/14/PBI/2000 tentang Perubahan Kedua Atas PBI No.1/3/PBI/1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan
Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal.
h. Pasal 23 ayat (5) mengenai pelaksanaan pencabutan dan penarikan uang dari peredaran. Implemetasi pasal tersebut salah satunya terdapat pada PBI No. 12/14/PBI/2010 tentang Pencabutan dan Penarikan dari Peredaran Uang Logam Pecahan 25 (Dua Puluh Lima) Rupiah Tahun Emisi 1991.
i. Pasal 25 ayat (2) mengenai pelaksanaan kewenangan menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian.
Implemetasi Pasal tersebut salah satunya terdapat pada PBI No.
13/25/PBI/2011 tentang Prinsip Kehati-Hatian bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain.
j. Pasal 30 ayat (3) mengenai syarat-syarat bagi pihak lain yang ditugasi oleh Bank Indonesia. Implemetasi pasal tersebut salah satunya terdapat pada PBI No. 13/2/PBI/2011 tentang Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank Umum.
k. Pasal 72 ayat (3) mengenai pelaksanaan sanksi administrative.
Implemetasi pasal tersebut salah satunya terdapat pada PBI No.
13/27/PBI/2011 tentang Bank Umum.
6. Tinjauan Umum tentang Otorotas Jasa Keuangan (OJK)
Pasal 1 UU OJK menyatakan OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UU OJK.
Dalam Pasal 4 UU OJK disebutkan bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan :
a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel.
b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil.
c. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Untuk mencapai tujuan tersebut, OJK memiliki tugas yang harus dilaksanakan sebagaimana tercantum dalam Pasal 6, dimana OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
a. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan.
b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal.
c. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Berkaitan dengan tugas OJK dalam kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, maka OJK berdasarkan UU OJK tersebut diberikan kewenangan dalam hal pangaturan dan pengawasan perbankan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 UU OJK, wewenang tersebut antara lain :
a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
1) Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank.
2) Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa.
b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
1) Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank.
2) Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank.
3) Sistem informasi debitur.
4) Pengujian kredit (credit testing).
5) Standar akuntansi bank.
c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi :
1) Manajemen risiko.
2) Tata kelola bank.
3) Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan 4) Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan.
d. Pemeriksaan bank.
Selain kewenangan dalam bidang pengaturan dan pengawasan perbankan, UU OJK juga memberikan amanat pada OJK untuk melakukan koordinasi dengan BI dalam rangka melakukan pengawasan perbankan. Adanya koordinasi antara OJK dan BI tersebut dapat terlihat dari uraian Pasal 39 UU OJK dimana dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang perbankan antara lain:
1) Kewajiban pemenuhan modal minimum bank.
2) Sistem informasi perbankan yang terpadu.
3) Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri.
4) Produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya.
5) Penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank.
6) Data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentan kerahasiaan informasi.
B. Kerangka Pemikiran
Keterangan :
The Basel Core Principles adalah prinsip-prinsip dasar sistem supervisi perbankan yang disusun oleh the Basel Committee on Banking Supervision bersama dengan beberapa institusi supervisor perbankan lainnya.
The Basel Core Principles merupakan suatu pedoman yang memuat syarat- syarat minimum yang dibutuhkan oleh perbankan di dalam merespon berbagai kondisi dan risiko di sistem keuangan suatu negara, sehingga diharapkan dapat
The Basel Core Principles
Pengawasan Perbankan
Undang-Undang OJK Undang-Undang BI
Pasal 8 huruf c UU BI API
Pasal 25 ayat (2) UU BI PBI
Pasal 39 UU OJK Pasal 34 UU BI
Bank Indonesia Otoritas Jasa Keuangan
menjadi rujukan dasar bagi institusi supervisor perbankan dan otoritas publik lainnya di seluruh negara maupun secara internasional. Dalam the Basel Core Principles tersebut dimuat 25 prinsip dasar yang dapat dijadikan rujuan bagi pengawasan perbankan. Dari ke 25 prinsip tersebut, dapat dikelompokkan lagi menjadi tujuh prinsip kelompok utama. Pengadopsian prinsip-prinsip yang dikeluarkan oleh the Basel Committee tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu tindakan pembenahan diri yang mulai dilakukan oleh BI terhadap kegiatan pengawasan perbankan pasca terjadinya krisis 1997.
Penerapan the Basel Core Principles sebagai suatu prinsip pengawasan perbankan, dapat kita lihat implementasinya dalam UU BI maupun dalam UU OJK. Berkaitan dengan penerapannya di dalam UU BI salah satunya dapat kita lihat dalam Pasal 8 huruf c, yang mana pasal tersebut merupakan pasal yang memberikan kewenangan kepada BI sebagai otoritas pengawasan perbankan, didalamnya berisi mengenai salah satu tugas BI yaitu mengenai tugas mengatur dan mengawasi bank. Salah satu langkah yang diambil oleh BI terkait tugas pengawasaan perbankan sebagai mana diamanatkan oleh Pasal 8 huruf c yaitu dengan pembentukan API yang dibentuk berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2003 dan Surat Keputusan Gubernur Bank Nomor 5/13/KEP/GBI/2003, di dalamnya termuat pembentukan API sebagai salah satu progam utama.
API sebagai suatu blue print sistem perbankan merupakan suatu progam yang dibuat oleh BI sebagai kerangka menyeluruh arah kebijakan pengembangan industri perbankan Indonesia ke depan. Peluncuran API oleh BI bertujuan untuk menerapkan secara bertahap praktik terbaik internasional yang tercakup dalam the Basel Core Principles. Dalam pelaksaan progam- progam yang tertuang dalam enam pilar API, maka BI mengeluarkan sejumlah kebijakan yang dituangkan ke dalam PBI sebagai peraturan pelaksana dari penerapan enam pilar API tersebut, yang mana dikeluarkannya PBI tersebut merupakan salah satu bentuk kewenanagan BI dalam tugas mengatur bank yang termasuk dalam salah satu tahap proses pengawasan perbankan sebagaimana dimaksud Pasal 25 ayat (2) UU BI.
Berkaitan dengan pengawasan perbankan, berdasarkan Pasal 34 UUBI menyatakan bahwa tugas mengawasi perbankan akan dilakukan oleh pengawasan sektor jasa keuangan yang independen. Sehubungan dengan amanat dari pasal tersebut, maka dibentuklah OJK sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) sebagai suatu lembaga baru yang independen yang mana salah satu tugas yang diberikan kepadanya berkaitan dengan pengawasan perbankan.
Dalam tugas pengawasan perbankan, pasal-pasal dalam UU OJK yang terkait dengan tugas pengawasan perbankan, secara eksplisit tidak terlepas dari prinsip-prinsip yang tercantum dalam the Basel Core Principles. Begitu pula dalam pelaksanaan tugas pengawasan perbankan, OJK dalam melaksanakan tugas tersebut berkoordinasi dengan BI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 UU OJK yaitu dalam hal pembuatan peraturan dalam sektor pengawasan perbankan.