• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA PEWARISAN BUDAYA BELAGHAM MELALUI PENDIDIKAN DAN PERSONALISASINILAI DALAM KELUARGA : Studi Kasus Dalam Upaya Menemukan Model Pewarisan Budaya Belagham Suku Serawai di Bengkulu Selatan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UPAYA PEWARISAN BUDAYA BELAGHAM MELALUI PENDIDIKAN DAN PERSONALISASINILAI DALAM KELUARGA : Studi Kasus Dalam Upaya Menemukan Model Pewarisan Budaya Belagham Suku Serawai di Bengkulu Selatan."

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

i DAFTAR ISI Halaman : PERSETUJUAN……….. PERNYATAAN………. DO’A DAN RENUNGAN……… ABSTRAK………..……….. ABSTRACT ……….. KATA PENGANTAR………. UNGKAPAN RASA TERIMA KASIH ……….. DAFTAR ISI……… DAFTAR TABEL……… DAFTAR GAMBAR………..……… DAFTAR BAGAN……….. DAFTAR LAMPIRAN……… PETA KABUPATEN BENGKULU SELATAN……… PETA PENDUKUNG BUDAYA DI DAERAH BENGKULU….

i ii iii iv v vi viii xii xv xvi xvii xviii xix xx BAB I

BAB II

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG... 1. Pendidikan Nilai Dalam Pendidikan Umum. 2. Peran Keluarga Dalam Masyarakat Saat Ini. 3. Keluarga Agen Pewaris Nilai Budaya... 4. Deskripsi Antropologi Masyarakat Suku

Serawai ... B. FOKUS DAN RUMUSUNAN MASALAH... C. TUJUAN PENELITIAN... D. MANFAAT PENELITIAN... E. PROSEDUR PENELITIAN... F. DEFINISI OPERASIONAL... KAJIAN TEORETIK UPAYA PEWARISAN BUDAYA.. BELAGHAM MELALUI PENDIKAN DAN

PERSONALISASI NILAI DALAM KELUARGA A. POSISI PENDIDIKAN UMUM DALAM

PENDIDIKAN KELUARGA... 1. Makna Pendidikan Umum... 2. Makna Dalam Pendidikan Keluarga...

(2)

ii BAB III

B.PENDIDIKAN NILAI DALAM KELUARGA ... 1. Pengertian Nilai... 2. Pengertian Pendidikan Nilai... 3. Landasan Pendidikan Nilai Dalam Keluarga.. 4. Iklim Emosional Dalam keluarga... 5. Sumber dan Media Penerimaan Nilai... 6. Metode pendidikan Nilai Dalam Keluarga... 7. Evaluasi Pencapaian Personalisasi Nilai... C.PROSES PERSONALISASI NILAI PADA ANAK...

1. Tahap-Tahap pertumbuhan Nilai... 2. Proses Penerimaan Nilai... 3. Pengaruh Budaya Dalam personalisasi Nilai D. MODEL PENDIDIKAN NILAI

1. Makna Model... 2. Karakteristik Model pendidikan Nilai... 3. Model Kepedulian... 4. Model Pertimbangan... 5. Model Tindakan ... E. BUDAYA MASYARAKAT SERAWAI...

1. Bentuk Keluarga Pada masyarakat Serawai. 2. Fungsi Anak Pada Masyarakat Serawai... 3. Pendidikan Keluarga Pada Suku Serawai .... 4. Sistem Kemasyarakatan Suku Serawai ... METODE PENELITIAN... A. PENDEKATAN PENELITIAN... B. DESAIN PENELITIAN...

1. Penelitian Awal... 2. Memilih Lokasi Penelitian... 3. Strategi Penentuan Sumber Informasi... 4. Eksplorasi Lapangan... 5. Tahap Pelaksanaan Pengumpulan Data... C. JENIS DAN SUMBER DATA PENELITIAN... D. KEHADIRAN PENELITI DI LAPANGAN... E. STRATEGI PENGUMPULAN DAN ANALISIS

DATA

1. Strategi Pengumpulan Data... 2. Analisis Data... F. PENGECEKAN KEABSAHAN DATA...

(3)

iii BAB IV

BAB V

DESKRIPSI, INTERPRETASI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

A. DESKRIPSI DAN INTERPRETASI... 1. Gambaran Umum Lokasi... 2. Keluarga Sumber Informasi ... 3. Pelaksanaan Pendidikan Nilai Dalam

Keluarga ... 4. Proses Personalisasi Nilai ... 5. Model dan Pendekatan Pendidikan Nilai Dalam Keluarga... B.PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN...

1. Pelaksanaan Pendidikan Nilai... 2. Proses Personalisasi Nilai... 3. Model Pendidikan Nilai Budaya Belagham.... KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI... A. KESIMPULAN... B. IMPLIKASI... C. REKOMENDASI... DALIL-DALIL ... MANUAL MODEL PERSONALISASI NILAI BUDAYA BELAGHAM ...

99

(4)

iv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1

Tabel 2.2 Tabel 3.4 Tabel 4.4 Tabel 5.4

Tabel 6.4

Tahap-tahap Dalam Perkembangan Psikososial Erikson

Tahap Pertumbuhan Nilai Nilai-nilai Budaya Belagham Sumber Norma Moral/etika

Nilai-nilai Budaya Asli dan Pengaruh Budaya Islami

Perkembangan Pribadi dan Nilai Pada Anak

(5)

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1

Gambar 2.2 Gambar 3.2

Gambar 4.4

Gambar 5.4

Gambar 6.5

Dialog Anak dengan Lingkungan Keluarga Siklus Kepribadian Kebudayaan

Keluarga Menyerap Pengaruh Budaya Dari Masyarakat

Proses Anak Menerima Nilai Dalam Keluarga

Pendidikan Dan Personalisasi Nilai Budaya Belagham

Konfigurasi Pribadi Belagham

5 51 52 199

200

(6)

vi

DAFTAR BAGAN

Halaman

Bagan 1.1

Bagan 2.2 Bagan 3.3 Bagan 4.3 Bagan 5.5

Desain Penelitian

Proses Pewarisan Nilai Budaya

Langkah-langkah kegiatan Penelitian Kegiatan Menemukan Model Hipotetik

Konfigurasi Model Personalisasi Nilai Budaya Belagham Pada Perkembangan Anak Dalam Kehidupan Keluarga

(7)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1.

2.

3. 4. 5. 6. 7. 8.

Nasihat Berupa Ungkapan-Ungkapan

Makna Bahasa Serawai yang Terdapat Dalam Disertasi

Evaluasi Pencapaian Nilai Dalam Keluarga Lembaran Protokol Observasi dan Wawancara Foto aktivitas Masyarakat Dusun Seginim Bagan Kekerabatan Suku Serawai

Surat Keputusan Direktur Program Pascasarjana UPI Riwayat Hidup

258 263

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

1. Pendidikan Nilai Dalam Pendidikan Umum

(9)

kepuasan hidupnya. Bekal tersebut akan bermanfaat dalam memenuhi kepuasan hidup, sebab pribadi yang bermuatan nilai akan memiliki kepekaan sosial dan rasa kemanusian yang tinggi.

2. Peran Keluarga Dalam Masyarakat Saat Ini

(10)

pergeseran dan distorsi nilai di kalangan generasi muda, keluarga merupakan ujung tombak pelaksana pembinaan nilai budaya bagi mereka.

3. Keluarga Agen Pewarisan Nilai Budaya

Keluarga sebagai suatu masyarakat kecil yang hidup dalam subkultur, mengambil bagian secara intensif (Soelaeman, 1994: 22). Konsep ini bermakna bahwa, kebudayaan sekitar akan ter-cermin dalam kehidupan keluarga. Kehidupan budaya seperti adat istiadat, kebiasaan, pola pikir, perilaku, selera, tujuan hidup, bahasa, dialek, semuanya akan menjadi kebiasaan di mana keluarga itu berada. Ditinjau dari sudut pandang ini, keluarga dianggap sebagai agen kebudayaan (Soelaeman, 1994:28; Sokanto, 1990:22). Di dalam keluarga anak menerima nilai-nilai budaya yang membina kepribadiannya (Sumaatmadja, 2002:51). Dengan begitu dapat dikatakan bahwa keluarga berperan sebagai salah satu lembaga pewarisan budaya pada anak. Sebagai generasi penerus anak harus memiliki jati diri masyarakat dan bangsanya. Untuk itu nilai budaya lokal dan nasional, hendaknya diwariskan secara mendasar agar melekat dan menjadi jati diri bangsa pada masing-masing individu (Tilaar, 200:30). Pewarisan nilai dasar budaya, sangat mungkin dilakukan oleh keluarga, karena keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama bagi anak.

(11)

estetik, sosial, politik, dan religi. Dalam melaksanakan dimensi pedagogis, keluarga melakukan pembinaan dan pengembangan manusia seutuhnya. Dimensi ini mengembangkan pribadi yang mencerminkan nilai budaya dan nilai Islami dari perintah Tuhan. Sebagaimana firman Tuhan dalam Surat Ali-‘Imran 104 yang maknanya “hendaklah ada di antara kamu ada segolongan orang yang mengajak pada kebaikan, menyuruh orang berbuat baik dan

melarang perbuatan mungkar” (Depag RI, 1995:93).

(12)

Kesan dan pengaruh yang didapat anak dari keluarga Sebagai hasil komunikasi dalam keluarga

Keluarga menggugah perhatian dan mempengaruhi anak

Anak mengarahkan perhatian dan mengolah pengaruh dari lingkungan keluarga

Gambar 1.1: Dialog Anak Dengan Lingkungan Keluarga Modifikasi Dari Soelaiman M.I (1994:47).

4. Deskripsi Antropologi Masyarakat Suku Serawai

Kemajuan di bidang IPTEK yang membawa nilai dan norma baru telah memasuki kehidupan seluruh masyarakat, tidak terke-cuali pada masyarakat Serawai. Walaupun nilai dan norma telah merasuk dalam masyarakat luas, namun nilai-nilai budaya Serawai masih tetap dipegang oleh individu-individunya dalam kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian tim Depdikbud Provinsi Bengkulu (1995, 1996, 1997) mengungkapkan bahwa pada masyarakat Serawai di beberapa desa, dalam kehidupan sehari-harinya selalu memandang tinggi nilai-nilai sopan santun, kepedulian, gotong royong, musyawarah, kerukunan, ketaatan, toleransi, hormat, rela berkorban, dan sabar, dan mereka berupaya mengimplementasikannya. Pribadi yang memiliki nilai-nilai tersebut di atas oleh masyarakat Serawai disebut pribadi yang Belagham.

(13)

yang ditemui. Baik pada orang yang sudah dikenal maupun yang belum dikenal. Individu ini dengan ramah akan menyapa dan menawarkan orang yang ditemui untuk mampir ke rumahnya. Kepedulian terhadap sesama pada masyarakat sampai saat ini masih terjaga. Sikap ini ditunjukkan dengan peduli terhadap segala sesuatu yang menimpa anggota masyarakatnya. Masing-masing individu merasa punya kewajiban untuk peduli dan menolong sesama, serta membalas pertolongan yang telah diterimanya. Bila ada anggota masyarakat yang tidak peduli terhadap sesama, ia akan terisolasi dan tidak dipedulikan. Apabila orang yang terisolasi ini mendapat musibah dan memerlukan bantuan, dia hanya dibantu alakadarnya. Bantuan itu sebagai bentuk toleransi terhadap sesama, sikap toleransi ini tampak saat orang tersebut menyelenggarakan bimbang (pesta perkawinan), masyarakat yang diundang akan hadir hanya sebagai tamu. Masyarakat tidak memberikan bantuan tenaga untuk menyukses-kan acara bimbang tersebut. Sebaliknya apabila orang yang melaksanakan bimbang adalah orang yang suka menolong, maka warga tidak akan segan utuk memberi bantuan baik moril maupun materil. Pribadi belagham juga memiliki sikap hormat pada sesama, terutama pada orang tua. Sikap ini diaplikasikan pada pelaksanaan aturan sapaan (tutughan). Setiap anggota masyarakat akan menyapa yang lainnya dengan sapaan yang melekat pada diri orang yang bersangkutan.

(14)

dusun. Pemuda dan pemudi itu dengan suka rela menerima dan melaksanakan peran yang diberikan masyarakat kepadanya. Mereka mendapat tugas untuk membantu apabila salah satu anggota masyarakat sedang melakukan kegiatan yang mem-butuhkan banyak tenaga. Pergaulan antara budak bujang dan budak gadis yang bersaudara, disebut juga pergaulan antara kelawai (untuk perempuan) dengan muanai (untuk laki-laki). Pergaulan itu mempunyai batasan-batasan dan aturan-aturan tertentu. Aturan pergaulan antara mereka dimaksudkan sebagai penghormatan, serta untuk mencegah munculnya perilaku yang tidak pantas dan pelanggaran norma sosial.

B. Fokus dan Rumusan Masalah Penelitian

(15)

“pendidikan dalam keluarga membantu anak menemukan dan mengembangkan diri serta mewarisi nilai-nilai yang berguna dalam menghadapi kondisi kehidupan di masa depan”.

Kegiatan dan proses pendidikan nilai dalam keluarga, me-rupakan masalah yang menarik untuk dicermati. Terutama ter-hadap peran dan pelaksanaan dalam membina, mengembangkan dan mempribadikan nilai kepada anak. Pertanyaan yang dialamatkan pada peran dan kegiatan pendidikan dalam keluarga ini bukanlah sesuatu yang janggal, apabila melihat fenomena pada masyarakat umum yang mengalami krisis nilai-moral. Sementara ada fenomena lain yang ditunjukkan oleh masyarakat Serawai yang secara umum masih memegang dan menganut nilai-nilai budayanya. Keadaan ini menyebabkan penulis ingin mendapatkan informasi lebih mendalam tentang bagaimana nilai-nilai itu masih menjadi pedoman dalam kehidupan personal dan sosial mereka. Penelitian ini difokuskan pada pelaksanaan pendidikan dan personalisasi nilai budaya belagham dalam keluarga.

Bertolak dari latar belakang masalah, identifikasi masalah serta fokus penelitian, maka permasalahan utama penelitian dirumuskan sebagai berikut ”Apa yang dilakukan keluarga Suku Serawai dalam mewariskan budaya belagham melalui pendidikan

dan personalisasi nilai kepada anak”. Masalah utama ini dijabarkan ke

dalam rumusan pertanyaan-pertanyaan penelitian di bawah ini: 1. Mampukah keluarga mewariskan nilai-nilai budaya belagham

melalui pendidikan dan personalisasi pada anak. Apa saja alasan yang melatarbelakangi pewarisan budaya itu.

(16)

Bagaimana susana pendidikannya, apa tujuannya dan bagaimana pula cara mencapai tujuan itu.

3. Sejauh mana kemampuan keluarga suku Serawai melaksana-kan dan mengembangmelaksana-kan fungsi pendidimelaksana-kan nilai di dalam keluarga sebagai lembaga pendidikan (umum) bagi anak.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan:

1. Model pewarisan budaya belagham melalui pendidikan dan personalisasi nilai kepada anak dalam keluarga suku serawai. Model tersebut akan menggambarkan, kegiatan, landasan, tujuan, pendekatan dan metode, sumber dan media, suasana pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan nilai dalam keluarga.

2. Respons anak terhadap aktivitas pembinaan nilai budaya belagham yang dilaksanakan orang tua dan aturan berperilaku di dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

3. Praktek pendidikan dan personalisasi nilai dalam keluarga pada masyarakat Serawai secara konseptual.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat: 1. Menampilkan model pewarisan budaya belagham yang akan

(17)

2. Perluasan cakrawala pengetahuan tentang budaya yang terdapat di tanah air Indonesia dan model pendidikannya. Di samping itu temuan di lapangan, dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas pendidikan nilai budaya di keluarga suku Serawai khususnya dan masyarakat pada umumnya. Temuan ini juga dapat memberi masukan yang bermanfaat bagi masyarakat bagaimana mewariskan dan pengembangkan nilai-nilai dalam pribadi anak berdasarkan budaya pada masyarakat setempat.

E. Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pende-katan naturalistik. Pendepende-katan ini dipilih, karena peneliti ingin menyingkap segala sesuatu yang sedang berlangsung secara alami. Informasi yang akan dicari adalah segala sesuatu yang ber-hubungan dengan pelaksanan pendidikan nilai dalam keluarga secara utuh. Sesuai dengan pendekatan penelitian, studi ini lebih menitikberatkan pada pengkajian proses dan fenomena secara menyeluruh yang saling terkait. Pendekatan naturalistik melihat sesuatu sebagaimana adanya dalam satu kesatuan yang saling terkait (McMillan and Schumacher, 2001; Creswell, 1998; Gall, Gall, & Borg, 2003).

(18)

mendalam, dan dokumentasi. Data yang telah diperoleh di lapangan, dianalisis sejak tahap orientasi sampai tahap pelaporan hasil penelitian. Proses analisis data melalui analisis selama di lapangan dengan cara: (1) membuat kategorisasi temuan dan menyusun kodenya, (2) menata sekuensi atau urutan permasalahannya (Muhajir, 1990:185). Sementara analisis setelah kembali dari lapangan dilakukan dengan langkah-langkah: (1) mereduksi data, (2) mengambil kesimpulan dan verifikasi (Nasution, 1988: 129). Keabsahan data dicek dengan cara: (1) memperpanjang waktu di lapangan, (2) strategi multi metode, (3) catatan ucapan partisipan, (4) mengumpulkan referensi dari berbagai sumber, dan (5) pemeriksaan dengan kelompok atau teman sejawat, dan melakukan trianggulasi. Lokasi penelitian di dusun Seginim dan Pagar Batu, Kabupaten Bengkulu Selatan Provinsi Bengkulu. Desain penelitian sebagai berikut:

(19)

D. Definisi Operasional

Untuk menyamakan persepsi terhadap topik penelitian yang dikemukakan dan untuk memperjelas ruang lingkup serta rambu-rambu penelitian, dipandang perlu menjelaskan beberapa konsep mendasar melalui definisi operasional, berikut ini:

1. Pewarisan Budaya Belagham

Pewarisan budaya Belagham adalah suatu aktivitas pengalihan atau transmisi dari satu generasi ke generasi berikutnya, yaitu dari orang tua kepada anak. Aktifitas ini dimaksudkan untuk mempertahankan, menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai belagham dalam diri anak. Pewarisan nilai dasar budaya (pikiran, sikap, perilaku, dan norma) yang dilakukan orang tua melalui, pendidikan, sosialisasi, inkulturisasi, dan internalisasi (Koentjaranigrat, 1990: 227-234), sehingga mempribadi pada anak. Belagham dalam bahasa Serawai adalah suatu konsep yang menunjukkan karakter pribadi bermuatan nilai. Nilai-nilai itu adalah, sopan santun dan penghormatan, kepatuhan, kerukunan, gotong royong, kepe-dulian, toleransi dan rela berkorban, demokrasi, kepercayaan, dan keyakinan beragama (Achmad, 1989:24-52).

(20)

bermoral. Perwarisan nilai-nilai budaya belagham dimaksudkan supaya nilai-nilai tersebut menjadi nilai yang tercernakan dalam diri anak. Nilai yang tercernakan (personalized value) merupakan suatu landasan dari reaksi-reaksi yang diberikan secara otomatis terhadap situasi-situasi tingkah laku yang ada. Nilai tercernakan tidak dapat dipisahkan dari pribadi seseorang. Nilai ini mem-bentuk landasan bagi hati nurani (Sulaeman, 1998:20). Bila terjadi pemaksaan terhadap nilai-nilai ini, maka akan timbul rasa malu atau rasa bersalah yang sangat sulit untuk dihilangkan. Nilai yang tercernakan, akan dihayati dan dijiwai oleh orang yang bersangkutan.

2. Personalisasi Nilai

Personalisasi dalam bahasa asing disebut dengan personalized atau personalizing. Kata personalized dalam “The Contemporary Dictionary” mengandung makna menjadikan milik pribadi (Salim,1989:1392). Dari pengertian ini maka personalisasi dapat dimaknai sebagai proses kepemilikan terhadap sesuatu sehingga menjadi milik pribadi. Nilai menurut Shaver & Strong (1982:17), are our standars and principles...They are the criteria by which we judge “things” (peopel, objects, ideas, actions, and

situations) to be good, worthwhile, desirable, or, on the other hand

(21)

prinsip-prinsip dan standar-standar penilaian tentang sesuatu (orang,

objek, ide-ide, tindakan-tindakan dan situasi-situasi), apakah baik,

berharga, dinginkan atau buruk, tidak berharga, tidak diinginkan. Personalisasi nilai dapat pula dimaknai sebagai bersatunya sistem nilai dengan sistem personal seseorang (Djahiri: 1996:20). Proses Personalisasi nilai adalah suatu proses penyerapan nilai oleh anak dari interaksi dalam keluarga. Proses penyerapan nilai itu melalui imitasi, identifikasi terhadap apa yang diindera dengan mata dan telinga. Penginderaan itu dilakukan anak terhadap segala tindak-an, sikap, ucapan dan sosok pribadi orang tua dan anggota keluarga. Dari proses ini anak memilih nilai-nilai dan mempribadi-kannya dalam diri. Tujuan personalisasi nilai, agar anak memiliki jati diri sesuai dengan budayanya. Nilai yang mempribadi itu sebagai bekal dalam berhadapan dengan konflik dan perubahan nilai di masyarakat. Koencaraningrat (1990:52) mengungkapkan, mempribadinya nilai-nilai pada anak, akan menjadi filter terhadap nilai-nilai asing dan perilaku yang tidak cocok dengan budaya dan kepribadian bangsa. Isi pendidikan nilai berhubungan dengan segala aspek nilai budaya, adat-istiadat, kebiasaan dan keyakinan yang dianut oleh keluarga. Dengan begitu personalisasi nilai budaya merupakan persemaian nilai kehidupan suatu masyara-kat, serta revitalisasi moral pada masyarakat itu sendiri (Tilaar, 2000).

3. Pendidikan Nilai Dalam Keluarga

(22)

bertindak yang konsisten (Mulyana: 2004:119). Pengertian ini bermakna bahwa pendidikan nilai adalah bantuan dan upaya yang dilakukan oleh orang tua dalam membimbing dan menanamkan nilai pada anak. Dari pendidikan itu anak mendapatkan penga-laman dan pembiasaan berperilaku yang bermuatan nilai. Anak akan mejadikan nilai-nilai sebagai pedoman dalam kehidupan. Dengan demikian pendidikan nilai bertujuan untuk mengarahkan pemikiran anak dalam memilih nilai-nilai personal, sosial, moral dan spiritual. Di samping itu agar anak memiliki kesadaran untuk melaksanakan, mengembangkan, memperdalam, dan menghor-mati nilai-nilai itu.

Pendidikan nilai dalam keluarga dilakukan orang tua dengan cara memberikan bimbingan, latihan dan pembiasaan pada aturan yang mengandung nilai-nilai di dalam keluarga. Orang tua juga berperan sebagai model dalam bersikap dan berperilaku. Kegiatan pendidikan dimaksudkan agar anak ber-kembang perilakunya (akhlaknya), ke arah lebih baik, berber-kembang pula kepribadiannya secara menyeluruh. Dengan kata lain bila orang tua telah berupaya mendidikan nilai pada anak, diharapkan nilai itu mempribadi dalam diri anak. Pada akhirnya nilai itu akan menjadi tabiat dan watak dalam kepribadiannya.

(23)

adalah dua keluarga yang bertempat tinggal di Kabupaten Bengkulu Selatan, Kecamatan Seginim, Dusun Seginim dan Dusun Pagar Batu.

4. Model Pendidikan Nilai

Berdasarkan pengertian nilai dan pendidikan nilai yang telah dikemukakan para ahli, model pendidikan nilai adalah, “a way of thinking about the processes of caring, judging, and acting in

an educational setting” (Hersh, Miller, Fielding, 1980:7). Konsep ini memberi makna bahwa model pendidikan nilai adalah suatu proses pemikiran yang berhubungan dengan kepedulian, pertim-bangan dan tindakan yang dilakukan dalam kegiatan pendidikan. Suatu model meliputi teori atau sudut pandang tentang bagai-mana menumbuhkan dan mengembangkan nilai pada anak. Model meliputi seperangkat strategi atau prinsip-prinsip untuk mening-katkan pertumbuhan nilai. Penggunaan model membantu pen-didik menerapkan prosedur penpen-didikan nilai secara efektif. Dengan kata lain model pendidikan nilai merupakan suatu perencanaan yang mejadi pedoman melaksanakan pendidikan

nilai. Suatu model, beremuatan pemikiran tentang kepedulian,

pertimbangan, dan tidankan-tidankan yang akan diambil oleh

pendidik, untuk meningkatkan, mengembangkan nilai-nilai anak

(24)
(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan untuk melakukan deskripsi analitik terhadap fenomena upaya pewarisan budaya belagham melalui pendidikan dan personalisasi nilai dalam keluarga di masyarakat Suku Serawai. Dalam menggali dan memahami makna dari data empirik yang akan menghasilkan temuan dari penelitian ini akan digunakan prosedur penelitian, (1) pendekatan penelitian, (2) desain penelitian, (3) jenis dan sumber data penelitian, (4) kehadiran peneliti di lapangan, (5) strategi pengumpulan dan analisis data (6) pengecekan keabsahan data. Masing-masing prosedur kegiatan ini akan diuraikan berikut.

A. Pendekatan Penelitian

Sesuai dengan arah penelitian, studi ini tidak dimaksudkan untuk menguji suatu teori, tetapi lebih pada upaya memaparkan secara naratif dan mendalam tentang fenomena-fenomena yang terjadi dan ditemukan berdasarkan perspektif partisipan. Dengan demikian dapat diketahui tahapan dan metode serta proses perso-nalisasi nilai kepada anak, yang dilakukan secara menyeluruh.

(26)

penelitian kualitatif didasarkan pada asumsi bahwa realitas merupakan sesuatu yang bersifat ganda. Saling terkait dan di dalamnya terjadi saling bertukarnya pengalaman sosial yang diinterpretasikan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok. Pendekatan kualitatif lebih melihat sesuatu sebagaimana adanya dalam satu kesatuan yang saling terkait (Creswell:1998; Gall, Gall, Borg: 2003, McMillan dan Schumacher: 2001).

Fenomena atau peristiwa yang terjadi dan ditemukan dalam penelitian akan diuraikan secara rinci dan mendalam. Dengan pendekatan kualitatif, peneliti beranjak mendapatkan sejumlah informasi yang lengkap dan detail berdasarkan perspektif partisipan. Partisipan pada penelitian ini adalah individu-individu dalam suatu keluarga. Dari aktivitas pendidikan dalam keluarga, akan didapatkan makna pada setiap fenomena dan peristiwa yang dite-mukan. Fenomena dan peristiwa berdasarkan perspektif parti-sipan itu akan diteliti dalam rangka memperoleh justifikasi bagi kelayakan temuan, yang berhubungan dengan tujuan, proses, metode, dan landasan pendidikan dalam keluarga. Karena itu, kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerangka pikir induktif. Untuk itu kajian dalam studi ini tidak diredusir pada variabel-variabel yang telah diatur atau sebuah hipotesis yang direncanakan sebelumnya. Akan tetapi dilihat sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang holistik.

(27)

wawancara. Gall, Gall dan Borg (2003: 437), Moleong (1991: 125-152), McMillan dan Shumacher (2001:396), mengemukakan, feno-mena dan peristiwa dapat dimaknai secara baik jika dilakukan interaksi melalui observasi dan wawancara mendalam dengan sumber informasi.

Pendekatan kualitatif dipergunakan mulai dari proses pe-rencanaan penelitian, penentuan lokasi, pemilihan sumber informasi, melakukan pengamatan partisipatif, dan pelaksanaan wawancara mendalam terhadap proses pendidikan nilai oleh orang tua di keluarga. Pengamatan dilakukan terhadap semua peristiwa dan fenomena yang ada di lingkungan keluarga saat melaksanakan pendidikan pada anak. Pengamatan ini, dilakukan terhadap segala kegiatan dan tata cara hidup setiap anggota keluarga dalam kegiatan sehari-hari. Wawancara mendalam dilakukan pada orang tua, anak-anak, dan orang-orang terdekat dengan keluarga yang menjadi sumber informasi. Pengamatan dan wawancara mendalam dilakukan secara terus menerus guna merekam seluruh kegiatan pendidikan nilai dalam keluarga. Pendekatan kualitatif ini meng-gunakan model studi kasus. Penelitian ini lebih diarahkan pada desain penelitian studi kasus.

B. Desain Penelitian

(28)

1968. Goetz, LeCompte, 1984. Wolcott, 1994. dan creswell 1998). Informasi diperoleh melalui observasi, wawancara dan dokumen (artifak) yang dapat membantu menyusun dan menggambarkan aktivitas yang terjadi. Cara mengumpulkan data utama melalui observasi dan wawancara yang intensif (Wolcott, 1994).

Dari obervasi partisipan terhadap kehidupan keluarga yang diteliti, ditambah wawancara pada angota-anggota keluarga, akan dapat dipelajari makna-makna dari perilaku, bahasa, dan interaksi antar anggota keluarga yang bersangkutan (Agar, 1980). Kegiatan lapangan dilakukan untuk merekam, menyusun pola-pola perilaku, cara hidup, dan tata aturan yang ada dalam keluarga. Untuk itu, studi kasus harus peka terhadap isu-isu di lapangan (Hammersley & Atkinson, 1995., wolcott,1996).

Pilihan pada model studi kasus, disebabkan peneliti ingin menyingkap peristiwa dan fenomena yang sedang berlangsung, yang berhubungan dengan pelaksanaan pendidikan nilai dalam keluarga secara utuh. Sebagaimana diungkapkan oleh Gall, Gall, dan Borg (2003:486-487), ciri studi kasus yaitu, “it is in-depth study of instance of a phenomenon in its natural context and from

(29)

interpretasi peneliti tentang kehidupan sosial dalam perspektif Pendidikan Umum, khususnya pendidikan nilai (data etik). Langkah-langkah kegiatan penelitian bila divisualisasikan sebagai berikut:

Bagan 3.3: Langkah-Langkah Kegiatan Penelitian

Studi ini mempelajari bagaimana nilai budaya mempribadi pada anggota pendukungnya. Nilai budaya yang dimaksud ter-refleksi pada keyakinan, kebiasaan, tabu, gaya hidup dan aspek-aspek lain sebagai tipe kebudayaan yang mempribadi dan menen-tukan perilaku. Penelitian ini terfokus pada perspektif orang Serawai, dilaksanakan dalam setting yang alami. Langkah-langkah kegiatan penelitian adalah: 1) melakukan penelitian awal, 2) memilih lokasi penelitian, 3) mentukan subjek penelitian, 4) eksplorasi ke lapangan.

1. Penelitian Awal

Sebelum mengajukan rancangan penelitian, dilakukan pene-litian awal. Pada penepene-litian awal ini, peneliti melakukan

(30)

an dan bergaul dengan masyarakat Serawai. Kegiatan itu dimak-sudkan untuk melihat, adakah sesuatu yang patut menjadi perhatian, yaitu adat istiadat pergaulan Suku Serawai. Untuk memenuhi rasa ingin tahu yang lebih dalam tentang nilai-nilai budaya yang tercermin dari perilaku pergaulan dalam kehidupan sehari-hari, peneliti menemui orang-orang tua yang dituakan oleh masyarakat dan Kepala Desa. Pertemuan seperti ini, tidak hanya pada satu lokasi, melainkan beberapa lokasi, seperti desa Masat, ibu kota kabupaten (kota Manna), desa Seginim, desa Padang Kapuk. Dari beberapa lokasi dan dari pergaulan dengan orang-orang yang berasal dari Suku Serawai, peneliti menemukan adat istiadat dan perilaku yang memiliki pola relatif sama.

Kegiatan penelitian awal menemukan berbagai permasalah-an. Permasalah yang menggelitik itu antara lain adalah, bagaimana kebiasaan-kebiasan yang terpola pada individu-individu menjadi value personalized pada pendukung budaya Serawai. Dengan munculnya masalah, selanjutnya dilakukan identifikasi masalah. Dari identifikasi ternyata ada suatu masalah yang menarik per-hatian untuk dijadikan fokus penelitian. Fokus itu diangkat menjadi topik penelitian dalam rangka penulisan disertasi ini. Kemudian peneliti membuat suatu rancangan penelitian dalam bentuk proposal. Rancangan penelitian kemudian diajukan pada forum seminar Program Pascarasjana untuk mendapatkan masuk-an bagi penelitimasuk-an di lapmasuk-angmasuk-an.

2. Memilih Lokasi Penelitian

(31)

berhu-bungan dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Sedangkan sumber informasi berdasarkan pada masalah penelitian, tujuan studi, teknik pengumpulan data utama dan tersedianya informasi yang kaya. Penentuan sumber penelitian kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh McMillan dan Schumacher (2001:404), dengan cara mempertanyakan: apa tujuan studi, apa fokus studi, apa strategi utama teknik pengumpulan data, apakah tersedia informan, dan apakah informasi menjadi berlebihan.

Lokasi penelitian yang dipilih adalah desa Seginim. Terpilihnya lokasi ini berdasarkan kesesuaian dengan tujuan penelitian dan terdapat sumber informasi yang kaya bagi pengumpulan data. Untuk itu, peneliti menetapkan dua keluarga yang sesuai dengan kriteria yang peneliti tetapkan. Keluarga yang dimaksud adalah keluarga inti yang berdiam di lingkungan budaya Serawai.

3. Strategi Penentuan Sumber Informasi

(32)

Untuk mendapatkan sumber informasi pendidikan nilai dalam keluarga yang mengacu pada budaya belagham, digunakan beberapa prosedur yang dikemukakan oleh Fetterman (1989) dalam Creswell (1998:120) yang merekomendasi cara kerja dengan pendekatan jaringan besar. Pertama peneliti bergaul dengan setiap orang. Kemudian peneliti mempertimbangkan untuk memilih kelompok-kelompok dari sub-budaya atau unit berdasar pada pertanyaan penelitian dan menentukan kriteria dalam melakukan pemilihan. Di samping itu, adanya kesediaan partisipan juga merupakan dasar bagi pemilihan sumber informasi. Seleksi ini dimulai dengan mendiskripsikan profil orang-orang yang diharap-kan memiliki pengetahuan sesuai dengan topik penelitian. Peneliti menyaring setiap orang yang potensial untuk diobservasi, diwawancara dan hanya orang-orang yang memenuhi kriteria saja yang dijadikan partisipan dalam penelitian.

4. Eksplorasi Lapangan

Sebelum turun ke lapangan, terlebih dahulu dilakukan penyusunan foreshadow penelitian sementara. Selanjutnya dilaku-kan persiapan, yaitu membuat surat permohonaan izin melak-sanakan penelitian kepada kepala daerah Kabupaten Bengkulu Selatan, sekaligus melakukan orientasi lapangan. Dari orientasi ini ditentukan sumber informasi dengan beberapa pertimbangan dan sesuai kriteria penentuan sumber yang telah dikemukakan terlebih dahulu. Selanjutnya menetapkan dua keluarga yang akan menjadi sumber informasi.

(33)

minggu. Ini dilakukan karena data yang telah terhimpun pada tahap orientasi perlu disusun dalam rangka proses analisisnya. Tenggang waktu ini dimaksudkan agar pengumpulan data se-lanjutnya lebih terarah pada informasi yang diperlukan. Peran peneliti di samping melakukan observasi partisipan dan observasi penuh, juga melakukan wawancara. Peran-peran ganda tersebut bervariasi, seperti berdialog dan berinteraksi untuk memperoleh data dengan para partisipan. Melakukan hubungan-hubungan sosial, dan bergerak dari satu kelompok atau orang ke kelompok atau orang yang lain. Partisipasi dilakukan untuk mengembangkan kepercayaan dan keberterimaan sebagai orang luar oleh orang dalam. Setelah peneliti terjun ke lapangan dengan seperangkat masalah-masalah bayangan, peneliti berinteraksi dengan subjek penelitian untuk mendapatkan semua informasi yang diperlukan. Kemudian membina hubungan baik dengan masyarakat suku Serawai di Seginim, selanjutnya mulai dilakukan observasi dan wawancara pada subjek penelitian secara mendalam.

5. Tahap Pelaksanaan Pengumpulan Data

(34)

In an study, access typically begins with a “gatekeeper”, an individual who is a member of or has insider status with a cultural group. This gatekeeper is the initial contact for the researcher and leads the researcher to other informants.

Observasi partisipan memungkinkan peneliti memperoleh persepsi-persepsi orang tentang peristiwa dan proses yang di-ekspresikan dalam tindakan, perasaan, pemikiran, dan keyakinan. Persepsi-persepsi tersebut ditemukan dalam tiga bentuk yaitu: verbal, nonverbal dan pengetahuan-pengetahuan yang diucapkan. Untuk memperoleh persepsi-persepsi tersebut, peneliti menyimaknya melalui semua indera yang dimiliki.

C. Jenis dan Sumber Data

Sumber data penelitian adalah sumber primer dan sumber sekunder. Data primer penelitian adalah orang tua sebagai pendidik di keluarga dan anak sebagai subjek didik. Informasi yang digali adalah kegiatan pelaksanaan pendidikan nilai. Objek penelitian adalah seluruh tahapan kegiatan pendidikan. Aktivitas pendidikan ini dalam situasi adegan yang wajar dan apa adanya. Subjek penelitian adalah orang tua dan anak didik. Orang tua sebagai subjek karena kedudukannya dalam keluarga sebagai penanggung jawab pendidikan anak. Anak sebagai subjek, karena ia yang di-kenai pendidikan dan mempribadikan nilai-nilai (value personalized). Di samping itu orang tua dan anak dalam situasi pendidikan mengadakan jalinan interaksi yang timbal balik.

(35)

Selain itu digunakan juga wawancara pada subjek untuk menggali dan memahami tentang kehidupan subjek serta pandangan-pandangan dan pejelasan-penjelasan perilaku yang ditampakkan dari perspektif subjek. Data dikumpulkan secara holistik agar memberikan kesatuan konteks sehingga mudah dipahami.

Penyaringan informasi dari sumber yang akan digali, dilaku-kan dengan mempertimbangdilaku-kan kriteria-kriteria: (1) keluarga tersebut keluarga inti, (2) keluarga itu memiliki anak balita, anak usia sekolah dasar dan remaja, (3) orang tua (ayah, ibu berasal dari Suku Serawai), (4) keluarga tersebut bertempat tinggal di lingkung-an sosial-budaya masyarakat Serawai, (5) keluarga tersebut masih memegang adat istiadat Suku Serawai.

Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh bukan dari subjek utama, melainkan dari orang-orang di sekitar subjek utama. Sumber data lain adalah dokumen-dokumen yang mendu-kung data sekunder yang terdapat di lingmendu-kungan latar penelitian, baik dokumen tidak resmi maupun dokumen resmi. Data sekunder digunakan untuk memperkuat dan menguji keabsahan data yang diperoleh dari subjek utama.

Sumber data sekunder terdiri dari, (1) lingkungan, yakni keluarga dekat dan tetangga yang memiliki informasi yang banyak tentang subjek penelitian, (2) teman sebaya, diperkirakan dapat memberikan informasi karena banyak mengetahui kondisi sumber informasi dari kegiatan permainan, (3) tokoh masyarakat atau orang yang dituakan, (4) para ahli yang terkait, (5) bahan bacaan/literatur.

(36)

D. Kehadiran Peneliti di Lapangan

Kehadiran peneliti di lapangan adalah sebagai partisipan sekaligus sebagai instrumen penelitian. Sebagai instrumen, pene-liti sendiri yang terjun ke lapangan mengumpulkan data yang diperlukan. Dalam mengungkap peristiwa dan fenomena yang ada, peneliti bertindak secara langsung mengamati, mengobservasi, membaca situasi serta menangkap fenomena pendidikan yang di-lakukan orang tua dan fenomena perilaku anak dalam latar penelitian. Peneliti sendiri menjadi instrumen penelitian, karena hanya manusia sajalah yang paling tepat berhubungan dengan responden yang sedang ditelitinya, sebagaimana yang diungkap-kan oleh Moleong (1991:5), “hanya manusia saja sebagai alat yang dapat berhubungan dengan responden dan objek lainnya, dan hanya manusia yang mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan”. Di samping itu manusia sebagai instrumen dapat melakukan penilaian apakah kehadirannya menjadi faktor pengganggu. Apabila terjadi hal demikian ia dengan cepat akan menyadarinya serta dapat mengatasinya. Sebagai pedoman dalam menjaring data di lapangan, peneliti berpegang pada hal-hal sebagai berikut:

1. Berusaha menceburkan diri dengan sumber informasi dan semua situasi sehingga dapat mengumpulkan semua hal yang sedang berlangsung di lapangan.

(37)

3. Berusaha memahami dan menghayati sumber informasi di lapangan.

E. Strategi Pengumpulan dan Analisis Data

1. Strategi Pengumpulan Data

Strategi pengumpulan data melalui beberapa tahapan, McMillan (2001:405), mengemukakan ada 5 fase pengumpulan data yaitu, “phase planning, phase beginning, phase basic, phase closing data collection, and phase completion”. Dalam kegiatan di lapangan antara fase-fase ini tidak berlaku secara terpisah melain-kan sebagai satu siklus yang saling berkaitan antara satu fase dengan fase berikutnya.

Pada fase perencanaan studi, peneliti menganalisis masalah dan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang akan difokuskan pada upaya pengumpulan data. Kemudian menggambarkan setting, site atau wawancara untuk menghasilkan informasi yang berhubungan dengan masalah. Penggambaran ini akan menjadi garis pedoman menemukan sumber data sebagai subyek penelitian. Dalam fase ini peneliti menetapkan lokasi dan memintakan izin untuk tinggal di tempat penelitian atau melakukan hubungan kerja dengan kelompok atau individu. Selanjutnya mulai dilakukan observasi terhadap semua yang ada di lingkungan penelitian.

(38)

untuk memperoleh kebebasan mengakses tempat yang cocok dengan masalah penelitian dan sumber data. Wawancara yang dilakukan pada fase ini, merupakan wawancara pertama pada beberapa orang dalam jaringan kerja bola salju. Secara simultan interviewer memancing interviewe dan mencatat prosedur-prosedur. Selama melakukan interview-interview dilakukan penyesuaian dan penyusunan kata-kata dalam pertanyaan-pertanyaan, serta membangun kepercayaan. Di awal studi ini peneliti juga mengembangkan suatu cara untuk mengorganisasi, mengkode transkrip catatan lapangan atau catatan wawancara dan catatan-catatan investigator pada dokumen. Ini dilakukan untuk analisis data formal yang akan dilakukan pada fase kelima.

(39)

Analisis data dimulai dengan membangun fakta-fakta sebagaimana temuan dalam rekaman data.

(40)

dilakukan, apa yang mendasari suatu sikap, keyakinan, tindakan dan pendapat-pendapat, alasan memilih sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan, dan pewarisan budaya belagham. Wawancara dilaksanakan, agar orang tua secara bebas memberikan penjelasan tentang pelaksanaan kegiatan pendidikan nilai. (c). Data yang dikumpulkan melalui dokumentasi digunakan untuk mendapatkan informasi tentang nilai-nilai budaya yang menjadi patokan dan keyakinan, serta adat-istiadat yang digunakan dari generasi ke generasi. Dokumentasi tidak sekedar berfungsi sebagai pelengkap memperoleh data. Akan tetapi juga digunakan untuk menguji, menafsir, bahkan memprediksi. Sebagaimana dikemukakan oleh Moleong (1991:161), “data yang diperoleh dari dokumentasi dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan bahkan untuk meramalkan”.

2. Analisis Data

(41)

(e) melakukan penjajakan tentang ide-ide dan tema penelitian pada subjek sebagai analisis penjajakan, (f) membaca kembali ke-pustakaan yang relevan, (g) menggunakan analogi dan konsep-konsep.

Sebelum sampai pada proses penulisan laporan ada dua langkah yang perlu dilakukan peneliti, Muhajir (1990:185) menge-mukakan: (a) membuat katagorisasi temuan dan menyusun kodenya, (b) menata sekuensi atau urutan permasalahannya. Sementara analisis setelah di lapangan menurut Nasution (1988:129), dilakukan dengan langkah-langkah (a) mereduksi data, (b) display data, (c) pengambilan kesimpulan dan verifikasi. Langkah-langkah ini menjadi pedoman dalam pengolahan dan analisis data.

F. Pengecekan Keabsahan Data

Untuk mengetahui keabsahan data lapangan diperlukan pengujian data. Tahap ini dilakukan untuk mengecek kembali kre-dibilitas informasi atau data yang telah dikumpulkan. Baik dari hasil observasi maupun dari hasil wawancara yang telah dikum-pulkan pada tahap eksplorasi terpusat. Seluruh data atau infor-masi yang menggambarkan kegiatan pendidikan nilai dalam keluarga sesuai dengan aspek-aspek yang diteliti kemudian dipelajari kem-bali, selanjutnya dikomunikasikan kepada responden penelitian. Tahap eksplorasi dan memberchek ini bersifat siklus, yakni informasi atau data yang dikumpulkan selalu diperbaiki, disempur-nakan dan dimantapkan sehingga kebenarannya dapat ditingkatkan.

(42)

yang cermat, melakukan triangulasi, pemeriksaan dengan teman sejawat, mengumpulkan referensi dari berbagai sumber, (2) keter-alihan, (3) ketergantungan dan kepastian hasil penelitian. Lebih lanjut untuk memantau pengaruh kuat subjektivitas adalah dengan memelihara, “peer debriefer, field log, field journal, ethical consideration recorded, audibility, formal corraboration of initial findings” (McMillllan: 200:412-413). Untuk mengetahui keabsahan data, menurut Muhajir (1990:186) digunakan dua konsep, yaitu: (1) ideksikalitas, yaitu adanya keterkaitan makna kata dan perilaku pada konteksnya, (2) refleksikalitas yaitu adanya tata hubungan atau tata susunan sesuatu dengan atau dalam sesuatu yang lain. Setelah tahap ini dilakukan, kemudian disusun hasil penelitian dalam bentuk final. Keseluruhan hasil kegiatan penelitian yang lakukan divisualisasi-kan dalam bagan di bawah ini.

Bagan 4.3: Kegiatan Menemukan Model Hipotetik

Obser- vasi, Wawan cara, doku-mentasi Iklim Emosional keluarga Pendidikan Nilai Dalam Keluarga Petunjuk Umum Rasional,Tujuan Asumsi, Pendidik, Subjek (anak didik) Dalil Dalil Sumber dan Media

(43)
(44)

243 BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI

DAN DALIL-DALIL

Pada bab ini dikemukakan kesimpulan hasil penelitian yang berorientasi pada fokus permasalahan penelitian dan tujuan penelitian. Secara tersurat dan tersirat kesimpulan ini berimplikasikan teori, konsep pendidikan pada umumnya dan pendidikan nilai dalam keluarga khususnya. Implikasi teoretis dan konseptual tentang personalisasi nilai tersebut memberikan peluang perlu hadirnya rekomendasi pelaksanaan pendidikan nilai di lapangan pada saat ini, berupa saran-saran dan model hipotetik personalisasi nilai budaya belagham. Rekomendasi ini perlu ditindaklanjuti dengan kajian dan uji coba yang berdasar pada realitas kondisi lapangan.

(45)

A. Kesimpulan

Penelitian ini berhasil menemukan model hipotetik personalisasi budaya belagham dalam upaya pewarisan nilai budaya melalui pendidikan pada keluarga dalam rangka membekali generasi muda menjadi warga masyarakat yang memiliki jati diri dan berbudaya. Di samping itu temuan yang berimplikasi bagi muatan Pendidikan Umum ini dapat dimanfaatkan dan diterapkan pada pengembangan pendidikan nilai dalam keluarga yang mengakar pada budaya setempat. Dari penelitian ditemukan, bahwa personalisasi nilai yang dilakukan keluarga Az dan Zr mampu mempribadikan nilai budaya belagham pada anak. Pernyataan ini mempunyai makna bahwa, pendidikan nilai yang dilaksanakan keluarga Az dan Zr melalui penerapan model personalisasi nilai budaya belagham, mampu mengembangkan perilaku belagham pada anak dalam berhadapan dengan masalah-masalah pergeseran nilai di masyarakat. Personalisasi nilai juga berdampak pada kemampuan anak melaksanakan peran-perannya sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Sosok manusia belagham ditampilkan dalam bentuk kepribadian yang berakar kuat pada budaya, diikat oleh nilai-nilai moral (sosial dan etika) dalam hubungan insani yang berlandaskan nilai spritual. Nilai-nilai tersebut digunakan sebagai pedoman di dalam tindakan atau etos kerja yang mengandung nilai pengetahuan dan keterampilan hidup. Kesimpulan hasil penelitian ini dideskripsi-kan sebagai berikut.

(46)

belagham, di samping terkait dengan pengembangan kepribadian secara bersamaan juga berkaitan dengan interaksi yang harmonis dengan orang di sekitarnya. Nilai ditumbuhkan dalam diri, supaya anak menjadi pribadi yang memiliki komitmen terhadap budaya. Dengan penerapan model, membina kesadaran bahwa perilaku manusia terikat oleh nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Pewarisan budaya dimaksudkan agar sistem nilai dan keyakinan anak, dapat menyaring masuknya nilai-nilai negatif, menghindari terjadinya konflik, dan mencegah distorsi nilai. Sebagai agen pewaris budaya, keluarga berfungsi membinakan nilai budaya agar budaya tersebut dipahami, dilaksanakan, dan dikembangkan. Fungsi pendidikan dalam keluarga, menjadi jembatan antara dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan lingkungan sosial-budaya. Dengan pembinaan nilai, generasi muda dapat mentranformasikan nilai yang diperoleh untuk diterapkan pada kehidupan bermasyarakat dan anak dapat berkembang dalam dunia yang berubah tanpa menghilangkan nilai dasar positif yang diakui dan diyakini oleh masyarakatnya.

(47)

merangsang perkembangan aspek kognitif (daya pikir), aspek afektif (kata hati), dan aspek psikomotor (perilaku nyata). Pengembangan kemampuan kognitif, berimplikasi pada pengembangan alasan, pertimbangan, dan pengambilan keputusan moral. Dengan kata lain anak mampu menyadari, mengisyafi dan melakukan perilaku yang bermuatan nilai seperti yang diinginkan orang tua.

Ketiga, sosialisasi nilai pada anak remaja dan dewasa awal dilakukan dengan cara dialog, ajakan, arahan, bimbingan, du-kungan, motivasi, dan nasihat. Pemberian nasihat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Nasihat secara tidak langsung diberikan dengan kalimat sindiran atau ungkapan yang mengandung makna. Perilaku anak pada hakikatnya perlu di- arahkan kepada perilaku positif. Supaya perilaku selalu positif, maka tanggung jawab untuk mengontrol dan mengarahkan perilaku ada pada orang tua dibantu anak yang lebih tua dan para kerabat bahkan oleh warga masyarakat. Adanya dukungan dari masyarakat dalam menjaga perilaku positif sebagai upaya agar anak mematuhi nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat. Kontrol sosial terhadap perilaku belagham masih berlaku pada masyarakat Serawai.

(48)

masa dewasa awal, anak diberi kebebasan untuk menentukan nilai yang mereka implementasikan dalam berperilaku. Penyerapan nilai oleh anak melalui proses tahapan-tahapan perkembangan, sejak dalam kandungan, masa bayi, balita, kanak-kanak, remaja, dan dewasa. Selama tahapan perkembangan, berkembang pula kata hati. Penyerapan nilai terjadi secara progres hingga nilai menjadi otonom di dalam diri.

Kelima, Sumber dan media yang dihadirkan orang tua mampu menyampaikan pesan yang bermakna bagi anak. Media persona-lisasi nilai tersebut berupa sosok pribadi orang tua dan orang-orang dewasa dalam keluarga. Sosok pribadi orang-orang tua itu sebagai perealisasian nilai secara konkret bagi anak. Setiap tindakan, perbuatan, sikap, dan ucapan orang tua dalam pandangan anak merupakan media penerimaan nilai. Sumber dan media yang ditemui dalam keseharian menjadi inspirasi bagi anak dalam berperilaku. Peniruan ini pada mulanya peniruan secara fisik, selanjutnya berpengaruh secara psikologis. Kemudian, anak melakukan identifikasi pada semua model yang ia temukan saat berinteraksi. Interaksi ini bisa terjadi pada lingkungan fisik dan lingkungan sosial-budaya.

(49)

kehadiran dan peran orang tua. Kondisi ini sangat memerlukan pribadi yang belagham, karena anak yang belagham mampu menjalani hidup dengan baik walaupun tanpa kehadiran orang tua. Keadaan ini pula yang melatarbelakangi orang tua mewariskan nilai budaya belagham. Orang tua yakin bahwa nilai itu mampu menuntun pada pencapaian kehidupan yang baik, rukun, tente-ram, damai dan sejahtera. Di samping itu nilai budaya belagham sudah teruji kebenaran dan kebaikannya dalam hubungan insani pada masyarakat Serawai. Untuk itu orang tua sangat berkepen-tingan terhadap pewarisan budaya belagham. Upaya pewarisan ini dimaksudkan agar nilai yang telah ditanamkan dapat direalisasikan secara sungguh-sungguh sehingga anak mampu berinterrelasi secara harmonis dengan lingkungannya. Baik berinterelasi antara individu dengan individu, maupun individu dengan kelompok.

(50)

berperilaku, berucap, dan berinteraksi bagi semua anggota keluarga.

Kedelapan, metode pendidikan yang diterapkan, yaitu pemberian contoh dan keteladanan, dialog, nasihat, hukuman, hadiah, latihan, dan pembiasaan. Contoh dan teladan dilakukan orang tua mulai dari berlaku hormat kepada orang yang lebih tua, menunjukkan sikap kepedulian terhadap sesama di lingkungannya, toleransi kepada orang lain, melaksanakan aturan-aturan agama, dan bekerja keras dengan sebaik-baiknya. Perilaku dan sifat-sifat ini ditampilkan secara utuh dalam kepribadian orang tua pada kehidupan sehari-hari. Dialog dilakukan orang tua untuk mengajak anak mencari kesepakatan dalam menghadapi masalah kehidupan yang berhubungan dengan kebiasaan dan perilaku yang diharapkan. Pembiasaan dilakukan dengan memberikan pengalaman langsung untuk memahami norma dan aturan yang direalisasikan dalam bentuk perbuatan dan sikap yang sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku. Anak dibiasakan bersikap dan berperilaku benar dalam semua aspek kehidupan. Dalam melatih dan membiasakan anak kepada perilaku yang bermuatan nilai, dilakukan dengan cara belajar sambil mengalami, yang bertumpu pada, belajar untuk mengetahui, belajar berbuat, belajar hidup bersama, dengan orang lain, dan belajar menjadi manusia yang belagham.

(51)

membimbing dan mengarahkan perilaku adik. Kakak laki-laki memiliki tanggung jawab penuh sebagai penganti kedua orang tua dalam membimbing adik, bila orang tua tidak berada di rumah. Agar anak laki-laki mampu melaksanakan tanggung jawab, kedua orang tua mempersiapkannya sebagai pemimpin sejak usia dini. Orang tua memberinya kesempatan mengambil tanggung jawab moral dalam mengarahkan perilaku adik, memberi dukungan, latihan, dan pembiasaan memimpin. Para kerabat dan warga pun turut mendukung dan mengarahkan anak laki-laki tertua sebagai pemimpin. Kakak perempuan berperan sebagai pengganti ibu bila ibu tidak berada di rumah. Kakak laki-laki dan perempuan wajib dihormati seperti pada kedua orang tua. Kewajiban saudara laki-laki (Muanai) terhadap saudara perempuan (Kelawai), adalah sebagai pengayom, penjaga kehormatan, keamanan, dan kesejah-teraan keluarga dan keadaan ini berlaku sepanjang hayat.

(52)

Kesebelas, pelaksanaan fungsi pendidikan dalam keluarga terimplementasi pada aktivitas penanaman dan pembinaan nilai budaya belagham. Orang tua menyadari bahwa keluarga sebagai lembaga pendidikan, mengemban tugas mendidik anggota masya-rakat untuk menjadikan anak warga yang baik (belagham). Kewajiban membina anggota keluarga menjadi belagham dimotivasi oleh adanya anggapan bahwa keberhasilan orang tua sebagai pen-didik adalah melahirkan generasi yang belagham. Dalam pandangan orang tua dan masyarakat Serawai, manusia belagham adalah manusia ideal. Memiliki anak yang belagham merupakan sesuatu yang membanggakan. Upaya yang dilakukan keluarga untuk men-capai tujuan adalah dengan cara membantu anak agar mampu memahami, menerima, melaksanakan, mengembangkan, dan mempertahankan serta menghormati nilai-nilai budaya belagham dalam kehidupan.

(53)

Kedua belas, orang tua melaksanakan evaluasi terhadap pencapaian nilai budaya belagham pada anak. Penilaian dilakukan melalui pengamatan yang terus menerus terhadap perilaku sehari-hari, memverifikasi kesediaan dan keikhlasan menerima pengajaran dan instruksi orang tua, mengamati kemandirian dan tanggung jawab, keterampilan dalam hubungan personal dan interpersonal, baik di dalam keluarga maupun masyarakat. Penilaian tidak hanya dilakukan di lingkungan keluarga, melainkan di luar keluarga. Penilaian di luar keluarga, melalui pengamatan dan pendapat para kerabat, warga desa, guru atau kelompok bermainan.

Ketigat belas, pelaksanaan pendidikan nilai dalam keluarga telah mengacu pada konsep-konsep pendidikan nilai dan pendidikan secara umum. Keadaan ini, dilihat dari pembinaan yang dilakukan secara sistematis metodologis. Di dalam melaksanakan pembinaan tersirat komponen-komponen proses pembelajaran (belajar-mengajar), seperti: (a) tujuan yang ingin dicapai dalam praktek pendidikan, (b) subjek pendidikan, (c) pendekatan pembelajaran dan metode yang digunakan, (d) materi dan kegiatan pembelajar-an, (e) media dan sumber belajar, (f) landasan pendidikpembelajar-an, dan (g) penilaian terhadap keberhasilan pendidikan dan pembinaan yang telah dilakukan.

B. Implikasi

(54)

personalisasi nilai. Implikasi yang dimaksud dikemukakan berikut ini.

1. Implikasi Pentingnya Pendidikan Nilai Dalam Keluarga

Temuan dan kesimpulan sebagai hasil penelitian, mengan-dung implikasi bagi pengembangan pendidikan nilai dalam keluarga:

Pertama, kesimpulan penelitian ini mengimplikasikan pentingnya orang tua melaksanakan pendidikan nilai, sebelum anak mengenal nilai lain dari masyarakat luas. Keluarga dalam melaksanakan fungsinya sebagai lembaga pendidikan pertama dan utama bagi generasi muda (dalam arti mewariskan nilai-nilai budaya) dapat membantu anak menemukan dan mengembangkan dirinya. Dengan demikian penciptaan iklim emosional dalam keluarga perlu diperhatikan sebagai faktor pendukung mencapai tujuan menjadi-kan anak berakhlak mulia (belagham). Suasana emosional yang kondusif merupakan syarat awal mewujudkan keluarga sebagai suatu lembaga penyelenggara pendidikan nilai bagi anak.

(55)

itu, pengalaman belajar pada masa kanak-kanak merupakan dasar bagi pengalaman belajar pada masa-masa berikutnya. Untuk mempribadikan akhlak mulia (belagham), orang tua memberikan pengalaman berakhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari.

Ketiga, upaya yang dilakukan keluarga dalam mempribadi-kan nilai merupamempribadi-kan bantuan dalam mengembangmempribadi-kan kemampu-an memahami, mengenal, menghargai, menghayati, dkemampu-an menerap-kan norma atau aturan-aturan perilaku yang seharusnya bagi setiap individu dalam berhubungan dengan sesama. Di dalam keluarga orang tua membimbing anak untuk menyadari aturan-aturan moral yang mengatur perilaku dalam pergaulan antara orang tua dengan anak, anak dengan anak, anak dengan kerabat, anak dengan tetangga dan masyarakat. Norma yang dididikkan bukan sebagai standar perilaku yang pasif, melainkan diaktivkan dalam perilaku anak dan orang tua pada interaksi sehari-hari. Norma moral ini merupakan materi yang dididikkan orang tua pada aktivitas hubungan interpersonal dalam kehidupan sosial.

(56)

memahami dan menerapkan nilai tersebut. Norma moral yang mengatur benar-salahnya perilaku, dididikkan dengan mengguna-kan berbagai metode dan pendekatan. Dalam menentumengguna-kan metode yang cocok, orang tua mempertimbangkan kondisi anak secara cermat, baik fisik, psikis maupun usia.

Kelima, kesimpulan peran keluarga dalam pendidikan nilai berimplikasi terhadap posisi keluarga yang tidak mungkin dapat diganti oleh lembaga lain sebagai tempat pertama dan utama bagi anak dalam menyerap dan mempribadikan nilai dasar (intrinsik) suatu budaya. Berkaitan dengan itu, orang tua harus mampu menempatkan dirinya sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, penuntun, contoh, dan teladan (dalam perkataan dan perbuatan). Peran yang demikian, akan memudahkan anak menghayati dan menerapkan nilai dasar (intrinsik) tersebut.

(57)

2. Implikasi Pada Upaya Memperkokoh Posisi dan Pelaksanaan Pendidikan Umum

Pada pelaksanaan kependidikkannya, keluarga mempunyai acuan yang jelas dalam membimbing dan mengarahkan anak untuk mampu mengembangkan nilai dalam pribadi. Acuan yang jelas, menjadi syarat yang mendasar bagi pelaksanaan tanggung jawab keluarga sebagai lembaga Pendidikan Umum di jalur pendidikan informal.

Pertama, temuan penelitian ini mengimplikasikan bahwa upaya yang dilakukan orang tua (pendidik) dalam mempribadikan nilai-nilai, moral (etika dan sosial), spritual, dan kerja pada proses pendidikan, mampu menjadikan anak memiliki nilai kemanusiaan. Temuan penelitian ini semakin memperkokoh posisi Pendidikan Umum dalam mewujudkan manusia yang berakhlak mulia, baik sebagai individu, anggota keluarga maupun anggota masyarakat. Untuk itu pengembangan potensi yang dimiliki anak didik, merupakan aktivitas yang penting dalam membina kepribadian. Potensi yang dikembangkan itu adalah, potensi kognitif, afektif, dan psikomotor. Pengembangan potensi ini perlu diperhatikan dalam memberdayakan individu yang dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara terintegrasi dan utuh. Pengembangan kemampuan pikir harus seimbang dengan rasa (emosi) dan bertindak dalam diri anak. Bersamaan dengan pengembangan potensi ini ditanamkan pula kesadaran, terhadap dirinya, lingkungannya (fisik dan sosial-budaya) di mana ia hidup.

(58)

nilai. Implikasi ini mengisaratkan bahwa, dalam mendidik, orang tua harus memberikan kesempatan yang sama kepada anak untuk dibimbing, dituntun, dan ditumbuhkembangkan sesuai dengan potensi pribadi yang dimiliki. Dengan cara ini akan berkembang dan bertumbuh nilai yang baik pada anak. Kemampuan pendidik menyesuaikan kondisi khas yang dimiliki setiap anak, terutama dalam melatih dan membiasakan berperilaku mulia, memberikan kontribusi bagi semakin kokohnya penanaman nilai. Dorongan dan latihan yang diberikan dengan maksud, agar anak dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik dan bertanggung jawab, merupakan wujud nyata dikembangkannya asas kualitas proses pendidikan. Tentu saja asas ini tidak terlepas dari asas-asas yang lain, seperti asas belajar sepanjang hayat, kasih sayang, demokrasi, dan akuntabilitas dalam mewujudkan manusia yang berkualitas. Dalam Pendidikan Umum, kualitas manusia yang diharapkan mencakup dimensi eksistensi manusia secara luas meliputi kualitas spritual (religius), emosional, intelektual, fisik, keterampil-an, etos kerja, dan keterampilan sosial. Keutuhan dari totalitas diri pada pribadi merupakan cerminan dari kualitas diri sebagai tujuan akhir upaya pengembangan personalisasi nilai dalam Pendidikan Umum.

(59)

menjadikan keluarga lembaga yang kondusif dalam menyiapkan anak untuk mampu menghadapi tantangan dalam masyarakat yang berubah. Dari pengetahuan, sikap dan keterampilan yang didapat di dalam keluarga akan diaplikasikan untuk memenuhi kepuasan hidup pada masa mereka.

Keempat, implikasi hasil penelitian ini selain meliputi fungsi pendidikan keluarga, ternyata di dalamnya terkandung perlunya pemahaman yang mendalam tentang tanggung jawab keluarga terhadap setiap anggota yang ada di dalamnya. Tanggung jawab keluarga pada masyarakat sekitar, masyarakat luas, dan masya-rakat bangsa dan negara. Lebih penting dari itu keluarga mem-punyai tanggung jawab kepada Allah azzawazala. Bagaimanapun fungsi keluarga mendidik anak menjadi manusia yang berakhlak mulia merupakan amanah-Nya. Dalam pelaksanaan tanggung jawab pendidikan, keluarga dihadapkan pada keadaan yang mengharuskan mereka memiliki kemampuan mengelola kehidupan lingkungan fisik dan nonfisik, dilandasi ikatan batin yang kuat dan mendalam. Keadaan ini memungkinkan keluarga mencapai tujuan pendidikan yakni menjadikan anak warga yang baik.

(60)

mulia. Sebagai Agen pewarisan budaya, orang tua harus mau dan mampu bekerja sambil mendidik diri sekaligus mendidik anak. Kemauan dan kemampuan ini berdampak pada pembangunan sumber daya manusia dalam peningkatan kualitas diri sebagai insan kamil.

C. Rekomendasi

Kesimpulan hasil penelitian dengan implikasi di atas men-dorong peneliti untuk mengemukakan beberapa rekomendasi bagi pelaksanaan pendidikan nilai secara umum dan personalisasi nilai dalam keluarga. Rekomendasi yang dimaksud disampaikan pada:

1. Pengembangan Pendidikan Nilai Sebagai Bagian Dari Pendidikan Umum

(61)

Di samping itu model yang diajukan ini dapat memperkaya model-model pendidikan nilai yang telah ada.

Kedua, seyogyanya instansi yang terkait dalam bidang pendidikan, menempatkan guru-guru yang berasal dari penduduk setempat yang memahami budaya siswanya. Penempatan ini dimaksudkan agar nilai yang telah diterima anak dari keluarga selaras dengan nilai di sekolah. Guru tersebut terutama bagi sekolah-sekolah tingkat dasar. Dengan menempatkan guru yang demikian, maka ia dapat menjadi mitra orang tua dalam menanamkan nilai budaya belagham secara simultan. Anak pun akan dengan mudah menyerap dan mempribadikan nilai tersebut, karena nilai budaya di sekolah tidak berbeda dengan di rumah. Di samping itu, guru yang mampu menjadi teladan dalam bersikap dan berperilaku yang mencerminkan nilai budaya setempat, akan menjadi sumber dan media penerimaan nilai bagi anak. Guru juga dapat dengan mudah menangani masalah-masalah yang dihadapi anak didik, karena ia dan siswanya memiliki persepsi nilai yang relatif sama. Guru dapat lebih mudah mengembangkan nilai inti budaya belagham dalam pengajaran di sekolah.

(62)

lanjutan yang lebih mendalam tentang efektifitas pemanfaat model bagi aplikasinya di sekolah. Studi mendalam diharapkan dapat mengetahui kebaikan dan kelemahan model ini sehingga dapat lebih bermanfaatan bagi pengembangan pendidikan nilai dalam keluarga dan pada setting pendidikan lain, seperti di sekolah. Nilai-nilai inti dalam materi model dapat dimanfaatkan pada pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan pada pembinaan budi pekerti di sekolah.

(63)

2. Pelaksanan Pendidikan Nilai Dalam Keluarga Sebagai Lembaga Pendidikan yang Pertama

Pertama, keluarga sebagai wadah pertama dan utama bagi pengembangan pribadi, jangan sampai lengah dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan nilai. Jika fungsi keluarga ini terabaikan, maka akan berdampak pada perkembangan pribadi dan personalisasi nilai pada anak. Tidak dapat dibayangkan apa jadinya bila seseorang tidak memiliki nilai yang baik dan mengakar dalam dirinya. Bila ini terjadi, orang tersebut akan menjadi sosok yang tidak mempunyai acuan dan pedoman dalam berperilaku. Pribadi seperti ini dalam kehidupannya akan mudah terombang-ambing dalam arus pergaulan yang merusak nilai-nilai kemanusiaan. Ia akan menjadi pribadi yang destruktif baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarga, masyarakat maupun bagi bangsanya.

Kedua, disiplin penggunaan sapaan (Tutughan) hendaknya tetap dipertahankan karena melalui sapaan akan mengingatkan seseorang pada peran, posisi dan tanggung jawabnya terhadap keluarga dan terhadap masyarakat. Demikian pula aturan per-gaulan keluarga muanai (Merajau) dan keluarga kelawai (Anak belai) tata aturan seperti ini berdampak positif pada kerukunan, keakraban, dan rasa memiliki serta kasih sayang dalam lingkungan kekerabatan pada keluarga besar. Walaupun telah beradaptasi dengan nilai budaya lain, orang Serawai yang di luar teritorial atau wilayah budaya Serawai, hendaknya tetap memegang teguh nilai intrinsik budaya belagham dalam berinteraksi dengan sesama.

(64)

nilai spiritual (Islami) pada orang tua, terutama yang berada di pelosok (desa). Agar pengetahuan dan pemahaman nilai agama dapat dengan mudah dikuasai orang tua, tokoh-tokoh agama dapat memanfaatkan instrumen budaya secara lebih optimal. Para tokoh agama dapat melakukan pendidikan agama melalui upacara adat yang diselenggarakan masyarakat. Di samping itu guru hen-daknya lebih optimal melaksanakan perannya sebagai penye-imbang pendidikan agama dan pendidikan nilai budaya di sekolah. Sebagai orang yang dipercaya untuk menanamkan nilai spritual, guru sangat dituntut keprofesionalannya dalam mempribadikan nilai Islami pada anak didik

(65)

DALIL-DALIL

Sebagai hasil akhir dari seluruh kegiatan penelitian ini dapat dirumuskan dalil-dalil sebagai berikut:

1. Penerapan model personalisasi nilai budaya belagham merupakan upaya penting untuk mengembangkan nilai-nilai intrinsik budaya dalam mewujudkan manusia berbudi pekerti mulia.

2. Implementasi tatanan sapaan (tutughan) secara disiplin dalam hubungan insani akan membakukan perilaku patuh, sopan santun, dan hormat pada orang yang lebih tua.

3. Sapaan (tutughan) yang melekat pada setiap individu mendorong kesadaran untuk mejalankan peran, kewajiban dan tanggung jawab kepada keluarga dan masyarakat. 4. Pengembangan kepemimpinan pada anak laki-laki tertua

meningkatkan rasa tanggung jawab dan percaya diri terhadap kemampuan memimpin.

5. Norma hubungan antara saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam berinteraksi, membina perilaku susila di lingkungan keluarga dan masyarakat.

6. Melatih anak bekerja sejak usia dini menanamkan budaya kerja dan menjadikannya manusia terampil, kreatif dan mandiri sebagai bekal untuk berhadapan dengan masalah-masalah kehidupan.

(66)

8. Herarki posisi dan peran pada setiap individu dalam keluarga Serawai, mengokohkan kebersamaan, persatuan untuk menciptakan kehidupan yang harmonis.

9. Nilai budaya belagham dalam pribadi (value personalized), pada individu memberikan wawasan dan kemampuan menghadapi masalah pergeseran nilai yang tidak diharapkan dalam masyarakat pada masa kini dan esok. 10.Pewarisan nilai belagham memberikan sumbangan yang

(67)

M

M

O

O

D

D

E

E

L

L

P

P

E

E

R

R

S

S

O

O

N

N

A

A

L

L

I

I

S

S

A

A

S

S

I

I

N

N

I

I

L

L

A

A

I

I

B

B

U

U

D

D

A

A

Y

Y

A

A

B

B

E

E

L

L

A

A

G

G

H

H

A

A

M

M

Oleh :

Puspa Djuwita

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN UMUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

B A N D U N G

(68)

MODEL PESONALISASI NILAI BUDAYA BELAGHAM

A. Petunjuk Umum

1. Rasional

Kehidupan masyarakat saat ini sangat sarat dengan pertentangan dalam berbagai aspek kehidupan. Termasuk dalam tatanan nilai. Nilai-nilai budaya asing dengan mudah masuk dalam lingkungan keluarga. Baik yang sesuai maupun tidak sesuai bagi keluarga dan masyarakat. Pada kondisi masyarakat seperti ini, para orang tua dihadapkan pada suatu tantangan yang sangat kompleks dalam menanamkan nilai-nilai budaya pada anak. Masuknya budaya lain d

Gambar

Tabel  1.1 Tahap-tahap Dalam Perkembangan Psikososial
Gambar 1.1 Dialog Anak dengan Lingkungan Keluarga
Gambar 1.1: Dialog Anak Dengan Lingkungan Keluarga

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Assauri (1999:4) mendefinisikan pemasaran: “Sebagai usaha menyediakan dan menyampaikan barang dan jasa yang tepat kepada orang-orang yang tepat pada tempat dan waktu

Kenaikan SGOT paling banyak pada kelompok 4 yang mendapat pakan tinggi kalori dan kolesterol + sonde propolis 0,054 gram dan kenaikan SGOT paling sedikit pada kelompok 2

Dalam penulisan ilmiah ini penulis meneliti, bagaimana proses natrian yang terjadi pada loket pembayaran listrik di PLN khususnya cabang Depok II Tengah dan mengetahui berapa

Car Named Desire” by Tennessee Williams. 2) How deixis is used in the American Play “A Street Car Named Desire” by.

Pengaruh Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Serta Dampaknya Pada Kualitas Pelayanan Housekeeping Department Di Padma Hotel Bandung.. Universitas Pendidikan Indonesia |

[r]

Buku Ajar Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik.. Analisis Kimia

Telah dilakukan penelitian perbandingan intensitas warna CPO dengan menggunakan bleaching earth (BE) dan spent bleaching earth (SBE) menggunakan Alat