• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI BUDAYA GOTONG ROYONG ETNIK BETAWI SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "NILAI-NILAI BUDAYA GOTONG ROYONG ETNIK BETAWI SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS."

Copied!
190
0
0

Teks penuh

(1)

(Penelitian Verifikatif Kualitatif Di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan)

DISERTASI

Diajukan untuk memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan dalam Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)

Promovendus :

Ajat Sudrajat NIM. 0908737

PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

SEKOLAH PASCASARJANA

(2)

Promovendus :

Ajat Sudrajat NIM. 0908737

Universitas Pendidikan Indonesia, 2014

Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor (Dr) pada Prodi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

© Ajat Sudrajat 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

November 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,

(3)

Prof. Dr. R. Gurniwan Kamil Pasya, M.Si

Ko-Promotor merangkap Sekretaris,

Prof. Dr. Darsiharjo, MS

Anggota,

Prof. Dr. Awan Mutakin, M.Pd

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pendidikan IPS

(4)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Ajat Sudrajat. 2014. Disertasi ini tentang Nilai-nilai budaya gotong royong etnik Betawi

sebagai Sumber Pembelajaran IPS. Penelitian ini dilakukan di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan,

dengan Promotor Prof. Dr. Gurniwan Kamil Pasya, M.Si., Co-Promotor Prof. Dr. Darsiharjo, MS., Anggota Prof. Dr. Awan Mutakin, M.Pd. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh mulai lunturnya nilai-nilai gotong royong di etnik Betawi terutama generasi mudanya, padahal di sisi lain nilai-nilai tersebut merupakan salah satu tradisi yang bagus untuk memupuk rasa solidaritas sosial dan juga kebersamaan, hal ini bisa terjadi karena proses perubahan sosial yang signifikan terutama marjinalisasi etnik Betawi asli oleh adanya urbanisasi ke Ibu Kota. Tujuan penelitian ini adalah: Pertama, mengungkap informasi tentang kondisi terkini nilai-nilai budaya gotong-royong etnik Betawi. Kedua, Menggali dan mencari makna nilai-nilai budaya gotong-royong pada etnik Betawi dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. Ketiga, mengimplementasikan nilai-nilai budaya gotong-royong etnik Betawi dalam pembelajaran IPS di sekolah dasar. Keempat, mengetahui peran pembelajaran IPS dalam mengintegrasikan nilai-nilai budaya gotong-royong etnik Betawi. Lokasi penelitian ini adalah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Penelitian ini melibatkan tokoh-tokoh Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Dosen PGSD FIP UNJ, kepala sekolah dan guru SDN 06 Srengseng sawah 06 Pagi Jakarta Selatan. Masalah utama penelitian ini adalah sejauhmana nilai-nilai budaya gotong royong etnik Betawi dapat dijadikan sumber pembelajaran IPS. Penelitian ini didasarkan pada teori Durkheim tentang solidaritas mekanis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan menggunakan desain kualitatif verifikatif. metode pengumpulan data dan teknik analisis data adalah wawancara mendalam, observasi partisipasi, bahan dokumenter, serta metode bahan visual dan metode penelusuran bahan internet. Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan diperoleh hasil penelitian yaitu sebagai berikut: Pertama, kondisi terkini nilai-nilai budaya gotong royong Etnik betawi terdapat dua nilai budaya yaitu nilai budaya gotong royong tolong menolong yang meliputi:1) Nyambat. 2) Pembuatan dodol makanan khas betawi. 3) Memasarkan dan

menyalurkan hasil kebun. 4) Ngubek empang. 5) Upacara Perkawinan. 6) Sambatan bikin rume dan pinde rume. 7) Upacara Sunatan. 8) Upacara Kematian. 9) Paketan. 10) Upacara Akeke. Dan nilai budaya gotong royong keja bakti yang meliputi: 1) Memperbaiki saluran irigasi. 2) Membersihkan jalan kampung. 3) Membersihkan kober. 4) Ronda atau jaga malam. 5) Pembangunan masjid. Kedua, nilai-nilai budaya gotong yong dapat digali

dan dilestarikan pada etnik Betawi. Nilai gotong royong pada etnik Betawi dapat dilihat pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Etnik Betawi, seperti hajatan, nyambat, andilan, dan paketan. Ketiga, implementasi pembelajaran berbasis nilai-nilai budaya gotong royong disajikan dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. Implementasi ini dilaksanakan di SDN 06 pagi Srengseng Sawah dengan lembar penilaian afektif. Keempat, peran pembelajaran IPS di Sekolah Dasar dalam nilai-nilai budaya gotong royong. Hasil penelitian ini adalah perlunya mempertahankan nilai budaya gotong royong etnik betawi sebagai sumber pembelajaran IPS, selain itu nilai-nilai budaya gotong royong etnik betawi dapat diimplementasikan dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan.

(5)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

ABSTRACT

Ajat Sudrajat. 2014. This dissertation is about Betawi Ethnic Group’s Cultural Values of Mutual Aid as Learning Resources for Social Sciences. The research was conducted in Betawi Cultural Village Setu Babakan, Srengseng Sawah Administrative Village, Jagakarsa District, South Jakarta) with Promoter: Prof. Dr. Gurniwan Kamil Pasya, M.Si., Co-Promoter: Prof. Dr. Darsiharjo, M.S., Member: Prof. Dr. Awan Mutakin, M.Pd. The background to the research is the diminishing values of mutual aid among Betawi ethnic group communities, ultimately among the younger generation; while, in fact, those values are one of the appropriate traditions to cultivate social solidarity and togetherness. The diminishing values can be resulted from social changes that are quite significant, especially the marginalization of Betawi ethnic group by the rush of urbanization to the Capital City. The research aimed to: First, reveal information concerning the recent conditions of

Betawi ethnic group’s cultural values of mutual aid; secondly, explore and search for the

meanings of Betawi ethnic group’s cultural values of mutual aid in the teaching and learning of social sciences (IPS) in primary school; thirdly, implement Betawi ethnic

group’s cultural values of mutual aid in the teaching and learning of social sciences in

primary school; and fourthly, find the roles of social sciences teaching and learning in its integration with Betawi ethnic group’s cultural values of mutual aid. The research took place in Betawi Cultural Village Setu Babakan. It involved the figures of Betawi Cultural Village Setu Babakan, lecturers of the Primary School Teacher Education Department, Faculty of Educational Sciences, State University of Jakarta, and principals and teachers of SDN Srengseng Sawah 06 Pagi, South Jakarta. The primary issue of this research is the extent to which Betawi ethnic group’s mutual aid cultural values can be made learning

resources for social sciences. The research is drawn upon Durkheim’s theory of

(6)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

District, South Jakarta.

(7)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PERSEMBAHAN ... iii

LEMBAR PERSEMBAHAN ... iv

UNTAIAN HIKMAH ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRAC ... vii

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus Penelitian dan Perumusan Masalah ... 5

1. Fokus Penelitian ... 7

2. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

1. Tujuan Penelitian ... 8

2. Kegunaan Penelitian ... 8

BAB II LANDASAN TEORETIK A. Solidaritas Sosial ... 10

B. Gotong royong Sebagai Solidaritas Mekanik ... 14

1. Gotong Royong Tolong Menolong ... 20

2. Gotong Royong Kerjabakti ... 21

C. Pergeseran dan Perubahan Nilai Budaya ... 24

(8)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

3. Konsep Perubahan Budaya ... 28

D. Budaya Lokal Sebagai Sumber Belajar ... 31

E. Pembelajaran IPS ... 36

1. Hakikat dan Tujuan Pendidikan IPS ... 36

a. Hakikat IPS ... 36

b. Tujuan IPS ... 39

2. Model Pembelajaran IPS ... 43

3. Ruang Lingkup IPS ... 47

F. Penelitian yang Relevan ... 50

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 52

B. Desain Penelitian ... 55

C. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 59

1. Lokasi Penelitian ... 59

2. Subjek Penelitian ... 59

D. Metode Pengumpulan Data dan Teknik Analisis Data ... 61

E. Teknik Pengumpulan Data ... 63

F. Teknik Analisis Data ... 65

G. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 66

BAB IV HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN, DAN TEMUAN HASIL PENELITIAN. A. Hasil Penelitian ... 69

1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian ... 69

a. Lokasi penelitian ... 69

b. Sejarah Etnik Betawi ... 76

2. Kondisi Terkini Nilai-nilai Budaya Gotong royong Etnik Betawi ... 89

a. Nilai-nilai budaya gotong royong tolong menolong pada etnik betawi di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan ... 90

(9)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

3. Nilai-nilai budaya gotong royong yang dapat digali dan dilestarikan pada etnik

Betawi ... 128

4. Implementasi Pembelajaran berbasis nilai-nilai budaya Gotong royong dapat disajikan dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar ... 131

5. Peran Pembelajaran IPS di Sekolah dasar dalam Nilai-nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi di Perkampungan Budaya Setu Babakan ... 159

B. Pembahasan ... 161

C. Temuan Hasil Penelitian ... 172

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Umum ... 188

B. Simpulan Khusus ... 189

C. Rekomendasi ... 190

DAFTAR PUSTAKA ... 191

LAMPIRAN ... 195

1. Siklus Tindakan Kesatu ... 195

2. Siklus Tindakan Kedua ... 200

3. Siklus Tindakan Ketiga ... 208

4. Siklus Tindakan Keempat ... 212

5. Siklus Tindakan Kelima ... 216

6. RPP Siklus Tindakan Kesatu ... 221

7. RPP Siklus Tindakan Kedua ... 229

8. RPP Siklus Tindakan Ketiga ... 236

9. RPP Siklus Tindakan Keempat ... 243

10.RPP Siklus Tindakan Kelima ... 251

11.Instrumen Observasi Aspek Afektif ... 258

12.Instrumen Observasi Pemantuan Tindakan Peneliti ... 268

(10)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

(11)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah sebuah negara kesatuan yang terdiri dari berbagai suku

bangsa yang memiliki kebudayaan khas dan nilai-nilai budaya yang berbeda.

Keragaman budaya yang tumbuh dan berkembang dalam etnik bangsa yang ada di

Indonesia merupakan khasanah kekayaan budaya yang memperkaya kebudayaan

bangsa Indonesia. Hal itu dapat menjadi alat untuk mempersatukan suku bangsa

dalam bingkai dan kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan

semboyan Bangsa Indonesia, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti

walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu, yaitu Indonesia. Dalam konsep ini jelas

bahwa kita sebagai warga negara tidak memandang perbedaan etnik, ras, bahasa,

budaya, dan agama.

Kusumohamidjojo (2010: 52) menyatakan bahwa dalam kerangka global,

Indonesia sebenarnya sedang mengalami pergeseran struktur kebudayaan yang

bersifat revolusioner. Revolusi yang begitu cepat akan mengakibatkan perubahan

di berbagai bidang termasuk bidang kebudayaan. Revolusi tersebut tidak menutup

kemungkinan terjadi pula pada etnik atau suku bangsa yang ada di Indonesia,

salah satunya adalah Etnik Betawi di Perkampungan Budaya Betawi Setu

Babakan. Walaupun pada dasarnya mereka masih memegang adat istiadat, norma,

tradisi, dan nilai-nilai luhur Etnik Betawi, pastilah mengalami perubahan, baik

besar maupun kecil yang sangat relatif sehingga akan terjadi anomie.

Kuntowijoyo (2006:13) bahwa:

Anomie terjadi karena kesenjangan antara industrialisasi, teknologisasi,

(12)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Hal ini senada diperkuat oleh Sindhunata (2000: 207) bahwa:

“Masyarakat dan kebudayaan yang baru itu bukanlah hasil penjumlahan dari masyarakat dan kebudayaan etnis yang ada, ia merupakan suatu kualitas baru. Kehadiran kebudayaan Barat dan kebudayaan global membuat nilai-nilai budaya etnis menemukan titik singgung dalam membentuk budaya Indonesia. Meskipun kebudayaan yang baru itu merupakan sistem dan nilai budaya yang baru. Melalui kreativitas, nilai-nilai budaya etnis yang kuat dan lentur akan memberi kontribusi yang penting di dalam proses pembentukan kebudayaan baru.”

Pembentukan atau perubahan kebudayaan baru yang terjadi di masyarakat

merupakan sebuah keniscayaan termasuk munculnya fenomena budaya global

yang bersifat universal atau mondial. Akibat dari perubahan kebudayaan tersebut

membawa serta pergeseran nilai-nilai pada masyarakat tertentu. Nilai-nilai yang

bersifat komunal pada masyarakat tradisional yang masih bersifat budaya agraris

acapkali tersingkirkan dengan adanya industrialisasi, mekanisasi, dan

perkembangan teknologi informasi. Di sinilah terjadi paradoks tarik-menarik

kepentingan antara kepentingan budaya global dengan budaya lokal.

Beberapa sentra dan kantong-kantong kebudayaan haruslah ditumbuhkan

dan dikembangkan guna memungkinkan nilai-nilai budaya etnis dapat dipadukan

dan menemukan titik singgung dengan nilai budaya global. Ketersinggungan

tersebut terjadi karena proses pembentukan kebudayaan Indonesia berlangsung

tidak melalui proses sentralistis. Nilai-nilai budaya demikian akan membentuk

sistem budaya yang mampu menghadapi tantangan kebudayaan di masa depan.

Nilai budaya tersebut memiliki suatu identitas sehingga mampu menjawab

tantangan-tantangan yang universal dan global.

Pembentukan kebudayaan yang baru pada hakikatnya lebih banyak

berlangsung di kota. Kota menjadi pusat-pusat kebudayaan baru, dan di

kota-kota terjadi pertemuan berbagai nilai budaya. Secara kreatif dan inovatif berbagai

nilai budaya dibentuk menjadi budaya baru dalam menghadapi

(13)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

penting dan mendasar, masyarakat agraris yang mengandalkan tanah telah

bergeser menjadi masyarakat industri yang menjadikan modal sebagai penentu

dan selanjutnya bergeser menjadi masyarakat informasi yang mengandalkan ilmu

pengetahuan dan tekonologi. Perubahan yang demikian jelas akan mempengaruhi

nilai-nilai budaya dan struktur kekuasaan. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya yang

ada harus dilihat sebagai bagian dari masa depan dan dikembangkan secara kreatif

dalam suatu proses perubahan yang eksistensial. Pergeseran nilai budaya di kota

besar seperti disinggung di atas salah satunya adalah di DKI Jakarta.

DKI Jakarta adalah salah satu pusat peradaban budaya di Indonesia. Pada

awal pembentukannya, DKI Jakarta dihuni beberapa suku, yaitu Sunda, Jawa,

Bali, Melayu, Maluku, dan beberapa suku lain. Selain itu, juga terdapat etnis

China, Belanda, Portugis, India, dan Arab. Kemudian suku bangsa tersebut

berbaur dan melebur menjadi sebuah budaya yang disebut Etnik Betawi. Etnik

Betawi sebagai salah satu entitas budaya di Indonesia memiliki kebudayaan “khas” yang boleh jadi tidak dimiliki oleh Etnik bangsa lain. Dalam kerangka etnografi, fakta menunjukkan bahwa Etnik Betawi memiliki karakteristik khusus

yang dapat membedakan eksistensinya dari Etnik suku bangsa lain.

Sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa, Etnik Betawi telah memberikan

kontribusi terhadap nilai budaya bangsa Indonesia. Pada perkembangan

berikutnya, Etnik Betawi telah mengalami perubahan. Hal ini karena kedudukan

entitas budaya Betawi yang berada di daerah Ibu Kota Jakarta. Sebagai ibu kota

negara, DKI Jakarta hidup berbaur dengan berbagai etnik bangsa dan budaya lain.

Etnik Betawi tentu memiliki sistem budaya dengan sejumlah nilai dan

norma yang menjadi acuan dalam berbagai tindakannya. Nilai-nilai budaya

Betawi yang tercipta tentu membawa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya

(Saputra, 2008: 3). Nilai-nilai tersebut sangat mengikat dan mengakar pada Etnik

Betawi sebagai adat-istiadat yang tidak mudah luntur. Salah satu nilai budaya

Betawi yang sangat kuat dan melekat adalah nilai gotong royong, seperti pada

(14)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

sebagainya. Mereka dengan antusias dan tanpa paksaan dari pihak manapun

langsung membantu tanpa pamrih.

Nilai gotong royong tersebut telah tertanam sejak 450 M dengan sikap

yang masih memegang nilai adat istiadat dan norma-norma. Nilai budaya gotong

royong telah mengakar dan membudaya sehingga Etnik Betawi masih hidup

dalam kebersamaan dan kerjasama yang tinggi. Tapi, seiring berjalannya waktu

sampai memasuki abad 21 ini, muncul pertanyaan “Apakah nilai-nilai gotong

royong masih tetap mengakar dan membudaya pada Etnik Betawi pada saat ini?”

Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan Ibukota Negara dan kota

metropolitan yang menjadi pusat urbanisasi terbesar di Indonesia. Dengan

kedudukannya sebagai ibukota negara maka DKI Jakarta sangat terbuka pada

berbagai informasi, budaya, dan pola hidup baru, baik yang berasal dari budaya

berbagai suku bangsa di Indonesia maupun budaya bangsa lain. Dengan

keterbukaan seperti itu, dapat menyebabkan nilai budaya Etnik Betawi mulai

terkikis. Nilai budaya yang di maksud adalah nilai gotong royong yang berada di

Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta

Selatan. Alasan peneliti memilih Setu babakan sebagai objek kajian penelitian

karena kawasan ini merupakan pusat budaya Etnik Betawi dilihat dari adat

istiadat, bahasa, norma, nilai-nilai. Hal ini termasuk di dalamnya adalah nilai

gotong-royong sebagai model penerapan budaya Betawi yang ditopang oleh

jumlah penduduk terbesar di wilayah Jabodetabek.

Nilai-nilai peninggalan kebudayaan betawi itu masih dapat kita saksikan

sampai sekarang terutama di Perkampungan budaya Betawi Setu Babakan yang

merupakan miniatur Etnik Betawi di Provinsi DKI Jakarta yang “kaya” akan

sejarah masa lalu. Hal ini hendaknya dapat ditangkap oleh para pendidik

khususnya Guru IPS di SD untuk dijadikan sumber dalam materi pembelajaran

IPS di kelas agar mereka tidak kehilangan jati diri dan identitas etnik dan

kulturalnya. Peluang ini tampaknya belum dimaksimalkan oleh para guru

walaupun sesungguhnya pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk

(15)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

sekolah untuk mengembangkan pendekatan-pendekatan dalam pembelajaran IPS,

baik itu sumber, bahan maupun metode sesuai dengan kebutuhan lokal institusi

dan daerah masing-masing. Hal ini merupakan kesempatan “emas” bagi guru dan

manajemen sekolah untuk mengembangkan kebutuhan kurikulum dan materi

pelajaran sesuai dengan karakteristik di daerahnya. Pengembangkan kurikulum

dan materi ajar terutama yang berkaitan dengan dinamika budaya lokal setempat

dapat diangkat menjadi sumber, bahan atau materi pembelajaran IPS berbasis

kearifan lokal.

Pada kenyataannya, acapkali cita-cita besar tersebut kandas di tangan guru

yang berkedudukan sebagai satu-satunya sumber belaja, tidak mampu menyajikan

pembelajaran yang menarik bagi siswa sehingga dalam pembelajaran IPS siswa

merasakan adanya kebosanan, tidak menarik, parsial, dan hampa akan nilai.

Sebagaimana disinggung oleh Soemantri (2001: 216), dalam pembelajaran IPS,

masih banyak guru yang menggunakan metode ekspositori dalam pembelajaran

IPS. Metode ceramah yang tidak menarik membuat siswa menjadi pasif dan tidak

merangsang daya pikir siswa. Metode konvensional ini dalam pemakaiannya

hendaknya dibatasi dan sebaiknya guru lebih banyak memberi kesempatan kepada

siswa untuk dapat mengembangkan kemampuannya untuk terlibat aktif dalam

proses pembelajaran di kelas. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Suwarma

(2008: 42), dalam penelitiannya mengemukakan bahwa peran peserta didik

tampak belum secara optimal diperlakukan sebagai subjek didik yang memiliki

potensi untuk berkembang secara mandiri. Posisi peserta didik masih dalam

situasi dan kondisi belajar-mengajar yang didominasi guru dalam menyampaikan

informasi yang secara garis besar bahan-bahannya telah tertulis dalam buku paket.

Dengan demikian, pembelajaran IPS tidak merangsang siswa untuk terlibat secara

aktif dalam proses belajar-mengajar.

Berdasarkan hasil penelitian Sutarjo (2000:71) yang meneliti faktor

kegagalan pendidikan ilmu-ilmu sosial bahwa kegagalan tersebut disebabkan guru

hanya menjejalkan informasi-informasi hafalan dan tidak menyentuh

(16)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Sedangkan hasil penelitian dari Daldjoeni (1981: 43) menemukan empat syarat

yang perlu dipenuhi oleh seorang guru IPS, dengan rincian sebagai berikut.

Pertama; Ia adalah orang yang memiliki cukup pengetahuan. Untuk itu, Ia harus

suka membaca tentang perkembangan masyarakat, baik mengenai situasi di dalam

negeri maupun luar negeri. Kedua; Ia harus bersikap hati-hati dalam

mengeluarkan pendapatnya, Ia harus waspada, tidak serba ngawur dalam

berbicara. Ketiga; Ia harus jujur dalam mengemukakan pendapatnya. Keempat; Ia

harus komunikatif dalam pergaulan, luwes dan mampu berkomunikasi lancar.

Dalam hal ini siswa diperankan bukan sebagai penerima pengetahuan yang

pasif, tetapi sebagai pembangun pengetahuan dan sikap yang aktif melalui cara

pandang secara akademik terhadap realita. Tampaknya, pandangan ini sesuai

dengan teori belajar konstruktivisme yang menitikberatkan pada “process of

knowing” akan menjadi salah satu pilar dan “social studies” pada abad ke-21

tersebut, menggeser pandangan behaviorisme yang mengasumsikan pengetahuan ada di luar dari manusia dan menempatkan siswa sebagai “recipient” dari

pengetahuan. Akan tetapi, dalam penelitian ini juga selain konstruktivisme sebagai pilar dalam menjembatani “learning process”, diperlukan juga pilar

perenialisme yang menitikberatkan pada “Penanaman nilai-moral pada diri siswa” karena sesuai dengan kondisi kultural masyarakat Indonesia yang sejatinya masih

tradisional (Supriatna, 2012:10-13).

Untuk menanamkan nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia pada masa lalu

tersebut, diperlukan usaha dari para pemangku kepentingan terutama para

akademisi dan pemerhati budaya, salah satunya dengan cara melakukan

penelitian. Oleh sebab itu, peneliti bermaksud menggali nilai budaya gotong

royong Etnik Betawi dapat dijadikan sebagai sumber belajar dalam pembelajaran

Ilmu Pengetahuan Sosial. Nilai budaya gotong royong Etnik Betawi merupakan

suatu sumber belajar yang dapat diimplementasikan dalam pembelajaran IPS di

Sekolah Dasar. Pembelajaran IPS tidak saja bertujuan untuk mengembangkan dan

memenuhi ingatan para peserta didik. Tetapi, lebih dari itu, melainkan untuk

(17)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

baik bagi dirinya maupun masyarakat dan negara. Pendidikan IPS mengupayakan

dan menerapkan teori, konsep serta prinsip keilmuan sosial untuk menelaah

pengalaman, peristiwa, gejala, dan masalah sosial yang secara nyata terjadi dalam

kehidupan di masyarakat.

Tujuan pembelajaran IPS (Depdiknas No.22 Tahun 2006) adalah:

1) Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya.

2) Memiliki kemampuan dasar untuk berfikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inquiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial.

3) Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.

4) Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.

Berdasarkan pada paparan di atas, nampak bahwa pembelajaran IPS sangat

diperlukan eksistensinya dalam rangka mengembangkan nilai-nilai yang ada

dalam masyarakat tentang nilai-nilai budaya yang majemuk dan berbeda di

Indonesia. Etnik Betawi yang ada di Jakarta, khususnya di Jakarta Selatan

merupakan warisan budaya nasional dan modal yang besar bagi generasi

selanjutnya. Warisan budaya nasional ini dapat ditumbuhkembangkan bagi dunia

pendidikan dalam mewujudkan salah satu kekayaan bangsa Indonesia yang sudah

mulai hilang. Oleh karena itu, nilai budaya gotong-royong Etnik Betawi dapat

dijadikan sebagai sumber pembelajaran IPS, khusunya pada jenjang Pendidikan

Dasar sehingga dapat berkontribusi bagi dunia pendidikan yang bermuatan

budaya lokal.

B. Fokus Penelitian dan Perumusan Masalah

1. Fokus Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada pembelajaran nilai budaya gotong-royong

Etnik Betawi dan implementasinya dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar.

Aspek-aspek yang menjadi fokus penelitian ini adalah:

(18)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

b. Penggalian nilai budaya gotong-royong Etnik Betawi.

c. Implementasi proses pembelajaran nilai budaya gotong-royong dalam

pembelajaran IPS di Sekolah Dasar.

d. Peran pembelajaran IPS di Sekolah Dasar terhadap nilai budaya

gotong-royong Etnik Betawi.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan fokus penelitian tersebut, penulis merumuskan masalah

penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimanakah kondisi terkini dari nilai budaya gotong-royong Etnik Betawi?

b. Bagaimanakah nilai budaya gotong-royong dapat digali dan dilestarikan pada

Etnik Betawi?

c. Bagaimanakah proses implementasi pembelajaran berbasis nilai budaya

gotong-royong dapat disajikan dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar ?

d. Bagaimanakah peran Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar dalam nilai budaya

gotong royong Etnik Betawi ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Mengungkap informasi tentang kondisi terkini nilai budaya gotong-royong

Etnik Betawi.

b. Menggali dan mencari makna nilai budaya gotong-royong pada Etnik Betawi

dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar.

c. Mengimplementasikan nilai budaya gotong-royong Etnik Betawi dalam

pembelajaran IPS di Sekolah Dasar.

d. Mengetahui peran Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar dalam nilai budaya

(19)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan kegunaan sebagai berikut:

a. Manfaat Teoretis

Nilai budaya gotong-royong pada Etnik Betawi sebagai pengembangan

kerangka teori dan konsep dalam:

1) Pengembangan nilai budaya gotong-royong pada Etnik Betawi ini menjadi

warisan budaya nasional di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2) Nilai budaya gotong-royong pada Etnik Betawi sebagai referensi hasil

penelitian nilai-nilai budaya.

3) Nilai budaya gotong-royong pada Etnik Betawi sebagai bahan

pembelajaran IPS di SD.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat:

1) Berimplikasi positif bagi pelestarian budaya Betawi di DKI Jakarta.

2) Berimplikasi positif bagi dunia pendidikan, khususnya pada pembelajaran

IPS sebagai salah satu sumber pembelajaran.

3) Berimplikasi positif bagi dunia wisata dan pariwisata sebagai aset bangsa

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4) Berimplikasi positif bagi guru IPS, khususnya di kelas IV dalam

pengembangan nilai budaya gotong-royong pada Etnik Betawi.

5) Berimplikasi positif bagi siswa mengenai kajian lintas budaya dalam

(20)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif

adalah penelitian yang menekankan pada aspek gejala sosial yang terjadi di

masyarakat atau lingkungan. Creswell (1998: 15), mengemukakan bahwa

Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang

berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan

masalah manusia. Kaitannya dengan penelitian ini, penelitian mengarah pada

pendekatan mengenai nilai-nilai budaya gotong-royong pada Etnik Betawi,

peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci

dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami.

Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang

sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perspektif partisipan. Pemahaman

tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis

terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian (Hadjar, 1996: 33-34).

Di lain pihak, Basrowi dan Suwandi (2008: 20) mengungkapkan bahwa penelitian

kualitatif merupakan penelitian yang dilakukan berdasarkan paradigma, strategi,

dan implementasi model secara kualitatif. Pengertian serupa juga dikemukakan

Emzir (2010: 28) bahwa pendekatan kualitatif merupakan salah satu pendekatan

yang secara primer menggunakan paradigma pengetahuan berdasarkan pandangan

konstruktivisme (seperti makna jamak dari pengalaman individu, makna yang

secara sosial dan historis dibangun dengan maksud mengembangkan suatu teori

atau pola).

Guba dan Lincoln (1985: 39-43) secara rinci membahas 14 karakteristik

pendekatan kualitatif sebagai berikut.

1) Latar alamiah

2) Manusia sebagai instrumen

(21)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

4) Metode-metode kualitatif 5) Sampel purposif

6) Analisis data secara induktif

7) Teori dilandaskan pada data di lapangan 8) Desain penelitian mencuat secara ilmiah 9) Hasil penelitian berdasarkan negosiasi 10)Cara pelaporan kasus

11)Interpretasi idiografik 12)Aplikasi tentatif

13)Batas penelitian ditentukan fokus 14)Keterpercayaan dengan kriteria khusus

Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat

penemuan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen kunci. Oleh

karena itu, peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas sehingga

mampu bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi objek yang diteliti menjadi

lebih jelas. Penelitian ini lebih menekankan pada makna dan terikat nilai.

Penelitian kualitatif digunakan jika masalah belum jelas, untuk mengetahui makna

yang tersembunyi, untuk memahami interaksi sosial, untuk mengembangkan teori,

untuk memastikan kebenaran data, dan meneliti sejarah perkembangan.

Satori dan Komariah (2013: 25), mengemukakan bahwa penelitian

kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang mengungkap situasi sosial

tertentu dengan mendeskripsikan kenyataan secara benar, dibentuk oleh kata-kata

berdasarkan teknik pengumpulan dan analisis data yang relevan yang diperoleh

dari situasi yang alamiah.

Penelitian kualitatif berangkat dari filsafat konstruktivisme, yang

memandang kenyataan kita berdimensi jamak, interaktif dan menuntut

interpretatif berdasarkan pengalaman sosial. Mc. Millan dan Schumacker (2001:

11) menyatakan: “Reality is multilayer, interactive and a shared social experience

interpretation by individuals”. Peneliti kualitatif memandang kenyataan sebagai

konstruksi sosial, individual atau kelompok yang menarik atau memberi makna

kepada suatu kenyataan dengan mengkonstuksinya. Orang membentuk konstruksi

untuk mengerti kenyataan-kenyataan, dan memahami konstruksi sebagai suatu

(22)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Alwasilah (2011: 100), mengemukakan bahwa tujuan penelitian kualitatif

secara garis besarnya dibagi menjadi 4 bagian yaitu: 1) membangun keakraban

dengan responden; 2) penentuan sampel; 3) pengumpulan data, dan; 4) analisis

data.

Tujuan penelitian kualitatif yang lain juga dikumukakan oleh Sukmadinata

(2013: 94) bahwa:

“Penelitian kualitatif ditunjukkan untuk memahami fenomena-fenomena sosial dari sudut atau perspektif partisipan. Partisipan adalah orang-orang yang diajak berwawancara, diobservasi, diminta memberikan data, pendapat, pemikiran, persepsinya. Pemahaman diperoleh melalui analisis

berbagai keterkaitan dari partisipan, dan melalui penguraian ‘pemaknaan

partisipan’ tentang situasi-situasi dan peristiwa-peristiwa. Pemaknaan partisipan meliputi perasaan, keyakinan, ide-ide, pemikiran dan kegiatan dari partisipan. Beberapa penelitian kualitatif diarahkan lebih dari sekedar memahami fenomena, tetapi juga mengembangkan teori.”

Alwasillah (2011: 64), mengemukakan 6 keunggulan pendekatan

kualitatif, yaitu:

1) Pemahaman makna; makna di sini merujuk pada kognisi, afeksi, intensi, dan apa saja yang terpayungi dengan istilah “perspektif

partisipan” (participant’s perspectives).

2) Pemahaman konteks tertentu; dalam penelitian kualitatif perilaku responden dilihat dalam konteks tertentu dan pengaruh konteks terhadap tingkah laku itu. Peneliti kualitatif lazimnya berkonsentrasi pada sejumlah orang atau situasi yang relatif sedikit dan perhatiannya

terkuras ‘habis-habisan’ pada analisis kekhasan kelompok atau situasi itu saja.Pengumpulan data dari banyak responden atau situasi tidaklah menarik bagi peneliti kualitatif. Justru dengan pisau kualitatif, para peneliti malah mampu membedah kejadian, situasi, dan perilaku dan

bagaimana semua ini dipengaruhi oleh sang ‘situasi’ yang perkasa.

3) Identifikasi fenomena dan pengaruh yang tidak terduga; bagi peneliti kualitatif setiap informasi, kejadian, perilaku, suasana, dan pengaruh baru adalah terhormat dan berpotensi sebagai data untuk memdukung hipotesis kerja (hipotesis kini, hipotesis sementara waktu)

4) Kemunculan teori berbasis data (grounded theory); teori yang sudah jadi atau pesanan, atau apriori tidaklah mengesankan kaum naturalis karena teori-teori ini akan kewalahan jika disergap oleh informasi, kejadian, perilaku, suasana, dan pengaruh baru dalam konteks baru. 5) Pemahaman proses; para peneliti naturalis berupaya untuk lebih

(23)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

diamati. Proses yang membantu perwujudan fenomena itulah yang paling berkesan, bukannya fenomena itu sendiri.

6) Penjelasan Sababiyah (causal explanation); dalam paradigma kualitatif yang dipertanyakan adalah sejauh mana X memainkan peran sehingga menyebabkan Y? Jadi, hal yang dicari adalah sejauhmana kejadian-kejadin itu berhubungan satu sama lain dalam kerangka penjelasan Sababiyah lokal.

Miles and Huberman (1994: 6-7) mengemukakan bahwa metode kualitatif

berusaha mengungkap berbagai keunikan yang terdapat dalam individu,

kelompok, masyarakat atau organisasi dalam kehidupan sehari-hari secara

menyeluruh, rinci, dalam, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal ini

diperkuat oleh pendapat Bogdan and Taylor (1992: 22), pendekatan kualitatif

diharapkan mampu menghasilkan suatu uraian mendalam tentang ucapan, tulisan,

dan atau perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat,

dan atau suatu organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji

dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa

penelitian kualitatif pada hakikatnya peneliti terlibat dan terjun secara langsung

dalam waktu yang relatif lama di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai

aneka aktivitas yang terjadi pada masyarakat tersebut dan mengamati orang dalam

lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan warga masyarakat, berusaha memahami

bahasa, dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya.

B. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif verifikatif. Bungin

(2011: 70) menyatakan:

“Format desain kualitatif verifikatif merupakan sebuah upaya pendekatan induktif terhadap seluruh proses penelitian yang akan dilakukan karena format desain penelitiannya secara total berbeda dengan format deskriptif kualitatif. Format ini lebih banyak mengkonstruksi format penelitian dan strategi memperoleh data di lapangan, sehingga format penelitiannya menganut model induktif. Namun dalam hal memperlakukan teori, format kualitatif verifikatif lebih longgar dalam arti tetap terbuka pada teori, pengetahuan tentang data dan tidak mengharuskan peneliti menggunakan

(24)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

(25)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Data

Data

Data

Data

Peneliti Teori

Kemudian Bungin (2011: 71), mengemukakan bahwa alur informasi dalam

penelitian kualitatif verifikatif ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

Gambar 3.1 : Alur Informasi Kualitatif Verifikatif

Lebih lanjut, Bungin (2011: 151) mengungkapkan bahwa strategi analisis data

kualitatif verifikatif merupakan sebuah upaya analisis induktif terhadap data

penelitian yang dilakukan pada seluruh proses penelitian yang dilakukan. Oleh

karena itu, format strategi analisis data penelitiannya secara total berbeda dengan

format penelitian kuantitatif.

Berdasarkan pendapat tersebut, penelitian ini berupaya untuk memahami

fenomena-fenomena yang terjadi pada subjek penelitian. Peneliti akan berupaya

untuk mengkonstruksi makna tentang suatu fenomena berdasarkan pendapat atau

pandangan-pandangan dari partisipan dan informan. Penelitian ini diarahkan

untuk mengungkapkan, meggambarkan, dan menyimpulkan makna-makna atau

simbol-simbol yang diteliti. Dengan demikian, peneliti berusaha untuk

membangun makna tentang nilai-nilai budaya gotong-royong Etnik Betawi yang

tercermin pada daur hidup Etnik Betawi kemudian diimplementasikan kepada

peserta didik melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pada pembelajaran IPS

kelas IV di SDN Srengseng Sawah 06 Pagi Jakarta Selatan.

Wiriaatmadja (2012: 13), mengemukakan bahwa Penelitian Tindakan

Kelas adalah bagaimana sekelompok guru dapat mengorganisasikan kondisi

praktik pembelajaran mereka dan belajar dari pengalaman mereka sendiri. Mereka

dapat mencobakan sesuatu gagasan perbaikan dalam praktik pembelajaran mereka

(26)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Menurut Arikunto (2012: 16), terdapat empat tahapan dalam Penelitian

Tindakan Kelas (PTK), yaitu: 1) Perencanaan; 2) Pelaksanaan; 3) Pengamatan; 4)

Refleksi. Adapun model dan penjelasan untuk masing-masing tahap adalah

sebagai berikut.

Tahap I: Perencanaan (planning), dalam tahap ini peneliti menjelaskan

tentang implementasi nilai-nilai budaya gotong-royong Etnik Betawi di

Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Penelitian tindakan yang ideal

sebetulnya dilakukan secara berpasangan antara pihak yang melakukan tindakan

dan pihak pihak yang mengamati proses jalannya tindakan. Istilah untuk cara ini

adalah penelitian kolaborasi. Cara ini dikatakan ideal karena adanya upaya untuk

mengurangi unsur subjektivitas pengamat serta mutu kecermatan amatan yang

dilakukan. Untuk itu, peneliti bekerjasama dengan Guru Kelas IV SDN Srengseng

Sawah 06 Pagi Jakarta Selatan, yaitu Sri Wiyanti, S.Pd dan Reviewer Ahli, Dosen

PGSD FIP UNJ, yaitu Drs. Andi Ali Saladin, M.Pd.

Tahap II: Pelaksanaan Tindakan (Acting), yaitu pelaksanaan yang

merupakan implementasi atau penerapan isi rancangan. Hal yang perlu diingat

bahwa dalam tahap ke-2 ini pelaksanaan peneliti harus diingat dan berusaha

mentaati apa yang sudah dirumuskan dalam rancangan, tetapi harus pula berlaku

wajar, tidak dibuat-buat. Dalam refleksi, keterkaitan antara pelaksanaan dengan

perencanaan perlu diperhatikan secara seksama agar sinkron dengan maksud

semula.

Tahap 3: Pengamatan (observing), yaitu kegiatan pengamatan yang

dilakukan oleh pengamat. Sebenarnya, diistilahkan kurang tepat jika pengamatan

ini dipisahkan dengan pelaksanaan tindakan karena seharusnya pengamatan

dilakukan pada waktu tindakan sedang dilakukan. Jadi, keduanya berlangsung

dalam waktu yang sama. Sebutan tahap ke-2 diberikan untuk memberikan peluang

kepada peneliti pelaksana yang juga berstatus sebagai pengamat. Ketika peneliti

tersebut sedang melakukan tindakan. Oleh karena hatinya menyatu dengan

kegiatan, tentu tidak sempat menganalisis peristiwanya ketika sedang terjadi. Oleh

(27)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

melakukan “pengamatan balik” terhadap apa yang terjadi ketika tindakan

berlangsung. Sambil melakukan pengamatan, guru pelaksana mencatat yang

terjadi agar memperoleh data yang akurat untuk perbaikan siklus berikutnya.

Tahap 4: Refleksi (reflecting), yaitu kegiatan untuk mengemukakan

kembali apa yang sudah dilakukan. Kegiatan refleksi ini sangat tepat dilakukan

ketika peneliti telah selesai melakukan tindakan lalu berhadapan dengan Reviewer

untuk untuk mendiskusikan implementasi rancangan tindakan berikutnya. Dengan

kata lain, peneliti kembali melakukan dialog untuk menemukan hal-hal yang

sudah dirasakan memuaskan sesuai dengan rancangan dan secara cermat

mengenali hal-hal yang masih perlu diperbaiki. Jika penelitian tindakan dilakukan

melalui beberapa siklus maka dalam refleksi terakhir, peneliti menyampaikan

rencana yang disarankan kepada peneliti lain apabila dia menghentikan

kegiatannya atau kepada peneliti sendiri apabila akan melanjutkan di kesempatan

lain. Catatan-catatan penting yang dibuat sebaiknya rinci sehingga siapa pun yang

akan melaksanakan tidak akan menemui kesulitan.

Perencanaan

Pelaksanaan

Siklus I

Pengamatan Refleksi

Perencanaan

Pelaksanaan

Siklus II

(28)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Gambar 3.2 : Model Penelitian Tindakan Kelas

C. Lokasi dan Subjek Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Perkampungan Budaya Betawi yang

beralamatkan di Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan

Jagakarsa, Jakarta Selatan. Lokasi ini dipilih karena perkampungan ini telah

ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai salah satu pilot atau

model Perkampungan Budaya Betawi dan etnik ini dianggap masih kuat

melaksanakan nilai-nilai budaya Betawi, khususnya nilai budaya gotong-royong

dalam kehidupan sehari-hari.

2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian merupakan segala hal yang akan diteliti. Hal-hal yang

menjadi subjek dapat berupa orang, benda atau organisasi dan akan diteliti

sifat-sifat atau karakteristiknya. Dengan demikian, subjek penelitian adalah segala hal

yang di dalamnya melekat atau terkandungobjek penelitian.Lincoln dan Guba

(1985:201) menjelaskan bahwa, “Subjek penelitian ini merupakan sumber

informasi atau data yang ditarik dan dikembangkan secara purposif, bergulir hingga mencapai titik jenuh di mana informasi telah terkumpul secara tuntas.”

Informan awal (pokok) adalah orang yang paling memahami karakteristik

nilai-nilai budaya gotong-royong etnikBetawi di Perkampungan Budaya Betawi

Setu Babakan dan informan lain yang ditunjuk (pangkal) merupakan orang yang

mampu memberikan pengembangan/perluasan data informasi. Informan pangkal

diharapkan menunjuk atau memilih informan lain sebagai pelengkap/pembanding

atas informasi yang diperoleh sehingga data informasi semakin luas, detail, dan

mendalam seperti bola salju (rolling snowball). Jumlah informan menurut Kanto

(dalam Bungin, 2003:53), yaitu:

“... jumlah informan bisa sedikit bisa juga banyak terutama tergantung dari; a) tepat tidaknya pemilihan informan kunci, dan b) kompleksitas dan

(29)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

keragaman fenomena sosial yang diteliti. Ketepatan dalam menentukan informan awal akan berpengaruh terhadap kelancaran pengumpulan informasi, yang pada gilirannya akan menentukan efisiensi dan efektivitas penelitian.”

Ciri-ciri informan yang baik adalah: a) Informan harus memiliki data

informasi yang potensial atas budaya Betawi, b) informan harus memiliki

keterlibatan langsung dalam masalah penelitian, c) memiliki ketersediaan waktu

banyak dalam memberikan data informasi, d) informan yang baik menyampaikan

apa yang mereka ketahui dan alami dalam bahasanya sendiri dengan tata runtutan

fenomena waktu, subtansi pengetahuan, dan pengalaman serta harapannya.

Tabel 3.1Kategori Informan Penelitian

No Informan Pokok Informan Pangkal

1 Tokoh sejarawan yang mengetahui seluk-beluk nilai-di Setu Babakan yang mengetahui nilai-nilai Budaya gotong-royong etnik Betawi

3 Tokoh Pemerintahan sebagai warga asli Betawi yang mengetahui Nilai-nilai Budaya gotong-royong Etnik Betawi.

Warga asli betawi yang bekerja di lingkungan pemerintahan yang

mengetahui nilai-nilai Budaya gotong-royong Etnik Betawi

4 Akademisi asli orang Betawi yang mengetahui nilai-nilai Budaya gotong-royong Etnik Betawi.

Akademisi Etnik Betawi lainnya yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap Srengseng sawah 06 Pagi Jakarta Selatan

Kepala Sekolah lain yang masih berada di Jakarta Selatan yang memahami nilai budaya gotong-royong Betawi sebagai sumber pembelajaran IPS. 7 Guru Kelas IV SDN

Srengseng Sawah 06 Pagi Jakarta Selatan

Guru lain yang masih berada di Jakarta Selatan yang memahami nilai budaya gotong-royong Betawi sebagai sumber Pembelajaran IPS.

(30)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

lingkungan seni yang medukung nilai-nilai Budaya gotong-royong Etnik Betawi

Sumber: Rancangan Penelitian Tahun 2013.

Penentuan informan diukur dari kemungkinan kepemilikan informasi data

yang terkait dengan masalah penelitian untuk dijadikan bahan analisis. Banyaknya

informan disesuaikan dengan kebutuhan pengumpulan data informasi sehingga

memperoleh data secara lengkap dan akurat untuk menjawab pertanyaan

penelitian dengan baik.

D. Metode Pengumpulan Data dan Teknik Analisis Data

Metode pengumpulan data dan teknik analisis data adalah wawancara

mendalam, observasi partisipasi, bahan dokumenter, serta metode-metode baru

seperti metode bahan visual dan metode penelusuran bahan internet (Bungin, 2011:

110).

1. Wawancara mendalam (in-depth interview)

Bungin (2011: 111) mengemukakan bahwa wawancara mendalam secara

umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara

tanya-jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau

orang yang diwawancarai, dengan atau menggunakan pedoman (guide)

wawancara. Pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang

relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah

keterlibatannya dalam kehidupan informan. Wawancara yang peneliti lakukan

secara intensif dan mendalam adalah dengan Bang Indra selaku Pengelola

Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan karena Beliau yang mengerti dan

tahu seluk-beluk Etnik Betawi di wilayah tersebut.

Penjelasan lain mengenai wawancara mendalam disampaikan Mc. Millan

dan Schumacher (2001: 443), mengemukakan bahwa wawancara mendalam adalah

tanya-jawab yang terbuka untuk memperoleh data tentang maksud hati partisipan

menggambarkan dunia mereka dan bagaimana mereka menjelaskan atau

(31)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Senada dengan hal itu, Satori dan Komariah (2013: 130) mengemukakan bahwa

wawancara mendalam adalah suatu proses mendapatkan informasi untuk

kepentingan penelitian dengan cara dialog antara peneliti sebagai pewawancara

dengan informan atau yang memberi informasi dalam konteks observasi

partisipasi.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa wawancara mendalam adalah

suatu cara atau trik yang dilakukan oleh peneliti untuk memperoleh data yang

diinginkan oleh peneliti dengan tanya jawab langsung secara akurat dan kredibel.

Wawancara mendalam dalam penelitian ini dilakukan dengan Tokoh

Sejarawan, Pengelola Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Tokoh

Pemerintahan sebagai warga asli Betawi, Akademisi asli orang Betawi yang

mengetahui budaya gotong-royong, Pemerhati kurikulum Pendidikan Dasar,

Kepala Sekolah SDN Srengseng Sawah 06 Pagi Jakarta Selatan, Guru Kelas IV

SDN Srengseng Sawah 06 Pagi Jakarta Selatan, Tokoh Kesenian.

2. Observasi Partisipasi

Bungin (2011: 118) mengemukakan bahwa observasi atau pengamatan

adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindra mata

sebagai alat bantu utamanya selain pancaindra lainnya, seperti telinga, penciuman,

mulut, dan kulit. Metode observasi adalah metode pengumpulan data yang

digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan

pengindraan.

Observasi partisipasi adalah pengumpulan data melalui observasi terhadap

objek pengamatan dengan langsung hidup bersama, merasakan serta berada dalam

aktivitas kehidupan objek pengamatan. Dengan demikian, peneliti betul-betul

menyelami kehidupan objek pengamatan dan bahkan tidak jarang pengamat

kemudian mengambil bagian dalam kehidupan budaya mereka. Di lain pihak,

Maleong (2001: 164) mengemukakan bahwa observasi partisipasi adalah “...pada

dasarnya berarti mengadakan pengamatan dan mendengarkan secara secermat

(32)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Dengan demikian, observasi partisipan adalah peneliti terlibat dan ikut

serta dalam berbagai aktivitas sehari-hari sehingga diperoleh data yang lebih

lengkap, akurat, dan terpercaya. Diharapkan peneliti dapat terlibat pada berbagai

aktivitas yang sedang berlangsung di Perkampungan Budaya Betawi Setu babakan

Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan.

3. Metode Studi Dokumenter

Metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data

historis. Secara detail bahan dokumenter terbagi beberapa macam yaitu: 1)

Otobiografi; 2) Surat-surat pribadi, buku-buku atau catatan harian, memorial; 3)

Kliping; 4) Dokumen pemerintah maupun swasta; 5) Cerita roman dan cerita

rakyat; 6) Data di server dan flashdisk; 7) Data tersimpan di web site, dan lain-lain

(Bungin, 2011: 124).

4. Metode Bahan Visual

Bungin (2011: 126) mengemukakan bahwa bahan visual meliputi: foto,

grafis, film, video, kartun, mikrofilm, slide, dan sebagainya. Bahan visual

bermanfaat untuk mengungkapkan suatu keterkaitan antara objek penelitian dan

peristiwa di masa silam atau peristiwa saat ini. Bahan visual juga memiliki makna

secara spesifik terhadap objek atau informan penelitian.

5. Metode Penelusuran Data Online

Metode penelurusan data online menurut Bungin (2011: 128) adalah:

“Metode penelusuran data online yang dimaksud adalah tata cara melakukan penelusuran data melalui media online seperti internet atau media jaringan lainnya yang menyediakan fasilitas online, sehingga memungkinkan peneliti dapat memanfaatkan data-informasi online yang berupa data maupun informasi teori, secepat atau semudah mungkin, dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.”

Metode ini menitikberatkan pada pemahaman dan penguasaan peneliti

terhadap penguasaan ICT dan perangkatnya sehingga dalam pencarian data-data

yang berbasis online dapat dengan mudah ditemukan dan sesuai harapan dari

(33)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data penelitian menggunakan berbagai teknik untuk

memperoleh data penelitian yang lengkap, akurat, dan mendalam. Teknik-teknik

yang ditempuh adalah:

1. Melalui analisis dokumentasi.

Teknik ini dilakukan terhadap himpunan dokumen primer yang memuat

tentang eksistensi nilai-nilai budaya gotong-royong pada Etnik Betawi.

Sumber primer ini diperoleh dari berbagai sumber dokumen yang ditemukan.

Sumber sekunder antara lain berasal dari buku-buku yang relevan, jurnal,

disertasi, tesis serta sumber lain yang dianggap relevan.

2. Dilakukan dengan wawancara terhadap pihak-pihak yang terlibat dan

memahami nilai-nilai budaya gotong-royong di Perkampungan Budaya Betawi

Setu Babakan.

Agar wawancara dapat terarah, terlebih dahulu peneliti menetapkan

panduan wawancara sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3.2 berikut.

Tabel 3.2 Panduan Wawancara

Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Narasumber

1.Bagaimanakah

(34)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Narasumber

royong dapat

F. Teknik Analisis Data

Setelah data penelitian terkumpul, langkah selanjutnya peneliti melakukan

analisis data. Satori dan Komariah (2013: 200) mengemukakan bahwa analisis

adalah suatu usaha untuk mengurai suatu masalah atau fokus kajian menjadi

bagian-bagian (decomposition) sehingga susunan/tatanan bentuk sesuatu yang

diurai itu tampak dengan jelas dan secara lebih terang ditangkap maknanya atau

lebih jernih dimengerti duduk perkaranya. Analisis dilakukan dengan cara

menelaah setiap fenomena atau peristiwa secara keseluruhan, maupun terhadap

bagian-bagian yang membentuk fenomena.

Teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti adalah Analisis Model

Miles dan Huberman. Miles dan Huberman (1992: 16-20) mengemukakan bahwa

analisis data penelitian kualitatif dilakukan dengan langkah-langkah: 1) reduksi

data; 2) penyajian data; dan (3) menarik kesimpulan/verifikasi.

Tiap langkah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Reduksi Data (Reduction)

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian

(35)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan

suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan,

membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data dengan cara

sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan

diferivikasi. Data yang diperoleh dari penelitian kemudian dipilah berdasarkan

konsep, tema, dan kategorinya.

Dengan reduksi data, kita tidak perlu mengartikannya sebagai kuantifikasi.

Data kualitatif dapat disederhanakan dan ditransformasikan dalam aneka

macam cara; melalui seleksi yang ketat, melalui ringkasan atau uraian singkat,

menggolongkannya dalam satu pola yang lebih luas, dan sebagainya.

2. Penyajian Data (Data Display)

Setelah melakukan reduksi data, selanjutnya peneliti melakukan penyajian

data (data display). Dalam hal ini, peneliti menyajikan data secara ferivikatif

kualitatif. Namun demikian, penyajian data juga disajikan dalam bentuk jenis

matrik, grafik, jaringan, dan bagan. Hal itu dirancang guna menggabungkan

informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah diraih,

dengan demikian seorang peneliti dapat melihat apa yang sedang terjadi dan

menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar atau terus melangkah

melakukan analisis menurut saran penyaji sebagai sesuatu yang berguna.

3. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi (Conclusion Drawing/Verification).

Kesimpulan yang dipaparkan dalam penelitian ini ditujukan untuk

menjawab rumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya. Artinya,

temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa

deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih belum jelas atau

gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal

atau interaktif, hipotesis atau teori.

(36)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Agar penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, peneliti

melakukan upaya pemeriksaan keabsahan data penelitian. Menurut Moleong

(2007: 320), keabsahan data adalah bahwa setiap keadaan harus memenuhi:

a. Mendemonstrasikan nilai yang benar,

b. Menyediakan dasar agar hal itu dapat diterapkan, dan

c. Memperbolehkan keputusan luar yang dapat dibuat tentang konsistensi dari prosedurnya dan kenetralan dari temuan dan keputusan-keputusannya.

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk

menghasilkan penelitian kualitatif yang dapat dipertanggungjawabkan, harus

dilakukan pemeriksaan keabsahan data agar penelitian menghasilkan nilai yang

benar dan dapat diterapkan. Berkenaan dengan penelitian yang dilakukan oleh

peneliti, peneliti melakukan pemeriksaan keabsahan dengan cara kredibilitas,

defendabilitas, konfirmabilitas, dan transperabilitas. Tiap-tiap cara tersebut dapat

dijelaskan sebagai berikut.

1. Keterpercayaan/Kredibilitas (Credibility/Validitas Internal)

Untuk menjamin kredibilitas data hasil penelitian maka dalam penelitian ini

peneliti berusaha memperoleh data dari sumber/informan yang memiliki

pengetahuan dan pengalaman yang memadai tentang fokus masalah yang akan

diteliti.

2. Keteralihan (Transferability/Validitas Eksternal)

Selain adanya kredibilitas, dalam penelitian ini peneliti berusaha melakukan

transferabilitas. Transferibilitas berkaitan dengan sejauh mana hasil penelitian

dapat digeneralisasikan atau diterapkan pada populasi. Berkenaan dengan itu,

maka transferabilitas merupakan kewenangan yang diserahkan kepada

pemakai hasil penelitian.

3. Kebergantungan/Dependabilitas (Dependability/Reliabilitas)

Untuk mencapai derajat dependabilitas, peneliti berusaha menunjukkan

konsistensi dan stabilitas data hasil temuan yang dapat direplikasi. Dengan

mengambil tempat penelitian lingkungan Etnik Betawi, diharapkan tingkat

(37)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

setting sosial dalam penelitian ini relatif tidak/belum mengalami banyak

perubahan.

4. Konfirmabilitas/Kepastian (Confirmability/Objektivitas)

Untuk mencapai tingkat kepastian, data yang diperoleh dapat dilacak

kebenarannya dan sumber informannya jelas. Oleh karena itu, keberadaan data

penelitian ini dapat ditelusuri keberadaannya secara jelas dan pasti. Dalam

penelitian ini, untuk mencapai objektivitas, peneliti melakukan pemeriksaan

untuk meyakinkan bahwa hal-hal yang dilaporkan memang sesuai dengan

keadaan yang sebenarnya dan tidak direkayasa.

Selain itu, untuk memperoleh derajat pertanggungjawaban akademik,

peneliti menetapkan teknik uji keabsahan data dengan Triangulasi (Bungin, 2011:

257).

“Uji keabsahan data dapat dilakukan dengan triangulasi pendekatan dengan kemungkinan melakukan terobosan metodologis terhadap masalah-masalah tertentu yang kemungkinan dapat dilakukan seperti apa

yang dikemukakan oleh Burgess dengan “strategi penelitian ganda” atau seperti yang dikatakan oleh Denzin dengan “triangulasi”. Istilah

penggabungan metode ini dikenal lebih akrab di kalangan pemula dengan istilah “meta-metode” atau “mix-method”, yaitu metode campuran, di mana metode kuantitatif dan kualitatif digunakan bersama-sama dalam sebuah penelitian.”

Dalam penelitian ini, peneliti menetapkan teknik pemeriksaan keabsahan

(38)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.HASIL PENELITIAN

1. Deskripsi UmumLokasi Penelitian

a. Lokasi Penelitian

Kecamatan Jagakarsa merupakan salah satu Kecamatan di wilayah Kota

Administrasi Jakarta Selatan, sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala

Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor:1251 Tahun 1986, Nomor:435 Tahun

1966, dan Nomor: 1986 tahun 2000, maka luas wilayah Kecamatan Jagakarsa

adalah 25,01 km2 yang terdiri atas 54 RW dan 541 RT dengan luas

masing-masing Kelurahan sebagai berikut:

a. Kelurahan Cipedak: 3,97 Km2

b. Kelurahan Srengseng Sawah: 6,75 Km2

c. Kelurahan Ciganjur: 3,51 Km2

d. Kelurahan Jagakarsa: 4,85 Km2

e. Kelurahan Lenteng Agung: 2,28 Km2

f. Kelurahan Tanjung Barat: 3,65 Km2

Letak Geografis Kecamatan Jakarsa pada batas astronomi 06015’40,8’’ LS

dan 106045’00,0’’ BT.

Kelurahan Srengseng Sawah merupakan salah satu dari 6 Kelurahan di

wilayah Kecamatan Jagakarsa Kota Administrasi Jakarta Selatan yang dibentuk

berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1251 Tahun 1986,

dengan luas wilayah 674,70 Ha yang berbatasan dengan :

Sebelah Utara : Kelurahan Lenteng Agung dan Kelurahan Jagakarsa

Sebelah Timur : Kali Ciliwung

Sebelah Selatan : Kota Depok

Gambar

Gambar 3.1 : Alur Informasi Kualitatif Verifikatif
Tabel 3.1Kategori Informan Penelitian
Tabel 3.2 Panduan Wawancara Tujuan Penelitian
Gambar 4.1: Pintu Masuk Perkampungan Budaya Betawi Setu BabakanKelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, penelitian ini juga berusaha menganalisis cara masyarakat etnis Tionghoa di desa Sewan kota Tangerang mensosialisasikan nilai-nilai budaya itu kepada

Pada tahun 2013, lewat beasiswa peningkatan profesi guru dari P2TK Dikdas Kemendikbud, Penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan pascasarjana program magister

Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat kampung adat Cireundeu terutama dalam membangun dan menjaga ketahanan pangan dengan beralih dari beras ke singkong merupakan

Hal ini sungguh ironis mengingat membaca adalah merupakan salah satu unsur terpenting dalam kegiatan pembelajaran (Widodo et al., 2020). Pendidikan IPS yang di

Berdasarkan kondisi tersebut, peneliti bermaksud mengkaji penerapan nilai-nilai kearifan lokal pengolahan bahan pangan dari singkong yang dilakukan masyarakat Desa

karakter yang layak diaktualisasikan dalam pembelajaran IPS meskipun tidak terdapat dalam daftar delapan belas nilai karakter karena nilai-nilai tersebut bersifat

Fathur Rahman, 2023 EKSISTENSI KESENIAN LENONG BETAWI DI SETU BABAKAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR IPS Studi Deskriptif pada Nilai-Nilai Kesenian Lenong Betawi di Perkampungan Budaya

Fathur Rahman, 2023 EKSISTENSI KESENIAN LENONG BETAWI DI SETU BABAKAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR IPS Studi Deskriptif pada Nilai-Nilai Kesenian Lenong Betawi di Perkampungan Budaya