• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI BUDAYA DALAM TRADISI TENUN SAMBAS SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "NILAI BUDAYA DALAM TRADISI TENUN SAMBAS SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS."

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

B. Fokus Penelitian dan Rumusan Masalah ………... 12

C. Tujuan Penelitian ……….. 13

D. Manfaat Penelitian ………. 14

E. Paradigma ……….. 14

F. Anggapan Dasar ……..……….. 16

BAB II KAJIAN PUSTAKA ……….. 17

A. Pandangan Konseptual Tentang Sistem Nilai Budaya ……….. 17

1. Konsep Nilai ………... 17

2. Pengertian Kebudayaan ……….………. 22

3. Sistem Sosial Budaya ……….………. 28

4. Sistem Nilai Budaya ……… 36

5. Enkulturasi dan Transformasi Budaya ……… 47

a. Konsep Enkulturasi ……… 47

b. Enkulturasi dan Pembentukkan Kepribadian ……… 49

c. Transformasi Budaya ……… 57

B. Sumber Pembelajaran Pendidikan IPS ……….…………. 61

1. Kurikulum ……… 61

2. Silabus ………. 65

3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ………. 68

4. Hakikat Pembelajaran ……….. 70

5. Hakikat Pendidikan IPS ………... 72

6. Pembelajaran Pendidikan IPS ………... 75

(2)

BAB III PROSEDUR PENELITIAN …………...……….…. 85

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 106

A. Temuan Penelitian ……….……….. 106

2. Potensi Nilai Budaya dalam Tradisi Tenun Sambas Dilihat dari Perspektif Pengembangan Nilai dalam Pembelajaran Pendidikan IPS ………. 145

3. Strategi Pengembangan Nilai Budaya dalam Tradisi Tenun Sambas sebagai Sumber Pembelajaran Pendidikan IPS …….….. 149

a. Pendidikan dan Lingkungan Sosial Budaya ………... 149

b. Enkulturasi dan Transformasi Nilai Budaya dalam Tradisi Tenun Sambas Melalui Pembelajaran Pendidikan IPS ..………..…. 154

c. Mengintegrasikan Nilai Budaya dalam Tradisi Tenun Sambas sebagai Sumber Pembelajaran Pendidikan IPS ..………. 156

(3)

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 168

A. Kesimpulan ... 168

B. Rekomendasi ... 170

DAFTAR PUSTAKA ………. 172

LAMPIRAN-LAMPIRAN ………...…………...…….. 179

(4)

DAFTAR TABEL DAN BAGAN

Tabel Halaman

3.1 Tabel Pemetaan Informan ………...……… 91

3.1 Bagan Analisis Data ……… 97

4.1 Data Desa dan Dusun yang Ada di Kabupaten Sambas …………. 108

4.2 Nama-nama Bupati Kabupaten Sambas Dari tahun 1950-sekarang ……… 113

4.3 Jumlah Penduduk Kabupaten Sambas ………. 116

4.4 Data Pemeluk Agama di Kabupaten Sambas ……….. 119

4.5 Ilustrasi Harga Produk Tenun Sambas ……… 128

4.6 Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) Tenun Sambas tahun 2008-2009 ………..… 137

(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

4.1 Peta Kalimantan Barat ……… 110

4.2 Peta Kabupaten Sambas ………. 111

4.3 Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sambas ……… 114

4.4 Miniatur Alat Tenun Sambas ………. 133

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dan budaya yang berbeda-beda satu sama lain, yang tersebar di berbagai daerah yang mendiami kepulauan nusantara. Keanekaragaman suku bangsa ini menjadi ciri khas bangsa Indonesia dan merupakan manifestasi dari unsur Bhineka Tunggal Ika. Keanekaragaman suku bangsa tersebut mengakibatkan adanya perbedaan dalam berbagai bidang kehidupan seperti budaya, bahasa, adat istiadat, tata cara, kebiasaan, status sosial, dan agama.

Menyadari keberadaan ini, untuk menjamin eksistensi kebudayaan tersebut, dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 32 dinyatakan bahwa,

“Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. Adapun yang

dimaksud dengan kebudayaan nasional dan pengembangannya dalam pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut:

(7)

Kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari manusia, karena manusia sendirilah yang menciptakan kebudayaan sehingga mereka disebut sebagai makhluk yang berbudaya. Dalam kaitannya dengan masalah kebudayaan tersebut Sumaatmadja (2000: 16) menegaskan sebagai berikut “Kelebihan manusia dari makhluk-makhluk hidup lainnya adalah manusia dikaruniai akal pikiran yang berkembang dan dapat dikembangkan. Manusia dapat mendidik diri sendiri, dan secara sengaja ia dapat juga dididik, sehingga kemampuan intelektualnya itu semakin berkembang.”

Kemudian lebih lanjut Soedjito (1986: 19) menyatakan bahwa “yang membedakan antara manusia dengan makhluk lain adalah bahwa manusia mampu menciptakan kebudayaan. Sejak manusia lahir di muka bumi ini, dia sudah dikelilingi dan diliputi oleh kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai tertentu.” Kepercayaan dan nilai masyarakat menjadi tidak jelas akibat globalisasi. Globalisasi telah menempatkan manusia pada dunia tanpa batas (borderless world). Globalisasi yang disertai dengan revolusi di bidang ICT (Information and

Communication Technology) membawa pengaruh pada lunturnya nilai-nilai di

(8)

produksi luar negeri. Tentang hubungan manusia dan kebudayaan Zen (2002: 75) menyatakan bahwa:

Ki Hajar Dewantara juga mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk berbudi, sedangkan budi tidak lain artinya daripada jiwa yang telah melalui batas kecerdasan tertentu. Menurut Ki Hajar Dewantara, jiwa manusia merupakan diferensiasi kekuatan-kekuatan, dikenal dengan sebutan Trisakti yaitu pikiran, rasa, dan kemampuan atau cipta karsa. Budi manusia dengan tiga kekuatan tersebut ia mampu memasukkan segala isi alam yang ada di luarnya ke dalam jiwanya melalui panca inderanya dan mengolahnya menjadi kebudayaan.

Setiap masyarakat tentu memiliki kebudayaan, karena kebudayaan merupakan respon manusia terhadap persoalan hidup yang dihadapi di tengah-tengah masyarakat. Sehingga tidak heran bila kebudayaan mencakup ruang lingkup yang sangat luas, seluas persoalan hidup manusia. Koentjaraningrat mengemukakan bahwa ada empat wujud kebudayaan, yaitu: kebudayaan sebagai nilai ideologis; kebudayaan sebagai sistem gagasan; kebudayaan sebagai sistem tingkah laku dan tindakan yang berpola; dan kebudayaan sebagai benda fisik (artifak). Lebih lanjut mengenai empat wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (2005: 92) adalah sebagai berikut:

1. Nilai-nilai budaya merupakan tahap filosofis atau ideologis yang terbentuk karena pengalaman manusia, tahap ini merupakan hasil pemikiran yang biasanya memiliki bentuk tekstual tersurat maupun tersirat dalam norma, aturan adat, cerita rakyat atau karya seni. 2. Sistem budaya berupa gagasan dan konsep juga merupakan

manifestasi hasil pemikiran. Tahap wujud ini juga memiliki bentuk tertulis tersurat dan beberapa dapat berbentuk gambar atau konfigurasi.

3. Sistem sosial sebagai tahap wujud selanjutnya merupakan tindakan

dalam rangka “mewujudkan” konsep. Tahap wujud ini dapat

berbentuk tulisan, gambar, konfigurasi maupun kegiatan.

(9)

paling nyata di antara bentuk yang lain. Pada wujud inilah kebudayaan seringkali sudah memiliki bentuk benda, sehingga dapat dilihat, disentuh dan dirasakan.

Di dalam pengalaman manusia, kebudayaan bersifat “universal”, dalam arti bahwa

tiap-tiap masyarakat memiliki ciri yang khusus sesuai dengan situasi maupun lokasinya. Hal tersebut mengakibatkan setiap masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda-beda sebagai konsekuensi dari perbedaan pengalaman masyarakat tersebut. Sekedar menyebut contoh, kebudayaan masyarakat Batak berbeda dengan kebudayaan masyarakat Jawa. Hal ini tentu sebagai akibat situasi dan kondisi serta pengalaman-pengalaman kedua masyarakat tersebut yang berbeda. Lebih lanjut Lutan (2001: 163) mengemukakan bahwa:

Secara konsepsional manusia dapat dikategorikan sebagai makhluk yang mampu menciptakan nilai-nilai kebudayaan, serta mampu mengatur dan bersedia diatur oleh kebudayaan yang diciptakannya. Kebudayaan memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Karena kebudayaan tidak terbentuk atau tumbuh dengan sendirinya secara alamiah. Kemajemukkan, sekaligus perbedaan yang terkandung dalam kebudayaan yang ada di berbagai daerah di Indonesia, tercermin dalam ragam bahasa daerah, suku, sistem kekerabatan, agama dan sistem kepercayaan.

(10)

karya yang dihasilkan oleh individu dalam berinteraksi. Adimihardja (2008: 161) mengemukakan bahwa:

Karya manusia saat ini yang menunjukkan gejala serba praktis, agaknya diperlukan inspirator berupa gagasan yang peduli terhadap lingkungan dengan karya-karya yang menunjukkan kemampuan bagaimana nilai-nilai tradisi kebudayaan baru mampu mewadahi kehampaan jiwa dalam kehidupan sehari-hari. Agaknya, hanya dengan revitalisasi makna simbol budaya yang menyeluruh dapat menunjukkan bagaimana kehidupan sehari-hari memiliki makna dan cara ini juga merupakan upaya mempertahankan keberlangsungan sejarah bangsanya.

Pendidikan dijadikan harapan semua pihak guna merintis tata kehidupan dunia yang lebih manusiawi. Pendidikan harus mampu menjalankan misinya sebagai alat pengembang serta mampu mentransformasikan nilai budaya yang ada ke dalam dunia pendidikan. Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang dapat dijadikan sebagai salah satu alat untuk mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan tersebut. Berdasarkan referensi tersebut diharapkan para pendidik dapat memahami peserta didik dan mengerti akan nilai-nilai yang ada pada kebudayaan bangsa Indonesia.

(11)

pembangunan masa lalu akibat kurangnya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam mengelolah pembangunan di daerahnya. Program otonomi daerah pada intinya diarahkan untuk mempercepat proses pembangunan serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan tersebut.

Masyarakat maju dan cerdas yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia adalah masyarakat yang menghargai kebudayaan bangsa, bukan masyarakat yang meninggalkan kebudayaannya sendiri dan mengagung-agungkan kebudayaan bangsa lain. Salah satu aset budaya bangsa Indonesia tersebut adalah kebudayaan Melayu Sambas. Kebudayaan Melayu Sambas merupakan bagian dari kebudayaan nasional Indonesia, di samping kebudayaan daerah lain yang ada di Indonesia. Kebudayaan Melayu Sambas juga mendapat pengaruh dari luar, tetapi tidak mengubah struktur dasar dari kebudayaan tersebut. Kebudayaan Melayu Sambas yang bersifat terbuka, akomodatif, dan adaptif dengan berbagai sistem nilai yang ada di dalamnya seperti agama, adat istiadat, dan tradisi. Kebudayaan Melayu Sambas telah teruji kemampuannya dalam membangkitkan semangat masyarakat pendukungnya dalam mengisi pembangunan bangsa. Oleh sebab itu nilai yang terkandung di dalamnya perlu terus dipelihara serta ditumbuhkembangkan guna memacu pertumbuhan kebudayaan nasional.

(12)

untuk diperhatikan oleh para perencana pembangunan. Potensi nilai budaya masyarakat Melayu Sambas dapat dikembangkan untuk menunjang proses pembangunan daerah kabupaten Sambas. Melalui pendidikan, transformasi dan enkulturasi nilai budaya Melayu Sambas dapat dilakukan dengan mengintegrasikannya ke dalam kegiatan pembelajaran di sekolah.

Lingkungan dengan segala sumber daya memiliki keterbatasan-keterbatasan, namun pada pihak lain kebutuhan manusia dalam rangka memenuhi syarat dasar hidupnya setiap saat senantiasa mengalami peningkatan. Implikasinya pada setiap pembelajaran baik individu maupun kelompok akan memiliki pilihan strategi yang satu sama lain saling berbeda. Individu atau kelompok pembelajar dengan pengetahuan belajarnya akan melihat permasalahan adanya keterbatasan tersebut dengan cara merespon secara aktif. Permasalahan yang berlangsung di lingkungannya itu akan berusaha untuk diatasi melalui pembelajaran. Kemampuan budaya belajar individu atau kelompok sosial keadaptifannya ditunjukkan untuk memecahkan berbagai persoalan yang timbul di lingkungannya.

(13)

Pendidikan merupakan proses belajar mengajar yang dapat menghasilkan perubahan di segala hal termasuk perilaku, sikap dan perubahan intelektualnya. Pendidikan sebagai usaha untuk membantu mencapai kedewasaan pola pikir dan berinteraksi dengan lingkungannya. Pendidikan adalah upaya menanamkan sikap dan keterampilan pada anggota masyarakat agar mereka kelak mampu memainkan peranan sesuai dengan kedudukan dan peran sosial masing-masing dalam masyarakat. Melalui pendidikan kita bisa membentuk suatu tatanan kehidupan bermasyarakat yang maju, modern, tentram dan damai berdasarkan nilai-nilai dan norma budaya. Rekonstruksi baru di bidang pendidikan dilakukan untuk menghadapi tantangan zaman global. Di era post modern segala sistem dari berbagai ideologi menghendaki adanya konstruksi baru pada arah epistemologi khususnya di bidang pendidikan. Maka jiwa pendidikan perlu dikembalikan yaitu sebagai pembelajaran yang menanamkan nilai-nilai, termasuk penanaman nilai budaya kepada peserta didik. Muhadjir (2002: 15) menyatakan bahwa:

Banyak ilmu sosial mengalami stagnasi. Psikologi terhenti perkembangannya sampai behaviorisme; yang berkembang berikutnya adalah modifikasi-modifikasi atas behaviorisme dengan menambah sejumlah konsep-konsep ilmu jiwa dalam, ilmu jiwa fikir, ilmu jiwa Gestalt, dan lain-lain dalam konseptualisasi ataupun operasionalisasi behaviorisme. Teori ekonomi juga berhenti perkembangannya pada teori klasik dan teori Keynesian; tiada teori baru, kecuali pembenahan-pembenahan, dan tetap menampilkan kontroversi yang tak terselesaikan dalam pembuatan kebijakan ekonomi.

(14)

bersumber pada disiplin ilmu-ilmu sosial yang bersumber dari ekonomi, geografi, sejarah, politik, antropologi, politik, hukum, sosiologi, dan lainnya. Karena itu, sasaran pembelajaran pendidikan IPS lebih diarahkan pada arti praktis dalam mencari alternatif pemecahan masalah yang dibahas. Guru IPS yang mengetahui kondisi masyarakat sebenarnya di lapangan, yang bukan hanya belajar teori, biasanya diterjunkan ke masyarakat agar bisa merasakan, berpartisipasi, bersosialisasi, dan berdiskusi dengan masyarakat. Menurut pendapat Almuchtar (2008: 37):

Mutu strategi pembelajaran sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kerap muncul saling berkaitan dan bersamaan dengan perubahan dan dinamisasi perkembangan masyarakat itu sendiri. Strategi pembelajaran yang semestinya berakar budaya bangsa, sering dikembangkan atas dasar teori-teori yang dipungut dari pemikiran yang memiliki landasan kultural yang berbeda.

Kemajuan peradaban dan teknologi memang bagai dua sisi mata uang. Di satu sisi, dia sungguh menguntungkan. Tapi di sisi lain, dia akan menggilas yang pernah hadir dan tak sanggup bertahan. Demikian juga dengan berbagai produk dan kebudayaan di Nusantara. Yang terdiri dari beribu kepulauan, tentu saja menghasilkan berbagai jenis ragam dan produk budaya berbeda. Ambil satu contoh saja tradisi menenun. Hampir di sebagian besar wilayah Indonesia, ada kerajinan penghasil bahan sandang ini. Nama tenun ini sesuai dengan nama daerahnya, tenun songket dan tenun ikat Sambas.

(15)

tenun Sambas dapat menopang kebutuhan hidup. Kepedulian masyarakat terhadap kelangsungan tenun Sambas perlu diwujudkan dalam tindakan nyata, salah satunya dengan berupaya melestarikan tenun dengan menghasilkan berbagai ragam motif. Masalah yang ada di masyarakat Sambas pada saat ini, yaitu adanya klaim negara Malaysia dan Brunei Darussalam terhadap kain tenun Sambas. Berdasarkan sumber http://batampos.co.id 1 Juli 2009 menyatakan ”Malaysia sepertinya tidak bosan mengklaim karya Indonesia, tenun ikat kerajinan Sambas, Kalimantan Barat, diakui sebagai produk negeri jiran itu. Kadis Perindag Provinsi Kalbar Dody S. Wardaya menemukan tenun ikat Sambas yang diberi label made in Malaysia.” Selanjutnya, kain tenun songket Sambas dapat dilihat dan dipajang di Museum Brunai Dasussalam. Hal itu perlu ditelusuri lebih lanjut dan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Masalah itu perlu dicari solusi nyata agar budaya tenun Sambas tetap lestari dan para pengrajin tenun Sambas mendapat perlindungan atas hak ciptanya. Sampai saat ini motif tenun Sambas sudah berjumlah 180 motif, akan tetapi belum satupun motif tenun yang sudah mendapatkan hak paten.

(16)

secara sistematis. Ketiga, guru tidak mampu mengelola kegiatan pembelajaran secara efektif dan efisien.

Sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan merupakan wadah pengembang wawasan keilmuan masyarakarat dengan menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dan beriringan dengan kemajuan zaman dan kemajuan tekhnologi dan informasi. Bersamaan dengan itu kemajuan institusi tersebut dituntut untuk menyelenggarakan pendidikan secara profesional dan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional saat ini. Kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan berpedoman pada KTSP. Selama ini pembelajaran pendidikan IPS dianggap sebagai mata pelajaran baru yang kurang menyenangkan. Sehingga mata pelajaran pendidikan IPS tidak dianggap sebagai mata pelajaran yang dapat membina peserta didik agar memiliki kecakapan dan sikap kritis untuk memecahkan masalah-masalah yang terjadi di lingkungannya tetapi cenderung pelajaran yang menjenuhkan dan membosankan. Penilaian pembelajaran konvensional hanya mencerminkan kemampuan peserta didik melalui isi materi tes.

(17)

bersama-sama menggali kompetensinya masing-masing dengan optimal. Kepedulian peserta didik terhadap masalah yang terjadi di lingkungan masyarakatnya perlu diajarkan sejak dini, agar setelah mereka lulus dapat memecahkan masalah yang ada di masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengangkat judul penelitian yaitu: Nilai Budaya dalam Tradisi Tenun Sambas sebagai Sumber Pembelajaran

Pendidikan IPS, yang merupakan kajian fenomenologi terhadap masyarakat

Melayu Sambas, Kalimantan Barat.

B. Fokus Penelitian dan Rumusan Masalah

Penelitian ini mengambil ruang lingkup daerah (spatial scope) meliputi daerah di kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Daerah tersebut dikhususkan pada wilayah kecamatan Sambas. Kecamatan Sambas adalah wilayah yang paling banyak penduduknya. Peneliti melihat bahwa mayoritas peserta didik di kecamatan Sambas adalah Melayu, dan adanya kecenderungan politik identitas bahwa Sambas identik dengan budaya Melayu. Peserta didik sebagai bagian dari masyarakat Melayu Sambas, harus berupaya untuk ikut melestarikan budaya Melayu Sambas, khususnya tradisi tenun Sambas.

(18)

1. Perkembangan tradisi tenun Sambas saat ini.

2. Potensi nilai budaya dalam tradisi tenun Sambas dilihat dari perspektif pengembangan nilai dalam pembelajaran pendidikan IPS.

3. Strategi pengembangan nilai budaya dalam tradisi tenun Sambas sebagai sumber pembelajaran pendidikan IPS.

Berdasarkan fokus penelitian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah perkembangan tradisi tenun Sambas saat ini?

2. Bagaimanakah potensi nilai dalam tradisi tenun Sambas dilihat dari perspektif pengembangan nilai dalam pembelajaran pendidikan IPS?

3. Bagaimanakah strategi pengembangan nilai budaya dalam tradisi tenun Sambas sebagai sumber pembelajaran pendidikan IPS?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui perkembangan tradisi tenun Sambas.

2. Untuk mengetahui potensi nilai budaya dalam tradisi tenun Sambas.

(19)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini di samping memiliki manfaat teoritis juga mengandung manfaat praktis. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah sebagai upaya untuk memperkaya khasanah tentang budaya tradisional Melayu Sambas khususnya tradisi tenun Sambas, dan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pelestarian nilai tradisi budaya sebagai upaya pengembangan lingkungan sebagai sumber belajar dalam pendidikan IPS. Sedangkan manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai bahan kajian bagi pihak-pihak yang berkompeten dalam program pelestarian budaya daerah.

2. Sebagai upaya memperkenalkan budaya Melayu Sambas, khususnya tradisi tenun Sambas secara lebih profesional, baik kepada masyarakat daerah Sambas sendiri, maupun kepada masyarakat luar daerah kabupaten Sambas. 3. Guru dan peserta didik dapat mengetahui serta mewariskan nilai budaya

dalam tradisi tenun Sambas sebagai sumber nilai pembelajaran pendidikan IPS.

E. Paradigma

(20)

diperlukan suatu paradigma atau kerangka berpikir yang jelas, karena metode yang digunakan untuk mencari kebenaran haruslah dilandasi oleh suatu paradigma tertentu.

Para ahli banyak mendefinisikan paradigma dari berbagai sudut pandang, salah satunya menurut Guba (1985: 15):

Paradigms represent a distillation of what we think about the world (but cannot prove). Our actions in the world, including actions that we take as inquiries, cannot occur without reference to those paradigms: “As we think, so do we act.” But, while paradigms are thus enabling, they are also constraining.

Dalam keseharian, kata paradigma sudah lazim dipergunakan hampir dalam setiap profesi. Menurut Alwasilah (2008: 77) ada dua arti pokok dari paradigma:

1. Seperangkat bentuk yang berbeda-beda dari sebuah kata seperti pada ungkapan verb paradigm; sehingga muncullah istilah hubungan para-digmatik atau paradigmatic relationships.

2. Jenis sesuatu, pola, atau model seperti dalam ungkapan a paradigm for others to copy. Dalam metodologi penelitian, paradigma merujuk pada seperangkat pranata kepercayaan bersama metode-metode yang menyertainya. Paradigma merupakan distilasi atau esensi yang menjadi kepercayaan kita ikhwal dunia dan alam sekitar (yang tak dapat dibuktikan).

Sebagai dasar pemikiran dan titik tolak dalam penyusunan tesis ini, penulis kemukakan paradigma dalam penelitian ini yakni sebagai berikut:

1. Budaya telah memiliki makna sebagai pantulan cermin martabat suatu bangsa yang memiliki nilai dan harus terus dilestarikan serta diwariskan kepada generasi selanjutnya sebagai aset bagi jati diri mereka.

(21)

masyarakat, dan para pejabat, juga perlu pendidikan yang dilaksanakan sejak dini secara terencana, sistematis, dan berkesinambungan, baik secara formal di sekolah maupun melalui kegiatan non formal di luar sekolah.

F. Anggapan Dasar

Anggapan dasar atau postulat adalah sebuah titik tolak pemikiran yang kebenarannya diterima oleh peneliti. Peneliti perlu merumuskan anggapan dasar agar ada dasar berpijak yang kokoh bagi masalah yang sedang diteliti dan untuk memperjelas variabel yang menjadi pusat perhatian. Postulat dalam penelitian ini didasarkan atas kebenaran yang telah diyakini oleh peneliti. Sebagai bahan pendukung anggapan dasar, peneliti melakukan studi kepustakaan untuk mengumpulkan teori-teori dari buku maupun penemuan dari penelitian.

Peneliti merumuskan postulat dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Budaya Melayu Sambas memiliki nilai luhur yang perlu dilestarikan.

2. Budaya Melayu Sambas memiliki potensi nilai sebagai sumber pembelajaran pendidikan IPS.

(22)

BAB III

PROSEDUR PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian naturalistik, dengan menggunakan pendekatan phenomenologi. Metodologi penelitian kualitatif berlandaskan phenomenologi menuntut pendekatan holistik, mendudukkan objek penelitian dalam suatu konstruksi ganda, melihat objeknya dalam satu konteks natural, bukan parsial. Secara epistemologi, phenomenologi menuntut bersatunya subjek peneliti dengan subjek pendukung objek peneliti. Keterlibatan subjek peneliti di lapangan, menghayatinya menjadi salah satu ciri utama penelitian phenomenologi. Menurut Kneller (1984: 27) bahwa:

Seperti analisis, fenomenologi mencoba mendeskripsikan konsep-konsep dasar kita, tetapi menggunakan metode lain dan data-data lain. Fenomenologi mencoba meneliti arus (stream) pengalaman individual-pada proses merasa (perceiving), mengingat (remembering), dan tindakan-tindakan jiwa, batin, rohani (mental) lain.

(23)

Sebuah kajian fenomenologikal dapat merupakan tantangan yang digunakan dengan alasan-alasan berikut:

 Peneliti dituntut sebuah dasar yang solid/kukuh di dalam aturan-aturan filosofikal dari fenomenologi.

 Para partisipan dalam kajian perlu dipilih dengan cermat untuk menjadi individual-individual yang telah mengalami fenomenon.

 Mem”bracketing” pengalaman-pengalaman personal bagi peneliti

mungkin sulit.

 Peneliti perlu memutuskan bagaimana dan dengan cara bagaimana pengalaman-pengalaman pribadinya akan diperkenalkan ke dalam kajian.

Dalam hal melihat kejadian dan tata fikir yang digunakan phenomenologi sejalan dengan rasionalisme, yaitu melihat obyek dalam konteksnya dan menggunakan tata fikir logik lebih dari sekedar linier kausal. Kneller (1984: 28) menjelaskan bahwa:

Untuk memahami dunia dan diri kita sendiri, kita harus melihat dengan jelas dan langsung-tanpa persangkaan/perkiraan-pada data dasar dari pengalaman kita, tentang apa yang benar-benar ada dalam pikiran kita. Edmud Husserl (1859-1938), pendiri dari filsafat ini, menyebut isi-isi dari pikiran dasar (conscious mind) dengan “phenomena”, berasal dari kata (mental content), adalah suatu penampilan dari sesuatu, apakah itu nyata (real) atau khayalan (imaginary), hadir (present) atau tidak hadir/ada (absent), benda (object) atau ide (idea).

(24)

kuantitatif, melainkan membangun sendiri kerangka pemikirannya, filsafatnya dan operasionalisasi metodologinya. Menurut Creswell (1998: 51) bahwa:

Jika sebuah biografi melaporkan kehidupan dari seorang individual tunggal (single individual), sebuah kajian fenomena menggambarkan makna (meaning) dari pengalaman-pengalaman hidup (lived experiences) bagi beberapa individual tentang sebuah konsep atau fenomenon (phenomenon). Ahli fenomenologi mengkaji struktur-struktur dari kesadaran dalam pengalaman-pengalaman manusia (Polkinghome, 1989). Ia mempunyai akar-akar di dalam perspektif-perspektif filosofis dari Edmud Husserl (1859-1938) dan diskusi-diskusi filosofis dari Heidegger, Sartre, dan Merleau-Ponty, dan ia telah digunakan di dalam sains-sains sosial dan humaniora (social and human sciences) seperti sosiologi, psikologi, sains perawatan dan kesehatan (nursing and health sciences), dan pendidikan.

Peneliti melakukan pendekatan phenomenologi dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan agar peneliti mampu menggali potensi nilai budaya (local genius) dalam tradisi tenun Sambas ini dengan benar, sehingga strategi pengembangan nilai budaya dalam tradisi tenun Sambas ini dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran. Peneliti berusaha untuk mengintegrasikan hasil kajian tentang potensi nilai budaya dalam tradisi tenun Sambas ini sebagai sumber nilai pembelajaran pendidikan IPS.

B. Instrumen Penelitian

Sebagaimana lazimnya dalam penelitian kualitatif, instrumen penelitiannya adalah peneliti sendiri. Menurut Lincoln dan Guba (1985: 39) “Peneliti berperan sebagai human instrument yang secara penuh mengadaptasikan

(25)

manusia penelitilah yang secara fleksibel mengumpulkan data dari berbagai subjek penelitian yang mendalam. Human instrument ini dibangun atas dasar pengetahuan dan menggunakan metode yang sesuai dengan tuntutan penelitian. Peneliti sebagai instrumen pada penelitian memiliki ciri-ciri sebagaimana yang dikemukakan Nasution (1992: 55) yaitu:

1. Peneliti sebagai alat yang peka dan dapat berinteraksi terhadap segala stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi penelitian. Tidak ada instrumen lain yang bereaksi dan berinteraksi terhadap demikian banyak faktor dalam situasi yang senantiasa berubah-ubah.

2. Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus. Tidak ada alat penelitian lain, seperti yang digunakan dalam penelitian kuantitatif, yang dapat menyesuaikan diri dengan bermacam-macam situasi serupa itu.

3. Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh. Ia dapat menafsirkannya, melahirkan hipotesis dengan segera untuk mengetes hipotesis yang timbul seketika.

4. Hanya peneliti sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan segera menggunakannya sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan-perubahan, perbaikan atau penolakan.

Keterlibatan peneliti sebagai instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini, didasarkan pada beberapa alasan yaitu:

1. Informan menyadari dan memahami maksud dan tujuan dilakukannya penelitian ini, sehingga bersedia membantu dengan memberikan informasi yang dibutuhkan.

(26)

3. Diupayakan untuk sering berada di lingkungan informan dengan tidak mengalami hambatan yang berarti sehingga dapat memperoleh hasil seperti yang dimaksud.

Peneliti berusaha untuk menemukan bagaimana masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan. Potensi nilai budaya dalam tradisi tenun Sambas yang telah terpilih yaitu nilai budaya yang dicari atau digali oleh peneliti selama mengumpulkan data.

C. Situasi Sosial Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dimaksudkan untuk menggambarkan kondisi situasi sosial. Nasution (1996: 43) menjelaskan bahwa “Tiap situasi sosial mengandung tiga unsur, yakni adanya tempat, pelaku, dan kegiatan.” Lokasi penelitian di sini

adalah aspek tempat di mana penelitian ini dilakukan, yaitu kecamatan Sambas, kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Sedangkan aspek pelaku dalam penelitian ini adalah pengrajin tenun Sambas.

2. Subjek Penelitian

(27)

informasi yang dibutuhkan. Subjek penelitian berupa hal, peristiwa, dan situasi yang diobservasi, serta informan yang dapat diwawancarai.

Lebih lanjut Lincoln dan Guba (1985: 258) mengemukakan bahwa “Kegunaan informan bagi peneliti ialah membantu agar secepatnya dan tetap

seteliti mungkin dapat membenamkan diri dalam konteks setempat terutama bagi

peneliti yang belum mengalami latihan etnografi.” Sedangkan Bogdan dan Biklen

(1981: 65) berpendapat bahwa “Pemanfaatan informan bagi peneliti ialah agar

dalam waktu yang relatif singkat banyak informasi yang terjaring, jadi sebagai

sampling internal, karena informan dimanfaatkan untuk berbicara, bertukar

pikiran, atau membandingkan suatu kejadian yang ditemukan dari subjek

lainnya.”

Penentuan informan kunci juga penting dalam penelitian

phenomenologi. Informan kunci dapat ditentukan menurut konsep Benard (1994:

166) yaitu:

(28)

Tabel di bawah ini menunjukkan informan yang berkaitan dengan data mengenai potensi nilai budaya dalam tradisi tenun Sambas sebagai sumber pembelajaran pendidikan IPS.

Tabel 3.1 Pemetaan Informan

INFORMAN PANGKAL INFORMAN POKOK

Ahli budaya Sambas dan staf ahli budaya Diskombudpar kabupaten Sambas.

Pengrajin tenun Sambas

Peneliti berusaha merekrut informan sesuai kebutuhan, yaitu untuk menggali

potensi nilai budaya dalam tradisi tenun Sambas dan mengkaji strategi

pengembangan nilai budaya dalam tradisi tenun Sambas sebagai sumber

pembelajaran pendidikan IPS.

3. Data Penelitian

Menurut Bogdan (1990: 92) “Data adalah bahan-bahan kasar (mentah)

yang dikumpulkan peneliti dari lapangan yang ditelitinya.” Data dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Kata-kata, baik langsung atau tidak langsung yang diperoleh melalui observasi dan wawancara.

b. Dokumen berupa bahan tertulis, gambar atau foto, file-file, dan buku-buku yang berhubungan dengan tradisi tenun Sambas.

(29)

Data dikumpulkan dari masyarakat Sambas, dan pemerintah kabupaten Sambas. Masyarakat Sambas khususnya pengrajin tenun Sambas yang memang dianggap mampu dan mengetahui tentang tradisi tenun Sambas yaitu Ibu Sahidah, Ibu Wati, Ibu Selpi, dan Ibu Suarni. Sumber data dari pihak pemerintah khususnya dari Dinas Komunikasi Budaya dan Pariwisata Kabupaten Sambas.

D. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Creswell (1994: 148) “The collection steps involve (a) setting

the boundaries for the study, (b) collecting information through observations,

interviews, documents, and visual materials, and (c) establishing the protocol for

recording information.” Peneliti terlibat dalam pengamatan tentang potensi nilai budaya dalam tradisi tenun Sambas selama proses penelitian. Dalam mengumpulkan data penulis melakukan teknik sebagai berikut:

1. Observasi

(30)

dikumpulkan lebih objektif sesuai keadaan sesungguhnya. Peneliti melakukan observasi di lapangan untuk menggali potensi nilai budaya dalam tradisi tenun Sambas.

2. Wawancara

Teknik wawancara adalah teknik pengumpulan data yang dilaksanakan secara langsung berhadapan dengan responden agar mendapat informasi yang jelas dan lengkap. Menurut Guba (1985: 165) bahwa:

Wawancara adalah suatu percakapan yang bertujuan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi tentang perorangan, kejadian, kegiatan, perasaan, motivasi, kepedulian, di samping itu dapat mengalami dunia pikiran perasaan responden, merekonstruksi pengalaman-pengalaman masa lalu dan masa depan yang akan datang.

Wawancara dalam penelitian ini dimaksudkan untuk melengkapi data yang diperoleh melalui observasi. Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang efektif di dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, karena wawancara menggunakan komunikasi dua arah antara peneliti dan responden, yaitu pihak-pihak yang menjadi informan dalam penelitian ini. Dalam melaksanakan wawancara, peneliti menyusun pedoman wawancara dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang dapat ditanyakan pada saat melakukan wawancara.

(31)

segala hal yang berkaitan dengan potensi nilai budaya dalam tradisi tenun Sambas yang dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran pendidikan IPS.

3. Studi Dokumentasi

Arikunto (1991: 188) mengemukakan bahwa “Dokumentasi adalah usaha mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya.”

Teknik ini dilakukan dengan jalan menelaah atau mengkaji dokumen yang berhubungan dengan masalah yang dibahas agar data yang dikumpulkan lebih lengkap. Penggunaan teknik studi dokumentasi ini dimaksudkan untuk melengkapi data dan informasi yang diperoleh melalui wawancara dan observasi, dengan cara menelusuri, mempelajari, dan mendalami berbagai dokumen yang bersifat permanen dan tercatat agar data yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan.

Peneliti mengumpulkan data dalam penelitian ini melalui beberapa tahap sebagai berikut:

1. Menetapkan batas-batas penelitian, yaitu yang berkaitan dengan potensi nilai budaya dalam tradisi tenun Sambas.

2. Mengumpulkan informasi melalui pengamatan, wawancara, dan studi dokumentasi.

(32)

Peneliti mengumpulkan data dengan sengaja memilih informan, mengumpulkan dan mempelajari dokumen atau bahan-bahan visual yang dapat memberikan jawaban terbaik dari rumusan masalah yang diajukan melalui wawancara kepada para informan.

E. Prosedur Analisis Data

Analisis data merupakan upaya mencari dan menata data secara sistematis untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang potensi nilai budaya dalam tradisi tenun Sambas sebagai sumber pembelajaran pendidikan IPS, dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Proses analisis data dalam penelitian ini dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan video. Catatan lapangan memuat dua hal penting yaitu bagian deskriptif dan bagian reflektif. Seperti dijelaskan oleh Muhadjir (2002: 139) bahwa:

Catatan deskriptif lebih menyajikan kejadian dari pada ringkasan. Catatan reflektif lebih mengetengahkan kerangka pikiran, ide dan perhatian dari peneliti. Lebih menampilkan komentar peneliti terhadap fenomena yang dihadapi. Setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah maka langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data dengan jalan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusun dalam satuan-satuan dan kategorisasi dan langkah terakhir adalah menafsirkan dan atau memberikan makna terhadap data.

(33)

makna terhadap data yang dikumpulkan. Tahap-tahap analisis data menurut Creswell (1994: 155) antara lain:

1. Get a sense of the whole. Read through all of the transcriptions carefully. Perhaps jot down some ideas as they come to mind.

2. Pick one document (one interview)-the most interesting, the shortest, the one on the top of the pile. Go through it, asking yourself, What is this about? Do not think about the “substance” of the information, but rather its underlying meaning. Write thoughts in the margin. 3. When you have completed this task for several informants, make a

list of all topics. Cluster together similar topics. Form these topics into columns that might be arrayed as major topics, unique topics, and leftovers.

4. Now take this list and go back to your data. Abbreviate the topics as codes and write the codes next to the appropriate segments of the text. Try out this preliminary organizing scheme to see whether new categories and codes emerge.

5. Find the most descriptive wording for your topics and turn them into categories. Look for reducing your total list of categories by grouping topics that relate to each other. Perhaps draw lines between your categories to show interrelationships.

6. Make a final decision on the abbreviation for each category and alphabetize these codes.

7. Assemble the data material belonging to each category in one place and perform a preliminary analysis.

8. If necessary, recode your existing data.

Delapan langkah di atas memandu peneliti dalam proses sistematis analisis data kualitatif. Pada dasarnya, kegiatan penjaringan dan analisis data dalam penelitian ini adalah proses yang saling berkaitan erat, dan harus dilakukan secara bergantian (siklus), bahkan simultan. Kegiatan analisis telah dikerjakan pada saat pengumpulan data sedang berlangsung, yaitu sejak bulan Desember 2008. Dalam kegiatan analisis data, peneliti mengaplikasikan metode berpikir induktif. Prodjo (1988: 17) mengemukakan bahwa:

(34)

pengetahuan tentang hal-hal yang khusus (beberapa/sedikit). Peneliti tidak mencari data untuk membuktikan kebenaran atau menolak hipotesis yang dibuat sebelumnya melainkan membuat abstraksi ketika fakta-fakta khusus terkumpul dan dikelompokkan bersama-sama.

Analisis data dilakukan agar peneliti memiliki pemaknaan dan penafsiran yang benar terhadap data yang dikumpulkan. Muhadjir (2002: 187) menggunakan istilah pemaknaan, karena penafsiran merupakan bagian dari proses menuju pemaknaan. yaitu “1) terjemah atau translation, 2) tafsir atau interpretasi, 3) ekstrapolasi dan 4) pemaknaan atau meaning.” Prosedur analisis data yang peneliti lakukan dapat dilihat dalam bagan di bawah ini.

Bagan 3.1 Analisis Data

(35)

mengambil kesimpulan dan makna dari data yang diperoleh, khususnya tentang potensi nilai budaya yang dimiliki, dianut, dan diyakini dalam tradisi tenun Sambas. Dengan demikian peneliti bisa menganalisis strategi pengembangan nilai budaya dalam tradisi tenun Sambas sebagai sumber pembelajaran pendidikan IPS.

Dalam melaksanakan kegiatan verifikasi, peneliti berpedoman pada delapan prosedur verifikasi kualitatif menurut Cresswell (1998: 201-203) yaitu sebagai berikut:

1. Perpanjangan waktu kerja & observasi yang gigih (prolonged engagement & persistent observation) di lapangan termasuk membangun kepercayaan dengan para partisipan, mempelajari budaya, dan mencek informasi yang salah yang berasal dari distorsi yang dibuat oleh peneliti atau informan. Di lapangan si peneliti membuat keputusan-keputusan apa yang penting/menonjol untuk dikaji, relevan dengan maksud kajian, dan perhatian untuk difokuskan. Menurut Fetterman, "kerja dengan orang-orang hari demi hari, untuk waktu yang panjang, memberikan penelitian etnografis validitas dan vitalitasnya.

2. Trianggulasi (triangulation), menggunakan seluas-luasnya

sumber-sumber yang banyak dan berbeda, metode-metode, dari para peneliti, d a n t e o r i - t e o r i u n t u k m e n y e d i a k a n b u k t i - b u k t i y a n g b e n a r (corroborative evidence).

3. Reviu sejawat (peer review) atau debriefing menyiapkan suatu cek eks t ernal dari pros es penel it i an; t em an s ej awat it u m enan yakan pertanyaan-pertanyaan sulit tentang metode, makna dan interpretasi penelitian dari peneliti.

4. Analisis kasus negatif (negative case analysis). Si peneliti memperbaiki l a g i h i p o t e s i s - h i p o t e s i s k e r j a n ya s e l a g i p e n e l i t i a n b e r l a n g s u n g b e r d a s a r k a n a t a s b u k t i / e v i d e n s i ya n g n e g a t i f a t a u t i d a k p a s t i (disconfirming evidence).

(36)

6. Cek anggota (member checks), peneliti mengumpulkan/mencari/memohon (solicit) pandangan-pandangan p a r a i n f o r m a n t e n t a n g k r e d i b i l i t a s d a r i t e m u a n - t e m u a n d a n interpretasi-interpretasi. Teknik ini menurut Lincoln dan Guba adalah "teknik yang paling kritis untuk menegakkan kredibilitas. Pendekatan ini sangat umum dalam kajian kualitatif, termasuk pengambilan data, a n a l i s i s , i n t e rp r et a s i , d an k e s i m p ul a n - ke s i m pu l an ya n g k e m ba l i kepada para partisipan sehingga mereka dapat mempertimbangkan akurasi dan kredibilitas dari cerita/narasi.

7. Deskripsi yang kaya dan tebal (rich, thick description)

memungkinkan pembaca membuat keputusan-keputusan mengenai kemampuannya untuk ditransfer (transferability) karena penulis menggambarkan dengan rinci para partisipan atau keadaan/Iingkungan (setting) yang sedang dikaji. Dengan deskripsi yang rinci s em acam itu, peneliti membuat mungkin para pembaca mentransfer informasi ke keadaan (setting) yang lain dan menetapkan apakah temuantemuan itu dapat ditranfer "karena mempunyai karakteristik -karakteristik yang sama."

8. Odit luar (external audits) memperkenankan konsultan luar,

oditor, memeriksa proses dan produk/hasil dari Iaporan/kisah (account), mengases akurasinya. Oditor ini harus tidak mempunyai hubungan dengan kajian. Dalam mengases, oditor memeriksa apakah temuan-temuan, interpretasi-interpretasi, dan kesimpulan-kesimpulan didukung oleh data. Lincoln dan Guba membandingkan ini, secara metafora, dengan seorang odit fiskal, dan prosedur ini menyediakan rasa (sense) reliabilitas dari kajian.

Delapan langkah di atas menjadi pedoman bagi peneliti dalam memverifikasi data kualitatif yang diperoleh selama penelitian berlangsung.

F. Prosedur Validasi Data

(37)

Seperti diungkapkan oleh Creswell (2008: 226) “Our attention here will be on

three primary forms typically used by qualitative researchers: triangulation,

member checking, and auditing.” Di bawah ini diuraikan tahap-tahap validasi data yang dilakukan oleh peneliti selama penelitian berlangsung yaitu sebagai berikut:

1. Tahap Triangulasi

Triangulasi merupakan upaya untuk melihat fenomena dari beberapa sudut, melakukan verifikasi temuan dengan menggunakan berbagai sumber informasi dan teknik. Menurut Creswel (2008: 226):

Qualitative inquires triangulate among different data sources to enhance the accuracy of a study. Triangulation is the process of corroborating evidence from different individual (e.g., a principal and a student), types of data (e.g., observational field notes and interviews), or methods of data collection (e.g., documents and interviews) in descriptions and themes in qualitative research. The inquirer examines each information source and finds evidence to support a theme. This ensures that the study will be accurate because the information draws on multiple sources of information, individuals, or processes. In this way, it encourages the researcher to develop a report that is both accurate and credible.

Pada tahap triangulasi ini, peneliti melakukan hal-hal sebagai berikut:

(38)

tenun Sambas yang ada di wilayah kecamatan Sambas tentang sejarah tradisi tenun Sambas dan berbagai motif tenun Sambas.

b. Mencocokkannya dari sumber data primer dengan sumber data sekunder. Semua informasi yang diperoleh dari informan pokok yaitu berupa data primer, dicocokkan dengan informasi yang diperoleh dari informan pangkal yaitu berupa data sekunder. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahan dalam penyajian data.

(39)

2. Tahap Member Check

Pada tahap ini peneliti mengecek kebenaran data dengan cara mengembalikan data tersebut kepada sumber data, yang terdiri dari informan pokok dan informan pangkal untuk kemudian diperiksa kebenarannya oleh mereka. Member check merupakan uji kritis terhadap data sementara yang diperoleh dari lapangan. Creswell (2008: 267) menjelaskan bahwa:

Researchers also check their findings with participants in the study to determine if their findings are accurate. Member checking is a process in which the researcher asks one or more participants in the study to check the accuracy of the account. This check involves taking the findings back to participants and asking them (in writing or in an interview) about the accuracy of the report. You ask participants about many aspects of the study, such as whether the description is complete and realistic, if the themes are accurate to include, and if the interpretations are fair and representative.

Setelah peneliti mentranskrip rekaman wawancara, mencatat hasil pengamatan, dan menelaah dokumen kemudian mendeskripsikan, menginterpretasikan dan memaknai data secara tertulis, selanjutnya tahapan yang ditempuh yaitu:

(40)

b. Mengkoreksi dan melengkapi hal-hal yang dirasa masih kurang atau tidak sesuai dengan fokus penelitian. Peneliti terus-menerus melakukan koreksi data agar data yang dibutuhkan dapat dilengkapi, terutama data yang ada kaitannya dengan tradisi tenun Sambas. Hal ini dilakukan supaya tidak ada data yang tidak tertulis atau terlewatkan, dan supaya tidak ada informasi yang terabaikan, serta agar pembahasan penelitian ini tidak terlalu melebar dan tidak sesuai dengan fokus penelitian.

c. Setelah draft utuh disusun berdasarkan catatan dari sumber data, maka diberikan kepada komunitas latar penelitian untuk dibaca secara bergantian. Setelah waktu dirasa cukup, maka ditarik dengan sejumlah catatan yang diperlukan untuk penyempurnaan data dan penyusunan. Draft utuh yang sudah disusun oleh peneliti setelah observasi, wawancara, dan studi dokumentasi yang dilakukan mulai bulan Desember 2008, selanjutnya diberikan kepada para informan pokok dan informan pangkal secara bergantian.

(41)

3. Tahap Audit Eksternal

Tahap audit eksternal adalah tahapan terakhir yang peneliti lakukan, karena dari data yang dikumpulkan dianggap baik dan valid manakala ada audit dari pihak luar sebagai penguat dalam validasi data. Dalam validasi data diperlukan tahap audit eksternal yang berguna untuk membuktikan keabsahan dan kebenaran data yang ditampilkan dalam penulisan penelitian ini, begitu juga setiap data yang ditampilkan disertai dengan keterangan yang menunjukkan sumber, sehingga data mudah ditelusuri. Hal ini sebagaimana pendapat Creswell (2008: 267):

Researchers may also ask a person outside the project to conduct a thorough review of the study and report back, in writing, the strengths and weaknesses of the project. This is the process of conducting an external audit, in which a researcher hires or obtains the services of an individual outside the study to review different aspects of the research. The auditor reviews the project and writes or communicates an evaluation of the study.

(42)
(43)

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, Kusnaka. (2008). Dinamika Budaya Lokal. Bandung: CV. Indra Prahasta bersama Pusat Kajian LBPB.

AECT. (1977). The Definition of Educational Technology, Association for Educational Communication and Technology.

Alfatta, hanif. (2008). Analisis dan Perancangan Sistem Informasi untuk Keunggulan Bersaing. Yogyakarta: Andi Offset.

Almuchtar, Suwarma. (2004). Pendidikan dan Masalah Sosial Budaya. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri.

_______. (2008). Strategi Pembelajaran Pendidikan IPS. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Press.

Almudra, Mahyudin. (2009). Malaysia Klaim Tenun Ikat Sambas. [Online]. Tersedia: http://wisatamelayu.com/id/news/d/8695/malaysia-klaim-tenun-ikat-sambas/. [4 Desember 2009].

Ali, Mohamad. (1985). Penelitian Kependidikan, Prosedur dan Strategi. Bandung: Angkasa.

Alwasilah, A. Chaedar. (2008). Pokoknya Kualitatif, Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Bandung: Pustaka Jaya.

Alwi, Syed. (1960). Adat Resam Melayu dan Adat Istiadat. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelaharan Persekutuan Tanah Melayu.

Arief, Moh. (2004). Adat Budaya Melayu Tak’kan Layu. Sambas: Diskombudpar Kabupaten Sambas.

Arikunto, Suharsimi. (1991). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Rineka Cipta.

Asriah, Hapiningsih. (2009). Peningkatan Nilai Nasionalisme dalam

Pembelajaran IPS. [Online]. Tersedia:

http://mgmpips- smkbms.blogspot.com/2010/03/peningkatan-nilai-nasionalisme-dalam.html. [13 Maret 2010]

(44)

Brown, James D. (1995). The Elements of Language Curriculum. Boston: Heinle & Heinle Publishers.

Budimasyah, Dasim, (2002). Model Pembelajaran dan Penelitian Portofolio. Bandung: Genesindo.

Cohen, L. and Manion. (1997). Research Methods in Education. London: Routledge.

Creswell, J.W. (1994). Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. Thousand Oaks: Sage Publication.

_______. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design. Choosing Among Five Traditions. Thousand Oaks: Sage Publication.

_______. (2003). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches (ed. 2). Thousand Oaks: Sage Publication.

_______. (2008). Educational Research, Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research (third ed.). New Jersey: Pearson Education Inc.

Depdikbud. (1984). Dasar Ilmu Pendidikan, Materi Dasar Pendidikan Program Akta V. Jakarta: Dikti.

Depdiknas. 2003. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

_______. (2006b). Kumpulan Permendiknas Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Panduan KTSP: Panduan Penusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Sekolah Menengah. Jakarta: Depdiknas Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas.

_______. (2006c). Panduan Pengembangan Silabus IPS. Jakarta: Depdiknas Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah.

Fadjar, A. Malik. (2005). Holistik Pemikiran Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo. Fajar, Arnie. (2004). Portofolio dalam Pembelajaran IPS. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

(45)

Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (Editor). (2001). Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adi Cita.

Gazali, M.A., dkk. (1955). Sekolah dan Masyarakat, Seri Pedagogik 5. Bandung: Ganaco.

Guba, Egon G. dan Yvonna S. Lincoln. (1985). Naturalistic Inquiry. California: Sage Publications.

Hadi, Sutrisno. (1992). Metodologi Research Jilid 2. Yogyakarta: Andi Offset. Hakam, Kama Abdul. (2007). Bunga Rampai Pendidikan Nilai. Bandung:

Universitas Pendidikan Indonesia Press.

Hamalik, Oemar. (1990). Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Hamidi. (2008). Metode Penelitian Kualitatif, Pendekatan Praktis, Penulisan Proposal, dan Laporan Penelitian. Malang: UMM Press.

Haviland, William A. (1985). Antropology. Burlington: CBS College Publishing. Huntington dan Harrison. (2000). Cultures Matters, How Values Shape Human

Johnson, Elaine B. (2007). Contextual Teaching And Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: Mizan.

Junaidi, Wawan. (2009). Konsep Nilai Budaya. [Online]. Tersedia: http://wawan-junaidi.blogspot.com/2009/10/konsep-nilai-budaya.html. [10 Desember 2009].

Kasali, Renald. (2009). Nekatnya Malaysia dan Nihilnya Tata Nilai Budaya

Ekonomi RI. [Online]. Tersedia:

http://www.mail-archive.com/ahlikeuangan-indonesia@yahoogroups.com/msg05108.html. [12 Desember 2009].

(46)

Khayam, Umar. (2009). Transformasi Budaya Kita. [Online]. Tersedia: http://www.scribd.com/doc/21783690/Transformasi-Budaya-Kita-oleh-Umar-Khayam. [15 Januari 2010].

Kneller, George. (1984). Movements of Thought in Modern Education. New York: John Wiley & Sons.

Koentjaraningrat. (1985). Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

______. (2002). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. ______. (2005). Pengantar Antropologi, Edisi ke I. Jakarta: Rineka Cipta. ______. (2007). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Liliweri, Alo. (2003). Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya.

Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.

Lofland, John dan Lyn H. Lofland. (1984). Analizing Social Setting: A Guide to Qualitative Observation and Analysis. Belmont, California: Wads Worth Publishing Company.

Mochtar, Buchori. (1994). Ilmu Pendidikan dan Praktek Pendidikan. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Press.

______. (1994). Pendidikan dalam Pembangunan. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Press.

Mubarok, Achmad. (2007). Budaya Politik dan Politik Berbudaya. [Online]. Tersedia: http://mubarok-institute.blogspot.com/2007/12/budaya-politik-dan-politik-berbudaya_11.html. [10 Januari 2009].

Muhadjir, Noeng. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.

(47)

Murniati, A. Nunuk P. (2004). Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga. Jakarta: Indonesia Tera.

Mulyasa, E. (2007). KTSP. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Nasrun, Effendi. (2004). Rangkaian Acara Perhelatan Pernikahan. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu.

Nasution, S. (1995). Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara. ______. (1996). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. National Council for The Social Studies. (1994). Expectation of Exellence

Curricullum Standard for Social Studies. United State of America.

Nunan, David. (1991). Language Teaching Methodology A Textbook for Teachers. Cambridge: Cambridge University Press.

______. (1997). Syllabus Design. Oxford: Oxford University Press.

Panjianom, Farid M. (2006). Tenun Tradisional Sambas, Tenun Serumpun dari Kalimantan Barat. Pontianak: Majelis Adat Budaya Melayu Kalimantan Barat.

Pearson, Robbins. (2008). Perilaku Organisasi 1, Edisi 12. Jakarta: Salemba. Pracoyo, Anto dan Tri Kunawangsih. (2008). Aspek Dasar Ekonomi Mikro.

Jakarta: Grasindo.

Ramelan, Rahardi. (2002). Mengubah Budaya Ekonomi. [Online]. Tersedia: http://www.leapidea.com/presentation?id=40. [5 Januari 2010].

Ranjabar, Jacobus. (2006). Sistem Sosial Budaya Indonesia, Suatu Pengantar. Bandung: Ghalia Indonesia.

Richards, J.C. (1996). Teacher as Course Developpers. Cambridge: CUP Press. ______. (2001). Curriculum Development in Language Teaching. Cambridge:

Cambridge University Press.

(48)

Soelaeman, M. Munandar. (2007). Ilmu Budaya Dasar, Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama.

Somantri, Nu’man. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Stiggins, R.J. (1991). Student-Centered Classroom Assessment. New York: MacMillan Cottage, Publishing Company.

Sugandi, Achmad. (2004). Teori Pembelajaran. Semarang: UPT MKK UNNES.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Suhirmanto. (2009). Perlu Budaya Ekonomi Baru. [Online]. Tersedia: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/06/03584425/.perlu..budaya.ek onomi.baru. [12 Desember 2009].

Sumaatmadja, Nursid. (2000). Manusia dalam Konteks Sosial Budaya dan Lingkungan Hidup. Bandung: Alfabeta.

Supardan, Dadang. (2008). Pengantar Ilmu Sosial, Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara.

Suriasumantri, J. S. (1987). Pembangunan Sosial Budaya Secara Terpadu. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Tenas, Effendy. (2004). Pemakaian Ungkapan dalam Upacara Perkawinan Orang Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu.

______. (2006). Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan

Pengembangan Budaya Melayu.

Tilaar, H. A. R. (1998). Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21. Jakarta: Indonesia Tera.

______. (2002). Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Tim. (2008). Adat Istiadat Melayu Sambas. Sambas: Pemkab Sambas.

(49)

Vygotsky, Lev Semyonovich. (1981). The Genesis of Higher Mental Function dalam J. V. Werstch. The Concept of Activity in Soviet Phychologynew York: Sharpe.

Wahana, Paulus. (2008). Pustaka Filsafat Nilai Etika Aksiologis Max Scheler. Jakarta: Kanisius.

Welton, D.A. dan Mallan, J.T. (1988). Children and Their World: Strategies for Teaching Social Studies. Boston: Houghton Mifflin Company.

Winardi. (1997). Teori Sistem dan Pendekatan Sistem dalam Bidang Manajemen. Bandung: Mandar Maju.

Gambar

Tabel Pemetaan Informan ……………...………………………… 91
Gambar
Tabel 3.1

Referensi

Dokumen terkait

15. Kemudian Bendahara menandatangani CPLL dan menyerahkan CPLL kepada Kasir. Bendahara menandatangani BKM dan mencatat penerimaan kas pada BKDP. Selanjutnya Bendahara

Hasil seluruh penelitian diatas, dapat diketahui bahwa subjek pertama yaitu MS mampu mengelola emosinya dengan cara memotivasi diri dan menerima kenyataan bahwa

Tutkimuksen tuloksista selvisi, että sydämen vajaatoimintapotilaan ravitsemusohjauksen tärkeimpiä tavoitteita ovat nesterajoitus ja suolankäytön vähentäminen, joilla voi

Hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh terhadap hasil belajar siswa yang menggunakan media pembelajaran online berbantuan google classroom, siswa juga sangat

Hasil ini artinya desain interface dinyatakan layak digunakan sebagai bahan ajar multimedia; (4) User /guru pengajar, berdasarkan hasil penilaian user /guru pengajar

Penampilan fasilitas fisik, perlengkapan yang disediakan perusahaan, karyawan dan bahan komunikasi menjadi bahan utama untuk menarik pelanggan membeli jasa. Dari

Penerapan konsep di sesuaikan dengan kebutuhan user seperti pemilihan warna dan material yang membangkitkan mood serta mendukung orang diffable untuk

Asumsi diatas berlaku pula di SMA Negeri 1 Denpasar yang merupakan sebuah sekolah kelas menengah atas yang memiliki kelas akselerasi dimana siswa kelas akselerasinya