ABSTRAK
Maria Edistianda Eka Saputri (2015). Pengaruh Pembelajaran Peer Lesson terhadap Kecemasan Matematika dan Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah serta Representasi Matematis Siswa SMA (Penelitian Kuasi Eksperimen di Kelas XI IPA Salah Satu SMA di Kota Bandar Lampung).
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan masih rendahnya kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis serta tingginya kecemasan matematika siswa. Kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis dibutuhkan baik dalam belajar maupun dalam kehidupan sehari-hari. Kecemasan matematika mempengaruhi kemampuan matematis siswa. Pembelajaran Peer Lesson digunakan dalam penelitian untuk mengatasi hal tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk menelaah pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran Peer Lesson dan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa ditinjau secara keseluruhan maupun kemampuan awal matematis siswa (tinggi, sedang, rendah) serta menelaah kecemasan matematikanya. Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan desain kelompok kontrol non-ekuivalen dan populasinya adalah siswa kelas XI IPA di salah satu SMA Negeri Kota Bandar Lampung. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling sehingga didapatkan dua kelas sebagai sampel penelitian. Instrumen penelitian meliputi tes kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis dan angket skala kecemasan matematika. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji perbedaan rataan yaitu uji-t dan Mann-Whitney serta uji anova dua jalur dengan bantuan program SPSS 17 for Windows. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran Peer Lesson lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa bila ditinjau secara keseluruhan dan kemampuan awal matematis siswa (sedang dan rendah), tetapi tidak berbeda untuk siswa dengan kemampuan awal matematis tinggi; (2) pencapaian dan peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran Peer Lesson tidak berbeda dengan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa bila ditinjau secara keseluruhan dan kemampuan awal matematis siswa; (3) kecemasan matematika siswa yang memperoleh pembelajaran Peer Lesson lebih rendah daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.
ABSTRACT
Maria Edistianda Eka Saputri (2015), The Impact of Peer Lesson Learning to Mathematics Anxiety and Enchancement of Mathematical Problem Solving and Mathematical Representation Abilities of Students in Senior High School.
This study is based on low students’ abilities in mathematical problem solving, and mathematical representation. It is also based on high mathematics anxiety. Mathematical problem solving and mathematical representation abilities are required both in learning and everyday life. Mathematics anxiety influences students' mathematical abilities. The Peer Lesson learning used in this study is devoted to overcome this problem. The aims of this study are to examine the achievement and enchancement of mathematical problem solving and mathematical representation abilities of students who got Peer Lesson learning and students who got regular learning viewed from the whole students and prior mathematical ability (high, mediocre, low) and examine their mathematics anxiety. The type of this study was quasi-experimental with non-equivalent control group design and the population were students of year XI IPA at one of senior high schools in Bandar Lampung. The sampling technique used purposive sampling to obtain two groups as the sample. The instruments include mathematical problem solving and mathematical representation abilities tests and mathematics anxiety scale. The data were analyzed by using the mean difference test: t-test and Mann-Whitney U test with SPSS 17 for Windows. The study found that: (1) the achievement and enchancement of mathematical problem solving ability of the students who got Peer Lesson learning is better than the students who got regular learning when viewed from whole the students and prior mathematical ability (mediocre and low), but is not different from the students with high prior mathematical ability; (2) the achievement and enchancement of mathematical representation ability of the students who got Peer Lesson learning is not different from the students who got regular learning when viewed from whole the students and prior mathematical ability; (3) mathematics anxiety of the students who got Peer Lesson learning is lower than the students who got regular learning.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Matematika merupakan salah satu ilmu yang berpengaruh dalam
pendidikan. Matematika adalah ilmu dasar yang harus dipelajari sebelum
mempelajari ilmu lainnya seperti Fisika, Kimia, dan Ekonomi. Begitu pentingnya
matematika hingga NRC (National Research Council, 1989) dari Amerika Serikat
telah menyatakan “Mathematics is the key to opportunity”, yang artinya
matematika adalah kunci ke arah peluang-peluang. Dengan matematika, suatu
negara dapat menyiapkan warganya untuk bersaing di bidang ekonomi dan
teknologi. Bagi seseorang, mempelajari dan menguasai matematika akan
membuka peluang karir yang lebih baik.
Di Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas (BSNP, 2006) bahwa pendidikan matematika wajib dipelajari mulai dari
sekolah dasar hingga sekolah menengah, bahkan sampai perguruan tinggi pun,
matematika masih tetap dipelajari. Hal ini dikarenakan matematika memegang
peranan penting, tidak jarang seseorang akan membutuhkan matematika untuk
memecahkan masalah di kehidupannya sehari-hari. Sejalan dengan Suherman dan
Winataputra (1992), menurut mereka matematika sekolah berperan: (1) untuk
mempersiapkan anak didik agar sanggup menghadapi perubahan-perubahan
keadaan di dalam kehidupan dunia yang senantiasa berubah, melalui latihan
bertindak atas dasar pemikiran logis dan rasional, kritis dan cermat, objektif,
kreatif, efektif dan diperhitungkan secara analisis-sintesis; (2) untuk
mempersiapkan anak didik agar menggunakan matematika secara fungsional
dalam kehidupan sehari-hari dan di dalam menghadapi ilmu pengetahuan.
Pembelajaran matematika pada Sekolah Menengah Atas (SMA) bertujuan
agar siswa memiliki seperangkat kompetensi yang harus ditujukan pada hasil
belajarnya dalam matematika (standar kompetensi) yaitu: (1) memahami konsep
matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep
atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah;
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi
kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan
model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) mengkomunikasikan gagasan
dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau
masalah; (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah
(Wardhani, 2008).
National Council of Supervisors of Mathematics (1977) menyatakan bahwa
pemecahan masalah merupakan alasan utama untuk belajar matematika, tidak
sekedar membuat siswa mampu menyelesaikan masalah dalam matematika, tetapi
mereka juga mampu menggunakan pemecahan masalah dalam konteks lain.
Branca (1980) juga mengemukakan salah satu interpretasi pemecahan masalah
yaitu pemecahan masalah sebagai ketrampilan dasar atau kecakapan hidup (life
skill), karena setiap manusia harus memecahkan masalahnya sendiri. Jadi
pemecahan masalah merupakan kemampuan yang harus dimiliki setiap siswa.
Namun kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah
siswa masih rendah. Seperti yang diungkapkan Sumarmo (1993) dalam studinya
mengenai pemecahan masalah siswa SLTP dan SLTA dan guru-guru matematika
bahwa dalam tingkat berpikir formal, siswa SLTA belum berkembang secara
optimal dan kemampuan masalahnya masih rendah. Padahal porsi soal pemecahan
masalah dalam ujian nasional bahkan ujian masuk perguruan tinggi cukup besar.
Peneliti menduga siswa SMA mempunyai kemampuan pemecahan masalah yang
rendah, hal ini terlihat dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan, yaitu sebagian
besar siswa tidak dapat menjawab dengan benar soal yang berkaitan kemampuan
pemecahan masalah. Kebanyakan dari mereka lemah dalam memahami masalah,
akibatnya mereka tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut.
Selain kemampuan pemecahan masalah, peneliti menduga pula kemampuan
representasi siswa juga masih rendah. Hal ini juga terlihat dari hasil studi
pendahuluan yang dilakukan. Hanya sedikit siswa yang menjawab benar dalam
lainnya lemah terutama dalam representasi visual. Berdasarkan hasil penelitian
Hudiono (2005) diketahui bahwa menurut guru, representasi seperti tabel dan
gambar disampaikan kepada siswa, sebagai penyerta atau pelengkap dalam
penyampaian materi, dan jarang memperhatikan representasi yang dikembangkan
siswa. Dengan demikian guru mengajarkan representasi terbatas pada cara biasa
sehingga siswa cenderung meniru langkah guru, siswa tidak diberi kesempatan
untuk merepresentasikannya sendiri, hal ini membuat kemampuan representasi
siswa tidak berkembang. Padahal kemampuan representasi merupakan salah satu
dari tujuan pembelajaran matematika menurut NCTM (2000).
Terdapat beberapa alasan mengapa representasi penting menurut Jones
(2000), yaitu: kelancaran dalam membangun suatu konsep dan berpikir
matematik; ide-ide yang diberikan guru sangat mempengaruhi pemahaman siswa
dalam matematik; untuk memiliki kemampuan dan pemahaman konsep yang kuat
dan fleksibel dapat dibangun melalui representasi matematik. Siswa dapat
memahami dan mengembangkan konsep matematika secara lebih mendalam
dengan menggunakan representasi matematika yang bermacam-macam. Seperti
halnya yang diungkapkan Wahyudin (2008), kemampuan representasi sangat
diperlukan untuk membantu para siswa dalam mengatur pemikirannya. Artinya
jika mereka dapat merepresentasikan apa yang ada dipikiran mereka, maka
kemampuan mereka dalam berpikir matematis akan semakin baik.
Kemampuan pemecahan masalah siswa juga salah satunya dipengaruhi oleh
kemampuan representasi. Siswa dapat menyederhanakan dan menyelesaikan
masalah dengan lebih efektif jika siswa menggunakan representasi dengan baik
dan tepat. Wahyuni (2012) menyatakan bahwa suatu masalah rumit akan menjadi
lebih sederhana jika menggunakan representasi yang sesuai dengan permasalahan
yang diberikan, sebaliknya penggunaan representasi yang keliru dalam
menyelesaikan masalah akan membuat masalah tersebut menjadi lebih sukar
untuk diselesaikan. Oleh karena itu hendaknya salah satu pencapaian dalam
proses pembelajaran adalah menjamin siswa dapat menyajikan konsep yang
dipelajari ke dalam berbagai model matematika dengan memberikan kesempatan
mengembangkan pengetahuan secara lebih mendalam dan pemikiran
matematisnya akan lebih tajam.
Rendahnya kemampuan pemecahan masalah disebabkan beberapa faktor
menurut Juanda (2013), yaitu: (1) siswa belum mampu memahami masalah yang
diberikan, sehingga dalam memberikan jawaban tidak sesuai dengan masalah, (2)
kurangnya pengetahuan strategi menyelesaikan masalah, (3) ketidakmampuan
siswa untuk menerjemahkan masalah ke dalam bentuk matematika. Hal inilah
yang dinamakan hambatan epistemologis dalam pembelajaran. Pengetahuan siswa
hanya terbatas pada konteks tertentu, jika siswa tersebut dihadapkan pada konteks
berbeda maka pengetahuan yang dimiliki menjadi tidak bisa digunakan atau siswa
mengalami kesulitan untuk menggunakannya. Terlihat faktor ketiga merupakan
faktor yang berhubungan dengan representasi matematis siswa. Artinya jika
representasi matematis siswa kurang baik maka akibatnya kemampuan pemecahan
masalah pun kurang baik. Inayah (2013) juga mengungkapkan bahwa penyebab
kemampuan pemecahan masalah dan representasi belum dikembangkan dengan
maksimal adalah kurang difasilitasinya siswa dengan pembelajaran yang menarik
dan memotivasi siswa dalam pembelajaran matematika. Pembelajaran yang
kreatif dan inovatif dapat memotivasi belajar siswa sehingga pembelajaran lebih
bermakna dan siswa lebih aktif dalam mengeksplor kemampuan yang dimilikinya.
Penyebab lain rendahnya kemampuan matematis siswa adalah kecemasan
terhadap matematika. Sesuai dengan yang dikatakan Gresham (2010) dan
Daneshamooz,. dkk (2012) yakni kecemasan matematika menyebabkan sikap
negatif terhadap matematika dan berkorelasi negatif dengan kinerja matematika
yang berdampak pada rendahnya kemampuan matematik. Clute dan Hembree
(dalam Vahedi dan Farrokhi, 2011) menemukan bahwa siswa yang memiliki
tingkat kecemasan yang tinggi memiliki prestasi belajar yang rendah. Sejalan
dengan itu, hasil penelitian Zakaria dkk. (2012) menunjukkan bahwa siswa yang
berprestasi memiliki tingkat kecemasan matematika yang rendah, sedangkan
siswa yang kurang berprestasi memiliki kecemasan matematika yang tinggi.
Sampai saat ini matematika masih menjadi hal yang dihindari siswa. Mereka
Kecemasan sebenarnya merupakan suatu hal yang penting untuk
meningkatkan motivasi dalam meraih sesuatu, tetapi yang menjadi permasalahan
adalah ketika kecemasan yang dialami oleh individu tersebut terlalu tinggi. Sesuai
dengan pendapat Elliot dkk (dalam Indiyani dan Listiara, 2006) yang
menyebutkan bahwa pada dasarnya kecemasan dalam tingkat yang rendah dan
sedang berpengaruh positif terhadap penampilan belajar siswa, salah satunya
dapat meningkatkan motivasi belajar, sedangkan kecemasan siswa pada taraf yang
tinggi dapat mengganggu dan memperburuk perilaku belajar siswa. Namun sangat
disayangkan TIM (dalam Yuliana, 2013) mengatakan bahwa berdasarkan PISA
tahun 2006, jumlah siswa di Asia yang mengalami kecemasan matematika cukup
tinggi. Hasil penelitian Renga dan Della (Herman, n.d.), menunjukkan bahwa
siswa SD umumnya memiliki pandangan positif terhadap matematika, namun
kecemasan mereka terhadap matematika meningkat ketika mereka memasuki
SLTP dan SLA (setara SMA). Penelitian Luo, dkk (2009) juga menunjukkan
bahwa siswa pada grade eleven (setara kelas XI SMA) memiliki kecemasan
matematika lebih tinggi dibandingkan pada grade ten dan grade twelve walaupun
tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Siswa yang memiliki pengalaman
kurang baik dengan matematika cenderung menjauhi matematika di tingkat SMA.
Kecemasan matematika sangat berpengaruh pada diri siswa, oleh karena itu
kecemasan matematika tidak bisa dianggap sebagai hal biasa. Siswa yang
mengalami kecemasan matematika akan sulit memahami dan menguasai
pelajaran, sikap negatif siswa dalam matematika membuat siswa sulit dalam
menyelesaikan soal yang berkaitan dengan matematika. Perasaan takut terhadap
matematika pun akan timbul sehingga cenderung membuat mereka menghindari
matematika. Sejalan dengan Tobias (Wahyudin, 2010) dalam mendefinisikan
kecemasan matematika sebagai perasaan-perasaan tegang dan cemas yang
mencampuri manipulasi bilangan-bilangan dan pemecahan masalah matematis
dalam beragam situasi kehidupan sehari-hari dan situasi akademik. Perasaan
tegang dan cemas ini akan membuat siswa lupa pada konsep yang telah
dipelajarinya. Siswa akan merasa bingung dan takut dalam menyelesaikan soal
dan akan berpengaruh pada kepercayaan diri mereka. Hal ini sesuai dengan hasil
bahwa kecemasan matematika merupakan salah satu faktor yang mempunyai
hubungan negatif dengan prestasi siswa. Artinya bahwa siswa yang mempunyai
kecemasan matematika tinggi akan mengakibatkan prestasi belajar siswa rendah.
Jackson dan Leffingwell (1999) menemukan bahwa hanya 7% dari siswa
mereka yang berjumlah 157 siswa tidak merasakan stres ketika belajar
matematika mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Padahal
matematika merupakan mata pelajaran penting dan wajib diberikan. Hal ini
membuat kecemasan matematika dianggap sebagai masalah yang serius. Jika
siswa cemas dalam memanipulasi bilangan-bilangan, maka bagaimana siswa akan
meningkatkan prestasi matematikanya, karena matematika selalu identik dengan
bilangan, operasi dan simbol-simbol matematis. Artinya dengan meningkatnya
kecemasan matematika siswa, kemampuan representasi matematika akan menjadi
rendah.
Wigfield dan Meece (1988) menjelaskan mengenai sebab terjadinya
kecemasan terhadap mata pelajaran matematika, yaitu: (1) orang-orang yang
khawatir dengan matematika, tidak percaya pada kemampuan dirinya untuk
menyelesaikan soal matematika dan (2) memiliki reaksi emosi yang negatif
terhadap soal-soal matematika, sehingga takut dan tidak menyukai matematika
secara terus menerus. Sutiarso dan Nurhanurawati (2008) juga mengungkapkan
penyebab tingginya kecemasan matematika antara lain (1) pengalaman yang
kurang menyenangkan ketika belajar matematika dan (2) pendekatan pengajaran
guru yang kurang menarik, seperti yang dikatakan Newstead bahwa pendekatan
pengajaran guru sangat menentukan keberhasilan pengajaran matematika. Bila
guru tidak mampu menampilkan pengajaran matematika dengan menarik akan
membuat siswa bosan, pada akhirnya akan menimbulkan kecemasan matematika.
Siswa akan mengalami puncak kecemasan terhadap matematika adalah
ketika ujian. Ketakutan akan tidak lulusnya mereka membuat mereka semakin
cemas. Alamijaya (2012) juga mengatakan karena terlalu banyaknya rumus yang
harus dihapal, mereka takut ketika di kelas soal-soal ujian yang keluar justru
bukan dari rumus yang mereka hapalkan. Kondisi seperti inilah yang membuat
Kejadian seperti di atas terjadi salah satunya karena ketidaksiapan siswa
dalam menghadapi ujian. siswa memerlukan kesiapan dalam proses pembelajaran.
Kesiapan yang baik dalam menghadapi ujian akan menghasilkan prestasi belajar
yang baik pula. Ibarat pepatah “siapkan senjata sebelum perang”, jika sebelum
ujian persiapan siswa seperti memahami materi-materi yang telah dipelajari,
memperbanyak mengerjakan latihan-latihan soal, memanfaatkan waktu luang
sebaik mungkin, maka sudah pasti kekhawatiran siswa ketika waktu ujian tiba
pasti akan rendah. Jadi diperlukan belajar bermakna untuk membuat kesiapan
siswa semakin baik yang berakibat pada menurunnya kecemasan terhadap
matematika dan tercapainya tujuan pembelajaran.
Salah satu unsur penting yang dapat mengatasi masalah rendahnya
pemecahan masalah, representasi dan kecemasan matematika siswa adalah guru.
Salah satu tugas guru adalah mengorganisasi proses belajar murid-murid,
merencanakan bagaimana caranya agar murid-murid dapat belajar dengan aktif,
rajin, tekun, dan teliti. Guru harus mengelola segala sesuatu untuk kepentingan
itu, termasuk mengatur sarana, fasilitas, situsi belajar, dan aktivitas murid-murid
itu sendiri. Guru adalah motor penggerak aktivitas murid belajar, terutama bila
ada hambatan-hambatan, ketidak lancaran yang sumbernya pada murid itu sendiri.
Guru adalah pembimbing dan konsultan bagi murid yang mengalami kesulitan.
Akhirnya guru juga bertugas memperbaiki kelemahan dan kekurangan anak dalam
mengembangkan dan menumbuhkan dirinya.
Agar proses pembelajaran berjalan dengan baik, seorang guru selain
menguasai materi, dituntut juga menguasai strategi yang dapat mengaktifkan
siswa dalam proses pembelajaran. Jika guru berhasil menciptakan suasana yang
menyebabkan siswa termotivasi dalam belajar, maka memungkinkan kecemasan
matematika siswa menurun dan prestasi belajar siswapun akan meningkat. Guna
mendapatkan hasil belajar yang memuaskan, seorang guru harus mengupayakan
agar siswa aktif dalam proses belajar. Itulah sebabnya aktivitas merupakan prinsip
atau asas yang sangat penting didalam interaksi belajar-mengajar (Nasution 2000).
Perlu diterapkan suatu strategi pembelajaran yang dapat menumbuhkan
motivasi belajar siswa, sehingga siswa menjadi aktif dalam pembelajaran. Belajar
sehingga peserta didik merasakan suasana yang lebih menyenangkan (Hartono,
2008). Salah satu strategi pembelajaran yang melibatkan peran serta siswa adalah
strategi pembelajaran aktif (Zaini, 2008). Pembelajaran aktif adalah suatu
pembelajaran yang mengajak peserta didik untuk belajar secara aktif. Peserta
didik belajar secara aktif sehingga pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru
tetapi berpusat pada siswa (student centered). Strategi pembelajaran aktif sangat
mendukung tersedianya lingkungan yang konstruktif sehingga keaktifan siswa
pun akan meningkat.
Keaktifan siswa dalam pembelajaran akan menjadikan siswa lebih mudah
dalam memahami dan mempelajari materi. Karena pentingnya keaktifan siswa ini,
guru perlu mengupayakan pembelajaran yang menggunakan strategi pembelajaran
aktif yang tepat yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan
representasi matematis siswa serta mengurangi kecemasan matematika siswa.
Salah satu solusinya adalah dengan menerapkan strategi pembelajaran aktif tipe
Peer Lesson. Strategi pembelajaran aktif dengan tipe Peer Lesson merupakan
pengajaran sesama siswa di dalam kelas layaknya tutor sebaya namun memiliki
perbedaan yaitu digunakannya strategi yang menarik dalam penyampaiannya.
Seluruh tanggung jawab selama proses pembelajaran ditempatkan kepada semua
siswa.
Dalam pembelajaran Peer Lesson, setiap siswa diajak untuk turun aktif
dalam proses pembelajaran sehingga terjadi interaksi antara siswa karena siswa
berkolaborasi dan berdiskusi untuk saling belajar dan membelajarkan dalam
pemecahan masalah. Melalui interaksi terjadi proses pertukaran pengetahuan,
saling memberi maupun menerima. Setiap siswa juga ditugaskan untuk
mengajarkan siswa lain. Keaktifan siswa dalam mempelajari materi yang
ditugaskan membuat konsep yang didapat lebih bermakna. Dengan demikian
pembelajaran bukan hanya untuk menguasai hasil latihan, melainkan pengalaman
yang membawa siswa pada pemahaman yang lebih mendalam terhadap konsep.
Selain itu, pembelajaran Peer Lesson akan berpengaruh pada tingkat
kecemasan matematika. Pembelajaran ini menekankan pada belajar dari teman,
kecemasan matematika siswa akan berbeda antara berhadapan dengan guru atau
bersama temannya sendiri daripada bersama gurunya. Pembelajaran Peer Lesson
tidak hanya melibatkan mental dalam kegiatannya tetapi juga melibatkan fisik.
Dengan demikian mereka dapat belajar dengan lebih menyenangkan sehingga
keaktifan untuk belajar menjadi meningkat yang akhirnya keberhasilan
pembelajaran bisa lebih maksimal.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran adalah kemampuan
awal matematis (KAM) siswa. Menurut Muchlishin (2010) KAM adalah suatu
kesanggupan yang dimiliki oleh peserta didik baik alami maupun yang dipelajari
untuk melaksanakan suatu tindakan tertentu secara historis dimana mereka
memberikan respon yang positif atau negatif terhadap objek tersebut dengan
menggunakan penalaran dan cara-cara berpikir logis, analitis, sistematis, kritis,
kreatif dan inovatif serta menekankan pada penguasaan konsep dan algoritma
disamping kemampuan memecahkan masalah. Hendriana (2009) mengatakan
bahwa matematika adalah ilmu yang terstruktur artinya untuk menguasai suatu
konsep matematika diperlukan penguasaan konsep dasar matematika lainnya,
maka kemampuan kognitif awal siswa yang dinyatakan dalam KAM memegang
peranan yang sangat penting untuk penguasaan konsep baru matematika. Senada
dengan Daulay (2006) yang mengungkapkan bahwa kemampuan awal siswa
merupakan informasi yang berharga bagi pengajar karena menjadi dasar untuk
siswa yang disesuaikan dengan pengajaran. Oleh karena itu peninjauan dari sisi
KAM perlu dilakukan untuk melihat apakah pembelajaran cocok untuk semua
tingkat KAM siswa.
Berdasarkan hal-hal yang diungkapkan di atas peneliti terdorong untuk
melakukan penelitian yang berkaitan dengan bagaimana peserta didik melakukan
kegiatan aktif saat pembelajaran dan bagaimana pengaruhnya terhadap
kemampuan pemecahan masalah, representasi dan kecemasan matematika siswa.
Oleh karena itu peneliti mengajukan penelitian yang berjudul “Pengaruh
Pembelajaran Peer Lesson terhadap Kecemasan Matematika dan Peningkatan
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah
secara umum dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah pengaruh pembelajaran
Peer Lesson terhadap kecemasan matematika dan peningkatan kemampuan
pemecahan masalah serta representasi matematis siswa SMA?”. Selanjutnya
rumusan masalah tersebut dijabarkan dalam pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa yang memperoleh pembelajaran Peer Lesson lebih baik
daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa ditinjau dari secara
keseluruhan dan KAM?
2. Apakah pencapaian dan peningkatan kemampuan representasi matematis
siswa yang memperoleh pembelajaran Peer Lesson lebih baik daripada
siswa yang memperoleh pembelajaran biasa ditinjau dari secara
keseluruhan dan KAM?
3. Apakah kecemasan matematika siswa yang mendapat pembelajaran Peer
Lesson lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa?
C. Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dipaparkan,
penelitian ini bertujuan untuk menelaah:
1. Pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa yang memperoleh pembelajaran Peer Lesson dan siswa yang
memperoleh pembelajaran biasa ditinjau dari secara keseluruhan dan
KAM.
2. Pencapaian dan peningkatan kemampuan representasi matematis siswa
yang memperoleh pembelajaran Peer Lesson dan siswa yang memperoleh
pembelajaran biasa ditinjau dari secara keseluruhan dan KAM.
3. Kecemasan matematika siswa yang memperoleh pembelajaran Peer
D. Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini secara teoritis dapat menjadi referensi tentang pengaruh
pembelajaran Peer Lesson sekaligus untuk memperkaya wawasan dalam
bidang penggunaan model Peer Lesson.
2. Manfaat Praktis
Memberikan informasi tentang kemampuan pemecahan masalah,
representasi, dan kecemasan matematika yang menggunakan pembelajaran
Peer Lesson jika dibandingkan dengan yang menggunakan pembelajaran
biasa.
3. Manfaat ketika Proses Penelitian
Melatih siswa mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan
representasi matematis serta mengurangi kecemasan matematika juga
melatih siswa untuk aktif baik dalam berinteraksi dan berdiskusi dengan
teman sekelompok dan teman sekelas.
E. Definisi Operasional
Definisi operasional dikemukakan untuk menghindari perbedaan penafsiran
terhadap variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini.
1. Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan siswa
dalam menyelesaikan masalah matematika yang meliputi kemampuan
memahami masalah, menyusun rencana pemecahan masalah,
melaksanakan rencana, dan memeriksa kembali.
2. Kemampuan representasi matematis adalah kemampuan siswa untuk
mengemukakan ide matematika dalam bentuk representasi eksternal
berupa representasi visual yang meliputi kemampuan membuat gambar
diagram untuk memperjelas masalah dan memfasilitasi penyelesainnya;
representasi simbolik yang meliputi membuat persamaan atau ekspresi
matematis dari representasi lain yang diberikan dan menyelesaikan
meliputi menuliskan cerita serta membuat situasi masalah dari suatu
representasi.
3. Kecemasan matematika adalah perasaan tertekan dan cemas yang dialami
seseorang ketika menghadapi pembelajaran matematika dan tes
matematika, yang meliputi fisiologis dan psikologis.
4. Pembelajaran Peer Lesson adalah pembelajaran yang mengembangkan
cara mengajar teman sebaya dalam kelas yang menempatkan seluruh
tanggung jawab untuk mengajar para peserta didik sebagai anggota kelas.
Langkah-langkah pembelajaran Peer Lesson adalah membagi siswa
kedalam kelompok dimana banyaknya kelompok sesuai dengan topik yang
diajarkan. Masing-masing kelompok diinformasikan untuk mengajarkan
topik yang didapat kepada kelompok lain dan setiap kelompok membuat
penyampaian yang menarik dan seefektif mungkin. Setelah tiap kelompok
diberi waktu mempersiapkan strateginya, kelompok-kelompok tersebut
harus mengajarkan kelompok lain didepan kelas.
5. Pembelajaran biasa adalah pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru di
sekolah yaitu guru memaparkan materi secara terperinci kemudian
memberikan contoh beserta penyelesaiannya, guru mempersilahkan siswa
bertanya, guru menanyakan beberapa soal pada siswa dan meminta siswa
menjawabnya langsung, siswa mengerjakan latihan secara berkelompok,
dan guru serta siswa bersama-sama membahas soal yang telah dikerjakan.
Alamijaya, J. (2012). Siswa Cemas Soal Matematika. Tribun News. [Online]. Tersedia: m.yahoo.com/w/legobpengine/news/siswa-cemas-soalmatematika-08251509.html?orig_host_hdr=id.berita.yahoo.com&.intl=ID&.lang=id-ID. [15 Desember 2013].
Alexander, L. & Matray, C. (1989). “The Development of An Abbreviated Version of The Mathematics Anxiety Rating Scale”. Measurement and Evaluation in Counseling and Development, 22, 143-150.
Amelia, R. (2011). Penerapan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) dalam Mengurangi Kecemasan Belajar Matematika Siswa. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tidak Diterbitkan.
Anita, I. W. (2011). Pengaruh Kecemasan Matematika (Mathematics Anxiety) Terhadap Kemampuan Pemahaman Matematis Dan Koneksi Matematis Siswa SMP. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Auliya, R. N. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperative Tipe CRH Terhadap Kemampuan Pemahaman Matematis dan Kecemasan Matematika Siswa SMP. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Banjarnahor, J. (2014). Tingkat Kecemasan pada Pasien Preoperatif di Rumah Sakit Umum Dr. Piragadi Medan. Skripsi. USU. Tidak Diterbitkan.
Branca, N.A. (1980). “Problem Solving as A Goal, Process and Basic Skill”, dalam Problem Solving in School Mathematics. Reston, VA: NCTM.
BSNP. (2006). Draft Final Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: BSNP.
Daneshamooz, S, dkk. (2012). Experimental Research about Effect of Mathematics Anxiety, Working Memory Capacity on Students’ Mathematical Performance with Three Different Types of Learning Methods. ARPN Journal of Scienceand Technology Vol 2 No.4.
Daulay, S. (2006). Pengaruh Metode Pembelajaran dan Kemampuan Awal Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa. [Online]. Tersedia: http://digilib.unimed.ac.id/pengaruh-metode-pembelajaran-dan-kemampuan-awal-terhadap-hasil-belajar-matematika-siswa-21349.html. [27 Mei 2009].
secara Berkelompok untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Maasalah Matematis dan Self-Confidence Siswa SMP. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Goldin, G. A. (2002). Representation in Mathematical Learning and Problem Solving. In L.D English (Ed). International Research in Mathematical Education IRME, 197- 218. New Jersey: Lawrence Erbaum Associates.
Grissom, R. J., & Kim, J. J. (2012). Effect sizes for research: Univariate and multivariate applications. (2nd ed.). New York, NY: Taylor & Francis
Gresham, G. (2010). A Study Exploring Exceptional Education Pre-Service
Teachers’ Matehematics Anxiety. [Online]. Tersedia:
http:/www.k-12prep.math.ttu.edu/journal/curriculum/gresham01/article.pdf.[15 Desember 2013].
Hartono. (2008). Strategi Pembelajaran Active Learning (Suatu Strategi Pembelajaran Berbasis Student Centred). Tersedia di: https://sditalqalam.wordpress.com/2008/01/09/strategi-pembelajaran-active-learning/ [15 Desember 2014]
Hendriana, H. (2009). Pembelajaran dengan Pendekatan Metaphorical Thinking untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi Matematik dan Kepercayaan Diri Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi Pada SPS UPI. Bandung : Tidak Diterbitkan
Herman, T. (2010). Membangun Pengetahuan Siswa Melalui Pembelajaan Berbasis Masalah. [Online]. Tersedia: http://file.upi.edu. [10 Desember 2013].
Herman, T. (n.d). Mengajar dan Belajar Matematika dengan Pemahaman. [Online]. Tersedia: http://file.upi.edu. [27 Mei 2015].
Hudiono. (2005). Peran Pembelajaran Diskursus Multi Representasi Terhadap Pengembangan Kemampuua Matematik Dan Daya Representasi Pada Siswa SLP.Disertasi Doktor pada SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Hudojo, H. (1988). Belajar Mengajar Matematika. Jakarta: Depdiknas, Proyek P2LPTK.
Hwang, et al., (2007). Multiple Representation Skills and Creativity Effects on Mathematical Problem Solving using a Multimedia Whiteboard System. Educational Technology & Society, Vol 10 No 2, pp. 191-212.
Tidak Diterbitkan.
Indiyani, N.E dan Listiara, A. (2006). Efektivitas Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning) untuk Menurunkan Kecemasan Siswa dalam Menghadapi Pelajaran Matematika. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, Vol.3 No.1.
Jackson E. (2008): Mathematics anxiety in student teachers, Practitioner research in higher education, 2(1), 36-42.
Jackson, C. D. & Leffingwell, R. J. (1999). The Role of Instructors in Creating Math Anxiety in Students from Kindergarden Through College. Mathematics Teacher, 92 (7), 583-586.
Jamieson, S. (2004). Likert scales: how to (ab)use them. Medical Education, 38, 1212-1218.
Janvier, C. (1987). Problem of Representation in the Teaching and Learning of Mathematics. Hillsdale. New Jersey/London: Lawrence Erlbaum.
Jones, A. D. (2000). The Fifth Process Standard An Argument in Include Representation in Standards 2000. [Online]. Tersedia: http://www.users.math.umd.edu/dac/650old/jonespaper.html. [10 Desember 2013].
Juanda. R. Y. (2013) Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif tipe MURDER untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Pemecahan Masala Matematis Siswa SMP. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Kalathil, R.R., & Sherin, M.G. (2000). Role of Students' Representations in the Mathematics Classroom. In B. Fishman & S. O'Connor-Divelbiss (Eds.), Fourth International Conference of the Learning Sciences (pp. 27-28). Mahwah, NJ: Erlbaum.
Kidd, J.S. (2003). The Effect of Relational Teaching and Attitudes on Mathematics Anxiety. Tesis pada Department of Mathematics, Science, and Technology Education North Carolina State University: Tidak diterbitkan.
Kusumawardani. (2010). Penerapan Strategi Pembelajaran Aktif Tipe Peer Lesson dalam Pembelajaran Matematika sebagai Upaya Peningkatan Keaktifan dan Prestasi Belajar Siswa. Tesis UMS. Tersedia: repository.ums.ac.id. [15 Desember 2013].
Inc.
Mariana, R. (2012). Implementasi Pembelajaran Aktif dengan Metode Peer Lesson untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Meltzer, D. E. (2002). The Relationship between Mathematic Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics: A Possible “Hidden Variable”In Diagnostic Pretest Score. [Online]. Tersedia: http:www.physics.iastate.edu. [15 Desember 2013].
Muchlishin, M. (2010). Hubungan antara Kemampuan Awal Matematika dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar Matematika Materi Segitiga dan Segiempat Kelas VII SMP Askhabul Kahfi Polaman Mijen Semarang tahun 2009/2010. Skripsi pada IAIN Walisongo. Tidak Diterbitkan
Mulyati. (2013). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Representasi Matematis Siswa melalui Strategi PQ4R. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Munthe, B. (2009). Desain Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani
Nasution, S. (2000). Didaktik dan Asas-asas Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
National Council of Supervisors of Mathematics (1977). Position paper on basic mathematical skills. Washington, D. C.: National Institute of Education.
National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematic
NRC. (1989). Everybody Counts. A Report to the Nation on the Future of Mathematics Education. Washington DC: National Academy Press.
Plaisance, D.V. (2009): A Teachers‟ Quick Guide To Understanding Mathematics Anxiety, Lousiana Association of teachers of mathematics journal, 6(1)
Polya. (1985). How to Solve it, a New Aspect of Mathematical Method. New Jersey: Pricenton.
Price, M. (2004). Does Active Learning Work? A Review of the Research. Journal of Engineering Education, 93(3), 223-231.
Ramdhani, S. (2013). Pembelajaran Maatematika dengan Pendekatan Problem Posing untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematis Siswa. Tesis pada SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Ranjan & Chandra. (2013). Math Anxiety: The Poor Problem Solving Factor in School Mathematics. International Journal of Scientific and Research Publications, Volume 3, Issue 4, April 2013 1 ISSN 2250-3153
Rejeki, S. (2013). Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa melalui Penerapan Model Pembelajaran Novick pada Siswa SMA. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Richardson, F. C. & Suinn, R. M. (1972). Thale: Psycometric Data. Journal of Counseling Psychology 19, 551-554.
Rosengrant, D, et.al (2005). An Overview of Recent Research on Multiple
Representations. [Online]. Tersedia:
http://paer.rutgers.edu/ScientificAbilities/Downloads/Papers/DavidRosperc2 006. pdf . [15 Desember 2013].
Rossnan. (2006). Overcoming math anxiety. Mathitudes, 1 (1), pages 1 of 4
Ruseffendi. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Santrock, J. W. (2010). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Setiarini. (2010). Upaya Meningkatkan Kemampuan Afektif Siswa Melalui Penggunaan Pembelajaran Aktif Peer Lesson. Tesis. Tersedia: http://karya-ilmiah.um.ac.id/. [15 Desember 2013].
Silberman, M. (2005). Active Learning, 101 Strategi Pembelajaran Aktif, (Terjemahan Sarjuli et al). Yogyakarta: YAPPENDIS.
Slavin, R. E. (1994). Educational Psychology Theory Into Practices. 4th ed. Boston: Ally and Bacon Publishers.
Sudjianto. (2013). Penerapan Model Cooperative Learning Metode Peer Lessons Sebagai Upaya Peningkatan Prestasi Belajar Ekonomi Di Ma Al-Mujaddadiyyah Madiun. Jurnal Karya Ilmiah IKIP PGRI Madiun. Volume 1 No 1.
Mengajar Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka
Sukawati, E. (2008). Hubungan Konsep Diri Matematika, Dukungan Otonomi Guru, dan Kecemasan Matmatika dengan Prestasi Belajar Matematika. Tesis PPs Universitas Katolik Soegijapranata. Tidak Diterbitkan.
Sumarmo, U. (1993). Peranan Kemampuan Logik dan Kegiatan Belajar terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik pada Siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian IKIP Bandung: Tidak Diterbitkan.
Sumarmo, U. (2007). Pembelajaran Matematika. Dimuat dalam Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi Matematika serta Pembelajarannya. (2013).
Sumarmo, U. (2011). Mathematical Understanding and Proving Abilities. Dimuat dalam Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi Matematika serta Pembelajarannya. (2013).
Sumarmo, U. (2012). Pengukuran dan Evaluasi dalam Pembelajaran Matematika. Bahan Ajar Mata Kuliah Evaluasi dalam Pembelajaran Matematika. UPI: Program Pascasarjana Pendidikan Matematika.
Suminta, R. R. (2014). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Matematika pada Siswa SMA. Disertasi. UGM. Tidak Diterbitkan.
Sundayana, R.(2010). Statistika Penelitian Pendidikan. Garut: STKIP Garut Press.
Suparno, P. (2001). Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius.
Sutiarso, S dan Nurhanurawati. (2008). Mengatasi Kecemasan (Anxiety) dalam Pembelajaran Matematika. JPMIPA, Vol.9 No. 1, Januari 2008.
Thalheimer, W and Cook, S. (2002). How to Calculate Effect Size from Published Research: A Simplified Methodology.[Online]. Tersedia di: www.work-learning.com [27 Mei 2015].
Trismiati. (2004). Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Pria dan Wanita Akseptor Kontrasepsi Mantap Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Jurnal PSYCHE,1 (1).
Diktat Kuliah.
Wahyudin. (2010). Kecemasan Matematika.Monograf Pendidikan Matematika UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Wahyuni, S. (2012). Peningkatan Kemampuan Representasi Matematis dan Self Esteem Siswa Sekolah Menengah Pertama dengan Menggunakan Model Pembelajaran ARIAS. Tesis pada SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Wardhani, S. (2008). Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/ MTs untuk Optimalisasi Tujuan Mata Pelajaran Matematika. Yogyakarta: Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Matematika.
Widoyoko, E. P. (2010). Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wigfield, A & Meece, J. L. (1988). Math Anxiety in Elementary and Secondary School Students. Journal of Educational Psychology Vol 80(2), 210-216.
Woodard, T. (2004): The effects of Math anxiety on Post-Secondary Development of Students as Related to Achievement, Gender and Age. Inquiry, 9(1). ERIC Document Reproduction Server, No EJ876845
Yuberta, F. (2013). Penerapan Strategi Every One Is A Teacher Here dengan Pendekatan Problem Posing Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Self Concep Siswa MTsN. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Yuliana, Nelly. (2013). Pengaruh Pendekatan Differentiated Instruction terhadap Kecemasan Matematika, Peningkatan Kemampuan Pemahaman, dan Penalaran Matematis Siswa SMK. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Zaini, H, dkk. (2008). Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: CTSD UIN Sunan Kalijaga.
Zakaria, dkk. (2012). Mathematics Anxiety and Achievement among Secondary School Students. American Journal of Applied Sciences, 9(11), 1828-1832.