• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBELAJARAN PEER LESSON TERHADAP KECEMASAN MATEMATIKA DAN PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SERTA REPRESENTASI MATEMATIS SISWA SMA : Penelitian Kuasi Eksperimen di Kelas XI IPA Salah Satu SMA di Kota Bandar Lampung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PEMBELAJARAN PEER LESSON TERHADAP KECEMASAN MATEMATIKA DAN PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SERTA REPRESENTASI MATEMATIS SISWA SMA : Penelitian Kuasi Eksperimen di Kelas XI IPA Salah Satu SMA di Kota Bandar Lampung."

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Maria Edistianda Eka Saputri (2015). Pengaruh Pembelajaran Peer Lesson terhadap Kecemasan Matematika dan Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah serta Representasi Matematis Siswa SMA (Penelitian Kuasi Eksperimen di Kelas XI IPA Salah Satu SMA di Kota Bandar Lampung).

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan masih rendahnya kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis serta tingginya kecemasan matematika siswa. Kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis dibutuhkan baik dalam belajar maupun dalam kehidupan sehari-hari. Kecemasan matematika mempengaruhi kemampuan matematis siswa. Pembelajaran Peer Lesson digunakan dalam penelitian untuk mengatasi hal tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk menelaah pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran Peer Lesson dan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa ditinjau secara keseluruhan maupun kemampuan awal matematis siswa (tinggi, sedang, rendah) serta menelaah kecemasan matematikanya. Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan desain kelompok kontrol non-ekuivalen dan populasinya adalah siswa kelas XI IPA di salah satu SMA Negeri Kota Bandar Lampung. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling sehingga didapatkan dua kelas sebagai sampel penelitian. Instrumen penelitian meliputi tes kemampuan pemecahan masalah dan representasi matematis dan angket skala kecemasan matematika. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji perbedaan rataan yaitu uji-t dan Mann-Whitney serta uji anova dua jalur dengan bantuan program SPSS 17 for Windows. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran Peer Lesson lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa bila ditinjau secara keseluruhan dan kemampuan awal matematis siswa (sedang dan rendah), tetapi tidak berbeda untuk siswa dengan kemampuan awal matematis tinggi; (2) pencapaian dan peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran Peer Lesson tidak berbeda dengan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa bila ditinjau secara keseluruhan dan kemampuan awal matematis siswa; (3) kecemasan matematika siswa yang memperoleh pembelajaran Peer Lesson lebih rendah daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.

(2)

ABSTRACT

Maria Edistianda Eka Saputri (2015), The Impact of Peer Lesson Learning to Mathematics Anxiety and Enchancement of Mathematical Problem Solving and Mathematical Representation Abilities of Students in Senior High School.

This study is based on low students’ abilities in mathematical problem solving, and mathematical representation. It is also based on high mathematics anxiety. Mathematical problem solving and mathematical representation abilities are required both in learning and everyday life. Mathematics anxiety influences students' mathematical abilities. The Peer Lesson learning used in this study is devoted to overcome this problem. The aims of this study are to examine the achievement and enchancement of mathematical problem solving and mathematical representation abilities of students who got Peer Lesson learning and students who got regular learning viewed from the whole students and prior mathematical ability (high, mediocre, low) and examine their mathematics anxiety. The type of this study was quasi-experimental with non-equivalent control group design and the population were students of year XI IPA at one of senior high schools in Bandar Lampung. The sampling technique used purposive sampling to obtain two groups as the sample. The instruments include mathematical problem solving and mathematical representation abilities tests and mathematics anxiety scale. The data were analyzed by using the mean difference test: t-test and Mann-Whitney U test with SPSS 17 for Windows. The study found that: (1) the achievement and enchancement of mathematical problem solving ability of the students who got Peer Lesson learning is better than the students who got regular learning when viewed from whole the students and prior mathematical ability (mediocre and low), but is not different from the students with high prior mathematical ability; (2) the achievement and enchancement of mathematical representation ability of the students who got Peer Lesson learning is not different from the students who got regular learning when viewed from whole the students and prior mathematical ability; (3) mathematics anxiety of the students who got Peer Lesson learning is lower than the students who got regular learning.

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Matematika merupakan salah satu ilmu yang berpengaruh dalam

pendidikan. Matematika adalah ilmu dasar yang harus dipelajari sebelum

mempelajari ilmu lainnya seperti Fisika, Kimia, dan Ekonomi. Begitu pentingnya

matematika hingga NRC (National Research Council, 1989) dari Amerika Serikat

telah menyatakan “Mathematics is the key to opportunity”, yang artinya

matematika adalah kunci ke arah peluang-peluang. Dengan matematika, suatu

negara dapat menyiapkan warganya untuk bersaing di bidang ekonomi dan

teknologi. Bagi seseorang, mempelajari dan menguasai matematika akan

membuka peluang karir yang lebih baik.

Di Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang

Sisdiknas (BSNP, 2006) bahwa pendidikan matematika wajib dipelajari mulai dari

sekolah dasar hingga sekolah menengah, bahkan sampai perguruan tinggi pun,

matematika masih tetap dipelajari. Hal ini dikarenakan matematika memegang

peranan penting, tidak jarang seseorang akan membutuhkan matematika untuk

memecahkan masalah di kehidupannya sehari-hari. Sejalan dengan Suherman dan

Winataputra (1992), menurut mereka matematika sekolah berperan: (1) untuk

mempersiapkan anak didik agar sanggup menghadapi perubahan-perubahan

keadaan di dalam kehidupan dunia yang senantiasa berubah, melalui latihan

bertindak atas dasar pemikiran logis dan rasional, kritis dan cermat, objektif,

kreatif, efektif dan diperhitungkan secara analisis-sintesis; (2) untuk

mempersiapkan anak didik agar menggunakan matematika secara fungsional

dalam kehidupan sehari-hari dan di dalam menghadapi ilmu pengetahuan.

Pembelajaran matematika pada Sekolah Menengah Atas (SMA) bertujuan

agar siswa memiliki seperangkat kompetensi yang harus ditujukan pada hasil

belajarnya dalam matematika (standar kompetensi) yaitu: (1) memahami konsep

matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep

atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah;

(4)

matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan

gagasan dan pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi

kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan

model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) mengkomunikasikan gagasan

dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau

masalah; (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,

yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari

matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah

(Wardhani, 2008).

National Council of Supervisors of Mathematics (1977) menyatakan bahwa

pemecahan masalah merupakan alasan utama untuk belajar matematika, tidak

sekedar membuat siswa mampu menyelesaikan masalah dalam matematika, tetapi

mereka juga mampu menggunakan pemecahan masalah dalam konteks lain.

Branca (1980) juga mengemukakan salah satu interpretasi pemecahan masalah

yaitu pemecahan masalah sebagai ketrampilan dasar atau kecakapan hidup (life

skill), karena setiap manusia harus memecahkan masalahnya sendiri. Jadi

pemecahan masalah merupakan kemampuan yang harus dimiliki setiap siswa.

Namun kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah

siswa masih rendah. Seperti yang diungkapkan Sumarmo (1993) dalam studinya

mengenai pemecahan masalah siswa SLTP dan SLTA dan guru-guru matematika

bahwa dalam tingkat berpikir formal, siswa SLTA belum berkembang secara

optimal dan kemampuan masalahnya masih rendah. Padahal porsi soal pemecahan

masalah dalam ujian nasional bahkan ujian masuk perguruan tinggi cukup besar.

Peneliti menduga siswa SMA mempunyai kemampuan pemecahan masalah yang

rendah, hal ini terlihat dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan, yaitu sebagian

besar siswa tidak dapat menjawab dengan benar soal yang berkaitan kemampuan

pemecahan masalah. Kebanyakan dari mereka lemah dalam memahami masalah,

akibatnya mereka tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut.

Selain kemampuan pemecahan masalah, peneliti menduga pula kemampuan

representasi siswa juga masih rendah. Hal ini juga terlihat dari hasil studi

pendahuluan yang dilakukan. Hanya sedikit siswa yang menjawab benar dalam

(5)

lainnya lemah terutama dalam representasi visual. Berdasarkan hasil penelitian

Hudiono (2005) diketahui bahwa menurut guru, representasi seperti tabel dan

gambar disampaikan kepada siswa, sebagai penyerta atau pelengkap dalam

penyampaian materi, dan jarang memperhatikan representasi yang dikembangkan

siswa. Dengan demikian guru mengajarkan representasi terbatas pada cara biasa

sehingga siswa cenderung meniru langkah guru, siswa tidak diberi kesempatan

untuk merepresentasikannya sendiri, hal ini membuat kemampuan representasi

siswa tidak berkembang. Padahal kemampuan representasi merupakan salah satu

dari tujuan pembelajaran matematika menurut NCTM (2000).

Terdapat beberapa alasan mengapa representasi penting menurut Jones

(2000), yaitu: kelancaran dalam membangun suatu konsep dan berpikir

matematik; ide-ide yang diberikan guru sangat mempengaruhi pemahaman siswa

dalam matematik; untuk memiliki kemampuan dan pemahaman konsep yang kuat

dan fleksibel dapat dibangun melalui representasi matematik. Siswa dapat

memahami dan mengembangkan konsep matematika secara lebih mendalam

dengan menggunakan representasi matematika yang bermacam-macam. Seperti

halnya yang diungkapkan Wahyudin (2008), kemampuan representasi sangat

diperlukan untuk membantu para siswa dalam mengatur pemikirannya. Artinya

jika mereka dapat merepresentasikan apa yang ada dipikiran mereka, maka

kemampuan mereka dalam berpikir matematis akan semakin baik.

Kemampuan pemecahan masalah siswa juga salah satunya dipengaruhi oleh

kemampuan representasi. Siswa dapat menyederhanakan dan menyelesaikan

masalah dengan lebih efektif jika siswa menggunakan representasi dengan baik

dan tepat. Wahyuni (2012) menyatakan bahwa suatu masalah rumit akan menjadi

lebih sederhana jika menggunakan representasi yang sesuai dengan permasalahan

yang diberikan, sebaliknya penggunaan representasi yang keliru dalam

menyelesaikan masalah akan membuat masalah tersebut menjadi lebih sukar

untuk diselesaikan. Oleh karena itu hendaknya salah satu pencapaian dalam

proses pembelajaran adalah menjamin siswa dapat menyajikan konsep yang

dipelajari ke dalam berbagai model matematika dengan memberikan kesempatan

(6)

mengembangkan pengetahuan secara lebih mendalam dan pemikiran

matematisnya akan lebih tajam.

Rendahnya kemampuan pemecahan masalah disebabkan beberapa faktor

menurut Juanda (2013), yaitu: (1) siswa belum mampu memahami masalah yang

diberikan, sehingga dalam memberikan jawaban tidak sesuai dengan masalah, (2)

kurangnya pengetahuan strategi menyelesaikan masalah, (3) ketidakmampuan

siswa untuk menerjemahkan masalah ke dalam bentuk matematika. Hal inilah

yang dinamakan hambatan epistemologis dalam pembelajaran. Pengetahuan siswa

hanya terbatas pada konteks tertentu, jika siswa tersebut dihadapkan pada konteks

berbeda maka pengetahuan yang dimiliki menjadi tidak bisa digunakan atau siswa

mengalami kesulitan untuk menggunakannya. Terlihat faktor ketiga merupakan

faktor yang berhubungan dengan representasi matematis siswa. Artinya jika

representasi matematis siswa kurang baik maka akibatnya kemampuan pemecahan

masalah pun kurang baik. Inayah (2013) juga mengungkapkan bahwa penyebab

kemampuan pemecahan masalah dan representasi belum dikembangkan dengan

maksimal adalah kurang difasilitasinya siswa dengan pembelajaran yang menarik

dan memotivasi siswa dalam pembelajaran matematika. Pembelajaran yang

kreatif dan inovatif dapat memotivasi belajar siswa sehingga pembelajaran lebih

bermakna dan siswa lebih aktif dalam mengeksplor kemampuan yang dimilikinya.

Penyebab lain rendahnya kemampuan matematis siswa adalah kecemasan

terhadap matematika. Sesuai dengan yang dikatakan Gresham (2010) dan

Daneshamooz,. dkk (2012) yakni kecemasan matematika menyebabkan sikap

negatif terhadap matematika dan berkorelasi negatif dengan kinerja matematika

yang berdampak pada rendahnya kemampuan matematik. Clute dan Hembree

(dalam Vahedi dan Farrokhi, 2011) menemukan bahwa siswa yang memiliki

tingkat kecemasan yang tinggi memiliki prestasi belajar yang rendah. Sejalan

dengan itu, hasil penelitian Zakaria dkk. (2012) menunjukkan bahwa siswa yang

berprestasi memiliki tingkat kecemasan matematika yang rendah, sedangkan

siswa yang kurang berprestasi memiliki kecemasan matematika yang tinggi.

Sampai saat ini matematika masih menjadi hal yang dihindari siswa. Mereka

(7)

Kecemasan sebenarnya merupakan suatu hal yang penting untuk

meningkatkan motivasi dalam meraih sesuatu, tetapi yang menjadi permasalahan

adalah ketika kecemasan yang dialami oleh individu tersebut terlalu tinggi. Sesuai

dengan pendapat Elliot dkk (dalam Indiyani dan Listiara, 2006) yang

menyebutkan bahwa pada dasarnya kecemasan dalam tingkat yang rendah dan

sedang berpengaruh positif terhadap penampilan belajar siswa, salah satunya

dapat meningkatkan motivasi belajar, sedangkan kecemasan siswa pada taraf yang

tinggi dapat mengganggu dan memperburuk perilaku belajar siswa. Namun sangat

disayangkan TIM (dalam Yuliana, 2013) mengatakan bahwa berdasarkan PISA

tahun 2006, jumlah siswa di Asia yang mengalami kecemasan matematika cukup

tinggi. Hasil penelitian Renga dan Della (Herman, n.d.), menunjukkan bahwa

siswa SD umumnya memiliki pandangan positif terhadap matematika, namun

kecemasan mereka terhadap matematika meningkat ketika mereka memasuki

SLTP dan SLA (setara SMA). Penelitian Luo, dkk (2009) juga menunjukkan

bahwa siswa pada grade eleven (setara kelas XI SMA) memiliki kecemasan

matematika lebih tinggi dibandingkan pada grade ten dan grade twelve walaupun

tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Siswa yang memiliki pengalaman

kurang baik dengan matematika cenderung menjauhi matematika di tingkat SMA.

Kecemasan matematika sangat berpengaruh pada diri siswa, oleh karena itu

kecemasan matematika tidak bisa dianggap sebagai hal biasa. Siswa yang

mengalami kecemasan matematika akan sulit memahami dan menguasai

pelajaran, sikap negatif siswa dalam matematika membuat siswa sulit dalam

menyelesaikan soal yang berkaitan dengan matematika. Perasaan takut terhadap

matematika pun akan timbul sehingga cenderung membuat mereka menghindari

matematika. Sejalan dengan Tobias (Wahyudin, 2010) dalam mendefinisikan

kecemasan matematika sebagai perasaan-perasaan tegang dan cemas yang

mencampuri manipulasi bilangan-bilangan dan pemecahan masalah matematis

dalam beragam situasi kehidupan sehari-hari dan situasi akademik. Perasaan

tegang dan cemas ini akan membuat siswa lupa pada konsep yang telah

dipelajarinya. Siswa akan merasa bingung dan takut dalam menyelesaikan soal

dan akan berpengaruh pada kepercayaan diri mereka. Hal ini sesuai dengan hasil

(8)

bahwa kecemasan matematika merupakan salah satu faktor yang mempunyai

hubungan negatif dengan prestasi siswa. Artinya bahwa siswa yang mempunyai

kecemasan matematika tinggi akan mengakibatkan prestasi belajar siswa rendah.

Jackson dan Leffingwell (1999) menemukan bahwa hanya 7% dari siswa

mereka yang berjumlah 157 siswa tidak merasakan stres ketika belajar

matematika mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Padahal

matematika merupakan mata pelajaran penting dan wajib diberikan. Hal ini

membuat kecemasan matematika dianggap sebagai masalah yang serius. Jika

siswa cemas dalam memanipulasi bilangan-bilangan, maka bagaimana siswa akan

meningkatkan prestasi matematikanya, karena matematika selalu identik dengan

bilangan, operasi dan simbol-simbol matematis. Artinya dengan meningkatnya

kecemasan matematika siswa, kemampuan representasi matematika akan menjadi

rendah.

Wigfield dan Meece (1988) menjelaskan mengenai sebab terjadinya

kecemasan terhadap mata pelajaran matematika, yaitu: (1) orang-orang yang

khawatir dengan matematika, tidak percaya pada kemampuan dirinya untuk

menyelesaikan soal matematika dan (2) memiliki reaksi emosi yang negatif

terhadap soal-soal matematika, sehingga takut dan tidak menyukai matematika

secara terus menerus. Sutiarso dan Nurhanurawati (2008) juga mengungkapkan

penyebab tingginya kecemasan matematika antara lain (1) pengalaman yang

kurang menyenangkan ketika belajar matematika dan (2) pendekatan pengajaran

guru yang kurang menarik, seperti yang dikatakan Newstead bahwa pendekatan

pengajaran guru sangat menentukan keberhasilan pengajaran matematika. Bila

guru tidak mampu menampilkan pengajaran matematika dengan menarik akan

membuat siswa bosan, pada akhirnya akan menimbulkan kecemasan matematika.

Siswa akan mengalami puncak kecemasan terhadap matematika adalah

ketika ujian. Ketakutan akan tidak lulusnya mereka membuat mereka semakin

cemas. Alamijaya (2012) juga mengatakan karena terlalu banyaknya rumus yang

harus dihapal, mereka takut ketika di kelas soal-soal ujian yang keluar justru

bukan dari rumus yang mereka hapalkan. Kondisi seperti inilah yang membuat

(9)

Kejadian seperti di atas terjadi salah satunya karena ketidaksiapan siswa

dalam menghadapi ujian. siswa memerlukan kesiapan dalam proses pembelajaran.

Kesiapan yang baik dalam menghadapi ujian akan menghasilkan prestasi belajar

yang baik pula. Ibarat pepatah “siapkan senjata sebelum perang”, jika sebelum

ujian persiapan siswa seperti memahami materi-materi yang telah dipelajari,

memperbanyak mengerjakan latihan-latihan soal, memanfaatkan waktu luang

sebaik mungkin, maka sudah pasti kekhawatiran siswa ketika waktu ujian tiba

pasti akan rendah. Jadi diperlukan belajar bermakna untuk membuat kesiapan

siswa semakin baik yang berakibat pada menurunnya kecemasan terhadap

matematika dan tercapainya tujuan pembelajaran.

Salah satu unsur penting yang dapat mengatasi masalah rendahnya

pemecahan masalah, representasi dan kecemasan matematika siswa adalah guru.

Salah satu tugas guru adalah mengorganisasi proses belajar murid-murid,

merencanakan bagaimana caranya agar murid-murid dapat belajar dengan aktif,

rajin, tekun, dan teliti. Guru harus mengelola segala sesuatu untuk kepentingan

itu, termasuk mengatur sarana, fasilitas, situsi belajar, dan aktivitas murid-murid

itu sendiri. Guru adalah motor penggerak aktivitas murid belajar, terutama bila

ada hambatan-hambatan, ketidak lancaran yang sumbernya pada murid itu sendiri.

Guru adalah pembimbing dan konsultan bagi murid yang mengalami kesulitan.

Akhirnya guru juga bertugas memperbaiki kelemahan dan kekurangan anak dalam

mengembangkan dan menumbuhkan dirinya.

Agar proses pembelajaran berjalan dengan baik, seorang guru selain

menguasai materi, dituntut juga menguasai strategi yang dapat mengaktifkan

siswa dalam proses pembelajaran. Jika guru berhasil menciptakan suasana yang

menyebabkan siswa termotivasi dalam belajar, maka memungkinkan kecemasan

matematika siswa menurun dan prestasi belajar siswapun akan meningkat. Guna

mendapatkan hasil belajar yang memuaskan, seorang guru harus mengupayakan

agar siswa aktif dalam proses belajar. Itulah sebabnya aktivitas merupakan prinsip

atau asas yang sangat penting didalam interaksi belajar-mengajar (Nasution 2000).

Perlu diterapkan suatu strategi pembelajaran yang dapat menumbuhkan

motivasi belajar siswa, sehingga siswa menjadi aktif dalam pembelajaran. Belajar

(10)

sehingga peserta didik merasakan suasana yang lebih menyenangkan (Hartono,

2008). Salah satu strategi pembelajaran yang melibatkan peran serta siswa adalah

strategi pembelajaran aktif (Zaini, 2008). Pembelajaran aktif adalah suatu

pembelajaran yang mengajak peserta didik untuk belajar secara aktif. Peserta

didik belajar secara aktif sehingga pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru

tetapi berpusat pada siswa (student centered). Strategi pembelajaran aktif sangat

mendukung tersedianya lingkungan yang konstruktif sehingga keaktifan siswa

pun akan meningkat.

Keaktifan siswa dalam pembelajaran akan menjadikan siswa lebih mudah

dalam memahami dan mempelajari materi. Karena pentingnya keaktifan siswa ini,

guru perlu mengupayakan pembelajaran yang menggunakan strategi pembelajaran

aktif yang tepat yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan

representasi matematis siswa serta mengurangi kecemasan matematika siswa.

Salah satu solusinya adalah dengan menerapkan strategi pembelajaran aktif tipe

Peer Lesson. Strategi pembelajaran aktif dengan tipe Peer Lesson merupakan

pengajaran sesama siswa di dalam kelas layaknya tutor sebaya namun memiliki

perbedaan yaitu digunakannya strategi yang menarik dalam penyampaiannya.

Seluruh tanggung jawab selama proses pembelajaran ditempatkan kepada semua

siswa.

Dalam pembelajaran Peer Lesson, setiap siswa diajak untuk turun aktif

dalam proses pembelajaran sehingga terjadi interaksi antara siswa karena siswa

berkolaborasi dan berdiskusi untuk saling belajar dan membelajarkan dalam

pemecahan masalah. Melalui interaksi terjadi proses pertukaran pengetahuan,

saling memberi maupun menerima. Setiap siswa juga ditugaskan untuk

mengajarkan siswa lain. Keaktifan siswa dalam mempelajari materi yang

ditugaskan membuat konsep yang didapat lebih bermakna. Dengan demikian

pembelajaran bukan hanya untuk menguasai hasil latihan, melainkan pengalaman

yang membawa siswa pada pemahaman yang lebih mendalam terhadap konsep.

Selain itu, pembelajaran Peer Lesson akan berpengaruh pada tingkat

kecemasan matematika. Pembelajaran ini menekankan pada belajar dari teman,

kecemasan matematika siswa akan berbeda antara berhadapan dengan guru atau

(11)

bersama temannya sendiri daripada bersama gurunya. Pembelajaran Peer Lesson

tidak hanya melibatkan mental dalam kegiatannya tetapi juga melibatkan fisik.

Dengan demikian mereka dapat belajar dengan lebih menyenangkan sehingga

keaktifan untuk belajar menjadi meningkat yang akhirnya keberhasilan

pembelajaran bisa lebih maksimal.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran adalah kemampuan

awal matematis (KAM) siswa. Menurut Muchlishin (2010) KAM adalah suatu

kesanggupan yang dimiliki oleh peserta didik baik alami maupun yang dipelajari

untuk melaksanakan suatu tindakan tertentu secara historis dimana mereka

memberikan respon yang positif atau negatif terhadap objek tersebut dengan

menggunakan penalaran dan cara-cara berpikir logis, analitis, sistematis, kritis,

kreatif dan inovatif serta menekankan pada penguasaan konsep dan algoritma

disamping kemampuan memecahkan masalah. Hendriana (2009) mengatakan

bahwa matematika adalah ilmu yang terstruktur artinya untuk menguasai suatu

konsep matematika diperlukan penguasaan konsep dasar matematika lainnya,

maka kemampuan kognitif awal siswa yang dinyatakan dalam KAM memegang

peranan yang sangat penting untuk penguasaan konsep baru matematika. Senada

dengan Daulay (2006) yang mengungkapkan bahwa kemampuan awal siswa

merupakan informasi yang berharga bagi pengajar karena menjadi dasar untuk

siswa yang disesuaikan dengan pengajaran. Oleh karena itu peninjauan dari sisi

KAM perlu dilakukan untuk melihat apakah pembelajaran cocok untuk semua

tingkat KAM siswa.

Berdasarkan hal-hal yang diungkapkan di atas peneliti terdorong untuk

melakukan penelitian yang berkaitan dengan bagaimana peserta didik melakukan

kegiatan aktif saat pembelajaran dan bagaimana pengaruhnya terhadap

kemampuan pemecahan masalah, representasi dan kecemasan matematika siswa.

Oleh karena itu peneliti mengajukan penelitian yang berjudul “Pengaruh

Pembelajaran Peer Lesson terhadap Kecemasan Matematika dan Peningkatan

(12)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah

secara umum dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah pengaruh pembelajaran

Peer Lesson terhadap kecemasan matematika dan peningkatan kemampuan

pemecahan masalah serta representasi matematis siswa SMA?”. Selanjutnya

rumusan masalah tersebut dijabarkan dalam pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa yang memperoleh pembelajaran Peer Lesson lebih baik

daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa ditinjau dari secara

keseluruhan dan KAM?

2. Apakah pencapaian dan peningkatan kemampuan representasi matematis

siswa yang memperoleh pembelajaran Peer Lesson lebih baik daripada

siswa yang memperoleh pembelajaran biasa ditinjau dari secara

keseluruhan dan KAM?

3. Apakah kecemasan matematika siswa yang mendapat pembelajaran Peer

Lesson lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa?

C. Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dipaparkan,

penelitian ini bertujuan untuk menelaah:

1. Pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis

siswa yang memperoleh pembelajaran Peer Lesson dan siswa yang

memperoleh pembelajaran biasa ditinjau dari secara keseluruhan dan

KAM.

2. Pencapaian dan peningkatan kemampuan representasi matematis siswa

yang memperoleh pembelajaran Peer Lesson dan siswa yang memperoleh

pembelajaran biasa ditinjau dari secara keseluruhan dan KAM.

3. Kecemasan matematika siswa yang memperoleh pembelajaran Peer

(13)

D. Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini secara teoritis dapat menjadi referensi tentang pengaruh

pembelajaran Peer Lesson sekaligus untuk memperkaya wawasan dalam

bidang penggunaan model Peer Lesson.

2. Manfaat Praktis

Memberikan informasi tentang kemampuan pemecahan masalah,

representasi, dan kecemasan matematika yang menggunakan pembelajaran

Peer Lesson jika dibandingkan dengan yang menggunakan pembelajaran

biasa.

3. Manfaat ketika Proses Penelitian

Melatih siswa mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan

representasi matematis serta mengurangi kecemasan matematika juga

melatih siswa untuk aktif baik dalam berinteraksi dan berdiskusi dengan

teman sekelompok dan teman sekelas.

E. Definisi Operasional

Definisi operasional dikemukakan untuk menghindari perbedaan penafsiran

terhadap variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini.

1. Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan siswa

dalam menyelesaikan masalah matematika yang meliputi kemampuan

memahami masalah, menyusun rencana pemecahan masalah,

melaksanakan rencana, dan memeriksa kembali.

2. Kemampuan representasi matematis adalah kemampuan siswa untuk

mengemukakan ide matematika dalam bentuk representasi eksternal

berupa representasi visual yang meliputi kemampuan membuat gambar

diagram untuk memperjelas masalah dan memfasilitasi penyelesainnya;

representasi simbolik yang meliputi membuat persamaan atau ekspresi

matematis dari representasi lain yang diberikan dan menyelesaikan

(14)

meliputi menuliskan cerita serta membuat situasi masalah dari suatu

representasi.

3. Kecemasan matematika adalah perasaan tertekan dan cemas yang dialami

seseorang ketika menghadapi pembelajaran matematika dan tes

matematika, yang meliputi fisiologis dan psikologis.

4. Pembelajaran Peer Lesson adalah pembelajaran yang mengembangkan

cara mengajar teman sebaya dalam kelas yang menempatkan seluruh

tanggung jawab untuk mengajar para peserta didik sebagai anggota kelas.

Langkah-langkah pembelajaran Peer Lesson adalah membagi siswa

kedalam kelompok dimana banyaknya kelompok sesuai dengan topik yang

diajarkan. Masing-masing kelompok diinformasikan untuk mengajarkan

topik yang didapat kepada kelompok lain dan setiap kelompok membuat

penyampaian yang menarik dan seefektif mungkin. Setelah tiap kelompok

diberi waktu mempersiapkan strateginya, kelompok-kelompok tersebut

harus mengajarkan kelompok lain didepan kelas.

5. Pembelajaran biasa adalah pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru di

sekolah yaitu guru memaparkan materi secara terperinci kemudian

memberikan contoh beserta penyelesaiannya, guru mempersilahkan siswa

bertanya, guru menanyakan beberapa soal pada siswa dan meminta siswa

menjawabnya langsung, siswa mengerjakan latihan secara berkelompok,

dan guru serta siswa bersama-sama membahas soal yang telah dikerjakan.

(15)

Alamijaya, J. (2012). Siswa Cemas Soal Matematika. Tribun News. [Online]. Tersedia: m.yahoo.com/w/legobpengine/news/siswa-cemas-soalmatematika-08251509.html?orig_host_hdr=id.berita.yahoo.com&.intl=ID&.lang=id-ID. [15 Desember 2013].

Alexander, L. & Matray, C. (1989). “The Development of An Abbreviated Version of The Mathematics Anxiety Rating Scale”. Measurement and Evaluation in Counseling and Development, 22, 143-150.

Amelia, R. (2011). Penerapan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) dalam Mengurangi Kecemasan Belajar Matematika Siswa. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tidak Diterbitkan.

Anita, I. W. (2011). Pengaruh Kecemasan Matematika (Mathematics Anxiety) Terhadap Kemampuan Pemahaman Matematis Dan Koneksi Matematis Siswa SMP. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Auliya, R. N. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperative Tipe CRH Terhadap Kemampuan Pemahaman Matematis dan Kecemasan Matematika Siswa SMP. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Banjarnahor, J. (2014). Tingkat Kecemasan pada Pasien Preoperatif di Rumah Sakit Umum Dr. Piragadi Medan. Skripsi. USU. Tidak Diterbitkan.

Branca, N.A. (1980). “Problem Solving as A Goal, Process and Basic Skill”, dalam Problem Solving in School Mathematics. Reston, VA: NCTM.

BSNP. (2006). Draft Final Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: BSNP.

Daneshamooz, S, dkk. (2012). Experimental Research about Effect of Mathematics Anxiety, Working Memory Capacity on Students’ Mathematical Performance with Three Different Types of Learning Methods. ARPN Journal of Scienceand Technology Vol 2 No.4.

Daulay, S. (2006). Pengaruh Metode Pembelajaran dan Kemampuan Awal Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa. [Online]. Tersedia: http://digilib.unimed.ac.id/pengaruh-metode-pembelajaran-dan-kemampuan-awal-terhadap-hasil-belajar-matematika-siswa-21349.html. [27 Mei 2009].

(16)

secara Berkelompok untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Maasalah Matematis dan Self-Confidence Siswa SMP. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Goldin, G. A. (2002). Representation in Mathematical Learning and Problem Solving. In L.D English (Ed). International Research in Mathematical Education IRME, 197- 218. New Jersey: Lawrence Erbaum Associates.

Grissom, R. J., & Kim, J. J. (2012). Effect sizes for research: Univariate and multivariate applications. (2nd ed.). New York, NY: Taylor & Francis

Gresham, G. (2010). A Study Exploring Exceptional Education Pre-Service

Teachers’ Matehematics Anxiety. [Online]. Tersedia:

http:/www.k-12prep.math.ttu.edu/journal/curriculum/gresham01/article.pdf.[15 Desember 2013].

Hartono. (2008). Strategi Pembelajaran Active Learning (Suatu Strategi Pembelajaran Berbasis Student Centred). Tersedia di: https://sditalqalam.wordpress.com/2008/01/09/strategi-pembelajaran-active-learning/ [15 Desember 2014]

Hendriana, H. (2009). Pembelajaran dengan Pendekatan Metaphorical Thinking untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi Matematik dan Kepercayaan Diri Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi Pada SPS UPI. Bandung : Tidak Diterbitkan

Herman, T. (2010). Membangun Pengetahuan Siswa Melalui Pembelajaan Berbasis Masalah. [Online]. Tersedia: http://file.upi.edu. [10 Desember 2013].

Herman, T. (n.d). Mengajar dan Belajar Matematika dengan Pemahaman. [Online]. Tersedia: http://file.upi.edu. [27 Mei 2015].

Hudiono. (2005). Peran Pembelajaran Diskursus Multi Representasi Terhadap Pengembangan Kemampuua Matematik Dan Daya Representasi Pada Siswa SLP.Disertasi Doktor pada SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Hudojo, H. (1988). Belajar Mengajar Matematika. Jakarta: Depdiknas, Proyek P2LPTK.

Hwang, et al., (2007). Multiple Representation Skills and Creativity Effects on Mathematical Problem Solving using a Multimedia Whiteboard System. Educational Technology & Society, Vol 10 No 2, pp. 191-212.

(17)

Tidak Diterbitkan.

Indiyani, N.E dan Listiara, A. (2006). Efektivitas Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning) untuk Menurunkan Kecemasan Siswa dalam Menghadapi Pelajaran Matematika. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, Vol.3 No.1.

Jackson E. (2008): Mathematics anxiety in student teachers, Practitioner research in higher education, 2(1), 36-42.

Jackson, C. D. & Leffingwell, R. J. (1999). The Role of Instructors in Creating Math Anxiety in Students from Kindergarden Through College. Mathematics Teacher, 92 (7), 583-586.

Jamieson, S. (2004). Likert scales: how to (ab)use them. Medical Education, 38, 1212-1218.

Janvier, C. (1987). Problem of Representation in the Teaching and Learning of Mathematics. Hillsdale. New Jersey/London: Lawrence Erlbaum.

Jones, A. D. (2000). The Fifth Process Standard An Argument in Include Representation in Standards 2000. [Online]. Tersedia: http://www.users.math.umd.edu/dac/650old/jonespaper.html. [10 Desember 2013].

Juanda. R. Y. (2013) Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif tipe MURDER untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Pemecahan Masala Matematis Siswa SMP. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Kalathil, R.R., & Sherin, M.G. (2000). Role of Students' Representations in the Mathematics Classroom. In B. Fishman & S. O'Connor-Divelbiss (Eds.), Fourth International Conference of the Learning Sciences (pp. 27-28). Mahwah, NJ: Erlbaum.

Kidd, J.S. (2003). The Effect of Relational Teaching and Attitudes on Mathematics Anxiety. Tesis pada Department of Mathematics, Science, and Technology Education North Carolina State University: Tidak diterbitkan.

Kusumawardani. (2010). Penerapan Strategi Pembelajaran Aktif Tipe Peer Lesson dalam Pembelajaran Matematika sebagai Upaya Peningkatan Keaktifan dan Prestasi Belajar Siswa. Tesis UMS. Tersedia: repository.ums.ac.id. [15 Desember 2013].

(18)

Inc.

Mariana, R. (2012). Implementasi Pembelajaran Aktif dengan Metode Peer Lesson untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Meltzer, D. E. (2002). The Relationship between Mathematic Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics: A Possible “Hidden Variable”In Diagnostic Pretest Score. [Online]. Tersedia: http:www.physics.iastate.edu. [15 Desember 2013].

Muchlishin, M. (2010). Hubungan antara Kemampuan Awal Matematika dan Motivasi Berprestasi dengan Hasil Belajar Matematika Materi Segitiga dan Segiempat Kelas VII SMP Askhabul Kahfi Polaman Mijen Semarang tahun 2009/2010. Skripsi pada IAIN Walisongo. Tidak Diterbitkan

Mulyati. (2013). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Representasi Matematis Siswa melalui Strategi PQ4R. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Munthe, B. (2009). Desain Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani

Nasution, S. (2000). Didaktik dan Asas-asas Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

National Council of Supervisors of Mathematics (1977). Position paper on basic mathematical skills. Washington, D. C.: National Institute of Education.

National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematic

NRC. (1989). Everybody Counts. A Report to the Nation on the Future of Mathematics Education. Washington DC: National Academy Press.

Plaisance, D.V. (2009): A Teachers‟ Quick Guide To Understanding Mathematics Anxiety, Lousiana Association of teachers of mathematics journal, 6(1)

Polya. (1985). How to Solve it, a New Aspect of Mathematical Method. New Jersey: Pricenton.

Price, M. (2004). Does Active Learning Work? A Review of the Research. Journal of Engineering Education, 93(3), 223-231.

(19)

Ramdhani, S. (2013). Pembelajaran Maatematika dengan Pendekatan Problem Posing untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematis Siswa. Tesis pada SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Ranjan & Chandra. (2013). Math Anxiety: The Poor Problem Solving Factor in School Mathematics. International Journal of Scientific and Research Publications, Volume 3, Issue 4, April 2013 1 ISSN 2250-3153

Rejeki, S. (2013). Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa melalui Penerapan Model Pembelajaran Novick pada Siswa SMA. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Richardson, F. C. & Suinn, R. M. (1972). Thale: Psycometric Data. Journal of Counseling Psychology 19, 551-554.

Rosengrant, D, et.al (2005). An Overview of Recent Research on Multiple

Representations. [Online]. Tersedia:

http://paer.rutgers.edu/ScientificAbilities/Downloads/Papers/DavidRosperc2 006. pdf . [15 Desember 2013].

Rossnan. (2006). Overcoming math anxiety. Mathitudes, 1 (1), pages 1 of 4

Ruseffendi. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Santrock, J. W. (2010). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Setiarini. (2010). Upaya Meningkatkan Kemampuan Afektif Siswa Melalui Penggunaan Pembelajaran Aktif Peer Lesson. Tesis. Tersedia: http://karya-ilmiah.um.ac.id/. [15 Desember 2013].

Silberman, M. (2005). Active Learning, 101 Strategi Pembelajaran Aktif, (Terjemahan Sarjuli et al). Yogyakarta: YAPPENDIS.

Slavin, R. E. (1994). Educational Psychology Theory Into Practices. 4th ed. Boston: Ally and Bacon Publishers.

Sudjianto. (2013). Penerapan Model Cooperative Learning Metode Peer Lessons Sebagai Upaya Peningkatan Prestasi Belajar Ekonomi Di Ma Al-Mujaddadiyyah Madiun. Jurnal Karya Ilmiah IKIP PGRI Madiun. Volume 1 No 1.

(20)

Mengajar Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka

Sukawati, E. (2008). Hubungan Konsep Diri Matematika, Dukungan Otonomi Guru, dan Kecemasan Matmatika dengan Prestasi Belajar Matematika. Tesis PPs Universitas Katolik Soegijapranata. Tidak Diterbitkan.

Sumarmo, U. (1993). Peranan Kemampuan Logik dan Kegiatan Belajar terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik pada Siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian IKIP Bandung: Tidak Diterbitkan.

Sumarmo, U. (2007). Pembelajaran Matematika. Dimuat dalam Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi Matematika serta Pembelajarannya. (2013).

Sumarmo, U. (2011). Mathematical Understanding and Proving Abilities. Dimuat dalam Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi Matematika serta Pembelajarannya. (2013).

Sumarmo, U. (2012). Pengukuran dan Evaluasi dalam Pembelajaran Matematika. Bahan Ajar Mata Kuliah Evaluasi dalam Pembelajaran Matematika. UPI: Program Pascasarjana Pendidikan Matematika.

Suminta, R. R. (2014). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Matematika pada Siswa SMA. Disertasi. UGM. Tidak Diterbitkan.

Sundayana, R.(2010). Statistika Penelitian Pendidikan. Garut: STKIP Garut Press.

Suparno, P. (2001). Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius.

Sutiarso, S dan Nurhanurawati. (2008). Mengatasi Kecemasan (Anxiety) dalam Pembelajaran Matematika. JPMIPA, Vol.9 No. 1, Januari 2008.

Thalheimer, W and Cook, S. (2002). How to Calculate Effect Size from Published Research: A Simplified Methodology.[Online]. Tersedia di: www.work-learning.com [27 Mei 2015].

Trismiati. (2004). Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Pria dan Wanita Akseptor Kontrasepsi Mantap Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Jurnal PSYCHE,1 (1).

(21)

Diktat Kuliah.

Wahyudin. (2010). Kecemasan Matematika.Monograf Pendidikan Matematika UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Wahyuni, S. (2012). Peningkatan Kemampuan Representasi Matematis dan Self Esteem Siswa Sekolah Menengah Pertama dengan Menggunakan Model Pembelajaran ARIAS. Tesis pada SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Wardhani, S. (2008). Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/ MTs untuk Optimalisasi Tujuan Mata Pelajaran Matematika. Yogyakarta: Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Matematika.

Widoyoko, E. P. (2010). Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wigfield, A & Meece, J. L. (1988). Math Anxiety in Elementary and Secondary School Students. Journal of Educational Psychology Vol 80(2), 210-216.

Woodard, T. (2004): The effects of Math anxiety on Post-Secondary Development of Students as Related to Achievement, Gender and Age. Inquiry, 9(1). ERIC Document Reproduction Server, No EJ876845

Yuberta, F. (2013). Penerapan Strategi Every One Is A Teacher Here dengan Pendekatan Problem Posing Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Self Concep Siswa MTsN. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Yuliana, Nelly. (2013). Pengaruh Pendekatan Differentiated Instruction terhadap Kecemasan Matematika, Peningkatan Kemampuan Pemahaman, dan Penalaran Matematis Siswa SMK. Tesis pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Zaini, H, dkk. (2008). Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: CTSD UIN Sunan Kalijaga.

Zakaria, dkk. (2012). Mathematics Anxiety and Achievement among Secondary School Students. American Journal of Applied Sciences, 9(11), 1828-1832.

Referensi

Dokumen terkait

Tenaga kerja ini adalah sebagian besar dari tenaga kerja langsung yang dibayar untuk masa tertentu yang besarnya sesuai dengan kesepakatan antara perusahaan dengan

3. Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh siswa lulusan sekolah menengah yang mempunyai prestasi akademik terbaik di seluruh Indonesia untuk dapat mengikuti

Mohon untuk diberikan perpanjangan masa studi selama 1 (satu) semester, yaitu semester Gasal (I) Tahun Akademik 2017/2018.. Adapun perkembangan studi saya, saat ini pada

[r]

The aims of this study are determining the level of students knowledge of SMA Negeri 1 Lubuk Pakam on adolescent reproductive health, puberty, the concept

Tujuan dari penelitian ini adalah 1) M embuktikan pentingnya prasarana irigasi pipa di lahan sawah beririgasi, 2) M enemukan nilai lebih pembangunan prasarana irigasi pipa di

Hasil penelitian menunjukkan kondisi terbaik untuk adsorpsi ion logam Pb(II) oleh hasil sintesis dengan menggunakan bobot adsorben 0.05 g dengan waktu kontak selama

Data yang kami butuhkan tentang seberapa besar efektivitas penggunaan fasilitas hotspot internet sebagai salah satu sumber belajar siswa di SMA Negeri 1 Godean Yogyakarta