• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN BERKELANJUTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KAJIAN STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN BERKELANJUTAN"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN BERKELANJUTAN

Kementerian PPN / Bappenas

Direktorat Kelautan dan Perikanan

2014

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki laut yang dapat dikelola sebesar 5,8 juta km2 dan mempunyai potensi serta keanekaragaman sumber daya kelautan dan perikanan yang sangat besar. Hal ini merupakan modal yang besar bagi pembangunan ekonomi dan pada akhirnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, sumber daya kelautan dan perikanan tersebut dapat digunakan sebagai sumber bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat. Sehingga peningkatan produksi perikanan diharapkan mampu mendukung ketahanan pangan nasional.

Sementara itu, berdasarkan data dari FAO, pada tahun 2012, Indonesia menempati peringkat ke-2 untuk produksi perikanan tangkap laut dunia, peringkat ke-4 untuk produksi perikanan budidaya di dunia, dan peringkat ke-2 untuk produksi rumput laut di dunia. Sejak beberapa tahun terakhir, perikanan tangkap mengalami perlambatan pertumbuhan produksi dan cendenrung mengalami stagnasi. Hal ini karena jumlah hasil tangkapan yang telah mendekati produksi tangkapan lestari (Maximun Sustainable Yield/MSY) sebesar 6,5 juta ton per tahun, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch/TAC) adalah 80 persen dari MSY. Saat ini upaya pengelolaan penangkapan ikan di laut lebih diarahkan pada pengendalian dan penataan faktor produksi untuk menghasilkan pemanfaatan yang berkesinambungan. Selanjutnya, upaya peningkatan produksi perikanan budidaya perlu memperhatikan daya dukung lingkungan, diantaranya terkait kualitas air dan pencemaran yang mungkin terjadi akibat pemberian pakan yang berlebihan, serta pembukaan lahan baru untuk tambak/kolam pemeliharaan ikan.

Kajian “Strategi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan” ini, diharapkan dapat memberikan gambaran terkait penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan pembangunan nasional di masa datang sebagai bagian dari kebijakan dan pelaksanaan pembangunan bidang kelautan dan perikanan pada saat ini. Hasil Kajian ini, sudah barang tentu masih jauh dari ideal dan masih memerlukan penyempurnaan. Namun demikian, sebagai suatu pemikiran, dokumen ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi penyusunan kebijakan/strategi operasional dan perencanaan bagi stakeholders dan pelaku usaha kelautan dan perikanan.

Akhir kata, saya mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan dokumen ini dan berharap dokumen ini dapat bermanfaat bagi para pelaku usaha perikanan dan stakeholders lainnya baik di tingkat nasional maupun daerah.

Jakarta, Desember 2014

Dr. Ir. Sri Yanti JS. MPM

(3)

iii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1-1 1.2 Perumusan Permasalahan ... 1-4 1.3 Tujuan dan Sasaran ... 1-10

1.3.1 Tujuan ... 1-10 1.3.2 Sasaran ... 1-10 1.4 Keluaran ... 1-11 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Landasan Teori ... 2-1 2.1.1 Pengertian Pembangunan Perikanan Berkelanjutan ... 2-1 2.1.2 Kaidah Internasional untuk Pembangunan Perikanan Berkelanjutan... 2-3 2.2 Kerangka Pemikiran ... 2-11 3 METODE KAJIAN

3.1 Metode Pengambilan Data ... 3-1 3.2 Metode Analisis ... 3-1 3.3 Lokasi Kunjungan Lapang... 3-5 4 INTERNATIONAL PRACTICES DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN

4.1 Perikanan Tangkap ... 4-2 4.1.1 Jepang ... 4-2 4.1.2 Australia ... 4-4 4.1.3 United Kingdom (UK) ... 4-7 4.2 Perikanan Budidaya ... 4-8

(4)

iv 4.2.1 Vietnam ... 4-8 4.2.2 China ... 4-10 4.2.3 Norwegia ... 4-12 5 KINERJA SEKTOR PERIKANAN

5.1 Kinerja Sektor Perikanan Nasional dalam Penerapan Perikanan

Berkelanjutan ... 5-1 5.1.1 Perikanan Tangkap ... 5-1 5.1.2 Perikanan Budidaya ... 5-8 5.2 Kondisi Sektor Perikanan Tangkap di Lokasi Kajian ... 5-16

5.2.1 Sumatera Barat ... 5-16 5.2.2 Kalimantan Barat ... 5-20 5.2.1 Jawa Tengah ... 5-25 5.2.2 Sulawesi Tenggara ... 5-29 5.3 Kondisi Sektor Perikanan Tangkap di Lokasi Kajian ... 5-33 5.3.1 Sumatera Barat ... 5-34 5.3.2 Kalimantan Barat ... 5-36 5.3.1 Jawa Tengah ... 5-37 5.2.2 Sulawesi Tenggara ... 5-39 6 ISU STRATEGIS DAN PERMASALAHANNYA

6.1 Isu dan Permasalahan Umum ... 6-1 6.2 Isu dan Permasalahan Perikanan Tangkap ... 6-2 6.3 Isu dan Permasalahan Perikanan Budidaya ... 6-12 7 FORMULASI STRATEGI DAN KEBIJAKAN UNTUK MENGEFEKTIFKAN

PENGELOLAAN PERIKANAN BERKELANJUTAN

7.1 Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan ... 7-1 7.1.1 Analisis Kesenjangan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan .. 7-1 7.1.2 Rumusan Strategi dan Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap

Berkelanjutan ... 7-4 7.2 Pengelolaan Perikanan Budidaya Berkelnajutan ... 7-7 7.2.1 Analisis Kesenjangan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan .. 7-7 7.2.2 Rumusan Strategi dan Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap

Berkelanjutan ... 7-9

(5)

v 8 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

8.1 Kesimpulan ... 8-1 8.2 Rekomendasi ... 8-2

DAFTAR PUSTAKA

(6)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 5.1 Perkembangan Populasi Nelayan Perikanan Tangkap, 2003-2012

(orang) ... 5-2 Tabel 5.2 Luas lahan perikanan budidaya menurut jenis budidaya, 2008-2012

(Ha) ... 5-8 Tabel 5.3 Produksi ikan berdasarkan komoditas di Indonesia tahun 2009-2012 .. 5-9 Tabel 5.4 Jumlah pembudidaya ikan berdasarkan jenis budidaya

(Satuan: Orang) ... 5-10 Tabel 5.5 Skala usaha perikanan budidaya berdasarkan kategori besarnya

usaha ... 5-10 Tabel 5.6 Kebutuhan pakan menurut komoditas utama (ton) ... 5-11 Tabel 5.7 Data umum Laboratrium lingkup UPT, Ditjen Perikanan Budidaya ... 5-12 Tabel 5.8 Perkembangan Jumlah Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi

Sumatera Barat Periode Tahun 2008-2012 (unit: ton) ... 5-16 Tabel 5.9 Perkembangan Nilai Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Barat Periode Tahun 2008-2012 (unit: dalam ribuan Rupiah) ... 5-17 Tabel 5.10 Perkembangan Populasi Nelayan Perikanan Tangkap di Provinsi

Sumatera Barat periode tahun 2008 - 2012 (unit: orang) ... 5-18 Tabel 5.11 Perkembangan Jumlah Kapal Penangkap Ikan di Provinsi Sumatera

Barat periode tahun 2008 - 2012 (unit: kapal) ... 5-18 Tabel 5.12 Perkembangan Jumlah Alat Penangkapan Ikan di Provinsi Sumatera

Barat periode tahun 2008 - 2012 (unit: alat) ... 5-18 Tabel 5.13 Perkembangan Jumlah Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi

Kalimanatan Barat Periode Tahun 2008-2012 (unit: ton) ... 5-21 Tabel 5.14 Perkembangan Nilai Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Kalimanatan

Barat Periode Tahun 2008-2012 (unit: dalam ribuan Rupiah) ... 5-22 Tabel 5.15 Perkembangan Populasi Nelayan Perikanan Tangkap di Provinsi

Kalimanatan Barat periode tahun 2008 - 2012 (unit: orang) ... 5-22 Tabel 5.16 Perkembangan Jumlah Kapal Penangkap Ikan di Provinsi Kalimanatan

Barat periode tahun 2008 - 2012 (unit: kapal) ... 5-22 Tabel 5.17 Perkembangan Jumlah Alat Penangkapan Ikan di Provinsi Kalimanatan

Barat periode tahun 2008 - 2012 (unit: alat) ... 5-23 Tabel 5.18 Perkembangan Jumlah Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi

Jawa Tengah Periode Tahun 2008-2012 (unit: ton) ... 5-25 Tabel 5.19 Perkembangan Nilai Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Jawa

Tengah Periode Tahun 2008-2012 (unit: dalam ribuan Rupiah) ... 5-26

(7)

vii Tabel 5.20 Perkembangan Populasi Nelayan Perikanan Tangkap di Provinsi

Jawa Tengah periode tahun 2008 - 2012 (unit: orang) ... 5-27 Tabel 5.21 Perkembangan Jumlah Kapal Penangkap Ikan di Provinsi Jawa

Tengah periode tahun 2008 - 2012 (unit: kapal) ... 5-27 Tabel 5.22 Perkembangan Jumlah Alat Penangkapan Ikan di Provinsi Jawa

Tengah periode tahun 2008 - 2012 (unit: alat) ... 5-27 Tabel 5.23 Perkembangan Jumlah Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi

Sulawesi Tenggara Periode Tahun 2008-2012 (unit: ton) ... 5-30 Tabel 5.24 Perkembangan Nilai Produksi Perikanan Tangkap di Sulawesi

Tenggara Periode Tahun 2008-2012 (unit: dalam ribuan Rupiah) ... 5-30 Tabel 5.25 Perkembangan Populasi Nelayan Perikanan Tangkap di Provinsi

Sulawesi Tenggara periode tahun 2008 - 2012 (unit: orang) ... 5-31 Tabel 5.26 Perkembangan Jumlah Kapal Penangkap Ikan di Provinsi Sulawesi

Tenggara periode tahun 2008 - 2012 (unit: kapal) ... 5-31 Tabel 5.27 Perkembangan Jumlah Alat Penangkapan Ikan di Provinsi Sulawesi

Tenggara periode tahun 2008 - 2012 (unit: alat) ... 5-31 Tabel 5.28 Produksi perikanan budidaya di lokasi survei (ton) ... 5-34 Tabel 5.29 Perkembangan budidaya laut di Sumatera Barat ... 5-34 Tabel 5.30 Perkembangan budidaya tambak di Sumatera Barat ... 5-34 Tabel 5.31 Perkembangan budidaya kolam di Sumatera Barat ... 5-35 Tabel 5.32 Perkembangan budidaya keramba di Sumatera Barat ... 5-35 Tabel 5.33 Perkembangan budidaya jaring apung di Sumatera Barat ... 5-35 Tabel 5.34 Perkembangan budidaya mina padi di Sumatera Barat ... 5-35 Tabel 5.35 Perkembangan budidaya laut di Kalimantan Barat ... 5-36 Tabel 5.36 Perkembangan budidaya tambak di Kalimantan Barat ... 5-36 Tabel 5.37 Perkembangan budidaya kolam di Kalimantan Barat... 5-36 Tabel 5.38 Perkembangan budidaya keramba di Kalimantan Barat ... 5-37 Tabel 5.39 Perkembangan budidaya jaring apung di Kalimantan Barat ... 5-37 Tabel 5.40 Perkembangan budidaya mina padi di Kalimantan Barat ... 5-37 Tabel 5.41 Perkembangan budidaya laut di Jawa Tengah ... 5-38 Tabel 5.42 Perkembangan budidaya tambak di Jawa Tengah ... 5-38 Tabel 5.43 Perkembangan budidaya kolam di Jawa Tengah ... 5-38 Tabel 5.44 Perkembangan budidaya keramba di Jawa Tengah ... 5-39 Tabel 5.45 Perkembangan budidaya jaring apung di Jawa Tengah ... 5-39 Tabel 5.46 Perkembangan budidaya mina padi di Jawa Tengah ... 5-39 Tabel 5.47 Perkembangan budidaya laut di Sulawesi Tenggara ... 5-40 Tabel 5.48 Perkembangan budidaya tambak di Sulawesi Tenggara ... 5-40

(8)

viii Tabel 5.49 Perkembangan budidaya kolam di Sulawesi Tenggara ... 5-40 Tabel 6.1 Isu, Permasalahan dan Dampak Potensial pada Perikanan Tangkap .... 6-3 Tabel 6.2 Isu, Permasalahan dan Dampak Potensial pada Perikanan Budidaya ... 6-14 Tabel 7.1 Analisis Kesenjangan untuk Pengelolaan Perikanan Tangkap

Berkelanjutan ... 7-2 Tabel 7.2 Strategi dan Kebijakan yang Diperlukan untuk Mewujudkan

Perikanan Tangkap Nasional yang Berkelanjutan ... 7-4 Tabel 7.3 Analisis Kesenjangan untuk Pengelolaan Perikanan Budidaya

Berkelanjutan ... 7-7

Tabel 7.4 Strategi dan Kebijakan yang Diperlukan untuk Mewujudkan Perikanan Budidaya Nasional yang Berkelanjutan ... 7-9

(9)

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Diagram Kerangka Pemikiran Kajian Strategi Pengelolaan

Perikanan Berkelanjutan ... 2-11 Gambar 3.1 Diagram Tulang Ikan... 3-4 Gambar 3.2 Gap Analysis Kondisi Riil dengan Kondisi Ideal ... 3-5 Gambar 4.1 Keterkaitan Ekosistem dalam Pengelolaan Sistem Perikanan ... 4-2 Gambar 4.2 Peta Tata Cara Pengelolaan Perikanan Otoritas Australia ... 4-4 Gambar 4.3 Pengelolaan Perikanan Udang di Utara Wilayah Australia ... 4-5 Gambar 4.4 Pengelolaan Udang Berkelanjutan ... 4-6 Gambar 4.5 Cara Kerja Sistem Kuota di United Kingdom ... 4-7 Gambar 5.1 Perkembangan Jumlah Kapal Ikan Nasional Periode Tahun 2003-2012 ... 5-2 Gambar 5.2 Perkembangan Jumlah Produksi Perikanan Tangkap Nasional

Periode Tahun 2003-2012 ... 5-4 Gambar 5.3 Perkembangan Nilai Produksi Perikanan Tangkap Nasional

Periode Tahun 2003-2012... 5-5

Gambar 5.4 Nilai produksi perikanan budidaya berdasarkan komoditi (x Rp.1000,-) ... 5-12

Gambar 5.5 Perkembangan Produktivitas Nelayan Sumatera Barat Periode 2008-2012 ... 5-19 Gambar 5.6 Perkembangan Produktivitas Kapal Ikan di Sumatera Barat

Periode 2008-2012 ... 5-20 Gambar 5.7 Perkembangan Produktivitas Nelayan Kalimantan Barat Periode 2008-2012 ... 5-24 Gambar 5.8 Perkembangan Produktivitas Kapal Ikan di Kalimantan Barat

Periode 2008-2012 ... 5-24 Gambar 5.9 Perkembangan Produktivitas Nelayan Jawa Tengah Periode

2008-2012 ... 5-28 Gambar 5.10 Perkembangan Produktivitas Kapal Ikan di Jawa Tengah

Periode 2008-2012 ... 5-29

Gambar 5.11 Perkembangan Produktivitas Nelayan Sulawesi Tenggara Periode 2008-2012 ... 5-32

Gambar 5.12 Perkembangan Produktivitas Kapal Ikan di Sulawesi Tenggara Periode 2008-2012 ... 5-33 Gambar 6.1 Hasil Analisis Diagram Tulang Ikan untuk Permasalahan

Perikanan Tangkap Nasional ... 6-3

(10)

x Gambar 6.2 Hasil Analisis Permasalahan Diagram Tulang Ikan untuk Perikanan

Budidaya Nasional... 6-13

(11)

Bab 1 Pendahuluan Page 1-1

Bab 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah laut yang dapat dikelola sebesar 5,8 juta km2 yang memiliki keanekaragaman sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat besar. Potensi lestari sumber daya ikan atau maximum sustainable yield (MSY) di perairan laut Indonesia sebesar 6,5 juta ton per tahun, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5,2 juta ton/tahun (80% dari MSY).1 Kemudian, untuk besarnya potensi perikanan tangkap di perairan umum yang memiliki total luas sekitar 54 juta Ha, yang meliputi danau, waduk, sungai, rawa, dan genangan air lainnya, diperkirakan mencapai 0,9 juta ton ikan/tahun.2 Sementara, untuk perikanan budidaya, potensi yang dimilikinya adalah a) perikanan budidaya air laut seluas 8,3 juta Ha (yang terdiri dari 20% untuk budidaya ikan, 10% untuk budidaya kekerangan, 60% untuk budidaya rumput laut, dan 10%

untuk lainnya), b) perikanan budidaya air payau atau tambak seluas 1,3 juta Ha, dan c) perikanan budidaya air tawar seluas 2,2 juta Ha (yang terdiri dari kolam seluas 526,40 ribu Ha, perairan umum (danau, waduk, sungai dan rawa) seluas 158,2 ribu Ha, dan sawah untuk mina padi seluas 1,55 juta Ha).2 Berdasarkan data FAO (2014) pada tahun 2012 Indonesia menempati peringkat ke-2 untuk produksi perikanan tangkap dan peringkat ke-4 untuk produksi perikanan budidaya di dunia. Fakta ini dapat memberikan gambaran bahwa potensi perikanan Indonesia sangat besar, sehingga bila dikelola dengan baik dan bertanggungjawab agar kegiatannya dapat berkelanjutan, maka dapat menjadi sebagai salah satu sumber modal utama pembangunan di masa kini dan masa yang akan datang.

1 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia

2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.PER.15/MEN/2012 tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010-2014.

(12)

Bab 1 Pendahuluan Page 1-2 Potensi perikanan yang sangat besar tersebut dapat memberikan manfaat yang maksimal secara berkelanjutan bagi negara dan masyarakat Indonesia, bila dikelola dengan baik dan bertanggungjawab. Hal tersebut juga telah diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 45 tahun 2009 pasal 6 ayat 1 yang menegaskan bahwa pengelolaan perikanan ditujukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan. Namun sayangnya, hingga kini sebagian besar aktivitas perikanan nasional faktanya belum memperlihatkan kinerja yang optimal, berkelanjutan, dan menjamin kelestarian sumber daya ikan seperti yang diamanatkan dalam UU RI No.45/1945 tersebut. Sebagai gambaran pada perikanan tangkap, beberapa contohnya adalah: 1) masih maraknya aktivitas IUU fishing; 2) gejala lebih tangkap atau overfishing di beberapa perairan pantai Indonesia, akibat pemanfaatan sumber daya ikan yang umumnya masih bersifat open acces dan belum melaksanakan limited entry secara penuh; 3) masih terdapat penggunaan alat penangkapan ikan yang bersifat destruktif; dan 4) sistem pengawasan pemanfaatan sumber daya ikan yang masih lemah dan belum efektif.

Sementara pada perikanan budidaya, diantaranya adalah: 1) kebutuhan pakan yang masih tergantung dengan impor dari negara lain; 2) sebagian besar usaha perikanan budidaya di Indonesia belum menerapkan good aquaculture practices, sehingga aktivitasnya berdampak pada degradasi lingkungan yang cukup signifikan, yang akhirnya menimbulkan masalah penyakit, kematian massal, dan juga terjadinya pencemaran, baik dari limbah sisa pakan maupun dari limbah penggunaan obat-obatan yang tidak tepat jenis dan dosis; 3) masih sering terjadinya konversi lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, sehingga sering menjadi ancaman langsung mapun tidak langsung bagi keberlanjutan usaha perikanan budidaya; dan 4) ketersediaan induk ikan dan udang unggulan masih sangat terbatas.

Tambahan pula, pembangunan perikanan di Indonesia hingga kini masih fokus pada pengembangan aspek ekonomi semata. Hal ini tercermin dengan penggunaan indikator kinerja utama (IKU) untuk pembangunan perikanannya seperti tercantum dalam Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2010-20142, yakni: 1) meningkatnya persentase pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) perikanan; 2) meningkatnya jumlah produksi perikanan; 3) meningkatnya nilai tukar nelayan (NTN) dan pembudidaya ikan (NTPi); 4) meningkatnya jumlah konsumsi ikan dalam negeri per kapita; 5) meningkatnya nilai ekspor hasil perikanan; 6) menurunnya

(13)

Bab 1 Pendahuluan Page 1-3 jumlah kasus penolakan ekspor hasil perikanan per negara mitra; 7) bertambahnya luas Kawasan Korservasi Perairan yang dikelola secara berkelanjutan; 8) bertambahnya jumlah pulau-pulau kecil, termasuk pulau-pulau kecil terluar, yang dikelola; dan 9) meningkatnya persentase wilayah perairan bebas illegal fishing dan kegiatan yang merusak sumber daya kelautan dan perikanan. Padahal, dalam pembangunan berkelanjutan, termasuk bidang perikanan, tidak hanya aspek ekonomi semata yang perlu dikembangkan, namun juga aspek sosial dan ekologinya3, agar aktivitasnya dapat berkelanjutan. Dari 9 IKU yang ditetapkan tersebut, terdapat 5 IKU (IKU 1, 2, 3, 5, dan 6) yang fokus pada aspek ekonomi, sedangkan untuk aspek sosial hanya 2 IKU (IKU 4 dan 8), dan aspek ekologi juga 2 IKU (IKU 7 dan 9). Seharusnya dibuat IKU yang berimbang atau lebih baik lagi bila menggunakan IKU yg dapat mencerminkan 3 aspek utama keberlanjutan, yakni ekonomi, sosial, dan ekologi. Sebagai salah satu contohnya adalah seperti IKU meningkatnya produksi perikanan, yang hanya mencerminkan aspek ekonomi semata, dapat diganti menjadi IKU maksimalnya produktivitas perikanan sesuai daya dukung lingkungan, yang akan mencerminkan aspek ekonomi melalui pencapaian usaha yang menguntungkan, aspek sosial melalui penjaminan lokasi daerah usaha perikanan, dan aspek ekologi melalui pengaturan jumlah input produksi yang sesuai daya dukung.

Upaya memanfaatkan sumber daya ikan secara optimal, berkelanjutan, dan lestari merupakan tuntutan yang sangat mendesak bagi sebesarnya-besarnya kemakmuran rakyat, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan, pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta peningkatan ekspor untuk menghasilkan devisa negara. Berdasarkan hal ini, guna memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat dan negara Indonesia serta menjamin keberlangsungan usaha perikanan itu sendiri, maka sudah seharusnya pembangunan dan aktivitas perikanan nasional secepatnya diarahkan untuk menerapkan kaidah-kaidah perikanan berkelanjutan. Pada dasarnya pembangunan berkelanjutan, termasuk bidang perikanan, mencakup tiga aspek utama, yaitu: ekologi, ekonomi, dan sosial.3 Tanpa keberlanjutan ekologi, misalnya penggunaan teknologi yang merusak atau tidak ramah lingkungan, akan menyebabkan menurunnya sumber daya ikan bahkan juga bisa punah, sehingga

3 Munasinghe, M. 2002. Analysing the nexus of sustainable and climate change: An overview. France:

OECD. 53 p.

(14)

Bab 1 Pendahuluan Page 1-4 akibatnya kegiatan ekonomi perikanan akan terhenti dan tentu akan berdampak pula pada kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat yang terlibat kegiatan perikanan.

Kemudian, tanpa keberlanjutan ekonomi, misalnya rendahnya harga ikan yang tidak sesuai dengan biaya operasional, maka akan menimbulkan eksploitasi besar-besaran untuk dapat menutup biaya produksi yang dapat merusak kehidupan ekologi perikanan. Begitu pula tanpa keberlanjutan kehidupan sosial para stakeholder perikanan maka proses pemanfaatan perikanan dan kegiatan ekonominya akan menimbulkan berbagai konflik sosial di masyarakat penggunanya. Dengan demikian, agar perikanan yang berkelanjutan tersebut dapat segera terwujud, maka tentunya harus diimbangi dengan regulasi dan kebijakan yang tepat dan efektif. Oleh karena itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional melalui Direktorat Kelautan dan Perikanan memandang perlu untuk melakukan “Kajian Strategi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan”.

1.2 Perumusan Masalah

Perikanan berkelanjutan adalah upaya memadukan tujuan sosial, ekonomi dan ekologi. Konsep perikanan berkelanjutan muncul dari kesadaran lingkungan. Perikanan berkelanjutan dikembangkan karena kecemasan akan makin merosotnya kemampuan lingkungan perairan untuk menyangga ketersediaan sumber daya ikan. Ide awal perikanan berkelanjutan adalah dapat menangkap atau memanen sumber daya ikan pada tingkat yang berkelanjutan, sehingga populasi dan produksi ikan tidak menurun atau tersedia dari waktu ke waktu. Sumber daya ikan termasuk sumber daya yang dapat diperbaharui, walaupun demikian bukan berarti sumber daya ikan dapat dimanfaatkan tanpa batas. Apabila sumber daya ikan dimanfaatkan tanpa batas atau tidak rasional serta melebihi batas maksimum daya dukung ekosistemnya, maka dapat mengakibat kerusakan dan berkurangnya sumber daya ikan itu sendiri, bahkan bila tidak segera diatasi juga dapat mengakibatkan kepunahan sumber daya ikan tersebut.

Menyadari pentingnya arti keberlanjutan tersebut, maka pada tahun 1995 badan dunia FAO merumuskan konsep pembangunan perikanan berkelanjutan dengan menyusun dokumen Kode Etik Perikanan yang Bertanggung Jawab atau Code of

(15)

Bab 1 Pendahuluan Page 1-5 Conduct for Responsible Fisheries (CCRF).4 Aktivitas perikanan yang berkelanjutan dapat dicapai melalui pengelolaan perikanan yang tepat dan efektif, yang umumnya ditandai dengan meningkatnya kualitas hidup dan kesejahteraan manusianya serta juga terjaganya kelestarian sumber daya ikan dan kesehatan ekosistemnya.

Selanjutnya, Charles (2001) dalam paradigmanya tentang Sustainable Fisheries System,5 mengemukakan bahwa pembangunan perikanan yang berkelanjutan harus dapat mengakomodasi 4 aspek utama yang mencakup dari hulu hingga hilir, yakni:

1) Keberlanjutan ekologi (ecological sustainability): memelihara keberlanjutan stok/biomass sumber daya ikan sehingga pemanfaatannya tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistemnya.

2) Keberlanjutan sosio-ekonomi (socioeconomic sustainability): memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan para pelaku usaha perikanan dengan mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang layak.

3) Keberlanjutan komunitas (community sustainability): menjaga keberlanjutan lingkungan komunitas atau masyarakat perikanan yang kondusif dan sinergis dengan menegakkan aturan atau kesepakatan bersama yang tegas dan efektif.

4) Keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability): menjaga keberlanjutan tata kelola yang baik, adil, dan bersih melalui kelembagaan yang efisien dan efektif guna mengintegrasikan atau memadukan tiga aspek utama lainnya (keberlanjutan ekologi, keberlanjutan sosio-ekonomi, dan keberlanjutan masyarakat).

Secara umum, aktivitas perikanan di Indonesia belum menunjukkan kinerja yang berkelanjutan. Hal ini, dapat dilihat dengan masih belum banyaknya jumlah usaha perikanan di Indonesia yang berjalan langgeng (bertahan dalam jangka panjang). Selain itu, sektor perikanan nasional juga masih cukup banyak menghadapi kendala atau permasalahan yang cukup kompleks. Permasalahan paling utama yang menjadi penyebab perikanan di Indonesia belum berjalan secara berkelanjutan adalah masih lemahnya sistem pengelolaan perikanan (fisheries management system), baik untuk perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Pengelolaan perikanan yang lemah, baik secara langsung maupun tidak langsung, tentunya akan menimbulkan

4 [FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Code of Conduct For Responsible Fisheries. Rome:

FAO-United Nation. 41 p.

5 Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery System. Blackwell Science Ltd. Oxford. 370 p.

(16)

Bab 1 Pendahuluan Page 1-6 ketidakteraturan dan tidak terkendalinya usaha perikanan nasional, yang pada akhirnya akan menyebabkan aktivitas perikanan nasional menjadi tidak berkelanjutan.

Kemudian, permasalahan utama keberlanjutan lainnya yang lebih spesifik dihadapi perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Indonesia secara umum adalah sebagai berikut :

1) Perikanan tangkap

a. Permasalahan illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing

Kegiatan IUU fishing tidak hanya dilakukan oleh oleh kapal-kapal ikan berbendera asing saja, tetapi juga dilakukan oleh kapal-kapal ikan nasional.

Hal ini tercemin dengan masih rendahnya tingkat kepatuhan kapal-kapal ikan nasional akan aturan main dalam pengelolaan sumber daya ikan, seperti tidak patuhnya kapal-kapal ikan nasional dalam menggunakan VMS (vessel monitoring system) dan pelaporan logbook hasil tangkapannya. Selain itu, juga masih ada nelayan ataupun pengusaha perikanan tangkap yang menggunakan jenis-jenis alat tangkap yang destructive (merusak) atau bahan-bahan yang berbahaya dalam kegiatan operasi penangkapan ikannya.

Masih maraknya kegiatan IUU fishing di Indonesia ini, secara nyata telah menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, baik dari sisi ekonomi, sosial maupun lingkungan, sehingga aktivitas ini dapat dinyatakan sebagai kendala utama bagi Indonesia dalam mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Sebagai gambaran, bahwa kerugian Indonesia akibat kegiatan illegal fishing saja (penangkapan ikan yang ilegal atau tidak memiliki ijin lengkap) di Laut Arafura mencapai 40 triliun rupiah per tahun.6

Kemudian, untuk kerugian dari aktivitas unreported fishing (penangkapan ikan yang tidak dilaporkan), walaupun belum ada laporan perkiraan besaran nilai kerugiannya, namun diperkirakan juga relatif besar akibat berdampak negatif pada lingkungan, utamanya dalam hal pendataan ikan hasil tangkapan.

Diperkirakan masih cukup banyak hasil tangkapan yang tidak dilaporkan, salah satu akibatnya adalah terjadi bias informasi tentang status sumber daya ikan di suatu perairan, yang pada akhirnya akan mengakibatkan aktivitas penangkapan ikan yang terlalu intensif atau berlebih, yang dalam jangka panjang tentu akan

6 http://www.kkp.go.id/stp/index.php/arsip/c/976/Analisis-Nilai-Kerugian-Akibat-Illegal-Fishing-di-Laut- Arafura-Tahun-2001-2013/

(17)

Bab 1 Pendahuluan Page 1-7 menurunkan sumber daya ikan itu sendiri, dikarenakan tidak ada kesempatan ikan melakukan recovery stok populasinya.

Selanjutnya, untuk unregulated fishing (penangkapan ikan yang tidak diatur), perkiraan besaran nilai kerugiannya juga relatif besar akibat berdampak negatif pada lingkungan, walaupun belum ada laporan terkait hal tersebut. Salah satu akibat penggunaan jenis alat-alat tangkap ikan yang tidak diatur adalah tingginya hasil tangkapan by catch (hasil tangkapan sampingan yang tidak dimanfaatkan) dan/atau juvenil (anak-anak ikan), karena alat-alat penangkapan ikannya yang tidak/kurang selektif.

Masalah IUU fishing menjadi masalah utama dan rumit yang dihadapi sub- sektor perikanan tangkap hingga kini.

b. Permasalahan padat tangkap di perairan pantai

Permasalahan padat tangkap dalam sub-sektor perikanan tangkap hampir terjadi di semua perairan pantai Indonesia, padahal Indonesia memiliki perairan laut yang sangat luas. Hal ini terjadi, karena sebagian besar armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh ukuran kapal ikan 5 GT (gross ton) kebawah, yakni sebesar 89%7 pada tahun 2012. Kapal penangkap ikan yang berukuran 5 GT kebawah umumnya hanya mampu beroperasi di perairan pantai atau di perairan teritorial (dibawah 12 mil).

Dengan demikian, sebagian besar armada penangkapan ikan di Indonesia banyak terkonsentrasi di perairan pantai yang terbatas, baik luasan maupun sumber daya ikannya. Apalagi, kapal ikan berukuran kecil ini, yang merupakan kewenangan daerah kabupaten/kota belum diatur dan dikelola dengan baik dan relatif masih bersifat open access”, sehingga jumlah peningkatan armadanya menjadi tidak terkendali, terutama di daerah-daerah perairan pantai yang dekat dengan konsentrasi padat penduduk. Akibatnya akhirnya tentu sangat berdampak pada keberadaan dan keberlanjutan sumber daya ikan di perairan pantai.

c. Pengawasan yang masih lemah

Regulasi yang telah dibuat oleh Pemerintah tentunya harus diimbangi dengan pengawasan yang efektif. Pengawasan bukan hanya diperuntukkan bagi para

7 [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Laporan Statistik Perikanan Tangkap Tahun 2012.

Jakarta.

(18)

Bab 1 Pendahuluan Page 1-8 pelaku illegal fishing semata, namun juga bagi pelaggar dari setiap aturan atau kesepakatan terkait perikanan berkelanjutan yang telah dibuat.

Dalam melaksanakan pengawasan ini, Pemerintah juga harus menggandeng masyarakat dan pelaku usaha perikanan untuk bersama-sama mengawasi aktivitas perikanan yang berjalan dan kondisi lingkungan lautnya guna mewujudkan aktivitas perikanan yang berkelanjutan.

2) Perikanan budidaya

a. Permasalahan pakan ikan

Pakan merupakan komponen tertinggi dalam struktur biaya operasi budidaya baik ikan maupun udang, dimana biaya pakan (feed cost) dapat mencapai 40- 70% dari biaya operasi. Hal ini mengandung arti bahwa harga pakan sangat berperan dalam menentukan tinggi atau rendahnya biaya produksi ikan.

Selanjutnya, biaya produksi ikan dari suatu negara akan menentukan daya saing ikan negara tersebut di pasar eksport ataupun di pasar domestik.

Sebagai implikasinya, pengendalian harga pakan pada level yang relatif murah atau paling sedikit setara dengan harga pakan sejenis di negara kompetitor adalah suatu hal yang sangat positif bagi pengembangan perikanan budidaya yang berkelanjutan.

Dilihat dari sisi produksi, bahan baku pakan ikan di Indonesia sebagian besar masih impor, utamanya tepung ikan, tepung kedelai, dan tepung jagung, atau kalaupun ada produk dalam negeri biasanya harganya lebih mahal dan kualitasnya lebih rendah dari produk impor. Sementara itu, secara teknis, sumber protein pakan umumnya berasal dari tepung ikan. Dalam kenyataannya, harga tepung ikan di pasar dunia cenderung terus naik, karena

“supply” lebih sedikit dari pada “demand”. Demand terus meningkat akibat perkembangan akuakultur di berbagai negara. Negara-negara tersebut adalah pesaing Indonesia dalam mengekspor komoditas perikanan. Hal ini tentu akan menjadi penghambat keberlanjutan perikanan budidaya secara ekonomi.

b. Permasalahan penurunan kualitas lingkungan perairan

Dilihat dari sisi penggunaan pakan dalam perikanan budidaya sesungguhnya selalu mengandung inefisiensi. Kalaupun budidaya menghasilkan efisiensi pakan 100% atau 1 kg pakan dikonversi menjadi 1 kg ikan atau udang, tetap tidak efisien, karena ada perbedaan kadar air, yakni kadar air pakan lebih kecil dari

(19)

Bab 1 Pendahuluan Page 1-9 10%, sedangkan kadar air ikan atau udang kurang lebih 67%. Dengan perkataan lain, budidaya ikan dengan efisiensi pakan 100% pun tetap menghasilkan limbah yang lebih banyak daripada produknya sendiri.

Akibatnya, bila hal ini tidak diperhitungkan dengan sistem rantai makanan dan daya dukung lingkungan tentu akan menyebabkan pencemaran dan aktivitas perikanan budidaya pada akhirnya menjadi tidak berkelanjutan.

Selain itu, jaminan lokasi perikanan budidaya didalam Tata Ruang menjadi suatu fundamental yang sangat urgen, karena hal itu akan berarti kepastian hukum dalam arti fisik dan fungsional bagi para pelaku usaha perikanan budidaya. Kepastian hukum dalam arti fisik mengandung makna bahwa lokasi budidaya tidak bisa diganggu gugat atau diusir oleh peruntukan lain selain dari perikanan budidaya. Kepastian hukum dalam arti fungsional bermakna bahwa lokasi yang berada dalam Tata Ruang tersebut akan dapat melaksanakan fungsi perikanan budidaya dengan baik. Sehingga terdapat jaminan bahwa perairan yang ada tidak akan tercemari baik oleh limbah industri, pertanian ataupun rumah tangga yang berada dibagian hulu DAS (Daerah Aliran Sungai) yang mengalir di kawasan tersebut. Namun, faktanya tidak sedikit masalah yang timbul akibat adanya konflik kepentingan penggunaan ruang antara perikanan budidaya dengan kegiatan sektor lain. Hal ini tentu juga akan menjadi penghambat dalam mewujudkan perikanan budidaya yang berkelanjutan.

c. Permasalahan induk ikan dan udang yang SPF (Specific Pathogen Free)

Pada awalnya perikanan budidaya, tidak sulit mendapat indukan bermutu dan tahan penyakit dari. Namun, dengan berjalannya waktu muncullah berbagai penyakit viral yang menyebabkan indukan ikan dan udang rentan terhadap penyakit. Hal ini terjadi karena Pemerintah Indonesia dalam hal ini kementerian kelautan dan Perikanan tidak pernah serius dalam menghasilkan induk ikan dan udang yang SPF (Specific Pathogen Free).

Sebagai gambaran pada perikanan budidaya udang, Pemerintah Amerika dan beberapa negara Amerika Latin membuat riset jangka panjang untuk perbaikan mutu genetik, sehingga diperoleh induk udang Vanamae SPF setelah 15 tahun melakukan riset. Sementara, di Indonesia untuk riset induk udang windu SPF tidak dilakukan dengan serius dan tuntas walaupun sudah dibahas sejak tahun

(20)

Bab 1 Pendahuluan Page 1-10 90-an. Akhirnya, hingga kini di Indonesia induk udang windu SPF belum dihasilkan, dan perikanan udang nasional beralih ke udang vanamae yang induk udang vanamae SPF - nya sangat tergantung impor dari Amerika.

Keadaan ini tentu tidak menguntungkan bagi Indonesia, karena perikanan udang nasional menjadi tergantung kepada negara luar, sehingga perikanan budidaya udang yang berkelanjutan juga akan menjadi sulit terwujud.

Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas diperlukan strategi dan kebijakan yang tepat guna lebih memperkuat sistem pengelolaan perikanan nasional agar lebih komprehensif dan berjalan secara efektif dalam mewujudkan perikanan berkelanjutan di indonesia.

1.3 Tujuan dan Sasaran

1.3.1 Tujuan

Tujuan dari kajian ini adalah untuk menyusun strategi pengelolaan perikanan tangkap dan budidaya yang berkelanjutan Penyusunan ini berguna untuk menjadi dasar bagi pengambilan keputusan dalam rangka mencapai pembangunan dan peningkatan pemanfaatan sektor perikanan yang efektif, dilakukan secara lestari, berkelanjutan, serta bertanggung jawab sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries. Selain itu penyusunan kajian juga dilakukan dalam rangka perencanaan pembangunan nasional khususnya terkait kelautan dan perikanan sesuai dengan Renstra Bappenas Tahun 2010-2014.

1.3.2 Sasaran

Sasaran dari penyusunan kajian ini adalah:

1. Teridentifikasinya aspek-aspek terkait pengelolaan perikanan secara berkelanjutan

2. Tersusunnya alternatif strategi pengelolaan perikanan secara berkelanjutan.

(21)

Bab 1 Pendahuluan Page 1-11 Keluaran

Keluaran atau output yang dihasilkan dari kajian ini adalah sebagai berikut : 1. Informasi tentang isu-isu strategis pada sub-sektor perikanan tangkap dan

perikanan budidaya

2. Informasi mengenai permasalahan-permasalahan yang dialami dan yang berkaitan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

3. Rumusan kebijakan umum perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries.

(22)

Bab 2 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran Page 2-1

Bab 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Landasan Teori

2.2.1 Pengertian Pembangunan Perikanan Berkelanjutan

Dalam dua dekade terakhir ini, istilah berkelanjutan menjadi isu utama dalam melaksanakan pembangunan, yang kemudian dirumuskan kedalam konsep pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang. Kebutuhan yang dimaksud disini adalah kebutuhan untuk kelangsungan hidup hayati dan kebutuhan untuk kehidupan manusia.

Dengan demikian, pada prinsipnya konsep pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial.7

Konsep pembangunan berkelanjutan muncul dari kesadaran lingkungan dan kecemasan akan makin merosotnya kemampuan bumi untuk menyangga kehidupan.

Tekait dengan isu pembangunan berkelanjutan ini, pada tahun 1992 PBB mengadakan Earth Summit (Konferensi Tingkat Tinggi/KTT Bumi) di Rio Janeiro, Brasil, dan 178 pemimpin negara di dunia termasuk Indonesia berhasil menyepakati program aksi untuk pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dokumen tersebut merupakan tindak lanjut laporan The World Commission on Environment and Development (WCED) atau Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan yang berjudul Masa Depan Kita Bersama (Our Common Future) pada sidang umum PBB pada tahun 1987.8 Selanjutnya, pada tahun 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan, diadakan the Word Submit on Sustainable Development (WSSD) untuk lebih melengkapi lagi konsep pembangunan berkelanjutan dengan memuat prinsip-prinsip utama pembangunan berkelanjutan yang harus dipedomani setiap negara dalam

3 Munasinghe, M. 2002. Analysing the nexus of sustainable and climate change: An overview. France:

OECD. 53 p

8 [WCED] the World Commission on Environment and Development. 1987. Our Common Future (Document A/42/427). New York

(23)

Bab 2 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran Page 2-2 mengimplementasikannya berdasarkan pertimbangan keterkaitan dan kesaling- tergantungan pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan pembangunan lingkungan.9

Pembangunan berkelanjutan ini tentunya mencakup semua sektor pembangunan, termasuk didalamnya adalah sektor perikanan. Istilah perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries) mulai dijadikan agenda dunia pada tahun 1995 dengan merumuskan konsep pembangunan perikanan berkelanjutan oleh FAO dengan menyusun dokumen Kode Etik Perikanan yang Bertanggung Jawab atau Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Selanjutnya, dilakukan perumusan definisi terkait dengan perikanan berkelanjutan, baik oleh lembaga-lembaga yang berkompeten maupun para ahli.

Salah satu lembaga yang terkait dengan pelaksanaan perikanan berkelanjutan, yakni Marine Stewardship Council (MSC), mendefinisikan perikanan berkelanjutan sebagai salah satu cara memproduksi ikan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat berlangsung terus menerus pada tingkat yang wajar dengan mempertimbangkan kesehatan ekologi, meminimalkan efek samping yang mengganggu keanekaragaman, struktur, dan fungsi ekosistem, serta dikelola dan dioperasikan secara adil dan bertanggung jawab, sesuai dengan hukum dan peraturan lokal, nasional dan internasional untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan generasi masa depan.10 Sementara, salah satu ahli perikanan dunia, yaitu Hilborn (2005) dari University of Washington, menyatakan bahwa definisi perikanan berkelanjutan adalah:

aktivitas perikanan yang dapat mempertahankan keberlangsungan hasil produksi dalam jangka panjang, menjaga keseimbangan ekosistem antar generasi, dan memelihara sistem biologi, sosial, dan ekonomi guna menjaga kesehatan ekosistem manusia dan ekosistem laut.

Dengan demikian, dalam melaksanakan pembangunan perikanan berkelanjutan tidak lepas dari memadukan tujuan dari tiga unsur utamanya, yakni dimensi ekonomi, ekologi dan sosial. Pertama, tujuan pembangunan perikanan secara ekonomis dianggap berkelanjutan, jika sektor perikanan tersebut mampu menghasilkan produk

9 Silalahi, D. 2003. Pembangunan Berkelanjutan Dalam Rangka Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berbasis Pembangunan Sosial Dan Ekonomi. Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII di Bali. 25 hal.

10 Deere, Carolyn L. 1999. Eco-Labelling and Sustainable Fisheries. IUCN: Washington, D.C. and FAO:

Rome.

(24)

Bab 2 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran Page 2-3 ikan secara berkesinambungan (on continuing basis), memberikan kesejahteraan finansial bagi para pelakunya, dan memberikan sumbangan devisa serta pajak yang signifikan bagi negara. Kedua, tujuan pembangunan perikanan dikatakan secara ekologis berkelanjutan, manakala basis ketersediaan stok atau sumber daya ikannya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksploitasi berlebihan, dan tidak terjadi pembuangan limbah melampaui kapasitas asimilasi lingkungan yang dapat mengakibatkan kondisi tercemar. Dan Ketiga, tujuan pembangunan perikanan dianggap secara sosial berkelanjutan, apabila kebutuhan dasar (pangan, sandang, kesehatan, dan pendidikan) seluruh penduduknya terpenuhi; terjadi distribusi pendapatan dan kesempatan berusaha secara adil; ada kesetaraan gender (gender equity), dan minim atau tidak ada konflik sosial.

2.2.2 Kaidah Internasional untuk Pembangunan Perikanan Berkelanjutan Sumberdaya ikan tidak mengenal batas administrasi karena sifatnya yang selalu bergerak, bahkan untuk beberapa jenis ikan mampu bermigrasi antar negara, seperti ikan tuna. Inilah yang menjadi salah satu pertimbangan badan pangan dunia FAO (Food and Agriculture Organization) memfasilitasi untuk membentuk sebuah komite yang secara permanen menangani masalah perikanan dunia, yakni the Committee on Fisheries (COFI), pada sidang konferensi FAO ke-13 tahun 1965. COFI merupakan satu-satunya forum global antar-pemerintah yang fokus membahas isu-isu perikanan dunia, baik perikanan tangkap maupun akuakultur, untuk merumuskan rekomendasi solusinya yang nantinya dijadikan acuan atau rujukan oleh pemerintah, badan-badan perikanan regional (regional fisheries management organizations-RFMOs), pelaku usaha perikanan, lembaga swadaya masyarakat-LSM, dan masyarakat perikanan lainnya di seluruh dunia.

Indonesia yang telah bergabung menjadi anggota FAO sejak 28 November 1949, juga turut berpartisipasi dalam keanggotaan dan semua kegiatan COFI yang merupakan bagian dari lembaga FAO tersebut. Oleh karenanya, sudah semestinya dalam menyusun perencanaan dan mengimplementasikan program pembangunan perikanan tangkap nasionalnya, Pemerintah Indonesia perlu mengacu atau merujuk pada kaidah-kaidah internasional yang telah disepakati atau diadopsi dalam sidang- sidang COFI. Beberapa kaidah internasional COFI yang penting dan perlu menjadi

(25)

Bab 2 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran Page 2-4 landasan bagi Pemerintah Indonesia dalam merumuskan strategi dan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan, yakni adalah:

1. “Compliance Agreement” yang telah disepakati dalam sidang the FAO Committee on Fisheries (COFI) ke-20 tahun 1993

Compliance Agreement merupakan kesepakatan internasional yang menyerukan kepada negara-negara di dunia untuk patuh dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut lepas sesuai dengan hukum internasional dan peraturan konservasi dan manajemen internasional yang berlaku. Salah satu penekanannya adalah mencegah kapal-kapal ikan suatu negara untuk melakukan reflagging di laut lepas.

2. “United Nation Fish Stock Agreement” yang telah disepakati dalam sidang the FAO Committee on Fisheries (COFI) ke-21 tahun 1995

Kaidah Internasional ini pada intinya mengamanahkan negara pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh di laut lepas (high seas) wajib menerapkan pendekatan kehati-hatian, mempelajari akibat dari penangkapan ikan, menggunakan upaya-upaya konservasi dan manajemen, melindungi kategori stok target, melindungi keanekaragaman organisme, menghindari penangkapan ikan, dan kapasitas penangkapan ikan yang berlebih, memperhatikan kepentingan nelayan kecil, melaksanakan upaya konservasi dan manajemen melalui observasi, serta kontrol dan pemantauan yang efektif.

3. “The Code of Conduct for Responsible Fisheries” (CCRF) yang telah disepakati dalam sidang the FAO Committee on Fisheries (COFI) ke-21 tahun 1995

Kode etik pengelolaan perikanan bertanggung jawab ini pada prinsipnya mengamanahkan beberapa hal penting kepada negara pengguna sumberdaya ikan, yakni: harus menjaga sumberdaya ikan dan lingkungannya, hak menangkap ikan harus disertai dengan kewajiban menangkap ikan dengan cara yang bertanggungjawab, negara harus mencegah terjadinya penangkapan yang berlebih, kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan harus berdasarkan bukti ilmiah terbaik yang tersedia, pelaksanaan pengeloaan sumberdaya ikan harus menerapkan pendekatan kehati-hatian, pengembangan dan penerapan alat penangkapan ikan yang selektif dan ramah lingkungan, perlu dilakukan perlindungan terhadap habitat perikanan yang kritis, negara menjamin

(26)

Bab 2 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran Page 2-5 terlaksananya pengawasan dan kepatuhan dalam melaksanakan pengelolaan perikanan. Kode etik ini beserta elaborasinya yang tertuang dalam beberapa guidelines merupakan referensi yang sangat penting bagi negara-negara pengguna sumberdaya ikan di dunia untuk mengimplementasikan pembangunan perikanannya dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Penerapan CCRF dalam pengelolaan dan perencanaan pembangunan perikanan nasional suatu negara, akan memberikan manfaat yang maksimal secara berkelanjutan bagi negara tersebut dalam hal penyediaan pangan bergizi, lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi, rekreasi dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakatnya, baik untuk generasi kini maupun mendatang.

4. “The International Plan of Action (IPOA) for the Management of Fishing Capacity (IPOA CAPACITY)” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-23 tahun 1999.

IPOA CAPACITY adalah kaidah internasional sukarela yang berlaku untuk semua negara yang terlibat dalam aktivitas perikanan tangkap dengan mengamanahkan beberapa hal penting, yakni melakukan penilaian dan pemantauan kapasitas penangkapan ikan nasionalnya dan merumuskannya kedalam National Plan of Action (NPOA). Kode Etik Perikanan yang Bertanggungjawab menetapkan bahwa Negara harus mengambil langkah- langkah untuk mencegah atau menghilangkan kapasitas perikanan berlebih dan harus menjamin bahwa tingkat usaha penangkapan ikannya sepadan dengan potensi sumber daya ikan yang tersedia.

5. “The International Plan of Action (IPOA) for the Conservation and Management of Sharks (IPOA SHARKS)” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-23 tahun 1999.

Kaidah internasional ini tujuan utamanya adalah untuk perlindungan hiu dan memberi mandat kepada negara-negara anggotanya agar membuat National Plan of Action (NPOA) untuk pengelolaan hiu, karena FAO menilai hiu sebagai spesies yang memiliki nilai penting dalam ekosistem yang menjadi penentu dan indikator kesehatan dan keseimbangan ekosistem perairan laut, keberadaannya mulai terancam menuju kepunahan.

6. “The International Plan of Action (IPOA) on Illegal, Unreported and Unregulated (IPOA IUU) fishing” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-24 tahun 2001.

(27)

Bab 2 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran Page 2-6 Kaidah internasional ini lahir dari keprihatinan beberapa negara terhadap kondisi masih berlangsungnya praktik-praktik perikanan yang tidak sejalan dan bahkan bertentangan dengan konsep-konsep CCRF, seperti: kegiatan penangkapan ikan yang tidak dilengkapi dengan surat izin resmi, melanggar batas kedaulatan suatu negara, tidak melaporkan atau memalsukan data hasil tangkapannya, sea transhipment, melakukan praktek reflagging, dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab tersebut, kemudian dikenal dengan istilah kegiatan illegal, unreported and unregulated fishing (IUU fishing). IUU fishing tentu sangat mengganggu upaya pengelolaan perikanan, sehingga sangat merugikan niat baik bagi negara dalam melaksanakan pembangunan perikanan yang bertanggungjawab. Kaidah internasional ini pada intinya mengamanatkan kepada setiap negara anggota FAO untuk menyusun National Plan of Action (NPOA) untuk mencegah, menghalangi, dan menghilangkan IUU fishing.

7. “Implementation of Ecosystem Approach to Fisheries Management to Achieve Responsible Fisheries and to Restore Fisheries Resources and Marine Environments” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-25 tahun 2003.

Untuk lebih mengefektifkan pengelolaan perikanan bertanggung jawab (CCRF) secara holistik dan terintegrasi, maka dalam sidang COFI ke-25 tahun 2003 telah diadopsi implementasi pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries Management atau EAFM) guna mencapai terwujudnya perikanan yang bertanggung jawab dan juga sekaligus untuk memulihkan sumber daya ikan serta lingkungan lautnya. Kebutuhan untuk mengadopsi kaidah ini, karena mempertimbangkan isu-isu yang lebih luas yang berdampak pada perikanan, seperti dampak dari polusi dan pembangunan wilayah pesisir, serta mengingat kompleksnya ekosistem di laut dan adanya dampak dari kegiatan penangkapan tidak hanya kepada target ikan tetapi juga terhadap ekosistem. EAFM sebenarnya adalah kelanjutan dalam penyempurnaan praktik manajemen perikanan yang bertanggung jawab (CCRF).

8. “The FAO Model Scheme on Port State Measures (PSM) to Combat Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing (Model Scheme)” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-26 tahun 2005.

(28)

Bab 2 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran Page 2-7 Dalam upaya lebih mengefektifkan memerangi IUU fishing yang menjadi ancaman global dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan dan konservasi sumberdaya ikan dan keanekaragaman hayati laut, maka dalam sidang COFI ke- 26 tahun 2005 telah disepakati penyusunan instrument yang secara hukum mengikat (legally-binding Instrument) mengenai Port State Measures (PSM) berbasis Model Scheme dan International Plan of Action on IUU fishing. Kaidah internasional ini merupakan intervensi yang dilakukan oleh negara-negara pelabuhan untuk memerangi IUU fishing dengan menolak pemberian pelayanan terhadap kapal perikanan yang terindikasi melakukan IUU fishing.

9. “The Voluntary Guidelines for Securing Sustainable Small-scale Fisheries in the Context of Food Security and Poverty Eradication (SSF Guidelines)” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-31 tahun 2014.

Instrumen Internasional Perlindungan Nelayan Skala Kecil (Voluntary Guidelines on Small-scale Fisheries/VGSSF) adalah suatu instrumen yang secara khusus memberi kepastian atas kewajiban setiap negara melindungi nelayan kecil, mulai dari kegiatan produksi, pengolahan, hingga pemasaran. Instrumen ini bertujuan mengentaskan kemiskinan dan kelaparan nelayan skala kecil di masing-masing negara.

Sementara kaidah internasional yang penting dan perlu menjadi landasan bagi Pemerintah Indonesia dalam merumuskan strategi dan kebijakan pengelolaan perikanan budidaya berkelanjutan, diantaranya adalah:

1. “Responsible development of aquaculture, including culture-based fisheries, in areas under national jurisdiction” Kode Etik ini pada prinsipnya mengamanahkan beberapa hal penting seperti:

(a) Negara harus menetapkan, mempertahankan dan mengembangkan kerangka hukum dan administrasi yang tepat yang memfasilitasi pengembangan akuakultur yang bertanggung jawab;

(b) Negara harus mempromosikan pembangunan yang bertanggung jawab dan pengelolaan budidaya, termasuk evaluasi sebelum efek pembangunan akuakultur pada keragaman genetik dan integritas ekosistem, berdasarkan informasi ilmiah terbaik yang tersedia;

(29)

Bab 2 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran Page 2-8 (c) Negara harus memproduksi dan secara teratur memperbarui strategi pembangunan perikanan dan rencana, seperti yang diperlukan, untuk memastikan bahwa pembangunan akuakultur berkelanjutan secara ekologis dan untuk memungkinkan pemanfaatan sumber daya bersama oleh budidaya dan kegiatan lainnya;

(d) Negara harus memastikan bahwa mata pencaharian masyarakat setempat, dan akses mereka ke lahan perikanan, tidak terkena dampak negatif perkembangan budidaya

(e) Negara harus menetapkan prosedur yang efektif khusus untuk budidaya untuk melakukan penilaian yang tepat lingkungan dan pemantauan dengan tujuan meminimalkan perubahan ekologis yang merugikan dan konsekuensi ekonomi dan sosial terkait yang dihasilkan dari ekstraksi air, penggunaan lahan, pembuangan limbah, penggunaan obat-obatan dan bahan kimia, dan budidaya lainnya kegiatan.

2. “Responsible development of aquaculture including culture-based fisheries within transboundary aquatic ecosystems”. Kode Etik ini pada prinsipnya mengamanahkan beberapa hal penting seperti:

(a) Negara harus melindungi ekosistem perairan lintas batas dengan mendukung praktek-praktek budidaya yang bertanggung jawab dalam yurisdiksi nasional mereka dan dengan kerjasama dalam mempromosikan praktek budidaya yang berkelanjutan;

(b) Negara harus, dengan hormat kepada Negara tetangga mereka, dan sesuai dengan hukum internasional, pastikan pilihan yang bertanggung jawab spesies, tapak dan pengelolaan kegiatan budidaya yang dapat mempengaruhi ekosistem perairan lintas batas;

(c) Negara harus berkonsultasi dengan Negara tetangga mereka, sebagaimana mestinya, sebelum memperkenalkan spesies non-pribumi ke dalam ekosistem perairan lintas batas;

(d) Negara harus membentuk mekanisme yang tepat, seperti database dan jaringan informasi untuk mengumpulkan, berbagi dan menyebarkan data yang terkait dengan kegiatan budidaya mereka untuk memfasilitasi kerjasama

(30)

Bab 2 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran Page 2-9 perencanaan untuk pengembangan budidaya di tingkat nasional, subregional, regional dan global;

(f) Negara-negara harus bekerja sama dalam pengembangan mekanisme yang sesuai, jika diperlukan, untuk memantau dampak dari input yang digunakan dalam budidaya.

3. “Use of aquatic genetic resources for the purposes of aquaculture including culture-based fisheries”. Kode Etik ini pada prinsipnya mengamanahkan beberapa hal penting seperti:

(a) Negara harus melindungi keanekaragaman genetik dan menjaga integritas komunitas perairan dan ekosistem oleh manajemen yang tepat. Secara khusus, upaya harus dilakukan untuk meminimalkan efek berbahaya dari memperkenalkan spesies non-pribumi atau genetik saham diubah digunakan untuk budidaya perikanan termasuk berbasis budaya ke perairan, terutama di mana ada potensi yang signifikan untuk penyebaran spesies non-pribumi tersebut atau diubah secara genetik saham ke perairan di bawah yurisdiksi negara lain serta perairan di bawah yurisdiksi Negara asal. Negara harus, bila memungkinkan, mempromosikan langkah-langkah untuk meminimalkan merugikan genetik, penyakit dan efek lainnya lolos ikan budidaya pada saham liar;

(b) Negara-negara harus bekerjasama dalam elaborasi, adopsi dan pelaksanaan kode internasional praktek dan prosedur untuk perkenalan dan transfer organisme akuatik;

(c) Negara harus, untuk meminimalkan risiko penularan penyakit dan efek samping lainnya pada saham liar dan berbudaya, mendorong adopsi praktek yang tepat dalam perbaikan genetik induk yang, pengenalan spesies non- pribumi, dan dalam produksi, penjualan dan pengangkutan telur, larva atau goreng, induk atau bahan hidup lainnya. Negara harus memfasilitasi persiapan dan pelaksanaan kode nasional sesuai praktek dan prosedur untuk efek ini;

(d) Negara harus mempromosikan penggunaan prosedur yang tepat untuk pemilihan induk dan produksi telur, larva dan goring; (5) Negara harus, bila sesuai, mempromosikan penelitian dan, jika memungkinkan, pengembangan

(31)

Bab 2 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran Page 2-10 teknik kultur untuk spesies yang terancam punah untuk melindungi, merehabilitasi dan meningkatkan saham mereka, dengan mempertimbangkan kebutuhan penting untuk melestarikan keragaman genetik spesies yang terancam punah.

4. “Responsible aquaculture at the production level” Kode Etik ini pada prinsipnya mengamanahkan beberapa hal penting seperti:

(a) Negara-negara harus bekerjasama dalam elaborasi, adopsi dan pelaksanaan kode internasional praktek dan prosedur untuk perkenalan dan transfer organisme akuatik;

(b) Negara harus mendorong partisipasi aktif fishfarmers dan komunitas mereka dalam pengembangan praktek manajemen budidaya yang bertanggung jawab.;

(c) Negara harus mempromosikan upaya yang meningkatkan pemilihan dan penggunaan pakan yang tepat, aditif pakan dan pupuk, termasuk pupuk;

(d) Negara harus mempromosikan pertanian dan manajemen kesehatan ikan praktek yang efektif mendukung langkah-langkah higienis dan vaksin.

Penggunaan yang aman, efektif dan minimal therapeutants, hormon dan obat- obatan, antibiotik dan bahan kimia pengendalian penyakit lainnya harus dipastikan;

(f) Negara harus mengatur penggunaan input kimia dalam budidaya yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan;

(g) Negara harus mensyaratkan bahwa pembuangan limbah seperti jeroan, lumpur, mati atau ikan yang sakit, obat-obatan hewan kelebihan dan input kimia berbahaya lainnya tidak merupakan bahaya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan;

(f) Negara harus menjamin keamanan pangan produk akuakultur dan mempromosikan upaya-upaya yang menjaga kualitas produk dan meningkatkan nilai mereka melalui perhatian khusus sebelum dan selama panen dan pengolahan di lokasi dan dalam penyimpanan dan pengangkutan produk;

Selanjutnya, sidang COFI ke-25 tahun 2003 telah mengadopsi implementasi pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (Ecosystem Approach to

(32)

Bab 2 Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran Page 2-11 Fisheries Management atau EAFM). EAFM sebenarnya adalah kelanjutan dalam penyempurnaan praktik manajemen perikanan yang bertanggung jawab (CCRF).

2.2 Kerangka Pemikiran

Pada dasarnya kebijakan bukanlah suatu hal yang mutlak, namun harus diperbarui secara berkala untuk menyesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan.

Untuk itu dalam kajian ini kerangka pemikiran dimulai dari kebijakan yang telah ada sebelumnya, sehingga dilakukan kajian desk study terhadap pengelolaan yang sudah ada di Indonesia. Kebijakan yang telah ada dan diimplementasikan di lapangan harus dilihat bagaimana kondisi eksistingnya. Dari kondisi eksisting akan terlihat potensi yang terdapat di lapangan, isu yang sedang berkembang dan permasalahan yang terjadi.

Antara kondisi riil di lapangan dan kondisi yang diharapkan akan terlihat kesenjangan.

Kesenjangan inilah yang perlu diketahui untuk membuat perumusan strategi kebijakan dan menyusun rekomendasi untuk pengelolaan perikanan berkelanjutan yang lebih baik. Setelah penyusunan strategi dan rekomendasi masih perlu dilakukan evaluasi dan monitoring untuk melihat apakah strategi yang dibuat benar-benar cocok untuk diaplikasikan. Kemudian kebijakan yang telah disusun perlu diterapkan dan diawasi pelaksanaannya, dan dalam jangka waktu tertentu dapat ditinjau kembali untuk diperbaiki. Kerangka berpikir dalam perumusan Kajian Strategi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Diagram Kerangka Pemikiran Kajian Strategi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan.

(33)

Bab 3 Metode Kajian Page 3-1

Bab 3 METODE KAJIAN

3.1 Metode Pengambilan Data

Data yang diambil untuk melakukan kajian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dilakukan dengan pengambilan data-data terkait pengelolaan perikanan berkelanjutan di lapangan. Daerah yang menjadi lokasi survei untuk pengambilan data primer adalah Propinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Barat. Pemilihan lokasi ini karena dianggap telah memenuhi sebagai purposive sampling untuk memperoleh informasi dan data yang dibutuhkan.

Data primer yang dikumpulkan di lapangan diperoleh dari hasil observasi, baik dalam bentuk kuesioner, FGD (focus group discussion), wawancara pada pihak terkait dan dokumentasi. Data primer lebih difokuskan pada kinerja sektor perikanan baik sektor ekonomi, sosial, lingkungan maupun kelembagaan serta permasalahan yang dihadapi oleh tiap sektor. Data primer ini diperlukan untuk mengetahui kondisi eksisting pengelolaan perikanan di lapangan.

Sedangkan data sekunder sudah mulai dilakukan sebelum turun ke lapangan berupa kajian desk study untuk mengumpulkan informasi mengenai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya maupun perkembangan terkini mengenai pengelolaan perikanan secara umum. Selain itu pada saat turun ke lapangan juga dilakukan pengambilan data-data sekunder yang terkait dengan kajian yang dilakukan. Data sekunder yang dikumpulkan antara lain mengenai data time series produksi perikanan, peraturan daerah yang terkait pengelolaan perikanan dan sebagainya.

3.2 Metode Analisis

Analisis data yang digunakan pada kajian ini terdiri dari 4 (empat) tahapan.

Tahap pertama adalah identifikasi kondisi eksisting di lapangan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kondisi riil yang terjadi di lapangan. Tahap kedua adalah mencari sumber permasalahan yang menjadi penghambat pengelolaan perikanan berkelanjutan. Tahap

(34)

Bab 3 Metode Kajian Page 3-2 ini dilakukan dengan menggunakan analisis diagram tulang ikan (fishbone analysis).

Tahap ketiga adalah melakukan analisis kesenjangan (gap analysis) antara kondisi saat ini dengan kondisi ideal atau seharusnya pada aspek-aspek yang masih menjadi penghambat atau masalah utama dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan.

Selanjutnya pada tahap keempat dilakukan perumusan strategi dan kebijakan untuk mengelola perikanan yang berkelanjutan. Setiap tahapan analisis dijelaskan sebagai berikut :

1) Analisis kondisi/situasi dan permasalahan pengelolaan perikanan

Analisis status digunakan untuk melihat kondisi pengelolaan perikanan berkelanjutan. Poin-poin yang dilakukan meliputi: (1) kinerja, isu dan permasalahan sektor ekonomi ; (2) kinerja, isu dan permasalahan sektor sosial ; (3) kinerja, isu dan permasalahan sektor lingkungan dan (4) kinerja, isu dan permasalahan sektor kelembagaan. Status ini akan menggambarkan kondisi pada masing-masing sektor serta faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan perikanan secara berkelanjutan.

Analisis kondisi / status dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data sekunder merupakan penelusuran laporan-laporan atau dokumen-dokumen dan peraturan serta kebijakan yang terkait dengan pengelolaan perikanan berkelanjutan. Sedangkan data primer dikumpulkan pada saat survei di lapangan untuk menangkap informasi dan persepsi secara akurat dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan untuk para pemangku kepentingan yang terkait dengan pengelolaan perikanan.

2) Penelusuran sumber masalah menggunakan Fishbone Analysis

Tahap kedua adalah penyusunan definisi permasalahan. Akar permasalahan akan dirunut secara terperinci dengan mencakup pandangan tertentu terhadap situasi masalah sesuai dengan perspektif yang relevan. Dalam tahap ini digunakan analisis data berupa diagram tulang ikan (fishbone analysis).

Diagram tulang ikan (fishbone analysis) adalah diagram yang menunjukkan sebab akibat yang berguna untuk mencari atau menganalisis sebab-sebab timbulnya masalah sehingga memudahkan cara mengatasinya. Penggunaan diagram tulang ikan dilakukan untuk menganalisis beberapa kondisi sebagai berikut :

1) untuk mengenal penyebab yang penting 2) untuk memahami semua akibat dan penyebab 3) untuk membandingkan prosedur kerja

(35)

Bab 3 Metode Kajian Page 3-3 4) untuk menemukan pemecahan yang tepat

5) untuk memecahkan hal apa yang harus diilakukan 6) untuk mengembangkan proses

Untuk mengetahui sebab akibat dalam bentuk yang nyata dapat diiliustrasikan dalam sebuah diagram tulang ikan, dimana sebab sama dengan faktor dan akibat sama dengan karakteristk kualitas. Dalam bentuk umum, faktor harus ditulis lebih rinci untuk membuat diagram menjadi bermanfaat (Ishikawa 1989). Langkah-langkah membuat diagram sebab akibat adalah sebagai berikut:

Langkah 1: Menggambar sebuah garis horizontal dengan suatu tanda panah pada ujung sebelah kanan dan suatu kotak didepannya. Akibat atau masalah yang ingin Dianalisis ditempatkan dalam kotak

Langkah 2: Menulis penyebab utama (manusia, bahan, mesin dan metode) dalam kotak yang ditempatkan sejajar dan agak jauh dari garis panah utama.

Hubungan kotak tersebut dengan garis panah yang miring ke arah garis panah utama. Mungkin diperlukan untuk menambahkan lebih dari empat macam penyebab utama.

Langkah 3: Menulis penyebab kecil pada diagram tersebut di sekitar penyebab utama, yang penyebab kecil tersebut mempunyai pengaruh terhadap penyebab utama. Hubungkan penyebab kecil tersebut dengan sebuah garis panah dari penyebab utama yang bersangkutan Mesin Mesin Manusia Metode Metode Mesin Mesin Manusia Metode Metode

Digram tulang ikan akan memperlihatkan secara menyeluruh kondisi dan akar permasalahan dari suatu kegiatan. Lebih jelasnya, diagram tulang ikan dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Gambar

Gambar 3.1 Diagram Tulang Ikan
Gambar 4.1 Keterkaitan Ekosistem dalam Pengelolaan Sistem Perikanan    (sumber: http://worldoceanreview.com/en/wor-1/fisheries/causes-of-overfishing/)  5
Gambar 4.2 Peta Tata Cara Pengelolaan Perikanan Otoritas Australia  (sumber: The Australian Fisheries Management Authority - AFMA, 2008)  (http://www.afma.gov.au/wp-content/uploads/2010/08/afz_map_20071213.pdf)
Gambar 4.3 Pengelolaan Perikanan Udang di Utara Wilayah Australia  (sumber: The Australian Fisheries Management Authority - AFMA, 2005)
+7

Referensi

Dokumen terkait

perkembangan perikanan tangkap, agar kebutuhan hidup berupa makanan dari.. Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut Berkelanjutan │ 5 laut tetap dapat dihasilkan

Salah satunya yaitu celah hukum yang terdapat dalam ketentuanPasal 29 ayat (2)Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang

Undang-Undang Nomor: 45 Tahun 2009 Tentang Pengawasan Oleh Dinas Perikanan Dan Kelautan Terhadap. Pengendalian

Mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.01/MEN/2009 tanggal 21 Januari 2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, telah

UU Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan antara lain: (1) Bab I pasal 1 ayat 7: pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam

Menurut UU RI No.45 tahun 2009 tentang perikanan, nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup

Penyusunan peta keragaan Perikanan Tangkap di Setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan Perikanan (WPP-RI) ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan Direktorat

Kegiatan penyidikan tindak pidana perikanan sesuai dengan tercantum dalam Pasal 73 UU Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 45 Tahun 2009 (Selanjutnya