• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 1. Rata-rata Proporsi Tiap Jenis Subsidi Terhadap Total Subsidi (%)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar 1. Rata-rata Proporsi Tiap Jenis Subsidi Terhadap Total Subsidi (%)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN DPR

I. Pendahuluan RI

ubsidi listrik diberikan sebagai konsekuensi penentuan rata-rata harga jual tenaga listrik (HJTL) yang lebih rendah dari biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik. Tujuan pemberian subsidi listrik tersebut adalah untuk menjaga ketersediaan listrik bagi industri, komersial dan pelayanan masyarakat serta menjamin terlaksananya investasi dan rehabilitasi sarana dan prasarana penyediaan tenaga listrik.

Subsidi listrik merupakan subsidi yang diberikan pemerintah dalam jumlah yang tidak kecil, terbukti dalam tujuh tahun terakhir (2005-2011) rata-rata proporsi subsidi listrik sebesar 26 persen dari keseluruhan nilai subsidi yang dikeluarkan pemerintah (Gambar 1). Sebagai salah salah satu komponen subsidi energi, subsidi listrik menempati urutan kedua terbesar setelah subsidi bahan bakar minyak (BBM) (tabel 1).

Gambar 1. Rata-rata Proporsi Tiap Jenis Subsidi Terhadap Total Subsidi (%)

52%

26%

6%

7%

0%

7% 0%0%

1%

1% 0%

Subsidi BBM Subsidi Listrik Subsidi Pangan

Subsidi Pupuk Subsidi Benih PSO

Subsidi Bunga Kredit Program Subsidi Minyak Goreng Subsidi Pajak Subsidi Kedele Subsidi Lainnya

Sumber : data Pokok APBN 2011 rev-1

S

(2)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN DPR

RI

Tabel 1. Besar Tiap Jenis Subsidi, 2005-2011 (Rp milyar)

Jenis Subsidi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Proporsi Tiap Jenis Subsidi

thd Total Subsidi (X/Y) Subsidi BBM 95,598.5 64,212.1 83,792.3 139,106.7 45,039.4 88,890.8 95,914.2 87,507.7 51.88%

Subsidi Listrik 8,850.6 30,393.3 33,073.5 83,906.5 49,546.5 62,800.0 40,700.0 44,181.5 26.19%

Subsidi Pangan 6,356.9 5,320.2 6,584.3 12,095.9 12,987.0 13,925.1 15,267.0 10,362.3 6.14%

Subsidi Pupuk 2,527.3 3,165.7 6,260.5 15,181.5 18,329.0 18,411.5 16,377.0 11,464.6 6.80%

Subsidi Benih 147.7 131.1 479.0 985.2 1,597.2 2,263.5 120.3 817.7 0.48%

PSO 934.6 1,795.0 1,025.0 1,729.1 1,339.4 1,375.0 1,877.5 1,439.4 0.85%

Subsidi Bunga

Kredit Program 149.0 286.2 347.5 939.3 1,070.0 2,856.4 2,618.2 1,180.9 0.70%

Subsidi Minyak

Goreng 0.0 0.0 24.6 225.7 0.0 - - 35.8 0.02%

Subsidi Pajak 6,200.6 1,863.8 17,113.6 21,018.2 8,173.6 18,434.4 14,750.0 12,507.7 7.42%

Subsidi Kedele 0.0 0.0 0.0 103.3 0.0 - - 14.8 0.01%

Subsidi Lainnya 0.0 264.4 1,514.0 0.0 0.0 - - 254.1 0.15%

total subsidi 120,765.30 107,431.80 150,214.40 275,291.50 138,082.20 201,263.00 187,624.30 168,667.5 (Y) Sumber: Data Pokok APBN 2011-rev 1

Rata-rata (X)

Tabel 2 menunjukkan proporsi subsidi listrik terhadap belanja pemerintah pusat cenderung meningkat dari hanya 0,77% pada tahun 2004 menjadi 8,04% pada tahun 2010. Secara rata- rata subsidi listrik menghabiskan sekitar 6 persen belanja pemerintah pusat. Kondisi ini menunjukkan bahwa subsidi listrik cukup membebani pemerintah pusat.

Tabel 2. Proporsi Subsidi Listrik terhadap Belanja Pemerintah Pusat (Rp milyar)

Tahun Subsidi listrik

Belanja pempus

% thd belanja pempus 2004 2,316.65¹ 300,036.20¹ 0.77%

2005 8,850.60 361,155.20 2.45%

2006 30,393.30 440,032.10 6.91%

2007 33,073.50 504,623.30 6.55%

2008 83,906.50 693,356.00 12.10%

2009 49,546.50 628,812.40 7.88%

2010 62,800.0² 781,533.60 8.04%

2011³ 40,700.00 836,578.20 4.87%

Sumber: Nota Keuangan APBN-P dan Data Pokok APBN 2011- rev 1, diolah

Cat: ¹ APBN-P, ² Siaran Pers Kementerian ESDM ³APBN

Gambar 2. Trend Subsidi Listrik dan Belanja Pemerintah Pusat, 2004-2011 (Rp milyar)

Secara nominal, dalam delapan tahun terakhir besarnya subsidi listrik juga cenderung meningkat. Kenaikan yang cukup tajam terjadi di tahun 2008 sebesar 45%. Faktor utama yang mengakibatkan besarnya subsidi listrik tersebut adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dimana pembangkit PLN masih banyak yang menggunakan BBM. Dengan demikian, untuk menurunkan subsidi listrik pemerintah dan PLN harus melakukan upaya-upaya

0.00 100,000.00 200,000.00 300,000.00 400,000.00 500,000.00 600,000.00 700,000.00 800,000.00 900,000.00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

belanja pempus Subsidi listrik

(3)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN DPR

RI

menurunkan BPP tenaga listrik melalui diversifikasi energi primer di pembangkitan tenaga listrik, salah satunya melalui optimalisasi penggunaan gas1.

Hal tersebut didukung oleh adanya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Indonesian Corruption Watch (ICW). Pemeriksaan BPK atas PLN dan anak perusahaannya yang dilakukan pada tahun 2007 – 2009 antara lain menemukan adanya inefisiensi atau pemborosan puluhan triliun rupiah karena tidak adanya dukungan kebijakan energi dari pemerintah. Hal senada juga dikemukakan oleh ICW. ICW menemukan adanya inefisiensi biaya produksi listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN) kurun waktu 2002-2008 sebesar Rp 158,557 triliun atau Rp 22,651 triliun per tahun. Inefisiensi tersebut terkait dengan tidak adanya dukungan pemerintah dalam penyediaan bahan bakar pembangkit listrik dan tidak adanya kesungguhan pemerintah dalam kebijakan harga pasokan bahan bakar pembangkit listrik2.

Temuan-temuan tersebut berujung pada naiknya biaya pokok penyediaan tenaga listrik. Hal ini disebabkan PLN terpaksa menggunakan bahan bakar minyak untuk mengoperasikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan gas turbin PLTGU yang di disain dual firing (dapat dioperasikan dengan BBM dan gas). Persoalan bahan bakar, terutama bahan bakar minyak merupakan beban utama bagi PLN. Biaya bahan bakar dan pelumas menghabiskan lebih dari 50 persen pendapatan PLN. Pada tahun 2008 tercatat bahan bakar minyak (BBM) masih menjadi unsur biaya terbesar dengan 83,32% dari seluruh biaya pembelian energi primer untuk produksi tenaga listrik. Padahal jika diteliti biaya BBM tersebut hanya berkorelasi 27,72% dari total produksi GWh. Jika harga BBM naik, Biaya Pokok Penyediaan (BPP) energi listrik pun akan merayap tinggi3. Inilah persoalan mendasar yang harus segera ditangani guna mengurangi beban operasi PLN yang pada akhirnya berujung pada pengurangan subsidi yang harus dibayarkan pemerintah.

II. Efisiensi Biaya Bahan Bakar dan Penghematan Subsidi Listrik

idak terpenuhinya kebutuhan gas PLN, diantaranya karena ada pembatasan penyerahan hasil eksplorasi dari kontraktor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) memaksa PLN lebih kreatif menggunakan bahan bakar yang tersedia untuk mengoperasikan mesin-mesin pembangkitnya yang berbahan bakar gas4. Akibatnya biaya operasi PLN membengkak karena untuk menutupi defisit gas, PLN selama ini menggunakan bahan bakar minyak yang harganya jauh lebih mahal. Kebutuhan gas PLN tahun 2010 sebesar 640,64 MMBTU sementara gas yang terpenuhi hanya 266,9 MMBTU, sisanya 373,73 MMBTU belum terpenuhi. Jumlah ini sama dengan 59,79 juta barel minyak5.

1 Yusuf Suryanto; Subsidi Listrik di Indonesia, http://umum.kompasiana.com/2010/02/12/subsidi- listrik-di-indonesia/; tanggal posting 12 Februari 2010, tanggal akses 3 Januari 2011.

2http://regional.kompas.com/read/2009/12/03/1524238/Wuih...Inefisiensi.PLN.Capai.Rp.158.557.Triliun

3 Epsdin Alhanif; Langkah menurunkan Subsidi Listrik;ttp://epsdin.wordpress.com/2010/05/16/

langkah-menurunkan-subsidi-listrik/, tanggal posting 16 Mei 2010, tanggal akses 20 Desember 2010.

4 Pasal 22 ayat (1) Undang-undang No 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi mengamanatkan pembatasan penyerahan hasil eksplorasi minyak dan gas bumi dari kontraktor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (DMO) maksimal 25%.

5Pri Agung Rakhmanto, ReforMiner Institute; Pasokan Gas Oke, Subsidi Hemat Rp 30 Triliun;

http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2010/06/30/brk,20100630-259775,id.html; tanggal

T

(4)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN DPR

RI

Berdasarkan data kebutuhan gas yang belum terpenuhi dan harga rata-rata minyak (Rp5.186,76/liter) serta gas alam (Rp37.998,48/MSCF), maka dengan tetap menggunakan mesin pembangkit yang dimiliki PLN saat ini, hasil perhitungan menunjukkan bahwa PLN akan dapat menghemat sekitar 70% biaya bahan bakarnya jika kebutuhan gas PLN untuk PLTGU dapat terpenuhi secara maksimal (tanpa menambah modal untuk investasi pembangunan pembangkit yang baru).

Sekedar perbandingan, biaya yang dibutuhkan akibat penggunaan minyak untuk menutupi defisit gas tidak akan tertutupi oleh besarnya subsidi listrik yang diberikan pemerintah setiap tahunnya (tabel 3).

Tabel 3. Subsidi dan Inefiensi Biaya Bahan Bakar (Rp juta) Tahun Bi. Bahan bakar Biaya yang dibutuhkan

akibat defisit gas Subsidi Listrik %

2004 24,491,052.00 17,143,736.40 2,316,650.00 740.02%

2005 37,355,450.00 26,148,815.00 8,850,600.00 295.45%

2006 63,401,080.00 44,380,756.00 30,393,300.00 146.02%

2007 65,559,977.00 45,891,983.90 33,073,500.00 138.76%

2008 107,782,838.00 75,447,986.60 83,906,500.00 89.92%

2009 76,235,072.00 53,364,550.40 49,546,500.00 107.71%

Sumber: Statistik PLN 2009, Data Pokok APBN 2011, diolah

Hasil perhitungan menunjukkan, bahwa dengan asumsi biaya bahan bakar merupakan 55%

biaya operasi dan menggunakan harga jual PLN yang sama, maka penghematan biaya bahan bakar sekitar 70% akibat terjaminnya ketersediaan gas akan menghasilkan sekitar 40%

pengurangan subsidi listrik. Hal ini disebabkan kalangan menengah atas tidak perlu diberikan subsidi karena harga jual yang ditetapkan PLN sudah menutupi biaya produksi listrik/ kwh (table 4).

Tabel 4. Jenis Pelanggan dan Perhitungan Pengurangan Subsidi

Jenis pelanggan

Harga jual PLN (Rp/Kwh)

Biaya Produksi

Listrik (Rp/Kwh)

Subsidi (Rp triliun)

Volume penjualan (Kwh)

Bi. Prod. Listrik setelah penghematan

(Rp/Kwh)*

Hasil perhitun

gan

Rumah tangga

Kecil 450 VA 418 1.163 13,13 17,624,161,073.8 715.25 Negatif

Kecil 900 VA 609 1.163 9,48 17,111,913,357.4 715.25 Negatif

Sedang I (1.300VA) 675 1.163 3,94 8,073,770,491.8 715.25 Negatif

Sedang II (2.200 VA) 679 1.163 2,48 5,123,966,942.1 715.25 Negatif

Menengah (2.200-6.600 VA) 797 1.163 1,37 3,743,169,398.9 715.25 Positif

Kaya > 6.600 VA 1.33 1.163 - 715.25 0.00

Bisnis

Bisnis besar (> 200 VA) 811 839 1,91 68,214,285,714.3 515.99 Positif

(5)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN DPR

RI

Industri

Sedang (2.200 VA) 805 1,163 1,22 3,407,821,229.1 715.25 Positif

Menengah (>2.200 VA) 641 839 10,92 55,151,515,151.5 515.99 Positif

Besar ( > 30.000 VA) 529 718 4,37 23,121,693,121.7 441.57 Positif

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/06/21/EB/mbm.20100621.EB133899.id.html, tanggal posting 21 Juni 2010, tanggal akses 3 Januari 2010, diolah.

Cat : negatif berarti masih merlukan subsidi, positif berati tidak perlu subsidi

Dengan demikian, terjaminnya ketersediaan bahan bakar yang diperlukan PLN menjadi suatu hal yang mendesak untuk menurunkan biaya operasi PLN. Penghematan biaya operasi ini pada akhirnya akan menurunkan subsidi yang harus diberikan pemerintah. Kebijakan inilah yang dinilai banyak pihak merupakan jawaban dari beratnya beban anggaran pemerintah, dan bukan kenaikan tarif dasar listrik.

III. Penerima Subsidi Listrik

eraturan Menteri Keuangan Nomor 111/ PMK.02/2007 menyebutkan bahwa subsidi listrik diberikan kepada pelanggan dengan golongan tarif yang harga jual tenaga listrik rata- ratanya lebih rendah dari BPP tenaga listrik pada tegangan di golongan tarif tersebut. Dengan demikian hampir seluruh pelanggan mendapatkan subsidi listrik. Hasil kajian Badan Kebijakan Fiskal, Departemen Keuangan menunjukkan bahwa 56% subsidi listrik tahun 2007 dinikmati oleh kelompok pelanggan rumah tangga dan sisanya terbagi antara industri, bisnis, pemerintah dan lain-lain (gambar 3).

Gambar 3. Distribusi Subsidi Berdasarkan Golongan pelanggan

Sumber Badan Kebijakan Fiskal dalam Nota Keuangan APBN 2009

Berdasarkan tabel 4, tidak seluruh subsidi dinikmati oleh kalangan ekonomi menengah ke bawah. Hasil perhitungan menunjukkan sekitar 30 – 40% subsidi listrik dinikmati kalangan menengah ke atas.

P

56%

9% 4% 4%

27% Rumah tangga

Industri Bisnis Pemerintah Lain-lain

(6)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN DPR

RI

IV. Ketidakhematan PLN

4.1. Penggunaan unit pembangkit berbahan bakar minyak yang tidak efisien Tabel 5. Pembangkit dan Biaya Operasi Tahun 2009

Jenis Pembang

kit

Kapasitas Terpasang

(MW)

Jml Unit pmba ngkit

Energi yang diproduksi

* (GWh)

BIAYA OPERASI RATA-RATA PER KWH (Rp/KWH)

Bahan Bakar

Pemeli haraan

Penyusutan Aktiva

Lain- lain

Pega

wai Jml PLTA 3.508 201 10306.91 11,88 22,62 82,27 5,07 17,65 139,48 PLTU 8.764 49 52963.84 518,00 20,49 52,24 2,27 5,31 598,31 PLTG 2.571 63 8674.48 1.198,24 114,63 97,71 3,23 8,89 1.422,71 PLTGU 7.371 59 34746.69 667,35 18,84 47,52 3,09 2,99 739,79

PLTP 415 9 3504.47 560,79 12,09 48,50 2,40 15,09 639,87

PLTD 2.981 4626 10431.8 2.324,89 213,56 85,28 11,16 61,63 2.696,52 Sumber: Statistik PLN 2009

* Terdiri dari energi yang dihasilkan sendiri dan energi yang berasal dari sewa genset

Tabel 5 menunjukkan :

1. Hingga tahun 2009 lebih dari 90 persen unit pembangkit yang dimiliki PLN merupakan unit pembangkit berbahan bakar minyak (PLTD).

2. Kapasitas terpasang dari unit pembangkit berbahan bakar minyak tersebut hanya 2.981 MW, dibawah kapasitas terpasang jenis pembangkit lainnya. Artinya walaupun dalam jumlah unit yang terbesar namun kapasitas maksimum yang dimilikinya tidak melebihi kapasitas maksimum jenis pembangkit lainnya.

3. Energi yang dihasilkan dari unit pembangkit jenis ini juga tidak besar, hanya 8,65 persen dari keseluruhan energi yang mampu dihasilkan PLN sementara biaya operasi yang harus dikeluarkan cukup tinggi, yaitu Rp2.696,52/ KWh. Biaya operasi mesin pembangkit berbahan bakar minyak ini merupakan yang terbesar diantara biaya operasi mesin pembangkit jenis lain, dengan demikian energi listrik yang dihasilkan dari mesin pembangkit jenis ini menjadi yang termahal.

4. Dilihat dari jenis biaya operasional yang dikeluarkan, biaya pemeliharaan untuk unit pembangkit berbahan bakar minyak juga yang terbesar diantara unit pembangkit jenis lain. Hal ini menunjukkan bahwa mesin pembangkit berbahan bakar minyak cenderung lebih cepat mengalami kerusakan dan menurunkan kemampuan mesin (derating) pembangkit.

Kondisi ini sangat mempengaruhi operasional PLN dalam menjalankan usahanya. Dengan biaya operasional yang tinggi maka PLN tidak akan mampu mencetak laba operasi tanpa bantuan subsidi pemerintah. Ketergantungan ini semakin memberatkan anggaran negara karena nilai subsidi listrik yang harus dikeluarkan negara terus meningkat setiap tahun.

Inefisiensi pembangkit PLTGU dual firing

abel 6 menunjukkan 2,4 persen unit pembangkit yang dimiliki PLN berbahan bakar gas dan/ atau campuran gas dengan minyak. Meskipun dalam jumlah yang tidak besar, namun

T

(7)

BIRO

ANALISA

ANGGARAN DAN

PELAKSANAAN

APBN

– SETJEN DPR

RI

praktik penggunaannya berpengaruh dominan terhadap inefisiensi biaya operasi PLN. Untuk PLTGU, dioperasikan dengan menggunakan minyak disamping gas sebagai bahan bakarnya, namun dalam praktiknya lebih banyak menggunakan minyak karena ketersediaan gas sangat minim. Demikian juga halnya dengan PLTG. Hal itu membawa konsekuensi tersendiri, yaitu membengkaknya biaya produksi PLN. Berikut perbandingan biaya produksi antara penggunaan minyak dan gas:

Tabel 6. Perbandingan Biaya Produksi Pembangkit Memakai Minyak dan Gas Perhitungan biaya produksi

Asumsi : Beroperasi 80% waktu dalam 1 tahun, dan 10 jam kerja dalam 1 Hari

Memakai minyak Memakai gas

Biaya Operasi Rp.2.696,52 / Kwh Rp.1.422,71/KWH

Daya 7.370 MW 7.370 MW

Bi. produksi 1 Tahun

= 0,8 X 360 X 10 X 2.696,52 X 7370 X 1000

= 57,235 triliun

= 0,8X 360 X 10 X 1.422,71 X 7.370 X 1000

= 30,198 Triliun Sumber : Permasalahan Sektor Ketenagalistrikan, Ahmad Daryoko

Dari perhitungan tersebut diketahui biaya produksi dengan menggunakan gas hanya sekitar 52,8% dari biaya produksi dengan menggunakan minyak.

V. Kesimpulan

1. Biaya bahan bakar merupakan komponen terbesar dari biaya operasi PLN. Tidak terpenuhinya kebutuhan gas menyebabkan PLN menggunakan bahan bakar minyak untuk mengoperasikan pembangkitnya yang berbahan bakar gas. Dukungan kebijakan energi pemerintah yang lebih berpihak pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri (DMO), maka dengan tetap menggunakan mesin pembangkit yang dimiliki PLN saat ini, hasil perhitungan menunjukkan bahwa PLN akan dapat menghemat sekita 70% biaya bahan bakarnya jika kebutuhan gas PLN untuk PLTG dan PLTGU dapat terpenuhi secara maksimal (tanpa menanbah modal untuk investigasi pembangunan pembangkit yang baru).

1. Terjaminnya ketersediaan bahan bakar yang riil dibutuhkan PLN dalam kondisi operasi optimal, menjadi suatu hal yang mendesak untuk menurunkan biaya bahan bakar dalam komponen biaya operasi PLN. Penghematan sekitar 70% biaya bahan bakar pada akhirnya akan menurunkan sekitar 40% subsidi listrik yang harus diberikan pemerintah. Kebijakan inilah yang dinilai banyak pihak merupakan jawaban dari beratnya beban anggaran pemerintah, dan bukan kenaikan tarif dasar listrik.

2. Tidak seluruh subsidi listrik dinikmati oleh kalangan ekonomi menengah ke bawah. Hasil perhitungan menunjukkan sekitar 30 – 40% subsidi listrik dinikmati kalangan menengah ke atas.

Gambar

Gambar 1. Rata-rata Proporsi Tiap Jenis Subsidi Terhadap Total Subsidi (%)
Tabel 2.  Proporsi Subsidi Listrik terhadap                       Belanja Pemerintah Pusat  (Rp milyar)
Tabel 3. Subsidi dan Inefiensi  Biaya Bahan Bakar  (Rp juta)  Tahun  Bi. Bahan bakar  Biaya yang dibutuhkan
Tabel 5 menunjukkan :
+2

Referensi

Dokumen terkait

Jika nyawanya masih banyak (melebihi batas yang ditetapkan, dalam hal ini 20 atau 40% dari nyawa maksimum pemabuk) dan pemabuk masih menggunakan tangan kosong,

II. Dasar Teori Kapasitor adalah dua buah penghantar (konduktor) yang sejajar dan diberikan muatan yang sama tetapi berlawanan jenis.

Konsep perancangan dan pengembangan produk inovasi sapu lantai multifungsi ini mengacu pada konsep ergonomis, dimana adanya modifikasi gagang sapu yang bisa

[r]

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengadakan penelitian yang bertujuan untuk menguji dan menganalisis apakah terdapat pengaruh ekuitas merek dan iklan

Kegiatan pengamatan atau observasi dilakukan bersama-sama dengan pelaksanaan tindakan berlangsung dibantu oleh orang tua dan pengurus Yayasan Project Jyoti Bali

pengembalian yang diminta, atau tingkat diskonto, ke atas (ke bawah) biaya modal perusahaan keseluruhan untuk proyek atau kelompok yang menunjukkan lebih besar (kurang) dari