• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMPROMI PEMULIHAN AIR TANAH DENGAN SUMUR RESAPAN *)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KOMPROMI PEMULIHAN AIR TANAH DENGAN SUMUR RESAPAN *)"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Kumpulan Makalah Periode 1987-2008

KOMPROMI PEMULIHAN AIR TANAH

DENGAN SUMUR RESAPAN *)

Tarsoen Waryono**)

Pendahuluan

Terganggunya peranan fungsi 13 aliran sungai yang melintas DKI Jakarta, dicirikan oleh fenomena alam yaitu genangan (banjir) pada musim hujan, dan kekeringan pada musim kemarau. Kecenderung tersebut, disebabkan oleh tingginya intensitas pemanfaatan ruang (IPR), karena alih fungsi penggunaan tanah yang tidak terkontrol. Lahan-lahan potensial sebagai wahana resapan air, kawasan tandon air (lahan basah) dan kawasan-kawasan perlindungan alam (sepandan pantai) telah berubah menjadi permukiman, dan atau pusat-pusat kegiatan kota. Padahal secara definitif intensitas penggunaan ruang di DKI Jakarta telah diantisipasi dengan ditetapkannya rambu-rambu melalui koefisien dasar bangunan (KDB).

Timpangnya daur hidrologi di wilayah DKI Jakarta, menyebabkan kerentanan terhadap ketersediaan air tanah. Rendahnya infiltrasi air kedalam tanah dan tingginya pemanfaatan air tanah dangkal untuk kepentingan air baku, baik oleh masyarakat maupun oleh pemilik bangunan besar dan atau industri, karena belum terpenuhinya layanan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).

Keterbatasan Pasokan Air Bersih

Besaran curah hujan di 5 wilayah rata-rata tercatat 2.916 mm/tahun, atau sebesar 2.000 juta m3/tahun air hujan yang jatuh di seluruh DKI Jakarta. Curahan hujan tersebut

terdistribusi menjadi (a) air intersepsi 1,07% (21,4 juta m3/tahun, (b) evapotranspirasi 12,5%

(250 juta m3/tahun, (d) infiltrasi 10% (200 juta m3/tahun, dan sisanya menjadi (e) air limpasan

76,43% (1.528,6 juta m3/tahun). Air infiltrasi yang masuk ke dalam tanah terdistribusi (a) ke

lapisan akuifer dangkal 80% (160 juta m3/tahun), (b) merembes keluar 15% (30 juta m3/tahun)

dan (c) 10% lainnya (10 juta m3/tahun) masuk ke lapisan akuifer dalam. Jumlah pasokan air

ke dalam tanah secara alamiah tercatat 170 juta m3/tahun.

Kebutuhan air di seluruh wilayah DKI Jakarta tercatat 400 juta m3/tahun. Pelayanan

yang bersumber dari PDAM tercatat 200 juta m3/tahun. Pemenuhan kebutuhan air yang

bersumber dari air tanah untuk memenuhi 5.198.000 jiwa penduduk yang belum terlayani air bersih sebesar 161,6 juta m3/tahun. Selain itu 5,0% dari 6.102.000 jiwa penduduk yang telah

menikmati layanan air bersih PDAM, juga masih memanfaatkan air tanah dangkal sebesar 15 juta m3/tahun.

(2)

Kumpulan Makalah Periode 1987-2008

Pemanfaatan air tanah dalam untuk kepentingan industri, perhotelan dan bangunan pancang tercatat sebesar 40 juta m3/tahun. Jumlah pemanfaatan air tanah di DKI Jakarta

secara keseluruhan sebesar 216,6 juta m3/tahun, hingga secara teoritis setiap tahunnya telah

defisit air tanah sebesar 46,6 juta m3. Padahal air yang terbuang langsung ke sungai dan

mengalir terbuang ke laut sebesar 1.558,6 juta m3/tahun. Upaya Pemulihan Air Tanah

Memperhatikan fenomena keterbatasan pasokan air bersih PDAM, defisit air tanah dangkal, dan air hujan terbuang ke laut (77,93% dari seluruh air hujan yang jatuh) per tahun, untuk itu upaya yang dilakukan adalah membangun tampungan air hujan, agar dapat tersimpan secara alam di dalam tanah melalui teknologi sumur resapan, seperti tertuang dalam Perda DKI Jakarta No. 68 tahun 2003.

Suatu pertanyaan mendasar, siapa sebenarnya yang memiliki kewajiban membangun sumur resapan?. Jawaban pertama adalah semua warga DKI Jakarta yang memiliki ijin mendirikan bangunan (IMB), baik permukiman penduduk, pengembang, pemilik bangunan gedung pancang, dan fasos fasum (RTH, Jasa marga, Sekolah, Perkantoran, Tempat ibadah, Rumah Sakit, dan Tempat rekreasi). Jawaban kedua adalah pemilik IMB di daerah yang berada pada wilayah ketinggian kurang dari 3,0 meter dpl (Jakarta Utara), berkewajiban membangun sumur resapan di lokasi pengganti yang ditetapkan. Jawaban ketiga adalah bagi pemrakarsa pemanfaat sumur tanah dalam, termasuk industri dan bangunan pancang.

Realisasi pembangunan sumur resapan di DKI Jakarta setelah lebih dari 5 tahun definitifnya perda sumur resapan tercatat 72.100 unit. Berdasarkan prediksi setiap sumur mampu meneruskan air hujan sebanyak 40,0 drum/tahun (8,0 m3/tahun), maka air pasokan

buatan hingga saat ini sebesar576.800 m3/tahun. Potensi pemulihan air tanah secara buatan

ini tampaknya masih sangat rendah, dan berdasarkan perhitungan sumur resapan yang harus dibangun sebanyak 4 juta unit yang tersebar diseluruh DKI Jakarta yang memiliki ketinggian tempat lebih dari 4 meter dpl.

Arahan Pengelolaan Daerah Resapan

(3)

Kumpulan Makalah Periode 1987-2008

potensi sumberdaya air yang perlu dipertahankan, dan dipaduserasikan dengan rencana rinci tata ruang wilayah (RRTRW).

Mencermati belum tersedianya IPR wilayah DKI Jakarta, mestinya dalam penyusunan RRTRW seyogianya dapat diantisipasi melalui pemapaduserasian berdasarkan potensi tata air tanahnya. Demikian halnya terhadap pengembangan kawasan ekosistem perairan (situ-situ), pengukuhan kawasan menjadi persyaratan yang mutlak harus dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terokupasi lahan oleh penduduk. Langkah berikutnya, perlu dukungan atas peranan fungsi jasa penutupan vegetasi. Selain berfungsi sebagai penyaring (filter) baik sifat fisik maupun kimia air dan tanah, juga merupakan penopang dan dukungan nilai-nilai estetika pengembangan ekosistem perairan yang erat kaitannya dengan siklus geohidrologi tata air resapan.

Didasari atas konsepsi dasar pengelolaan kawasan resapan air dan pengembangan lingkungan situ-situ secara terpadu berkelanjutan, seperti uraian di atas, dengan memperhatikan aspek daya dukung fisik wilayahnya, untuk itu dalam perencanaan pengelolaannya perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut;

Aspek Keterpaduan

Kawasan resapan air di wilayah DKI Jakarta, sebagian besar berstatus tanah milik masyarakat, dan harus dipandang sebagai satu kesatuan kawasan yang perlu dilindungi. Pengalokasikan pemukiman penduduk dengan Intensitas Pemanfaatan Ruang (IPR) < 50%; tampak-nya merupakan langkah awal yang harus diterapkan. Hal ini mengingat bahwa terciptanya keterpaduan antara kondisi fisik kawasan resapan air dengan kawasan terbangunnya.

Namun demikian aspek pertimbangan lain yang erat kaitannya dengan status kepemilikan juga perlu mendapat perhatian. Perlunya keterpaduan pemahaman (kesatuan pendapat), baik antara institusi/ lembaga yang bertanggung-jawab dengan insan pemiliknya, dan atau stake holder lainnya.

Pentingnya penyelamatan, perlindungan dan pemanfaatan secara optimal terhadap sumber daya air tanah dangkal, memerlukan dukungan semua pihak, melalui pembagian kepentingan: (a) di satu sisi pemerintah dituntut untuk tetap mempertahankan kelestarian kawasan resapan, sedangkan (b) masyarakat ditutut untuk tetap mempertahankan aspek kualitas dan kuantitas melalui pemberdayaan teknologi sebagai kendali atas keseimbangan antara input (masukan) air kedalam tanah dan output (pemanfaatan) secara terkendali.

Aspek Teknis

(4)

Kumpulan Makalah Periode 1987-2008

Aspek IPTEK

Pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengelolaan kawasan resapan air, erat kaitannya dengan penyeimbangan (neraca) air baik tanah dangkal maupun tanah dalam. Walaupun melalui pengaturan KDB hingga saat ini masih dianggap masih relatif aman. Namun demikian penerapan sumur resapan mampu menekan besaran laju air limpasan dari 56,05% s/d 61,68% (Narwanto dan Waryono 1994), menjadi <40%. Demikian halnya dengan pemberdayaan masyarakat melalui sosialisasi, guna memacu atas kesadarannya, dan pemahaman atas arti pentingnya sumberdaya air tanah, pada dasarnya merupakan langkah awal terjaminnya kualitas air tanah dari berbagai sumber cemaran.

Aspek Kelembagaan

Selain keterpaduan pemahaman konsep penanganan bagi seluruh stake holder yang berkepentingan, tampaknya kelembagaan yang bertanggung jawab, merupakan bagian yang dinilai cukup stategis. Selain mengkordinir bentuk-bentuk kegiatan yang diimplementasikan, dalam penyusunan programnya perlu duduk bersama-sama dengan masyarakat, guna menjabarkan bentuk-bentuk apa yang diinginkannya.

Dalam pada itu, aspek kelembagaan menjadi penting peranannya, karena akan bersama-sama dengan seluruh stake holder, dan sangat menentukan keberhasilan program peningkatan jumlah sumur resapan dan pengendalian kualitas dan kuantitas air tanah di DKI Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, UF, 1978. Efek Pencemaran Air Tanah terhadap Masyarakat Perkotaan. Widyapura, XII. Tahun 1878.

Adiwilaga, M; et all, 1998. Strategi Pengelolaan Situ-situ: Studi Kasus Program Pengelolaan Situ Cikaret, Cibinong, Kabupaten Bogor. Workshop Pengelolaan Situ-situ di Wilayah DKI Jakarta. Kerjasama Bapedalda dengan Fakultas Kehutanan IPB Bogor.

Arif, B. 1998. Peranan Sektor Pengairan dalam pengelolaan situ-situ di wilayah Jabatabek. Workshop Pengelolaan Situ-situ di Wilayah DKI Jakarta. Kerjasama Bapedalda dengan Fakultas Kehutanan IPB Bogor.

Biampoen, 1984. Masalah Kualitas Lingkungan Hidup Manusia, Pendekatan Perencanaan Kota. Makalah Seminar Badan Pembinaan Kesehatan Jiwa Masyarakat.

Dinas Kehutanan DKI Jakarta, 1997. Informasi Cagar Alam Di DKI Jakarta. Publikasi Dinas Kehutanan DKI Jakarta.

Dinas Tata Kota DKI Jakarta, 1998. Kebijaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah Terhadap Keberadaan Lahan Basah di DKI Jakarta. Seminar dan Pameran Lahan Basah, Dalam Rangka memperingati lahan basah sedunia tahun 1998. Komisi Nasional Pengelolaan Lahan Basah, Jakarta

(5)

Kumpulan Makalah Periode 1987-2008 Gunawan, E. 1988. Kebijaksanaan Pengelolaan Situ-situ di Wilayah Jabotabek. Workshop Pengelolaan Situ-situ di Wilayah DKI Jakarta. Kerjasama Bapedalda dengan Fakultas Kehutanan IPB Bogor.

Lesmana, H. 1998. Peranan Situ-situ Buatan di Kawasan Industri MM 2100. Workshop Pengelolaan Situ-situ di Wilayah DKI Jakarta. Kerjasama Bapedalda dengan Fakultas Kehutanan IPB Bogor.

Notodihardjo. Mardjono, 1979. Pengembangan Wilayah Sungai di Indonesia. Departemen Pekerjaan Umum.

Sandy.IM, 1978. Geomorfologi Terapan. Jurusan Geografi FMIPA-UI.

Sitanala Arsyad, 1989. Konservasi Tanah dan Air. Program Pascasarjana Institut Per-tanian Bogor. Sugandhy, A. 1998. Peran Ekosistem Lahan Basah Dalam Memelihara Kualitas Lingkungan Hidup.

Seminar dan Pameran Lahan Basah, Dalam Rangka memperingati lahan basah sedunia tahun 1998. Komisi Nasional Pengelolaan Lahan Basah, Jakarta.

Waryono, T dan Suprijatna, N. 1997. Aspek Pemberdayaan Atas Kekurang Perdulian Masyarakat Terhadap Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Publikasi GEO-07/1997. Jurusan Geografi FMIPA-Universitas Indonesia.

Waryono,. T., , 1997. Prisip Dasar manajemen Konservasi Biologi Untuk Mencapai Tujuan. Program Pasca Sarjana Biologi Universitas Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil tersebut mengindikasikan bahwa lama fermentasi 7 hari merupakan waktu fermentasi yang baik untuk menghasilkan volume dan kadar bioetanol tertinggi pada proses fermentasi

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan keterpaparan informasi wanita usia subur (WUS) dengan motivasi melakukan imunisasi HPV (human papiloma virus) di

Karena nilai F hitung lebih besar daripada F tabel (F hitung 20,504 &gt; F tabel 2,546273), maka hipotesis 5 yang menyatakan bahwa variabel produk, harga,

Islam merupakan agama yang diturungkan oleh Allah swt kepada manusia sebagai rahmat. Ajaran-ajaran dalam Islam memberikan keselamatan bagi manusia di dunia maupun di

Pada beberapa kasus pemberian obat-obat profilaksis mungkin tidak tepat jika obat-obat tersebut dapat menyebabkan komplikasi dengan pengobatan yang

(dalam Kharizmi, 2015) menemukan temuan dari penelitiannya tentang perkembangan literasi bahwa keterlibatan orangtua memiliki peranan yang sangat besar dalam mengembangkan

Strategi pengembangan sistem jaringan transportasi logistik di kawasan perbatasan Kabupaten Nunukan memerlukan jaringan transportasi untuk menghubungkan simpul-simpul pelabuhan

Syamsuddin (Engkoswara dan Komariah, 2010:293) mengemukakan manajemen berbasis sekolah merupakan salah satu alternatif pengelolaan sekolah dalam kerangka