78
Pengelompokkan Kabupaten/Kota Di Pulau Jawa Berdasarkan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Menggunakan
Bisecting K-Means
Dila Fitriani Azuri*, Zulhanif, Resa Septiani Pontoh Departemen Statistika, FMIPA Universitas Padjadjaran
*E-mail: [email protected] Abstrak
Pemaknaan gender pada pembangunan manusia berbasis gender mengacu pada perbedaan laki-laki dan perempuan dalam peran, perilaku, kegiatan serta atribut yang dikontruksikan secara sosial. Perbedaan ini tidak menjadi masalah bila disertai keadilan, namun dalam kenyataannya terjadi ketidakadilan gender.
Indikator untuk evaluasi pembangunan berbasis gender, yaitu Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Nilai IPG dan IDG pada setiap Kabupaten/Kota di pulau Jawa masih terjadi ketimpangan yang menandakan belum terjadinya pemerataan pembangunan yang dirasakan oleh seluruh rakyat. Salah satu prasyarat keberhasilan program pembangunan bergantung pada ketepatan pengidentifikasian target group dan target area. Pada penelitian ini digunakan Bisecting K-means untuk pengelompokkan Kabupaten/Kota di Pulau Jawa. Dari penelitian didapatkan 3 klaster yang terbentuk baik pada laki-laki ataupun perempuan. Pada klaster laki-laki, klaster 1 beranggotakan 32 Kabupaten/Kota, anggota pada klaster 2 yaitu 43 Kabupaten/Kota, dan klaster 3 terdapat 44 Kabupaten/Kota. Nilai silhouette coefficient pada klaster laki-laki yaitu 0,3. Sedangkan pada klaster perempuan yaitu dimana pada klaster 1 beranggotakan 42 Kabupaten/Kota, anggota pada klaster 2 yaitu 42 Kabupaten/Kota, dan klaster 3 terdapat 35 Kabupaten/Kota. Nilai silhouette coefficient pada klaster perempuan yaitu 0,26. Baik pada klaster perempuan ataupun laki-laki, klaster yang terbentuk masih tergolong lemah.
Kata Kunci: Bisecting K-means, Metode Elbow, Pembangunan Manusia Berbasis Gender, Radial Plot, Silhouette Coefficient
1. Pendahuluan
Pembangunan manusia berbasis gender merupakan salah satu indikator yang menjadi perhatian dunia. Pemaknaan gender mengacu pada perbedaan laki-laki dan perempuan, perbedaan ini tidak menjadi masalah bila disertai keadilan antar keduanya. Namun kenyataannya telah terjadi ketidakadilan gender, dimana salah satu jenis kelamin mengalami diskriminasi. Untuk menghilangkan ketidakadilan gender maka diperlukan kesetaraan dan keadilan gender dalam proses bermasyarakat dan bernegara (BPS, 2015).
Indikator untuk evaluasi pembangunan berbasis gender yaitu Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). IPG dapat mengukur kesenjangan pembangunan antara laki-laki dan perempuan serta IDG dapat mengukur persamaan peranan perempuan dan laki- laki dalam pengambilan keputusan, politik, dll.
Namun pada kenyataannya masih terjadi ketimpangan IPG dan IDG, dimana masih terdapat Kabupaten/Kota yang memiliki IPG atau IDG tertinggi atau terendah. Hal ini menandakan belum adanya pemerataan pembangunan manusia berbasis gender yang tentu bertentangan dengan tujuan pembangunan di Indonesia, yaitu adanya pemerataan hasil pembangunan yang dapat dirasakan oleh seluruh penduduk. Untuk melaksanakan program pembangunan perlu adanya identifikasi berdasarkan indikator pembangunan manusia berbasis gender agar dalam mengambil
kebijakan dan strategi pembangunan bisa tepat sasaran dan tepat guna. Salah satu prasyarat keberhasilan program-program pembangunan sangat bergantung pada ketepatan pengidentifikasian target group dan target area (Basri, 1995, seperti dikutip Yulianto, 2014).
Salah satu teknik pengelompokkan yaitu clustering. Clustering merupakan proses mengelompokkan objek ke dalam sebuah klaster, objek yang berada pada klaster sama memiliki kemiripan tinggi (Hair dkk., 2010). Dalam clustering terdapat dua metode, yaitu metode hirarki dan metode non hirarki. Metode hirarki memiliki kelemahan yaitu tidak cocok untuk data dengan jumlah observasi yang besar (Hair dkk., 2010). Sedangkan metode non hirarki dapat digunakan untuk data yang berjumlah besar (Johnson dan Wichern, 2007:696). Salah satu pendekatan dari metode non hirarki adalah Bisecting K-means. Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai metode ini. Bisecting K- means merupakan jenis lain dari K-means.
Bisecting K-means lebih baik daripada K-means dan sama baik atau lebih baik daripada metode hirarki (Steinbatch dkk., 2000:1). Bisecting K- means menghasilkan klaster yang seragam (memiliki ukuran yang sama), tidak menghasilkan empty cluster, waktu perhitungan lebih cepat, tingkat akurasi lebih baik, dan lebih efisien jika jumlah klaster bertambah (Patil dan Khan, 2015:40).
79 2. Metode
2.1 Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, yaitu data dari publikasi Badan Pusat Statistik dengan judul Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2015. Kabupaten/Kota di Pulau Jawa berjumlah 119 dan variabel yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah enam variabel, yaitu angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah, harapan lama sekolah, pengeluaran per kapita, keterwakilan di parlemen, dan profesi sebagai tenaga manajer, profesional, administrasi, dan teknisi.
2.2 Metode Analisis Data 2.2.1 Metode Elbow
Sebelum melakukan pengelompokkan, sama seperti K-means, pada Bisecting K-means jumlah klaster ditentukan terlebih dahulu. Penentuan jumlah klaster menggunakan metode Elbow.
Penentuan jumlah klaster pada metode ini dapat dihasilkan dari perbandingan hasil SSE (Sum of Square Error) pada masing-masing jumlah klaster dengan rumus SSE sebagai berikut (Irwanto dkk., 2012, seperti dikutip Merliana, 2015:17):
dengan,
= Nilai atau data pada objek ke-i
= Centroid pada klaster 2.2.2 Bisecting K-means
Setelah menentukan jumlah klaster lalu dilakukan pengelompokkan menggunakan Bisecting K-means. Bisecting K-means menggunakan centroid sebagai pusat klaster dan menggunakan nila rata-rata sebagai centroidnya.
Misalkan terdapat set data matriks (dimana setiap kolom M, , adalah titik data) dibagi menjadi dua submatriks (subklaster) yaitu dan
dan . Berikut
merupakan langkah-langkah Bisecting K-means (Savaresi dkk., 2000:2):
1. Inisialisasi. Pilih point atau titik data, misal
; lalu hitung centroid (w) dari matriks
M, dan hitung sebagai
. Dimana rumus untuk menghitung centroid (w) adalah sebagai berikut:
dengan,
N = Jumlah objek = Kolom ke-j pada M 2. Bagi matriks
menjadi dua subklaster, yaitu ML dan MR
dengan menggunakan K-means dan mengikuti aturan dibawah ini:
3. Hitung centroid dari ML dan MR, yaitu dan .
4. Jika dan berhenti.
Namun, jika dan dan
ulangi langkah ke-2.
2.2.3 Silhouette Coefficient
Setelah dilakukan pengelompokkan, maka selanjutnya mengevaluasi hasil pengelompokkan menggunakan validasi klaster. Validasi klaster dilakukan untuk mengukur seberapa baik hasil pengelompokkan yang didapat. Dalam penelitian ini digunakan salah satu internal validation index yaitu Silhouette Coefficient. Dengan langkah sebagai berikut (Kaufman dan Rousseeauw, 2005):
1. Hitung nilai silhouette dengan rumus sebagai berikut:
dengan,
a(i)= Rata-rata jarak i terhadap semua objek di klaster A
b(i)= Rata-rata jarak i terhadap semua objek pada klaster lain
Nilai silhouette berada pada interval −1 ≤ s(i) ≤ 1. Tabel berikut menyajikan interpretasi nilai silhouette yang mengindikasikan derajat kepemilikan tiap objek.
Tabel 1. Interpretasi Nilai Silhouette
Silhouette Interpretasi
Nilai s(i) mendekati -1
Menunjukkan bahwa jarak a(i) lebih besar daripada b(i). Sehingga objek i seharusnya berada di klaster B.
Nilai s(i) berada di sekitar 0
Menunjukkan bahwa a(i) dan b(i) sama.
Artinya objek i bisa masuk ke klaster A atau B.
Nilai s(i) mendekati 1
Menunjukkan bahwa jarak dalam a(i) lebih kecil dibanding jarak b(i). Hal ini menandakan bawah objek i memang berada pada klaster A.
Sumber: Kaufmaan dan Rousseeauw, 2005:85
2. Menghitung nilai silhouette width, yaitu nilai rata-rata silhouette pada semua objek yang berada dalam masing-masing klaster.
3. Menghitung nilai Silhouette Coefficient.
80
Tabel 2. Interpretasi Nilai Silhouette Coefficient
Silhouette Coefficient
Interpretasi 0,71-1,00 Klaster yang kuat
0,51-0,70 Klaster telah layak atau sesuai 0,26-0,50 Klaster yang lemah
≤ 0,25 Tidak dapat dikatakan sebagai klaster Sumber: Kaufmaan dan Rousseeauw, 2005:88
2.2.4 Interpretasi dan Profiling Klaster Setelah validasi klaster yang telah terbentuk, selanjutnya dilakukan interpretasi dan profiling klaster. Tahap interpretasi klaster merupakan tahap memberikan label yang dapat mendeskripsikan klaster tersebut dan tahap profiling klaster yaitu memahami karakteristik yang membedakan masing-masing klaster (Hair dkk., 2010: 513).
Untuk tahap profiling dari klaster yang telah terbentuk dapat menggunakan Radial Plot. Radial Plot merupakan cara yang paling efektif untuk menampilkan profil klaster (Williams, 2014:29).
4. Hasil dan Pembahasan
Satuan pada variabel yang digunakan berbeda- beda. Oleh karena itu perlu dilakukan standarisasi data, salah satunya menggunakan z-score. Setelah proses standarisasi dilakukan selanjutnya menentukan jumlah klaster. Dalam penelitian ini jumlah klaster yang akan dibentuk yaitu sebanyak 3 klaster. Dimana akan dibedakan klaster untuk jenis kelamin laki-laki dan klaster untuk jenis kelamin perempuan. Adapun dalam komputasinya menggunakan software R dan Python.
4.1 Klaster untuk Jenis Kelamin Laki-laki Dengan menggunakan algoritma Bisecting K- means maka didapatkan hasil pengelompokkan Seperti ditunjukkan pada Tabel 3.
Pada Tabel 3 dapat dilihat anggota pada masing-masing klaster. Dimana pada klaster 1 beranggotakan 32 Kabupaten/Kota, anggota pada klaster 2 yaitu 43 Kabupaten/Kota, dan klaster 3 terdapat 44 Kabupaten/Kota. Nilai sum sequared error terbesar yaitu pada klaster 3 dan terkecil yaitu pada klaster 1. Setelah melakukan pengelompokkan selanjutnya lakukan validasi klaster menggunakan silhouette coefficient untuk melihat hasil dari pengelompokkan yang telah dilakukan.
Pada Gambar 1 dapat dilihat hasil dari Silhouette. Dimana nilai Silhouette Coefficient yaitu sebesar 0,3. Hal ini menandakan bahwa klaster yang telah terbentuk dapat dikatakan klaster yang lemah. Dapat dilihat pada masing-masing klaster masih terdapat nilai silhouette Kabupaten/Kota yang bernilai negatif, yang artinya masih terdapat Kabupaten/Kota yang seharusnya tidak berada pada klaster tersebut namun berada klaster itu.
Tabel 3. Hasil Pengelompokkan menggunakan Bisecting K- means untuk Jenis Kelamin Laki-laki
Klaster 1 Klaster 2 Klaster 3
Sum Square Error
75.0314 98.5433 105.1935
Jumlah Anggota
32 43 44
Anggota Kota Jakarta Selatan
Sukabumi Kep. Seribu Kota Jakarta
Timur
Cianjur Bogor
Kota Jakarta Pusat
Bandung Ciamis Kota Jakarta
Barat
Garut Kuningan Kota Jakarta
Utara
Tasikmalaya Sumedang
Kota Bogor Cirebon Bekasi Kota Sukabumi Majalengka Kota
Tasikmalaya Kota Bandung Indramayu Kota Banjar Kota Cirebon Subang Cilacap
Kota Bekasi Purwakarta Banyumas Kota Depok Karawang Purworejo Kota Cimahi Bandung
Barat
Boyolali Karanganyar Pangandaran Klaten Kota Magelang Purbalingga Sukoharjo Kota Surakarta Banjarnegara Wonogiri Kota Salatiga Kebumen Sragen Kota Semarang Wonosobo Grobogan
Kota Tegal Magelang Pati
Bantul Blora Kudus
Sleman Rembang Jepara
Kota Yogyakarta
Temanggung Demak
Sidoarjo Batang Semarang
Gresik Pemalang Kendal
Kota Kediri Tegal Pekalongan
Kota Malang Brebes Kota
Pekalongan Kota Mojokerto Pacitan Kulon Progo
Kota Madiun Trenggalek Gunung Kidul Kota Surabaya Malang Ponorogo
Kota Batu Lumajang Tulungagung Kota Tangerang Jember Blitar Kota Tangerang
Selatan
Banyuwangi Kediri Bondowoso Mojokerto
Situbondo Jombang Probolinggo Nganjuk Pasuruan Madiun
Ngawi Magetan
Bojonegoro Lamongan Tuban Kota Blitar Bangkalan Kota
Probolinggo Sampang Kota Pasuruan Pamekasan Tangerang
Sumenep Kota Cilegon Pandeglang Kota Serang
Lebak Serang
81
Gambar 1. Plot Silhouette untuk Klaster Laki-laki
Gambar 2. Radial Plot untuk Klaster Laki-laki
Dapat dilihat pada Gambar 2 menunjukkan Kabupaten/Kota yang tergabung dalam klaster 1 memiliki angka harapan hidup, harapan lama sekolah, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran per kapita tertinggi dibandingkan dengan Kabupaten/Kota pada klaster lain. Pada klaster 1 variabel yang memiliki nilai tertinggi yaitu rata- rata lama sekolah. Artinya bahwa pada Kabupaten/Kota tersebut penduduk laki-laki banyak yang menempuh pendidikan. Sedangkan variabel yang memiliki nilai terkecil yaitu ketenagakerjaan sebagai profesional, teknisi, administrasi walaupun tidak paling kecil dibandingan dengan klaster lain. Jadi pada klaster 1 ini berisi Kabupaten/Kota yang memiliki angka harapan hidup, harapan lama sekolah, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran perkapita tertinggi dibanding klaster lain, namun memiliki keterwakilan di parlemen yang paling rendah dibanding Kabupaten/Kota pada klaster lain.
Pada klaster 2 variabel yang memiliki nilai tertinggi yaitu keterwakilan di parlemen sedangkan variabel yang memiliki nilai terendah yaitu rata- rata lama sekolah. Artinya bahwa memang pada laki-laki Kabupaten/Kota yang berada pada klaster 2 lebih berminat dalam dunia politik daripada bersekolah. Sedangkan pada klaster 3, variabel keterwakilan ketenagakerjaan merupakan variabel dengan nilai yang tertinggi dibandingkan dengan variabel lain dan dibandingan dengan nilai keterwakilan di parlemen pada klaster lain.
Sedangkan yang terendah yaitu variabel keterwakilan di parlemen.
4.2 Klaster untuk Jenis Kelamin Perempuan Berikut merupakan hasil pengelompokkan dengan menggunakan algoritma Bisecting K- means untuk data jenis kelamin perempuan yang ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Pengelompokkan menggunakan Bisecting K- means untuk Jenis Kelamin Perempuan
Klaster 1 Klaster 2 Klaster 3
Sum Square Error
99.0563 95.4478 82.9358
Jumlah Anggota
42 42 35
Anggota Kota Jakarta Timur
Kota Sukabumi
Kota Jakarta Selatan Kota Jakarta
Pusat
Kota
Bandung Kota Bekasi Kota Jakarta
Barat Kota Cirebon Karanganyar Kota Jakarta
Utara Kota Depok
Kota Magelang Kota Bogor Kota Cimahi Sidoarjo
Kota Semarang
Kota
Surakarta Sukabumi Kota Malang Kota Salatiga Cianjur
Kota
Mojokerto Kota Tegal Garut Kota Madiun Bantul Majalengka Kota Surabaya Sleman Indramayu
Kota Batu
Kota
Yogyakarta Purwakarta Kota
Tangerang Gresik Karawang Kota
Tangerang
Selatan Kota Kediri Purbalingga Bandung
Barat Bandung Kebumen
Pangandaran Tasikmalaya Wonosobo Banjarnegara Cirebon Rembang
Tegal Subang Temanggung
Bondowoso Magelang Batang
Situbondo Blora Pemalang
Probolinggo Trenggalek Brebes Pasuruan Lumajang Pacitan
Ngawi Jember Malang
Bojonegoro Banyuwangi Lebak
Tuban Sampang Serang
Bangkalan Pandeglang Kep. Seribu Pamekasan Kuningan Bogor
Sumenep Sumedang Ciamis
Boyolali Bekasi Klaten
Wonogiri
Kota
Tasikmalaya Sukoharjo Semarang Kota Banjar Sragen Gunung Kidul Cilacap Grobogan
Ponorogo Banyumas Pati
Tulungagung Purworejo Demak Blitar Kudus Kota Blitar Kediri Jepara Kota Cilegon Mojokerto Kendal
Jombang Pekalongan
Nganjuk
Kota Pekalongan Madiun Kulon Progo Kota Pasuruan Magetan
Tangerang Lamongan
Kota Serang
Kota Probolinggo
82 Pada Tabel 4 dapat dilihat anggota pada masing-masing klaster. Dimana pada klaster 1 beranggotakan 42 Kabupaten/Kota, anggota pada klaster 2 yaitu 42 Kabupaten/Kota, dan klaster 3 terdapat 35 Kabupaten/Kota. Nilai sum squared error terbesar yaitu pada klaster 1 dan terkecil yaitu pada klaster 3. Setelah melakukan pengelompokkan selanjutnya lakukan validasi klaster menggunakan silhouette coefficient untuk melihat hasil dari pengelompokkan yang telah dilakukan.
Gambar 3. Plot Silhouette untuk Klaster Perempuan
Pada Gambar 3 dapat dilihat hasil dari Silhouette. Dimana nilai Silhouette Coefficient yaitu sebesar 0,26. Hal ini menandakan bahwa klaster yang telah terbentuk dapat dikatakan klaster yang lemah. Hal ini disebabkan karena masih terdapat nilai silhouette Kabupaten/Kota pada masing-masing klaster yang bernilai negatif.
Artinya masih terdapat Kabupaten/Kota yang seharusnya tidak berada pada klaster tersebut namun berada klaster itu.
Gambar 4. Radial Plot untuk Klaster Perempuan
Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa klaster 1 memiliki nilai tertinggi pada semua variabel apabila dibandingkan dengan klaster 2 dan 3.
Artinya Kabupaten/Kota yang termasuk ke dalam klaster 1 ini memiliki nilai angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah, harapan lama sekolah, pengeluaran per kapita, keterwakilan di parlemen, dan ketenagakerjaan paling baik bila dibandingkan dengan Kabupaten/Kota pada klaster lain. Pada
klaster 1, variabel yang memiliki nilai tertinggi yaitu rata-rata lama sekolah serta variabel yang memiliki nilai terendah yaitu keterwakilan di parlemen. Sedangkan kondisi pada klaster 2 merupakan kebalikan dari klaster 1. Dimana variabel keterwakilan di parlemen merupakan variabel yang memiliki nilai paling besar dan variabel yang memiliki nilai paling kecil yaitu rata-rata lama sekolah. Sedangkan pada klaster 3 variabel yang memiliki nilai tertinggi yaitu variabel harapan lama sekolah dan variabel yang memiliki nilai terendah yaitu keterwakilan perempuan diparlemen.
Tabel 5. Perbandingan Variabel yang Memiliki Nilai Tertinggi dan Terendah pada Masing-masing Klaster Berdasarkan Jenis
Kelamin Klas
ter
Klaster Laki-laki Klaster Perempuan Tertinggi Terendah Tertinggi Terendah 1 Rata-rata
lama sekolah
Ketenaga- kerjaan
Rata-rata lama sekolah
Keterwakil- an di parlemen 2 Keterwakil-
an di parlemen
Rata-rata lama sekolah
Keterwakil- an diparlemen
Rata-rata lama sekolah 3 Ketenaga-
kerjaan
Keterwakil- an di parlemen
Harapan lama sekolah
Keterwakil- an di parlemen
Dapat dilihat dalam Tabel 5 bahwa terdapat kesamaan variabel tertinggi ataupun terendah pada klaster walaupun Kabupaten/Kota yang termasuk ke dalam klaster yang berdasarkan jenis kelamin berbeda-beda. Pada klaster 1 baik itu klaster laki- laki atau perempuan, variabel yang memiliki nilai tertinggi adalah rata-rata lama sekolah. Pada klaster 2 baik itu untuk klaster laki-laki ataupun perempuan memiliki kesamaan pada variabel yang memiliki nilai tertinggi atau terendah. Variabel yang memiliki nilai tertinggi adalah keterwakilan di parlemen sedangkan variabel yang memiliki nilai terendah yaitu rata-rata lama sekolah. Pada klaster 3 memiliki kesamaan pada variabel yang memiliki nilai terendah yaitu keterwakilan di parlemen.
4. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan baik hasil pengelompokkan pada jenis kelamin perempuan ataupun laki-laki memiliki nilai silhouette yang tidak terlalu baik. Dimana nilai tersebut menandakan bahwa klaster yang telah terbentuk adalah klaster yang lemah. Hal ini dikarenakan masih terdapat Kabupaten/Kota yang seharusnya tidak berada dalam klaster tersebut yang akan menyebabkan nilai silhouette yang didapat menjadi kecil.
Pada klaster laki-laki terbentuk 3 klaster.
Dimana pada klaster 1 beranggotakan 32 Kabupaten/Kota, anggota pada klaster 2 yaitu 43 Kabupaten/Kota, dan klaster 3 terdapat 44 Kabupaten/Kota. Pada klaster 1 variabel yang
35 | 0.26
83 memiliki nilai tertinggi yaitu rata-rata lama sekolah. Sedangkan variabel yang memiliki nilai terkecil yaitu ketenagakerjaan sebagai profesional, teknisi, administrasi. Pada klaster 2 variabel yang memiliki nilai tertinggi yaitu keterwakilan di parlemen sedangkan variabel yang memiliki nilai terendah yaitu rata-rata lama sekolah. Sedangkan pada klaster 3, variabel keterwakilan ketenagakerjaan merupakan variabel dengan nilai yang tertinggi dan variabel yang memiliki nilai terendah yaitu variabel keterwakilan di parlemen.
Pada klaster perempuan terbentuk 3 klaster.
Dimana pada klaster 1 beranggotakan 42 Kabupaten/Kota, anggota pada klaster 2 yaitu 42 Kabupaten/Kota, dan klaster 3 terdapat 35 Kabupaten/Kota. Pada klaster 1, variabel yang memiliki nilai tertinggi yaitu rata-rata lama sekolah serta variabel yang memiliki nilai terendah yaitu keterwakilan di parlemen. Pada klaster 2, variabel keterwakilan di parlemen memiliki nilai paling besar dan variabel yang memiliki nilai paling kecil yaitu rata-rata lama sekolah.
Sedangkan pada klaster 3 variabel yang memiliki nilai tertinggi yaitu variabel harapan lama sekolah dan variabel yang memiliki nilai terendah yaitu keterwakilan perempuan diparlemen. Dengan diketahuinya nilai variabel yang masih kurang pada masing-masing klaster, diharapkan pemerintah Kabupaten/Kota dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan nilai variabel tersebut.
Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu mencoba menggunakan validasi klaster yang lain, tidak hanya bergantung pada satu metode validasi klaster agar dapat dibandingkan. Serta untuk profiling klaster dapat dicobakan analisis diskriminan.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu secara substansi maupun finansial.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistika dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlidungan Anak. 2015. Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2015. Pulau Jawa: CV. Lintas Khatulistiwa.
Hair, Joseph F., Ronald L. Tatham, Rolph E.
Anderson, dan William Black. 2010.
Multivariate Data Analysis seventh edition.
New Jersey: Prentice-Hall.
Johnson, Richard, dan Dean Wichern. 2007.
Applied Multivariate Statistical Analysis (6th ed.). New Jersey: Person Prentice Hall.
Kaufman, L., & Rousseeauw, P. J. 2005. Finding Groups in Data: An Introduction to Cluster Analysis. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Merliana, Ni Putu Eka. 2015. Perbandingan Metode K-means dengan Fuzzy C-means untuk Analisa Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Kunjungan ke Perpustakaan. Tesis. Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Patil, Ruchika R., dan Amreen Khan. 2015.
Bisecting K-means for Clustering Web Log Data. International Journal of Computer Applications, Volume 116- No.19.
Savaresi, Sergio M., Daniel L. Boley, Sergio Bittanti, dan Giovanna Gazzaniga. 2000.
Choosing the Cluster to Split in Bisecting Divisive Clustering Algorithm.
Steinbatch, M., George Karypis, dan Vipin Kumar.
2000. A Comparison of Document Clustering Techniques. Proceedings of World Text Mining Conference, KDD2000, Boston.
Williams, Graham. 2014. Data Science with R Cluster Analysis. Springer
Yulianto, Safa’at, dan Kishera H. Hidayatullah.
2014. Analisis Klaster untuk Pengelompokkan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan Indikator Kesejahteraan Rakyat.
Statistika, Vol.2, No.1