• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Peranan Bahan Organik Tanah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Peranan Bahan Organik Tanah"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peranan Bahan Organik Tanah

Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, baik yang bersumber dari sisa tanaman dan binatang yang terdapat di dalam tanah yang terus-menerus mengalami perubahan bentuk karena dipengaruhi oleh faktor biologi, fisik, dan kimia. Bahan organik tanah merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang sangat penting bagi ekosistem tanah maupun terhadap perbaikan lingkungan pertumbuhan tanaman, terutama sebagai sumber (source) dan pengikat (sink) hara, serta sebagai substrat bagi mikroorganisme tanah. Menurut Stevenson (1994), peranan bahan organik tanah antara lain:

1. berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap ketersediaan hara. Bahan organik secara langsung merupakan sumber hara N, P, S, serta hara mikro. Secara tidak langsung bahan organik membebaskan hara P yang terfiksasi secara biologi maupun kimia, mengkhelat hara mikro sehingga tidak mudah hilang dari zona perakaran, serta menyediakan sumber energi bagi mikroorganisme penambat N2

2. membentuk dan memantapkan agregat tanah sehingga aerasi, permeabilitas dan infiltrasi tanah menjadi lebih baik, serta daya tahan tanah terhadap erosi lebih meningkat

3. menggemburkan tanah

4. meningkatkan retensi air yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman 5. meningkatkan retensi hara melalui peningkatan muatan dalam tanah

6. mengimobilisasi senyawa antropogenik dan logam berat yang masuk ke dalam tanah

7. meningkatkan kapasitas sangga tanah 8. meningkatkan suhu tanah

9. mensuplai energi bagi organisme tanah

10. meningkatkan organisme saprofit dan menekan organisme parasit bagi tanaman

(2)

Stevenson dan Cole (1999) menyebutkan pool bahan organik tanah di antaranya: (1) serasah, yaitu bahan makroorganik yang terletak di atas tanah, (2) fraksi ringan (light fraction), yaitu sisa tumbuhan atau hasil dekomposisi sebagian sisa tumbuhan yang terdapat di dalam tanah, (3) biomassa mikroorganisme, (4) biomassa fauna tanah, (5) senyawa organik terlarut dalam larutan tanah, (6) enzim tanah, serta (7) humus stabil (stable humus), yaitu sisa-sisa jaringan tumbuhan dan hewan yang terhumifikasi dan menjadi stabil akibat aktivitas mikroorganisme dan perubahan kimia, maupun yang berasosiasi dengan komponen anorganik tanah.

Secara umum bahan organik tanah terdiri dari dua komponen utama, yaitu senyawa non humat dan senyawa humat. Bentuk senyawa pertama dikelaskan dalam senyawa organik yang meliputi karbohidrat, lemak, zat lilin, lignin dan protein. Sedangkan bentuk berikutnya meliputi sebagian besar fraksi humus yang dipercaya merupakan hasil polimerisasi oksidasi dari senyawa-senyawa fenol, lignin dan protein dari jaringan tanaman serta metabolisme dari biota tanah. Bentuk persenyawaan ini terdiri dari berbagai macam highly acidic, yang berwarna kuning hingga agak hitam, dan polielektrolit yang memiliki bobot molekul tinggi, seperti asam humat, asam fulvat, dan lain-lain.

Berdasarkan penelitian, secara kimia asam humat, asam fulvat dan humin memiliki komposisi yang hampir sama, tetapi berbeda dalam bobot molekul dan kandungan gugus fungsionalnya. Asam humat biasanya kaya akan karbon yang berkisar antara 41-57 %, memiliki kandungan oksigen yang lebih rendah dan kandungan hidrogen dan nitrogen yang lebih tinggi daripada asam fulvat. Selain itu, asam humat memiliki kemasaman total (400-870 meq/100g) dan jumlah gugus COOH yang lebih rendah dibandingkan asam fulvat (900-1400 meq/100g). Fraksionasi senyawa humat dapat dilakukan berdasarkan kelarutan bahan-bahan tersebut dalam asam dan alkali, seperti tabel berikut:

Tabel 1. Fraksionasi Senyawa Humat Berdasarkan Kelarutannya dalam Asam dan Alkali

Fraksi Alkali Asam Alkohol

Asam fulvat larut larut -

Asam humat larut tidak larut tidak larut

Asam himatomelanik larut tidak larut larut

Humin tidak larut tidak larut tidak larut

(3)

Senyawa humat mempunyai peranan yang sangat menguntungkan di bidang pertanian. Bersama dengan fraksi primer tanah, senyawa tersebut bertanggung jawab atas sejumlah aktivitas kimia dalam tanah. Senyawa humat terlibat dalam reaksi kompleks dan dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, baik secara langsung maupun tak langsung. Secara langsung, senyawa humat dapat merangsang pertumbuhan tanaman melalui pengaruhnya terhadap metabolisme dan sejumlah proses fisiologi tanaman. Asam humat mempengaruhi pertumbuhan tanaman melalui peningkatan permeabilitas sel, sebagai pembawa nutrien ke membran sel, mempengaruhi produksi m-RNA, dan sintesis enzim, atau melalui aksi hormon pertumbuhan maupun sebagai regulator pertumbuhan tanaman. Sedangkan secara tak langsung, senyawa humat mampu memperbaiki kesuburan tanah dengan memperbaiki kondisi fisik, kimia dan biologi tanah, seperti melalui perbaikan agregat, aerasi dan kemampuan menahan air, meningkatkan KTK tanah, serta terlibat dalam ikatan kompleks liat-metal-humus melalui pertukaran ion, jerapan permukaan, khelat maupun reaksi kompleks koagulasi dan peptisasi (Stevenson dan Cole, 1999).

2.2 Dekomposisi Bahan Organik Tanah

Kandungan bahan organik di dalam tanah dipengaruhi oleh iklim, vegetasi, topografi, bahan induk dan waktu, serta pola pertanaman. Bahan organik tanah berada pada kondisi yang dinamis dan ditentukan oleh keseimbangan antara laju penambahan dan laju dekomposisinya. Stevenson (1994) menyajikan proses dekomposisi bahan organik sebagai berikut:

1. fase perombakan bahan organik segar dengan merubah ukuran bahan menjadi lebih kecil

2. fase perombakan lanjutan yang melibatkan enzim mikroorganisme tanah. Fase ini dibagi lagi menjadi beberapa tahapan, yaitu:

a. tahap awal: dicirikan dengan kehilangan secara cepat bahan-bahan yang mudah terdekomposisi akibat pemanfaatan bahan organik sebagai sumber karbon dan energi oleh mikroorganisme tanah, terutama bakteri

b. tahap kedua: dicirikan dengan terbentuknya senyawa organik sebagai produk intermediet dan biomassa baru sel organisme

(4)

c. tahap akhir: dicirikan dengan terjadinya dekomposisi secara berangsur bagian jaringan tanaman atau hewan yang lebih resisten, dan peran fungi dan aktinomicetes pada tahap ini lebih dominan

3. fase perombakan dan sintesis ulang senyawa-senyawa organik (humifikasi) membentuk humus

Proses dekomposisi bahan organik secara umum terbagi menjadi dua sistem, yaitu dekomposisi aerobik dan dekomposisi anaerobik. Dekomposisi aerobik merupakan proses dekomposisi bahan organik yang melibatkan adanya O2 bebas, dengan hasil akhir utama proses tersebut adalah H2O, CO2, unsur hara, dan energi. Reaksi-reaksi yang terjadi pada pengomposan aerobik di antaranya: a. gula sederhana (CH2O)x + x O2 → x CO2 + x H2O + energi

b. protein (N-organik) → NH4+ → NO2- → NO3- + energi c. S-organik + x O2 → SO42- + energi

d. P-organik, fitin, lesitin → H3PO4 → Ca(HPO4)

Mikroorganisme yang terlibat dalam dekomposisi aerobik di antaranya fungi, bakteri dan aktinomicetes. Fungi sangat respon terhadap aerasi yang baik selama proses dekomposisi dan dapat tumbuh cepat dalam keadaan aerobik. Metabolisme fungi lebih efisien dibandingkan dengan bakteri. Mikroorganisme tersebut juga lebih banyak menggunakan karbon dan nitrogen, namun menghasilkan lebih sedikit CO2 dan ammonium dibandingkan dengan bakteri. Kurang lebih 50 % bahan organik yang dilapuk oleh fungi digunakan untuk membentuk sel tubuhnya, sedangkan bakteri hanya mampu mengasimilasi 5-10 % C melalui proses metabolismenya. Respon aktinomicetes terhadap dekomposisi bahan organik kurang efektif dibandingkan kedua mikroorganisme sebelumnya. Pada dekomposisi tersebut bila aerasi dan kelembaban bahan organik cukup baik, maka metabolisme dari beberapa mikroorganisme menjadi meningkat.

Sedangkan dekomposisi anaerobik merupakan proses dekomposisi bahan organik tanpa O2 bebas, dengan hasil utamanya adalah CH4, CO2, dan sejumlah hasil antara. Bahan organik yang memiliki BOD (Biological Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand) yang tinggi, serta berada dalam kapasitas yang sangat besar lebih efektif apabila didekomposisikan secara anaerobik. Secara garis besar mekanisme dekomposisi ini terdiri dari tiga tahapan proses penting, di mana

(5)

masing-masing tahapan didominasi oleh jenis bakteri pengurai yang berbeda, yaitu:

a. tahap pertama merupakan tahap pemecahan polimer menjadi bentuk lebih sederhana secara enzimatik oleh enzim ekstraselular (selulose, amilase, protease, dan lipase) melalui proses hidrolisis dan fermentasi. Kelompok mikroorganisme fakultatif berperan dalam pemecahan substrat organik dengan memutuskan rantai panjang karbohidrat kompleks, protein, dan lipid menjadi senyawa rantai pendek agar lebih mudah larut dan dapat dijadikan sebagai substrat bagi mikroorganisme berikutnya

b. tahap kedua merupakan tahap produksi asam melalui proses asetogenesis dan dehidrogenasi. Bakteri yang berperan pada tahap ini merupakan bakteri anaerobik yang dapat tumbuh dan berkembang pada keadaan asam, seperti Clostridium, Syntrobacter wolinii dan Syntrophomonas wolfei (Sim, 2005). Bakteri tersebut menghasilkan asam dengan mengubah senyawa rantai pendek hasil proses tahap hidrolisis menjadi asam-asam organik (asam asetat, propionat, laktat, formiat, butirat atau suksinat), alkohol dan keton (metanol, etanol, gliserol dan aseton), hidrogen (H2), dan karbon dioksida

c. tahap ketiga merupakan tahap pembentukan gas metana melalui proses metanogenesis. Pada tahapan ini bakteri metanogenik, seperti Methanococcus, Methanosarcina, Methanobacillus, dan Methanobacterium, merombak H2, CO2,dan asam asetat membentuk gas metana dan CO2

Untuk memperoleh efisiensi perombakan yang tinggi, maka kondisi optimum yang mendukung kehidupan mikroorganisme yang terlibat pada kedua proses dekomposisi tersebut perlu diperhatikan. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam sistem perombakan antara lain: karakteristik bahan baku, rasio C/N, suhu, pH, Eh, ketersediaan unsur hara, dan efek racun.

2.3 Limbah Cair Kelapa Sawit

Untuk mendapatkan minyak dari tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, dilakukan proses fisik melalui berbagai tahapan proses seperti perebusan, pembantingan, pengepresan, klarifikasi, pemurnian, dan pemecahan biji. Selama proses pengolahan tersebut, air merupakan salah satu material yang sangat

(6)

penting, di mana kebutuhan air untuk pengolahan setiap ton TBS diperkirakan sekitar 1-2 m3. Oleh karena itu, proses pengolahan kelapa sawit menjadi minyak kelapa sawit dan minyak inti sawit akan menghasilkan limbah cair dalam jumlah yang cukup besar, yaitu sekitar 0.5-0.6 m3 limbah cair setiap ton TBS yang diolah atau setara 2.5 m3 limbah cair setiap ton CPO yang diproduksi (Satyoso et al., 2005). Menurut Lee (2006), limbah cair pengolahan sawit dihasilkan dari tiga proses utama, yaitu air kondensat dari proses perebusan TBS (sterilizer condensate) (± 150-175 kg/ton TBS ~ 36 % total limbah cair), air pencucian dari proses klarifikasi (oil clarification) (± 350-450 kg/ton TBS ~ 60 % total limbah cair), serta air hidrosiklon dari pemisahan campuran kernel dengan cangkang (~ 4 % total limbah cair).

Limbah cair yang dihasilkan, atau dikenal dengan istilah POME (Palm Oil Mill Effluent), merupakan suspensi koloid yang terdiri dari 95-96 % air, 0.6-0.8 % minyak dan lemak, serta 4-5 % total padatan yang meliputi 2-4 % suspensi padatan yang berasal dari bahan serat berminyak dari buah kelapa sawit dan biji sawit. Limbah tersebut berwarna coklat pekat dan memiliki suhu keluaran 80-90 oC, BOD sebesar 25000 mg/l, dan COD sebesar 50000 mg/l, serta pH cukup masam (pH 4.2-4.7) (Ibrahim et al., 2004; Lee, 2006).

Selama ini untuk memenuhi standar lingkungan agar limbah cair dapat dialirkan ke perairan bebas atau dibuang ke alam (menurut Kep. Menteri Lingkungan Hidup No. Kep-51/menLH/10/95 mengenai baku mutu limbah cair untuk industri minyak sawit, yaitu: 100 mg/l untuk BOD, 350 mg/l untuk COD, kisaran pH 6.0-9.0, 250 mg/l untuk total padatan tersuspensi, serta 25 mg/l untuk kadar minyak dan lemak), proses pengolahan yang biasa dilakukan antara lain: (1) Open Ponding Systems, yaitu pengolahan limbah secara biologi konvensional yang berbasis pada proses dekomposisi anaerobik dan aerobik oleh mikroorganisme tertentu untuk merombak polutan organik dalam beberapa kolam pengendapan dan pemisahan limbah (Lampiran 1), dan (2) mendekomposisikan limbah cair secara anaerobik murni dalam biodigester (Lampiran 2) (Lubis et al., 2004; Yeoh, 2004).

(7)

2.4 Potensi Pemanfaatan Limbah Cair Kelapa Sawit Sebagai Pupuk Organik

Pupuk organik merupakan pupuk yang berbahan dasar bahan organik terlapuk atau terdekomposisi akibat aktivitas mikroorganisme yang bersifat multiguna, yaitu selain dapat menyediakan unsur bagi tanah dan memperbaiki sifat fisik tanah, juga dapat meminimalkan pencemaran lingkungan. Berdasarkan hasil analisis kimia yang diperoleh dalam limbah cair sebelum dan sesudah pengolahan secara biologis (Tabel 2), diketahui bahwa limbah cair pengolahan kelapa sawit yang dihasilkan tidak saja mengandung senyawa organik yang cukup tinggi, seperti asam lemak dan asam amino, namun juga mengandung senyawa anorganik, seperti N, P, K, Ca, dan Mg sebagai hara makro, serta Fe, Mn, Cu, dan Zn sebagai hara mikro yang sangat dibutuhkan tanaman kelapa sawit untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi buah sawit.

Tabel 2. Komponen Kimia Limbah Cair Pengolahan Sawit Sebelum dan Setelah Pengolahan Biologis Pengolahan WR (hari) BOD N P K Mg --- (mg/l) --- POME awal - 25000 500-900 90-140 1000-1975 250-340 Kolam pengasaman 5 25000 500-900 90-140 1000-1975 250-340 Kolam anaerobik primer 75 3500-5000 675 90-110 1000-1850 250-320 Kolam anaerobik sekunder 35 2000-3500 450 62-85 875-1250 160-215 Kolam aerobik 15-21 100-200 80 5-15 420-670 25-55 Kolam pengendapan 2 100-150 40-70 3-15 330-650 17-40

Sumber: Satyoso et al. (2005)

Selanjutnya aplikasi limbah cair terolah ke areal perkebunan kelapa sawit menggunakan metode flat-bed dan sprinkler dengan dosis setara dengan curah hujan 3.3-13.3 cm per tahun (setara 330-1330 m3/ha/tahun), diketahui dapat meningkatkan produksi TBS sebesar 10-23 % dibandingkan kontrol yang menggunakan pupuk anorganik (Yeoh, 2004). Okwute et al. (2007) menambahkan bahwa aplikasi limbah cair sebagai sumber bahan organik mampu meningkatkan kandungan C organik, N total, P tersedia, kapasitas tukar kation (KTK), pH tanah, daya retensi air, kemantapan agregat tanah, serta jumlah mikroorganisme tanah.

(8)

Hasil yang cukup signifikan terhadap pengaruh aplikasi limbah cair tersebut dapat disebabkan oleh adanya peningkatan ketersediaan beberapa hara essensial yang dibutuhkan tanaman dalam limbah cair terolah yang dihasilkan, maupun karena cukup tingginya kandungan senyawa humat di dalamnya, seperti asam humat dan asam fulvat. Dan dalam pengaplikasiannya di lapang, senyawa humat bertanggung jawab atas sejumlah aktivitas kimia dalam tanah dan dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, baik pengaruhnya terhadap perbaikan sifat-sifat tanah sebagai media tumbuh dan berkembangnya tanaman, juga pengaruhnya terhadap metabolisme dan sejumlah proses fisiologi lainnya.

Kondisi ini menunjukkan bahwa limbah cair terolah berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai pupuk organik cair sehingga dapat menyeimbangkan atau mengurangi penggunaan pupuk anorganik. Disebutkan pula bahwa pemanfaatan pupuk organik terutama dalam bentuk cair, memiliki beberapa keuntungan, di antaranya lebih efektif dan efisien dalam mengatasi defisiensi hara dan kendala pencucian hara, serta penguapan hara terhadap suhu tinggi karena adanya bahan pengikat.

2.5 Potensi Pemanfaatan Limbah Cair Kelapa Sawit Sebagai Biogas

Yeoh (2004) mengemukakan bahwa limbah cair pengolahan sawit dapat didekomposisikan secara biologik dengan memanfaatkan mikroorganisme aerobik, anaerobik, maupun fakultatif. Akan tetapi pengolahan limbah organik cair dengan beban BOD dan COD yang tinggi, serta dalam kapasitas sangat besar akan lebih efektif apabila dirombak secara anaerobik. Secara umum Herlambang (2002) menyebutkan beberapa keunggulan dekomposisi secara anaerobik, yaitu: 1. pada kondisi anaerobik, CO2 yang ada dapat segera digunakan sebagai

penerima elektron, dan tidak membutuhkan O2 (di mana penggunaan O2 pada perombakan limbah dengan beban tinggi menambah biaya yang cukup besar) 2. dihasilkannya lebih sedikit lumpur (2-30 kali lebih sedikit dari dekomposisi

aerobik)

3. pada kondisi aerobik, 50 % dari kandungan C organik substrat diubah menjadi biomassa mikroorganisme, sedangkan pada kondisi anaerobik hanya 5 % 4. sistem anaerobik dapat merombak senyawa xenobiotik dan senyawa alami

(9)

5. sebagian besar energi yang dihasilkan dari pemecahan substrat ditemukan dalam hasil akhir yang berupa gas metana

Pengolahan limbah cair pada kondisi anaerobik selain akan mengurangi beban cemaran, juga akan menghasilkan biogas. Biogas merupakan salah satu jenis energi terbarukan yang dapat dihasilkan dari senyawa organik melalui proses dekomposisi anaerobik akibat aktivitas mikroorganisme anaerobik yang bekerja optimum pada kondisi tanpa udara atau oksigen. Biogas yang dihasilkan selain terdiri dari gas metana dan karbon dioksida, juga mengandung gas lain seperti karbon monoksida, hidrogen, nitrogen, oksigen, dan hidrogen sulfida, di mana komposisi gas-gas tersebut dipengaruhi oleh bahan baku atau substrat yang masuk ke dalam digester (Suriawiria, 2005).

Gas metana merupakan gas yang mendominasi kandungan biogas, bersifat tidak berwarna, tidak berbau, dan mudah terbakar. Gas tersebut dihasilkan oleh bakteri metanogen yang bersifat anaerobik selama perombakan bahan organik. Gas metana yang terdapat dalam biogas, seperti halnya gas alam, dapat digunakan untuk berbagai keperluan, misalnya sebagai bahan bakar keperluan rumah tangga (terutama untuk memasak dan lampu penerangan), juga untuk menjalankan generator sebagai penghasil listrik dan penggerak motor bakar.

Potensi biogas yang dihasilkan secara anaerobik diperkirakan mencapai 28 m3 per ton limbah cair atau 1380 ml biogas untuk setiap mg BOD yang terurai ataupun sebanyak 870 l gas metan untuk setiap total padatan dalam limbah cair. Biogas mengandung berbagai macam gas, baik yang dapat dibakar maupun yang tidak dapat dibakar. Gas yang tidak dapat dibakar merupakan kendala yang dapat mengurangi mutu pembakaran atau nilai kalor biogas yang diproduksi. Nilai kalor biogas dipengaruhi oleh komposisi gas metana dan karbon dioksida, serta kadar air di dalam gas yang dihasilkan. Untuk biogas dengan kisaran normal, yaitu 60-70% metana dan 30-40% karbon dioksida, nilai kalornya antara 20 –26 kJ/dm3, di mana kesetaraan energi termal 1 m3 biogas setara dengan 0.65 liter bahan bakar minyak (Yeoh, 2004).

Gambar

Tabel 1. Fraksionasi Senyawa Humat Berdasarkan Kelarutannya dalam Asam dan  Alkali
Tabel 2. Komponen Kimia Limbah Cair Pengolahan Sawit Sebelum dan Setelah  Pengolahan Biologis   Pengolahan WR  (hari)  BOD N P  K  Mg ----------------------- (mg/l) -----------------------   POME awal  -  25000  500-900  90-140  1000-1975  250-340  Kolam

Referensi

Dokumen terkait

Kelayakan model divalidasi oleh ahli model, ahli materi, dan guru biologi (praktisi). Subjek uji coba pada penelitian ini adalah siswa kelas X MIA dengan rincian 23

User dapat mengetahui nama anggota beserta alamat anggota yang belum mengembalikan buku beserta tanggal buku tersebut harus di kembalikan Sistem harus dapat melakukan

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan dalam menyelesaikan permasalahan CVRP menggunakan algoritma sweep, diperoleh total jarak tempuh kendaraan yaitu 142.9 km

Kelompok Etnis Tamil yang merupakan kelompok minoritas di Ceylon, merasa bahwa kebijakan yang ditetapkan oleh Perdana Menteri Solomon Bandaranaike telah membuat

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa isolat fungi endofit dari bunga cengkeh ( Syzygium aromaticum L.) dengan kode isolat IFBC-01 memiliki

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini yaitu: 1) Untuk meneliti apakah asimetri informasi, ukuran perusahaan dan Leverage secara

Menurut dari hasil penelitian dari (Aprilia, 2007) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan didapatkan hasil yang berpengaruh secara signifikan terhadap

Menentukan barang dan jasa yang harus diproduksi (what to produce), Karena sumber daya terbatas sementara kebutuhan tidak terbatas, maka tidak semua barang dan jasa yang