• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian

Manusia diciptakan sebagai makhluk terbaik yang memiliki banyak dimensi dalam dirinya (Hakiki & Kesuma, 2018; Rochmad & Awaludin, 2020; Rusdiana, 2017; W. Setiawan, 2016). Dimensi-dimensi tersebut merupakan hal ikhwal yang berhubungan dengan misi kehidupannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dimensi- dimensi tersebut meliputi dimensi fisik, dimensi akal, dimensi spiritual, dimensi religius, dimensi kejiwaan, dimensi keindahan dan dimensi sosial kemasyarakatan (Idris & Tabrani, 2017; Lubis, 2020; Mulyadi, 2019; Nuryana, 2017). Untuk mengembangkan dimensi-dimensi yang dimiliki oleh manusia, diperlukan pendidikan. Melalui pendidikan, manusia berproses menjadi manusia dewasa pada setiap dimensi kehidupannya. (Kassymova et al., 2018; Khumaidi, 2020; Mukodi, 2018; Soraya, 2020). Proses pendewasaan manusia tersebut bisa dilaksanakan di sekolah secara formal dengan kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah, nonformal di lembaga-lembaga pendidikan dan informal yang berlangsung di dalam lingkungan dan keluarga (Cha & So, 2020; Darlis, 2017; Manolescu et al., 2018).

Pendidikan agama pada sekolah formal merupakan langkah untuk mendewasakan dimensi spiritual religius manusia. Pendidikan agama sebagai sebuah mata pelajaran di sekolah merupakan sebuah upaya untuk memenuhi kebutuhan manusia sebagai makhluk religious (Alvis, 2019; Sulaiman, 2019; Zaprulkhan, 2019). Spiritual merupakan salah satu kebutuhan fundamental manusia untuk mempertahankan keharmonisan dan keselarasan dengan dunia luar. Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan (Alvis, 2019;

Kozier et al., 2017).

Sebagai bagian yang sangat fundamental dalam pemenuhan kebutuhan spiritual manusia, pendidikan agama sejak dini merupakan kunci yang tidak bisa diabaikan.

Membekali anak dengan pendidikan agama dapat menjadikan seorang anak kokoh

(2)

2 pendirian dan tidak mudah digoyahkan oleh godaan perbuatan negatif. Dengan pengetahuan keagamaan yang dimiliki, anak dapat membedakan baik-buruk, benar- salah dalam kehidupan sosialnya. Melalui pendidikan agama, anak diharapkan memiliki kesadaran tentang keberadaan dirinya, tanggung jawab, dan perilaku indah yang seharusnya ditampakkan dalam kehidupan sehari-hari (Croitoru & Munteanu, 2014; Mahmudi, 2019; McCullough & Willoughby, 2009; Sulaiman et al., 2018).

Dengan demikian, pendidikan agama juga merupakan proses pendewasaan manusia pada semua dimensi kehidupannya.

Pentingnya pendidikan agama didasarkan pada kenyataan bahwa agama memiliki pengaruh dominan agar tercipta kehidupan yang stabil pada jalan yang benar. Menyadari besarnya peran agama bagi kehidupan umat manusia, maka nilai- nilai agama perlu ditanamkan sejak dini pada setiap individu melalui pendidikan di sekolah, keluarga maupun masyarakat (Alontseva et al., 2019; Laili, 2020).

Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah sebagai sebuah mata pelajaran yang tidak terpisahkan dari kurikulum. Pendidikan Agama sebagai mata pelajaran wajib pada sekolah formal tidak hanya bertujuan meletakkan landasan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi tetapi juga bertujuan agar peserta didik memiliki keimanan dan ketakwaan terhadap agama yang dianutnya serta mampu melaksanakan ajaran agamanya (Habibi, 2017; Rusmin B., 2017; Su’dadah, 2014).

Tujuan tersebut diharapkan dapat dicapai melalui pemberian pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman kepada siswa (Majid & Andayani, 2005).

Pendidikan agama penting diberikan kepada anak termasuk difabel karena selain untuk memenuhi kebutuhan religiusnya, sebagian difabel tetap dikenakan kewajiban menjalankan syariah (taklif) (An-Nawawi Al-Bantani, 2002; PBNU, 2018). Taklif adalah hukum-hukum syariah mengenai perbuatan mukallaf. Mukallaf adalah orang dewasa dan berakal sehat yang merupakan pengemban taklif. Orang yang berakal sempurna dan mengalami keterbatasan fisik, ia terkena kewajiban menjalankan syariah sejauh dakwah sampai kepadanya. Maka, dalam sudut pandang fiqhiyyah, kondisi difabel tidak serta-merta menghapus status seseorang sebagai subjek hukum (mukallaf) sebagaimana yang tersirat di dalam QS. Al-Nur ayat 61:

(3)

3 َح ِضْيِرَمْلا ىَلَع َلْ َّو ٌجَرَح ِجَرْعَ ْلْا ىَلَع َلَّْو ٌجَرَح ىٰمْعَ ْلْا ىَلَع َسْيَل ْْۢنِم ا ْوُلُكْأَت ْنَا ْمُكِسُفْنَا ىٰٰٓلَع َلْ َّو ٌجَر

َا ْمُكِتٰوَخَا ِت ْوُيُب ْوَا ْمُكِناَوْخِا ِت ْوُيُب ْوَا ْمُكِتٰهَّمُا ِت ْوُيُب ْوَا ْمُكِٕىۤاَبٰا ِت ْوُيُب ْوَا ْمُكِتْوُيُب ْوَا ْمُكِتّٰمَع ِت ْوُيُب ْوَا ْمُكِماَمْعَا ِت ْوُيُب ْو

ِلاَوْخَا ِت ْوُيُب ْوُلُكْأَت ْنَا ٌحاَنُج ْمُكْيَلَع َسْيَل ْْۗمُكِقْيِدَص ْوَا ٰٓ هَحِتاَفَّم ْمُتْكَلَم اَم ْوَا ْمُكِتٰلٰخ ِت ْوُيُب ْوَا ْمُك

اَذِاَف ْۗاًتاَتْشَا ْوَا اًعْيِمَج ا

ًةَكَرٰبُم ِ ّٰاللّٰ ِدْنِع ْنِ م ًةَّيِحَت ْمُكِسُفْنَا ىٰٰٓلَع ا ْوُمِ لَسَف اًتْوُيُب ْمُتْلَخَد َن ْوُلِقْعَت ْمُكَّلَعَل ِتٰيْٰلْا ُمُكَل ُ ّٰاللّٰ ُنِ يَبُي َكِلٰذَك ْۗ ًةَبِ يَط

ࣖ ٦١

Artinya: Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu, makan (bersama- sama mereka) di rumah kamu atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu- ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara- saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki- laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara- saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, (di rumah) yang kamu miliki kuncinya atau (di rumah) kawan- kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri. Apabila kamu memasuki rumah-rumah hendaklah kamu memberi salam (kepada penghuninya, yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, dengan salam yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah.

Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya) bagimu, agar kamu mengerti.

Penyandang disabilitas wajib menjalankan kewajiban syariah selama akalnya masih mampu bekerja dengan baik, tetapi pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuannya (Fikri, 2015; Hadi, 2016; PBNU, 2018). Di antara kondisi difabel yang tidak menghapus kewajiban seseorang sebagai mukallaf adalah difabel daksa, difabel netra dan difabel rungu, kecuali seseorang dengan kondisi difabel ganda netra dan rungu maka statusnya berbeda. Apabila kondisi difabel ganda tersebut terjadi sejak lahir, maka penyandang difabel ganda tersebut tidak termasuk kategori mukallaf dikarenakan sulitnya dakwah Islam sampai kepadanya (An-Nawawi Al- Bantani, 2002, 2011; Tihami, 1998).

Berdasarkan hal tersebut, maka sebagian penyandang difabel tetap dikenakan kewajiban menjalankan syariah (An-Nawawi Al-Bantani, 2002, 2011; PBNU, 2018), sehingga pemerintah memiliki kewajiban untuk memenuhi hak difabel menjalankan syariah. Mengingat pentingnya memenuhi hak difabel, terutama dalam masalah hak untuk menjalankan agamanya, maka pemerintah memiliki kewajiban menyediakan layanan dan fasilitas publik yang ramah difabel termasuk layanan dan fasilitas pendidikan agama khususnya Pendidikan Agama Islam. Di dalam al-Qur’an pun diisyaratkan bahwa kaum difabel juga berhak mendapatkan kesempatan untuk mempelajari agama. Hal tersebut tersirat di dalam QS. Abasa ayat 1 -2:

ٰٓۙٓىّٰلَوَتَو َسَبَع ْۗىٰمْعَ ْلْا ُهَءۤاَج ْنَا١

٢

(4)

4 Artinya: 1. Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, 2. Karena seorang buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum).

Berdasarkan Asbab al-nuzul QS. Abasa ayat 1-2, disebutkan bahwa seorang pria buta bernama Abdullah bin Ummi Maktum, anak paman Khadijah, menghadap Nabi untuk meminta petunjuk. Ketika itu Nabi tengah berdakwah kepada para pemuka Quraisy. Nabi kurang berkenan dengan kedatangannya dan bermuka masam.

Atas perilaku tersebut Allah menegurnya dengan halus. Dengan teguran itu Allah menghendaki agar Nabi Muhammad melakukan hal yang lebih utama, yaitu memperhatikan orang yang sungguh-sungguh mencari kebenaran dan berpegang teguh dengan Islam, tidak peduli ia dari kalangan fakir miskin bahkan cacat (Al- Naysaburi, 2005).

Pendidikan Agama Islam bagi difabel hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik dan dilaksanakan dengan cara khusus sesuai jenis kecacatannya (Isti & Widodo, 2019). Pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam bagi difabel khususnya tunarungu merupakan tantangan bagi guru.

Keterbatasan dalam berkomunikasi yang dialami oleh anak tunarungu, menuntut keterampilan guru menggunakan model pembelajaran yang sesuai karena mata pelajaran Pendidikan Agama Islam tidak hanya sekedar mencakup sejarah, fakta dan atau nilai-nilai karakter tetapi juga mencakup cara melaksanakan kewajiban dan bacaan apa yang perlu dibaca saat melaksanakan kewajiban tersebut seperti bacaan shalat, bacaan Al-Qur’an dan bacaan dalam ibadah lainnya (Sejati & Hasan, 2019).

Pendidikan Agama Islam sebagai mata pelajaran yang tidak terpisahkan dari kurikulum yang mencakup Akidah, Fiqih, Al-Qur’an dan Hadits, dan Sejarah Kebudayaan Islam tidak hanya mencakup fakta-fakta yang harus dihafal (Elkarimah, 2018; Zubaidullah & Nuruddaroini, 2019), sehingga perlu disampaikan dengan berbagai macam model pembelajaran. Karena ragamnya materi, latar belakang siswa maka pendidikan agama Islam tidak bisa diajarkan hanya dengan satu model pembelajaran saja.

Mengajarkan agama pada anak penyandang disabilitas tentu berbeda dengan mengajarkan agama kepada anak normal baik dari segi materi, pendekatan, strategi, metode, teknik dan lain sebagainya (Hamidah, 2015; Meria, 2015). Pendekatan, strategi, metode dan teknik pembelajaran tersebut membentuk model pembelajaran.

(5)

5 Model pembelajaran beraneka ragam tidak ada yang lebih baik antara satu dan yang lainnya. Model pembelajaran PAI yang digunakan oleh guru di sekolah regular bisa jadi berbeda dengan model pembelajaran PAI di sekolah luar biasa.

Sekolah luar biasa merupakan satuan pendidikan khusus tingkat dasar dan menengah untuk siswa yang memiliki kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran sebagaimana siswa pada sekolah regular, hal ini sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 32 (1) UU No. 20 tahun 2003 dan Pasal 130 (1) PP No. 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Kesulitan untuk mengikuti proses pembelajaran tersebut disebabkan karena adanya kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan istimewa sebagaimana disebutkan dalam Permendiknas No. 70 tahun 2009. Berdasarkan hal ini, maka dibutuhkan pelayanan khusus sesuai kebutuhan mereka agar peserta didik dapat berkembang secara optimal.

Pendidikan khusus diberikan kepada sekelompok orang yang memiliki karakteristik tertentu dan kebutuhan khusus berdasarkan diagnosis tidak dapat mengikuti kurikulum yang sama dengan orang lain. Anak-anak dengan kebutuhan khusus yang sama harus dididik di lingkungan yang sama dan dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan mereka (Reid et al., 2013). Pengembangan pendidikan khusus bertujuan untuk memberikan visi, prosedur dan strategi pembelajaran yang memfasilitasi proses belajar pada anak dengan kebutuhan khusus (Hornby, 2015).

Kebutuhan khusus sebagaimana yang dimaksud dalam pendidikan khusus mengacu pada kemampuan dan aktivitas seseorang yang tidak biasa, tidak sama dengan orang lain dan membutuhkan perlakuan khusus (Simo, 2010). Salah satu kelainan dengan kebutuhan khusus tersebut adalah tunarungu.

Tunarungu merupakan kelainan fisik yang dialami seseorang yang berupa kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari- hari yang membawa dampak terhadap kehidupan secara kompleks (Somat &

Herawati, 2004). Kelainan ini berdampak pada terhambatnya komunikasi verbal/

lisan, baik secara ekspresif (berbicara) maupun reseptif (memahami pembicaraan orang lain), sehingga sulit berkomunikasi dengan orang lain menggunakan bahasa

(6)

6 verbal sebagai alat komunikasi. Akibat dari terhambatnya kemampuan berkomunikasi tersebut, masyarakat seringkali memandang sebelah mata penyandang tunarungu. Padahal di dalam pandangan Islam, setiap manusia itu dipandang sama dan tidak dipandang secara fisik tetapi derajat manusia dipandang dari tingkat ketakwaannya. Sebagaimana tersirat dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:

َكَذ ْنِ م ْمُكٰنْقَلَخ اَّنِا ُساَّنلا اَهُّيَآٰٰي َّنِاْۗ ْمُكىٰقْتَا ِ ّٰاللّٰ َدْنِع ْمُكَم َرْكَا َّنِا ۚ ا ْوُفَراَعَتِل َلِٕىۤاَبَقَّو اًبْوُعُش ْمُكٰنْلَعَجَو ىٰثْنُاَّو ٍر

َ ّٰاللّٰ

ٌرْيِبَخ ٌمْيِلَع ١٣

Artinya: Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.

Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.

Begitu pula sabda Rasul SAW bahwa derajat manusia di sisi Allah SWT hanya dibedakan oleh keimanan dan amal manusia sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih Muslim nomor hadits 4651 berikut:

ِ مَصَْلْا ِنْب َديِزَي ْنَع َناَقْرُب ُنْب ُرَفْعَج اَنَثَّدَح ٍماَشِه ُنْب ُريِثَك اَنَثَّدَح ُدِقاَّنلا وٌرْمَع اَنَثَّدَح َلاَق َلاَق َة َرْيَرُه يِبَأ ْنَع

َو ْمُكِر َوُص ىَلِإ ُرُظْنَي َلْ َ َّاللّٰ َّنِإ َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُ َّاللّٰ ىَّلَص ِ َّاللّٰ ُلوُسَر ْمُكِلاَمْعَأ َو ْمُكِبوُلُق ىَلِإ ُرُظْنَي ْنِكَلَو ْمُكِلاَوْمَأ

Telah menceritakan kepada kami 'Amru An Naqid; Telah menceritakan kepada kami Katsir bin Hisyam; Telah menceritakan kepada kami Ja'far bin Burqan dari Yazid bin Al Asham dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian" (Al-Naisaburi, 1998)

Ketunarunguan merupakan ketunaan yang lebih berat dibandingkan dengan ketunanetraan karena kehilangan kemampuan untuk mendengarkan suara merupakan kehilangan rangsangan paling vital. Berdasarkan hal tersebut, maka anak penyandang tunarungu disebut sebagai children with problem in learning dan masuk dalam kategori children with special needs (Wasita, 2012). Tetapi, pelaksanaan pendidikan dan atau rehabilitasi bagi siswa tunarungu di beberapa lembaga pendidikan tampaknya belum menunjukkan hasil yang maksimal, antara lain disebabkan oleh kualitas tenaga kependidikan, kurikulum dan sistem pembelajarannya, sarana dan prasaran, serta sistem komunikasi dalam kegiatan pembelajaran (Wasita, 2012).

Poin dalam pembelajaran mencakup pendidik, peserta didik, dan sumber belajar. Agar tercipta suasana pembelajaran, maka ketiga poin tersebut harus saling terkait dalam interaksi edukatif (Hamzah, 2018). Pada siswa tunarungu, kemampuan

(7)

7 berkomunikasi bisa menghambat interaksi tersebut. Sehingga hambatan dalam berkomunikasi, berakibat juga pada hambatan dalam proses pendidikan dan pembelajaran anak tunarungu (Rahmadana & Wagino, 2016). Oleh karena permasalahan tersebut, maka anak tunarungu membutuhkan perlakuan khusus dalam pembelajaran, khususnya pembelajaran Pendidikan Agama Islam.

Pada dasarnya, anak tunarungu perlu mendapatkan pendidikan untuk mewujudkan potensi dan kemampuannya secara penuh. Pada mengembangkan potensi dan kemampuan anak tunarungu, guru mempunyai kiprah yg krusial dalam suatu proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, guru seyogyanya bisa membangun suasana belajar yang efektif dan kondusif, selain itu guru seyogyanya aktif mengembangkan pembelajaran melalui inovasi pendidikan baru, khususnya bagi anak tunarungu, sehingga anak tunarungu dapat berkembang semaksimal mungkin dan dapat menerima informasi layaknya anak-anak biasa. Selain itu, guru harus mampu membimbing siswa untuk memahami memahami ilmu yang mereka peroleh dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menciptakan suasana belajar yang baik maka perlu dibentuk model pembelajaran yang efektif berdasarkan kemampuan anak (Rahmadana & Wagino, 2016).

Penderita tunarungu mengalami kehilangan pendengaran dalam beberapa tingkatan sebagai berikut: Tunarungu yang kehilangan pendengaran 27 – 40 dB kesulitan mendengar bunyi-bunyi jauh; 41 – 55 dB memahami bahasa komunikasi, namun tidak mampu mengikuti diskusi kelas, sehingga memerlukan alat bantu dengar dan terapi bicara; 56 – 70 dB hanya bisa mendengar suara atau bunyi dari dekat, dan masih bisa melakukan percakapan dengan alat bantu bicara; 71 – 90 dB hanya bisa mendengar bunyi atau suara yang sangat dekat, bisa dianggap tuli sehingga memerlukan pendidikan khusus atau luar biasa serta alat bantu bicara; dan tunarungu yang kehilangan pendengaran di atas 91 db sadar adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak bergantung pada penglihatan daripada pendengaran untuk proses menerima informasi, dan yang bersangkutan dianggap tuli (Sumantri, 1996; Wasita, 2012). Berdasarkan tingkat kelainan tersebut, maka dalam proses pembelajaran bagi siswa tunarungu dibutuhkan pendekatan, strategi, metode dan teknik yang berbeda disesuaikan dengan tingkat ketunarunguannya.

(8)

8 Penderita tunarungu secara fisik terlihat sama dengan anak normal, memiliki kecerdasan normal dan ada pula yang berbakat secara intelektual. Gangguan pendengaran tidak memengaruhi kemampuan kognitif anak secara keseluruhan;

tetapi karena anak-anak tidak bisa mendengar sebaik anak-anak dengan pendengaran normal dia mungkin mengalami keterlambatan perkembangan sehingga membutuhkan cara khusus di dalam pendidikan (Kirk et al., 2009). Salah satu upaya mendidik anak tunarungu adalah dengan mengelompokkan mereka di sekolah luar biasa. Sekolah luar biasa yang berkembang di Indonesia memiliki beberapa bentuk, yaitu sekolah luar biasa dengan satu jenis kelainan dan satu jenjang pendidikan, sekolah luar biasa dengan beberapa jenis kelainan dan satu jenjang pendidikan, sekolah luar biasa dengan satu jenis kelainan dan beberapa jenjang pendidikan dan sekolah luar biasa dengan beberapa jenis kelainan dan beberapa jenjang pendidikan.

Berdasarkan hasil observasi awal peneliti di beberapa sekolah luar biasa, peneliti melihat bahwa meskipun mata pelajaran Pendidikan Agama Islam tercantum dalam kurikulum sekolah luar biasa, tidak semua sekolah luar biasa memberikan mata pelajaran tersebut karena tidak adanya guru berlatar belakang pendidikan agama Islam ataupun kurangnya guru dengan keahlian pendidikan khusus. Mata pelajaran PAI yang dilaksanakan di beberapa sekolah luar biasa, sama dengan mata pelajaran PAI di sekolah reguler baik dari segi kurikulum maupun proses pembelajarannya. Selanjutnya, berdasarkan observasi awal ada sebuah sekolah luar biasa khusus tunarungu di Kota Malang dan sekolah tersebut melaksanakan pembelajaran PAI. Sekolah Luar Biasa Yayasan Pendidikan Tunas Bangsa (SLB YPTB) Kota Malang yang sebelumnya bernama sekolah luar biasa Yayasan Pendidikan Tuli Bisu ini merupakan sekolah luar biasa khusus penderita tunarungu dengan tingkat ketunaan yang beragam. Penyelenggaraan pembelajaran PAI di SLB YPTB diampu oleh guru kelas dengan keahlian pendidikan luar biasa. Berdasarkan beberapa uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti model pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SLB YPTB Kota Malang.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan, maka fokus penelitian ini adalah sebagai berikut:

(9)

9 1. Bagaimana model pembelajaran PAI bagi siswa tunarungu di SLB YPTB Kota

Malang?

2. Bagaimana efektivitas model pembelajaran PAI bagi siswa tunarungu di SLB YPTB Kota Malang?.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Memahami secara mendalam model pembelajaran PAI bagi siswa tunarungu SLB YPTB Kota Malang

2. Memahami secara mendalam efektivitas model pembelajaran PAI bagi siswa tunarungu di SLB YPTB Kota Malang.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, hasil penelitian ini memberikan manfaat karena menemukan model pembelajaran yang bisa dikembangkan oleh guru PAI dalam pembelajaran PAI bagi siswa dengan tingkat ketunarunguan yang berbeda-beda.

Secara praktis hasil penelitian ini banyak memberi manfaat bagi:

1. Guru PAI di SLB

Hasil penelitian ini menjadi rujukan bagi guru PAI SLB dalam pengembangan model pembelajaran PAI bagi siswa tunarungu.

2. Program Studi Pendidikan Agama Islam

Hasil penelitian ini menjadi rujukan bagi program studi PAI dalam pengembangan pembelajaran untuk mempersiapkan calon guru PAI yang siap mengajar di SLB.

3. Lembaga yang diteliti

Berdasarkan penelitian ini lembaga bisa memberikan masukan bagi penyelenggara pendidikan, guru-guru PAI dan pengambil kebijakan kurikulum PAI dalam hal pelakasanaan pembelajaran PAI bagi siswa tunarungu.

4. Peneliti lainnya

Penelitian ini menjadi acuan untuk memperluas pemikiran dan pengalaman penulisan karya ilmiah sekaligus menjadi acuan dan refleksi untuk mengatasi kesulitan belajar yang dialami oleh anak tunarungu.

(10)

10 E. Penegasan Istilah

Demi keakuratan penelitian ini, peneliti mendefinisikan beberapa istilah yang urgen untuk menegaskan batasan penelitian ini adalah:

1. Model Pembelajaran

Model pembelajaran adalah kerangka setting pembelajaran yang meliputi perilaku guru dalam membantu siswa memperoleh informasi, gagasan, keterampilan, nilai dan cara berpikir. Model pembelajaran dapat diartikan sebagai penggambaran lingkungan belajar mengajar, termasuk perilaku guru dan siswa saat pembelajaran disajikan melalui model tersebut. Model pengajaran memungkinkan siswa untuk terlibat dalam tugas kognitif dan sosial yang kuat dan mengajari siswa bagaimana menggunakannya secara produktif (Joyce et al., 2016). Model pengajaran adalah rencana instruksional khusus yang dirancang sesuai dengan teori pembelajaran yang bersangkutan. Ini memberikan cetak biru yang komprehensif untuk kurikulum untuk merancang bahan ajar, perencanaan pelajaran, peran guru murid, alat bantu penunjang dan lain sebagainya. Sehingga dikatakan bahwa model itu adalah strategi pengajaran preskriptif yang membantu mewujudkan tujuan instruksional tertentu. Model pembelajaran membantu siswa untuk memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berpikir dan cara mengekspresikan diri (P. D.

Eggen et al., 1979).

Model pembelajaran dalam penelitian ini adalah keseluruhan proses pembelajaran yang mencakup pendekatan, strategi, metode dan teknik pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran PAI.

2. Pendidikan Agama Islam

Pendidikan Agama Islam adalah ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi way of life (pandangan dan sikap hidup) bagi setiap muslim (Muhaimin, 2005). Pendidikan Agama Islam merupakan suatu program pendidikan yang menanamkan nilai-nilai Islam melalui proses pembelajaran, baik di kelas maupun di luar kelas (Syahidin, 2009). Pendidikan agama Islam merupakan mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran pokok Islam.

Berdasarkan muatannya, Pendidikan Agama Islam merupakan mata pelajaran

(11)

11 utama, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan tidak lepas dari mata pelajaran yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan moral dan kepribadian peserta didik.

Sedangkan Pendidikan Agama Islam dalam penelitian ini adalah mata pelajaran PAI yang diajarkan di SDLB-B YPTB Kota Malang.

3. Tunarungu

Tunarungu adalah seseorang yang mengalami gangguan pendengaran berupa kehilangan sebagian atau seluruh kemampuan pendengarannya (Gunadi, 2011).

Seseorang dikatakan sebagai tunarungu apabila memiliki hambatan dalam fungsi pendengarannya. Tunarungu adalah suatu kondisi seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan indera pendengaran sehingga tidak mampu menangkap rangsangan berupa bunyi, suara atau rangsangan lain melalui pendengaran (Faradisya & Sopandi, 2019; Karuniasih et al., 2017).

Tunarungu dalam penelitian ini adalah siswa yang mengalami gangguan pendengaran baik sebagian maupun seluruh kemampuan pendengarannya yang mengikuti pembelajaran PAI di SDLB-B YPTB Kota Malang.

4. Sekolah Luar Biasa

Sekolah luar biasa (SLB) adalah lembaga pendidikan yang dipersiapkan untuk menangani dan memberikan pelayanan pendidikan secara khusus bagi anak yang mengalami kesulitan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran karena kelainan tertentu (Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Biasa, 1991). Sekolah luar biasa adalah sekolah yang diperuntukkan bagi anak dengan kebutuhan khusus agar mendapatkan layanan yang bisa membantunya mengakses pendidikan.

SLB yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lembaga pendidikan formal bagi anak-anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak-anak lainnya dan mengalami gangguan pendengaran dan komunikasi (SLB-B).

Jenjang pendidikan dalam penelitian ini adalah sekolah dasar. Sehingga yang dimaksud dengan sekolah luar biasa pada penelitian ini adalah sekolah dasar

(12)

12 luar biasa untuk tunarungu (SDLB-B) di Kota Malang yaitu SDLB-B Yayasan Pendidikan Tunas Bangsa.

F. Kerangka Berfikir

1. Tidak semua SLB melaksanakan pembelajaran PAI 2. Mata pelajaran PAI di SLB sama dengan PAI di sekolah

reguler

3. SLB YPTB melaksanakan pembelajaran PAI

4. Mata pelajaran PAI di SLB YPTB berbeda dengan PAI di sekolah reguler

5. Mata pelajaran PAI di SLB YPTB diampu oleh guru kelas dengan keahlian pendidikan khusus

1. PAI adalah mata pelajaran wajib di sekolah formal 2. Pembelajaran harus

disesuaikan dengan karakteristik siswa

1. PAI sebagai mata pelajaran

2. Model Pembelajaran 3. Konsep Tunarungu 4. Pendekatan

Pembelajaran bagi tunarungu 5. Efektivitas

pembelajaran Gagasan Utama

Model pembelajaran PAI bagi siswa tunarungu

Tujuan Penelitian 1. Memahami secara mendalam

model pembelajaran PAI bagi siswa tunarungu di SLB YPTB Kota Malang

2. Memahami secara mendalam efektifitas model pembelajaran PAI bagi siswa tunarungu di SLB YPTB Kota Malang

Metode Penelitian 1. Paradigma: Konstruktivistis

2. Pendekatan: Kualitatif 3. Jenis Penelitian: Studi Kasus

4. Lokasi Penelitian: SDLB-B YPTB Kota Malang 5. Subyek Penelitian: Guru, Siswa dan Orang Tua

6. Teknik Pengumpulan Data: Observasi, Wawancara, Dokumenter dan Kuesioner 7. Analisis Data: Penjodohan Pola dan penyusunan penjelasan

8. Uji keabsahan data: Triangulasi metode, triangulasi sumber dan member checking

MODEL PEMBELAJARAN PAI BAGI SISWA TUNARUNGU DI SLB YPTB KOTA MALANG

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Amir Rohkyatmo (1986:76)jenis tari berdasarkan fungsi adalah tari upacara, tari hiburan dan tari pertunjukan. Tari upacara sebagai media persembahan

Disintegrants for Pharmaceutical and Nutraceutical Orally Disintegrating Tablets.. Roquette Freres: Western

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak etanol daun pelawan dengan dosis 100 mg/ kg BB pada tikus betina setelah melahirkan

Menurut peneliti tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian penyalahgunaan narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Anak kelas II b Pekanbarukarena mayoritas responden

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah peneliti lakukan dengan kepala sekolah serta keempat guru pendidikan agama Islam, maka dapat diambil kesimpulan bahwa

Ibukota Kecamatan dan sekitamya tentunya akan sangat berpengaruh terhadap lancarnya pemasaran, hasil pertanian. Demikian juga pembangunan / peningkatan ruas jalan dari Ampah Kota

Kata Seni dapat diartikan sebagai sesuatu karya yang indah dan luar biasa hasil cipta, rasa, karsa manusia, sedangkan untuk pengertian Musik adalah hasil