98 HAK ATAS TANAH YANG JANGKA WAKTUNYA SUDAH HABIS DIWARISKAN KEPADA AHLI WARIS (STUDI KASUS HAK GUNA BANGUNAN NOMOR 111/KWITANG)
Carissa Janice
(Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara) (E-mail: [email protected])
Hanafi Tanawijaya, S.H., M.H.
(Corresponding Author)
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara. Meraih Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara)
(E-mail: [email protected])
Abstract
Building rights title can be terminated due to its period of time. The land will be returned to its owner when the period of time is over. However, there’s some building rights title whose period of time is over that is still be included in some certificate of inheritance or wills although according to Law Number 5 of 1960 also referred to as UUPA or the Basic Agrarian Law Act the land has to be returned to the state or to its owner. Can building rights title which has expired be inherited by the heirs? And how is the dividing method? The research data shows that there are some different opinions from the results of the interview about the expiration time of building rights title. Building rights title that has expired cannot be extended but rights renewal can be done. Therefore, the building tights title is requested for rights renewal only then be divided according to its rightful heirs.
Keywords: Basic Agrarian Law Act, Building Rights titles, expiration, inheritance
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Hak atas tanah merupakan sesuatu yang penting bagi masyarakat saat ini.
Hak atas tanah diatur secara spesifik dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria selanjutnya disebut UUPA.
Hak atas tanah menurut UUPA sendiri bersumber dari Pasal 33 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 yang berisi, “Bumi, air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh negara.” Sehingga hak menguasai dari negara kemudian
tertuang secara spesifik dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA yang memberi wewenang
kepada negara untuk: “mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
99 penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang dengan bumi,air dan ruang angkasa; menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.”Kemudian hak atas tanah tersebut terbagi menjadi beberapa jenis.
Jenis-jenis hak atas tanah menurut Sri Hajati menyatakan bahwa hak atas tanah yang ditetapkan dalam Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 53 ayat (1) UUPA dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok,
“yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat tetap yang berarti hak atas tanah yang akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau tidak diganti. Macam-macam hak atas tanah ini adalah, hak milik;
hak guna usaha; hak guna bangunan; hak pakai; hak sewa untuk bangunan; hak membuka tanah; dan hak memungut hasil hutan.
2. Hak atas tanah yang nantinya akan ditetapkan dengan undang-undang yang berarti hak atas tanah yang akan ada di kemudian hari yang akan ditetetapkan dengan undang- undang.
3. Hak atas tanah yang bersifat sementara yang berarti dalam waktu singkat akan dihapuskan dikarenakan bertentangan dengan jiwa UUPA. Macam hak atas tanah yang bersifat sementara adalah hak gadai; hak usaha bagi hasil; hak menumpang; hak sewa tanah pertanian.
1”
Hak milik pada pasalnya diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 UUPA. Pengertian hak milik seperti menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1)
1 Urip Santoso, Hak Atas Tanah, Hak Pengelolaan, dan Hak Milik Atas Satuan Rumah, Cetakan ke-1. (Depok: Kencana, 2017), hal.9-10.
100 UUPA adalah, “hak atas tanah yang turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.” Menurut Adrian Sutedi, “hak yang terkuat dan terpenuh yang dimaksud dalam pengertian tersebut berarti hak milik merupakan hak yang bersifat mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat, sebagaimana dimaksud dalam hak eigendom, melainkan untuk menunjukkan bahwa di atas hak-hak tanah, hak milik merupakan hak yang paling kuat dan penuh. Hak milik dikatakan merupakan hak turun temurun karena hak milik dapat diwariskan oleh pemegang hak kepada ahli warisnya.
Hak milik sebagai hak yang terkuat berarti hak tersebut tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan dari pihak lain. Terpenuh berarti hak milik memberikan wewenang yang paling luas dibandingkan dengan hak-hak yang lain. Ini berarti hak milik dapat menjadi induk dari hak-hak lainnya.
2” Kemudian pemegang tanah hak milik dapat memberikan hak guna bangunan melalui akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Seperti menurut Iwan Permadi dalam bukunya, dalam Pasal 35 UUPA menjelaskan bahwa, “hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dan mempunyai waktu paling lama 30 tahun.” Namun dalam ayat (2) menyebutkan mengenai perpanjangan bahwa, “jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.” Hak yang juga dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain ini hanya dikhususkan untuk keperluan bangunan-bangunan. Kekhususan inilah yang membedakan hak guna bangunan dengan hak atas tanah lain.
3Menurut Boedi Harsono,
“hak guna bangunan memiliki sifat dan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Walaupun tidak sekuat hak milik, namun sebagaimana hak guna usaha, hak guna bangunan tergolong hak atas tanah
2 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cetakan ke-4. (Jakarta:
Sinar Grafika, 2010), hal. 60-61.
3 Iwan Permadi, Unifikasi dan Pluralisme Hukum Agraria, Cetakan ke-1. (Malang: Gunung Samudra, 2017), hal. 25.
101 yang kuat, artinya tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Sehingga hak guna bangunan termasuk salah satu hak yang wajib didaftarkan (Pasal 38 UUPA);
2. Hak guna bangunan dapat beralih, yang artinya dapat diwarisi oleh ahli warisnya (Pasal 35 ayat 3 UUPA);
3. Sebagaimana halnya hak guna usaha, hak guna bangunan juga memiliki jangka waktu terbatas, yakni pada suatu saat hak guna usaha dapat berakhir (Pasal 35 ayat 1 dan 2 UUPA);
4. Hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan (Pasal 39 UUPA);
5. Hak guna bangunan dapat dialihkan kepada pihak lain yaitu dengan cara dijual, ditukarkan, dihibahkan atau dengan diberikan wasiat (Pasal 35 ayat 3 UUPA);
6. Hak guna bangunan dapat pula dilepaskan oleh yang punya hingga tanahnya menjadi tanah negara (Pasal 40 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA).
4”
Menurut pemikiran Boedi Harsono tersebut hak guna bangunan mempunyai jangka waktu terbatas yang berarti hak guna bangunan dapat hapus.
Terhadap hak atas tanah dapat dilakukan perbuatan-perbuatan seperti yang dikatakan oleh A.P. Parlindungan bahwa:
“peralihan hak-hak tanah seluruhnya, dapat terjadi karena penyerahan, pewarisan, pewarisan-legaat, penggabungan budel, pencabutan hak, lelang.
4 Ibid, hal 26-27.
102 Penyerahan ini dapat berwujud jual beli, hibah ataupun tukar menukar dan perwakafan.”5
Seperti penjelasan tersebut maka suatu hak atas tanah dapat diwariskan.
Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal kepada pihak yang berhak seperti contohnya keluarga.
Menurut ahli hukum Vollmar berpendapat bahwa, “hukum waris adalah perpindahan dari sebuah harta kekayaan seutuhnya.
6” Kemudian menurut mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Wirjono Prodjodikoro,
“Hukum waris adalah hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewahiban tantng kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup”
7Pasal 830 KUHPer menyatakan, perpindahan itu sendiri baru akan terjadi ketika si pewaris meninggal dunia.
Hukum Waris Perdata Barat diatur dalam buku kedua Kitab Undang- undang Hukum Perdata. Hukum Waris Perdata Barat terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu, pewaris, ahli waris dan harta peninggalan. Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta benda untuk dibagikan kepada yang berhak.
8Menurut Badriyah Haruh, “kehendak terakhir orang yang telah meninggal dunia memiliki arti yang kompleks, baik dalam arti formal (dituangkan dalam akta yang dibuat dengan syarat terbentuknya) maupun dalam
5 A.P. Parlindungan, Pedoman Pelaksanaan UUPA Dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah, Cetakan ke-6. (Bandung: Alumni, 1990), hal.23-24.
6 H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hal. 373
7 Istijab, Hukum Waris: (Berdasar Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Hukum Adat), Cetakan ke-1. (Pasuruan: Qiara Media, 2020), hal.5.
8 Adminkpco, “Istilah Dalam Hukum Waris yang Wajib Anda Ketahui”.www.kantorpengacara.co, 14 Juni 2017.
103 arti materiil (berupa kehendak atau kemauan orang yang telah meninggal terhadap hartanya).9” Seseorang yang berhak dalam hak ini adalah ahli waris.
Ahli waris adalah subjek hukum yang mempunyai hak waris yang didasarkan pada hubungan perkawinan, hubungan darah, dan wasiat yang diatur dalam undang-undang menurut bagiannya masing-masing. Harta warisan menurut hukum waris perdata adalah keseluruhan harta benda beserta hak dan kewajiban pewaris, baik piutang maupun utang-utang.
10Oleh karena itu, harta warisan dapat berupa tanah.
Kemudian, apabila jangka waktu suatu sertipikat hak guna bangunan telah habis, bagaimana jika sertipikat hak guna bangunan tersebut merupakan suatu tanah warisan?
Seperti dalam Putusan Mahkamah Agung nomor 1771 K/Pdt/2019, dalam memori kasasinya memuat mengenai adanya suatu objek sengketa berupa tanah berikut bangunan sebagai harta warisan bersama yang terletak di Kramat Kwitang I E, Nomor 10, Kelurahan Kwitang, Kecamatan Senen, Kota Jakarta Pusat, seluas 198 m2 berdasarkan Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 111/Kwitang. Sengketa tersebut terjadi antara Penggugat dan Tergugat yang merupakan ahli waris dari ayah yang sama namun ibu yang berbeda berdasarkan Surat Keterangan Waris tertanggal 16 Februari 2009, dimana dalam tingkat pertamanya yaitu Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 243/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Pst dalam positanya Penggugat merasa bahwa objek sengketa tersebut merupakan hak daripada Penggugat karena Penggugat merupakan anak tiri dari ibu Tergugat. Dalam jawabannya tergugat menyatakan bahwa tanah tersebut dibeli seluruhnya oleh uang ibunya sehingga Penggugat yang bukan merupakan anak kandung daripada ibu Tergugat tidak seharusnya
9 Badriyah Harun, Panduan Praktis Pembagian Waris, Cetakan ke-1. (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal.15.
10 F. Satrio Wicaksono, Hukum Waris: Cara Mudah & Tepat Membagi Harta Warisan, Cetakan ke-1. (Jakarta: Visimedia, 2011), hal. 7.
104 mendapatkan hak waris tersebut. Namun, karena objek sengketa tersebut dibeli di dalam sebuah perkawinan yang sebelumnya tidak diadakan perjanjian perkawinan, maka menurut pertimbangan hukum hakim objek sengketa tersebut benar merupakan hak waris daripada Penggugat dan Tergugat. Putusan tersebut kemudian dibatalkan dengan Putusan Banding Nomor 31/PDT/2018/PT.DKI.
objek sengketa tersebut menurut Sertipikat Hak Guna Bangunan daripada objek sengketa telah berakhir pada tanggal 31 Juli 1994 sehingga kemudian pada amarnya Majelis Hakim mengadili sendiri dimana gugatan Penggugat sekarang Terbanding I tidak dapat diterima. Putusan tersebut kemudian dibatalkan lagi di tingkat kasasi, dengan pertimbangan bahwa Sertipikat Hak Guna Bangunan atas objek sengketa antara Penggugat dan Tergugat telah berakhir, namun karena faktanya keluarga tersebut telah menempati objek tersebut sejak lama sampai sekarang, maka yang bersangkutan mempunyai hak prioritas untuk mendapatkan hak dari harta warisan setelah melalui proses ke Badan Pertanahan Nasional.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengangkat judul skripsi Pewarisan Hak Atas Tanah yang Jangka Waktunya Sudah Hapus Kepada Ahli Waris dengan Studi Kasus Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 111/Kwitang.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah hak atas tanah yang jangka waktunya habis dapat diwariskan kepada ahli waris?
2. Bagaimanakah proses pembagian hak waris yang hak atas tanahnya telah hapus?
C. Metode Penelitian
105 Metode penelitian terdiri atas enam unsur yang nantinya akan membantu menjelaskan mengenai hasil daripada penelitian. Berikut adalah penjelasan mengenai metode tersebut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian doktrinal. Penelitian hukum doktrinal adalah penelitian- penelitian atas hukum yang dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut sang pengonsep dan/atau sang pengembangnya. Di Indonesia, metode doktrinal ini terlanjur secara lazim disebut sebagai metode penelitian yang normatif, untuk melawankan dengan metode penelitian yang dikatakan terbilang empiris (yang di dalam literatur internasional disebut penelitian non doktrinal). Jenis penelitian ini menggunakan jenis doktrinal karena penelitian ini mempermasalahkan mengenai keadilan, dan itikad baik sehingga bertujuan untuk meninjau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2. Sifat Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas maka sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yang dimaksudkan untuk memberikan data yang selektif mungkin tentang manusia, keadaan/gejala- gejala lainnya, terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama/ di dalam kerangka menyusun teori-teori baru. Teori-teori yang dimaksud adalah terkait apakah hak atas tanah yang jangka waktunya habis dapat diwariskan kepada ahli waris dan juga mengenai bagaimana proses pembagian hak waris yang hak atas tanahnya telah hapus.
3. Jenis Pengumpulan Data
Berdasarkan uraian diatas maka jenis pengumpulan data yang
digunakan adalah jenis pengumpulan data primer, sekunder dan tersier
106 dimana data primer akan didapatkan melalui terjun langsung ke lapangan dan data sekunder adalah data yang diperoleh tidak langsung dari lapangan.11 Sedangkan data tersier adalah bahan-bahan memberi penjelasan terhadap data primer dan sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia 4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan studi kepustakaan dimana menurut M. Nazir, Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.
12Studi pustaka yang akan digarap adalah dokumen hukum seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 111/Kwitang.
5. Pendekatan Penelitian
Pendekatan dalam penelitian hukum yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (statue approach) dan pendekatan kasus (case approach) Pendekatan undang undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Kemudian pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. Kasus dapat berupa sesuatu yang terjadi di Indonesia maupun di negara lain. Dalam penelitian ini, undang-undang yang akan ditelaah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria dan Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 111/Kwitang.
11 Kun Maryati dan Juju Suryawati, Sosiologi 3, (Jakarta: Esis,2006), hal.110.
12 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hal.111.
107 6. Teknik Analisis Data
Berdasarkan jenis penelitian yang digunakan yaitu jenis penelitian doktrinal, maka teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif yaitu membahas mengenai dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah dalam mengkaji Undang- Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 111/Kwitang.
II. PEMBAHASAN
A. Hak Atas Tanah yang Jangka Waktunya Habis Diwariskan Kepada Ahli Waris
Hukum tanah Indonesia seperti menurut Pasal 4 ayat (2) UUPA, penggunaan tanah ada batasnya dimana sekedar digunakan untuk kepentingan yang berhubungan langsung dengan tanah itu. Hukum tanah Indonesia menganut asas pemisahan horizontal yang mengandung prinsip bahwa bangunan dan/atau tanaman di atasnya bukan merupakan bagian dari tanah yang berarti bahwa pemegang hak atas tanah tidak sendirinya memiliki bangunan dan/atau tanaman di atasnya, namun dapat saja memilikinya apabila ia yang membanyak guna bangunan/tanah tersebut. Hal ini mengakibatkan perbuatan hukum terhadap tanah itu harus mencantumkan dengan jelas meliputi bangunan dan tanamannya karena perbuatan hukum yang dilakukan bisa hanya meliputi tanahnya saja atau bangunan/tanamannya saja.
Kemudian hak penguasaan atas tanah diatur dan ditetapkan hierarki atau
susunan hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional, yaitu
yang pertama hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, dimana
merupakan hak penguasaan yang tertinggi dan menjadi dasar bagi hak-hak
penguasaan atas tanah. Yang kedua adalah hak menguasai dari negara, dimana
108 negara bertindak dalam kedudukannya sebagai kuasa dan Petugas Bangsa Indonesia dan dalam melaksanakan tugas tersebut, negara merupakan organisasi kekuasaan rakyat tertinggi.
Yang ketiga adalah hak ulayat masyarakat hukum adat yang merupakan hak dan kewajiban masyarakat hukum adat di lingkungannya sendiri. Kekuatan hak ulayat dapat berlaku ke luar dan ke dalam dimana dalam berlaku ke luar orang-orang asing atau orang-orang bukan warga masyarakat hukum adat bersangkutan, yang bermaksud mengambil hasil hutan, berburu atau membuka tanah, dilarang masuk lingkungan tanah wilayah suatu masyarakat hukum adat tanpa izin penguasa adatnya yang kemudian dari hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah atau mengambilan hasil hutan itu, orang asing tersebut harus menyerahkan sebagian kepada penguasa adat tersebut, kemudian dalam berlaku ke dalam berarti para anggota masyarakat hukum adat mempunyai keleluasaan untuk membuka dan mempergunakan tanah yang termasuk lingkungan wilayah hukumnya. Dan yang terakhir adalah hak-hak perseorangan yang terdiri atas hak-hak atas tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa.
Hak-hak atas tanah ini menurut Pasal 16 Undang-undang Pokok Agraria terdiri atas, “hak milik; hak guna usaha; hak guna bangunan; hak pakai; hak sewa; hak membuka tanah; hak memungut hasil hutan; dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan dengan undang- undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.” Hak milik merupakan jenis hak atas tanah yang tertinggi dan terpenuh dengan maksud tidak memiliki jangka waktu sehingga dapat diwariskan dan berlaku selamanya. Selain hak milik, jenis hak atas tanah lainnya memiliki jangka waktu tersendiri dan dapat pula diajukan perpanjangan atau pembaharuan hak.
Hak guna bangunan secara khusus diatur dalam Pasal 35 sampai dengan
Pasal 50 UUPA dan kemudian dikhususkan lagi dalam Peraturan Pemerintah
109 Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Menurut Pasal 35 UUPA, “hak guna bangunan merupakan hak untuk mendirikan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, yang memiliki jangka waktu paling lama 30 tahun, dapat pula diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun.” Pasal 37 UUPA menjelaskan mengenai asal tanah hak guna bangunan yaitu tanah yang langsung dikuasai oleh negara atau dapat pula tanah milik orang lain. Hak guna bangunan dapat dimiliki oleh WNI, dan tidak seperti hak milik, hak guna bangunan juga dapat dimiliki oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
Secara singkatnya hak guna bangunan dapat dimiliki tidak hanya oleh WNI
tetapi juga pihak asing yang tetap taat pada hukum di Indonesia. Terjadinya hak
guna bangunan dapat terbagi menjadi tiga, yaitu hak guna bangunan atas tanah
negara; hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan; dan hak guna bangunan
atas tanah hak milik. Hak guna bangunan atas tanah negara terjadi dengan
keputusan pemberi hak yang diterbitkan oleh BPN berdasarkan Pasal 44, Pasal
9, dan Pasal 14 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1999 dan prosedur terjadinya hak guna bangunan ini
diatur dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 48 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999. Hak guna
bangunan ini terjadi atau berlaku sejak keputusan tersebut didaftarkan kepada
kantor pertanahan setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah kemudian sebagai
tanda buktinya diterbitkan sertipikat (Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996). Hak guna bangunan atas tanah hak
pengelolaan terjadi dengan diterbitkannya keputusan pemberian hak oleh Badan
Pertanahan Nasional berdasarkan Pasal 4 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 dan prosedur
terjadinya HGB ini diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999. Sama seperti atas tanah
negara Hak Guna Bangunan ini baru terjadi sejak adanya pendaftaran keputusan
110 itu kepada kantor pertanahan setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah.
Sebagai tanda bukti haknya diterbitkan sertipikat Hak Guna Bangunan (Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996). Kemudian hak guna bangunan atas tanah hak milik terjadi karena pemegang Hak Milik melakukan pemberian hak dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Akta PPAT ini kemudian wajib didaftarkan kepada kantor pertanahan setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah (Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996).
Bentuk akta PPAT ini dimuat dalam Lampiran Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997.
Perbedaaan antara hak guna bangunan atas tanah negara dan hak guna
bangunan atas tanah hak pengelolaan dengan hak guna bangunan atas tanah hak
milik terdapat pada orang yang memberikan hak dimana hak guna bangunan
atas tanah negara dan atas tanah hak pengelolaan diberikan oleh BPN
sedangkan hak guna bangunan atas tanah hak milik diberikan oleh pemegang
hak milik. Selanjutnya disebutkan mengenai jangka waktu hak guna bangunan
yang juga terbagi menjadi tiga sesuai dengan asal tanahnya. Hak guna
bangunan atas tanah negara memiliki ini jangka waktu untuk pertama kali
diajukan paling lama 30 tahun, dan kemudian dapat diperpanjang untuk jangka
waktu paling lama 20 tahun, dan juga dapat diperbarui untuk jangka waktu
paling lama 30 tahun dengan penjelasan bahwa permohonan perpanjangan hak
ini harus diajukan paling lambat dua tahun sebelum berakhirnya Hak Guna
Bangunan. Apabila dilakukan setelah habisnya jangka waktu maka dinamakan
pembaharuan hak yang kemudian dicatat dalam Buku Tanah. Syarat-syarat
untuk perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan,
adalah: “(1) tanahnya masih dipergunakan dengan baik; (2) syarat-syarat
pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; (3)
pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak; (4) tanah
tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang
bersangkutan.”
111 Hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan sama seperti diatas yaitu berjangka waktu untuk pertama kali diajukan paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun. Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan hak ini harus mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan. Permohonan perpanjangan atau pembaharuan tersebut harus diajukan paling lama dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu. Apabila permohonannya diterima maka akan dicatat di Buku Tanah. Kemudian yang terakhir hak guna bangunan atas tanah hak milik berjangka waktu paling lama 30 tahun, dan tidak memiliki perpanjangan jangka waktu. Jadi sesuai dengan kesepakatan daripada pemilik hak milik atas tanah, baru dapat dilakukan pembaharuan dengan pemberian Hak Guna Bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan setempat.
Kewajiban pemegang hak guna bangunan terdapat dalam Pasal 30 dan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yaitu,
“pemegang Hak Guna Bangunan berkewajiban:
a) membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
b) menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya;
c) memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;
d) menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus;
e) menyerahkan sertiñkat Hak Guna Bangunan yang telah hapus
kepada Kepala Kantor Pertanahan;
112 f) memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi
pekarangan atau bidang tanah yang terkurung oleh tanah Hak Guna bangunan tersebut.”
Kemudian hak pemegang hak guna bangunan terdapat dalam Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, dimana “pemegang Hak Guna Bangunan berhak: menguasai dan mempergunakan tanah selama waktu tertentu;
mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya, mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain; dan membebani dengan Hak Tanggungan.”
Kemudian terhadap perbuatan yang dapat dilakukan terhadap hak guna bangunan, hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain (Pasal 35 ayat (1) UUPA jo. Pasal 34 PP No.40 Tahun 1960). Cara peralihan Hak Guna Bangunan dapat melalui pewarisan, namun tidak dilakukan secara cuma-cuma.
Pewarisan harus disertai dengan bukti surat keterangan ahli waris ataupun surat wasiat yang secara resmi dibuat oleh pejabat yang berwenang. Prosedur peralihan Hak Guna Bangunan karena pewarisan diatur dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 jo. Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 jo. Pasal 111 dan Pasal 112 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. Peralihan Hak Guna Bangunan tersebut harus didaftarkan kepada Kantor Pertanahan setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan dilakukan perubahan nama dalam sertipikat dari pemegang Hak Guna Bangunan kepada penerima Hak Guna Bangunan yang baru. Dalam peralihan Hak Guna Bangunan ini ada ketentuan lain, yaitu peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan dan Hak Milik harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan ataupun Hak Milik. Berdasarkan Pasal 40 UUPA,
“hak guna bangunan dapat hapus karena:
113 a) jangka waktunya berakhir;
b) dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c) dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;
d) dicabut untuk kepentingan umum;
e) ditelantarkan;
f) tanahnya musnah;
g) ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2).”
Hapusnya Hak Guna Bangunan lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996,
“faktor-faktor penyebab hapusnya Hak Guna Bangunan adalah:
a) berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan;
b) dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya berakhir, karena tidak memenuhi kewajibannya ataupun karena putusan pengadilan yang tetap.
c) dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d) Hak Guna Bangunannya dicabut;
e) ditelantarkan;
f) tanahnya musnah;
g) pemegang Hak Guna Bangunan tidak memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna Bangunan.”
Kemudian terhadap hapusnya hak guna bangunan tersebut dapat berakibat seperti dalam Pasal 37 dan Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996,
“yaitu:
114 a) Apabila Hak Guna Bangunan atas tanah negara hapus dan tidak
diperpanjang atau diperbaharui, maka bekas pemegang Hak Guna Bangunan harus membongkar semua bangunan ataupun tanaman yang atas diatasnya dan mengembalikannya dalam keadaan kosong kepada negara paling lambat dalam waktu satu tahun sejak hapusnya Hak Guna Bangunan.
b) Apabila benda yang ada diatasnya masih dibutuhkan maka bekas pemegang hak akan mendapatkan ganti rugi.
c) Pembongkaran bangunan dan benda-benda tersebut menggunakan biaya bekas pemegang Hak Guna Bangunan.
d) Jika pembongkaran tidak dilakukan maka akan dilakukan oleh negara dengan menggunakan biaya bekas pemegang hak.
e) Apabila Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan atau atas tanah Hak Milik hapus, maka bekas pemegang Hak Guna Bangunan wajib mengembalikan tanahnya kepada pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik.”
jangka waktunya berakhir dan mengakibatkan tanahnya kembali kepada tanah negara, namun dalam praktiknya, hak guna bangunan yang telah hapus tidak serta merta kembali kepada negara melainkan dapat dilakukan pembaharuan hak dengan syarat bahwa pemegang hak guna bangunan adalah pemegang hak guna bangunan sebelumnya yang dinamakan hak prioritas.
Namun bagaimana jika hak guna bangunan yang telah hapus tersebut disertakan di dalam surat keterangan waris?
Dalam hal dasar hukum mewaris, Ahli waris dapat mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris BW melalui dua cara, yaitu:
menurut ketentuan undang-undang (ab intestato atau wettelijk erfrecht), dan
ditunjuk dalam surat wasiat (testamentair erfrecht).
115 Menurut Effendi Perangin dalam bukunya, “keterangan mengenai pewarisan secara ab intestato terdapat dalam Pasal 832 BW, menurut ketentuan undang-undang ini, yang berhak menerima bagian warisan adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin dan suami atau istri yang hidup terlama, kemudian keterangan mengenai pewarisan secara testamentair terdapat dalam Pasal 899 BW, dimana dalam hak pemilik kekayaan membuat wasiat untuk para ahli warisnya yang ditunjuk dalam surat wasiat/testament.13”
Adapun menurut ketentuan undang-undang (ab intestato atau wettelijk erfrecht), yaitu ahli waris yang mendapatkan bagian warisan karena hubungan kekeluargaan yang berdasarkan pada keturunan. Hal ini terjadi apabila pewaris sewaktu hidup tidak menentukan sendiri tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya sehingga dalam hal ini undang- undang akan menentukan perihal harta yang ditinggalkan orang tersebut.
Dengan demikian seseorang dapat mewarisi karena undang-undang dan juga dapat dengan cara ditunjuk dalam surat wasiat. Dalam surat wasiat dituliskan keinginan dari si pewaris selama diperkenankan oleh undang- undang. Dalam hal ini surat wasiat harus dilandasi alasan dari si pewaris terhadap pembagian harta yang diwariskannya. Jadi, ketentuan ini menyimpang dari ketentuan undang-undang.
14Buku ke-Il KUH Perdata mengatur pewarisan menurut undang-undang dan memuat ketentuan yang berlaku untuk pewarisan menurut surat wasiat
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dalam status daripada hak guna bangunan tersebut seperti dalam Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor 111/Kwitang yang pada faktanya telah hapus sejak tahun 1994 dan tidak diperpanjang ataupun dilakukan pembaharuan hak oleh pemilik hingga pemilik meninggal dunia di tahun 2000, serta masih disertakan di dalam surat
13 Effendi Perangin, Op.Cit., hal. 4.
14 Maman Suparman, Op.Cit., hal. 22.