• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. Jagung merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan sebagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "I. PENDAHULUAN. Jagung merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan sebagai"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jagung merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan sebagai sumber karbohidrat kedua setelah beras yang sangat berperan dalam menunjang ketahanan pangan, dan kecukupan pasokan pakan ternak. Posisi jagung dalam diversifikasi konsumsi pangan berfungsi dalam mengurangi ketergantungan terhadap makanan pokok beras. Jagung juga sangat berperan dalam industri pakan dan industri pangan yang memerlukan pasokan terbesar dibanding untuk konsumsi langsung. Kebutuhan jagung untuk industri setiap tahun terus meningkat secara signifikan (Zubachtirodin, et.al., 2007).

Kebutuhan jagung nasional selama periode 2000-2009 mengalami peningkatan sebesar 3.40 persen per tahun (BPS dan FAO, 2009; Zubachtirodin, et.al., 2007; dan Badan Litbang Pertanian, 2005). Pada tahun 2000, total kebutuhan jagung mencapai 10.72 juta ton, kemudian meningkat menjadi 12.15 juta ton pada tahun 2006, dan menjadi 15.12 juta ton pada tahun 2009 (Lampiran 1). Adapun proporsi penggunaan jagung dari total kebutuhan tahun 2009, meliputi: 54 persen untuk bahan baku pakan, 20 persen sebagai bahan baku industri makanan dan 26 persen sebagai bahan konsumsi (pangan) langsung masyarakat.

Menurut Tangenjaya, et.al. (2003), pada industri pakan, jagung merupakan bahan baku pakan terpenting dari sekitar 30 jenis bahan baku yang digunakan.

Proporsi jagung dalam pakan rata-rata mencapai 51 persen terutama untuk pakan ayam broiler dan petelur. Penggunaan jagung yang relatif tinggi ini disebabkan

(2)

oleh harganya yang relatif murah, mengandung kalori yang tinggi, mempunyai protein dengan kandungan asam amino yang lengkap, mudah diproduksi, dan digemari oleh ternak.

Menurut data GPMT (Datacon, 2008 dan Destiana, 2010) di Indonesia terdapat 42 pabrik pakan ternak yang masih aktif sampai tahun 2008. Sebelumnya terdapat 50 pabrik, namun 8 pabrik diantaranya sudah menghentikan operasionalnya karena terkena imbas isu flu burung pada usaha peternakan tahun 2005 dan 2007. Sampai saat ini, industri pakan ternak nasional masih didominasi oleh perusahaan asing seperti Charoen Pokphand, Japfa Comfeed, Sierad Produce, CJ Feed, Gold Coin, dan Sentra Profeed. Pada periode 2002-2006 kapasitas produksi industri pakan ternak nasional meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 2.5 persen per tahun. Pada tahun 2007, produksi riil pakan ternak yang dihasilkan oleh 50 pabrik mencapai 7.70 juta ton, sedangkan kapasitas produksi pakan sebesar 11.0 juta ton (Lampiran 2).

Saat ini industri pakan ternak berskala besar tersebar di delapan provinsi.

Di Provinsi Sumatera Utara terdapat 8 pabrik, di Lampung terdapat 4 pabrik, di Banten terdapat 10 pabrik, di DKI Jakarta terdapat 4 pabrik, di Jawa Barat terdapat 4 pabrik, di Jawa tengah terdapat 3 pabrik, di Sulawesi Selatan terdapat 2 pabrik, dan di Jawa Timur terdapat 15 pabrik. Pada tahun 2008, telah berdiri lagi pabrik pakan di Sumatera Barat dan di Kalimantan Selatan (Ditjen Peternakan, 2009).

Ketersediaan pasokan jagung akan sangat mempengaruhi industri peternakan secara luas. Bila pasokan bahan baku jagung mengalami kelangkaan akan berakibat pada stagnasi ketersediaan bahan baku bagi industri pakan ternak

(3)

maupun industri pangan. Sebaliknya dengan adanya kecukupan bahan baku jagung akan mendorong kelancaran ketersediaan pakan ternak. Khusus untuk sub sektor peternakan misalnya, jagung sebagai bahan baku pakan ternak sangat berpengaruh terhadap kinerja pembangunan peternakan dan penyediaan protein hewani yang sangat dibutuhkan dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

Sementara itu, perkembangan produksi jagung nasional pada periode 1985-1998 mengalami peningkatan sebesar 4.99 persen per tahun. Sementara peningkatan luas panen dan produktivitasnya masing-masing sebesar 2.27 persen dan 2.72 persen per tahun. Pada periode selanjutnya yaitu 1998-2009, peningkatan produksi jagung nasional lebih tinggi lagi yaitu sebesar 5.45 persen per tahun, meskipun peningkatan luas panen jagung relatif rendah yaitu sebesar 1.1 persen per tahun, dan hal ini disebabkan oleh peningkatan produktivitas jagung yang cukup tinggi yaitu sebesar 4.34 persen per tahun (BPS, 2010). Dengan demikian laju peningkatan produksi jagung nasional periode 1998-2009 lebih dominan terdorong oleh peningkatan produktivitas melalui teknologi modern dalam budidaya jagung. Pada tahun 2009, luas panen jagung nasional mencapai 4.16 juta hektar dengan tingkat produksi dan produktivitasnya sebesar 17.63 juta ton dan 4.24 ton/ha (BPS, 2010).

Secara umum pada kurun waktu 2000-2006, bila disandingkan data produksi dan total kebutuhan jagung nasional maka dapat diketahui bahwa produksi jagung nasional selalu dibawah total kebutuhan jagung nasional (Lampiran 1). Masih rendahnya produksi jagung nasional, sementara kebutuhannya meningkat pesat menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam

(4)

pemenuhan kebutuhan jagung. Oleh karena itu, untuk mencukupi berbagai kebutuhan (untuk makanan atau konsumsi langsung, bahan baku industri olahan dan terutama bahan baku pakan ternak) telah dilakukan impor jagung pada kurun waktu tersebut dengan kisaran antara 226 ribu – 1.8 juta ton (FAO, 2009). Pada tahun 2007, produksi jagung nasional sebesar 13.3 juta ton dan mulai berada diatas total kebutuhan jagung nasional yang mencapai 12.5 juta ton. Kondisi ini juga terjadi pada tahun 2008 dan 2009. Namun demikian, impor jagung tetap dilakukan yaitu sebesar 795 ribu ton pada tahun 2007 dan 300 ribu ton pada tahun 2009. Bahkan pada tahun 2010 (data GPMT, Desember 2010), impor jagung mencapai 1.5 juta ton (Kontan Online, 2010). Selanjutnya, realisasi impor jagung hingga Agustus 2011 menembus 2.2 juta ton dan sampai akhir tahun diperkirakan mencapai 2.5 juta ton (Kompas, 2011). Menurut GPMT bahwa peningkatan volume impor jagung akibat sulitnya mencari jagung petani dalam negeri.

Mengingat pentingnya peranan jagung, maka bagi Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 234 juta jiwa dan industri peternakan serta industri pakan yang berkembang pesat sangat beralasan untuk memprioritaskan pengembangan produksi jagung dalam negeri. Selain untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, juga berpeluang untuk diekspor ke pasar internasional. Pemenuhan kebutuhan jagung bila mengandalkan impor akan berisiko tinggi, akan berdampak terhadap indutri peternakan (pakan) dalam negeri, dan akan mematikan petani jagung Indonesia, karena usahatani jagung Indonesia yang tradisional harus bersaing dengan usahatani jagung negara maju (seperti Amerika Serikat sebagai eksportir utama jagung).

(5)

Masih rendahnya kinerja produksi jagung secara umum dalam memenuhi kebutuhan jagung disebabkan oleh masih rendahnya rata-rata produktivitas jagung nasional yaitu sekitar 4.24 ton per hektar (BPS, 2009). Padahal menurut Kasryno, et.al. (2007) bahwa potensi produktivitas jagung hibrida dapat mencapai 7 ton/ha.

Produktivitas jagung nasional relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan produktivitas jagung negara produsen jagung seperti Amerika Serikat yang telah mencapai 10.34 ton/ha dan China yang telah mencapai 5.35 ton/ha (FAO, 2009).

Rendahnya produktivitas jagung secara rataan nasional tampaknya sejalan dengan hasil penelitian Bachtiar, et.al. (2007) yang mengungkapkan bahwa pada beberapa sentra produksi jagung seperti di Sulawesi Selatan, Lampung, Sumatera Utara dan Jawa Timur masih banyak petani yang menanam varietas lokal dan varietas unggul lama yang benihnya telah mengalami degradasi secara genetik dan belum dimurnikan. Pada tahun 2009/2010, penggunaan benih jagung hibrida sekitar 50 persen dari total pemakaian benih jagung di Indonesia. Disamping itu, pemerintah pada tahun 2009/2010 juga telah mengalokasikan subsidi benih jagung unggul sebanyak 4 266 ton untuk area tanam seluas 225 534 hektar (Bisnis Indonesia, 2010a dan Bisnis Indonesia, 2010b). Permasalahan dalam penyebaran benih bermutu dalam hal ini adalah tidak tersedianya benih pada petani sesuai waktu tanam yang dibutuhkan dan harga benih unggul yang cenderung meningkat terutama benih jagung hibrida.

Menurut Ditjen Tanaman Pangan (Ekonomi dan Bisnis, 2008) bahwa salah satu penyebab rendahnya produksi jagung di sentra-sentra produksi nasional karena penggunaan benih jagung hibrida di kalangan petani masih rendah.

Produktivitas jagung hibrida bisa mencapai 7 ton/ha atau bahkan lebih dari 7

(6)

ton/ha, sedangkan jagung komposit kurang dari 5 ton/ha bahkan untuk jagung lokal hanya 2-3 ton/ha.

Dalam rangka meningkatkan produksi jagung nasional telah dikembangkan teknologi produksi jagung hibrida. Namun realisasi pengembangan jagung hibrida sampai tahun 2009 baru mencapai 50 persen. Perkembangan persentase luas panen jagung varietas hibrida disajikan pada lampiran 3. Menurut Rusastra dan Kasryno (2007) bahwa keenganan petani untuk memanfaatkan teknologi produksi jagung hibrida ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

(1) harga benih jagung hibrida mahal dan hanya dapat ditanam sekali, (2) kebutuhan pupuk lebih banyak, sehingga biaya produksinya menjadi tinggi, (3) umurnya lebih panjang, (4) menghendaki lahan yang relatif subur, (5) lemahnya permodalan petani sehingga tidak tersedia modal yang cukup untuk membeli benih, pupuk dan obat-oabatan yang dibutuhkan, (6) sering terlambatnya suplai benih sehingga tidak tepat waktu tanamnya, dan (7) kurangnya rangsangan produksi yang diberikan oleh pasar kepada petani jagung. Akibatnya produksi jagung yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Sentra produksi jagung di Indonesia yaitu terdapat di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Sumatera Utara dan NTT (Badan Litbang Pertanian, 2005). Bahkan dalam perkembangannya, 10 sentra produksi jagung terbesar termasuk Provinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo (Lampiran 4). Dengan demikian, di Pulau Jawa terdapat 3 Provinsi yang paling dominan produksinya yaitu: Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Adapun di Luar Jawa, sentra produksi tersebar mulai dari Provinsi di Pulau Sumatera

(7)

(Lampung, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat), di Pulau Sulawesi (Sulawesi Selatan, Gorontalo dan Sulawesi Utara), dan di Pulau Nusa Tenggara (NTT).

Di Provinsi Jawa Timur, luas panen jagung tahun 2009 sebesar 1.29 juta hektar, dengan tingkat produksi dan produktivitasnya masing-masing mencapai 5.30 juta ton dan 4.07 ton/ha (BPS, 2010). Adapun sentra produksi jagung di Jawa Timur berada di Kabupaten Probolinggo, Kediri, Malang, Tuban, Lumajang dan Nganjuk (BPS Jatim, 2008). Data perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas jagung di Jawa Timur di sajikan pada Lampiran 5.

Di Provinsi Jawa Barat, luas panen jagung tahun 2009 sebesar 136.20 ribu hektar, dengan tingkat produksi dan produktivitasnya masing-masing mencapai 784.61 ribu ton dan 5.76 ton/ha (BPS, 2010a). Wilayah pengembangan jagung di Jawa Barat berada di 8 Kabupaten yaitu di Kabupaten Garut, Sumedang, Majalengka, Bandung, Ciamis Tasikmalaya, Sukabumi dan Cianjur. Wilayah pengembangan jagung ini telah diidentifikasi dan diimplementasikan dalam program khusus pengembangan sentra jagung yang hampir mencakup seluruh wilayah Jawa Barat bagian timur yang membujur dari utara ke selatan sehingga merupakan Corn Belt (Sabuk Jagung) Provinsi Jawa Barat (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2008). Oleh karena itu, potensi pengembangan jagung di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat cukup besar baik melalui peningkatan produktivitas maupun dengan peningkatan areal tanam.

Pengembangan areal tanam dapat ditingkatkan baik pada lahan sawah setelah pertanaman padi sawah, maupun dilahan kering pada saat awal musim penghujan.

Data perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas jagung di Jawa Barat disajikan pada Lampiran 5.

(8)

Pemerintah saat ini terus berupaya mengurangi impor jagung nasional, dan meningkatkan produksi jagung nasional dalam rangka mencapai swasembada jagung nasional. Upaya untuk mencapai swasembada jagung dilakukan dengan peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, pengamanan, pemberdayaan kelembagaan pertanian dan dukungan infrastruktur: pembiayaan, irigasi dan lainnya. Dengan semakin terbatasnya areal pertanian terutama di Pulau Jawa, maka peluang terbesar pencapaian sasaran tersebut yakni melalui peningkatan produktivitas, sehingga diperlukan penggunaan benih unggul bermutu terutama benih hibrida serta pemanfaatan pupuk berimbang dan organik (Ekonomi dan Bisnis, 2009).

Dalam hal peningkatan produktivitas jagung, pemerintah terus mendorong peningkatan produksi melalui penyebarluasan benih unggul dan peningkatan teknik budidaya jagung spesifik lokasi. Kegiatan riset dalam pengembangan jagung terus dilakukan pemerintah. Pada tahun 2000 pengeluaran riset jagung mencapai 0.19 milyar rupiah dan meningkat menjadi 13.8 milyar rupiah pada tahun 2009. Namun jika dilihat persentasenya atas pengeluaran sektor pertanian tahun 2009, hanya sekitar 0.17 persen.

Upaya mendorong produksi jagung nasional juga selayaknya melalui pemberian rangsangan harga output kepada petani jagung. Kenyataan di lapangan bahwa seringkali harga jagung rendah dan cenderung ditekan secara sepihak oleh pabrik pakan/pedagang, tidak memberi rangsangan yang cukup kepada petani untuk menggunakan teknologi produksi yang lebih baik, sehingga produktivitasnya masih rendah. Harga jagung yang rendah juga tidak merangsang petani untuk menanam jagung dalam areal yang lebih luas. Menurut Ditjen

(9)

Tanaman Pangan (2008) bahwa keberhasilan peningkatan produsksi antara lain juga tidak terlepas dari kebijakan output dimana pemerintah pusat selalu mendorong terhadap pemerintah daerah agar menampung produksi jagung petani sehingga harga jagung di tingkat petani tidak jatuh pada saat panen. Seperti halnya diketahui, bahwa sejak tahun 1990 sudah tidak ada lagi pengaturan atas harga jagung melalui mekanisme harga dasar, karena dinilai tidak efektif dan tataniaga jagung dibebaskan sehingga harga jagung ditentukan oleh mekanisme pasar.

Dengan mekanisme pasar tersebut akan menciptakan kompetisi antar pedagang yang diharapkan bisa memberikan keuntungan bagi petani.

Keberhasilan produksi jagung di dalam negeri tentu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri juga mengurangi impor jagung, akan tetapi dalam jangka panjang bisa diarahkan untuk ekspor mengingat kebutuhan jagung dunia yang semakin meningkat baik untuk bahan baku pangan, industri makanan serta bahan baku energi (bioetanol). Keberhasilan dalam peningkatan produksi jagung sangat ditentukan oleh adanya perubahan-perubahan dari berbagai aspek, baik teknis maupun ekonomis. Perubahan-perubahan tersebut akan berpengaruh terhadap keputusan berproduksi petani jagung. Perubahan harga jagung dan harga input seperti pupuk dan pestisida sering berpengaruh terhadap alokasi relatif penggunaan input dan keputusan berproduksi.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian jagung khususnya tentang pengaruh perubahan harga dan infrastruktur terhadap penawaran output, permintaan input, dan daya saing usahatani jagung memiliki urgensi penting dengan alasan sebagai berikut:

(10)

1. Jagung merupakan komoditas tanaman pangan penting sebagai sumber karbohidrat dalam menunjang ketahanan pangan, dan informasi hasil penelitian khususnya tentang permintaan input, penawaran output dan daya saing yang berguna dalam pengembangan usahatani jagung.

2. Kebutuhan jagung untuk pangan, industri bahan makanan, bahan baku pakan dan bahan baku energi (bioetanol) semakin meningkat dari tahun ke tahun, sementara poduksi jagung nasional masih belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut (Zubachtirodin, et.al., 2007), maka untuk menutup kekurangan dilakukan impor jagung dari negara lain, oleh karena itu peningkatan produksi nasional memiliki peran yang sangat penting.

3. Pemerintah saat ini terus berupaya mengurangi impor jagung nasional, dan meningkatkan produksi jagung nasional dalam rangka mengukuhkan swasembada jagung nasional 2009, serta upaya yang dilakukan untuk mencapai swasembada jagung melalui: peningkatan produktivitas melalui introduksi benih unggul dan perbaikan teknik budidaya spesifik lokasi, perluasan areal tanam, pengamanan, pemberdayaan kelembagaan pertanian dan dukungan pembiayaan (Ekonomi dan Bisnis, 2009).

4. Peningkatan produksi jagung nasional memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhan yang terus semakin meningkat, sehingga dalam analisis daya saing usahatani jagung domestik diarahkan untuk substitusi impor.

5. Kegiatan usahatani jagung dilakukan di sentra-sentra produksi jagung nasional, sehingga perlu diketahui apakah usahatani jagung memberikan keuntungan bagi petani jagung, setelah mempertimbangkan pengeluaran input usahataninya.

(11)

6. Berbagai informasi tentang perubahan harga output (jagung) dan harga input usahatani, pengaruh infrastruktur jalan dan pengeluaran riset dan pengembangan, perkembangan penggunaan input usahatani, elastisitas output dan input usahatani jagung diperoleh dari hasil penelitian yang bermanfaat dalam pengembangan produksi jagung.

Menurut Nicholson (1991) bahwa petani sebagai produsen yang rasional juga memaksimumkan keuntungan, atau dapat dikatakan dengan istilah berusahatani secara efisien. Upaya peningkatan produksi tidak akan menguntungkan bila penggunaan input produksi tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh dan modal telah dikeluarkan oleh petani. Petani yang rasional tidak hanya berorientasi pada produksi yang tinggi saja, namun lebih berorientasi pada semakin tingginya tingkat pendapatan atau keuntungan yang diperoleh.

1.2. Perumusan Masalah

Semakin meningkatnya permintaan jagung untuk pemenuhan kebutuhan pangan, industri bahan makanan, bahan baku pakan dan bahan baku energi (bioetanol), sementara produksi jagung nasional belum dapat mencukupi kebutuhan tersebut maka peningkatan produksi jagung nasional memiliki peran penting baik sebagai substitusi impor dan surplus produksi diarahkan untuk ekspor. Peningkatan produksi jagung dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas dengan dukungan teknologi poduksi, perluasan areal tanam di lahan sawah dan lahan kering, serta pengoptimalan pola tanam yang ada. Selain itu, dukungan kebijakan baik secara teknis maupun ekonomis, dan potensi sumberdaya manusia (petani) di sentra poduksi khususnya di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat cukup kondusif dalam meningkatkan produksi jagung.

(12)

Pada penelitian ini terdapat beberapa permasalahan yang akan diuraikan pada bahasan berikut ini.

1. Menurut Ditjen tanaman Pangan (2008) bahwa peningkatan produktivitas jagung juga tidak terlepas dari kebijakan terkait input, output dan kelembagaan pada usahatani jagung. Kebijakan yang terkait input usahatani antara lain adalah dalam hal subsidi pupuk dan benih, bantuan benih gratis, bantuan alsintan, akselerasi penerapan teknologi budidaya. Bantuan benih telah dilakukan pemerintah, yaitu pada tahun 2009/2010 telah dialokasikan subsidi benih jagung unggul sebanyak 4.27 ribu ton untuk area tanam seluas 225.53 ribu hektar. Sementara, dalam peride 2005-2009 besaran subsidi pupuk meningkat yaitu dari 0.90 triliun rupiah menjadi 16.46 triliun rupiah atau rata- rata naik sekitar 4.3 persen per tahun. Namun, meningkatnya jumlah besaran subsidi pupuk juga diiringi oleh meningkatnya jenis pupuk yang disubsidi dan juga meningkatnya biaya produksi pupuk. Akibatnya dengan keterbatasan angaran, maka harga HET (Harga Eceran Tertinggi) pupuk bersubsidi secara bertahap mengalami peningkatan. Jenis pupuk yang disubsidi tahun 2009 adalah pupuk: urea, SP36, ZA, NPK Phonska, NPK Pelangi, NPK Kujang dan pupuk organik (Nuryartono, 2009). Harga jagung tahun 2000 hanya mencapai Rp 989/kg, sedangkan harga pupuk urea dan benih masing-masing sebesar Rp 1 135/kg dan Rp 1 750/kg. Selanjutnya pada tahun 2008, harga jagung meningkat menjadi Rp 1 850/kg sedangkan harga urea menjadi Rp 1 200/kg dan harga benih sebesar Rp 5 000/kg. Dengan demikian bila dilihat dari segi rasio harga jagung terutama terhadap input benih kecenderungannya menurun yaitu dari 0.57 pada tahun 2000 menjadi 0.37 pada tahun 2008.

(13)

Permasalahannya adalah bagaimana pengaruh kenaikan harga pupuk dan benih terhadap penawaran output dan permintaan input usahatani jagung?

2. Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa sejak tahun 1990 sudah tidak ada lagi pengaturan atas harga jagung melalui mekanisme harga dasar, karena dinilai tidak efektif dan tataniaga jagung dibebaskan sehingga harga jagung ditentukan oleh mekanisme pasar. Dengan mekanisme pasar tersebut diharapkan dapat menciptakan kompetisi antar pedagang yang diharapkan bisa memberikan keuntungan bagi petani. Fakta empiris seringkali menunjukkan bahwa harga jagung sering jatuh pada saat musim panen. Permasalahannya adalah bagaimana pengaruh perubahan harga jagung terhadap penawaran output dan permintaan input usahatani jagung?

3. Menurut Purwanto (2007) bahwa kebijakan peningkatan produksi jagung nasional antara lain juga perlunya upaya: perbaikan infrastruktur penunjang pertanian seperti irigasi, jalan usahatani dan lainnya, penyuluhan aplikasi teknologi produksi, bantuan permodalan pertanian, misal melalui penjaminan pinjaman, subsidi bunga, dan kredit lunak terhadap petani, dan peningkatan pemasaran hasil pertanian melalui peningkatan mutu hasil pertanian, sarana pemasaran hasil dan kelancaran proses pemasaran. Pembangunan jalan semakin pesat terutama di Pulau Jawa pada era Orde Baru, namun saat era otonomi daerah pengembangan infrastruktur jalan mengalami stagnasi. Oleh karena itu, bagaimana pengaruh perubahan infrastruktur jalan terhadap penawaran output dan permintaan input usahatani jagung?

4. Permintaan jagung untuk memenuhi kebutuhan pangan, industri bahan makanan, bahan baku pakan dan bahan baku energi (bioetanol) semakin

(14)

meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000, total kebutuhan jagung mencapai 10.72 juta ton, kemudian meningkat menjadi 12.15 juta ton pada tahun 2006, dan menjadi 15.12 juta ton pada tahun 2009 (BPS dan FAO, 2009; Zubachtirodin, et.al., 2007; serta Badan Litbang Pertanian, 2005).

Produksi jagung nasional pada tahun 2000 mencapai 9.68 juta ton, kemudian meningkat menjadi 11.61 juta ton dan menjadi 17.63 juta ton pada tahun 2009. Dengan fakta ini maka sebelum tahun 2009 bahwa selalu terjadi ketimpangan dalam pemenuhan kebutuhan jagung nasional. Akibatnya impor jagung Indonesia semakin meningkat sampai mencapai 1.83 juta ton tahun 2006 dan menurun menjadi 300 ribu ton tahun 2009. Untuk mendukung peningkatan produksi jagung, pemerintah juga mendorong riset tanaman jagung. Pada tahun 2000 pengeluaran riset jagung mencapai 0.19 milyar rupiah dan meningkat menjadi 13.8 milyar rupiah pada tahun 2009. Namun demikian persentase pengeluaran riset jagung terhadap pengeluaran sektor pertanian masih rendah, yaitu hanya sebesar 0.17 persen pada tahun 2009.

Oleh karena itu, bagaimana pengaruh pengeluaran riset dan pengembangan jagung terhadap penawaran output dan permintaan input usahatani jagung?

5. Semakin meningkatnya kebutuhan jagung, sementara produksi jagung dalam negeri belum memadai maka impor jagung masih cukup besar dilakukan. Oleh karena itu, peningkatan produksi jagung nasional memiliki urgensi penting sebagai substitusi impor. Untuk itu, bagaimana daya saing usahatani jagung dalam negeri?

(15)

1.3. Tujuan

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan pengaruh harga dan infrastuktur terhadap penawaran output dan permintaan input, dan daya saing usahatani jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat. Secara spesifik tujuan penelitian adalah:

1. Menentukan elastisitas penawaran output dan permintaan input usahatani jagung;

2. Menentukan pengaruh perubahan harga output dan input terhadap penawaran output dan permintaan input;

3. Menentukan pengaruh perubahan pengeluaran riset dan pengembangan jagung serta infrastruktur jalan terhadap penawaran output dan permintaan input usahatani jagung;

4. Menentukan daya saing usahatani jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk bahan evaluasi serta perbaikan sistem usahatani jagung dalam rangka meningkatkan produksi dan pendapatan rumah tangga petani. Selain itu, diharapkan berguna sebagai bahan pertimbangan bagi pengemban kepentingan terutama penentu kebijakan dalam perumusan alternatif kebijakan pengembangan komoditas jagung, dan sebagai bahan masukan untuk studi analisis pengaruh harga dan infrastruktur terhadap penawaran output, permintaan input dan daya saing usahatani jagung lanjutan.

(16)

1.5. Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini terbatas pada analisis elastisitas permintaan input dan elastisitas penawaran output, pengaruh harga input dan output terhadap penawaran output dan permintaan input, pengaruh infrastruktur riset dan pengembangan jagung serta infrastruktur jalan terhadap produksi jagung, dan daya saing usahatani jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat.

Analisis mengunakan data struktur ongkos usahatani jagung dari periode 1985-2009. Sumber data struktur ongkos usahatani jagung berasal dari : BPS, Pusat Data dan Informasi Pertanian (Pusdatin)-Kementerian Pertanian, Ditjen Tanaman Pangan, dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Timur serta Provinsi Jawa Barat. Data-data lain untuk analisis, yaitu: (1) data series waktu mengenai pengeluaran riset dan pengembangan untuk jagung (1985-2009) di peroleh dari Badan Litbang Pertanian-Kementerian Pertanian, dan (2) data series waktu mengenai infrastruktur jalan (panjang jalan) di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat), luas panen jagung diperoleh dari Badan Pusat Statistik. Selain itu, untuk mendukung analisis ditambahkan informasi kualitatif hasil diskusi aparat Dinas Pertanian Tanaman Pangan di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat.

Penelitian ini menggunakan model ekonometrika yang dirumuskan dalam suatu persamaan fungsi keuntungan translog dengan estimasi model Zellner-SUR sebagaimana telah dilakukan antara lain oleh: Sidhu and Baanante (1981), dan Adeleke, et.al. (2008). Sementara itu, untuk melihat daya saing digunakan analisis keunggulan komparatif serta kompetitif, yaitu analisis DRC (Domestic Resources Cost) dan PCR (Private Cost Rasio) dari Matrik Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix) khususnya pada level usahatani (Monke dan Pearson, 1995).

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi proses adsorpsi optimum dengan % penurunan FFA dan % penurunan bilangan peroksida tertinggi (49,26% dan 85,98%, secara berurutan) adalah pada proses

Klasifikasi Bangunan Sipil Subklasifikasi Jasa Pelaksana Konstruksi Saluran Air, Pelabuhan, Dam, dan Prasarana Sumber Daya Air Lainnya

Tahap awal pelaksanaan evaluasi tapak aspek dispersi ini yaitu melakukan pengumpulan data yang meliputi data parameter meteorologi, parameter hidrosfir, data tata guna lahan dan

Apabila, selama Periode Pertanggungan, pada saat Tertanggung melakukan suatu Perjalanan, Tertanggung harus menanggung suatu kewajiban kepada suatu pihak ketiga, maka

[r]

Hasil simulasi dan implementasi menunjukan kontroler FS-PID dapat memberikan respon yang lebih baik dibandingkan dengan kontroler PID dengan parameter tetap ditinjau dari nilai

WAHYUDI WIRATAMA Matematika SMK MUHAMMADIYAH BULAKAMBA

Aset keuangan dan liabilitas keuangan saling hapus dan nilai netonya dilaporkan dalam laporan posisi keuangan konsolidasian jika, dan hanya jika, terdapat hak