FAKTORFAKTOR RISIKO KEJADIAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) (Studi Pada Wanita Pekerja Seks Komersial di Objek Wisata Pantai Pangandaran Kabupaten Pangandaran Tahun 2014) Herna Dwiatna Nurlina dan Siti Novianti Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan Peminatan Epidemiologi Universitas Siliwangi (hernadwiatna28@gmail.com) Dosen Pembimbing Bagian Epidemiologi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Siliwangi ABSTRAK
Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu dari sepuluh penyakit terbesar pada dewasa muda perempuan di negara berkembang, penyakit yang termasuk dalam kelompok IMS diantaranya Gonore Sifilis dan HIV/AIDS. Salah satu populasi yang berisiko tinggi terinfeksi IMS adalah Wanita Pekerja Seks Komersial (WPS). Faktorfaktor yang meningkatkan risiko penyakit IMS pada WPS diantaranya karena WPS sebagian besar berpendidikan rendah dan sikap dalam pencegahan IMS yang masih kurang. Menurut data Puskesmas Pangandaran 2013 dari 217 orang WPS ditemukan IMS 45,2%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktorfaktor risiko kejadian Infeksi Menular Seksaul (IMS) pada Wanita Pekerja Seks Komersial (WPS) di Objek Wisata Pantai Pangandaran. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey analitik dengan pendekatan Cross Sectional dimana pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara menggunakan kuesioner. Analisis data menggunakan uji statistik ChiSquare, jumlah sampel sebanyak 52 responden WPS di Objek Wisata Pantai Pangandaran dan pengambilan sampel menggunakan teknik Simple Random Sampling). Hasil uji statistik menunjukan bahwa sikap terbukti merupakan faktor risiko kejadian IMS (POR =17,) , tingkat pendidikan (POR I=6,67), frekuensi pemkaian kodom (POR =6,800), jumlah patner seks (POR=9,000) lama bekerja (POR=4,812) dan cara pencucian vagina nilai (POR I=7,933) berhubungan dengan kejadian IMS, sedangkan pengetahuan dan umur tidak berhubungan dengan kejadian IMS. Saran yang dapat diajukan adalah bagi petugas agar lebih ditingkatkan untuk penyuluhan tentang pentingnya pencegahan IMS dengan cara pemakaian kondom dan penyuluhan cara mencuci vagina yang sesuai standar kesehatan. Kata kunci : Faktor resiko, IMS, WPS Kepustakaan : 20052014
ABSTRACT FactorFactor Related with the Incidence of Sexually Transmitted Infections (STI) (On The Female Sexual Workers (FSW) in Pangandaran Beach in District Pangandaran 2014)
Sexually Transmitted Infections (STI) is one of the ten largest disease in young adult women in developing countries. Diseases including Sexually Transmitted Infections (STI) are Gonorrhea, Syphilis and HIV/AIDS. One of the highrisk population of women infected with STI are Female Sexual Workers (FSW) factors that increase the risk of diseases such as STI in FSW is lacking in education and attitudes of female sex workers STI in Sprevention is still lacking. According to data from Pangandaran health centers in 2013, from 217 sexually transmitted infections FSW found 45.2%. This study aims to determine the risk factors for the incidence of Sexually Transmitted Infections (STI) in Female Sexual Workers (FSW) in the District Pangandaran attractions. The survey used in this study is the method of analytic survey with crosssectional approach, where data collection is done using interviews using questionnaires. Statistical analysis using the chisquare test, a sample of 25 respondents in the Female Sexual Workers (FSW) attractions Pangandaran beach, and sampling using random sampling technique. Statistical test results showed that attitudes (POR 19.100), educational level (POR 6.667), frequency of condom use (POR 6.800), number of sex partners (POR 9.000), duration of work (POR 4.812), and by washing the vagina (POR 7.933) proved associated with the incidence of Sexually Transmitted Infections (STI), while knowledge and age was not associated with Sexually Transmitted Infections (STI). Suggestions can be submitted is for officers to be more enhanced to information about the importance of prevention of Sexually Transmitted Infections (STI) by means of the use of condoms and counseling to wash the vagina appropriate health standards. Keywords : Risk factors, STI, FSW Bibliography : 20052014
A. PENDAHULUAN
Menurut Da Ros (2008) Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu dari sepuluh penyakit terbesar pada dewasa muda perempuan di Negara berkembang, Sarwono (2009) penyakit yang termasuk dalam kelompok IMS diantaranya Gonore (kencing nanah), Sifilis dan HIV/AIDS. Semakin majunya ilmu pengetahuan, menemukan bahwa penyakit ini tidak hanya menimbulkan gejala klinis pada alat kelamin saja, tapi juga dapat menimbulkan gangguan pada organorgan tubuh lainnya. Widiyaningsih (2005) salah satu populasi yang berisiko tinggi terinfeksi IMS dengan transmisi penularan melalui hubungan seksual adalah Wanita Pekerja Seks Komersial (WPS).
Data WHO (2008) bagian Asia Tenggara insidensinya berupa jumlah kasus baru dari empat Infeksi Menular Seksual pada tahun 2008 diperkirakan 78.5 juta, 7.2 juta kasus C. trachomatis, 25,4 juta kasus N. gonorrhoeae, 3,0 juta kasus sifilis dan 42.9 kasus T. vaginalis. Sedangkan data WHO (2007) untuk HIV/AIDS menunjukkan pada akhir Desember 2007 sebanyak 33,2 juta penduduk dunia menderita HIV/AIDS, 90% berasal dari Negara berkembang. Data yang sama menunjukkan estimasi jumlah kematian yang disebabkan oleh HIV/AIDS mencapai 2,1 juta orang, sedangkan jumlah infeksi baru HIV/AIDS adalah 2,5 juta orang.
Kasus IMS di Jawa Barat pada tahun 2001 s.d 2011 sebanyak 19.769 kasus, kasus Gonore(GO) dan Sifilis sebanyak 2.189 orang dan kasus HIV/AIDS 14.934 kasus. Sedangkan di Kota Bandung diketahui bahwa kasus IMS dari tahun 20072011 sebanyak 10.956 kasus, dimana kasus HIV/AIDS di daerah Bandung pada tahun 2011 mencapai 2.541 orang (Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 2011).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pangandaran, pada Tahun 2013 dari jumlah total 1.225 orang yang diperiksa sebanyak, 31% positif Gonorea, 6% Sifilis dan 2% HIV. Dan berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan petugas Puskesmas Pangandaran bahwa pemeriksaan terakhir yang dilakukan di Lokalisasi
Obyek wisata Pangandaran Kabupaten Pangandaran pada tahun 2013 ada 217 orang wanita pekerja seks komersial (WPS ). Dari 217 orang WPS ditemukan 5,1% orang penderita Sifilis, 39,7% penderita Gonore dan 1% orang menderita HIV, total WPS yang menderita IMS adalah 45,2%.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : “FaktorFaktor Risiko Kejadian Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) Pada Wanita Pekerja Seks Komersial (WPS) Di Objek Wisata Pantai Pangandaran Kabupaten Pangandaran.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 28 September 2014 sampai 30 September 2014, tempat penelitian di Desa Pangandaran. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey analitik dengan pendekatan Cross Sectional dimana pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara menggunakan kuesioner, Jumlah populasi sebanyak 217 orang dan didapatkan sampel sebanyak 52 responden WPS di Objek Wisata Pantai Pangandaran dan pengambilan sampel menggunakan teknik Simple Random Sampling (sampel secara acak sederhana). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder karena diambil dari data yang ada di puskesmas dan kuesioner yang diwawancarai langsung pada responden.
Analisis bivariat dilakukan untuk menguji hipotesis uji hubungan antara faktorfaktor risiko kejadian IMS pada WPS. Selanjutnya hipotesis dilakukan uji hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikatnya menggunakan Uji Chi Square untuk mengetahui hubungan antara faktorfaktor risiko kejadian IMS pada WPS.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Analisis Univariat
Dari 52 responden WPS yang berada di Objek Wisata Pangandaran terdapat 42,31 % responden positif IMS, dan 57,69 % responden negatife IMS.
Responden dengan umur terbanyak umur ≥ 20 tahun 94,23% dan umur < 20 5,77%. Responden terbanyak pada tingkat pendidikan rendah (Tidak sekolah, SD, SMP) 73,08%, dan berpendidikan tinggi (SMA) 26,92%. Responden dengan pengetahuan terbanyak pada pengetahuan baik 51,9% sedangkan yang berpengetahuan kurang 48,1%, Responden dengan sikap terbanyak pada sikap baik 57,7% dan kurang 42,3%. Responden terbanyak selalu memakai kondom setiap berhubungan seksual 51,92 %, sedangkan yang menjawab kadangkadang, jarang dan tidak pernah 48,08%. Responden terbanyak patner seks > 5 orang 53,84 %), sedangkan patner seks ≤ 5 orang 46,16%. Responden terbanyak lama bekerja < 1 tahun 57,6%, sedangkan ≥ 1 tahun 42,31%. Reponden terbanyak menjawab mencuci vagina dengan antiseptik 1 atau 2 minggu sekali 42,31%, dan mencuci vagina menggunakan antiseptik lebih dari satu kali dalam seminggu 57,69%. 2. Analisis Bivariat Tabel 1 Raekapitulasi Hasil antara Bivariat dengan FaktorFaktor Kejadian IMS di Objek Wisata Pantai Pangandaran Kabupaten Pangandaran 2014
No Faktor Resiko POR Nilai p Keterangan
1 Pengetahun tentang IMS 1,000 Tidak ada hubungan 2 Sikap 19,100 0,000 Ada hubungan 3 Umur 1,000 Tidak Ada hubungan 4 Tingkat pendidikan 6,667 0,030 Ada hubungan 5 Frekuensi pemakaian kondom 6,800 0,004 Ada hubungan 6 Jumlah patner seksual 9,000 0,001 Ada hubungan 7 Lama bekerja 4,612 0,017 Ada hubungan 8 Cara pencucian vagina 7,933 0,002 Ada hubungan . D. PEMBAHASAN 1. Hubungan antara Pengetahuan WPS dengan Kejadian IMS
Hasil uji statistik hubungan antara variabel pengetahuan WPS dengan kejadian IMS menggunakan Chi square diperoleh nilai p value sebesar 1,000 > 0,05 berarti tidak ada hubungan antara pengetahuan WPS dengan kejadian IMS.
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, pengetahuan terjadi melalui pancaindra manusia. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007). Dalam penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar responden yang positif IMS berpengetahuan kurang baik tentang IMS, karena kenyataannya kebanyakan WPS di Objek Wisata Pangandaran berpendidikan rendah, sebagaimana diketahui bahwa pengetahuan juga berkaitan dengan pendidikan, karena semakin tinggi WPS menempuh pendidikan semakin mengerti WPS dalam pencegahan penularan IMS. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian di Resosialisasi Argorejo, Semarang yang menunjukan bahwa dari 60 responden mayoritas pengetahuan WPS tentang IMS adalah kurang baik yaitu sebanyak 96,6% (Febiyantin, 2014)
2. Hubungan antara Sikap WPS dengan Kejadian IMS
Hasil uji statistik hubungan antara variabel sikap WPS dengan kejadian IMS menggunakan Chi square diperoleh nilai p value sebesar 0,000 < 0,05 berarti ada hubungan antara sikap WPS dengan kejadian IMS. Sikap merupakan reaksi yang masih tertutup, tidak dapat dilihat langsung. Sikap hanya dapat ditafsirkan pada perilaku yang nampak. Sikap dapat diterjemahkan dengan sikap terhadap objek tertentu diikuti dengan kecenderungan untuk melakukan tindakan sesuai dengan objek. ( Notoatmodjo 2007). Sikap WPS yang kurang baik terutama sikap untuk menolak pelanggan jika pelanggan tidak menggunakan kondom saat berhubungan seksual dan sikap yang salah dalam tindakan pencegahan IMS dengan pencucian vagina dengan air bersih dan cairan antiseptik lebih dari satu atau dua minggu sekali. Hasil penelitian sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari Mutiara, Medan yang menunjukan bahwa dari 55 responden mayoritas sikap WPS tentang IMS & Pencegahannya adalah kurang baik yaitu ada sebanyak 56,4%.
3. Hubungan antara Umur WPS dengan Kejadian IMS
Hasil uji statistik hubungan antara variabel umur WPS dengan kejadian IMS menggunakan Chi square diperoleh nilai p value sebesar 1,000 > 0,05 berarti
tidak ada hubungan antara umur WPS dengan kejadian IMS. Dari hasil penelitian menujukan bahwa sebagian besar yang berprofesi menjadi WPS berada di usia reproduktif, dimana umur mempengaruhi aktivitas seksual seseorang sehingga dalam melakukan aktivitas seksual orang yang lebih dewasa atau dalam usia reproduktif memiliki pertimbangan yang lebih banyak dibandingkan orang yang belum dewasa (Azwar, 1985). Hasil Penelitian tidak sejalan dengan penelitian Cross Sectional di Vietnam pada umur < 20 tahun POR 1,75 95% Cl 1,212,49 lebih besar untuk terjadinya IMS dibandingkan WPS yang berumur ≥ 20 tahun (Nguyen Vun Thoung, 2001).
4. Hubungan antara Pendidikan WPS dengan Kejadian IMS
Hasil uji statistik hubungan antara variabel pendidikan WPS dengan kejadian IMS menggunakan Chi square diperoleh nilai p value sebesar 0,030 < 0,05 berarti ada hubungan antara pendidikan WPS dengan kejadian IMS. Berdasarkan teori pendidikan adalah proses perubahan sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Windi, 2006). Kebanyakan WPS berpendidikan rendah, paling tinggi untuk tingkat pendidikan yang di tempuh WPS hanya sampai SMA dan kebanyakan WPS berpendidikan SMP, Asumsinya semakin tinggi pendidikan, semakin mengerti seseorang bahwa ia melakukan pekerjaan yang berisiko. Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Chen di Yunan tahun 2006 bahwa prevalensi IMS pada WPS yang berpendidikan rendah 44,3% lebih besar terinfeksi IMS dibandingkan dengan WPS yang berpendidikan tinggi 34,3%.
5. Hubungan antara Pemakaian Kondom pada Pelanggan dengan Kejadian IMS Hasil uji statistik hubungan antara variabel pemakaian kondom pelanggan dengan kejadian IMS menggunakan Chi square diperoleh nilai p value sebesar 0,004 < 0,05 berarti ada hubungan antara pemakaian kondom pelanggan dengan kejadian IMS. Penggunaan kondom secara konsisten pada pelanggan di Objek Wisata Pangandaran masih sangat rendah, kecil persentase yang selalu memakai kondom pada saat berhubungan seksual dengan pelanggan dalam satu minggu,
alasan pelanggan WPS tidak menggunakan kondom dikarenakan kondom menganggu kenyamanan bersenggama, selalu harus ada persediaan, dan kadang ada yang tidak nyaman terhadap karetnya. Penelitian sejalan dilakukan di lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tulungagung, didapatkan dari total 65 responden sebagian besar dari responden tidak memakai kondom 64,62%. 6. Hubungan antara Jumlah Patner Seks dengan Kejadian IMS
Hasil uji statistik hubungan antara variabel jumlah patner seks dengan kejadian IMS menggunakan Chi square diperoleh nilai p value sebesar 0,004 < 0,05 berarti ada hubungan antara jumlah patner seks dengan kejadian IMS. Makin banyak jumlah patner seks, makin besar kemungkinan salah satu diantaranya menularkan IMS pada WPS (http://download.ziddu.com). Jumlah patner seks WPS ini dipengaruhi oleh kemolekan tubuh, usia muda dan lama bekerja. Hasil penelitian sejalan dengan hasil penelitian Jose Hagan Cross Sectional di Mongolia melaporkan bahwa WPS yang mempunyai pelanggan ≥ 5 orang pelanggan seminggu memiliki risiko 3,8 kali lebih besar untuk terjadinya IMS/Gonore dibandingkan yang memiliki pelanggan < 5 orang.
7. Hubungan antara Lama Bekerja dengan Kejadian IMS
Hasil uji statistik hubungan antara variabel lama bekerja dengan kejadian IMS menggunakan Chi square diperoleh nilai p value sebesar 0,017 < 0,05 berarti ada hubungan antara lama bekerja dengan kejadian IMS. Jenis pekerjaan dapat mempengaruhi status kesehatan seseorang. Masa kerja WPS merupakan salah satu varibel penting yang berkaitan dengan IMS Penularan IMS dapat menjadi meningkat seiring dengan mulai bekerja sebagai WPS, karena makin lama masa kerja seorang WPS, makin besar kemungkinan ia melayani pelanggan yang telah terinfeksi IMS (Afriana, 2012). Kebanyakan dari WPS bekerja > 1 tahun baik yang bekerja di sana maupun yang bekerja melanjutkan dari tempat lain. Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Febiyantin 2014 di Argorejo disebutkan bahwa lebih besar WPS yang bekerja lebih dari 1 tahun sebanyak 77,1% dibandingkan yang bekerja < 1 tahun 40 %, hasil uji statistik diperoleh p
value =0,004 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan anatara lama bekerja dengan kejadian IMS.
8. Hubungan antara Cara Pencucian Vagina dengan Kejadian IMS
Hasil uji statistik hubungan antara variabel cara pencucian vagina dengan kejadian IMS menggunakan Chi square diperoleh nilai p value sebesar 0,002 < 0,05 berarti ada hubungan antara cara pencucian vagina dengan kejadian IMS. Kebanyakan WPS beranggapan bahwa lebih sering mencuci vagina dengan menggunakan cairan antiseptik dapat menghindarkan mereka terhadap risiko IMS, padahal anggapan itu salah karena pencucian vagina meningkatkan risiko IMS karena ikut terbilasnya hidrogen peroxide yang merupakan bagian dari normal flora vagina yang memproduksi asam laktat yang menjaga keasaman PH vagina yang memegang peranan penting dalam perlindungan terhadap bakteri patogen dalam vagina (Aral and Douglas, 2007). Hasil ini juga serupa dengan laporan prevalensi IMS pada WPS di Semarang, bahwa lebih banyak WPS yang mencuci vagina dengan cara yang salah sebanyak 80%. WPS yang mencuci vagina dengan cara yang salah beresiko terkena IMS 153,2 lebih besar dari pada WPS yang mencuci vagina dengan cara yang benar .
E. SIMPULAN
Bedasarkan hasil penelitian dan pembahasan, Dari 52 Responden WPS yang berada di Objek Wisata Pangandaran terdapat 42,31% Responden positif penyakit IMS, dan 57,69% Responden negatif penyakit IMS. Faktorfaktor risiko yang berhubungan dengan kejadian IMS adalah Sikap (POR=17,00), tingkat pendidikan POR=6,67 ), frekuensi pemakaian kondom (POR =6,800), jumlah patner seks (POR =9,000), lama bekerja (POR=4,812), dan cara pencucian vagina nilai (POR=7,933 ), Sedangkan faktorfaktor risiko yang tidak berhubungan dengan kejadian IMS adalah pengetahuan dan umur WPS
F. SARAN
Saran yang dapat diajukan adalah bagi peneliti lain agar mengembangkan lebih lanjut penelitian mengenai faktorfaktor risiko IMS pada WPS dari segi faktor lainnya. Lebih ditingkatkan untuk penyuluhan tantang pentingnya pencegahan IMS dengan cara pemakaian kondom agar WPS dapat mendorong setiap pelanggan yang berhubungan seks dengannya untuk selalu menggunakan kondom. Diharapkan juga diadakannya penyuluhan cara mencuci vagina yang sesuai standar kesehatan agar WPS bisa lebih mengetahui bagaimana cara mencuci vagina yang baik dan benar.
G. DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Laporan Kasus IMS di Puskesmas Pangandaran Tahun 2013. Pangandaran; DKK Pangandaran. 2013
Anonim, laporan hasil sero survey IMS Dinas kesehatan kabupaten pangandaran. Pangandaran. 2014
Apriana, Nurhalina. FaktorFaktor yang Berhubungan dengan Infeksi Gonore pada WPS di Kabupaten/Kota Indonesia. Program Studi Epidemiologi Komunitas, Universitas Indonesia, Depok, 2011.
Aral and Douglas, Behavioural for Prevention amd Control of Sexually Trasmitted Disease., Springer Science Bussines Media LLC, New York, 2007
Da Ros. Schmitt,C.S., 2008. Global Efidemiology of Setually Transmitted Diaseases. Brazil : Urologi Departemen, Maede Deus Hospital Porto Alerge from : http :// www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18087650 di akses tanggal 2 oktober 2014.
Febiyantin, Choiriyah. FaktorFaktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual (IMS) pada Wanita Pekerja Seks Komersial (WPS) Usia 2024 Tahun di Resiolisasi Argorejo. Fakultas Kesehatan Udinus, Semarang, 2014
Jose E Hagan (2007). Risk Factor and Prevalence of HIV and STD among low income female Comerciall Sek Worker in Mongolia. Sexually Transmitted Diseases, February 2007. Vol. 34, No.2, p. 8387
Nguyen Vu Thoung (2005). Sexsual Transmitted Infection in Female Sex Worker in Five Border Provinces in Vietnam.STD, September 2005, Vol. 32, No.9, p. 550556
Notoatmodjo, Soekidjo., Promosi Kesehatan dan Ilmu Prilaku. Jakarta : Rineka Cipta, 2007