• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR FAKTOR RISIKO KEJADIAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR FAKTOR RISIKO KEJADIAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR­FAKTOR RISIKO KEJADIAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL  (IMS) (Studi Pada Wanita Pekerja Seks Komersial di Objek Wisata Pantai Pangandaran  Kabupaten Pangandaran Tahun 2014)    Herna Dwiatna  Nurlina dan Siti Novianti  Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan Peminatan Epidemiologi  Universitas Siliwangi (hernadwiatna28@gmail.com)  Dosen Pembimbing Bagian Epidemiologi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas  Siliwangi    ABSTRAK   

Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu dari sepuluh penyakit terbesar        pada dewasa muda perempuan di negara berkembang, penyakit yang termasuk dalam        kelompok IMS diantaranya Gonore Sifilis dan HIV/AIDS. Salah satu populasi yang        berisiko tinggi terinfeksi IMS adalah Wanita Pekerja Seks Komersial (WPS).        Faktor­faktor yang meningkatkan risiko penyakit IMS pada WPS diantaranya karena        WPS sebagian besar berpendidikan rendah dan sikap dalam pencegahan IMS yang        masih kurang. Menurut data Puskesmas Pangandaran 2013 dari 217 orang WPS        ditemukan IMS 45,2%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor­faktor risiko        kejadian Infeksi Menular Seksaul (IMS) pada Wanita Pekerja Seks Komersial (WPS) di        Objek Wisata Pantai Pangandaran. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah        metode survey analitik dengan pendekatan Cross Sectional dimana pengambilan data                dilakukan dengan menggunakan metode wawancara menggunakan kuesioner. Analisis        data menggunakan uji statistik Chi­Square, jumlah sampel sebanyak 52 responden WPS                di Objek Wisata Pantai Pangandaran dan pengambilan sampel menggunakan teknik        Simple Random Sampling). Hasil uji statistik menunjukan bahwa sikap terbukti          merupakan faktor risiko kejadian IMS (POR =17,) , tingkat pendidikan (POR I=6,67),        frekuensi pemkaian kodom (POR =6,800), jumlah patner seks (POR=9,000) lama        bekerja (POR=4,812) dan cara pencucian vagina nilai (POR I=7,933) berhubungan        dengan kejadian IMS, sedangkan pengetahuan dan umur tidak berhubungan dengan        kejadian IMS. Saran yang dapat diajukan adalah bagi petugas agar lebih ditingkatkan        untuk penyuluhan tentang pentingnya pencegahan IMS dengan cara pemakaian kondom        dan penyuluhan cara mencuci vagina yang sesuai standar kesehatan.        Kata kunci  : Faktor resiko, IMS, WPS  Kepustakaan  : 2005­2014             

(2)

    ABSTRACT      Factor­Factor Related with the Incidence of Sexually Transmitted  Infections (STI)  (On The Female Sexual Workers (FSW) in Pangandaran Beach  in District Pangandaran 2014)     

Sexually Transmitted Infections (STI) is one of the ten largest disease in young adult        women in developing countries. Diseases including Sexually Transmitted Infections        (STI) are Gonorrhea, Syphilis and HIV/AIDS. One of the high­risk population of        women infected with STI are Female Sexual Workers (FSW) factors that increase the        risk of diseases such as STI in FSW is lacking in education and attitudes of female sex        workers STI in Sprevention is still lacking. According to data from Pangandaran health        centers in 2013, from 217 sexually transmitted infections FSW found 45.2%. This study        aims to determine the risk factors for the incidence of Sexually Transmitted Infections        (STI) in Female Sexual Workers (FSW) in the District Pangandaran attractions. The        survey used in this study is the method of analytic survey with cross­sectional approach,        where data collection is done using interviews using questionnaires. Statistical analysis        using the chi­square test, a sample of 25 respondents in the Female Sexual Workers        (FSW) attractions Pangandaran beach, and sampling using random sampling technique.        Statistical test results showed that attitudes (POR 19.100), educational level (POR        6.667), frequency of condom use (POR 6.800), number of sex partners (POR 9.000),        duration of work (POR 4.812), and by washing the vagina (POR 7.933) proved        associated with the incidence of Sexually Transmitted Infections (STI), while        knowledge and age was not associated with Sexually Transmitted Infections (STI).        Suggestions can be submitted is for officers to be more enhanced to information about        the importance of prevention of Sexually Transmitted Infections (STI) by means of the        use of condoms and counseling to wash the vagina appropriate health standards.      Keywords : Risk factors, STI, FSW  Bibliography  : 2005­2014                       

(3)

     

A. PENDAHULUAN 

Menurut Da Ros (2008) Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu        dari sepuluh penyakit terbesar pada dewasa muda perempuan di Negara        berkembang, Sarwono (2009) penyakit yang termasuk dalam kelompok IMS        diantaranya Gonore (kencing nanah), Sifilis dan HIV/AIDS. Semakin majunya ilmu        pengetahuan, menemukan bahwa penyakit ini tidak hanya menimbulkan gejala        klinis pada alat kelamin saja, tapi juga dapat menimbulkan gangguan pada        organ­organ tubuh lainnya. Widiyaningsih (2005) salah satu populasi yang berisiko        tinggi terinfeksi IMS dengan transmisi penularan melalui hubungan seksual adalah        Wanita Pekerja Seks Komersial (WPS). 

Data WHO (2008) bagian Asia Tenggara insidensinya berupa jumlah kasus        baru dari empat Infeksi Menular Seksual pada tahun 2008 diperkirakan 78.5 juta, 7.2        juta kasus C. trachomatis, 25,4 juta kasus N. gonorrhoeae, 3,0 juta kasus sifilis dan                      42.9 kasus T. vaginalis. Sedangkan data WHO (2007) untuk HIV/AIDS            menunjukkan pada akhir Desember 2007 sebanyak 33,2 juta penduduk dunia        menderita HIV/AIDS, 90% berasal dari Negara berkembang. Data yang sama        menunjukkan estimasi jumlah kematian yang disebabkan oleh HIV/AIDS mencapai        2,1 juta orang, sedangkan jumlah infeksi baru HIV/AIDS adalah 2,5 juta orang. 

Kasus IMS di Jawa Barat pada tahun 2001 s.d 2011 sebanyak 19.769 kasus,        kasus Gonore(GO) dan Sifilis sebanyak 2.189 orang dan kasus HIV/AIDS 14.934        kasus. Sedangkan di Kota Bandung diketahui bahwa kasus IMS dari tahun        2007­2011 sebanyak 10.956 kasus, dimana kasus HIV/AIDS di daerah Bandung        pada tahun 2011 mencapai 2.541 orang (Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Jawa        Barat, 2011).  

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pangandaran, pada Tahun        2013 dari jumlah total 1.225 orang yang diperiksa sebanyak, 31% positif Gonorea,        6% Sifilis dan 2% HIV. Dan berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan petugas        Puskesmas Pangandaran bahwa pemeriksaan terakhir yang dilakukan di Lokalisasi       

(4)

Obyek wisata Pangandaran Kabupaten Pangandaran pada tahun 2013 ada 217 orang        wanita pekerja seks komersial (WPS ). Dari 217 orang WPS ditemukan 5,1% orang        penderita Sifilis, 39,7% penderita Gonore dan 1% orang menderita HIV, total WPS        yang menderita IMS adalah 45,2%.  

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka peneliti merumuskan masalah        sebagai berikut : “Faktor­Faktor Risiko Kejadian Penyakit Infeksi Menular Seksual        (IMS) Pada Wanita Pekerja Seks Komersial (WPS) Di Objek Wisata Pantai        Pangandaran  Kabupaten Pangandaran. 

 

B. METODE PENELITIAN 

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 28 September 2014 sampai 30        September 2014, tempat penelitian di Desa Pangandaran. Metode yang digunakan        dalam penelitian ini adalah metode survey analitik dengan pendekatan Cross        Sectional dimana pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode        wawancara menggunakan kuesioner, Jumlah populasi sebanyak 217 orang dan            didapatkan sampel sebanyak 52 responden WPS di Objek Wisata Pantai        Pangandaran dan pengambilan sampel menggunakan teknik Simple Random          Sampling (sampel secara acak sederhana). Data yang digunakan dalam penelitian ini        adalah data primer dan data sekunder karena diambil dari data yang ada di        puskesmas dan kuesioner yang diwawancarai langsung pada responden. 

Analisis bivariat dilakukan untuk menguji hipotesis uji hubungan antara        faktor­faktor risiko kejadian IMS pada WPS. Selanjutnya hipotesis dilakukan uji        hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikatnya menggunakan Uji Chi          Square untuk mengetahui hubungan antara faktor­faktor risiko kejadian IMS pada        WPS. 

 

C. HASIL DAN PEMBAHASAN  1. Analisis Univariat  

Dari 52 responden WPS yang berada di Objek Wisata Pangandaran        terdapat 42,31 % responden positif IMS, dan 57,69 % responden negatife IMS.       

(5)

Responden dengan umur terbanyak umur ≥ 20 tahun 94,23% dan umur < 20        5,77%. Responden terbanyak pada tingkat pendidikan rendah (Tidak sekolah,        SD, SMP) 73,08%, dan berpendidikan tinggi (SMA) 26,92%. Responden dengan        pengetahuan terbanyak pada pengetahuan baik 51,9% sedangkan yang        berpengetahuan kurang 48,1%, Responden dengan sikap terbanyak pada sikap        baik 57,7% dan kurang 42,3%. Responden terbanyak selalu memakai kondom        setiap berhubungan seksual 51,92 %, sedangkan yang menjawab kadang­kadang,        jarang dan tidak pernah 48,08%. Responden terbanyak patner seks > 5 orang        53,84 %), sedangkan patner seks ≤ 5 orang 46,16%. Responden terbanyak lama        bekerja < 1 tahun 57,6%, sedangkan ≥ 1 tahun 42,31%. Reponden terbanyak        menjawab mencuci vagina dengan antiseptik 1 atau 2 minggu sekali 42,31%,        dan mencuci vagina menggunakan antiseptik lebih dari satu kali dalam seminggu        57,69%.   2. Analisis Bivariat  Tabel 1  Raekapitulasi Hasil antara Bivariat dengan Faktor­Faktor Kejadian  IMS di Objek Wisata Pantai Pangandaran Kabupaten Pangandaran 2014   

No  Faktor Resiko  POR  Nilai p  Keterangan 

1  Pengetahun  tentang  IMS    1,000  Tidak ada hubungan  2  Sikap  19,100  0,000  Ada hubungan  3  Umur    1,000  Tidak Ada hubungan  4  Tingkat pendidikan  6,667  0,030  Ada hubungan  5  Frekuensi pemakaian  kondom  6,800  0,004  Ada hubungan  6  Jumlah patner seksual  9,000  0,001  Ada hubungan  7  Lama bekerja  4,612  0,017  Ada hubungan  8  Cara pencucian vagina  7,933  0,002  Ada hubungan  .  D. PEMBAHASAN    1. Hubungan antara Pengetahuan WPS dengan Kejadian IMS 

Hasil uji statistik hubungan antara variabel pengetahuan WPS dengan        kejadian IMS menggunakan Chi square diperoleh nilai p value sebesar 1,000 >        0,05 berarti tidak ada hubungan antara pengetahuan WPS dengan kejadian IMS.       

(6)

Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan        penginderaan terhadap suatu objek tertentu, pengetahuan terjadi melalui        pancaindra manusia. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan        telinga (Notoatmodjo, 2007). Dalam penelitian ini diketahui bahwa sebagian        besar responden yang positif IMS berpengetahuan kurang baik tentang IMS,        karena kenyataannya kebanyakan WPS di Objek Wisata Pangandaran        berpendidikan rendah, sebagaimana diketahui bahwa pengetahuan juga berkaitan        dengan pendidikan, karena semakin tinggi WPS menempuh pendidikan semakin        mengerti WPS dalam pencegahan penularan IMS. Penelitian ini tidak sejalan        dengan penelitian di Resosialisasi Argorejo, Semarang yang menunjukan bahwa        dari 60 responden mayoritas pengetahuan WPS tentang IMS adalah kurang baik        yaitu sebanyak 96,6% (Febiyantin, 2014) 

2. Hubungan antara Sikap WPS dengan Kejadian IMS 

Hasil uji statistik hubungan antara variabel sikap WPS dengan kejadian IMS        menggunakan Chi square diperoleh nilai p value sebesar 0,000 < 0,05 berarti ada        hubungan antara sikap WPS dengan kejadian IMS. Sikap merupakan reaksi yang        masih tertutup, tidak dapat dilihat langsung. Sikap hanya dapat ditafsirkan pada        perilaku yang nampak. Sikap dapat diterjemahkan dengan sikap terhadap objek        tertentu diikuti dengan kecenderungan untuk melakukan tindakan sesuai dengan        objek. ( Notoatmodjo 2007). Sikap WPS yang kurang baik terutama sikap untuk        menolak pelanggan jika pelanggan tidak menggunakan kondom saat        berhubungan seksual dan sikap yang salah dalam tindakan pencegahan IMS        dengan pencucian vagina dengan air bersih dan cairan antiseptik lebih dari satu        atau dua minggu sekali. Hasil penelitian sejalan dengan penelitian yang        dilakukan oleh Sari Mutiara, Medan yang menunjukan bahwa dari 55 responden        mayoritas sikap WPS tentang IMS & Pencegahannya adalah kurang baik        yaitu ada  sebanyak 56,4%. 

3. Hubungan antara Umur WPS dengan Kejadian IMS 

Hasil uji statistik hubungan antara variabel umur WPS dengan kejadian IMS        menggunakan Chi square diperoleh nilai p value sebesar 1,000 > 0,05 berarti       

(7)

tidak ada hubungan antara umur WPS dengan kejadian IMS. Dari hasil        penelitian menujukan bahwa sebagian besar yang berprofesi menjadi WPS        berada di usia reproduktif, dimana umur mempengaruhi aktivitas seksual        seseorang sehingga dalam melakukan aktivitas seksual orang yang lebih dewasa        atau dalam usia reproduktif memiliki pertimbangan yang lebih banyak        dibandingkan orang yang belum dewasa (Azwar, 1985). Hasil Penelitian tidak        sejalan dengan penelitian Cross Sectional di Vietnam pada umur < 20 tahun        POR 1,75 95% Cl 1,21­2,49 lebih besar untuk terjadinya IMS dibandingkan        WPS yang berumur ≥ 20 tahun (Nguyen Vun Thoung, 2001). 

4. Hubungan antara Pendidikan WPS dengan Kejadian IMS 

Hasil uji statistik hubungan antara variabel pendidikan WPS dengan kejadian        IMS menggunakan Chi square diperoleh nilai p value sebesar 0,030 < 0,05        berarti ada hubungan antara pendidikan WPS dengan kejadian IMS. Berdasarkan        teori pendidikan adalah proses perubahan sikap dan perilaku seseorang atau        sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya        pengajaran dan pelatihan (Windi, 2006). Kebanyakan WPS berpendidikan        rendah, paling tinggi untuk tingkat pendidikan yang di tempuh WPS hanya        sampai SMA dan kebanyakan WPS berpendidikan SMP, Asumsinya semakin        tinggi pendidikan, semakin mengerti seseorang bahwa ia melakukan pekerjaan        yang berisiko. Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Chen di Yunan tahun        2006 bahwa prevalensi IMS pada WPS yang berpendidikan rendah 44,3% lebih        besar terinfeksi IMS dibandingkan dengan WPS yang berpendidikan tinggi        34,3%. 

5. Hubungan antara Pemakaian Kondom pada Pelanggan dengan Kejadian IMS  Hasil uji statistik hubungan antara variabel pemakaian kondom pelanggan        dengan kejadian IMS menggunakan Chi square diperoleh nilai p value sebesar        0,004 < 0,05 berarti ada hubungan antara pemakaian kondom pelanggan dengan        kejadian IMS. Penggunaan kondom secara konsisten pada pelanggan di Objek        Wisata Pangandaran masih sangat rendah, kecil persentase yang selalu memakai        kondom pada saat berhubungan seksual dengan pelanggan dalam satu minggu,       

(8)

alasan pelanggan WPS tidak menggunakan kondom dikarenakan kondom        menganggu kenyamanan bersenggama, selalu harus ada persediaan, dan kadang        ada yang tidak nyaman terhadap karetnya. Penelitian sejalan dilakukan di        lokalisasi Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tulungagung, didapatkan dari total 65        responden sebagian besar dari responden tidak memakai kondom 64,62%.  6. Hubungan antara Jumlah Patner Seks dengan Kejadian IMS 

Hasil uji statistik hubungan antara variabel jumlah patner seks dengan        kejadian IMS menggunakan Chi square diperoleh nilai p value sebesar 0,004 <        0,05 berarti ada hubungan antara jumlah patner seks dengan kejadian IMS.        Makin banyak jumlah patner seks, makin besar kemungkinan salah satu        diantaranya menularkan IMS pada WPS (http://download.ziddu.com). Jumlah        patner seks WPS ini dipengaruhi oleh kemolekan tubuh, usia muda dan lama        bekerja. Hasil penelitian sejalan dengan hasil penelitian Jose Hagan Cross        Sectional di Mongolia melaporkan bahwa WPS yang mempunyai pelanggan ≥ 5        orang pelanggan seminggu memiliki risiko 3,8 kali lebih besar untuk terjadinya        IMS/Gonore dibandingkan yang memiliki pelanggan < 5 orang. 

7. Hubungan antara Lama Bekerja dengan Kejadian IMS 

Hasil uji statistik hubungan antara variabel lama bekerja dengan kejadian        IMS menggunakan Chi square diperoleh nilai p value sebesar 0,017 < 0,05        berarti ada hubungan antara lama bekerja dengan kejadian IMS. Jenis pekerjaan        dapat mempengaruhi status kesehatan seseorang. Masa kerja WPS merupakan        salah satu varibel penting yang berkaitan dengan IMS Penularan IMS dapat        menjadi meningkat seiring dengan mulai bekerja sebagai WPS, karena makin        lama masa kerja seorang WPS, makin besar kemungkinan ia melayani pelanggan        yang telah terinfeksi IMS (Afriana, 2012). Kebanyakan dari WPS bekerja > 1        tahun baik yang bekerja di sana maupun yang bekerja melanjutkan dari tempat        lain. Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Febiyantin 2014 di Argorejo        disebutkan bahwa lebih besar WPS yang bekerja lebih dari 1 tahun sebanyak        77,1% dibandingkan yang bekerja < 1 tahun 40 %, hasil uji statistik diperoleh p       

(9)

value =0,004 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan anatara lama bekerja        dengan kejadian IMS. 

8. Hubungan antara Cara Pencucian Vagina dengan Kejadian IMS 

Hasil uji statistik hubungan antara variabel cara pencucian vagina dengan        kejadian IMS menggunakan Chi square diperoleh nilai p value sebesar 0,002 <        0,05 berarti ada hubungan antara cara pencucian vagina dengan kejadian IMS.        Kebanyakan WPS beranggapan bahwa lebih sering mencuci vagina dengan        menggunakan cairan antiseptik dapat menghindarkan mereka terhadap risiko        IMS, padahal anggapan itu salah karena pencucian vagina meningkatkan risiko        IMS karena ikut terbilasnya hidrogen peroxide yang merupakan bagian dari        normal flora vagina yang memproduksi asam laktat yang menjaga keasaman PH        vagina yang memegang peranan penting dalam perlindungan terhadap bakteri        patogen dalam vagina (Aral and Douglas, 2007). Hasil ini juga serupa dengan        laporan prevalensi IMS pada WPS di Semarang, bahwa lebih banyak WPS yang        mencuci vagina dengan cara yang salah sebanyak 80%. WPS yang mencuci        vagina dengan cara yang salah beresiko terkena IMS 153,2 lebih besar dari pada        WPS yang mencuci vagina dengan cara yang benar . 

 

E. SIMPULAN  

Bedasarkan hasil penelitian dan pembahasan, Dari 52 Responden WPS yang        berada di Objek Wisata Pangandaran terdapat 42,31% Responden positif penyakit        IMS, dan 57,69% Responden negatif penyakit IMS. Faktor­faktor risiko yang              berhubungan dengan kejadian IMS adalah Sikap (POR=17,00), tingkat pendidikan        POR=6,67 ), frekuensi pemakaian kondom (POR =6,800), jumlah patner seks (POR        =9,000), lama bekerja (POR=4,812), dan cara pencucian vagina nilai (POR=7,933 ),        Sedangkan faktor­faktor risiko yang tidak berhubungan dengan kejadian IMS        adalah pengetahuan dan umur WPS 

     

(10)

  F. SARAN 

Saran yang dapat diajukan adalah bagi peneliti lain agar mengembangkan lebih        lanjut penelitian mengenai faktor­faktor risiko IMS pada WPS dari segi faktor        lainnya. Lebih ditingkatkan untuk penyuluhan tantang pentingnya pencegahan IMS        dengan cara pemakaian kondom agar WPS dapat mendorong setiap pelanggan yang        berhubungan seks dengannya untuk selalu menggunakan kondom. Diharapkan juga        diadakannya penyuluhan cara mencuci vagina yang sesuai standar kesehatan agar        WPS bisa lebih mengetahui bagaimana cara mencuci vagina yang baik dan benar. 

 

G. DAFTAR PUSTAKA 

Anonim, Laporan Kasus IMS di Puskesmas Pangandaran Tahun 2013.                  Pangandaran; DKK Pangandaran.  2013 

Anonim, laporan hasil sero survey IMS Dinas kesehatan kabupaten pangandaran.                    Pangandaran. 2014 

Apriana, Nurhalina. Faktor­Faktor yang Berhubungan dengan Infeksi Gonore pada                  WPS di Kabupaten/Kota Indonesia. Program Studi Epidemiologi Komunitas,            Universitas Indonesia,  Depok, 2011.  

Aral and Douglas, Behavioural for Prevention amd Control of Sexually Trasmitted                      Disease., Springer Science Bussines Media LLC, New York, 2007 

Da Ros. Schmitt,C.S., 2008. Global Efidemiology of Setually Transmitted                  Diaseases. Brazil : Urologi Departemen, Maede Deus Hospital Porto Alerge        from : http :// www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18087650 di akses tanggal 2        oktober 2014. 

Febiyantin, Choiriyah. Faktor­Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi                Menular Seksual (IMS) pada Wanita Pekerja Seks Komersial (WPS) Usia                    20­24 Tahun di Resiolisasi Argorejo. Fakultas Kesehatan Udinus, Semarang,              2014 

(11)

Jose E Hagan (2007). Risk Factor and Prevalence of HIV and STD among low                            income female Comerciall Sek Worker in Mongolia. Sexually Transmitted                  Diseases, February 2007. Vol. 34, No.2, p. 83­87 

Nguyen Vu Thoung (2005). Sexsual Transmitted Infection in Female Sex Worker in                        Five Border Provinces in Vietnam.STD, September 2005, Vol. 32, No.9, p.              550­556 

Notoatmodjo, Soekidjo., Promosi Kesehatan dan Ilmu Prilaku. Jakarta : Rineka                    Cipta, 2007 

 

Referensi

Dokumen terkait

7 8 5 aANTUAN SUMUR GAUAN Dwi. RABAT JALAN Dwi. SARANA DRAINASE JAJAN DSN BETON DS. PanbanQunan Balai Peiteimian Dwi. BANTUAN LAPANGAN BOLA VOLY DSN SAREN DS. RABAT JALAN DSN,

Seharusnya pada suhu 900 0 C sudah termasuk suhu yang tinggi untuk mencapai fase austenite yang diinginkan, namun pada kenyataanya dari pengujian spesimen ini karbon

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Syani beliau adalah seorang budayawan Lampung dan juga ahli dalam kebudayaan Lampung yang dilakukan pada tanggal 13

Dari penelitian yang telah dilakukan ini dapat disimpulkan bahwa ASSR memiliki tingkat ketepatan yang baik dalam mendeteksi gangguan pendengaran pada anak, terutama

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1) perangkat kelurahan sudah melaksanakan kinerja secara profesional terbukti dengan setiap pelayanan yang diajukan masyarakat

Bambang Purwanto, dr., SpPD, KGH, FINASIM selaku Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNS/ RSUD Dr Moewardi dan Pembimbing II yang telah memberikan ijin, bimbingan dan

Explosif kekuatan adalah kemampuan sebuah otot atau untuk mengatasi beban dengan kecepatan yang tinggi dalam suatu gerakan.. Kekuatan endurance adalah kemampuan daya

Pengertian Pedagogical Content Knowledge (PCK) menurut Shulman (1986) adalah gabungan dari ilmu pedagogik dan konten materi, yaitu tentang bagaimana seorang pendidik