• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji diagnostik auditory steady-state response dalam mendeteksi gangguan pendengaran pada anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Uji diagnostik auditory steady-state response dalam mendeteksi gangguan pendengaran pada anak"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Uji diagnostik

auditory steady-state response

dalam mendeteksi gangguan pendengaran pada anak

Adeline Eva, Ronny Suwento, Semiramis Zizlavsky*, Wresti Indriatmi** *Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

**Medical Research Unit (MRU) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta - Indonesia

ABSTRAK

Latar belakang: Auditory steady-state response (ASSR) sebagai sebuah pemeriksaan pendengaran objektif makin berkembang dengan pesat dekade terakhir ini. Tujuan: Untuk menentukan tingkat ketepatan ASSR dalam mendeteksi gangguan pendengaran pada anak. Metode: Dilakukan penelitian terhadap 35 pasien anak (21 laki-laki, 14 perempuan), berusia 9 sampai 67 bulan (rerata 36,69 + 19,17 bulan) dengan fungsi telinga tengah normal. Setelah anak diberikan sedasi (kloral hidrat 50–75 mg/kgBB per oral) dan tidur, dilakukan pemeriksaan auditory brainstem response (ABR) dan dilanjutkan dengan ASSR. Dilakukan uji diagnostik ASSR dengan click ABR dan tone burst ABR 500 Hz sebagai baku emas. Hasil: Uji diagnostik ASSR pada frekuensi rendah memberikan hasil sensitivitas 81,1%, spesifisitas 66,7%, nilai prediksi positif 75,9%, nilai prediksi negatif 82,8%, rasio kemungkinan positif 2,4 dan rasio kemungkinan negatif 0,3. Untuk uji diagnostik ASSR pada frekuensi tinggi didapatkan sensitivitas 96,7%, spesifisitas 67,5%, nilai prediksi positif 69%, nilai prediksi negatif 96,4%, rasio kemungkinan positif 3, dan rasio kemungkinan negatif 0,05. Kesimpulan: ASSR memiliki tingkat ketepatan yang baik dalam mendeteksi gangguan pendengaran pada anak, terutama untuk menentukan sisa pendengaran dan untuk memberikan informasi frekuensi spesifik.

Kata kunci: auditory steady-state response (ASSR), auditory brainstem response (ABR), sensitivitas, spesifisitas.

ABSTRACT

Background: Nowadays, auditory steady-state response (ASSR) has been reported as objective technique for threshold estimation in difficult-to-test population. Purpose: To determine the accuracy of ASSR in pediatric patients. Methods: Thirty-five children (21 boys, 14 girls) ages 9 to 67 months (mean of age 36.69 + 19.17 months) with normal middle ear function, were included in the study. They were evaluated (after being sedated using chloral hydrate 50–75 mg/kg p.o) with multiple auditory steady-state response (MASTER) after ABR completion. The test accuracy of MASTER was analyzed compared to click ABR and tone burst ABR 500 Hz. Results: When MASTER were compared to ABR, the assessment of low frequency gave 81.1% sensitivity, 66.7% specificity, 75.9% positive predictive value, and 82.8% negative predictive value. The outcome of high frequency yielded 96.7% sensitivity, 67.5% specificity, 69% positive

(2)

predictive value, and 96.4% negative predictive value. Conclusion: ASSR have high sensitivity for detecting hearing impairment, which is more advantageous in determining the residual hearing and in specific frequency.

Key words: auditory steady-state response (ASSR), auditory brainstem response (ABR), sensitivity, specificity

Alamat korespondensi: Adeline Eva, Departemen THT FKUI-RSCM. Jl. Diponegoro 71, Jakarta. E-mail: adelineeva@yahoo.com

PENDAHULUAN

Gangguan pendengaran (hearing loss) dan ketulian (deafness) dapat terjadi pada semua usia sejak lahir sampai usia lanjut, namun kadang-kadang tidak disadari, apalagi jika terjadi pada bayi. Dampak gangguan pendengaran dan ketulian tidak hanya berakibat pada terganggunya perkembangan wicara dan bahasa, namun pada tahap selanjutnya akan menyebabkan hambatan perkembangan akademik, ketidakmampuan bersosialisasi, perilaku emosional dan berkurangnya kesempatan memperoleh pekerjaan.1,2,3 Diagnosis dini sangat besar pengaruhnya dalam hal mengurangi dampak kecacatan yang lebih besar di kemudian hari, terutama pada bayi, karena erat kaitannya dengan perkembangan bicara dan bahasa.4

Prevalensi gangguan pendengaran sedang hingga sangat berat bilateral pada bayi baru lahir adalah 1–3 per 1000 kelahiran.2,5-7 Kezirian7 menuliskan prevalensi gangguan pendengaran kongenital sebesar 1,5–6 per 1000 bayi. Jika anak dengan gangguan

pendengaran unilateral juga dimasukkan, maka prevalensi ini meningkat menjadi 35– 48%.8,9 Di Indonesia, berdasarkan survei kesehatan indra pendengaran di tujuh provinsi tahun 1994–1996, sebesar 0,1% penduduk menderita tuli kongenital. Hasil survei tersebut juga menunjukkan bahwa prevalensi gangguan pendengaran pada anak kelompok usia 0–4 tahun, 5–6 tahun dan 7–18 tahun berturut-turut sebesar 8,3%, 9,5% dan 10,4%.10 Berdasarkan data kunjungan poliklinik Departemen THT FKUI/RSCM tahun 2005, didapatkan prevalensi gangguan pendengaran pada anak usia 6 bulan hingga 6 tahun sebesar 36,92%.11

Telah banyak dibuat pedoman pemeriksaan pendengaran pada anak yang teridentifikasi menderita gangguan pendengaran, baik melalui program penapisan atau dirujuk untuk penilaian fungsi pendengaran. American Speech Language Hearing Association (ASHA) merekomendasikan pemeriksaan pendengaran anak secara komprehensif yang mencakup

(3)

penilaian tingkah laku (behavioral), elektrofisiologis, serta perkembangan motorik, wicara dan bahasa.12 Terdapat berbagai macam pemeriksaan yang saling melengkapi satu dengan lainnya untuk menentukan adanya gangguan pendengaran.

Pemeriksaan elektrofisiologis berperan dalam memberikan data objektif mengenai ambang dengar pada anak atau pasien yang sulit diperiksa (difficult-to-test) dengan audiometri konvensional.12-14 ABR merupakan pemeriksaan yang andal dalam menentukan fungsi pendengaran pada bayi dan anak kecil.15,16 Selain itu juga dapat memperkirakan lokasi lesi. Terdapat dua jenis stimulus yang sering dipakai pada pemeriksaan ABR, yaitu click (bunyi klik) dan tone burst (bunyi nada). Kekurangan

click ABR adalah tidak spesifik untuk frekuensi tertentu, dan untuk mendapatkannya digunakan tone burst ABR, namun teknik ini membutuhkan waktu yang lebih lama.17

Dalam beberapa tahun terakhir telah berkembang sebuah teknik pemeriksaan pendengaran objektif yang dapat menentukan ambang dengar pada frekuensi tertentu secara spesifik, yaitu auditory steady-state response

(ASSR).13,14,18,19 Pemeriksaan tersebut merupakan pemeriksaan elektrofisiologis terhadap respons sistem pendengaran berupa gelombang di otak yang dibangkitkan oleh stimulasi suara. Waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan ambang dengar dengan teknik ASSR ini lebih cepat karena dapat

secara simultan memeriksa empat frekuensi masing-masing pada kedua telinga. ASSR dapat memberikan informasi frekuensi spesifik dibandingkan click ABR yang telah lebih dulu dikenal luas.18,19 Dengan pemeriksaan ASSR intensitas dapat diberikan sampai 127,8 dB, sehingga dapat mengidentifikasi ambang dengar pada subjek dengan gangguan pendengaran sangat berat atau dengan kata lain dapat menentukan sisa pendengaran.20 Pemeriksaan ASSR tidak dipengaruhi oleh soundfield speaker atau

hearing aid amplifier karena respons pada ASSR sifatnya steady-state dan stimulusnya simultan, sehingga ASSR dapat digunakan untuk memperkirakan ambang dengar pada pasien implan koklea atau untuk kepentingan pemasangan alat bantu dengar.21

Kelemahan pemeriksaan ASSR ini adalah tidak dapat menentukan lokasi lesi dan belum banyak data yang dipublikasikan mengenai pemeriksaan hantaran tulang. Sampai saat ini penelitian mengenai ASSR masih banyak dilakukan di sentra-sentra pendengaran terkemuka, namun belum ada data mengenai sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini.

Pada penelitian ini dilakukan uji diagnostik terhadap ASSR dibandingkan dengan pemeriksaan click ABR dan tone burst ABR 0,5 kHz sebagai baku emas. Banyak ahli menyatakan bahwa click ABR sensitif pada frekuensi 2–4 kHz.6,22-24 ABR memiliki keterbatasan pada frekuensi nada rendah.25 Oleh karena itu, pada penelitian ini

(4)

untuk mendapatkan informasi frekuensi yang spesifik, maka dilakukan pemeriksaan tone burst ABR 0,5 kHz selain pemeriksaan click

ABR. Dari hasil penelitian ini diharapkan akan didapatkan data mengenai sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ASSR dalam mendeteksi gangguan pendengaran pada anak.

METODE

Penelitian dilakukan di Departemen THT FKUI/RSCM Jakarta, mulai bulan Agustus 2006 hingga November 2006. Percontoh diambil dengan cara consecutive sampling

dan memenuhi kriteria inklusi maupun eksklusi. Kriteria inklusi penelitian adalah pasien anak usia 6 bulan sampai 6 tahun yang dicurigai menderita gangguan pendengaran dan orang tua/wali bersedia mengikut-sertakan anaknya dalam penelitian dengan menandatangani formulir persetujuan

(informed concent). Kriteria eksklusi adalah pasien anak dengan kelainan telinga luar (misalnya malformasi telinga luar) atau dengan kelainan telinga tengah atau pasien sedang menderita pilek, batuk, demam tinggi atau terdapat defisiensi G6PD (glucose 6-phosphate dehydrogenase).

Dilakukan penelitian terhadap 35 pasien anak. Pemeriksaan telinga, hidung dan tenggorok dikerjakan pada setiap percontoh, diikuti dengan pemeriksaan timpanometri. Jika didapatkan keadaan telinga tengah

normal, maka pemeriksaan pendengaran akan dilanjutkan ke langkah berikutnya. Dikatakan normal jika timpanogram menunjukkan tipe A sesuai klasifikasi Jerger-Liden, yaitu puncak Ytm antara 0,2 hingga 0,9 mmho, volume liang telinga 0,4 sampai 0,9 cm3 dan puncak kurva pada atau sekitar tekanan atmosfer (0 daPa). Jika hasil menunjukkan tidak normal, maka dikeluarkan dari penelitian.

Setelah pasien dalam keadaan tidur dengan pemberian kloralhidrat 50–75 mg/kgBB per oral, dilakukan pemeriksaan

click ABR menggunakan alat buatan Bio-logic® System Corp., yang dijalankan pada komputer dengan sistem kerja Microsoft Windows® 98 dengan spesifikasi sebagai berikut: stimulus click monoaural, rate

27,7/detik, gain 100.000, filter 100–1500 Hz, 2000 sweep. Ambang respons dicari dengan menurunkan stimulus sebesar 10 dB dari titik awal hingga ambang respons dapat ditentukan. Ambang respons didefinisikan sebagai ambang terendah di mana gelombang V terdeteksi. Setelah pemeriksaan click ABR selesai, dilanjutkan dengan tone burst ABR 500 Hz dengan spesifikasi sebagai berikut: stimulus tone burst monoaural 0,5 kHz, rate

27,7/detik, gain 100.000, filter 30–1500 Hz, 2000 sweep. Ambang respons dicari dengan menurunkan stimulus sebesar 10 dB dari titik awal hingga ambang respons dapat ditentukan. Ambang respons didefinisikan

(5)

sebagai ambang terendah di mana gelombang V terdeteksi.

Pemeriksaan ASSR dilakukan setelah ABR selesai, dengan menggunakan program MASTER, buatan Bio-logic® System Corp., yang dijalankan pada komputer dengan sistem kerja Microsoft Windows® 98 dengan spesifikasi sebagai berikut: carrier frequency

0,5, 1, 2, 4 kHz, mixed modulation (100% AM dan 20% FM), modulation rate berkisar antara 82 hingga 99 Hz, noise average kurang dari 20. Diberikan stimulus simultan pada kedua telinga sekaligus dimulai dengan 60 dB atau disesuaikan dengan hasil pemeriksaan audiologis sebelumnya dengan 10-dB step control. Untuk intensitas lebih dari 80 dB, maka diberikan stimulus tunggal. Ambang respons ditentukan secara statistik dan otomatis oleh komputer, dan didefinisikan sebagai ambang terendah yang memberikan nilai kemaknaan kurang dari 0,05 (p<0,05).

Dilakukan uji diagnostik ASSR dengan

click ABR dan tone Burst ABR 500Hz sebagai baku emasnya, yang mencakup perhitungan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif (positive predictive value), nilai prediksi negatif (negative predictive value), rasio kemungkinan positif (positive likelihood ratio), dan rasio kemungkinan negatif (negative likelihood ratio).

HASIL

Telah dilakukan penelitian terhadap 35 percontoh berusia 9 bulan hingga 67 bulan (rerata 36,69 + 19,17 bulan). Pada penelitian ini didapatkan jenis kelamin percontoh terbanyak adalah laki-laki (60%) dan dijumpai 48,57% percontoh yang merupakan anak pertama dalam keluarga.

Terdapat 12 dari 35 percontoh yang dibawa berobat dengan alasan utama tidak dapat mendengar. Kelompok ini menempati urutan tertinggi (34,29%). Sebagian besar percontoh (51,43%) dibawa berobat karena dirujuk. Berdasarkan faktor risiko terjadinya ketulian, tidak ditemukan adanya faktor risiko pranatal, perinatal maupun pascanatal pada sebagian besar percontoh (berturut-turut 74,29%, 51,43% dan 80% untuk faktor risiko pranatal, perinatal dan pascanatal). Riwayat keluarga tuli sejak lahir merupakan faktor risiko pranatal yang cukup sering ditemukan, sedangkan untuk faktor risiko perinatal yang cukup sering ditemukan, yaitu bayi tidak langsung menangis saat lahir.

Hasil pemeriksaan ABR

Setelah dilakukan analisis terhadap hasil pemeriksaan click ABR, ditemukan pada sebagian besar telinga percontoh (42,9%) tidak terdeteksi adanya respons hingga 90 dB. Sebanyak 52,9% telinga percontoh juga tidak menunjukkan respons hingga 90 dB pada pemeriksaan tone burst ABR 0,5 kHz.

(6)

Hasil analisis data pemeriksaan ASSR pada frekuensi 0,5, 1, 2 dan 4 kHz

menunjukkan ambang respons

elektrofisiologis sebagian besar telinga percontoh lebih dari 90 dB, berturut-turut

sebesar 58,6%, 58,6%, 51,4% dan 62,9%. Demikian juga pada ASSR rerata 1–4 kHz dan rerata 2–4 kHz, telinga percontoh terbanyak menunjukkan ambang respons lebih dari 90 dB sebesar masing-masing 60%.

Uji diagnostik ASSR dibandingkan dengan ABR

Tabel 1. Uji diagnostik ASSR 0,5 kHz dibandingkan dengan tone burst ABR 0,5 kHz ASSR

0,5 kHz

Tone burst ABR 0,5 kHz

Total Respons >90 dB Respons < 90 dB

Respons > 90 dB 30 11 41

Respons < 90 dB 7 22 29

Total 37 33 70

Tabel 2.Hasil uji diagnostik ASSR 0,5 kHz dengan tone burst ABR0,5kHz

Deskripsi Nilai (IK 95%)

Sensitivitas 81,1% (70,5% ; 89,1%)

Spesifisitas 66,7% (63,7% ; 80,4%)

Nilai prediksi positif (Positive predictive value / PPV) 75,9% (62,4% ; 86%) Nilai prediksi negatif (Negative predictive value / NPV) 82,8% (69,5% ; 91,7%) Rasio kemungkinan positif (positive likelihood ratio / LR +) 2,432 (1,562 ; 3,650) Rasio kemungkinan negatif (negative likelihood ratio / LR -) 0,284 (0,145 ; 0,537)

(7)

Tabel 3. Uji diagnostik ASSR rerata 1–4 kHz dan rerata 2–4 kHz dibandingkan dengan click ABR

Hasil Tes

click ABR Total

Respons > 90 dB Respons < 90 dB ASSR rerata 1–4 kHz Respons > 90 dB 29 13 42 Respons < 90 dB 1 27 28 ASSR rerata 2–4 kHz Respons > 90 dB 29 13 42 Respons < 90 dB 1 27 28 Total 30 40 70

Tabel 4. Hasil uji diagnostik ASSR rerata 14 kHz & rerata 24 kHz dibandingkan dengan click ABR

Deskripsi ASSRrerata14 kHz dan rerata 24 kHz Sensitivitas 96,7% (86,1% ; 99,4%) Spesifisitas 67,5% (59,6% ; 69,9%) PPV 69,0% (61,5% ; 71,0%) NPV 96,4% (86,1% ; 99,4%) LR (+) 2,974 (2,130 ; 3,264) LR (-) 0,049 (0,009 ; 0,233)

Gambar 2. ROC Curve ASSR rerata 14 kHz dan rerata 24 kHz dibandingkan dengan click ABR

DISKUSI

Dari hasil penelitian ini didapatkan kelompok usia 49–60 bulan merupakan kelompok yang terbanyak ditemukan (20%).

Hal ini menyebabkan terjadinya keterlambatan diagnosis. Diagnosis terhadap ketulian hendaknya sudah dipastikan sebelum usia tiga bulan agar proses intervensi sudah

(8)

dimulai sejak usia 6 bulan. Penelitian yang dilakukan oleh Yoshinaga–Itano seperti yang dikutip oleh Suwento,1 membuktikan bahwa bayi yang mengalami ketulian sejak lahir dan telah menerima program habilitasi pendengaran sejak usia 6 bulan, pada saat usia 3 tahun dapat memiliki kemampuan bicara yang mendekati anak normal.

Pengamatan pernah dilakukan di Subdepartemen THT Komunitas Departemen THT FKUI/RSCM antara tahun 1992–2003 terhadap 2.579 anak yang menderita tuli saraf berat bilateral, paling banyak untuk pertama kali diketahui pada usia 1–3 tahun (45,29%), sementara 24,42% diketahui setelah usia 5 tahun. Hanya 6,13% penderita yang terdiagnosis pada usia kurang dari satu tahun.1 Jika dibandingkan dengan hasil penelitian kami, kelompok usia kurang dari satu tahun sebesar 17,14%, sementara kelompok usia 1–3 tahun sebesar 31,43% dan kelompok 5–6 tahun sebesar 14,29%. Hal ini dapat dipakai sebagai indikator keberhasilan upaya deteksi dini.

Terdapat 34,29% percontoh yang dibawa berobat dengan alasan utama tidak dapat mendengar. Jika dibandingkan dengan gangguan wicara (34,28%) sebagai alasan utama berobat, maka kelompok dengan gangguan pendengaran (65,72%) jauh lebih banyak dijumpai. Sebanyak 18 dari 35 percontoh (51,43%) dibawa berobat karena rujukan dari luar, hal ini tidak jauh berbeda dengan jumlah percontoh yang datang

pertama kali karena kemauan sendiri (48,57%). Anak yang dirujuk dengan gangguan perkembangan wicara sering kali juga mengalami gangguan pendengaran. Oleh karena itu penting sekali untuk mengevaluasi sistem pendengaran yang mungkin memberi sumbangan terhadap keterlambatan bicara.13 Suwento26 dalam tulisannya pada tahun 2003, melaporkan dari 808 anak yang datang dengan masalah gangguan wicara di PKTGK Departemen THT FKUI/RSCM sebanyak 82,79% disebabkan gangguan pendengaran.

Identifikasi faktor risiko terjadinya ketulian merupakan hal yang sangat penting. Berdasarkan analisis data penelitian, pada sebagian besar percontoh tidak dijumpai faktor risiko tersebut baik faktor risiko pranatal, perinatal maupun pascanatal. Yoshikawa dkk.27 melaporkan persentase bayi yang menderita gangguan pendengaran tanpa ditemukan faktor risiko, bisa mencapai 50%. Kemungkinan disebabkan oleh gen pembawa ketulian yang secara autosomal resesif cenderung meningkat pada bayi-bayi baru lahir yang tidak memiliki faktor risiko, namun kemudian terbukti menderita gangguan pendengaran. Riwayat keluarga tuli sejak lahir menempati peringkat kedua terbanyak ditemukan sebagai faktor risiko pranatal pada penelitian ini. Terdapat satu hipotesis yang menyatakan bahwa defek pada gen connexin-26 dijumpai pada 70% gangguan pendengaran yang diturunkan.27

(9)

Faktor risiko perinatal yang cukup sering ditemukan pada penelitian ini adalah bayi yang tidak langsung menangis saat lahir. Savio28 menemukan penggunaan obat ototoksik sebagai faktor risiko terjadinya ketulian yang paling banyak (31,54%), diikuti nilai APGAR kurang dari lima pada saat lahir. Yoshikawa dkk.27 menyatakan bahwa nilai APGAR berhubungan dengan status neurologis dan respiratoris sesaat setelah bayi lahir. Hipoksia koklea jangka pendek yang menyebabkan pergeseran ambang dengar dapat membaik jika segera diberi tindakan, sehingga oksigenasi normal kembali. Jika terjadi hipoksia sistemik, maka dapat menyebabkan kerusakan koklea. Jiang29 melaporkan penurunan nilai APGAR pada menit ke-5 dan atau menit ke-10 merupakan indikator yang dapat dihubungkan dengan gangguan pendengaran pada neonatus.

Hasil pemeriksaan ABR

Sejak beberapa dekade terakhir, hasil penelitian klinis menunjukkan bahwa click

ABR merupakan pemeriksaan yang terpercaya dan telah banyak digunakan secara luas untuk menentukan ambang pendengaran. Pada penelitian ini dijumpai kelompok terbanyak adalah telinga percontoh dengan ambang respons lebih dari 90 dB (42,9%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar percontoh yang diteliti menderita gangguan pendengaran sangat berat.

Dengan pemeriksaan tone burst ABR 0,5 kHz dijumpai 52,9% telinga percontoh mengalami gangguan pendengaran sangat berat. Stapells16 melakukan studi meta-analisis terhadap penentuan ambang respons yang menggunakan tone burst ABR. Terdapat 32 penelitian yang berhasil dikumpulkan, mencakup 1203 subjek (524 dewasa, 679 bayi dan anak). Sebanyak 815 dari 1203 subjek ini memiliki pendengaran normal, sedangkan 388 menderita gangguan pendengaran sensorineural. Hasil meta-analisis menunjukkan penentuan ambang di antara 32 penelitian tersebut konsisten. Ambang tone burst ABR pada subjek dengan pendengaran normal berkisar 10–20 dB nHL. Sebagian besar bayi dan anak dengan gangguan pendengaran sensorineural memiliki ambang respons yang berada 10 dB di sekitar ambang tingkah laku (behavioral threshold).16

Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan

tone burst ABR pada frekuensi 0,5 kHz agar didapatkan informasi ambang respons frekuensi rendah yang tidak tersedia dengan pemeriksaan click ABR. Hal ini sesuai dengan yang dianjurkan oleh Stapells bahwa informasi minimal yang diperlukan untuk mengevaluasi sistem pendengaran mencakup penentuan ambang tone burst ABR 0,5 kHz, selain tone burst ABR 2 kHz.16

Hasil pemeriksaan ASSR

Pemeriksaan ASSR dilakukan terhadap empat frekuensi baku (frekuensi 0,5, 1, 2 dan

(10)

4 kHz), seperti pada audiometri konvensional. Dari hasil analisis data pada frekuensi 0,5 kHz, 1 kHz, 2 kHz, serta 4 kHz, maka sebagian besar percontoh memiliki ambang respons lebih dari 90 dB, berturut-turut sebesar 58,6%, 58,6%, 51,4% dan 62,9%. Demikian juga pada ASSR rerata 1–4 kHz dan rerata 2–4 kHz, telinga percontoh terbanyak menunjukkan ambang respons lebih dari 90 dB, sebesar masing-masing 60%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar telinga percontoh menderita gangguan pendengaran sangat berat.

Uji diagnostik ASSR dibandingkan dengan ABR

Pertanyaan yang timbul adalah teknik pemeriksaan evoked potential mana yang lebih baik, yang dapat menyediakan semua informasi yang dibutuhkan untuk menentukan profil pendengaran seseorang. Picton seperti dikutip oleh Swanepoel mengajukan lima kriteria dalam menentukan pemeriksaan

evoked potential yang sempurna, yaitu: 1) respons yang timbul harus menggambarkan ambang pendengaran dengan tepat; 2) respons harus dapat dengan mudah direkam pada setiap keadaan yang berbeda dan dapat dilihat adanya perubahan respons pada keadaan pasien terjaga; 3) respons mudah dikenali pada segala usia; 4) respons timbul pada semua frekuensi, minimal pada frekuensi yang diperiksa menggunakan audiogram konvensional (yaitu antara 0,5 sampai 4 kHz);

5) stimulus yang diberikan harus membangkitkan respons yang menunjukkan ambang secara spesifik pada frekuensi yang berbeda. Terdapat kriteria tambahan yang disebutkan di banyak literatur tetapi belum diajukan oleh Picton, yaitu mengenai waktu yang dibutuhkan untuk perekaman. Prosedur pemeriksaan sebaiknya dapat dikerjakan secepat mungkin, terutama pada populasi anak.30

Setelah dilakukan uji diagnostik, didapatkan sensitivitas ASSR dibandingkan dengan tone burst ABR untuk mendeteksi gangguan pendengaran pada 0,5 kHz sebesar 81,1% (70,5% ; 89,1%). Spesifisitas uji diagnostiknya sebesar 66,7% (54,8% ; 75,6%), Nilai prediksi positif 75,9% (62,4% ; 86%), Nilai prediksi negatif 82,8% (69,5% ; 91,7). Pusponegoro dkk.31 menyatakan bahwa nilai prediksi sangat berfluktuasi, tergantung pada prevalensi penyakit. Oleh karena itu, nilai prediksi disebut sebagai bagian yang tidak stabil dari uji diagnostik.

Sejumlah ahli menyatakan rasio kemungkinan (likelihood ratio/LR)

merupakan alternatif untuk menentukan ketepatan alat. Interpretasi LR: 1) >10 atau <0,1 berarti prediktor kuat, bahkan sering penyakit sudah dapat disimpulkan; 2) 5–10 dan 0,1–0,2 berarti prediktor sedang; 3) 2–5 dan 0,5–0,2 berarti prediktor lemah tetapi kadang-kadang penting; dan 4) 1–2 dan 0,5–1 berarti prediktor lemah dan tidak penting.32-34 Pusponegoro dkk.31 menyatakan hasil uji

(11)

diagnostik yang positif kuat memberikan nilai LR yang jauh lebih besar dari satu, hasil uji yang negatif kuat memberikan nilai LR mendekati nol. LR positif ASSR pada penelitian kami sebesar 2,432 (1,562 ; 3,650) dan LR negatif 0,284 (0,145 ; 0,537). Dilihat dari ROC Curve ASSR 0,5 kHz dibandingkan dengan tone burst ABR 0,5 kHz, didapatkan area di bawah ROC Curve 0,81. Hal ini berarti tingkat ketepatan (akurasi) pemeriksaan ASSR tergolong bagus. Tingkat ketepatan alat yang diuji ditentukan oleh area di bawah ROC Curve. Klasifikasi tingkat ketepatan alat berdasarkan uji diagnostik: 1) sangat bagus (A) jika area 0,91–1; 2) bagus (B) jika area 0,81–0,90; 3) sedang (C) jika area 0,71–0,80; 4) kurang (D) jika area 0,61– 0,70; dan 5) gagal (E) jika area kurang dari 0,60.32

Jika ditinjau dari segi lamanya pemeriksaan, Cone-Wesson dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pemeriksaan dengan tone burst ABR membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan ASSR.35 Demikian juga hal yang sama dinyatakan oleh Attias dkk.36 Vander dkk.38 menyatakan gelombang tone burst ABR, terutama untuk frekuensi rendah, cenderung sulit dibedakan dan agak sulit identifikasinya dibandingkan dengan click

ABR. Hal-hal inilah yang mungkin membatasi penggunaan tone burst ABR di banyak sentra kesehatan.

Penelitian kami juga membandingkan ambang respons ASSR frekuensi rerata 1–4 kHz, serta rerata 2–4 kHz dengan ambang respons click ABR. Nilai sensitivitas yang tinggi (96,7%) didapatkan pada uji diagnostik ASSR rerata 1–4 kHz dan rerata 2–4 kHz. Hal ini dapat menyokong teori yang menyatakan bahwa click ABR sensitif pada frekuensi tinggi.

Nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif pada uji diagnostik ASSR frekuensi tinggi masing-masing sebesar 69% (61,5% ; 71%) dan 96,4% (86,1% ; 99,4%).

Rasio kemungkinan positif dan rasio kemungkinan negatif ASSR pada frekuensi tinggi masing-masing sebesar 2,974 (2,130 ; 3,264) dan 0,049 (0,009 ; 0,233).

Dilihat dari ROC Curve, didapatkan area di bawah ROC Curve ASSR rerata 1–4 kHz adalah 0,83. Pada penelitian kami didapatkan tingkat ketepatan ASSR pada frekuensi tinggi lebih baik daripada frekuensi rendah. Swanepoel dkk.30 pada penelitiannya mendapatkan ambang ASSR frekuensi rendah pada subjek dengan pendengaran normal, berada sekitar 20 dB dari ambang tingkah laku, sementara untuk frekuensi tinggi sekitar 14–18 dB dari ambang tingkah laku. Pada frekuensi rendah, sinyal ASSR kadang sulit terekam akibat tingginya noise pada saat perekaman. ASSR memang baik untuk mendeteksi gangguan pendengaran pada anak, terutama gangguan pendengaran berat hingga sangat berat, namun diperlukan

(12)

kombinasi pemeriksaan agar didapatkan profil pendengaran yang lengkap.

Dari penelitian yang telah dilakukan ini dapat disimpulkan bahwa ASSR memiliki tingkat ketepatan yang baik dalam mendeteksi gangguan pendengaran pada anak, terutama untuk menentukan sisa pendengaran dan untuk memberikan informasi frekuensi spesifik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Suwento R. Skrining pendengaran bayi baru lahir. Buletin IDAI 2004; 35:35-7.

2. Bilgen H, Akman I, Ozek E, Kulekci S, Ors R, Carman KB, et al. Auditory brainstem response screening for hearing loss in high risk neonates. Turk J Med Sci 2000; 30:479-82.

3. Diefendorf AO. Detection and assessment of hearing loss in infants and children. In: Katz J, Burkard RF, Medwetsky L, editors. Handbook of clinical audiology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002. p. 469-79.

4. Hendarmin H, Hendarto SK. Brainstem evoked response audiometry-BERA pada anak dengan gangguan perkembangan bicara dan bahasa. ORLI 1990; 21(1):15-27.

5. US Preventive services task force. Guide to clinical preventive services. 2nd ed. Washington, DC: US. Department of Health and Human Services; 1996. p. 393-402. 6. Sokol J, Hyde M. Hearing screening.

Pediatrics Rev 2002; 23:155-62.

7. Kezirian EJ, White KR, Yueh B, Sullivan SD. Cost and cost-effectiveness of universal screening for hearing loss in newborns. Otolaryngol Head Neck Surg 2001; 124:359-67.

8. Utah Collaborative Medical Home Project. Diagnoses and conditions: hearing

impairment module,

description/prevalence/authors [homepage on the internet]. c2006 [updated Mar 8; cited 2006 Jun 15]. Available from: http://www.medhomeportal.org/diag/

diagnosis.cfm?diag_id=82&.

9. Brookhouser PE, Worthington DW, Kelly WJ. Unilateral hearing loss in children. Laryngoscope 1991; 101:1264-72.

10. Sirlan F, Suwento R. Hasil survei kesehatan indera penglihatan dan pendengaran 1993-1996. DEPKES RI, 1998.

11. Data kunjungan poliklinik Departemen THT FKUI/RSCM, Jakarta, 2005.

12. American Speech-Language Hearing Association. Guidelines for the audiologic assessment of children from birth to 5 years of age [homepage on the internet]. c2004 [updated 2005 Jul 17; cited 2006 Feb 25].

Available from:

http://www.asha.org/members/deskref-journals/deskref/default.

13. Roberson JB, O’Rourke C, Stidham KR. Auditory steady-state response testing in children: evaluation of a new technology. Otolaryngol Head Neck Surg 2003; 129(1):107-13.

14. John MS, Brown DK, Muir PJ, Picton TW. Recording auditory steady-state responses in young infants. Ear Hearing 2004; 25:539-53.

(13)

15. Schoonhoven R, Lamore PJJ, De Laat JAPM, Grote JJ. Long-term audiometric follow up of click-evoked auditory brainstem response in hearing-impaired infants. Audiol 2000; 39:135-45.

16. Stapells DR. The tone-evoked ABR: why it’s the measure of choice for young infants? Hearing J 2002; 55(11):14-8.

17. Luts H, Wouters J. Hearing assessment by recording multiple auditory steady-state responses: the influence of test duration. Intl J Audiol 2003: 5:1-32.

18. Herdman AT, Picton TW, Stapells DR. Place specificity of multiple auditory steady-state responses. J Acoust Soc Am 2002; 112(4):1569-82.

19. Santiago-Rodriguez E, Harmony T, Bernardino M, Porras-Kattz E, Fernandez-Bouzas A, Fernandez T, et al. Auditory steady-state responses in infants with perinatal brain injury. Pediatr Neurol 2005; 32:236-40.

20. Tonini R, Ballay C, Manolidis S. Auditory steady-state response audiometry in profound SNHL: the impact of abnormal middle ear function. ENT J 2005; 84(5):282-6.

21. Picton TW, Dimitrijevic A, van Roon P, John MS, Reed M, Finkelstein H. Possible roles for the auditory steady-state responses in fitting hearing aids [homepage on the internet]. c2005 [updated 2005 Nov 3; cited 2006 Feb 26]. Available from: http://www.phonak.com/ com_1998proceedings_5.pdf.

22. Gorga MP, Neely ST. Some factors that may influence the accuracy of auditory brainstem response estimates of hearing loss [homepage on the internet]. c2005 [updated 2005 Dec 15;

cited 2006 Feb 26]. Available from: http://www.phonak.com/com_1998proceedin gs_4.pdf.

23. Stapells DR. Frequency-specific evoked potential audiometry in infants [homepage on the internet]. c2005 [updated 2005 Nov 15; cited 2006 Feb 26]. Available from: http://www.phonak.com/com_1998proceedin gs_2.pdf.

24. Schwartz DM, Morris MD, Jacobson JT. The normal auditory brainstem response and its variants. In: Jacobson JT, editor. Principles and applications in auditory evoked potentials. Massachusetts: Allyn and Bacon; 1994. p. 123-54.

25. Stapells DR. Threshold estimation by the tone-evoked auditory brainstem response: a literature meta-analysis. J Speech-Lang Path Audiol 2000; 24(2):74-83.

26. Suwento R. Anak belum dapat berbicara, apakah dikarenakan tuli? Medicinal 2003; 4(2):16-8.

27. Yoshikawa S, Ikeda K, Kudo T, Kobayashi T. The effects of hypoxia, premature birth, infection, ototoxic drugs, circulatory system and congenital disease on neonatal hearing loss. Auris Nasus Larynx 2004; 31:361-8. 28. Savio G, Perez-Abalo MC, Gaya J,

Hernandez O, Mijares E. Test accuracy and prognostic validity of multiple auditory steady-state responses for targeted hearing screening. Intl J Audiol 2006; 45:109-20. 29. Jiang ZD, Wilkinson AR. Neonatal auditory

function and depressed Apgar score: correlation of brainstem auditory response with Apgar score. Acta Paediatr 2006; 1: 1-5.

(14)

30. Swanepoel D, Schmulian D, Hugo R. Establishing normal hearing with dichotic multiple frequency auditory steady-state response compared to an auditory brainstem response protocol. Acta Otolaryngol 2004; 124:62-8.

31. Pusponegoro HD, Wirya IGN, Pudjiadi AH, Bisanto J, Zulkarnain SZ. Uji diagnostik. Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S, eds. Dasar-dasar metodologi klinis. Jakarta: Binarupa Aksara; 1995. h. 126-42.

32. Worster A, Innes G, Abu-Laban RB. Diagnostic testing: an emergency medicine perspective. Can J Emerg Med 2002; 4(5):32-5.

33. Guyatt G, Sackett D, Haynes B. Evaluating diagnostic tests. In: Haynes B, Sacket D, Guyatt G, Tugwell P, eds. Clinical epidemiology: how to do clinical practice research? Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006. p. 273-322.

34. Chu K. An introduction to sensitivity, specificity, predictive values and likelihood ratios. Emerg Med 1999; 11:175-81.

35. Cone-Wesson B, Dowell RC, Tomlin D, Rance G, Ming WJ. The auditory steady-state response: comparisons with the auditory brainstem response. J Am Acad Audiol 2002; 13:173-87.

36. Attias J, Buller N, Rubel Y, Raveh E. Multiple auditory steady-state responses in children and adults with normal hearing, sensorineural hearing loss, or auditory neuropathy. Ann Otol Rhinol Laryngol 2006; 115(4):268-76.

37. Mills JH, Adkins WY, Weber PC. Anatomy and physiology of hearing. In: Bailey BJ, editor. Head and neck surgery - Otolaryngology. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott-Raven Publishers; 1998. p. 1869-88.

38. Vander Werff KR, Brown CJ, Gienapp BA, Clay KMS. Comparison of auditory steady-state response and auditory brainstem response thresholds in children. J Am Acad Audiol 2002; 13:227-35.

Gambar

Tabel 1. Uji diagnostik ASSR 0,5 kHz dibandingkan dengan tone burst ABR 0,5 kHz   ASSR
Gambar 2. ROC Curve ASSR  rerata 1 – 4 kHz dan rerata 2 – 4 kHz   dibandingkan dengan click ABR

Referensi

Dokumen terkait

LCD adalah suatu komponen yang berfungsi sebagai tampilan suatu data.. baik karakter huruf ataupun grafik (contoh LCD dapat dilihat pada gambar

Ia harus mengerjakan PR yang diberikan oleh gurunya pada siang hari, supaya pada malam hari ia bisa kembali mendengarkan cerita nenek tentang kisah Tajul Muluk.. Ia

Dengan profitabilitas tinggi, maka dana internal perusahaan akan lebih tinggi dengan demikian komposisi struktur modal penggunaan modal sendiri lebih besar daripada penggunaan

Dari efeknya, narkoba bisa dibedakan menjadi tiga:.. Depresan, yaitu menekan sistem sistem syaraf pusat dan mengurangi aktifitas fungsional tubuh sehingga pemakai merasa tenang,

Dengan menganalisis kelebihan yang dimiliki oleh enumerasi PPG dibandingkan dengan enumerasi lainnya serta menganalisis metode DGW sebagai metode yang memanfaatkan

Setelah dianalisis dengan mengguna- kan data yang disebutkan diatas maka ana- lisis FARM akan menghasilkan nilai Mar- kup Minimum dari proyek, dimana de- ngan penambahan

Untuk mengetahui solusi yang dapat menyelesaikan kendala dalam pelaksanaan model pembelajaran VAK (visual, auditory, kinestethic) untuk meningkatkan keaktifan

Penurunan produksi jagung tahun 2010 (ARAM I) diperkirakan terjadi pada subround Mei-Agustus sebesar 51 ton (-13,53 persen) dan subround September-Desember diperkirakan turun