• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 312012009 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 312012009 BAB III"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

52

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan teori dan analisis yang telah diuraikan pada bab sebelumnya dapat

diambil beberapa kesimpulan mengenai perbandingan pengaturan pembuktian ITE di

Indonesia dan di Singapura:

1. Pengaturan hukum Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia

berdasarkan UU Telekomunikasi 1999 dan UU ITE 2008, bahwa bukti

elektronik merupakan alat bukti yang sah dan dapat diajukan dalam

persidangan. Kemudian dalam memutus sebuah perkara majelis hakim hanya

mengakui alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang serta atas keyakinannya

sendiri sesuai dengan Teori Pembuktian Undang-Undang secara Negatif yang

di anut oleh Indonesia.

2. Pengaturan hukum Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia menurut

hukum Singapura khususnya Electronic Transaction Act 2010, suatu bukti

dapat memiliki kekuatan bukti (bewijskracht) yang mengikat bagi hakim atau

mempunyai kekuatan pembuktian bebas (vrije bewijs) dalam arti kekuatan

buktinya diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Alat bukti dalam perkara

perdata dan pidana tidak lagi ditetapkan secara limitatif dan berurutan,

(2)

53

semua bentuk yang dapat dijadikan bukti merupakan alat bukti yang dapat

diajukan di persidangan sepanjang hakim menyetujui dan mengakuinya sebagai

bukti.

3. Perbedaan berdasarkan pembuktian dalam Putusan Pengadilan di Indonesia dan

Yurisprudensi di Singapura adalah, pertama sistem pembuktian dianut

Indonesia dalam putusan pidana adalah Teori/Sistem Pembuktian ”negatief

wettelijk stelsel” atau sistem pembuktian menurut undang-undang secara

negatif yang harus:

a. Kesalahan terbukti dengan sekurang-kurangnya ”dua alat bukti yang sah”.

b. Dengan alat bukti minimum yang sah tersebut hakim memperoleh

keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.

Kemudian sistem pembuktian dianut Indonesia dalam putusan perdata

adalah Teori/Sistem Pembuktian Positif. Oleh karena itu hakm terikat

sepenuhnya pada ketentuan yang berlaku.

Berbeda dengan Singapura yang menganut Teori Pembuktin Bebas. Teori

ini mengakui adanya alat-alat dan cara pembuktian, tetapi hakim dapat

menentukan alat-alat dan cara pembuktian sendiri yang tidak diatur dalam

undang-undang.

Kedua alat bukti. Alat-alat bukti untuk kasus ITE di Indonesia diatur

dalam Pasal 5 UU ITE tahun 2008. Alat bukti itulah yang dianggap sah untuk

diajukan dalam persidangan. Sedangkan menurut ETA 2010 dalam Pasal 6 alat

(3)

54

dan tidak akan ditolak secara hukum. Namun pada Yurisprudensi ITE di

Singapura, Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada para pihak untuk

mengajukan alat bukti lain selain yang sudah diatur dalam ETA 2010. Hal ini

terjadi karena berdasarkan teori pembuktian yang dianut Singapura, bahwa alat

bukti tidak terbatas hanya dalam aturan sebagai pedoman Majelis Hakim.

Ketiga mengenai penyidikan dalam Pasal 44 (1) UU Telekomunikasi 1999, Pasal 42

UU ITE 2008, secara jelas bahwa yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik

adalah Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri

Sipil tertentu dengan tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi

dan Transaksi Elektronik dan Telekomunikasi. Sedangkan penyidik kasus ITE

menurut ETA 2010 dalam Pasal 27 adalah The Controller shall, subject to any

general or special directions of the Minister, perform such duties as are imposed and

may exercise such powers as are conferred upon him by this Act or any other written

law.

3.1Saran

Adapun saran yang diusulkan penulis yang didapat selama melakukan penelitian ini:

1. Untuk menentukan salah tidaknya terdakwa Indonesia yang menganut sistem

pembuktian undang-undang secara negatif dalam putusan pidana dan Tori

Pembuktian Positif dalam putusan perdata, majelis hakim wajib menempatkan

keyakinan dan alat bukti yang cukup dalam ukuran yang seimbang. Jadi tidak ada

(4)

55

sesuai dengan hukum. Hal ini perlu dilakukan agar terhindar dan penyalahgunaan

kekuasaan sebagai hakim dalam memutus sebuah perkara.

2. Majelis Hakim di Singapura yang menganut Teori Pembuktian Bebas perlu

mendasarkan pertimbangan hukumnya pada putuan-putusan hakim terdahulu

(yurisprudensi). Tujuannya untuk menjaga kepastian hukum pada saat hakim

diberi kebabasan untuk menghasilkan hukum. Sebab kebebasan hakim akan

berakibat tidak baik, jika kebebasan tersebut dilatar belakangi oleh faktor

Referensi

Dokumen terkait

Pertimbangan Majelis Hakim pada Mahkamah Agung tersebut merupakan bantahan terhadap pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga yang memberikan pertimbangan dalam

ANINDYA MUTIARA, E0009044, ANALISIS YURIDIS KONSTRUKSI PEMBUKTIAN HAKIM PENGADILAN NEGERI BEKASI DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS DAN UPAYA HUKUMNYA OLEH PENUNTUT

ANALISIS TERHADAP PEMBUKTIAN DAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN YANG MENYATAKAN BEBAS DARI SEGALA DAKWAAN DALAM PERKARA KORUPSI (Studi Putusan

Menurut penulis, putusan yang telah diberikan oleh majelis hakim dirasa telah sesuai dengan fakta-fakta dipersidangan dan memperhatikan pertimbangan yuridis dan non yuridis

Bahwa Majelis Hakim Tingkat Kasasi telah khilaf dan keliru dalam menerapkan suatu hukum dalam pertimbangan hukumnya di dalam halaman 14 Putusan Mahkamah Agung Republik Indoneia

Bahwa Majelis Hakim Tingkat Kasasi telah khilaf dan keliru dalam menerapkan suatu hukum dalam pertimbangan hukumnya di dalam halaman 14 Putusan Mahkamah Agung Republik

pertimbangan sebagaimana ternyata dalam putusan Pengadilan Agama Tigaraksa tentang pokok perkara , Majelis Hakim Tingkat Banding sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim

Bahwa Majelis Hakim Tingkat Kasasi telah khilaf dan keliru dalam menerapkan suatu hukum dalam pertimbangan hukumnya di dalam halaman 14 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor