KAJIAN INTERAKSI OBAT PADA PERESEPAN PASIEN RAWAT JALAN DIABETES MELITUS DI RUMAH SAKIT PANTI NUGROHO
YOGYAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2016 SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Sridea
NIM : 138114054
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
KAJIAN INTERAKSI OBAT PADA PERESEPAN PASIEN RAWAT JALAN DIABETES MELITUS DI RUMAH SAKIT PANTI NUGROHO
YOGYAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2016 SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Sridea
NIM : 138114054
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Birds don’t just fly
They fall down and get up
Nobody learns without getting it wrong
Don’t beat yourself up
No need to run so fast
Sometimes we come last, but we did our best
-Try Everything (Shakira)
If the mind keeps think
ing you’ve had enough
But the heart keeps telling you don’t give up
Who are we to be questioning, wondering what is what?
Don’t give up, through it all, just stand up!
-Just Stand Up (Various Artists)
Kupersembahkan untuk :
Lao Mu Tuhan Yang Maha Kasih, tuntunan hidupku
Orang tua beserta keluarga yang selalu mendukungku
v
PRAKATA
Puji syukur kepada Lao Mu Tuhan Yang Maha Esa yang telah mencurahkan kasih dan berkahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Kajian Interaksi Obat pada Peresepan Pasien Rawat Jalan Diabetes Melitus di Rumah Sakit Panti Nugroho Periode Januari-Juni 2016” sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Skripsi ini tersusun atas bimbingan, bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak, maka dari itu penulis mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma atas bimbingan dan dukungan yang telah diberikan selama penulis menjalani pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
2. Bapak Septimawanto Dwi Prasetyo, M.Si., Apt sebagai dosen pembimbing yang telah dengan sabar memberikan arahan, bimbingan, saran, semangat, dan dukungan selama proses penelitian hingga penyusunan skripsi.
3. Direktur Rumah Sakit Umum Panti Nugroho Yogyakarta, Dr. Tandean Arif Wibowo, MPH yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.
4. Ketua Komisi Etik Penelitian Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana, Prof. Dr. dr. Soebijanto yang telah mengeluarkan Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance) untuk penelitian ini.
5. Ibu Dr. Rita Suhadi, M.Si., Apt yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran, dan kesabarannya selama proses penyusunan skripsi ini.
6. Ibu Putu Dyana Christasani, M.Sc., Apt yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran, dan kesabarannya selama proses penyusunan skripsi ini. 7. Orang tua penulis, Pepito dan Komaria yang tiada hentinya memberikan
vi
8. Adik-adik yang penulis sayangi Silvia, Sintia, dan Natalia Kristina yang dengan caranya sendiri memberikan semangat dan motivasi agar penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Yeni Surya, Damar Wulandari, Yeni Sari, Windy Marcellina, dan Thomas David Tjiang sebagai sahabat yang selalu menemani dengan sabar, memberi semangat dan dukungan dari awal sampai saat ini.
10.Veronica Olivia G.P.D., Yokebed Christina G., Maynardo Innocencio, dan Priscilla Frihastie S., sahabat „Kemlinthi’ yang selalu kompak dan setia dalam suka dan duka selama perkuliahan, serta memberikan bantuan dan dukungan selama penyusunan skripsi ini.
11.Rekan-rekan skripsi (Sari, Yoke, Priscil) yang selalu saling membantu, mendukung, dan kompak dari mulai penyusunan proposal hingga terselesaikannya skripsi ini.
12.Keluarga kecil di kos „Green House’ (Thevany, Asti Aprilia, Rita Tjhin, Ignatia Handipta) yang telah ikut membantu penulis dalam mengurus semua keperluan terkait skripsi ini.
13.Teman-teman FKK-A 2013, FSM-B 2013, dan thirteenity yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Kasih memberikan rahmatNya kepada seluruh pihak yang berperan membantu serta mendukung dalam pelaksanaan dan penyelesaian penelitian ini. Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga penulis menerima segala bentuk kritik, saran, dan koreksi dari semua pihak untuk membuat skripsi ini menjadi lebih baik. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna bagi banyak pihak.
ix
ABSTRAK
Diabetes adalah salah satu kondisi kesehatan darurat global terbesar di abad ke-21. Pasien diabetes sering diberikan obat untuk pengobatan penyakit penyerta lain. Dalam situasi tersebut, pengobatan diberikan secara bersamaan sehingga ada kemungkinan terjadinya interaksi obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum peresepan pasien; mengetahui besar insiden terjadinya interaksi obat; dan mengevaluasi interaksi obat terkait mekanisme, serta kategori signifikansi klinis peresepan pasien rawat jalan diabetes melitus di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta. Penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental, jenis penelitian observasional deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Hasil pengumpulan data rekam medis pasien periode Januari-Juni 2016 dikaji berdasarkan literatur dan diolah dengan menghitung persentasenya. Hasil analisis data mencakup karakteristik pasien; gambaran umum peresepan pasien; besar insiden, jenis, dan kategori signifikansi klinis interaksi obat. Dari hasil sampling diperoleh 234 resep, pasien diabetes melitus terbanyak terdapat pada kelompok jenis kelamin perempuan (59,83%) dan berusia 60-69 tahun (33,33%). Jumlah obat antidiabetika terbanyak dalam satu resep hanya satu jenis obat (49,57%). Golongan obat antidiabetika yang paling banyak digunakan adalah biguanid (60,27%) dengan jenis obat antidiabetika yang paling banyak digunakan adalah metformin (60,27%). Terdapat 148 resep yang mengalami interaksi obat, dengan kategori signifikansi klinis yang paling banyak adalah kategori signifikan (9,83%).
x
ABSTRACT
Diabetes is one of the largest global health emergencies of the 21th century. Diabetic patients often need to administered drugs for treatment of other co-existing diseases. Therefore, the treatment have to be given simultaneously so there is the possibility of drug interactions. This study aims to determine the general picture of prescribing patients; to determine the incidence of drug interactions; and to evaluate drug interactions related to mechanism and the category of clinical significance of prescribing diabetes mellitus outpatient at Panti Nugroho Hospital Yogyakarta. This study is descriptive evaluative observational non-experimental research with retrospective data. The data collected from medical records of patients between period January-June 2016 are studied based on the literature and processed by calculating the percentage. Results of the data analysis included patient’s characteristics; general picture of prescribing patients; the incidence, type and category of clinical significance of drug interactions. From 234 prescription, most diabetes mellitus patients are the female gender (59.83%) and aged 60-69 years (33.33%). Antidiabetics highest number in a single recipe is one drug (49.57%). Class of antidiabetic drugs most widely used is biguanide (60.27%) and types of antidiabetic drugs most widely used is metformin (60.27%). There are 148 recipes experiencing drug interactions, with mostly significant category of clinical significance (9.83%).
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PRAKATA ... v
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... viii
ABSTRAK ... ix
ABSTRACT ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
PENDAHULUAN ... 1
METODE PENELITIAN ... 2
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 4
A. Karakteristik Pasien Diabetes Melitus ... 4
B. Gambaran Umum Peresepan Pasien Diabetes Melitus ... 5
C. Kajian Interaksi Obat pada Peresepan Pasien Diabetes Melitus ... 7
KESIMPULAN DAN SARAN ... 10
A. Kesimpulan ... 10
B. Saran ... 10
DAFTAR PUSTAKA ... 11
LAMPIRAN ... 13
xii
DAFTAR TABEL
Tabel I. Karakteristik Pasien Rawat Jalan Diabetes Melitus di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta Periode Januari-Juni 2016...4
Tabel II. Gambaran Umum Peresepan Pasien Rawat Jalan Diabetes Melitus di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta Periode Januari-Juni 2016...6
Tabel III. Kajian Interaksi Obat antara Obat Antidiabetika dengan Obat Lain pada Peresepan Pasien Rawat Jalan Diabetes Melitus di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta Periode Januari-Juni 2016...8
Tabel IV. Data 5 Interaksi Obat antara Obat Antidiabetika dengan Obat Lain yang Paling Banyak Terjadi pada Peresepan Pasien Rawat Jalan Diabetes Melitus di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta Periode Januari-Juni 2016...9
Tabel V. Mekanisme, Efek, dan Managemen Interaksi Obat antara Obat
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Tabel V. Mekanisme, Efek, dan Managemen Interaksi Obat antara Obat Antidiabetika dengan Obat Lain...14
Lampiran 2 : Surat Keterangan Izin Penelitian...23
1
PENDAHULUAN
Diabetes melitus (DM) adalah salah satu kondisi kesehatan darurat global terbesar di abad ke-21. Pada tahun 2015, IDF mengestimasi bahwa satu dari sebelas orang dewasa mengalami diabetes. Indonesia berada di peringkat ke tujuh untuk negara dengan jumlah penduduk yang mengalami penyakit diabetes terbanyak di dunia di tahun 2015 (International Diabetes Federation, 2015). Prevalensi diabetes di Indonesia tahun 2013 berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter sebesar 1,5 persen. Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI. Yogyakarta (2,6%) (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013).
Pasien diabetes juga memerlukan obat untuk penyakit penyerta lain, baik untuk jangka pendek atau seumur hidup. Dalam situasi seperti itu, pengobatan untuk penyakit yang berbeda harus diberikan secara bersamaan sehingga ada kemungkinan terjadinya interaksi antara obat (Swamy et al., 2010). Interaksi obat adalah situasi yang mana suatu senyawa mempengaruhi aktivitas obat, misalnya efek meningkat atau menurun, atau menghasilkan efek baru yang tidak dihasilkan oleh obat itu sendiri (Bushra et al., 2011). Apabila terjadi penghambatan obat lain terhadap obat antidiabetik maka dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemik, sebaliknya bila efek antidiabetik ditingkatkan oleh obat lainnya maka akan menyebabkan terjadinya hipoglikemik (Hongdiyanto et al., 2013).
Beberapa laporan studi menyebutkan bahwa proporsi interaksi obat dengan obat lain (antar obat) berkisar antara 2,2% sampai 30% terjadi pada pasien rawat inap dan 9,2% sampai 70,3% terjadi pada pasien rawat jalan (Gitawati, 2008). Penelitian difokuskan pada peresepan pasien rawat jalan dengan mempertimbangkan bahwa proporsi interaksi obat lebih banyak terjadi pada pasien rawat jalan dan belum terdapat penelitian mengenai kajian interaksi obat pada peresepan pasien rawat jalan diabetes melitus di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta.
2
Penelitian berjudul “Kajian Interaksi Obat pada Peresepan Pasien Rawat Jalan Diabetes Melitus di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta Periode Januari-Juni 2016” termasuk penelitian non eksperimental dengan jenis penelitian observasional deskriptif evaluatif dengan rancangan penelitian studi potong lintang yang bersifat retrospektif.
Bahan penelitian yang digunakan adalah rekam medis (medical record) dari pasien rawat jalan diabetes melitus di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta yang menerima pengobatan periode Januari-Juni tahun 2016 yang ditulis oleh dokter dan perawat mengenai data pengobatan pasien. Alat atau instrumen berupa lembar kerja yang bertujuan untuk mempermudah dalam pengambilan data penelitian terhadap peresepan pengobatan pasien rawat jalan diabetes melitus di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta. Lembar kerja memuat data yang diambil dari rekam medis (RM) pasien yaitu tanggal pengobatan, nomor RM, umur, jenis kelamin, kadar glukosa darah, diagnosis medis, jenis dan regimen obat antidiabetika dan non antidiabetika, jumlah obat antidiabetika dan non antidiabetika, serta data klinik atau laboratorium pasien. Selain itu, instrumen penelitian menggunakan literatur yang digunakan untuk mengkaji interaksi obat yang terjadi pada peresepan pasien rawat jalan diabetes melitus. Literatur yang digunakan adalah Medscape (2016) dan Tatro (2007).
3
farmakokinetik dan farmakodinamik yang terjadi pada peresepan pasien diabetes melitus. Kategori signifikansi klinis interaksi obat merupakan level atau tingkat signifikansi dari beberapa obat yang saling berinteraksi. Jenis dan kategori signifikansi klinis interaksi obat yang terjadi pada peresepan pasien rawat jalan diabetes melitus di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta periode Januari-Juni tahun 2016 dikaji secara teoritis berdasarkan literatur yang mengacu pada Medscape (2016) dan Tatro (2007). Interaksi yang terjadi antara obat antidiabetika tidak didefinisikan sebagai interaksi yang merugikan dalam penelitian ini karena beberapa obat antidiabetika yang diberikan secara bersamaan merupakan bagian dari algoritma terapi antihiperglikemik menurut rekomendasi umum
American Diabetes Association (2016).
Tata cara penelitian dimulai dengan tahap orientasi dimana peneliti melakukan survei ke tempat penelitian untuk mengetahui adanya kebutuhan mengenai evaluasi peresepan pasien pada penyakit tertentu serta tata cara dalam pengambilan data penelitian di rumah sakit tersebut. Selanjutnya, tahap penentuan subyek penelitian dengan menggunakan data populasi kemudian menggunakan metode sampling untuk memperoleh sampel penelitian. Penentuan ukuran sampel penelitian dihitung dengan menggunakan rumus Taro Yamane dengan tingkat kepercayaan 95% dan harga proporsi interaksi obat pada populasi (P) yang belum diketahui diasumsikan 0,5 yaitu:
n = N / [1 + N (e)2 ]
4
diperoleh diolah dengan metode statistika deksriptif dengan menghitung persentasenya. Hasil analisis data mencakup gambaran umum peresepan pasien diabetes melitus, persentase interaksi obat, jenis interaksi obat, dan kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien rawat jalan diabetes melitus di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta periode Januari-Juni tahun 2016.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kajian interaksi obat pada peresepan pasien rawat jalan diabetes melitus di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta periode Januari-Juni 2016 disajikan dalam tiga bagian. Bagian pertama mengenai karakteristik pasien diabetes melitus. Bagian kedua mengenai gambaran umum peresepan pasien diabetes melitus. Bagian ketiga mengenai kajian interaksi obat pada peresepan pasien diabetes melitus meliputi besar insiden terjadinya interaksi obat, jenis interaksi, dan kategori signifikansi klinis.
A. Karakteristik Pasien Diabetes Melitus
Karakteristik pasien rawat jalan diabetes melitus di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta periode Januari-Juni 2016 pada penelitian ini meliputi jenis kelamin dan umur (Tabel I). Dapat dilihat dari Tabel I bahwa pasien rawat jalan diabetes melitus di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta periode Januari-Juni 2016 lebih banyak berjenis kelamin perempuan (59,83%) dibandingkan laki-laki (40,17%). Sementara jika dilihat dari usia, prevalensi tertinggi terdapat pada pasien dengan usia 60-69 tahun (33,33%), kemudian pasien berusia 50-59 tahun (32,48%).
Tabel I. Karakteristik Pasien Rawat Jalan Diabetes Melitus di Rumah Sakit Panti
Nugroho Yogyakarta Periode Januari-Juni 2016
No Karakteristik
Pasien Parameter
Pasien (n = 234)
n %
5
Karakteristik pasien tersebut sesuai menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 yaitu prevalensi diabetes di Indonesia pada umur ≥ 15 tahun menurut karakteristik jenis kelamin cenderung lebih tinggi terjadi pada perempuan (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013). Hal ini dapat dikarenakan salah satu faktor risiko DM yang paling menonjol yaitu obesitas, lebih sering terjadi pada wanita. Pada populasi Asia, wanita dengan lingkar pinggang dan BMI normal didiagnosis obesitas viseral oleh tomografi komputer. Ini menunjukkan risiko kardiometabolik dalam hal kelainan glukosa dan lipid yang lebih besar pada wanita dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan jenis kelamin menggambarkan perbedaan terkait biologi antara perempuan dan laki-laki, yang disebabkan oleh perbedaan pada kromosom seks, ekspresi gen spesifik-seks dari autosom, hormon seks, and efeknya pada sistem organ. Perempuan menunjukkan perubahan yang lebih dramatis dalam hormon dan tubuh karena faktor reproduksi selama hidup (Kautzky-Willer et al., 2016).
Prevalensi diabetes melitus di Indonesia pada umur ≥ 15 tahun berdasarkan diagnosis dokter dan gejala meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, namun mulai umur ≥ 65 tahun cenderung menurun (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013). Umur merupakan salah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap ketidak sensitifan insulin. Peningkatan pesat pada jumlah pasien umur pertengahan dan tinggi berkaitan erat dengan obesitas yang disebabkan karena kurangnya latihan seiring dengan penurunan massa otot, menginduksi resistensi insulin (Ozougwu et al., 2013). Hasil estimasi menunjukkan bahwa 75% dari pengeluaran kesehatan global pada diabetes tahun 2015 adalah untuk orang-orang antara usia 50 dan 79 tahun, yang mencerminkan prevalensi diabetes dan komplikasi diabetes lebih besar pada kelompok usia ini (International Diabetes Federation, 2015). Telah disadari dalam berbagai penelitian bahwa orang dengan usia yang lebih tua lebih berisiko untuk mengalami kondisi yang lebih kronis karena kelompok usia ini biasanya memiliki beberapa penyakit dan juga diresepkan dengan beberapa obat (Murtaza et al., 2016).
B. Gambaran Umum Peresepan Pasien Diabetes Melitus
6 antidiabetika yang diterima pasien (Tabel II).
Tabel II. Gambaran Umum Peresepan Pasien Rawat Jalan Diabetes Melitus di Rumah
Sakit Panti Nugroho Yogyakarta Periode Januari-Juni 2016 Jumlah obat
antidiabetika Golongan obat antidiabetika
Jumlah (n = 234)
n %
1
1.Biguanid (metformin) 2.Sulfonilurea
a. Glikuidon b. Glibenklamid c. Glimepirid d. Gliklazid
3.α-glukosidase inhibitor (akarbosa) 4.Insulin kerja singkat
a. Insulin aspart b. Insulin detemir
5.Insulin kerja lama (insulin glargine)
56
b. Biguanid+α-glukosidase inhibitor c. Biguanid+insulin kerja singkat d. Biguanid+insulin kerja lama
e. Sulfonilurea+α-glukosidase inhibitor f. Sulfonilurea+insulin kerja singkat g. Sulfonilurea+insulin kerja lama
h. α-glukosidase inhibitor+insulin kerja singkat i. α-glukosidase inhibitor+insulin kerja lama j. Insulin kerja singkat+insulin kerja lama
52
a. Biguanid+sulfonilurea+α-glukosidase inhibitor
b. Biguanid+sulfonilurea+insulin kerja singkat c. Biguanid+sulfonilurea+insulin kerja lama d. Biguanid+insulin kerja singkat+insulin kerja
lama
e. Sulfonilurea+α-glukosidase inhibitor+insulin kerja singkat
f. Sulfonilurea+α-glukosidase inhibitor+insulin kerja lama
7
menjadi kombinasi 2 obat atau dual therapy. Jika target A1C tidak tercapai setelah sekitar 3 bulan dengan dual therapy, lanjutkan menjadi kombinasi 3 obat atau triple therapy. Golongan obat antidiabetika yang paling banyak digunakan adalah biguanid (60,27%), dengan jenis obat antidiabetika metformin (60,27%). Metformin merupakan agen inisial monoterapi yang harus ditambahkan pada, atau segera setelah, diagnosis, kecuali ada kontraindikasi atau intoleransi. Metformin memiliki dasar bukti yang sudah bertahan lama untuk efikasi dan keamanannya, tidak mahal, dan dapat menurunkan risiko kejadian kardiovaskular dan kematian (American Diabetes Association, 2016). Kombinasi 2 obat antidiabetika yang paling banyak digunakan adalah kombinasi antara biguanid+sulfonilurea (22,22%), sementara kombinasi 3 obat antidiabetika yang paling banyak ditemukan adalah kombinasi antara biguanid+sulfonilurea+α-glukosidase inhibitor (8,12%).
C. Kajian Interaksi Obat pada Peresepan Pasien Diabetes Melitus
Kajian interaksi obat peresepan pasien rawat jalan diabetes melitus di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta periode Januari-Juni 2016 pada penelitian ini meliputi besar insiden terjadinya interaksi obat (Gambar 1), jenis interaksi dan kategori signifikansi klinis (Tabel III).
Gambar 1. Diagram persentase interaksi obat pada peresepan pasien
rawat jalan diabetes melitus di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta periode Januari-Juni 2016 berdasarkan kajian literatur (n = 234)
8
antidiabetik dan ketika penyakit berkembang, terapi kombinasi dengan antidiabetika oral lain, atau terapi parenteral dengan insulin atau agonis reseptor GLP-1, mungkin dibutuhkan. Selain itu, untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular, pengobatan multi target, termasuk antihipertensi, obat penurun-lipid dan antiplatelet, digunakan pada pasien DM tipe 2. Karena penyakit penyerta yang berbeda, pasien-pasien ini sering diobati dengan beberapa obat, disebut sebagai polifarmakoterapi (Tornio et al., 2012). Peningkatan jumlah obat yang diterima pasien secara bersamaan meningkatkan risiko pasien mengalami interaksi obat atau efek obat yang merugikan (May and Schindler, 2016).
Tabel III. Kajian Interaksi Obat antara Obat Antidiabetika dengan Obat Lain pada
Peresepan Pasien Rawat Jalan Diabetes Melitus di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta Periode Januari-Juni 2016
No Kajian Interaksi
Obat Parameter
Jumlah (n = 234)
n %
1. Jenis interaksi
Farmakokinetik
signifikansi klinis
9
Kategori signifikansi klinis berdasarkan Medscape (2016) yang paling banyak ditemukan adalah kategori signifikan sebanyak 23 interaksi (9,83%) dari total 39 interaksi obat antara obat antidiabetika dengan obat lain. Sementara, kategori minor sebanyak 16 interaksi (6,84%), dan tidak ditemukan adanya interaksi obat antara obat antidiabetika dengan obat lain yang masuk dalam kategori serius pada penelitian ini. Namun, dari 122 resep yang mengalami interaksi antara obat lain dengan obat lain terdapat 10 interaksi yang termasuk dalam kategori signifikansi klinis serius yaitu interaksi antara amlodipine+simvastatin, clonidine+bisoprolol, captopril+allopurinol, lansoprazol+digoxin, irbesartan+lisinopril, valsartan+captopril, meloxicam+ketorolac, amitriptilin+clonidine, aspirin+ketorolac, dan gemfibrozil+cilostazol.
Pada kategori signifikansi klinis serius, efek yang ditimbulkan berpotensi membahayakan pasien sehingga kombinasi obat tersebut harus dihindari atau dapat menggunakan alternatif lain pada pasien. Pada kategori signifikansi interaksi obat signifikan diperlukan adanya pengawasan/monitoring secara ketat terhadap kombinasi obat yang diberikan pada pasien dengan memperhatikan efek yang mungkin ditimbulkan akibat interaksi tersebut. Pada kategori signifikansi minor, interaksi yang terjadi tidak signifikan dan tidak menimbulkan efek yang membahayakan bagi pasien sehingga kombinasi obat dapat diberikan atau tidak memerlukan perubahan apapun dalam pengobatan (Medscape, 2016) dan (Kapadia et al., 2013).
Tabel IV. Data 5 Interaksi Obat antara Obat Antidiabetika dengan Obat Lain yang
Paling Banyak Terjadi pada Peresepan Pasien Rawat Jalan Diabetes Melitus di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta Periode Januari-Juni 2016
No. Interaksi Obat Jenis Interaksi
Obat
Kategori Signifikansi
Klinis
Jumlah Interaksi
Obat
1 Metformin+amitriptilin Farmakodinamik Minor 15
2 Glimepiride+amitriptilin Farmakodinamik Minor 12
3 Metformin+vitamin B12 Tidak spesifik Minor 10
4 Metformin+clonidine Glimepiride+gemfibrozil
Farmakodinamik Farmakokinetik
Minor
Signifikan 7
5 Metformin+furosemide Insulin aspart+amitriptilin
Tidak spesifik Farmakodinamik
Minor
Minor 6
10
mekanisme yang sama yaitu amitriptilin meningkatkan efek metformin/glimepiride dengan sinergisme farmakodinamik sehingga dapat terjadi risiko hipoglikemik pada pasien (Medscape, 2016). Manajemen yang dapat dilakukan adalah melakukan monitoring glukosa darah pasien setiap minggu sampai stabil. Interaksi kedua obat tersebut umumnya dianggap aman kecuali diabetes tidak terkontrol atau berhubungan dengan penyakit jantung atau ginjal yang signifikan (Karalliedde et al., 2010). Sementara, interaksi antara metformin+vitamin B12 memiliki kategori signifikansi klinis minor dan mekanisme tidak spesifik akibatnya metformin dapat menurunkan kadar vitamin B12. Namun, dibutuhkan beberapa tahun terapi metformin untuk mengembangkan defisiensi vitamin B12 sehingga kombinasi obat dapat diberikan dan tidak memerlukan perubahan apapun dalam pengobatan (Medscape, 2016).
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
1. Besar insiden terjadinya interaksi obat pada peresepan pasien rawat jalan diabetes melitus periode Januari-Juni 2016 berdasarkan kajian literatur adalah 63,25%. Jenis interaksi yang paling banyak terjadi adalah interaksi farmakodinamik (9,83%) dan kategori signifikansi klinis yang paling banyak ditemukan adalah kategori signifikansi klinis signifikan (9,83%). Interaksi obat antara obat antidiabetika dengan obat lain yang paling banyak terjadi dalam penelitian ini adalah interaksi antara metformin+amitriptilin pada 15 resep, glimepiride+amitriptilin pada 12 resep, dan metformin+vitamin B12 pada 10 resep.
2. Gambaran umum peresepan pasien meliputi jumlah obat antidiabetika yang diterima pasien dalam satu resep sebesar 49,57% hanya satu jenis obat. Golongan obat antidiabetika yang paling banyak digunakan adalah biguanid (60,27%), dengan jenis obat antidiabetika yaitu metformin (60,27%). Kombinasi 2 obat antidiabetika yang paling banyak digunakan adalah kombinasi biguanid+sulfonilurea (22,22%) dan kombinasi 3 obat antidiabetika yang paling banyak digunakan adalah kombinasi biguanid+sulfonilurea+α-glukosidase inhibitor (8,12%).
B. Saran
11
yang membutuhkan banyak pengobatan lainnya disertai wawancara terkait terapi yang diberikan oleh dokter dan penjelasan yang diperoleh dari apoteker.
2. Bagi pihak rumah sakit untuk mencegah atau mengurangi terjadinya interaksi obat, beberapa hal berikut dapat dipertimbangkan:
i. Usahakan memberikan jumlah obat sesedikit mungkin pada tiap-tiap penderita, termasuk pemberian obat-obat OTC dan obat herbal.
ii. Dalam memberikan obat, perhatian terutama pada pasien usia lanjut, pasien dengan penyakit sangat berat, dan pasien dengan disfungsi hati atau ginjal. iii. Sangat berhati-hati jika menggunakan obat-obat dengan batas keamanan sempit
(antikoagulan, digitalis, antidiabetik, antiaritmia, antikonvulsan, antipsikotik, antidepresan, imunosupresan, sitostatika), dan obat-obat inhibitor kuat CYP (ketokonazol, itrakonazol, eritromisin, klaritromisin).
iv. Melakukan monitoring terhadap kejadian interaksi (misal, terhadap tanda, gejala, uji laboratorik) sehingga dapat cepat terdeteksi dan diambil tindakan yang memadai, seperti menyesuaikan dosis atau menghentikan salah satu obat yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association, 2016, Standards of Medical Care in Diabetes-2016,
Diabetes Care, Vol. 39 Suppl. 1, pp. S53-S54.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013, Riset Kesehatan Dasar 2013, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta, p. 88-90.
Bushra, R., Aslam, N., and Khan, A.Y., 2011, Food-Drug Interactions, Oman Medical Journal, Vol. 26 No. 2, p. 77.
Chavda, N.B., Solanky, P.P., Baria, H., Naik, R., and Bharti K., 2015, Study of potential drug-drug interaction between prescribed drugs in patients attending outpatient department of medicine at tertiary-care hospital in south Gujarat region, National Journal of Physiology, Pharmacy, and Pharmacology, Vol. 5 Issue 3, p. 236. Gitawati, R., 2008, Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya, Media Litbang Kesehatan,
Vol. XVIII No. 4, p. 175.
12
International Diabetes Federation, pp. 12, 52, 59.
Kapadia, J., Thakor, D., Desai, C., and Dikshit, R.K., 2013, A Study of Potential Drug-Drug Interactions in Indoor Patients of Medicine Department at a Tertiary Care Hospital, JAPS, Vol. 3(10), p. 090.
Karalliedde, L., Clarke, S.F.J., Collignon, U., and Karalliedde, J., 2010, Adverse Drug Interactions: A Handbook for Prescribers, Hodder Education, London, pp. 407-435.
Kautzky-Willer, A., Harreiter J., and Pacini, G., 2016, Sex and Gender Differences in Risk, Pathophysiology and Complications of Type 2 Diabetes Mellitus, Endocrine Reviews, 37(3), pp. 278-281.
May, M., and Schindler, C., 2016, Clinically and pharmacologically relevant interactions of antidiabetic drugs, Ther Adv Endocrinol Metab, Vol. 7(2), p. 69.
Medscape, 2016, Drug Interaction Checker, http://reference.medscape.com/drug-interactionchecker.
Murtaza, G., Khan, M.Y.G., Azhar, S., Khan, S.A., and Khan, T.M., 2016, Assessment of potential drug-drug interactions and its associated factors in the hospitalized cardiac patient, Saudi Pharmaceutical Journal, Vol. 24, p. 221.
Ozougwu, J.C., Obimba, K.C., Belonwu, C.D., and Unakalamba, C.B., 2013, The pathogenesis and pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus, J. Physiol. Pathophysiol, Vol. 4(4), pp. 53-54.
Singh, A.S., and Masuku, M.B., 2014, Sampling Techniques & Determination of Sample Size in Applied Statistics Research: An Overview, IJECM, Vol. II Issue 11, p. 15. Strandell, J., and Wahlin, S., 2011, Pharmacodynamic and pharmacokinetic drug
interaction reported to VigiBase, the WHO global individual case safety report database, Eur J Clin Pharmacol, Vol. 67, p. 633.
Swamy, V.K.M., Setty, R.S., Shankaraiah, M.M., Jyothi, T.M., and Rajendra, S.V., 2010, A Study on Drug-Drug Interaction of Esomeprazole and Anti-Diabetic Drugs, J Young Pharm, 2(4), p. 424.
Tornio, A., Niemi, M., Neuvonen, P.J., and Backman, J.T., 2012, Drug interactions with oral antidiabetic agents: pharmacokinetic mechanisms and clinical implications,
13
14
No Obat antidiabetika
Obat non-antidiabetika
Mekanisme dan efek interaksi obat
Managemen interaksi obat
1 Metformin Amitriptilin Amitriptilin meningkatkan efek metformin dengan sinergisme farmakodinamik (Medscape, 2016).
15 Waspada dan monitor glukosa darah setiap minggu sampai stabil. Interaksi kedua obat ini umumnya dianggap aman kecuali diabetes tidak terkontrol atau berhubungan dengan penyakit jantung atau ginjal yang signifikan (Karalliedde et al., 2010). 2 Metformin Clonidine Clonidine menurunkan efek
metformin dengan antagonis farmakodinamik dan clonidine dapat menurunkan gejala hipoglikemia dengan mekanisme terinduksi produksi katekolamin (Medscape, 2016).
7 Peringatkan pasien mengenai penutupan tanda hipoglikemia (Karalliedde et al., 2010).
3 Metformin Vitamin B12 Metformin menurunkan kadar vit.B12 dengan mekanisme interaksi yang tidak spesifik. Dibutuhkan beberapa tahun terapi metformin untuk mengembangkan defisiensi vit.B12 (Medscape, 2016).
Tidak spesifik
10 Kombinasi obat dapat diberikan atau tidak memerlukan perubahan apapun dalam pengobatan Medscape (2016).
4 Metformin Nifedipine Nifedipine meningkatkan kadar metformin dengan meningkatkan absorpsi GI, hanya berlaku untuk bentuk sediaan oral dari kedua obat (Medscape, 2016).
Interaksi tindakan pencegahan tertentu yang diperlukan. Namun, jika sebaliknya terjadi kontrol diabetes memburuk tanpa bisa dijelaskan mungkin bijaksana untuk mempertimbangkan penggunaan nifedipine sebagai penyebabnya (Baxter, 2010).
5 Metformin Furosemide Metformin menurunkan atau meningkatkan kadar furosemide dengan mekanisme interaksi yang
Tidak spesifik
15
tidak spesifik (Medscape, 2016). menunjukkan bahwa diuretik loop memiliki banyak pengaruh pada kontrol diabetes di kebanyakan pasien sehingga tidak diperlukan tindakan pencegahan khusus (Baxter, 2010).
6 Metformin Levofloxacin Levofloxacin meningkatkan efek metformin dengan sinergisme farmakodinamik. Pemberian antibiotik quinolone dapat mengakibatkan hiper- atau hipoglikemia (Medscape, 2016).
Interaksi peringatan pada pasien mengenai gejala hipoglikemia. Tanda hipoglikemia yang biasa terjadi termasuk tremor, berkeringat, parestesia, memucat, jantung berdebar, pusing, bicara tidak jelas, kebingungan dan mudah marah. Sementara, gejala umum hiperglikemia termasuk haus, polidipsia (peningkatan asupan cairan oral), mulut kering, poliuria (sering buang air kecil), nokturia (peningkatan pengeluaran urin di malam hari), penurunan berat badan, capek, kelelahan, dan penglihatan kabur (Karalliedde et al., 2010).
7 Metformin Digoxin Digoxin akan meningkatkan kadar atau efek metformin dengan kompetisi obat utama (kationik) untuk klirens tubular ginjal (Medscape, 2016). peringatan pada pasien mengenai gejala hipoglikemia (Karalliedde et al., 2010).
8 Metformin Ciprofloxacin Ciprofloxacin meningkatkan efek metformin dengan sinergisme farmakodinamik. Hiper dan hipoglikemia telah dilaporkan pada pasien yang diterapi secara bersamaan dengan agen quinolone dan antidiabetik (Medscape, 2016).
1 Monitoring glukosa darah secara hati-hati direkomendasikan (Medscape, 2016). Beri peringatan pada pasien mengenai gejala hipoglikemia (Karalliedde et al., 2010).
9 Glimepiride Clonidine Clonidine menurunkan efek glimepiride dengan antagonis farmakodinamik dan clonidine dapat menurunkan gejala hipoglikemia dengan mekanisme
Interaksi
16
10 Glimepiride Amitriptilin Amitriptilin meningkatkan efek glimepiride dengan sinergisme farmakodinamik (Medscape, 2016).
12 Waspada dan monitor glukosa darah setiap minggu sampai stabil. Interaksi kedua obat ini umumnya dianggap aman kecuali diabetes tidak terkontrol atau berhubungan dengan penyakit jantung atau ginjal yang signifikan (Karalliedde et al., 2010). 11 Glimepiride Gemfibrozil Gemfibrozil meningkatkan efek
glimepiride dengan kompetisi ikatan protein plasma sehingga menimbulkan risiko hipoglikemia dan hipoalbuminemia (Medscape, 2016).
Efek hipoglikemik dari glimepiride dapat meningkat dengan mekanisme penghambatan metabolisme glimepiride (CYP2C9) oleh gemfibrozil (Tatro, 2007). ketika gemfibrozil ditambahkan ke atau hentikan dari regimen pengobatan. Maka, lakukan penyesuaian dosis glimepiride (Tatro, 2007). Monitor glukosa darah secara ketat dan beri peringatan pada pasien mengenai hipoglikemia (Karalliedde et al., 2010).
12 Glimepiride Levofloxacin Levofloxacin meningkatkan efek glimepiride dengan sinergisme farmakodinamik. Pemberian antibiotik quinolone dapat mengakibatkan hiper- atau hipoglikemia (Medscape, 2016).
Interaksi mengenai gejala hipoglikemia (Karalliedde et al., 2010).
13 Glimepiride Fenofibrate Fenofibrate meningkatkan efek glimepiride dengan kompetisi ikatan protein plasma sehingga menimbulkan risiko hipoglikemia dan hipoalbuminemia (Medscape, 2016). peringatan pada pasien mengenai hipoglikemia (Karalliedde et al., 2010).
17
15 Glimepiride Captopril Captopril meningkatkan efek glimepiride dengan sinergisme farmakodinamik. Kedua obat ini menurunkan glukosa darah (Medscape, 2016).
4 Pengobatan secara bersamaan tidak perlu dihindari dan sering bermanfaat pada diabetes tipe II. Perhatikan dan peringatkan pasien mengenai gejala hipoglikemia. Waspadalah bahwa risiko hipoglikemia lebih tinggi pada lansia dan pada pasien dengan kontrol glikemik yang buruk (Karalliedde et al., 2010).
16 Glimepiride Propranolol Propranolol menurunkan efek glimepiride dengan antagonisme farmakodinamik. Non selektif beta bloker juga dapat menutupi gejala hipoglikemia (Medscape, 2016).
1 Peringatkan pasien mengenai penutupan tanda hipoglikemia. Kardioselektif beta bloker lebih disarankan, dan semua beta bloker harus dihindari pada pasien yang sering mengalami serangan hipoglikemik; kalau tidak monitor kontrol glikemik, terutama selama terapi awal (Karalliedde et al., 2010).
17 Glimepiride Asam mefenamat
Asam mefenamat meningkatkan efek glimepirid dengan mekanisme interaksi yang tidak diketahui sehingga menimbulkan risiko hipoglikemia (Medscape, 2016). harus dipantau dengan baik. Penurunan dosis sulfonilurea mungkin diperlukan jika hipoglikemia yang berlebihan harus dihindari (Baxter, 2010).
18 Glimepiride Lisinopril Lisinopril meningkatkan efek glimepiride dengan sinergisme farmakodinamik (Medscape, 2016).
1 Pengobatan secara bersamaan tidak perlu dihindari dan sering bermanfaat pada diabetes tipe II. Perhatikan dan peringatkan pasien mengenai gejala hipoglikemia. Waspadalah bahwa risiko hipoglikemia lebih tinggi pada lansia dan pada pasien dengan kontrol glikemik yang buruk (Karalliedde et al., 2010).
19 Glikuidon Asam mefenamat
Asam mefenamat meningkatkan efek glikuidon dengan mekanisme interaksi yang tidak diketahui sehingga menimbulkan risiko hipoglikemia (Medscape, 2016).
Unknown harus dipantau dengan baik. Penurunan dosis sulfonilurea mungkin diperlukan jika hipoglikemia yang berlebihan harus dihindari (Baxter, 2010).
20 Glikuidon Lisinopril Lisinopril meningkatkan efek glikuidon dengan sinergisme
Interaksi farmakodinamik
Signifikan (Medscape,
18
2016). hipoglikemia. Waspadalah bahwa risiko hipoglikemia lebih tinggi pada lansia dan pada pasien dengan kontrol glikemik yang buruk (Karalliedde et al., 2010).
21 Gliburide atau
glibenklamid
Valsartan Glibenklamid akan meningkatkan kadar atau efek valsartan. Hasil dari studi in vitro dengan jaringan hepar manusia mengindikasikan bahwa valsartan adalah substrat dari transporter uptake hepatik OATP1B1; pemberian dengan OATP1B1 inhibitor dapat meningkatkan paparan sistemik valsartan (Medscape, 2016).
Interaksi
3 Monitor tekanan darah sedikitnya seminggu sekali hingga stabil. Peringatkan pasien untuk melaporkan gejala hipotensi (sakit kepala ringan, pusing ketika berdiri) (Karalliedde et al., 2010).
22 Gliburide atau
glibenklamid
Omeprazole Omeprazole akan meningkatkan kadar atau efek glibenklamid dengan mempengaruhi metabolisme enzim hepatik CYP2C9/10 (Medscape, 2016). Omeprazole menghambat metabolisme glibenklamid sehingga konsentrasi serum glibenklamid dapat meningkat, meningkatkan efek hipoglikemik (Tatro, 2007).
1 Tidak diperlukan adanya tindakan pencegahan khusus. Jika dicurigai terjadi interaksi, disarankan lakukan penyesuaian dosis glibenklamid (Tatro, 2007). Monitor glukosa darah kapiler lebih ketat, penurunan dosis glibenklamid mungkin diperlukan (Karalliedde et al., 2010).
23 Gliburide atau
glibenklamid
Meloxicam Meloxicam meningkatkan efek glibenklamid dengan mekanisme yang tidak diketahui sehingga menyebabkan risiko hipoglikemia (Medscape, 2016). harus dipantau dengan baik. Penurunan dosis sulfonilurea mungkin diperlukan jika hipoglikemia yang berlebihan harus dihindari (Baxter, 2010).
24 Gliburide atau
glibenklamid
Simvastatin Glibenklamid meningkatkan toksisitas simvastatin dengan menghambat OATP1B1 sehingga dapat meningkatkan risiko miopati (Medscape, 2016).
Interaksi
19
Konsentrasi glibenklamid dapat meningkat, meningkatkan efek hipoglikemia dengan mekanisme yang tidak diketahui (Tatro, 2007).
bahwa tindakan pencegahan khusus tampak dibutuhkan oleh pasien diabetes yang menerima glibenklamid dan simvastatin, disarankan monitoring secara ketat (Baxter, 2010).
25 Gliburide atau
glibenklamid
Amitriptilin Amitriptilin meningkatkan efek glibenklamid dengan sinergisme farmakodinamik (Medscape, 2016).
2 Waspada dan monitor glukosa darah setiap minggu sampai stabil. Interaksi kedua obat ini umumnya dianggap aman kecuali diabetes tidak terkontrol atau berhubungan dengan penyakit jantung atau ginjal yang signifikan (Karalliedde et al., 2010). 26 Akarbosa Amitriptilin Amitriptilin meningkatkan efek
akarbosa dengan sinergisme farmakodinamik (Medscape, 2016).
3 Waspada dan monitor glukosa darah setiap minggu sampai stabil. Interaksi kedua obat ini umumnya dianggap aman kecuali diabetes tidak terkontrol atau berhubungan dengan penyakit jantung atau ginjal yang signifikan (Karalliedde et al., 2010). 27 Insulin
aspart
Gemfibrozil Gemfibrozil meningkatkan efek insulin aspart dengan mekanisme interaksi yang tidak spesifik sehingga menimbulkan risiko hipoglikemia dan hipoalbuminemia (Medscape, 2016). untuk menghindari penggunaan bersamaan antidiabetes dan fibrat, tetapi sadari bahwa dosis antidiabetes mungkin perlu penyesuaian. Pasien harus diperingatkan bahwa hipoglikemia berlebihan terjadi kadang-kadang dan tak terduga (Baxter, 2010).
28 Insulin aspart
Amitriptilin Amitriptilin meningkatkan efek insulin aspart dengan sinergisme farmakodinamik (Medscape, 2016).
6 Waspada dan monitor glukosa darah setiap minggu sampai stabil. Interaksi kedua obat ini umumnya dianggap aman kecuali diabetes tidak terkontrol atau berhubungan dengan penyakit jantung atau ginjal yang signifikan (Karalliedde et al., 2010). 29 Insulin
aspart
Clonidine Clonidine menurunkan efek insulin aspart dengan antagonis farmakodinamik dan clonidine dapat menurunkan gejala hipoglikemia dengan mekanisme terinduksi produksi katekolamin
Interaksi
20
aspart insulin aspart dengan sinergisme farmakodinamik (Medscape, 2016).
dihindari dan sering bermanfaat pada diabetes tipe II. Perhatikan dan peringatkan pasien mengenai gejala hipoglikemia. Waspadalah bahwa risiko hipoglikemia lebih tinggi pada lansia dan pada pasien dengan kontrol glikemik yang buruk (Karalliedde et al., 2010).
31 Insulin aspart
Metilpredniso-lon
Metilprednisolon menurunkan efek insulin aspart dengan antagonisme farmakodinamik (Medscape, 2016).
1 Monitor glukosa darah selama pengobatan yang diberikan secara bersamaan tersebut, atau anjurkan monitoring mandiri, sampai kadar glukosa darah stabil. Dosis insulin yang lebih besar sering dibutuhkan (Karalliedde et al., 2010).
32 Insulin aspart
Coenzyme q10
Coenzyme q10 meningkatkan efek insulin aspart dengan sinergisme farmakodinamik (Medscape, 2016).
2 Diperlukan monitoring insulin (Medscape, 2016).
33 Insulin aspart
Fenofibrate Fenofibrate meningkatkan efek insulin aspart dengan mekanisme interaksi yang tidak spesifik sehingga menimbulkan risiko hipoglikemia dan hipoalbuminemia (Medscape, 2016). untuk menghindari penggunaan bersamaan antidiabetes dan fibrat, tetapi sadari bahwa dosis antidiabetes mungkin perlu penyesuaian. Pasien harus diperingatkan bahwa hipoglikemia berlebihan terjadi kadang-kadang dan tak terduga (Baxter, 2010).
34 Insulin aspart
Propranolol Mekanisme interaksi antagonisme farmakodinamik. Non selektif beta bloker menunda pemulihan normoglikemia setelah hipoglikemia terinduksi insulin; namun mereka juga menghambat sekresi insulin, sehingga terapi beta bloker jangka panjang dapat menyebabkan toleransi glukosa
21
menjadi berkurang. Hipoglikemia terinduksi insulin dapat menginduksi hipertensi selama terapi non selektif beta bloker (Medscape, 2016). Propranolol menyebabkan respon yang diperantarai simpatetik menjadi tumpul untuk hipoglikemia sehingga terjadi hipoglikemia berkepanjangan dengan penutupan gejala hipoglikemia (Tatro, 2007).
hipoglikemia harus dikurangi dosis insulinnya jika beta bloker tidak dapat dihentikan (Tatro, 2007).
35 Insulin glargine
Gemfibrozil Gemfibrozil meningkatkan efek insulin glargine dengan mekanisme interaksi yang tidak spesifik sehingga menimbulkan risiko hipoglikemia dan hipoalbuminemia (Medscape, 2016). untuk menghindari penggunaan bersamaan antidiabetes dan fibrat, tetapi sadari bahwa dosis antidiabetes mungkin perlu penyesuaian. Pasien harus diperingatkan bahwa hipoglikemia berlebihan terjadi kadang-kadang dan tak terduga (Baxter, 2010).
36 Insulin glargine
Amitriptilin Amitriptilin meningkatkan efek insulin glargine dengan sinergisme farmakodinamik (Medscape, 2016).
5 Waspada dan monitor glukosa darah setiap minggu sampai stabil. Interaksi kedua obat ini umumnya dianggap aman kecuali diabetes tidak terkontrol atau berhubungan dengan penyakit jantung atau ginjal yang signifikan (Karalliedde et al., 2010). 37 Insulin
glargine
Coenzyme q10
Coenzyme q10 meningkatkan efek insulin glargine dengan sinergisme farmakodinamik (Medscape, 2016).
1 Diperlukan monitoring insulin (Medscape, 2016).
38 Insulin glargine
Clonidine Clonidine menurunkan efek insulin glargine dengan antagonis farmakodinamik dan clonidine dapat menurunkan gejala hipoglikemia dengan mekanisme terinduksi produksi katekolamin
Interaksi
22
glargine farmakodinamik. Non selektif beta bloker menunda pemulihan normoglikemia setelah hipoglikemia terinduksi insulin; namun mereka juga menghambat sekresi insulin, sehingga terapi beta bloker jangka panjang dapat menyebabkan toleransi glukosa menjadi berkurang. Hipoglikemia terinduksi insulin dapat menginduksi hipertensi selama terapi non selektif beta bloker (Medscape, 2016). Propranolol menyebabkan respon yang diperantarai simpatetik menjadi tumpul untuk hipoglikemia sehingga terjadi hipoglikemia berkepanjangan dengan penutupan gejala hipoglikemia (Tatro, 2007).
farmakodinamik yaitu
antagonisme (Medscape, 2016).
(Medscape, 2016).
gunakan insulin dengan perhatian pada pasien diabetes. Disarankan pemberian beta bloker yang selektif atau aktivitas simpatomimetiknya intrinsik. Awasi pasien secara ketat untuk tanda hipoglikemia (contoh: diaforesis) yang tidak dipengaruhi oleh beta bloker. Pasien yang terus-menerus mengalami hipoglikemia harus dikurangi dosis insulinnya jika beta bloker tidak dapat dihentikan (Tatro, 2007).
Daftar Pustaka:
Baxter, K., 2010, Stockley’s Drug Interactions, Ninth edition, Pharmaceutical Press, London, pp. 536-572.
Karalliedde, L., Clarke, S.F.J., Collignon, U., and Karalliedde, J., 2010, Adverse Drug Interactions: A Handbook for Prescribers, Hodder Education, London, pp. 407-435. Medscape, 2016, Drug Interaction Checker, http://reference.medscape.com/drug-interactionchecker.
23
25
BIOGRAFI PENULIS
Sridea adalah putri sulung dari pasangan Pepito dan Komaria yang lahir di kota Lubuklinggau, Sumatera Selatan pada tanggal 14 Januari 1996. Pendidikan dimulai dari Taman Kanak-Kanak di TK. Methodist VII di kota Lubuklinggau pada tahun 2000 hingga tahun 2001. Selanjutnya ke jenjang pendidikan Sekolah Dasar di SD Xaverius Lubuklinggau pada tahun 2001 hingga tahun 2007. Kemudian melanjutkan ke jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Xaverius Lubuklinggau pada tahun 2007 hingga tahun 2010. Setelah itu dilanjutkan ke jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas yaitu SMA Xaverius Lubuklinggau pada tahun 2010 hingga tahun 2013.