DI PANTI WERDHA
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Gloria Maharani Pranowo
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat strategi menghadapi stres yang digunakan oleh perawat lansia di panti werdha. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya lansia yang dirawat di panti werdha, sehingga memerlukan perawatan khusus yang dilakukan oleh perawat lansia. Perawat lansia rentan mengalami stres karena harus merawat lansia dengan kondisi kesehatan yang sudah menurun serta perilaku yang sangat beragam. Fokus penelitian ini adalah bagaimana cara perawat lansia menghadapi stres yang dialaminya sehingga dapat merawat lansia dengan lebih optimal. Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi yang merujuk pada suatu pengalaman dari beberapa subjek yang memiliki jenis dan tipe berbeda sehingga memiliki pengalaman subjektif yang berbeda. Partisipan dalam penelitian ini adalah 3 orang perawat lansia yang tinggal di panti werdha. Pengambilan data penelitian menggunakan metode wawancara semi terstruktur dengan hasil validitas penelitian yang menggunakan metode member checking. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek memiliki persamaan dalam menghadapi stres, yaitu dengan mencari dukungan sosial dari orang lain. Hal ini dirasa efektif dalam mengurangi stres. Selain itu, ketiga subjek juga melakukan strategi menghadapi stres dengan mendekatkan diri pada Tuhan, sehingga mendapatkan ketenangan dan kekuatan untuk dapat terus merawat lansia dengan baik.
IN NURSING HOME
Sanata Dharma University Gloria Maharani Pranowo
Abstract
This aims to know coping stress strategy of elderly people caregiver in nursing home. The background of this research was initiated by a phenomenon of many elderly people who need a special treatment performed by caregiver. The caregivers tended to easily get stressed since they had to deal with elder people with poor health condition and various behavior . The focus of this research concerned to how the elderly people caregivers faced their stress so that they could take care of the elderly people better. The research method was qualitative phenomenology method that dealt with the subjects’ experiences. The subjects in this
research were three elderly people caregiver who lived in one nursing home. The data were collected by semi structured interview and the result validity was carried out by member checking method. The research showed that three subjects had the same coping strategy which was to seek emotional support and to turn into religion. That strategy was proven effective enough for them. Another strategy that they used was getting themselves closer to God. They believed that praying to God could make them feeling peace and they would be strengthened to take care of the elderly people well.
DI PANTI WERDHA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Gloria Maharani Pranowo
119114066
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Ja ng a nla h he nd a knya ka m u kua tir te nta ng a p a p un jug a , te ta p i
nya ta ka nla h da la m se g a la ha l ke ing ina nm u ke p a d a Alla h da la m
d o a d a n p e rm o ho na n d e ng a n uc a p a n syukur.” (Filip i 4 : 6)
Skripsi ini kupersembahkan untuk kedua orangtuaku
vi
STRATEGI MENGHADAPI STRESS PADA PERAWAT LANSIA
DI PANTI WERDHA
Gloria Maharani Pranowo
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat strategi coping stress yang digunakan oleh perawat lansia di panti werdha. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya lansia yang dirawat di panti werdha, sehingga memerlukan perawatan khusus yang dilakukan oleh perawat lansia. Perawat lansia rentan mengalami stress karena harus merawat lansia dengan kondisi kesehatan yang sudah menurun serta perilaku yang sangat beragam. Fokus penelitian ini adalah bagaimana cara perawat lansia menghadapi stress yang dialaminya sehingga dapat merawat lansia dengan lebih optimal. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologi yang merujuk pada suatu pengalaman dari beberapa subjek yang memiliki jenis dan tipe berbeda sehingga memiliki pengalaman subjektif yang berbeda. Partisipan dalam penelitian ini adalah 3 orang perawat lansia yang tinggal di panti werdha. Pengambilan data penelitian menggunakan metode wawancara semi terstruktur dengan hasil validitas penelitian yang menggunakan metode member checking. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek memiliki persamaan dalam menghadapi stress, yaitu dengan mencari dukungan sosial dari orang lain. Hal ini dirasa efektif dalam mengurangi stress. Selain itu, ketiga subjek juga melakukan strategi menghadapi stress dengan mendekatkan diri pada Tuhan, sehingga mendapatkan ketenangan dan kekuatan untuk dapat terus merawat lansia dengan baik.
vii
COPING STRESS STRATEGY OF ELDERLY PEOPLE CAREGIVER
IN NURSING HOME
Gloria Maharani Pranowo
ABSTRACT
This aims to know coping stress strategy of elderly people caregiver in nursing home. The background of this research was initiated by a phenomenon of many elderly people who need a special treatment performed by caregiver. The caregivers tended to easily get stressed since they had to deal with elder people with poor health condition and various behavior . The focus of this research concerned to how the elderly people caregivers faced their stress so that they could take care of the elderly people better. The research method was qualitative phenomenology method that dealt with the subjects’ experiences. The subjects in this research were three elderly people caregiver who lived in one nursing home. The data were collected by semi structured interview and the result validity was carried out by member checking method. The research showed that three subjects had the same coping strategy which was to seek emotional support and to turn into religion. That strategy was proven effective enough for them. Another strategy that they used was getting themselves closer to God. They believed that praying to God could make them feeling peace and they would be strengthened to take care of the elderly people well.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan anugerahNya, sehingga penulis diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugas akhir skripsi melalui tulisan ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis berharap, melalui tulisan ini dapat memberikan gambaran serta pengetahuan yang baru mengenai strategi menghadapi stres pada perawat lansia di panti wredha. Harapan lain adalah tulisan ini dapat bermanfaat bagi peneliti berikutnya serta kepada para perawat lansia dalam menghadapi stres saat merawat lansia.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada beberapa pihak yang memberi dukungan, bimbingan, dan bantuan dalam bentuk materi maupun nonmateri sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Terimakasih penulis ucapkan kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus yang selalu menyertai dan memberikan berkatNya kepadaku, aku bersyukur karena Engkau selalu menuntun setiap langkahku.
2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
x
4. Ibu Dr. Tjipto Susana, selaku dosen pembimbing. Terimakasih atas pertanyaan-pertanyaan yang mengasah kemampuan berpikir serta masukan-masukan yang diberikan. Terimakasih juga atas nasihat yang selalu ibu berikan pada saya.
5. Ayahku Setyo Pranowo dan Ibuku Kurnia Ari Widayanti, terimakasih karena selalu mendukungku, mendoakanku, dan selalu memperhatikan aku. Terimakasih untuk kasih sayangnya sampai saat ini, terimakasih telah menerimaku apa adanya. Aku sayang ayah dan ibu.
6. Untuk Dosen Fakultas Psikologi dan karyawan. Terimakasih karena sudah memberikan pengetahuan mengenai dunia psikologi yang luas dan mempermudah saya dalam menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma.
7. Untuk para narasumber saya, terimakasih karena sudah menyediakan waktu serta bersedia untuk berbagi cerita mengenai pengalaman dalam merawat lansia.
8. Untuk sahabat-sahabat saya: Ilis, Riana, Meglyn. Terimakasih karena kalian selalu mendukungku dan mendoakan aku, kalian sahabat paling pengertian dan paling priceless yang aku punya. Tidak lupa untuk Thomas, terimakasih karena selalu mendukung dan mendoakan aku, terimakasih untuk kasih sayang dan perhatiannya sampai saat ini. Aku sayang kalian!
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 11
xiii
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis ... 12
2. Manfaat Praktis ... 13
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 15
A. Coping 1. Pengertian Coping ... 15
2. Jenis-jenis Coping ... 15
3. Efektivitas Strategi Coping ... 18
B. Stress 1. Pengertian ... 19
2. Tahap Stres ... 20
3. Reaksi Terhadap Stres ... 20
C. Perawat Lansia 1. Pengertian Perawat Lansia ... 21
2. Jenis Perawat ... 22
3. Tugas-tugas Perawat Lansia ... 23
4. Beban Pada Perawat Lansia ... 23
D. Lansia 1. Pengertian Lansia ... 24
2. Klasifikasi ... 25
xiv
2. Tujuan Panti Werdha ... 27
3. Kondisi Lansia di Panti Werdha ... 27
4. Dukungan Sosial Terhadap Lansia di Panti Werdha .... 29
F. Fokus Penelitian ... 30
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 31
A. Metode Penelitian ... 31
B. Subjek Penelitian ... 32
C. Prosedur Penelitian ... 32
D. Batasan Istilah ... 34
E. Metode Pengumpulan Data ... 34
F. Metode Pengukuran ... 39
1. Organisasi Data ... 39
2. Koding ... 39
3. Analisis Data ... 40
G. Kredibilitas Data ... 40
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42
A. Profil Responden 1. Responden 1 ... 42
2. Responden 2 ... 43
3. Responden 3 ... 44
xv
C. Hasil Penelitian 1. Responden 1
a. Tugas sebagai perawat lansia ... 47
b. Kendala atau stressor saat merawat lansia ... 48
c. Strategi coping stress ... 49
2. Responden 2 a. Tugas sebagai perawat lansia ... 53
b. Kendala atau stressor saat merawat lansia ... 54
c. Strategi coping stress ... 56
3. Responden 3 a. Tugas sebagai perawat lansia ... 59
b. Kendala atau stressor saat merawat lansia ... 59
c. Strategi coping stress ... 61
D. Pembahasan 1. Tugas sebagai perawat lansia ... 63
2. Stressor atau kendala saat merawat lansia ... 65
3. Strategi coping stress ... 67
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 72
A. Kesimpulan ... 72
B. Keterbatasan Penelitian ... 73
xvi
2. Bagi peneliti selanjutnya ... 73
DAFTAR PUSTAKA ... 75
xvii DAFTAR TABEL
xviii DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara responden 1
Lampiran 2 : Transkrip Verbatim responden 1
Lampiran 3 : Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara responden 2 Lampiran 4 : Transkrip Verbatim responden 2
Lampiran 5 :Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara responden 3 Lampiran 6 : Transkrip Verbatim responden 3
Lampiran 7 :Surat Keterangan Keabsahan Hasil Wawancara responden 1
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada umumnya, pasien atau individu yang sakit memerlukan perawat untuk membantunya dalam beberapa aktifitas seperti membersihkan diri, makan, maupun kegiatan sehari-hari yang dapat dengan mudah dilakukan seperti berjalan dan duduk. Di rumah sakit, perawat biasanya berperan sebagai asisten dokter. Selain itu, perawat juga bertugas untuk menjaga dan memantau keadaan pasien. Perawat adalah seseorang yang memberikan bantuan kepada orang yang mengalami ketidakmampuan dan memerlukan bantuan karena penyakit dan keterbatasannya (Sukmarini, 2009). Ada 2 jenis perawat, yaitu perawat formal dan informal. Perawat informal yaitu seorang individu (anggota keluarga, teman, atau tetangga) yang memberikan perawatan secara keseluruhan, paruh waktu, dan tinggal bersama maupun terpisah dengan orang yang dirawat. Sedangkan perawat formal yaitu perawat yang merupakan bagian dari sistem pelayanan baik diberi pembayaran maupun sukarelawan (Sukmarini, 2009).
merawat lansia disebut geriatric nursing yaitu perawat yang menangani penyakit pada proses menua (Kozier dalam Nugroho, 1992). Perawat lansia mempunyai peranan untuk melayani lansia dengan menggunakan pengetahuan, keahlian dan keterampilan merawat untuk mengoptimalkan kesejahteraan hidup para lansia (Nugroho, 1992). Menyiapkan perawat untuk merawat lansia sangat penting mengingat ada berbagai permasalahan yang akan timbul terkait dengan perubahan yang terjadi pada lansia.
Masa dewasa akhir atau lansia, seringkali dikaitkan dengan masa dimana seseorang mulai mengalami penurunan kondisi fisik maupun mental. Hal ini juga diperkuat dengan adanya proses menua yang ditunjukkan dengan penurunan kemampuan fisik untuk beradaptasi terhadap stres atau pengaruh lingkungan. Selain itu, kemampuan mental atau kognitif lansia juga menurun yang ditandai kesulitan dengan fungsi ingatan atau dalam mengekspresikan secara verbal atau berbicara (Suardiman, 2010).
penduduk lansia yang berusia 60 tahun keatas cenderung meningkat (Harry, 2007). Jumlah penduduk lansia di Indonesia tahun 2000 mencapai 17.767.709 orang atau 7.97% dari jumlah penduduk Indonesia. Diprediksi jumlah lansia di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 11.20%.
Konsekuensi dari terus meningkatnya jumlah lansia di Indonesia yaitu harus disediakan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan hidup para lansia. Dengan demikian, banyak keluarga maupun lansia sendiri yang memilih panti werdha sebagai tempat untuk menghabiskan masa tuanya (Nugroho, 2008). Hal ini karena panti werdha dianggap sebagai salah satu penyedia jasa yang dapat memberikan pelayanan berkualitas bagi lansia. Nugroho (2008) menyatakan bahwa masyarakat yang menggunakan pemikiran realistis menganggap bahwa dengan tinggal di panti werdha, lansia akan memperoleh apa yang tidak dapat diberikan oleh anaknya. Misalnya kegiatan sosial dengan orang yang sebaya yang saling mengerti. Selain itu, kelebihan yang ada pada panti werdha adalah setiap panti werdha disediakan layanan jasa seperti perawat yang bersedia memenuhi segala kebutuhan lansia setiap saat.
mempunyai beberapa tujuan, yaitu agar terpenuhi kebutuhan hidup lansia; agar di hari tuanya dalam keadaan tentram lahir batin; dan dapat menjalani proses penuaannya dengan sehat dan mandiri.
Secara umum, panti werdha berfungsi sebagai pusat pelayanan kesejahteraan lansia; menyediakan suatu wadah berupa kompleks bangunan dan memberikan kesempatan bagi lansia untuk melakukan aktivitas sosial-rekreasi; dan membuat lansia dapat menjalani proses penuaannya dengan sehat dan mandiri (Setiyaningsih, 1999). Selain menyediakan fasilitas yang bersifat material, panti werdha juga menyediakan pelayanan jasa untuk merawat dan membantu lansia dalam beraktifitas sehari-hari yang dilakukan oleh seorang perawat atau perawat. Staf perawat atau perawat tersebut bersedia membantu dan merawat lansia kapanpun dibutuhkan.
diperolehnya melalui pendidikan formal atau pengalaman praktek di bidang pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial yang diakui secara resmi oleh pemerintah dan melaksanakan tugas fungsional. Sedangkan caregiver adalah orang yang bertugas untuk merawat orang sakit maupun lansia dan dibekali pelatihan singkat (Nugroho, 2000). Caregiver terbagi menjadi 2 jenis yaitu caregiver formal dan informal. Caregiver informal adalah seorang yang memberikan perawatan tanpa dibayar, paruh waktu maupun sepanjang waktu, dan tinggal terpisah maupun tinggal bersama dengan orang yang dirawat (Sukmarini, 2009). Para pekerja yang menangani lansia sudah dibekali pengetahuan maupun pengalaman untuk menghadapi perubahan fisik maupun psikis yang terjadi pada lansia. Perubahan yang terjadi pada lansia tersebut akan berpengaruh pada perawat yang merawat lansia. Berdasarkan penelitian Insiyah (2014), perawat lansia di panti werdha merasakan beban psikologis ketika merawat lansia. Beban psikologis tersebut diantaranya rasa malu, marah, tegang, lelah, tertekan, dan ketidakpastian. Dijelaskan juga bahwa perasaan bersalah yang dialami perawat disebabkan oleh perasaan tidak bisa memberikan yang terbaik bagi lansia yang dirawatnya.
sulit diatur akan menambah beban psikologis dan fisik pada perawat. Selain itu, stressor dapat muncul dari dalam diri perawat, seperti perasaan bersalah karena tidak dapat memberikan perawatan yang baik kepada para lansia. Sehingga jika perawat tidak memiliki strategi coping stress yang baik, hal tersebut membuatnya tidak dapat merawat lansia dengan maksimal. Keadaan tersebut tentunya akan merugikan perawat dan lansia yang membutuhkan perawatan. Jika perawat stress dan merasa bahwa ia tidak mampu lagi merawat lansia, ia akan menyerah dan memutuskan untuk tidak merawat lansia lagi, sedangkan lansia masih sangat membutuhkan perawatan karena kondisi fisik yang sudah tidak memungkinkan untuk melakukan aktivitas secara mandiri. Oleh sebab itu, coping stress pada perawat yang merawat lansia sangat dibutuhkan.
berbeda-beda, tergantung dari kondisi lingkungan dan keadaan individu itu sendiri.
Individu yang melakukan coping akan mencoba mengubah hubungan dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Berhubungan dengan adanya usaha melakukan coping, Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan bahwa ada 2 jenis strategi coping, yaitu problem-focused copingdan emotional-focused coping. Definisi dari problem-focused coping yaitu tindakan langsung untuk menyelesaikan masalah maupun mencari informasi yang relevan dengan solusi dari permasalahan yang ada. Sedangkan emotional-focused coping yaitu usaha untuk mengurangi reaksi emosional negatif yang ditimbulkan oleh stressor. Strategi coping inilah yang akan membantu perawat untuk dapat terus melayani dan merawat dengan sebaik-baiknya. Keefektifan strategi coping yang dilakukan oleh perawat lansia juga merupakan hal yang penting, karena hal tersebut dapat menjadi acuan untuk perawat lansia lain dalam mengaplikasikan strategi coping.
Dalam penelitian ini, peneliti akan mengungkap bagaimana perawat yang merawat lansia di panti werdha melakukan strategi coping dalam menghadapi stress saat merawat lansia. Selain itu, peneliti juga akan melihat apa saja faktor yang mendukung subjek melakukan strategi coping. Peneliti akan melihat apa jenis strategi coping yang dilakukan oleh perawat dengan cara memberikan beberapa pertanyaan saat wawancara.
Beberapa penelitian yang relevan mengenai coping stress dan perawat lansia sudah pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian mengenai coping stress pernah dilakukan oleh Rosyani (2012). Subjek penelitian ini adalah pasien kanker dewasa yang berusia 20 tahun ke atas dan sedang tidak terbaring sakit dan masih bisa beraktifitas seperti biasa. Kelemahan dari penelitian ini adalah peneliti kurang spesifik mengenai jenis penyakit kanker yang diderita subjek, sedangkan pada kenyataannya penyakit kanker ada beragam jenisnya. Selain itu, peneliti juga tidak memberikan batasan umur pada subjek yang menderita penyakit kanker. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan proses pengambilan data menggunakan kuesioner. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara resiliensi dengan pemilihan strategi coping pada pasien kanker. Penelitian ini membantu peneliti dalam mengetahui jenis-jenis coping stress dan efektivitas dari strategi coping tersebut.
masalah terhadap penurunan distress psikologik pada perawat lansia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh terapi penyelesaian masalah terhadap penurunan tingkat distress psikologik pada perawat lansia. Penelitian ini membantu peneliti dalam memahami konsep perawat lansia serta tanggungjawab sebagai perawat lansia.
Penelitian mengenai perawat lansia juga sudah dilakukan oleh Widiastuti (2008). Penelitian ini membahas tentang coping stress pada perawat lansia penderita alzheimer. Metode penelitian yang digunakan yaitu kualitatif, dengan jumlah subjek sebanyak 2 orang. Hasil dari penelitian ini adalah subjek belum dapat melakukan coping stress karena masih sering melakukan tindakan yang bersifat agresi pada lansia penderita alzheimer. Hal tersebut dilakukan subjek untuk melampiaskan kemarahan dan rasa lelah karena merawat lansia tersebut. Penelitian ini berfungsi untuk membantu peneliti dalam mengetahui gambaran apa saja tugas yang harus dilakukan sebagai perawat lansia. Review literatur di atas berfungsi sebagai sumber mengenai materi yang akan diteliti dan untuk melihat kelemahan dari penelitian mengenai topik yang sama sehingga peneliti dapat memperbaikinya.
dapat diketahui apakah jenis coping yang dilakukan oleh seseorang dapat efektif untuk menghadapi stressor yang ada. Karena berdasarkan banyak penelitian yang sudah dilakukan, coping stress yang umumnya dipakai oleh perawat adalah emotion focused coping. Hal tersebut ditemukan dalam beberapa penelitian mengenai coping stress yang sudah dilakukan sebelumnya. Selain itu, banyak penelitian mengenai coping stress yang menggunakan metode penelitian kuantitaif dan skala sebagai metode untuk mengumpulkan data. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dan pengambilan data dengan cara wawancara agar data yang didapatkan lebih terinci dan mendapatkan fakta-fakta dari subjek yang tidak dapat terungkap pada penelitian kuantitatif.
Dalam penelitian mengenai coping stress yang sudah ada sebelumnya, ada penelitian yang memakai metode kualitatif (wawancara) maupun kuantitatif (angket). Kelemahan penelitian yang menggunakan angket adalah kurang dapat menggali data dari subjek. selain itu, peneliti tidak mendapat keterangan atau penjelasan dari subjek secara detil karena angket hanya berisi pertanyaan tertutup. Sedangkan penelitian sebelumnya yang memakai metode wawancara mempunyai kelemahan yaitu pertanyaan yang kurang spesifik sehingga subjek menjawab pertanyaan tersebut dalam cakupan yang luas, sehingga sulit mengambil makna pada jawaban subjek yang sesuai dengan tema penelitian.
dari subjek karena jawaban yang diberikan subjek akan lebih spesifik karena peneliti menggunakan metode wawancara mendalam (in depth interview) yang berisi pertanyaan terbuka. Dengan wawancara, peneliti tidak hanya mendapatkan data dari jawaban-jawaban yang diberikan oleh subjek, namun peneliti juga dapat berinteraksi langsung dan melakukan observasi pada subjek selama proses wawancara.
Berbeda dari penelitian sebelumnya, peneliti akan lebih spesifik dalam menyusun pertanyaan sehingga jawaban yang diberikan oleh subjek lebih terperinci. Pertanyaan yang disusun oleh peneliti adalah pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman hidup subjek yang berkaitan dengan coping stress. Pertanyaan wawancara tidak spesifik pada bagaimana subjek melakukan coping stress dan apa saja stressor yang dihadapi oleh subjek, namun cenderung pada pengalaman-pengalaman yang sudah dilalui oleh subjek. Sehingga saat peneliti melakukan wawancara, subjek akan menceritakan pengalamannya secara lengkap. Dengan demikian, informasi yang didapat akan lebih memadai dibandingkan dengan penelitian yang menggunakan metode skala dan pertanyaan wawancara yang hanya berfokus pada strategi coping stress.
B. Rumusan Masalah
merawat lansia dan jenis strategi coping stress yang digunakan oleh perawat yang merawat lansia di panti werdha.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Bagaimana strategi coping perawat lansia yang merawat lansia di panti werdha. Tujuan peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif karena peneliti ingin mendapatkan hasil penelitian yang lengkap.
2. Mengetahui jenis strategi coping yang digunakan perawat lansia saat menghadapi situasi sulit atau stressor yang muncul ketika merawat lansia di panti werdha.
Data penelitian didapatkan melalui metode wawancara dengan pertanyaan yang bersifat terbuka serta berfokus pada pengalaman hidup subjek. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan pendapat dan penjelasan spesifik dari subjek. Dengan demikian, informasi yang didapat akan lebih memadai. Selain itu, peneliti juga dapat memberikan pertanyaan lebih lanjut jika jawaban subjek dirasa kurang jelas. Hasil dari wawancara tersebut akan diolah menjadi data penelitian berupa verbatim.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pengetahuan khususnya dalam bidang psikogerontologi, keperawatan, dan psikologi klinis. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan menambah wawasan mengenai strategi coping yang digunakan saat merawat atau menangani lansia yang tinggal di panti werdha.
2. Manfaat Praktis
15 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Coping
1. Pengertian
Menurut Folkman dan Moskowitz (dalam Taylor & Stanson, 2007;2012) mengatakan bahwa coping merupakan pikiran dan perilaku yang digunakan untuk mengatur dorongan internal dan eksternal dari situasi yang dinilai menekan. Ditambahkan bahwa coping adalah sebuah kesatuan dari transaksi antara seorang individu yang memiliki sumber daya, nilai, dan komitmen dengan lingkungan beserta sumber daya, tuntutan, dan paksaannya.
Untuk itu, coping bukanlah merupakan suatu tindakan yang dilakukan satu kali, melainkan sebuah susunan respons yang muncul dalam suatu waktu dimana lingkungan dan individunya saling memenuhi (Taylor, 2012). Dapat disimpulkan bahwa coping adalah suatu tindakan yang mengatur dorongan internal dan eksternal dari situasi yang sifatnya mendesak atau menekan.
2. Jenis-jenis Coping
coping yaitu usaha untuk melakukan tindakan untuk mengatasi kondisi yang mengakibatkan stress seperti mengancam, mengganggu, atau menantang individu. Menurut Carver, Weintraub, dan Scheier (1989), problem focused coping melibatkan beberapa dimensi yang berbeda yaitu:
a. Active coping, yaitu proses pengambilan langkah yang ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan stressor ataupun memperbaiki akibatnya. Aktivitas ini merlibatkan tindakan langsung, meningkatkan usaha dalam menghadapi masalah, serta berusaha mengatasi masalah secara bertahap. b. Planning, yaitu memikirkan bagaimana cara menghadapi
stressor yang ada.
c. Supression of competing activities, yaitu mengurangi aktivitas lain sehingga dapat lebih terfokus dalam menghadapi masalah atau tantangan yang ada. Aktivitas ini meliputi usaha untuk mengabaikan hal-hal lain yang dapat memecah perhatian dalam menghadapi stressor.
d. Restraint coping, yaitu pengendalian diri untuk menunggu kesempatan yang tepat untuk bertindak, menahan diri, dan bertindak dengan pemikiran yang matang.
f. Behavioral disengagement, yaitu tindakan mengurangi usaha untuk menghadapi stressor, menyerah dalam usaha untuk mencapai tujuan dimana stressor mengganggu.
Lazarus dan Folkman (dalam Rice, 1999) menyatakan bahwa emotion-focused coping, yaitu keadaan saat individu akan lebih berfokus pada mengurangi emosi negatif yang muncul akibat stres yang dialami. Strategi ini digunakan ketika seseorang merasa stressor merupakan suatu hal yang dapat ditahan (Carver, 1989). Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Rice, 1999), dalam strategi ini terdapat beberapa proses kognitif yang berlangsung untuk mengurangi tekanan emosional seperti menghindar, menjaga jarak, mencari nilai positif dari kejadian yang dihadapi, serta memandingkannya dengan hal yang positif. Carver (1989) menyatakan bahwa terdapat komponen yang termasuk dalam emotion-focused coping, yaitu:
a. Seeking of emotional support, yaitu mencari dukungan sosial yang berupa dukungan moral, simpati, dan pengertian untuk alasan emosional.
b. Positive reinterpretation and growth, yaitu aktivitas yang ditujukan untuk melepasksan emosi negatif yang dirasakan, mengatur emosi yang berkaitan dengan stress yang dialami. c. Mental disengagement, yaitu pelarian secara mental yang
muncul ketika kondisi saat itu menghambat munculnya tindakan pelarian.
d. Denial, yaitu menolak untuk mempercayai bahwa stressor yang dihadapi benar-benar ada atau bertindak seolah-olah stressor itu tidak nyata.
e. Acceptance, yaitu keadaan saat individu menerima kenyataan akan adanya situasi yang mengakibatkan stress.
f. Turning to religion, yaitu pengembalian masalah pada agama untuk meminta pertolongan dari Tuhan. Hal ini bisa dilakukan dengan rajin beribadah, berdoa, meminta dukungan moral dari ahli/pemuka agama.
g. Focus on and venting of emotion, yaitu kecenderungan untuk melepaskan emosi yang dirasakan individu.
h. Humor, yaitu dengan cara membuat lelucon atas masalah yang sedang dihadapinya.
i. Substance use, yaitu menggunakan minuman beralkohol atau obat-obatan untuk melupakan masalahnya.
3. Efektivitas Strategi Coping
Coping yang efektif mengacu pada lima fungsi tugas coping yaitu: mengurangi kondisi lingkungan yang berbahaya dan meningkatkan niat untuk memperbaikinya; mentoleransi atau menyesuaikan diri dengan kenyataan; mempertahankan gambaran diri yang positif; mempertahankan keseimbangan emosional; dan melanjutkan kepuasan terhadap hubungannya dengan orang lain (Cohen dan Lazarus dalam Taylor, 1991).
Jika tugas-tugas tersebut sudah berhasil dilakukan, maka coping dapat dianggap efektif. Setelah dapat memenuhi semua tugas tersebut, individu diharapkan memiliki evaluasi yang lebih positif akan hidupnya, yakni penerimaan dan penilaian positif akan lingkungan, diri sendiri, serta kondisi gangguan yang merupakan cerminan dari kesejahteraan dan kepuasan hidup.
B. Stress
1. Pengertian
mengharuskan seorang individu untuk merespon atau melakukan tindakan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stress adalah suatu respon individu terhadap setiap tuntutan kebutuhan yang ada dalam dirinya.
2. Tahap Stres
Menurut Amberg (dalam Hawari, 2008) ada beberapa tahapan stres. Tahap-tahap ini menunjukkan apakah seseorang lebih stress atau tidak. Stress ringan ditandai dengan seseorang yang mengalami gangguan tidur, tegang, dan merasa tidak tenang secara emosional. Stress menengah ditandai dengan hilangnya kemampuan merespon secara memadai, dan timbul ketakutan serta kecemasan. Stress berat ditandai dengan kelelahan fisik dan mental, timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tinggi, serta mudah bingung dan panik.
3. Reaksi Terhadap Stress
C. Perawat Lansia
1. Pengertian
Pada dasarnya, keperawatan di Indonesia adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-kultural dan spiritual yang didasarkan pada pencapaian kebutuhan dasar manusia (Nugroho, 2009). Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan di bidang kesehatan yang didasari ilmu yang ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik yang sakit maupun yang sehat, sejak lahir sampai meninggal (Effendy, 1997).
2. Jenis Perawat
Ada beberapa jenis perawat berdasarkan tugas, kompetensi, dan pasien yang harus dirawatnya. Jenis perawat tersebut diantaranya pekerja sosial, caregiver, dan perawat lansia. Pekerja sosial adalah seseorang yang dibayar dalam suatu kemampuan profesional untuk mengadakan tugas konseling maupun perencanaan perawatan dan perlindungan sosial (Berry dalam Handayani, 2004). Menurut keputusan menteri sosial RI, pekerja sosial mempunyai kompetensi profesional yang diperolehnya melalui pendidikan formal atau pengalaman praktek di bidang pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial yang diakui secara resmi oleh pemerintah dan melaksanakan tugas fungsional. Pekerja sosial dapat merawat orang sakit, lansia, maupun orang yang membutuhkan bantuan karena kebutuhan khusus (difabel). Sehingga pekerja sosial dapat mencakup caregiver maupun perawat lansia. Sedangkan caregiver adalah orang yang bertugas untuk merawat orang sakit maupun lansia dan dibekali pelatihan singkat (Nugroho, 2000).
perawat yang secara khusus menangani dan merawat lansia. Perawat lansia dibekali pengetahuan tentang cara merawat lansia yang didapatkan dari kursus maupun pelatihan (Nugroho, 2008).termasuk dalam kategori pekerja sosial. Selain perawat lansia, seorang caregiver juga termasuk dalam kategori pekerja sosial.
3. Tugas-tugas Perawat Lansia
Perawat lansia perlu mengadakan pemeriksaan kesehatan terutama pada lansia yang diduga menderita penyakit tertentu. Selain itu, perawat lansia juga harus mendekatkan diri dengan lansia dan membimbing dengan sabar dan ramah, menanyakan apakah ada keluhan yang dirasakan, mengingatkan agar tidak lupa minum obat. Perawat lansia juga perlu memberikan penjelasan tentang kesehatan, jika ada keluhan dari lansia harus segera dicari penyebabnya, kemudian mengkomunikasikan dengan mereka tentang solusinya (Nugroho, 1995).
4. Beban pada Perawat Lansia
memerlukan pengorbanan yang besar secara fisik dan emosional (Okoye dan Asa, dalam Sarwendah, 2013). Terlebih jika lansia yang dirawat mengalami penurunan kondisi fisik dan mental. Stres pada perawat lansia akan berdampak pada kesehatan fisik bahkan verbal agresif pada lansia (Okoye, dalam Sarwendah, 2013).
Perawat lansia yang mengalami stres sangat mungkin menderita gangguan kecemasan, penyakit fisik seperti mudah lelah, pusing, dan merasa putus asa (Sarwendah, 2013). Jika perawat lansia tidak dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lansia tersebut, maka perawat akan mengalami tekanan hingga berakibat stres.
Karena lansia yang tinggal di panti werdha membutuhkan perawatan yang baik sehingga lansia tersebut mendapatkan kualitas hidup yang maksimal, maka diperlukan perawat yang berpengalaman serta sehat mental supaya dapat merawat lansia dengan maksimal.
D. Lansia
1. Pengertian
Lopez, 1996) dalam Suardiman, 2011). Lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun ke atas baik pria maupun wanita, yang masih aktif beraktivitas dan bekerja ataupun mereka yang tidak berdaya untuk mencari nafkah sendiri sehingga bergantung kepada orang lain untuk menghidupi dirinya (Nugroho, 2008).
Berdasarkan pendapat para ahli, peneliti menyimpulkan bahwa lansia adalah seseorang baik pria maupun wanita yang berusia 60 tahun ke atas yang masih aktif maupun yang sudah tidak berdaya dan berada dalam tahap akhir perkembangan manusia.
2. Klasifikasi
Klasifikasi lansia dibagi menjadi 5 yaitu: a. Pralansia
Seseorang yang sudah memasuki usia antara 45-59 tahun. b. Lansia
Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. c. Lansia resiko tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih dan bermasalah dengan kesehatan seperti menderita rematik, demensia, mengalami kelemahan fisik maupun psikis.
Seseorang yang sudah memasuki masa lansia namun masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
e. Lansia tidak potensial
Seseorang yang sudah tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Darmojo, 2009).
E. Panti werdha
1. Pengertian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), panti werdha didefinisikan sebagai rumah tempat memelihara dan merawat lansia. Sedangkan menurut Departemen Sosial RI, panti werdha adalah tempat untuk menampung lansia dan jompo terlantar dengan memberikan pelayanan sehingga mereka merasa aman, tentram dengan tidak ada perasaan gelisah maupun khawatir dalam menghadapi usia tua.
beberapa lansia lainnya agar lansia tetap memiliki hubungan sosial yang baik. Hal tersebut juga menjadi kelebihan dari panti werdha (Setiyaningsih, 1999).
Namun ada pula beberapa kekurangan panti jompo yaitu beberapa perawat tidak memiliki pengetahuan atau ilmu dasar mengenai keperawatan lansia (MacMahon dkk dalam Gormally, 1992). Peneliti menyimpulkan bahwa panti werdha yaitu tempat pemeliharaan dan perawatan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan para lansia.
2. Tujuan Panti werdha
Tujuan didirikannya panti werdha menurut Dinas Sosial RI (1997) antara lain:
a. Agar terpenuhi kebutuhan hidup lansia.
b. Agar dihari tuanya dalam keadaan tentram lahir batin.
c. Dapat menjalani proses penuaannya dengan sehat dan mandiri.
3. Kondisi Lansia yang Tinggal di Panti Werdha
bersama anak dan menantunya untuk mendapatkan perawatan dan bantuan dalam melakukan aktifitasnya sehari-hari.
Sebagian besar lansia yang tinggal di panti werdha mengalami keterbatasan dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh menurunnya kondisi fisik serta mental lansia. Pada umumnya, lansia mengalami kekakuan pada persendian, gemetar pada tangan dan rahang bawah (Hurlock, 1980). Selain mengalami penurunan kondisi psikologis yang ditandai dengan menurunnya tingkat konsentrasi, tingkat pemahaman, serta penerimaan diri yang rendah karena merasa dirinya sudah tidak berguna dan tidak dapat melakukan banyak hal seperti saat muda dahulu (Hurlock, 1980).
Beberapa alasan umum mengapa lansia tinggal di panti werdha yaitu lansia tidak ingin merepotkan keluarga karena tingkat kesibukan anggota keluarga yang tinggi. Hal tersebut juga membuat lansia merasa tidak mempunyai teman bicara, shingga menimbulkan perasaan tidak nyaman dan kesepian. Keputusan keluarga adalah alasan mengapa lansia tinggal di panti werdha. Keputusan ini tentu disetujui juga oleh lansia, sehingga dengan adanya keputusan untuk tinggal di panti werdha tidak membuat lansia merasa diasingkan. Tinggal sebatang kara adalah salah satu alasan mengapa lansia tinggal di panti werdha. Lansia yang hidup sebatang kara direkomendasikan oleh RT atau RW tempat tinggalnya agar dirawat di panti werdha karena tidak ada keluarga yang merawat dan mengawasi kondisi kesehatannya (Ariyani, 2014).
4. Dukungan Sosial Terhadap Lansia di Panti Werdha
dan pemberian pertolongan bagi orang lain. Selain itu, dukungan emosional dari perawat lansia dan dari keluarga juga sangat dibutuhkan oleh lansia.
Harapan lansia akan bentuk dukungan tersebut berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada lansia di panti. Dari hasil penelitian tersebut juga dijelaskan bahwa lansia yang mendapatkan dukungan baik sosial maupun emosional lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan panti serta menunjukkan perilaku yang kooperatif dengan para perawat lansia. Dengan demikian, dukungan sosial sangat penting untuk para lansia di panti werdha, karena hal tersebut berpengaruh pada kesejahteraan hidup lansia di panti werdha.
F. Fokus Penelitian
Kondisi dan perubahan pada lansia yang mengalami kemunduran
fisik dan psikis serta perilaku lansia menjadi kendala dalam merawat
lansia. Perawat lansia
bertugas dan bertanggungjawab untuk
merawat lansia dengan segala kondisi psikis dan fisik lansia.
Perawat memiliki cara tersendiri yang selalu dilakukan ketika merasa
stress agar tetap dapat merawat lansia.
Perawat merasa tertekan dengan adanya kendala yang
ada, namun tetap harus melaksanakan
32 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan kata-kata dan bahasa dalam mendeskripsikan sebuah fenomena. Peneliti menggunakan metode ini karena dapat lebih mendalami untuk mencapai tujuan penelitian. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk memahami fenomena yang dialami subjek penelitian dengan menganalisis secara keseluruhan pada suatu konteks khusus yang alamiah (Moleong, 2008).
Secara khusus metode penelitian yang digunakan peneliti adalah metode fenomenologi. Metode ini merujuk pada suatu pengalaman dari berbagai subjek yang memiliki jenis dan tipe berbeda sehingga memiliki pengalaman subjektif berbeda-beda. Dalam penelitian ini, peneliti mendeskripsikan makna dari suatu pengalaman atau fenomena yang dialami oleh satu atau lebih individu yang mengalami pengalaman atau fenomena yang sama. Penelitian ini berfokus pada deksripsi mengenai kesamaan yang dimiliki oleh subjek dalam pengalamannya (Creswell, 2007).
kelompok mengenai masalah sosial atau masalah individu. Penelitian ini disebut penelitian deskriptif karena bertujuan untuk mendeskripsikan atau memberikan gambaran terhadap obyek penelitian melalui sampel atau populasi sebagaimana adanya, tanpa melakukan analisis dan membuat simpulan yang berlaku umum (Denzin, 1994).
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah perawat lansia yang tinggal di panti werdha bersama lansia yang dirawatnya. Cara pemilihan subjek yaitu dengan metode purposive sampling. Peneliti memilih subjek berjenis kelamin perempuan. Hal ini mengacu pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat bahwa perempuan cenderung memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (Martina, 2012). Peneliti memilih subjek juga berdasarkan pengalaman dan pengetahuan subjek dalam merawat lansia. Peneliti juga ingin membandingkan apakah ada persamaan dalam strategi menghadapi stress yang dilakukan oleh para subjek.
C. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian merupakan tahapan yang dilakukan peneliti dalam melakukan penelitian ini. Tahapan tersebut adalah:
b. Menentukan karakteristik subjek penelitian dan menentukan individu yang akan menjadi subjek dalam penelitian ini.
c. Menyusun panduan pertanyaan yang akan digunakan sebagai dasar dalam melakukan wawancara.
d. Bertemu langsung dan membangun rapport dengan subjek. Dalam tahap ini, peneliti juga menanyakan kesediaan subjek untuk menjadi subjek dalam penelitian ini. Selanjutnya peneliti dan subjek menentukan waktu dan tempat pengambilan data dan wawancara.
e. Sebelum melakukan wawancara, peneliti menanyakan kembali kesediaan subjek untuk menjadi subjek dalam penelitian ini dengan menandatangani lembar informed consent yang berisi proses pengambilan data, efek yang akan didapatkan oleh subjek, dan hak-hak yang bisa didapatkan oleh subjek ketika melakukan proses wawancara ini.
f. Setelah melakukan wawancara, peneliti menyusun verbatim dari hasil rekaman wawancara yang diperoleh dengan bantuan sound recorder. Peneliti juga membuat kode dan keterangan kode pada hasil verbatim untuk selanjutnya dianalisis sesuai dengan metode yang sudah ditentukan.
D. Batasan Istilah
1. Coping stress keadaan saat individu dapat mengendalikan pikiran dan perilaku saat menghadapi stressor atau situasi menekan yang ada di sekitarnya.
2. Perawat lansia adalah seseorang yang memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan perawatan yang disebabkan ketidakmampuannya melakukan aktifitas sehari-hari secara mandiri.
3. Lansia adalah seseorang baik pria maupun wanita yang berusia 60 tahun ke atas yang masih aktif maupun yang sudah tidak berdaya dan berada dalam tahap akhir perkembangan manusia.
4. Panti werdha adalah suatu tempat untuk menampung para lansia yang terlantar dengan segala fasilitas dan perawatan yang dibutuhkan oleh lansia.
E. Metode Pengumpulan Data
2005) menyatakan bahwa wawancara merupakan percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan dari penelitian.
Penelitian ini menggunakan wawancara semi terstruktur. Pada wawancara semi terstruktur, peneliti membuat suatu rancangan pertanyaan yang akan diajukan pada subjek. Namun rancangan tersebut hanya berfungsi untuk menuntun peneliti saat memberi pertanyaan pada subjek, jadi peneliti tidak harus menyampaikan pertanyaan sama persis dengan apa yang sudah dirancang terlebih dahulu (Smith, 2013). Ciri-ciri wawancara semi terstruktur menurut Kerlinger (1990) yaitu:
1. Adanya pertanyaan berdasarkan teori yang diambil
2. Adanya kebebasan yang dimiliki peneliti dalam mengajukan pertanyaan sesuai dengan kondisi yang dihadapinya dan tidak terikat oleh susunan kata-kata maupun urutan pertanyaan yang harus diajukan.
Langkah-langkah yang akan ditempuh oleh peneliti dalam melaksanakan wawancara ini adalah sebagai berikut:
a. Peneliti melakukan rapport terlebih dahulu kepada subjek. Hal ini berguna untuk membangun kepercayaan (trust) subjek pada peneliti.
c. Melakukan tanya jawab pendahuluan untuk mengetahui apa saja penyebab stress atau stressor yang pernah dialami subjek saat merawat lansia di panti werdha.
d. Melaksanakan wawancara kepada perawat lansia lansia dengan berlandaskan pedoman wawancara. Peneliti tidak membatasi subjek untuk memberikan informasi tambahan.
e. Wawancara direkam menggunakan alat perekam dari handphone dan telah disetujui oleh subjek.
f. Membuat transkrip wawancara, yaitu salinan hasil wawancara dari audio menjadi tulisan.
Bentuk pertanyaan yang digunakan pada penelitian ini adalah pertanyaan terbuka (open question) dengan tujuan untuk memperoleh pendapat subjek (Bogdan dan Biklen, 1992).
[image:57.595.86.515.213.743.2]Tabel pertanyaan untuk mengetahui strategi coping stress perawat dalam merawat lansia di panti werdha (berdasarkan teori Lazarus dan Folkman (1980, dalam Rice, 1999):
Tabel 1. Pedoman Pertanyaan Wawancara.
No. Tujuan Pertanyaan Pertanyaan
1. Mengetahui apa saja yang menjadi stressor pada perawat saat merawat lansia.
a. Kapan Anda mulai merawat lansia?
b. Apa saja tugas-tugas yang harus Anda lakukan ketika merawat lansia?
c. Hal apa saja yang biasanya menjadi kendala atau beban saat merawat lansia?
d. Apa yang Anda rasakan dan pikirkan saat terjadi kendala atau masalah dalam merawat lansia?
kendala tersebut membuat Anda menjadi stress?
2. Mengetahui strategi
menghadapi stress pada perawat saat merawat lansia.
a. Saat Anda mengalami stress, apa yang Anda lakukan?
b. Apa yang Anda pikirkan dan rasakan saat Anda merasa stress?
c. Bagaimana cara Anda untuk mengurangi stress yang sedang dialami? Apakah Anda meminta atau mencari bantuan dari orang lain?
d. Mengapa Anda memilih cara tersebut? Apakah cara tersebut efektif mengurangi stress?
F. Metode Pengukuran
1. Organisasi Data
Organisasi data dilakukan dengan menyusun data hasil wawancara dan catatan lapangan secara rapi dan sistematik agar membantu peneliti memperoleh data yang baik dan memudahkan proses penelusuran data. Setelah itu, peneliti akan melakukan pengkategorian dan pengkodean sesuai dengan aspek jenis strategi coping.
2. Koding
Koding merupakan proses mengolah materi/informasi menjadi segmen-segmen tulisan sebelum memaknainya (Rossman dan Rallis, dalam Creswell, 2010). Delapan langkah dalam proses koding menurut Tesch (dalam Creswell, 2010) yaitu:
Delapan langkah proses koding:
a) Berusaha untuk memperoleh pemahaman umum. Membaca semua
transkripsi dengan hati-hati dan berusaha menangkap
gagasan-gagasan inti dari transkripsi tersebut.
b) Pilih satu dokumen yang paling menarik, paling singkat, dan paling
penting. Tulislah gagasan tersebut dalam bentuk catatan kecil.
c) Buatlah daftar topik mengenai semua topik yang diperoleh lalu
gabungkan topik-topik yang sama.
d) Ringkaslah topik-topik ini menjadi sebuah kode, lalu tulislah kode
e) Buatlah satu kalimat/frasa/kata yang paling cocok untuk
menggambarkan topik-topik yang sudah diperoleh sebelumnya, lalu
masukkan topik-topik ini dalam kategori khusus.
f) Ringkas kembali kategori-kategori ini, lalu susunlah kode-kode
untuknya.
g) Masukkan materi-materi data ke dalam setiap kategori tersebut dan
bersiaplah untuk melakukan analisis awal.
h) Jika perlu, kodinglah kembali data yang sudah ada.
3. Analisis Data
Analisis yang digunakan adalah analisis tematik. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi yang dapat menghasilkan tema, model tema atau indikator kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu, atau hal-hal diantara atau gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut akan mampu mendeskripsikan tema bahkan menginterpretasikan tema. Analisis tema akan membantu peneliti menemukan “pola” tertentu yang masih tersebar secara acak dalam data verbatim. Setelah menemukan pola, peneliti akan mengklasifikasikan pola tersebut dengan cara memberi label, definisi, atau deskripsi (Boyatzis dalam Poerwandari, 2005).
G. Kredibilitas Penelitian
43 BAB IV
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Profil Responden
Peneliti melibatkan tiga orang subjek berjenis kelamin perempuan yang bekerja sebagai perawat lansia yang tinggal di panti werdha. Berikut ini adalah profil dari responden dalam penelitian ini:
1. Responden R
Responden pertama adalah seorang perempuan berusia 43 tahun dengan inisial R. Pendidikan terakhir responden adalah pada tingkat SMA. Responden berstatus belum menikah dan beragama Kristen. Responden tidak pernah mengikuti kursus atau pelatihan khusus untuk merawat lansia.
Sebelum merawat lansia di panti werdha tempat ia bekerja sekarang, ia hanya pernah merawat neneknya. Melalui pengalaman merawat neneknya tersebut, responden merasa terpanggil untuk melayani dengan cara merawat lansia di panti werdha yang dikelola oleh yayasan Kristen di Yogyakarta.
harus memakai infus. Kedua lansia tersebut menderita penyakit kronis dan mengalami cacat mental dan cacat fisik. Sedangkan pengurus panti werdha berjumlah 3 orang, namun hanya responden R yang bersedia tinggal di panti werdha tersebut. Terdapat beberapa kegiatan rutin yang dilakukan bersama-sama dengan para lansia. Kegiatan senam bersama dilakukan seminggu sekali setiap hari Jumat dipimpin oleh instruktur senam lansia. Selain itu, ada kegiatan membaca Alkitab dan berdoa bersama setiap hari yang dilaksanakan pada pukul 7 pagi atau sebelum sarapan.
2. Responden SR
Responden kedua adalah seorang perempuan berusia 19 tahun dengan inisial SR. Pendidikan terakhir responden adalah pada tingkat SMA, kemudian ia mengikuti pelatihan untuk menjadi perawat lansia di salah satu LPK di Purwokerto. Responden beragama Islam dan berstatus belum menikah.
Di panti werdha tempat responden ST bekerja, lansia yang tinggal di panti tersebut berjumlah 13 orang, 9 orang perempuan dan 3 orang laki-laki. Kondisi lansia di panti tersebut cukup baik, sebagian besar lansia masih sehat, hanya ada sekitar 3 orang yang harus memakai kursi roda karena kondisi fisik yang sudah lemah. Sedangkan perawat dan pengurus panti werdha tersebut berjumlah 20 orang, 15 orang perawat lansia dan 5 orang pengurus panti werdha. Semua perawat lansia tinggal di panti werdha tersebut. ada beberapa kegiatan rutin yang dilakukan bersama lansia. Di panti werdha tersebut juga ada beberapa kegiatan rutin, diantaranya adalah senam pagi setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Selain itu ada pula kegiatan membaca Alkitab dan berdoa bersama. Responden ST mengaku bahwa walaupun ia beragama non Kristen, ia tetap mengikuti kegiatan tersebut.
3. Responden SN
Responden ketiga adalah seorang perempuan berinisial SN yang berusia 20 tahun. Pendidikan terakhir yang ditempuh oleh responden adalah SMA. Setelah lulus SMA, responden mengikuti pelatihan khusus untuk merawat lansia di Purwokerto. Responden beragama Islam dan belum menikah.
SR, responden SN sempat merawat di salah satu panti werdha di Semarang sebelum ia menjadi perawat lansia di panti werdha dimana saat ini ia bertugas. Responden SN berkata bahwa ia menjadi perawat lansia atas keinginannya sendiri dan ia merasa siap dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya saat merawat lansia.
Di panti werdha tempat responden ST bekerja, lansia yang tinggal di panti tersebut berjumlah 13 orang, 9 orang perempuan dan 3 orang laki-laki. Kondisi lansia di panti tersebut cukup baik, sebagian besar lansia masih sehat, hanya ada sekitar 3 orang yang harus memakai kursi roda karena kondisi fisik yang sudah lemah. Sedangkan perawat dan pengurus panti werdha tersebut berjumlah 20 orang, 15 orang perawat lansia dan 5 orang pengurus panti werdha. Ada beberapa kegiatan rutin yang dilakukan untuk dilaksanakan bersama lansia. Kegiatan tersebut diantaranya adalah senam rutin yang dilakukan setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Ada juga kegiatan berdoa dan membaca Alkitab bersama yang dilaksanakan setiap hari. Meskipun beragama non Kristen, responden SN mengaku bahwa ia tetap mengikuti kegiatan berdoa tersebut dan merasa senang saat ikut berdoa bersama.
B. Pelaksanaan Penelitian
Sebelum melakukan pengambilan data, peneliti bersama dengan responden menentukan waktu dan tempat untuk melaksanakan wawancara. Peneliti memberikan informed consent pada para responden sebagai bukti bahwa responden bersedia menjadi narasumber dalam penelitian dan agar responden mengetahui manfaat dan tujuan dari penelitian yang akan dilaksanakan. Peneliti melakukan wawancara tidak terstruktur yang meliputi pengalaman responden sebagai perawat lansia, kendala atau stressor yang dialami saat merawat lansia, dan strategi para responden untuk menghadapi stres.
C. Hasil Penelitian
1. Responden I (inisial R)
a. Tugas sebagai perawat lansia
Berdasarkan paparan responden I, ada beberapa tugas yang harus dikerjakan dalam tugasnya merawat lansia, diantaranya adalah memandikan, menyuapi, mengganti pakaian para lansia dan mengerjakan urusan administrasi panti werdha. Tugas-tugas tersebut ia lakukan sendiri karena hanya ada satu perawat di panti werdha tempat responden I bekerja. Namun karena sebagian besar lansia masih mandiri, responden I tidak terlalu kesulitan dalam merawat para lansia, ia hanya perlu mengawasi lansia yang masih mandiri dan memberikan perawatan yang lebih intensif pada lansia yang sudah mengalami lemah fisik. Hal ini diungkapkan oleh responden I dalam kutipannya sebagai berikut:
b. Kendala atau stressor dalam merawat lansia
Responden I mengaku bahwa tidak selalu ia dapat mengerjakan tugas-tugas tersebut dengan lancar dan tidak ada kendala. Responden I berkata bahwa ia sering mengalami kendala dalam merawat lansia terutama pada saat ia harus menghadapi lansia yang mempunyai watak dan sifat yang berbeda-beda, sehingga seringkali para lansia tersebut susah untuk diberitahu. Hal ini diungkapkan oleh responden I dalam kutipannya sebagai berikut:
“Kendalanya itu ya cuma nenek-nenek saya itu beda watak, sifat, karakter jadi saya harus menyesuaikan watak, sifat, karakter mereka itu.” (19-21)
Responden I berpendapat bahwa kendala yang muncul dapat berasal dari pola pikir lansia yang berbeda-beda dan tingkat pendidikan yang rendah sehingga para lansia susah untuk diatur dan diberitahu:
Kendala lain yang dialami responden I adalah kondisi kesehatan lansia yang sudah menurun dan menderita penyakit seperti epilepsi dan cacat ganda (cacat mental dan fisik). Responden I mengaku bahwa ia kewalahan saat harus merawat lansia yang menderita cacat ganda, karena selain sulit diajak berkomunikasi, lansia tersebut juga tidak dapat menggerakkan badannya sendiri sehingga butuh perawatan ekstra. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan responden I dalam kutipan sebagai berikut:
“Cuma kendalanya waktu epilepsinya dia kumat, awalnya saya nggak tau kalo dia epilepsi.” (64-63)
“Dulu awal-awal masuk ya saya sempat kewalahan, saya harus ngangkat dia dari kursi ke tempat tidur, ngangkat dia dari kursi duduk terus memandikan, itu bener-bener saya kewalahan.” (73-76)
c. Strategi coping stres
dengan melakukan coping. Beberapa strategi coping yang dilakukan responden I sebagai tindakan kuratif adalah melepaskan atau mengengkspresikan emosi negatif yang dirasakannya. Hal ini diungkapkan oleh responden I dalam kutipan sebagai berikut:
“Saya mending wek wek wek tapi nggak jadi beban, nggak jadi masalah dengan mereka. Kalo sudah ya sudah, selesai urusannya, seperti itu. Lebih baik saya keluarkan daripada dipendam.” (157-161)
“Akhirnya saya terus teriak-teriak itu tadi, menghilangkan kejengkelan hati saya, saya luapkan.” (190-191)
Selain melepaskan emosi negatif, secara personal responden I juga beranggapan bahwa menyelesaikan masalah secara langsung lebih baik daripada dipendam. Responden I juga berkata bahwa dengan menyelesaikan masalah secara langsung dapat membuatnya merasa lega. Hal ini dibuktikan dalam pernyataan responden I sebagai berikut:
jadi langsung saya selesaikan tapi setelah itu saya lega.”(337-340)
Responden I mengaku bahwa ia juga melakukan upaya preventif dan kuratif dengan mendekatkan diri pada Tuhan. Upaya ini ia lakukan untuk mengantisipasi adanya luapan emosi negatif saat ia merasa stres. Responden I berkata bahwa secara personal dengan cara mendekatkan diri pada Tuhan, ia mendapatkan ketenangan dan merasakan adanya hikmat dan tuntunan Tuhan dalam menjalankan tugasnya merawat lansia. Dalam upaya mengatasi stres dengan cara mendekatkan diri dengan Tuhan, Responden I mempunyai 2 cara yaitu dengan berdoa dan membaca firman Tuhan. Hal ini dibuktikan dengan kutipan pernyataan responden I sebagai berikut:
“Akhirnya setiap saya mau marah, saya ambil renungan. Jadi setiap pagi mau makan, kita harus renungan dulu.” (127-129)
“Selalu baca renungan sebelum makan pagi, bacaan Firman Tuhan, ya melalui itu tadi saya berikan ke mereka.” (193-195)
nyaman kalo udah berdoa, dan merasa selalu dibukakan jalan oleh Tuhan.” (262-266)
Responden I mengaku bahwa ia membutuhkan orang lain untuk mendengarkan keluhannya dan menceritakan segala permasalahan yang dialaminya, sehingga ia dapat meluapkan emosi negatifnya. Jika ia tidak bercerita dengan orang lain, ia akan tetap merasa stres dan jengkel sehingga hal tersebut akan menjadi beban pikirannya. Menurut responden I, dengan cara bercerita dengan orang lain, beban dan stres yang dirasakannya sudah berkurang. Bercerita kepada orang lain dirasa efektif oleh responden I untuk mengurangi rasa jengkel dan stres yang dialaminya. Hal ini dibuktikan dengan kutipan pernyataan
responden berikut:
“Saya curhat ke orang tertentu. Soalnya kalo saya nggak curhat ke seseorang, beban itu berat. Jadi rasanya jengkel, stres, marah, nggak mau ngeliat orangnya, itu beban mbak. Daripada nanti saya marah, jadi batu sandungan, mending saya curhat.” (286-290)
Berdasarkan paparan dari responden I, stressor saat merawat lansia adalah saat ia harus menghadapi lansia yang sulit diberitahu, mengurus administrasi serta membersihkan panti sendiri, dan merawat lansia yang mengalami cacat fisik dan mental. Dalam menghadapi stres, responden I melakukan tindakan preventif yaitu berdoa dan membaca Alkitab. Upaya ini juga didukung dengan adanya kegiatan rutin di panti yaitu membaca renungan bersama. Sedangkan tindakan kuratif yang ia lakukan adalah menyelesaikan masalah secara langsung dan bercerita kepada orang lain. Dengan demikian, secara personal ia merasa bahwa dengan cara-cara tersebut rasa stresnya dapat berkurang. Coping stres yang digunakan responden I termasuk dalam emotion-focused coping.
2. Responden II (inisial Si)
a. Tugas sebagai perawat lansia
Dalam hal menjaga kebersihan lansia, responden II mengaku bahwa ia bertugas untuk mengepel dan menjaga kebersihan kamar para lansia. Hal ini dibuktikan dengan kutipan pernyataan responden sebagai berikut:
“Kalo pagi paling yang pertama ngepel depan gitu dulu terus nyiapin air panas buat mandi, gitu ntar jam setengah 6 mandiin.” (8-10)
“Kalo makan ya selalu ikut mba, makan terus sampe selesai gitu, kan kalo di belakang ada yang disuapin 1, terus makannya juga dihalusin.” (15-17)
Selain itu responden II juga bertugas untuk mengantar lansia yang mengeluh sakit ke poliklinik dan mengawasi lansia dalam mengonsumsi obat-obatan. Ketika waktu makan sudah tiba, responden II bersama perawat lainnya menyiapkan makanan untuk para lansia. Lansia yang cacat atau sedang sakit biasanya disuapi oleh perawat.Hal ini dibuktikan dengan kutipan pernyataan responden II sebagai berikut:
“Malem-malem pasti ada yang manggil, kalo ada yang mau kencing atau apa kan mesti manggil buat bantuin kencing.” (29-31)
b. Kendala atau stressor dalam merawat lansia
Pada saat merawat lansia, responden II mengaku ada beberapa kendala yang dialaminya. Kendala yang sering dialami yaitu lansia yang susah diberitahu untuk mandi. Selain itu lansia juga menggit dan mencakar perawat ketika dimandikan. Responden II mengaku bahwa ada beberapa lansia yang susah dimandikan dan sering memberontak. Perilaku lansia ini membuat responden II kesulitan dalam merawat. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan pernyataan sebagai berikut:
“Ya itu sih, kalo dimandiin ada yang suka nggigit. Ada yang nggigit, ada yang nyakar. Terus kalo di depan juga yang mandiin harus berdua mba.”(38-41)
“Emm... paling kalo susah dibilangin gitu, yang dibelakang itu susah mandi, susah dibilangin suruh mandi.” (36-37)
menanggapinya. Selain itu, responden II juga mengaku bahwa lansia sering berkata kasar sehingga ia merasa sedih dan jengkel. Kendala ini menyebabkan responden II merasa stres pada saat awal merawat lansia, namun lama-kelamaan ia terbiasa menghadapi perilaku lansia tersebut. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan sebagai berikut:
“Yang... itu yang pikun mba. Nanya terus, baru sebentar nanya, udah dijawab nanya lagi. Ngomong terus tapi omongannya diulang terus. Kadang ya capek nanggepinnya, jengkel juga udah dijawab, nanya lagi gitu mba .”(79-83)
“Kadang juga ada yang ngatain kasar mba. Kalo udah gitu yang bikin saya sedih, ya jengkel juga. Dulu awal ya sempet stres digituin, tapi makin kesini ya biasa aja.” (100-103)
c. Strategi coping stress
orangtua, dan Kepala Panti. Hal ini dibuktikan dengan kutipan pernyataan responden sebagai berikut:
“Emm... paling ya cerita, curhat sama temen-temen. Nanti temen-temen bilang, udah diemin aja, kalo ngamuk didiemin aja nanti kan cape sendiri.” (62-65)
“Seringnya dibilangin sama Bu Prapti, dikasih semangat gitu mba, disini kan bukan cuma kerja biasa ngerawat lansia tapi juga melayani.” (67-69)
“Tapi ya seringnya kalo ada masalah apa lagi jengkel stres gitu cuma cerita ke temen sih mba, kadang malah mereka bikin buat bercandaan.” (115-117)
“Ya gitu latian terus tiap hari, minta bantuan sama temen, dibantu sama temen juga.” (59-61)
“Jadi ya harus dihadapi aja, sama banyak-banyak sabar. Kalo nerima keadaan malah jadi nggak stres banget mba. Kerjaan merawat lansia ini kan juga saya sendiri yang mau, jadi apa aja resikonya ya saya terima aja mba.” (107-111)
Dalam upaya menghadapi stresnya, responden II berkata bahwa ia juga melakukan tindakan preventif dengan mendekatkan diri pada Tuhan (sholat). Hal ini dibuktikan dengan kutipan pernyataan responden sebagai berikut:
“Ya paling berdoa aja sih mba. Sama telepon ibu, cerita-cerita. Nanti sama ibu paling dibilang yaudah sabar aja, dijalanin aja gitu.” (75-78)
tersebut menunjukkan bahwa responden II menggunakan strategi emotion-focused coping.
3. Responden III (inisial SR)
a. Tugas sebagai perawat lansia
Berdasarkan hasil wawancara, responden III mempunyai beberapa tugas yang rutin dilakukannya sebagai perawat lansia. tugas-tugas tersebut adalah menjaga kebersihan para lansia, seperti memandikan dan membersihkan tempat tidur. Selain itu, responden III juga bertugas untuk menyiapkan makanan dan menjaga lansia. Responden III mengaku bahwa ia juga bertugas untuk menemani lansia saat akan tidur pada malam hari, dan menemani ke kamar mandi dan membantu buang air. Hal ini dibuktikan dengan kutipan pernyataan responden sebagai berikut:
b. Kendala atau stresor saat merawat lansia
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai perawat lansia, banyak kendala yang dilami oleh responden III. Kendala yang biasa ia alami adalah perilaku lansia yang sering menolak untuk dimandikan dan berteriak-teriak. Responden III juga mengaku bahwa ia pernah digigit, dicubit, dan dipukul oleh lansia yang tidak mau dimandikan. Lansia yang suka menggigit dan mencubit seringkali membuat responden III merasa sedih dan stres, selain itu responden III juga mengalami kendala saat mengingatkan lansia yang sulit minum obat. Hal ini dibuktikan dengan kutipan pernyataan responden III sebagai berikut:
“Biasanya nenek-neneknya tu suka teriak-teriak. Dimandiin ndak mau, teriak-teriak, nggigitin juga, nyubitin.” (35-37)
“Trus kalo suruh minum kalo ndak disuruh ndak minum-minum.” (39-40)
“Apalagi yang suka nggigit sama mukulin kalo pas dimandiin mbak, itu rasanya sedih banget, bikin stres.” (102-104)
yang sama pada para perawat secara berulang-ulang, hal tersebut membuat responden III merasa lelah dan jengkel, namun ia harus tetap menanggapi pertanyaan lansia tersebut. Hal ini dibuktikan dalam kutipan pernyataan responden III sebagai berikut:
“Yaa stres mbak, apalagi kalo ngadepin orang pikun mbak, capek ngadepinnya. Biasanya nanya, ini jam berapa? Udah dijawab “jam 8”, tapi nanya lagi nanya lagi. Nanti 5 menit lagi nanya lagi, “anak saya kok nggak kesini-sini ya? Lho kok ndak kesini lagi ya?” Marah-marah terus. (41-46)
Kendala-kendala yang dialami tersebut membuat responden III merasa jengkel, marah, dan stres, sehingga ia berniat untuk mengupayakan sesuatu agar ia bisa mengatasi emosi negatifnya tersebut. Responden III mengaku bahwa ketika ia sudah tidak dapat menahan rasa jengkelnya, ia akan memarahi atau membentak lansia yang sulit diberitahu. Hal ini dibuktikan dengan kutipan pernyataan sebagai berikut:
“Kadang-kadang marah-marah gitu mbak, ndak sengaja malah jadinya mbentak-mbentak.” (57-58)
Responden III mengaku bahwa saat ia merasa stres, ia juga berinisiatif untuk mencurahkan isi hati dan permasalahan yang dialaminya pada temannya. Saat bercerita pada teman-temannya, responden III berkata bahwa ia mendapatkan dukungan dan motivasi serta nasihat dari teman-temannya. Responden III juga berkata bahwa ia mendapat hiburan dari teman-temannya dengan cara bercanda bersama. Hal ini dibuktikan dengan kutipan pernyataan sebagai berikut:
“Yaa biasanya bercanda sama temen-temen, ndengerin lagu, nanti nyanyi-nyanyi bareng, ketawa-ketawa bareng, gitu.” (67-69)
“Biasanya saling berbagi gitu, saling cerita sama saling kasih semangat gitu lah mbak. Kasih nasihat juga...” (76-78)
“Tapi terus biasanya temen-temen kasih motivasi, “Jangan gitu lah, harus semangat. Kita kan disini kerja sama-sama. Nanti kalo kerjasama kan kita bisa ngatasin permasalahan yang ada disini..” (106-110)
emosi negatif dengan cara menangis jug