• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif Feminis Terhadap Ayat-Ayat Relasi Gender Dalam Al-Qur'an Studi Atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin Dalam Karyanya Qur'an And Woman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Perspektif Feminis Terhadap Ayat-Ayat Relasi Gender Dalam Al-Qur'an Studi Atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin Dalam Karyanya Qur'an And Woman"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

AYAT-AYAT RELASI GENDER DALAM AL-QUR′AN

(Studi atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin dalam Karyanya Qur′an And Woman)

Tesis

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Agama (MA)

Dalam Bidang Ilmu Agama Islam

Oleh:

Bardiatus Sa′adah NIM. 208410311

KONSENTRASI ULUMUL QURAN DAN ULUMUL HADIS STUDI AGAMA ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER (S2) INSTITUT ILMU AL-QUR′AN (IIQ) JAKARTA

1436 H / 2015 M

(2)

AYAT-AYAT RELASI GENDER DALAM AL-QUR′AN

(Studi atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin dalam Karyanya Qur′an And Woman)

Tesis

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Agama (MA)

Dalam Bidang Ilmu Agama Islam

Oleh:

Bardiatus Sa′adah NIM. 208410311

Pembimbing:

Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, MA Prof. Dr. H. Jaih Mubarak, MA

KONSENTRASI ULUMUL QURAN DAN ULUMUL HADIS STUDI AGAMA ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER (S2) INSTITUT ILMU AL-QUR′AN (IIQ) JAKARTA

1436 H / 2015 M

(3)

Tesis dengan judul “Persfektif Feminis terhadap Ayat-Ayat Relasi Gender dalam Al-Qur′an: Studi atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin dalam karyanya Qur′an and Woman” yang disusun oleh Bardiatus Sa′adah dengan Nomor Induk Mahasiswa 208410311 telah melalui proses bimbingan dengan baik dan dinilai oleh pembimbing telah memenuhi syarat ilmiah untuk diajukan di sidang munaqasyah.

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, MA Prof. Dr. H. Jaih Mubarak, MA

Tanggal: Tanggal:

(4)

dalam Al-Qur′an: Studi atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin dalam karyanya Qur′an and Woman” oleh Bardiatus Sa′adah dengan NIM 208410311 telah diujikan di sidang Munaqasyah Program Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qurʻan (IIQ) Jakarta pada Tanggal 13 Agustus 2015. Tesis tersebut telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Agama (MA) dalam bidang Ilmu Agama Islam.

Dr. KH. A. Munif Suratmaputra, MA (...) Ketua Sidang

Prof. Dr. H. Artani Hasbi, MA (...) Penguji I

Dr. KH. A. Munif Suratmaputra, MA (...) Penguji II

Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, MA (...) Pembimbing I

Prof. Dr. H. Jaih Mubarak, MA (...) Pembimbing II

Dr. KH. Ahmad Fudhaili, MA (...) Sekretaris

(5)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Bardiatus Sa′adah

NIM : 208410311

Tempat/ Tanggal Lahir : Amuntai, 20 Juni 1986

Menyatakan bahwa tesis dengan judul “Persfektif Feminis terhadap Ayat- Ayat Relasi Gender dalam Al-Qur′an: Studi atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin dalam karyanya Qur′an and Woman” adalah benar-benar asli karya saya kecuali kutipan-kutipan yang sudah disebutkan. Kesalahan dan kekurangan di dalam karya ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.

Jakarta, Agustus 2015

Bardiatus Sa′adah

(6)

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam, yang telah menurunkan Al- Qur′an sebagai petunjuk bagi hamba-hamba-Nya yang beriman. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada seorang insan teladan, junjungan kita Nabi Muhammad saw., serta seluruh keluarga, sahabat, serta para pengikut beliau hingga hari pembalasan.

Atas Karunia dan Rahmat Allah swt. jualah, penulis dapat menyelesaikan karya tulis dalam bentuk tesis yang berjudul Persfektif Feminis terhadap Ayat-Ayat Relasi Gender dalam Al-Qur′an: Studi atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin dalam karyanya Qur′an and Woman. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar magister dalam bidang Ilmu Agama Islam.

Selama proses penyusunan tesis ini, baik itu semenjak persiapan sampai perampungan akhir, penulis telah cukup banyak mendapatkan motivasi, bimbingan, serta arahan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung. Karena itu, pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya terutama kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Hj. Khuzaimah T. Yanggo, MA, selaku Rektor Institut Ilmu Al-Qurʻan Jakarta;

2. Bapak Dr. KH. A. Munif Suratma Putra, MA, selaku Direktur Program Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qurʻan Jakarta;

3. Ibu Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, MA, selaku pembimbing I dalam penelitian ini;

4. Prof. Dr. H. Jaih Mubarak, MA, selaku pembimbing II dalam penyelesaian tesis ini;

5. Dosen-dosen Program Pascasarjana IIQ yang telah mentransfer berbagai ilmu pengetahuan yang sangat berharga bagi penulis dan kelak manjadi modal penting bagi penulis untuk mengabdi di masyarakat atau dalam mengembangkan karir;

6. Segenap civitas akademika Program Pascasarjana Institut Ilmu Al- Qurʻan Jakarta yang selalu memberikan motivasi dan informasi- informasi berharga kepada penulis selama masa studi di IIQ.

7. Ayahanda H. Kailani, S.Ag dan ibunda Dra. Hj. Raudhah, M.Pd, mertua penulis: M. Nasir dan Nyak Deh, serta suami penulis H.

Samin, MA, dan ananda tercinta Hani Maulida Naqiyya, yang telah memberikan spirit dan motivasi, serta bantuan baik moral maupun material;

(7)

9. Bapak Wardani, S.IP, S.Pd.I selaku Kepala MTsN Tanjung Redeb yang sudi memberikan izin kepada penulis untuk menyelesaikan studi ini, juga teman-teman di lingkungan madrasah yang telah memberikan spirit kepada penulis.

Atas segala dukungan, bantuan, serta saran yang telah diberikan, semoga mendapat ganjaran yang layak di sisi Allah swt. Penulis menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa penelitian ini barangkali masih belum bisa dikatakan sebagai sebuah persembahan yang ideal untuk sebuah tesis karena masih terdapat kekurangan disana-sini, namun sebatas inilah kemampuan intelektual yang penulis miliki sampai hadirnya karya ini.

Karenanya, penulis sangat terbuka untuk menerima saran dan kritik dari pihak manapun demi kesempurnaan penelitian ini.

Akhirnya, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan keilmuan dan tradisi penafsiran Al-Qur′an ke depan. Kepada Allah jualah segala ikhtiar kita serahkan dengan harapan limpahan taufik dan hidayah-Nya senantiasa meliputi kita semua. Amin.

Jakarta, Syawal 1436 Juli 2015

Penulis

(8)

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA

A. Konsonan Tunggal

No. Huruf Arab Nama Huruf Latin

1. أ alif hamzah A

2. ب ba′ B

3. ت ta′ T

4. ث tsa′ Ts

5. ج Jim J

6. ح ha′ H

7. خ kha′ Kh

8. د Dal D

9. ذ Dzal Dz

10. ر ra′ R

11. ز Zai Z

12. س Sîn S

13. ش Syîn Sy

14. ص Shad Sh

15. ض Dhâd Dh

16. ط Thâ Th

17. ظ Zhâ Zh

18. ع ‛ain …′…

19. غ Ghayn Gh

(9)

21. ق Qâf Q

22. ك Kâf K

23. ل Lâm L

24. م Mîm M

25. ن Nûn N

26. و Wâu W

27. ه ha′ H

28. ء Hamzah …′…

29. ي ya′ Y

B. Konsonan Rangkap karena tasydîd ditulis rangkap نيدّقعتم ditulis muta′aqqidîn

ةّدع ditulis ′iddah

C. Tâ marbûthah di akhir kata 1. Bila dimatikan, ditulis h ;

ةبه ditulis hibah ةيزج ditulis jizyah

(ketentuan ini tidak berlaku terhadap kata-kata Arab yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti salat, zakat dan sebagainya, kecuali dikehendaki lafal aslinya)

2. Bila dihidupkan karena berangkai dengan kata lain, ditulis terpisah;

الله ةمعن ditulis ni′mah Allâh رطفلا ةاكز ditulis zakâh al-fithr D. Vokal

Tunggal: ــَــ = a ــِــ = i ــُــ = u Panjang: اـَــ = â ِْيـِــ = î ِْوـُــ = û Rangkap: ِْيـَــ = ay ِْوـَــ = aw

(10)

ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf l (el).

Contoh: رمقلا : al-qamar

b. Kata sandang yang diikuti huruf-huruf asy-syamsiyyah ditransliterasikan dengan mengganti al dengan huruf-huruf asy- syamsiyyah yang mengikutinya.

Contoh: سمشلا : asy-syams F. Singkatan

Cet. = cetakan

h. = halaman

H. = tahun hijriyah

M. = tahun Masehi

QS. = Alquran Surah

HR. = Hadis Riwayat

ra. = radiya Allâh ′anh

swt. = subhânah wa ta′âla

saw. = shalla Allâh ′alayh wa sallam

t.p. = tanpa penerbit

t.t. = tanpa tempat

t.th. = tanpa tahun

(11)

HALAMAN JUDUL ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

PERNYATAAN PENULIS ... v

KATA PENGANTAR ... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... ix

DAFTAR ISI ... xii

ABSTRAK ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Kegunaan Penelitian ... 12

E. Tinjauan Pustaka ... 12

F. Metodologi Penelitian ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II FEMINISME DAN TAFSIR FEMINIS... 18

A. Gerakan Feminisme ... 18

B. Tafsir Feminis ... 25

BAB III SKETSA BIOGRAFIS DAN KONSTRUK PEMIKIRAN AMINA WADUD MUHSIN ... 38

A. Sketsa Biografis dan Setting Sosio-Kultural Amina Wadud Muhsin ... 38

B. Konstruksi Pemikiran Amina Wadud Muhsin ... 45

BAB IV KONSTRUKSI METODOLOGIS PENAFSIRAN AMINA WADUD MUHSIN ... 48

A. Sistematika Penulisan Buku Qur’an and Woman ... 48

B. Aplikasi Penafsiran Amina Wadud Muhsin ... 57

BAB V TELAAH TERHADAP PERSFEKTIF AMINA WADUD MUHSIN ... 88

A. Akar dan Latar Belakang Pemikiran Amina Wadud Muhsin ... 88

B. Pendekatan (Approach) Amina Wadud Muhsin ... 89

C. Metodologi Penafsiran Amina Wadud Muhsin ... 96

D. Implikasi Metodologi dan Penafsiran Amina Wadud Muhsin .... 105

E. Perbedaan Paradigma Tafsir Feminis dan Tafsir Klasik ... 143

(12)

B. Saran-saran ... 149 DAFTAR PUSTAKA ... 151 CURRICULUM VITAE ... 159 LAMPIRAN

(13)

GENDER DALAM AL-QUR′AN

(STUDI ATAS PEMIKIRAN AMINA WADUD MUHSIN DALAM KARYANYA QUR′AN AND WOMAN)

Abstrak

Al-Qur′an sebagai kitab suci umat Islam dalam tataran normatif- idealis, sangat menghargai perempuan, dan dengan tegas memandang bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara di hadapan Allah. Namun pada tataran historis-empiris posisi perempuan relatif belum setara dengan laki-laki, dan peranan mereka terasa masih terpinggirkan. Kondisi tersebut pada akhirnya melahirkan kesadaran baru akan perlunya mereformasi pola relasi laki-laki dan perempuan ke arah yang lebih adil dan bernuansa kesetaraan (equality).

Gagasan kesetaraan dan persamaan hak, terutama persamaan hak antara laki- laki dan perempuan, atau yang lebih dikenal dengan ide emansipasi ini kemudian berimplikasi pada kemunculan feminisme.

Di dunia Islam, muncul beberapa tokoh feminis yang dianggap cukup aktif sebagai penggerak gerakan feminisme Islam, diantaranya Amina Wadud Muhsin. Dalam karyanya Qur′an and Woman, Amina mengungkapkan ketertarikannya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur′an khususnya yang berkenaan dengan ayat-ayat relasi gender. Untuk mendapatkan penafsiran yang relatif objektif, Amina mensyaratkan seorang mufassir harus kembali pada prinsip-prinsip Al-Qur′an sebagai paradigma penafsiran. Karenanya, ia merumuskan metode penafsiran yang berkaitan dengan isu-isu perempuan di era modernitas. Permasalahan yang muncul adalah berdasarkan pandangan ini, Amina meyakini bahwa tidak ada penafsiran yang benar-benar objektif.

Hal ini dikarenakan seorang mufassir seringkali terjebak dalam asumsi subjektif yang justru mereduksi dan mendistorsi makna Al-Qur′an.

Kajian terhadap Al-Qur′an yang dilakukan oleh Amina Wadud Muhsin mengagetkan banyak pihak dan kontroversional. Maka tak pelak dalam hal ini pengkajian terhadap pemikiran feminis khususnya Amina Wadud Muhsin menjadi sebuah keniscayaan, karena genre penafsiran feminis adalah gagasan baru yang sedikit banyaknya memiliki perbedaan dengan penafsiran klasik.

Penelitian ini merupakan studi literatur (library research) atau penelitian pustaka yang bersifat deskriptif-analitis. Sumber primer (the primary resource) dalam penelitian ini adalah karya feminis Muslim tersebut, yakni Qur′an and Woman, serta karya-karyanya yang lain yang berkaitan dengan usahanya untuk memahami ayat-ayat Al-Qur′an. Adapun sumber data sekunder (the secondary resources) dalam penelitian ini adalah buku-buku

(14)

Akar pemikiran yang dimiliki oleh Amina Wadud Muhsin merupakan refleksi kritis yang berpersfektif gender yang dilatarbelakangi oleh faktor psikologis, teologis, serta akademis. Konstruksi metodologis penafsiran yang digunakannya terletak pada penggunaan analisis gender dalam menginterpretasikan ulang ayat-ayat relasi gender. Namun pada aplikasi metodologisnya, hal yang sulit dihindari adalah faktor subyektivitas, misalnya penafsirannya mengenai makna “wahyu” dalam QS. Al-Qashash [28]: 7. Ia juga berpendapat bahwa perempuan juga menerima wahyu sama dengan laki-laki, yang dalam hal ini terkait dengan peristiwa yang terjadi pada ibunda Nabi Mûsâ. Padahal berdasarkan penelusuran penulis dari beberapa literatur, ′wahyu′ pada ayat tersebut diartikan dengan ′firasat′. Dari sini tampak bahwa dalam diri Amina Wadud Muhsin ada kecenderungan bias keperempuanan.

Implikasi dari persfektif Amina Wadud Muhsin dapat dilihat dari dua poin utama, yakni implikasi metodologi dan penafsiran. Implikasi metodologi dapat mencakup tiga poin: 1) Amina menggunakan corak epistemologi Bayâni-Burhânî; 2) Amina adalah seorang yang Qur’an oriented, namun tidak menjadikan hadis sebagai sumber rujukan; 3) Metode analisis sosio- historis yang dijadikan sebagai acuan oleh Amina masih harus tetap dipertanyakan karena jauhnya jarak antara situasi turunnya ayat serta situasi dewasa ini, selain metode analisis semantik yang masih inkonsisten dilakukan. Adapun implikasi penafsiran yang dilakukan oleh Amina Wadud Muhsin meliputi dua hal: 1) rekonstruksi teologis, yang membangun paradigma baru mengenai konsep penciptaan perempuan; 2) rekonstruksi sosial, yang membangun paradigma baru mengenai konsep kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan.

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah sosial manusia, diakui atau tidak, praktek dan perlakuan yang bersifat dehumanisasi (al-lâ insâniyyah) terhadap kaum perempuan pernah terjadi.1 Selama berabad-abad, masyarakat dunia pada umumnya menganut sistem patriarkhi2, sehingga seakan-akan telah menjadi kodrat bahwa perempuan memiliki derajat lebih rendah daripada laki-laki dan harus tunduk pada kekuasaan laki-laki, dengan dalih demi terciptanya kehidupan keluarga dan masyarakat yang harmonis. Namun, pada tataran realitas, seringkali bukan keharmonisan yang dirasakan, malah justru subordinasi, diskriminasi, bahkan kekerasan terhadap kaum perempuan.3 Bahkan hingga saat ini, kondisi tersebut masih dapat kita saksikan.4

1 Sebagai contoh, pada tradisi masyarakat Arab Jahiliyah, jika seorang istri melahirkan bayi perempuan, suaminya marah dan bingung apakah ia mau menanggung hidup dalam kehinaan, atau anaknya itu akan dibuang atau dikubur hidup-hidup. Perlakuan ini dikecam keras oleh Islam sebagai sebuah agama yang lahir di tengah-tengah masyarakat jahiliyah tersebut. Hal ini terekam jelas dalam firman Allah QS. An-Nahl [16]: 58-59:





























































“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak wanita, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan, ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”

2 Patriarki (patriarchy) secara sempit berarti suatu susunan masyarakat dengan ayah atau laki-laki sebagai kepala dalam keluarga, suku, atau masyarakat. Adapun secara lebih luas, Asma Barlas dengan mengutip pernyataan yang dikemukakan oleh Zillah Eisenstein, mendefinisikan patriarki sebagai politik pembedaan jenis kelamin yang mengunggulkan laki- laki dengan cara “mengalihkan jenis kelamin biologis ke dalam gender yang dipolitisasi, yang mengistimewakan laki-laki dan menjadikan perempuan sebagai “Diri Lain” yang berbeda (tidak setara) dan lebih rendah.” Lihat Peter Salim, The Contemporary English- Indonesian Dictionary, (Jakarta: Modern English Press, 1987), h. 1366; Asma Barlas, Cara Qur′an Membebaskan Perempuan, terj. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), h. 52.

3 Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis: Membaca Al-Qur′an dengan Optik Perempuan (Studi Pemikiran Riffat Hasan tentang Isu Gender dalam Islam), (Yogyakarta:

Logung Pustaka, 2008), h. 65.

4 Sebagai contoh, hingga saat ini, kasus perdagangan perempuan, kekerasan, dan pelecehan seksual terhadap mereka masih kerap terjadi dan tercantum dalam berita-berita kriminal, baik melalui media massa maupun elektronik. Namun hal yang ironis adalah,

(16)

Di Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia, sebagian kalangan yang belum memiliki sensitivitas gender5 masih memperlakukan perempuan sebagai masyarakat kelas dua. Hal ini berimplikasi pada belum terpenuhinya apresiasi terhadap perempuan pada pola perilaku sebagian masyarakat tersebut. Jika semua ini dibiarkan, tentu akan berdampak pada diskriminasi gender. Padahal Al-Qur′an sebagai kitab suci umat Islam secara normatif sangat menghargai perempuan, dan dengan tegas memandang bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara di hadapan Allah.6

Jika dalam tataran normatif-idealis, kaum perempuan dianggap setara dengan laki-laki, namun mengapa justru pada tataran historis-empiris posisi perempuan relatif belum setara dengan laki-laki, dan peranan mereka terasa masih terpinggirkan? Hal ini mengindikasikan adanya kesenjangan antara yang semestinya (baca: normatif) dengan kenyataannya (baca: historis).

Abdul Mustaqim7 mengemukakan beberapa faktor penyebab mengapa kaum perempuan mengalami bias gender. Pertama, budaya patriarkhi yang sudah sedemikian lama berakar dalam kehidupan masyarakat. Kedua, faktor politik, yang belum sepenuhnya berpihak kepada kaum perempuan. Ketiga, faktor ekonomi, dimana sistem kapitalisme global yang melanda dunia,

bahwa fenomena seperti ini juga terjadi di negara yang mengaku sebagai negara Islam, seperti Malaysia dan Saudi Arabia. Yang menjadi korban kekerasan, tak lain adalah TKW asal Indonesia yang bekerja disana.

5 Gender dapat diartikan sebagai suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Lihat Victoria Neufelt (ed.), Webster′s New World Dictionary, (New York: Webster′s New World Clevenland, 1984), h. 561.

6 Lihat misalnya QS. Al-Hujurât [49]: 3, yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling mengenal. Kemuliaan manusia bukan dilihat dari jenis kelaminnya, tetapi dari ketakwaannya kepada Allah; QS. Al-Baqarah [2]: 187, yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan diibaratkan seperti pakaian. Keduanya harus saling melindungi dan menutupi kekurangannya; QS. An-Nisâ′ [4]: 124, yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan yang beriman dan memiliki prestasi amal shaleh, sama-sama akan mendapat jaminan surga; QS. Âli ′Imrân [3]: 195, yang menyatakan bahwa Allah juga mengabulkan permohonan, menghargai prestasi kerja, dan tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. Bahkan dalam QS. Al-Ahzâb [33]: 35, laki-laki dan perempuan sama-sama disebutkan dan dipuji dengan sifat yang baik. Mereka dijanjikan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.

7 Abdul Mustaqim adalah salah seorang staf pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dia dilahirkan pada 4 Desember 1972 di desa Purworejo. Riwayat pendidikan kesarjanaannya adalah S1 Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir- Hadis IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, S2 konsentrasi Agama Filsafat dan S3 konsentrasi Tafsir di almamater yang sama. Dia telah menelurkan puluhan karya ilmiah pada bidang Tafsir dan Hadis. Lihat Abdul Mustaqim, “Biodata Penulis”, dalam Paradigma Tafsir Feminis: Membaca Al-Qur′an dengan Optik Perempuan, h. 257-259.

(17)

seringkali justru mengeksploitasi perempuan. Keempat, faktor interpretasi agama yang bias gender.8

Kondisi tersebut pada akhirnya melahirkan kesadaran baru akan perlunya mereformasi pola relasi laki-laki dan perempuan ke arah yang lebih adil dan bernuansa kesetaraan (equality). Gagasan kesetaraan dan persamaan hak, terutama persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, atau yang lebih dikenal dengan ide emansipasi9 ini kemudian berimplikasi pada kemunculan feminisme 10, yakni suatu paham yang diilhami oleh kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun lingkungan tempat kerja, serta adanya kesadaran oleh laki-laki dan perempuan untuk mengubah keadaan tersebut.11

8 Abdul Mustaqim menambahkan bahwa terjadinya bias gender dalam interpretasi (tafsîr) Al-Qur′an dapat dilihat dari tiga faktor: 1) faktor internal teks Al-Qur′an. Al-Qur′an turun tidak dalam vakum kultural, melainkan ′terbentuk′ dalam budaya patriarki, yang kemudian secara tekstual meniscayakan ′bias gender′; 2) faktor metodologi penafsiran; 3) faktor eksternal, yaitu bahwa kebanyakan mufassir berjenis kelamin laki-laki, sehingga kurang dapat mengakomodir kesadaran kaum perempuan. Mungkin saja para mufassir tidak sengaja berbuat demikian, mengingat konstruk masyarakat saat itu sangat kental dengan budaya patriarki. Lihat Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis: Membaca Al-Qur′an dengan Optik Perempuan, h. 15, 24-27.

9 Emansipasi berasal dari bahasa Inggris, emancipation yang berarti kemerdekaan.

Kemerdekaan disini diartikan sebagai melepaskan diri dari kekuasaan untuk selanjutnya mempunyai kebebasan dalam bertindak, menentukan sikap, atau tidak bergantung pada orang lain. Lihat Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, (Yogyakarta:

Kibar Press, 2007), h. 37.

10 Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina yang berarti perempuan, yakni penekanan terhadap kualitas perempuan. Istilah ini pada mulanya digunakan terutama sebagai referensi tentang persamaan seks (sex equality) dalam gerakan pembebasan perempuan. Istilah lain yang sering digunakan untuk menamakan gerakan ini, antara lain Womanism, Women′s Liberation, Bourgeois Feminism, CareerFeminism, Mainstream Feminism, dan Liberal Feminism. Lihat Valerie Bervson, Feminist Political Theory an Introduction, (London: MacMillan, 1992), h. 107. Sementara orang yang memiliki paradigma feminisme disebut sebagai feminis. Lihat Peter Salim, Webster′s New World Dictionary for Indonesian Users English Indonesian (Jakarta: Modern English Press, 1993), h. 204.

11 Lihat Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, terj. S. Herlina (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), h. 5.

Menurut Zaitunah Subhan, gerakan feminisme lahir didasarkan atas perdebatan dua arus pemikiran konsep nurture (sosialisasi) dan nature (alami) yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial, yakni: 1) teori struktural- fungsional yang diterapkan dalam menganalisis kehidupan sosial masyarakat. Pendekatan ini mempunyai warna yang jelas yakni mengakui adanya segala keanekaragaman dalam kehidupan sosial; 2) teori konflik-sosial yang menjadi alternatif dari aliran struktural- fungsional. Teori ini percaya bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan dan kekuasaan yang menjadi pusat dari setiap hubungan sosial, termasuk hubungan antara perempuan dan laki-laki. Lihat Zaitunah Subhan, Rekonstruksi Pemahaman Gender dalam

(18)

Feminisme sebagai suatu paham, kemudian berkembang menjadi suatu gerakan yang dilandasi oleh semangat memperjuangkan keadilan, kebebasan, dan persamaan hak antar manusia, tanpa membedakan jenis kelamin mereka. Kelahiran feminisme sebagai suatu gerakan, pertama kali muncul di Amerika Serikat sekitar akhir abad 19 atau awal abad 20 dalam rangka mendapatkan hak memilih (the right to vote). Namun setelah memperoleh hak tersebut, pada tahun 1920, gerakan ini tenggelam lagi. Baru pada tahun 1960-an, setelah Betty Friedan menerbitkan buku The Second Sex, The Feminine Mystique (1963), buku tersebut mendapat sambutan besar dari masyarakat dan memberikan kesadaran baru bagi perempuan bahwa peran tradisional cenderung menempatkan mereka pada posisi marginal.12 Hingga saat ini, kaum feminis lebih menekankan perjuangan mereka pada usaha mewujudkan emansipasi perempuan dalam seluruh sektor kehidupan, baik di dalam maupun di luar rumah tangga.

Di dunia Islam, gagasan emansipasi perempuan yang diperjuangkan kaum feminis mempengaruhi pemikiran kelompok reformis pada awal abad ke-19, antara lain Rifâ′ah Rafî′ at-Tahtâwi (1801-1873), Qâsim Amîn (1865- 1908), Muhammad ′Abdûh (1849-1905), dan Thahar Haddad (1899-1935).

Satu dekade kemudian, muncul beberapa tokoh feminis yang dianggap cukup aktif sebagai penggerak gerakan feminisme Islam yang mengusung ide-ide para reformis tersebut. Mereka itu antara lain Fazlur Rahman, Riffat Hasan, Fatima Mernissi, Asghar Ali Engineer, Leila Ahmed, Asma Barlas, dan Amina Wadud Muhsin.

Namun dalam kacamata Amina Wadud Muhsin, terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara feminis Barat dan feminis Muslim. Para feminis Barat memiliki persepsi yang menghendaki pemutusan total dari masa lampau. Menurut mereka, optimalisasi kemajuan terkait langsung dengan pembebasan diri dari ikatan tradisi. Akan tetapi dalam hal ini, kaum feminis masih harus memasukkan perempuan kedalam wacana agar mereka mendapatkan legitimasi. Sementara feminis Muslim hanya perlu memahami Al-Qur′an dengan sebenarnya jika ingin mendapatkan kebebasan, yakni dengan tidak terbelenggu oleh penafsiran yang eksklusif dan mengekang, karena bukan teks Al-Qur′an yang membatasi perempuan, melainkan penafsiran terhadap teks itulah yang membatasinya.13

Islam: Agenda Sosio-Kultural dan Politik Peran Perempuan, (Jakarta: el-KAHFI, 2002), h.

17-18.

12 Ratna Megawangi,”Feminisme: Menindas Peran Ibu Rumah Tangga”, dalam Dadang S. Anshori, et.al. (ed.), Membincangkan Feminisme: Refleksi Muslimah atas Peran Sosial Kaum Wanita, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 169.

13 Amina Wadud Muhsin, Qur′an and Woman, (Kuala Lumpur: Fajar Bakti Sdn.

Bhd., 1994), Cet. III, h. vi.

(19)

Sejalan dengan perkembangan zaman dan begitu kompleksnya problem perubahan sosial kontemporer, diskursus mengenai isu-isu gender menjadi semakin populer.14 Sebagai konsekuensinya, kajian tafsir Al-Qur′an kontemporer juga mau tidak mau harus merespon isu-isu itu, dan harus mampu memberi solusi terhadap persoalan sosial keagamaan tersebut. Jika tidak demikian, maka kajian tafsir akan kehilangan relevansinya. Hal ini kemudian berimplikasi pada munculnya paradigma baru dalam menyikapi wacana ketidaksetaraan gender ini, yakni paradigma feminis terhadap kajian tafsir, atau disebut pula sebagai paradigma tafsir feminis.15

Paradigma tafsir feminis adalah sebuah genre tersendiri yang muncul di era kontemporer ketika isu gender menjadi isu global. Paradigma ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa prinsip dasar Al-Qur′an dalam relasi laki-laki dan perempuan adalah keadilan (al-′adâlah), kesetaraan (al- musâwah), kepantasan (al-ma′rûf), dan musyawarah (asy-syûrâ). Atau dengan kata lain, Al-Qur′an mendudukkan laki-laki dan perempuan setara di hadapan Allah, yang membedakan keduanya hanyalah kadar ketakwaannya.

Paradigma tafsir feminis ini memang bertolak belakang dengan paradigma tafsir klasik yang menganggap bahwa ayat-ayat yang memiliki keterkaitan dengan relasi gender sebagai ayat-ayat yang qath῾î ad-dalâlah16. Paradigma tafsir klasik memandang bahwa ayat-ayat relasi gender sebagai sebuah statemen normatif yang seolah menjadi proposisi umum, dimana ia berlaku secara tekstual dalam kondisi apapun. Sementara, paradigma tafsir feminis beranggapan bahwa ayat-ayat relasi gender lebih bersifat sosiologis yang penafsirannya bisa kontekstual sesuai dengan perubahan sosial

14 Menurut Komaruddin Hidayat, ada tiga variabel pendukung yang menjadikan kajian seputar isu-isu gender semakin populer. Pertama, implikasi dari paham feminisme di Barat yang masuk ke Indonesia, baik melalui para sarjana yang belajar disana, maupun melalui media massa dan literatur. Kedua, semakin terbukanya lapangan kerja bagi wanita, terutama bagi yang memiliki kemampuan tertentu sehingga membawa implikasi pergeseran pada pola hubungan suami istri dari pola tradisional kepada pola yang lebih egaliter berdasarkan kemampuan, kesempatan kerja, dan penghasilan. Ketiga, munculnya para politisi di dunia Islam yang melakukan kajian gender melalui berbagai pendekatan, baik dari disiplin keilmuan tertentu, seperti segi antropologi, psikologi, kedokteran, ekonomi, maupun dari disiplin keislaman, seperti fiqh, tasawuf, filsafat, dan sebagainya. Lihat Komaruddin Hidayat, “Kata Pengantar” dalam Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Al-Qur′an, (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. xiii-xiv.

15 Abdul Mustaqim mengemukakan dalam tesisnya, bahwa paradigma tafsir feminis merupakan paradigma baru dalam kajian tafsir, yang berfungsi sebagai counter exegesis terhadap produk-produk tafsir konvensional yang selama ini seolah dibakukan, sehingga nyaris tidak berkembang. Ia mengklaim bahwa pengkajian terhadap paradigma tafsir feminis ini baru muncul dengan dikenalkan oleh tesisnya yang merupakan karya ilmiahnya pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1999.

16 Qath′î ad-dalâlah berarti mutlak petunjuk maknanya tidak ada kemungkinan makna lain. Lihat Musthafâ as-Sibâ′î, As-Sunnah wa Makânatuhâ fi Tasyrî′ al-Islâmî, (Damaskus: Ad-Dâr al-Qawmiyyah li ath-Thabâ′ah wa an-Nasyr, t.th), h. 343-344.

(20)

masyarakat, sehingga produk-produk tafsir klasik yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut akan dinilai tidak tepat, terutama untuk diterapkan pada konteks kekinian.17 Lebih jauh, paradigma ini juga beranggapan bahwa interpretasi yang didominasi paradigma ideologi patriarkhi, juga ikut memberi kontribusi bagi termarjinalisasinya kaum perempuan.

Sebagai contoh tokoh feminis adalah Asma Barlas.18 Dalam master piece-nya Believing Woman in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur′an, ia memandang perlunya pembacaan kembali kitab suci Al- Qur′an, dalam perspektif yang menjunjung egalitarianisme. Persoalan utama yang ingin ia angkat adalah, apakah Al-Qur′an merupakan teks patriarkis atau bukan, atau justru memperkenankan dan mendukung pembebasan perempuan.19 Dalam hal ini, ada dua hal yang ingin ia tekankan: pertama, menentang pembacaan opresif terhadap Al-Qur′an yang menindas perempuan; kedua, menawarkan pembacaan yang mendukung bahwa perempuan dapat berjuang untuk kesetaraan di dalam kerangka ajaran Al- Qur′an sendiri, yang menurutnya berbeda dengan keyakinan muslim konservatif maupun muslim progresif.20

Kunci utama untuk menampilkan wajah Islam yang egaliter adalah dengan cara membaca kembali Al-Qur′an. Cara baca di atas diajukan oleh Barlas untuk memperkuat dan membuktikan tesis dia tentang karakteristik egalitarianisme dan antipatriarkhalisme di dalam Al-Qur′an. Untuk membuktikan bahwa Al-Qur′an menolak patriakisme dan, sebaliknya, mengajarkan egalitarianisme, Asma Barlas menguraikan banyak hal, termasuk konsep ketauhidan yang menjadi inti ajaran Islam.21 Karenanya, Barlas dalam hal ini menekankan perlunya pemahaman tidak hanya terhadap teks, tetapi tak kalah pentingnya juga terhadap konteks ketika ayat-ayat Al- Qur′an diturunkan.22

17 Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis: Membaca Al-Qur′an dengan Optik Perempuan, h. 16 dan 21.

18 Asma Barlas merupakan seorang professor pada Itacha College. Ia adalah orang Pakistan, yang diberhentikan dari tugasnya di bagian pelayanan luar negeri, karena kritiknya yang keras terhadap kekuasaan rezim militer di Pakistan yang dipimpin oleh genderal Zia Ul Haq. Asma Barlas pada akhirnya harus meninggalkan negaranya karena rezim saat itu melakukan pengusiran terhadapnya. Ia pergi ke Amerika Serikat dan mendapatkan suaka politik (political asylum) dari negeri ini.

19 Asma Barlas, Cara Qur′an Membebaskan Perempuan, h. 31.

20 Asma Barlas, “Kata Pengantar” dalam Cara Qur′an Membebaskan Perempuan, h.

27.

21 Asma Barlas, Cara Qur′an Membebaskan Perempuan, h.54.

22 Asma Barlas, Cara Qur′an Membebaskan Perempuan, h. 293.

(21)

Contoh lainnya adalah ayat mengenai persaksian perempuan, mengapa dua perempuan dianggap sebanding dengan satu laki-laki.23 Dalam

23 Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 282,



































































































































































































































































“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah ia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendektikan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau dia sendiri tidak mampu mendektikannya, maka hendaklah walinya mendektikannya dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki diantara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan diantara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu′amalahmu itu), kecuali jika hal itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya.

Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit

(22)

pandangan Asghar Ali Engineer24 dalam karyanya The Qur′an Women and Modern Society, ayat tersebut jika dirunut dari konteks turunnya (asbâb an- nuzûl), maka ayat tersebut berbicara mengenai persaksian dalam konteks jual beli atau perdagangan. Sementara perempuan pada saat itu tidak banyak yang terlibat dalam menangani persoalan perdagangan, sehingga diasumsikan dalam persaksian perempuan menjadi kurang valid. Karena itu, diperlukan teman lain untuk memperkuat persaksiannya. Jadi, persoalan sebenarnya adalah profesionalisme, validitas, serta kekuatan dalam persaksian tersebut.

Sehingga jika saat ini tenyata banyak kaum perempuan yang sudah profesional menangani masalah-masalah bisnis, maka sudah seharusnya perempuan disejajarkan dengan laki-laki dalam masalah persaksian.25

Gagasan lain adalah seperti yang dikemukakan Amina Wadud Muhsin (1952-…) dalam karyanya Qur′an and Woman.26 Paradigma dasar yang dimilikinya adalah bahwa Al-Qur′an sebagai sumber Islam tertinggi telah mensejajarkan laki-laki dan perempuan. Karenanya, pesan-pesan suci yang termaktub dalam Al-Qur′an mestinya ditafsirkan dalam konteks historis yang sangat spesifik, tidak general. Dengan kata lain, ketika hendak menafsirkan Al-Qur′an, seorang mufassir harus mencermati situasi sosio- historis-kultural ketika Al-Qur′an diturunkan. Selain itu, latar belakang seorang mufassir juga harus selalu diperhatikan.27

Berdasarkan pandangan ini, Amina meyakini bahwa tidak ada penafsiran yang benar-benar objektif. Hal ini dikarenakan seorang mufassir seringkali terjebak dalam asumsi subjektif yang justru mereduksi dan mendistorsi makna Al-Qur′an. Untuk mendapatkan penafsiran yang relatif

menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah memberikan pengajaran kepadamu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

24 Asghar Ali Engineer adalah salah seorang feminis laki-laki yang sangat gencar dalam memperjuangkan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Hal ini dipengaruhi oleh konstruk realitas sosiologis India, negara tempatnya berasal, yang menempatkan perempuan pada kedudukan yang rendah, baik dari segi sosial, ekonomi, maupun pendidikan. Dalam kondisi seperti inilah, ia tertantang untuk mengangkat martabat perempuan agar sesuai dengan yang dicita-citakan Islam. Lihat Djohan Effendi, “Pengantar” untuk Engineer, Hak- hak Perempuan dalam Islam, dikutip dari Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis:

Membaca Al-Qur′an dengan Optik Perempuan, h. 141-142.

25 Lihat Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, terj. Agus Nuryatno, (Yogyakarta: LKiS, 2007), Cet. III, h. 101-102.

26 Amina Wadud Muhsin dilahirkan di Amerika Serikat pada tahun 1952. Menurut informasi yang dinukil dari Charlez Kurzman dalam Liberal Islam, ia adalah seorang professor di Commonwealth University, Virginia. Lihat Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur′an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h. 234.

27 Amina Wadud Muhsin, Qur′an and Woman, h. 8-10.

(23)

objektif, Amina mensyaratkan seorang mufassir harus kembali pada prinsip- prinsip Al-Qur′an sebagai paradigma penafsiran.28

Sebagai manifestasi persyaratan ini, lanjut Amina, seorang mufassir harus mampu melihat secara utuh pesan yang disampaikan Al-Qur′an.

Karenanya, Amina mencoba menawarkan metode tafsir holistik, yakni metode tafsir yang menggunakan seluruh metode penafsiran dan mengaitkannya dengan berbagai persoalan sosial, moral, ekonomi, politik, termasuk isu-isu perempuan dan relasi laki-laki dan perempuan yang muncul di era modernitas.29

Metode tafsir holistik ini memang pernah ditawarkan sebelumnya oleh Fazlur Rahman (1919-1988). Asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat Al- Qur′an yang diturunkan dalam rentang waktu tertentu, cenderung menggunakan ungkapan yang relatif sesuai dengan situasi yang mengelilinginya. Karenanya, ia dapat direduksi atau dibatasi oleh situasi historis pada saat ia diwahyukan. Namun di lain pihak, Al-Qur′an itu berlaku sepanjang zaman. Karenanya, dalam rangka memelihara relevansi Al-Qur′an dengan perkembangan kehidupan manusia, maka Al-Qur′an harus terus- menerus ditafsirkan ulang.30

Dengan metode tafsir holistik tersebut, maka ayat-ayat yang secara tekstual terlihat bias gender, dapat dijelaskan secara lebih kontekstual. Dalam ayat pembagian warisan,31 sebenarnya ide dasarnya adalah keadilan, bukan

28 Amina Wadud Muhsin, Qur′an and Woman, h. 1.

29 Metode tafsir tematik-holistik yang digagas Amina Wadud Muhsin ini merupakan salah satu model pendekatan hermeneutika, dimana metode tersebut selalu melihat secara kritis hubungan antara tiga aspek, yakni: 1) Dalam konteks apa teks tersebut ditulis. Jika dikaitkan dengan Al-Qur′an, maka dalam konteks apakah ayat tersebut diturunkan (asbâb an-nuzûl); 2) Bagaimana komposisi tata bahasa, pengungkapan, dan apa yang dikatakan oleh teks (ayat) tersebut; 3) Bagaimana pula keseluruhan teks (ayat) itu berbicara tentang tema tertentu. Lihat Amina Wadud Muhsin, Qur′an and Woman, h. 3.

30 Ide ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Muhammad Syahrur dengan teori Tsabat an-Nash wa Taghayyur al-Muhtawâ, bahwa sikap seperti ini merupakan konsekuensi logis dari diktum yang menyatakan bahwa Al-Qur′an selalu relevan untuk seluruh waktu dan pada segala tempat (shâlih li kull zamân wa makân). Karenanya, hasil penafsiran Al-Qur′an mestinya selalu terbuka untuk dikritisi setiap saat, sehingga jangan sampai terjadi – meminjam istilah Muhammad Arkoun- pensakralan pemikiran keagamaan (taqdîs al-afkâr ad-dîniyyah). Lihat Amina Wadud Muhsin, Qur′an and Woman, h. 4; Iyyat Khudaifi al- Misri, Tafsir Wanita (Jakarta: Pustaka Group, 2009), h. 26.

31 Lihat QS. An-Nisâ′ [4]: 11,









































































(24)

satu banding duanya. Pada waktu itu, pembagian satu banding dua dirasa sangat adil, jika berangkat dari pertimbangan kenyataan sejarah sebelumnya, dimana perempuan tidak boleh mewarisi, tetapi malah diwarisi. Karenanya, jika ternyata nilai keadilan itu berubah, seiring dengan perubahan struktur sosial dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat, maka penafsiran tersebut juga bisa berubah.32

Kajian terhadap Al-Qur′an yang dilakukan oleh para feminis, seperti dipaparkan di atas, bukan tidak luput dari kritik. Langkah-langkah yang ditempuh oleh Asghar Ali Engineer, Asma Barlas, dan Amina Wadud Muhsin mengagetkan banyak pihak dan dianggap kontroversional, sehingga mengundang pihak yang pro dan kontra.

Dari beberapa latar belakang masalah atau fenomena yang telah dikemukakan, maka penulis termotivasi untuk melakukan elaborasi dan kajian yang lebih mendalam mengenai paradigma feminis Muslim dalam penafsiran Al-Qur′an, yang dituangkan dalam tesis yang berjudul: “Persfektif Feminis terhadap Ayat-ayat Relasi Gender dalam Al-Qur′an (Studi atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin dalam karyanya Qur′an and Woman).”

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah









































































“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak- anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Dalam catatan kaki mushaf Al-Qur′an terjemah Indonesia versi Departemen Agama, dijelaskan bahwa bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar mas kawin dan memberi nafkah (QS. An-Nisâ [4]: 34). Lihat Departemen Agama RI, Al-Qur′an dan Terjemahnya, (Jakarta: Syaamil Cipta Media), h.79.

32 Lihat Amina Wadud Muhsin, Qur′an and Woman, h. 87-88.

(25)

Penelitian mengenai penafsiran perempuan khususnya feminis Islam terhadap ayat-ayat relasi gender sangat menarik untuk dikaji, mengingat penafsiran yang ada selama ini memang cenderung didominasi oleh kaum laki-laki. Sehingga dari tema tersebut kita dapat mengindentifikasi banyak permasalahan, di antaranya: asumsi kaum feminis Islam mengenai bias gendernya penafsiran laki-laki;

latar belakang kehidupan sosial feminis Islam; metode feminis Islam dalam penafsiran Al-Qur′an; aplikasi dan implikasi penafsiran feminis Islam; perbandingan antara penafsiran feminis dan penafsiran klasik, dan lain-lain.

2. Pembatasan Masalah

Disebabkan banyaknya permasalahan tentang penafsiran feminis dalam kajian Al-Qur′an, maka diperlukan batasan-batasan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini penulis membuat batasan sebagai berikut :

a. Penulis hanya meneliti penafsiran Al-Qur′an yang dilakukan oleh salah satu di antara feminis Islam yaitu Amina Wadud Muhsin.

b. Penulis hanya akan menganalisa penafsiran Amina Wadud Muhsin mengenai ayat-ayat relasi gender dalam karyanya Qur′an and Woman.

3. Perumusan Masalah

Dari pemaparan pembatasan masalah di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimana akar pemikiran Amina Wadud Muhsin dalam karyanya Qur’an and Woman?

b. Bagaimana konstruksi metodologis penafsiran Amina Wadud Muhsin dalam karyanya Qur’an and Woman?

c. Bagaimana aplikasi penafsiran Amina Wadud Muhsin terhadap ayat-ayat relasi gender dalam Al-Qur′an dalam karyanya Qur’an and Woman?

d. Bagaimana implikasi penafsiran Amina Wadud Muhsin terhadap ayat-ayat relasi gender dalam Al-Qur′an dalam karyanya Qur’an and Woman?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian dan pengkajian yang penulis lakukan bertujuan sebagai berikut:

(26)

1. Untuk menganalisa akar pemikiran serta konstruksi metodologis penafsiran Amina Wadud Muhsin dalam karyanya Qur’an and Woman.

2. Untuk menganalisa konstruksi metodologis penafsiran Amina Wadud Muhsin dalam karyanya Qur’an and Woman.

3. Untuk menganalisa lebih mendalam mengenai aplikasi persfektif Amina Wadud Muhsin terhadap ayat-ayat relasi gender dalam Al- Qur′an dalam karyanya Qur’an and Woman.

4. Untuk mengelaborasi lebih mendalam mengenai implikasi persfektif Amina Wadud Muhsin terhadap ayat-ayat relasi gender dalam Al- Qur′an dalam karyanya Qur’an and Woman.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini setidaknya mempunyai kegunaan atau signifikansi, baik yang bersifat teoritis maupun praktis.

1. Secara Teoritis

Kegunaan yang bersifat teoritis, yaitu sebagai upaya untuk memperkaya khazanah intelektual dalam bidang tafsir Al-Qur′an, khususnya kajian yang berkaitan dengan metodologi tafsir feminis. Kajian ini juga berguna untuk menyadarkan kita bahwa kajian tentang isu gender telah mengglobal, dan akan terus berjalan secara dinamis bersamaan dengan semakin berkembangnya zaman. Selain itu, penelitian ini diharapkan akan menarik minat para peneliti berikutnya.

2. Secara Praktis

Kegunaan yang bersifat praktis, yaitu sebagai salah satu usaha untuk mengetahui dan memahami penafsiran para feminis Muslim khususnya Amina Wadud Muhsin terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan relasi gender dalam Al-Qur′an. Dan akhirnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam mengambil sikap; mendukung, atau menentang pendapat para feminis Islam tersebut.

E. Tinjauan Pustaka

Melihat penelitian terdahulu yang relevan, penting dilakukan untuk membedakan dan membandingkan penelitian yang akan dilakukan. Hal ini juga akan sangat bermanfaat bila sebelumnya belum ada penelitian.33 Sejauh pengamatan penulis, memang telah ada beberapa pengkaji dan peneliti yang membahas tentang feminisme dan isu-isu gender.

33 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta:

PT. Rineka Cipta, 1998), h. 40; Winarno Surachmad, Dasar dan Teknik Research (Bandung:

Penenrbit Tarsito, 1972), h. 97.

(27)

Di antara penelitian-penelitian tersebut adalah tesis karya Mundhir mahasiswa Pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga yang berjudul Persfektif Feminisme dalam Tafsir Al-Qur′an (1999). Tesis ini menegaskan bahwa diskriminasi terhadap perempuan adalah masalah sosial dalam masyarakat yang lebih banyak disebabkan oleh adanya sistem masyarakat patriarki yang diskriminatif terhadap perempuan dan banyak dianut oleh umat Islam daripada penafsiran Al-Qur′an itu sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya tafsir Al-Qur′an yang membela hak-hak dan kepentingan perempuan, serta mendukung adanya kesetaraan mereka dengan laki-laki. Tafsir yang menjadi referensi utama dalam penelitian ini adalah Tafsir al-Mannâr karya Muhammad ′Abdûh dan Rasyîd Ridhâ.

Selain itu, terdapat pula buku yang berjudul Membincang Feminisme:

Diskursus Gender Persfektif Islam. Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan dari berbagai pengkaji masalah feminisme Islam, yang secara umum membincangkan persoalan gender persfektif ideologis, persfektif fiqh, dan persfektif sosial kontemporer. Namun dalam buku ini, tidak ada pembahasan mengenai paradigma feminis khususnya Amina Wadud Muhsin dalam penafsiran Al-Qur′an.

Ada pula buku yang berjudul Paradigma Tafsir Feminis: Membaca Al-Qur′an dengan Optik Perempuan (Studi Pemikiran Riffat Hasan tentang Isu Gender dalam Islam). Buku yang ditulis oleh Abdul Mustaqim ini merupakan pengembangan dari tugas akhirnya (tesis) pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1999. Buku ini membahas mengenai asal-usul gerakan feminisme hingga tafsir feminis.

Namun, sebagaimana terlihat dari judulnya, buku ini hanya membahas secara mendetail mengenai pemikiran Riffat Hasan terhadap isu gender dalam Islam.

Inilah beberapa karya ilmiah mengenai feminisme yang sejauh ini penulis dapatkan. Adapun tulisan yang secara khusus mencoba mengkaji secara kritis pemikiran para feminis khususnya mengenai persfektif Amina Wadud Muhsin dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur′an yang berhubungan dengan relasi gender, menurut pengamatan penulis, tampaknya belum ada, sehingga penelitian ini diharapkan mampu mengisi celah yang belum dilakukan dalam penelitian sebelumnya.

F. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa fokus utama dari penelitian ini adalah mengelaborasi dan mengkritisi penafsiran Amina Wadud Muhsin terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan relasi gender dalam Al-Qur′an. Jenis penelitian ini merupakan studi literatur (library research) atau penelitian pustaka, yakni serangkaian kegiatan yang

(28)

berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Hal ini mengacu kepada buku dan data-data karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.34 Data yang digunakan merupakan data kualitatif berupa kata-kata atau kalimat-kalimat dan bukan angka-angka.35

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitis, yakni penelitian yang berusaha menuturkan pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan yang ada secara objektif. 36 Penelitian ini berupaya memberikan gambaran secara deskriptif, sekaligus mengeksplorasi secara mendalam terhadap aspek yang berhubungan dengan pesfektif penafsiran yang dimiliki oleh Amina Wadud Muhsin untuk kemudian dianalisis agar memberikan pemahaman secara jelas tentang metodologi penafsirannya terhadap ayat-ayat tentang relasi gender dalam Al-Qur′an.

3. Sumber Data Penelitian

Penelitian ini akan mengkaji dan mengelaborasi penafsiran Amina Wadud Muhsin terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan relasi gender dalam Al-Qur′an. Karena penelitian ini akan membahas pemikiran Amina Wadud Muhsin, maka yang menjadi sumber primer (the primary resource) dalam penelitian ini adalah karya feminis Muslim tersebut, yakni Qur′an and Woman, serta karya-karyanya yang lain yang berkaitan dengan usahanya untuk memahami ayat-ayat Al-Qur′an.

Adapun buku-buku dan jurnal-jurnal yang dianggap representatif dan otoritatif dalam bidang feminisme, termasuk pula karya-karya feminis lainnya akan menjadi sumber data sekunder (the secondary resources) dalam penelitian ini.

4. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan interpretasi (interpretative approach), yang berusaha menyelami pemikiran seorang tokoh yang tertuang dalam karya-karyanya guna menangkap nuansa dan pengertian yang dimaksud secara khas sehingga tercapai pemahaman yang

34 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 3. Lihat pula M. Subana dan Sudrajat, Dasar-dasar Ilmu Penelitian Ilmiah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 77; Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos, 1999), Cet. II, h. 67.

35 Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), h. 6.

36 Penelitian deskriptif yang dimaksudkan adalah untuk mengangkat fakta, keadaan, variabel, dan berbagai fenomena yang terjadi ketika penelitian atau praktek-praktek berlangsung dan menyajikan apa adanya. Lihat Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2003), h. 63; M. Subana & Sudrajat, Dasar-dasar Ilmu Penelitian Ilmiah, h. 26; Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), Cet. XIII, h. 19.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Algoritma prim adalah sebuah algoritma dalam teori graph untuk membuat sebuah lintasan dalam bentuk spanning tree untuk sebuah graf berbobot yang saling terhubung [3],

Dari permasalahan tersebut maka penelitian ini menbangun aplikasi untuk menentukan penjurusan siswa SLTA metode yang di gunakan adalah metode klasifikasi pohon keputusan ID3

Keadaan ini bermaksud, lambang atau simbol cecair bagi leksis kata kunci darah dalam peribahasa Melayu, bukanlah setakat cecair pada mata hati dan pemikiran orang Melayu, tetapi

satu partner dari Bank dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) sebagai salah satu alat penunjuk arah atau lokasi ( Location Based Services /LBS) berbasis

Partai politik merupakan sebuah institusi yang mutlak diperlukan dalam sistem demokrasi, apabila sudah memilih sistem demokrasi dalam mengatur kehidupan berbangsa

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keterlaksanaan pembelajaran, aktivitas siswa, keterampilan komunikasi, dan respon siswa dengan menerapkan strategi Genius

Abstrak. Berdasarkan observasi yang telah dilaksanakan selama mengikuti KKN reguler UIN Raden Fatah Palembang selama 40 hari di Kelurahan Kutaraya Kecamatan Kayuagung

Keseluruhan Komponen Kemampuan Motorik Rata-rata kemampuan motorik siswa kelas atas SDN Kutorejo II Kertosono (yang diukur dengan tes kelincahan, koordinasi mata dan