7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Air Limbah Tekstil
Air limbah tekstil berkontribusi sebesar 29% terhadap total pencemaran air limbah organik di Indonesia yang secara keseluruhan adalah 883 ton/hari. Air limbah dari industri tekstil memiliki karakter yang pekat dengan kandungan berupa BOD (Biochemical Oxygen Demand), pH, suhu, kekeruhan, salinitas dan bahan-bahan toksik dengan kadar tinggi dan berfluktuasi. Salah satu sektor di dalam industri tekstil adalah produk batik yang juga dalam proses pembuatannya menghasilkan air limbah (Rusydi dkk, 2016).
2.1.1 Air Limbah Industri Batik
Setiap proses pembatikan membutuhkan pewarnaan dengan zat kimia yang dapat menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan dan merugikan kesehatan manusia. Zat pewarna dan berbagai zat kimia yang masuk ke dalam lingkungan dapat berbentuk padatan yang terlarut air. Pencemaran air limbah tekstil dapat menimbulkan dampak negatif bagi ekosistem kehidupan terutama perairan diantaranya aliran sungai terpapar zat pewarna, logam berat dalam aliran air sungai, penurunan kualitas air serta timbulnya banyak penyakit seperti iritasi hingga kanker. Industri batik pada umumnya menggunakan zat warna rhodamine B (RhB), indigosol dan napthol (Luthfi, 2020).
Bahan-bahan kimia selain pewarna seperti soda kaustik (NaOH), soda kue (NaHCO3), asam sulfat (H2SO4), sulfit dan nitrit juga digunakan dalam industri batik. Komponen zat pengunci warna (mordan) dalam kegiatan fiksasi kain batik menggunakan berbagai jenis senyawa kimia yaitu tawas (KAl(SO4)2), tunjung (Fe(SO4)) , boraks, air kapur (Ca(OH)2), kalsium karbonat (CaCO3), tembaga (II) sulfat (Cu2(CH3COO)4), asam sitrat (C6H8O7), kalium dikromat (K2Cr2O7), dan besi sulfat (FeSO4.7H2O). Air limbah industri batik yang dibuang ke lingkungan perairan tanpa melewati prosedur pengolahan yang standar dapat berisiko menyebabkan pencemaran pada ekosistem perairan karena terjadi akumulasi zat
8
kimia toksik di dalamnya (Ridwanto dkk, 2020)
2.1.2 Dampak Buruk Air Limbah Tekstil
Pencemaran terhadap lingkungan dapat mengakibatkan dampak buruk terhadap keberlangsungan makhluk hidup dalam suatu ekosistem. Air limbah tekstil yang masuk dalam lingkungan dapat memberikan beberapa dampak buruk sebagai berikut:
a. Dampak Kesehatan
Air limbah tekstil yang secara intens dan dalam jumlah melampaui ambang batas dapat berisiko mempengaruhi kesehatan manusia (Rozaq dan Hanifah, 2020), antara lain adalah:
1. Zat toksik yang terakumulasi dalam lingkungan dapat meracuni manusia dan organisme lain.
2. Penyakit menular dapat timbul melalui rantai makanan.
3. Berbagai mikroorganisme dan fungi berbahaya dapat berkembang biak sehingga menyebabkan penyakit.
4. Timbulnya penyakit kolera, diare dan demam tifus.
5. Air limbah yang terakumulasi dan tidak terurai dengan baik menjadi tempat berkembang biak bagi lalat sehingga memungkinkan penularan penyakit infeksius.
b. Dampak Lingkungan
Beberapa dampak negatif dari air limbah industri tekstil antara lain adalah (Rozaq dan Hanifah, 2020):
1. Kualitas lingkungan hidup menurun.
2. Estetika dari lingkungan terganggu.
3. Lingkungan yang tercemar tidak nyaman untuk ditempati.
4. Organisme terdampak pencemaran berisiko mati bahkan musnah.
9
2.2 Pengolahan Air Limbah
Tujuan pengolahan air limbah adalah pemurnian air yang berasal dari buangan berbagai kegiatan dan aktivitas dengan melakukan pemisahan zat-zat terlarut yang berbahaya dan dapat menjadi bahan pencemar bagi lingkungan baik materi organik ataupun anorganik. Pengolahan air limbah pada umumnya merupakan kombinasi dari metode pengolahan air secara fisik, kimia dan biologi.
2.2.1 Pengolahan Air Limbah Metode Fisika
Metode fisika menggunakan prinsip fisis dalam pemisahan padatan dari zat cair untuk mengurangi beban cemaran dan pengembalian bahan yang bermanfaat bagi lingkungan. Proses fisis bermanfaat dalam mengurangi sifat abrasif dari suatu cairan terhadap instrumen tertentu seperti pompa dan alat ukur (Hambandima, 2017).
Beberapa jenis metode fisika untuk pengolahan limbah cair adalah:
a. Screening
Screening sebagai tahap awal dalam proses penyaringan berfungsi untuk memisahkan benda-benda dengan ukuran tertentu seperti potongan kayu atau plastik. Ukuran screen berpengaruh terhadap efektivitas proses, semakin rapat media screen maka semakin kecil benda yang dapat ditahan (Hambandima, 2017).
b. Filtrasi Membran
Filtrasi dengan teknologi membran mampu memberikan hasil pengolahan yang baik karena mampu mencapai pemurnian hingga 100% dalam waktu yang relatif singkat dengan kapasitas kerja yang besar. Beberapa contoh jenis membran yang digunakan dalam proses pengolahan air limbah adalah ultrafiltration, microfiltration, nanofiltration dan reserve osmosis (Martini dkk, 2020).
c. Filtrasi dengan Media Pasir
Bahan pasir dengan ukuran seragam digunakan sebagai filter untuk mengurangi konsentrasi polutan pada air dengan tingkat turbidity dan cemaran yang kecil (Martini dkk, 2020).
10
d. Sedimentasi (Pengendapan)
Pengendapan memanfaatkan gaya gravitasi untuk pemisahan partikel dari air terutama pada pengolahan air berlumpur. Partikel dengan massa jenis yang lebih berat dari air akan berangsur-angsur berada di bawah penampungan (Hambandima, 2017).
2.2.2 Pengolahan Air Limbah Kimiawi
Pengolahan air secara kimiawi dilakukan dengan memberi bahan tambahan berupa senyawa kimia yang biasa disebut koagulan dan flokulan sehingga terjadi reaksi kimiawi pada saat proses penjernihan. Koagulasi adalah proses pengendapan partikel pengotor air baku yang tidak mampu dilakukan secara gravimetri. Koagulasi akan menghasilkan flok-flok dari partikel pengotor sehingga akan mempermudah proses filterisasi pada proses pengolahan air.
Koagulan selain mengikat partikel juga memiliki sifat menetralkan muatan koloid sehingga terjadi proses pembentukan flok. Penambahan bahan kimia sebagai koagulan seperti aluminium sulfat dan polialuminium klorida dengan nama dagang tawas dan PAC cukup umum digunakan pada proses pengolahan air baku ataupun air limbah (Sitinjak, 2019).
2.3 Pengolahan Air Limbah Industri Tekstil Pengolahan limbah cair terdiri dari tiga tahapan utama yaitu:
a. Pengolahan Primer
Tujuan pengolahan primer ditujukan untuk pemisahan padatan dan air secara fisik. Proses pemisahan dapat dilakukan dengan mengalirkan air pada suatu saringan (filter) ataupun bak penampungan untuk sedimentasi (Luthfi, 2020).
b. Pengolahan Sekunder
Tahapan sekunder menggunakan mekanisme koagulasi dan reduksi serta proses penstabilan zat organik terlarut dalam air. Pengolahan sekunder akan menurunkan BOD (Biochemical Oxygen Demand) terlarut yang tidak mampu diolah pada tahap primer. Selain itu, pengolahan sekunder juga mengolah suspended solid dalam air (Luthfi, 2020).
11
c. Pengolahan Tersier
Pengolahan ini merupakan pengolahan paripurna yang merupakan tahapan lanjutan dari proses pengolahan air limbah tekstil. Pada pengolahan tersier dapat melakukan proses pengolahan secara efektif hingga 95% untuk mengurai BOD, fosfor, suspended solid, dan mikroorganisme (Luthfi, 2020).
2.4 Baku Mutu Air Limbah Tekstil
Baku mutu untuk BOD5, COD, TSS dan pH air limbah cair bagi usaha ataupun kegiatan industri tekstil ditulis dalam Tabel 2.1
Tabel 2. 1 Batas Pencemaran Maksimum (BPM) Air Limbah Tekstil Pada Debit Maksimum 100 m3/hari
Parameter Kadar Paling Tinggi (mg/L)
BOD5 60
COD 150
TSS 50
Warna 200 PtCo
pH 6,0 – 9,0
Sumber: Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No. P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019
2.5 Proses Koagulasi - Flokulasi
Bahan cemaran yang telah tersuspensi dalam bentuk koloid pada limbah cair dapat dihilangkan dengan menggunakan proses koagulasi - flokulasi. Partikel koloid dalam limbah cair sulit untuk mengendap sendiri serta tidak optimal jika hanya diolah secara fisik. Proses koagulasi mencampurkan bahan koagulan dengan air limbah dan diaduk secara cepat untuk meratakan distribusi koagulan dalam
12
campuran sehingga akan terbentuk flok atau gumpalan. Flokulasi terjadi setelah koagulasi yang bertujuan untuk menyatukan flok-flok lembut yang saat proses koagulasi kekokohan dari partikel koloid telah dihilangkan (Rohman, 2020).
Ikatan antar partikel koloid yang tidak stabil akibat proses koagulasi disebabkan oleh penyerapan elektrolit tambahan oleh partikel koloid yang menjadikan muatannya netral. Muatan partikel yang dinetralkan oleh koagulan hanya dapat terjadi jika konsentrasi muatan elektrolit tambahan cukup kuat untuk menimbulkan gaya tarik terhadap partikel koloid. Proses flokulasi terjadi saat pengadukan lambat yang bertujuan untuk pembentukan flok - flok dengan ukuran lebih besar dan mengendap dengan lebih cepat. Keefektifan proses koagulasi - flokulasi ditentukan oleh jenis koagulan dan flokulan, pH serta suhu (Rohman, 2020).
2.5.1 Proses Koagulasi
Proses koagulasi terbagi menjadi dua tahapan yaitu:
1. Distabilisasi akibat perpindahan partikel yang disebabkan oleh tumbukan antara partikel yang tidak stabil, tumbukan tersebut karena adanya gaya van deer waals. Gaya van deer waals adalah gaya tarik menarik pada dua massa berbeda yang nilainya ditentukan oleh jarak antar partikelnya (Oktaviani, 2018).
2. Disabilitas yang terjadi karena adanya penambahan koagulan sehingga mengakibatkan interaksi antar partikel dan bercampur menjadi satu (Oktaviani, 2018).
Pengadukan cepat dengan range 100-150 rpm selama 1 menit diperlukan untuk menciptakan turbulensi pada air limbah sehingga bahan kimia mampu terdispersi secara merata dalam campuran (Farihin dkk, 2015). Proses koagulasi bertujuan untuk menetralkan muatan listrik negatif pada partikel koloid sehingga muncul gaya van deer waals yang akan membantu agregasi koloid dan zat tersuspensi dalam pembentukan flok berukuran mikro (Wismaningtyas, 2019).
13
2.5.2 Proses Flokulasi
Flokulasi merupakan kontak antar partikel yang tidak stabil dalam bentuk flok untuk bergabung menjadi satu dan terbentuk endapan. Pengadukan lambat akan memberikan waktu bagi partikel berbentuk flok yang telah terbentuk pada proses koagulasi untuk bergabung (agglomeration). Flokulasi akan menggambarkan peningkatan ukuran partikel yang disebabkan oleh tumbukan antar partikel. Flokulasi terbagi menjadi dua yaitu perikinetik dan orthokinetik.
Flokulasi perikinetik adalah pembentukan flok yang disebabkan oleh adanya gerak panas yang disebut sebagai gerak Brown. Flokulasi orthokinetik terjadi akibat gerakan pada media seperti pengadukan (Wismaningtyas, 2019).
2.6 Cangkang Kepiting
Industri perikanan terutama sektor pengolahan kepiting pada saat proses pengambilan daging kepiting juga menyisakan hasil sampingan berupa kulit keras (cangkang) dengan persentase sebesar 40-60% dari massa total produksi kepiting.
Cangkang hasil sampingan produksi industri pengolahan kepiting dimanfaatkan sebagai bahan tambahan untuk pakan ternak, tetapi kegiatan yang ada belum mampu memaksimalkan pengolahan limbah cangkang kepiting. Pemanfaatan cangkang kepiting sebagai biokoagulan dalam proses pengolahan air limbah secara kimiawi dapat dijadikan salah satu alternatif cara untuk mengurangi limbah tersebut. Biokoagulan dari limbah cangkang kepiting selain memberi nilai tambah bagi industri pengolahan produk kelautan juga dapat menanggulangi pencemaran lingkungan akibat limbah cangkang kepiting, seperti bau busuk dan penurunan estetika lingkungan (Siahaan, 2019).
Kepiting sebagai hewan pesisir laut merupakan salah satu hewan yang mempunyai kandungan kitin untuk pengolahan kitosan. Cangkang merupakan bagian tubuh yang paling keras dari kepiting dan merupakan komponen yang disusun atas jaringan-jaringan yang disebut kutikula. Bagian terluar dari cangkang kutikula disebut sebagai epikutikula dengan lapisan yang berada di bagian bawah sebagai prokutikula. Lapisan prokutikula merupakan bagian tubuh kepiting yang tersusun atas kitin, protein dan garam kalsium. Lapisan yang berada persis di bawah protikula adalah jaringan epidermis (Amalia, 2018). Cangkang kepiting
14
mempunyai kandungan protein sebesar 10,6%-23,9% kalsium karbonat 53%- 78,4% dan kitin 18,7-32,2% (Pambudi, 2018).
2.7 Kitin
Kitin merupakan polimer alami dengan rumus molekul [C8H13NO5]n dengan rantai molekul yang sangat panjang sebagai salah satu tiga besar polisakarida yang terbanyak setelah selulosa dan zat tepung. Kitin dominan ditemukan pada bagian kulit golongan hewan Crustacea, seperti kepiting, udang dan lobster. Selain itu kitin juga dapat ditemukan pada beberapa serangga yang terdapat pada lapisan terluar kutikula seperti kumbang dan kupu-kupu. Kitin juga dapat ditemukan pada sel yeast dan jenis jamur yang lain. Kitin memiliki penamaan kimia Poly N-acetyl- D-glucosamine atau beta (1-4) 2-acetamido-2-deoxy-D- glucose (Wisaka, 2021).
Struktur kimia kitin dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2. 1 Struktur Kitin (Wisaka, 2021)
Bentuk umum kitin adalah kristal dengan warna putih sampai kuning muda serta tak memiliki rasa dan bau serta mempunyai massa molekul yang besar (Wisaka, 2021). Kitin tidak mampu larut dalam pelarut air, asam organik, asam anorganik encer dan alkali pekat. Kitin bisa dilarutkan dalam asam pekat seperti asam fosfat, asam sulfat, asam nitrit dan asam format anhidrat yang keseluruhan pelarut tersebut mampu mendegradasi monomer kitin dan terjadi pemutusan gugus asetil (Pambudi, 2018).
2.8 Kitosan
Kitosan merupakan senyawa turunan kitin yang berasal dari kingdom animalia golongan crustaceae seperti kepiting, udang dan lobster. Gugus amina dan gugus hidroksil dalam senyawa kitosan mempermudah proses interaksi dengan senyawa lain. Kitosan juga reaktif serta berperan sebagai penukar kation karena sifatnya yang polielektrolit kation. Kitosan yang berasal dari hewan relatif lebih
15
aman digunakan karena tidak bersifat toksik (Alawiyah dan Azmiyati, 2019).
Kitosan adalah kitin yang telah mengalami pereduksian gugus asetil sehingga hanya tersisa gugus amina bebas Beta-(1,4)-N-asetil-D-Glukosamin dan Beta-(1,4)- Dglukosamin. Biopolimer D-glukosamin dihasilkan proses deasetilasi kitin menggunakan alkali kuat. Kitosan tidak mampu larut dalam air dan merupakan polimer kationik dengan sifat alkali yang mempunyai pH diatas 6,5. Kitosan dapat dilarutkan dalam asam fosmiat, asam asetat dan asam nitrat. Kitosan yang memiliki sifat kationik tersebut dapat dimanfaatkan sebagai koagulan karena banyak memiliki banyak kandungan nitrogen dalam gugus aminanya yang menjadikannya reaktif.
Fungsi kitosan dalam proses pengolahan limbah cair adalah sebagai chelating agent yang mampu mengadsorpsi logam berat seperti timbal, tembaga, kobalt dan merkuri.
Kitosan memiliki sifat biodegradable, tahan terhadap mikroba tidak bersifat toksik.
Sifat-sifat dari kitosan tersebut menjadikannya lebih mudah untuk dikonversi bentuknya menjadi larutan, pasta, spons, gel, membran dan serat yang berguna pada berbagai bidang (Siahaan, 2019). Kitosan memiliki gugus hidroksil primer yang bersifat reaktif kimia tinggi sehingga sangat baik untuk diaplikasikan sebagai koagulan dalam proses pengolahan air limbah (Pambudi, 2018). Struktur kimia kitosan dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2. 2 Struktur Kitosan (Wisaka, 2021)
Proses pembuatan kitosan yang merupakan produk turunan dari kitin memiliki beberapa tahapan yaitu melalui proses penambahan larutan asam dengan konsentrasi rendah yang disebut sebagai tahap demineralisasi. Demineralisasi ditujukan untuk mereduksi mineral-mineral dalam cangkang kepiting yang telah berbentuk halus.
Tahapan setelah demineralisasi adalah tahap deproteinasi yang berfungsi untuk menghilangkan kandungan protein dalam cangkang melalui penambahan larutan alkali encer yang dilakukan dengan metode pemanasan. Proses terakhir adalah tahap deasetilasi yang bertujuan untuk memutus gugus asetil pada kitin sehingga terbentuk gugus amina, deasetilasi dilakukan dengan menambahkan
16
larutan alkali pekat (Pambudi, 2018)
2.9 Ekstraksi Kitin dan Sintesis Kitosan
Metode ekstraksi kitin dan sintesis kitosan terdapat tiga tahap yaitu demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi
2.9.1 Demineralisasi
Proses menghilangkan mineral dalam cangkang kepiting disebut sebagai demineralisasi. Kandungan mineral yang paling banyak dalam cangkang kepiting adalah Kalsium Karbonat (CaCO3). Mineral dalam cangkang kepiting harus dihilangkan karena mineral akan membentuk suatu pelindung yang dapat menghalangi daya adsorpsi (Soviana dkk, 2020).
Cangkang kepiting diambil kandungan kitin sehingga perlu dilakukan proses demineralisasi melalui penambahan larutan asam kuat HCl 1 N untuk menghilangkan mineral anorganik seperti Kalsium Karbonat (CaCO3) di dalamnya yang memiliki komposisi berkisar 53,7%-78,4%. Saat proses penambahan HCl 1 N akan muncul buih (CO2) sebagai tanda terjadinya reaksi asam kuat dengan mineral anorganik dalam cangkang kepiting. Reaksi kimia proses demineralisasi dituliskan pada persamaan 2.1 (Pambudi, 2018).
CaCO3(S) + 2HCl(aq) → CaCl2(aq) + CO2(g) + H2O(l). (2.1)
2.9.2 Deproteinasi
Proses deproteinasi adalah tahapan penghilangan kandungan protein dalam cangkang kepiting. Protein yang terkandung dalam kitin dapat mempercepat proses pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme pembusuk sehingga menimbulkan bau pada kitin. Proses deproteinasi dapat memperpanjang masa simpan terhadap kitin (Soviana, 2020).
Serbuk cangkang kepiting yang telah didemineralisasi ditambahkan larutan Natrium Hidroksida (NaOH) dengan perbandingan jumlah massa serbuk dan volume NaOH 1 N adalah 1:10 yang berfungsi untuk menghilangkan hasil protein yang terekstrak. Pemutusan ikatan protein akan membentuk Na-proteinat dengan
17
ion Na+ terikat di ujung protein yang terbentuk kembali sehingga menghasilkan endapan berwarna kemerahan saat penambahan NaOH 1 N (b/v). Reaksi kimia proses deproteinasi diperlihatkan pada Gambar 2.1 (Pambudi, 2018).
Gambar 2. 3 Reaksi Deproteinasi Kitosan (Pambudi, 2018)
2.9.3 Deasetilasi
Padatan kitin yang telah didapatkan pada tahap selanjutnya direndam dan dicampur dengan larutan alkali kuat berkonsentrasi tinggi NaOH 50% (b/v) yang disebut sebagai proses deasetilasi. Proses deasetilasi terjadi ketika larutan alkali kuat ditambahkan pada padatan kitin. Gugus asetil akan terputus yang mengakibatkan ikatan antara karbon pada gugus asetil dengan nitrogen pada gugus amina terputus sehingga terbentuk gugus amina (-NH2) dalam struktur kimia kitosan. Reaksi kimia proses deasetilasi ditunjukkan pada Gambar 2.2 (Pambudi, 2018).
18
Gambar 2. 4 Reaksi Kimia Proses Deasetilasi (Pambudi, 2018)
Kitin yang telah tersintesis dapat diubah menjadi kitosan dengan cara merubah gugus asetamida (-NHCH3CO) dalam kitin menjadi gugus amina (- NH2). Tingkat kemurnian kitosan bergantung pada derajat deasetilasi, derajat deasetilasi mengindikasikan banyaknya gugus asetil yang dapat dihilangkan dan terbentuknya gugus amina bebas. Jumlah gugus amina yang banyak akan menentukan kereaktifan kitosan dalam proses adsorpsi terhadap zat polutan (Mursida dkk, 2018).
19
2.10 Penelitian Pendahuluan
Tabel 2. 2 Penelitian Pendahuluan
No Judul dan Penulis Tujuan Metodologi Hasil
1. Use of Chitosan for Untuk Proses Kitosan Textile Wastewater mengetahui koagulasi cangkang Decolourization (Kos, tingkat dilakukan kepiting
2016) efektivitas dengan mempunyai
dekolorisasi dari menambahkan Tingkat berbagai jenis air koagulan dosis efektivitas Limbah tekstil tertentu ke 99,4%
Melalui proses dalam air dengan koagulasi limbah. menggunaka menggunakan Selanjutnya air n kitosan Kitosan dan limbah diaduk sebanyak 1 memastikan cukup kuat gr/lt.
Efisiensi proses selama 2 menit yang tinggi. dan kemudian perlahan selama 5 menit. Setelah pengendapan lumpur, larutan didiamkan selama dengan
2 jam.
Kemudian larutan disaring melalui kertas saring dan sampel diambil untuk
20
dianalisis.
2 Pengaruh Dosis Kitosan Mengetahui Metode Kadar warna Terhadap Kadar Warna pengaruh dosis penelitian
Limba
h cair
Limbah Cair Home
kitosan terhadap secara True sasirangan Industry Sasiranga
kadar warna Eksperimental sebelum
“Oriens Handicraft”
limbah cair home dengan uji coba (awal) tanpa Landasar Ulin (Arifin
industry skala
Proses dkk, 2017)
sasirangan laboratorium penambahan
“Oriens dengan variasi kitosan Handicraft” dosis kitosan
Sebesa r
600, 650, 700, 340,75 PtCo.
750, dan 800 Kadar warna mg/L terhadap
Limba
h cair
penurunan sasirangan kadar warna setelah diberi limbah cair perlakuan, home industry dengan dosis sasirangan 600 mg/L :Oreans sebesaar Handicraft” 191,75 PtCo, Landasan Ulin. 650 mg/L
sebesar 194,5
PtCo, 700
mg/L sebesar 180,25 PtCo,
750 mg/L
Sebesa r
168,75 PtCo, dan dosis 800 mg/L sebesar 178,75 PtCo.
21
3 Pemanfaatan Limbah Komposit Untuk Hasil Cangkang Kepiting Kitosan/Zeolit mengetahui Penelitian Sebagai Komposit
Spherical (Ch-Z efektivitas menunjukkan Kitosan/Zeolit Spherical
Spherical) komposit Ch-Z Penurunan (Ch-Z Spherical) Untuk
diaplikasikan Spherical Konsentrasi Menurunkan Kesadahan
Untuk digunakan logam Ca(II)
Air (Alawiyah &
menurunkan variasi sebesar Azmiyati, 2019).
konsentrasi kitosan:zeolit 99,69% pada logam Ca(II) dan 1:0,5 gram Berat 0,6
Mg(II) yang dengan Gram dan
Dapat membuat Mengalami
menyebabkan variasi berat konstan kesadahan pada komposit Ch-Z Seiring air. Spherical yaitu dengan
0,1, 0,2, 0,4, Peningkatan 0,6, 0,8, dan 1,2 Massa gr sebagai adsorben.
adsorben logam Sedangkan Ca (II) dan Mg Efektivitas (II) dengan komposit Ch- konsentrasi Z Spherical 1000 ppm Dalam dalam waktu 1 Menurunkan jam dengan Konsentrasi
proses Mg (II)
pengadukan sebesar 99,4% pada Variasi berat 1,2 gr.
4 Penurunan Turbidity, Penelitian ini Variabel yang Pada
pH, Kadar Fe bertujuan digunakan Penggunaan
22
Menggunakan mengisolasi dalam Biokoagulan
Biokoagulan Kitosan kitosan dari penelitian kitosan dari Cangkang Rajungan
cangkang meliputi dosis kekeruhan (Portunus Pelagicus)
rajungan penambahan menurun dari (Lubena dkk, 2020)
(Portunus kitosan 8,91 NTU
Pelagicus) yang sebanyak 1, 2, menjadi 0,78 digunakan dan 5 gram NTU dengan sebagai dalam 25 ml Persen biokoagulan sampel air penurunan untuk penjernih dengan waktu kekeruhan
air. pengadukan sebesar
selama 5, 10, 91,29%
dan 15 menit.
Analisa dilakukan terhadap pH, tingkat
kekeruhan dan kadar Fe. Pada penelitian digunakan koagulan tawas sebagai
pembanding.
5 Sintesis Kitosan Larut Tujuan dari Adapun Hasil Air dari Limbah penelitian ini beberapa uji optimum dari Cangkang Kepiting adalah untuk yang dilakukan uji kelarutan (Pambudi, 2018). mempelajari pada penelitian Selama 1,5
pengaruh variasi yang dilakukan Jam WSC suhu dari proses yaitu Dalam air pembuatan karakterisasi Yaitu pada
23
kitosan dengan dengan FT-IR, Sampe
l K90
proses perhitungan Yaitu 1,842 deasetilasi pada derajat g/L Dalam perendaman deasetilasi, dan Suhu Ruang NaOH 50% uji kelarutan dan 1,846 g/L (b/v). pada air dan Dalam Suhu
HCl 0,1M 40°C selama 1,5 jam. Sedangkan
Dalam HCl
Yaitu 1,908
g/L Dalam
Suhu Ruang
dan 1,952 g/L
Dalam Suhu
40°C Pada
variasi K100.
6 Penyisihan Parameter Penelitian ini Pengukuran Hasil TSS dan COD untuk melihat parameter Pengukuran Menggunakan kemampuan tersebut Menunjukkan Koagulan Nanokitin Nanokitin menggunakan
Denga
n Dosis
dan Kitosan pada beserta metode koagulan 10 Pengolahan Air turunannya gravimetri, dan mg/L, Sungai Cikapundung yakni Nanokitin, titrimetri. Dosis
Kitosa n (Putri dkk, 2020) Kitosan dengan koagulan yang komersil pH
nilai derajat digunakan pada 5 Waktu deasetilasi 32 %, proses flokulasi 25 serta kitosan koagulasi dan Menit dapat komersil sebagai flokulasi adalah menurunkan koagulan 10 mg/L, konsentrasi pengolahan air dengan TSS 12 mg/L Sungai memvariasikan
Denga n
24
Cikapundung nilai pH yakni Persen agar pH 5, pH 7 dan penyisihan menurunkan pH 9 dan variasi Total parameter TSS, waktu flokulasi suspended Chemical 15 menit, 20 solid 99,38%.
Oxygen Demand menit dan 25 Konsentrasi (COD), total menit. COD sebesar Nitrogen dan 13,12 mg/L total Fosfat yang dengan
belum Persen
memenuhi baku penyisihan mutu Peraturan 98,91%.
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 kelas 1
Tentang
Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air.
7 Pemanfaatan Mengetahui Perbandingan Serbuk Cangkang Rajungan karakteristik hasil pengujian rajungan Sebagai Koagulan cangkang antara koagulan sebanyak 50 Untuk Penjernih Air rajungan dengan sintetik tawas mg/L mampu (Amalia, 2018). uji SEM dan dengan serbuk mengurangi
FTIR serta rajungan dan 61%
kemampuannya kitosan sebagai kekeruhan sebagai koagulan koagulan awal pada pH dengan primer. 6 dan kitosan menentukan sebanyak 150
25
dosis optimum mg/L mampu
masing-masing mengurangi
koagulan pada 68%
masing-masing kekeruhan
koagulan dengan awal pada pH
jartest. 4.
8 Pemanfaatan Cangkang Mengidentifikasi Metode Hasil Rajungan (Portunus kemampuan dan penelitian yang penelitian pelagicus) sebagai
karakteristik digunakan menunjukkan Koagulan Untuk
kitosan dari adalah pada kemampuan Penjernih Air (Studi
cangkang variabel biokoagulan Kasus: Sungai Belawan
rajungan sebagai kualitas air Dari kulit Kelurahan Sunggal,
koagulan dalam Sungai cangkang Kecamatan Medan
menurunkan Belawan akan rajungan Sunggal, Kota Medan
(Siahaan, 2019).
kadar kekeruhan dijelaskan (Portunus dan padatan secara pelagicus) tersuspensi air. deskriptif. Paling
optimum
Untuk
menurunkan
kekeruhan air
didapat pada
Dosis 25
mg/L pada
kekeruhan
Buatan 1202
NTU sebesar
80,87% pada
Dosis 25
mg/L.
Menurunkan
26
Total Suspended Solid (TSS) paling tinggi pada dosis 25 mg/L dengan Variasi kekeruhan buatan sebesar 1202 NTU.