• Tidak ada hasil yang ditemukan

MUSEUM GEDONG KIRTYA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL DI JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH, FAKULTAS ILMU SOSIAL, UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MUSEUM GEDONG KIRTYA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL DI JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH, FAKULTAS ILMU SOSIAL, UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user MUSEUM GEDONG KIRTYA

SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL DI JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH, FAKULTAS ILMU SOSIAL,

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA-SINGARAJA

RINGKASAN TESIS

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh

I Wayan Putra Yasa S860809016

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user MUSEUM GEDONG KIRTYA

SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL DI JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH, FAKULTAS ILMU SOSIAL,

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA-SINGARAJA

I Wayan Putra Yasa

Program Studi Pendidikan Sejarah PPs Universitas Sebelas Maret

ABSTRACT

This study aims to determine (1) The types of collections at the Museum

Gedong Kirtya-Singaraja that can be utilized as a local history learning source, (2) The

values can get by students and the lecturer with the Museum Gedong Kirtya as a

learning source, (3) Appreciation of students when use Museum Gedong Kirtya

collections as learning resources of local history; and (4) the problems when using the

Museum Gedong Kirtya-Singaraja as learning source of local history.Conclusion of this

research: (1) All collection of Museum Gedong Kirtya can use as learning source of

local history that is Dutch archives, Dutch books, ancient picture, appliances make

papyrus, ancient idols, candra sangkala in entrance of Museum Gedong Kirtya and

divided papyruss to become seven group that is, Wariga, Itihasa, Chronicle, Tantri,

Religion and Lelampahan except Weda; (2) The values that exist in the Museum

Gedong Kirtya is inspiring educational value, aesthetic and cultural values, religious

values and the values of heroism, (3) Appreciation of students to Museum Kirtya

Gedong learning resources is very high viewed from the interaction of learning in the

classroom and the tasks that produced be more better, and (4) The problem when study

at Museum Gedong Kirtya are: language, services of offices, information and

socialization, infrastructure dan time to visit museums.

Keywords : Museum, Learning Resources, Local History

PENDAHULUAN

(3)

commit to user

agar mereka memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Seperti yang dijelaskan oleh Sartono Kartodirdjo (1992: x) proses national building for national identity yang dilakukan republik ini, menuntut rekonstruksi sejarah sebagai sejarah nasional yang akan mewujudkan kristalisasi identitas bangsa Indonesia. Rekonstruksi nilai sejarah secara menyeluruh dan lengkap bagi warga masyarakat salah satunya dapat dilakukan di lembaga penyelenggara pendidikan, yakni dengan pembelajaran sejarah secara berkelanjutan di sekolah-sekolah.

Mata pelajaran sejarah mengajarkan kepada siswa untuk memahami bagaimana bangsanya dibangun, sehingga bangsa Indonesia sampai seperti sekarang. Gottschalk (2006:3) menyatakan bahwa pengajaran sejarah memang dapat dipergunakan untuk melatih warga negara yang setia karena memang kisah tanah airnya dapat menimbulkan rasa bangga pada diri kaum patriot atau jika kisah itu dapat demikian diubah dan disesuaikan sehingga nampaknya lebih mulia. Dari penjelasan itu, terlihat betapa pentingnya pengajaran sejarah dalam menumbuhkan perasaan dan kesadaran bagi bangsa dalam pembangunan. Terutama dengan cara mengenalkan sejarah lokal yang mereka miliki, sehingga muncul rasa nasional mulai dari diri yaitu sejarah lokal yang kemudian berkembang menjadi sejarah bangsa secara nasional.

Di tingkat lembaga pendidikan yaitu sekolah dengan adanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru mata pelajaran sejarah diberikan kesempatan untuk mengembangkan materi sesuai dengan yang ada di sekitarnya, yakni dengan mata pelajaran muatan lokal atau di perguruan tinggi melalui mata kuliah sejarah lokal. Melalui pembelajaran kontekstual yang dekat dengan lingkungan anak didik, kesan pengajaran sejarah seperti di atas dapat dihilangkan. Mata pelajaran sejarah yang dekat dengan lingkungan peserta didik dapat kita mulai dengan sejarah desa, kemudian mengarah ke lingkup yang lebih luas yaitu kecamatan, peristiwa yang ada di sekitar wilayah propinsi hingga akhirnya bermuara pada sejarah nasional sebagaimana tugas mata pelajaran sejarah untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dan pembangunan karakter bangsa yang kuat dapat diwujudkan.

(4)

commit to user

sana perlu adanya usaha yang lebih besar dari lembaga pembentuk tenaga guru untuk menciptakan guru-guru yang kreatif dan inovatif supaya bisa mengembangkan pembelajaran sejarah yang menarik.

Perguruan tinggi khususnya yang memiliki Jurusan Pendidikan Sejarah sebagai lembaga yang bertugas untuk mencetak tenaga kependidikan yaitu guru sejarah yang semestinya mampu membangun kepekaan akan keberadaan sumber belajar seperti museum. Salah satu mata kuliahnya yang memungkinkan untuk memanfaatkan sumber belajar museum yaitu sejarah lokal. Mata kuliah ini diharapkan mampu memberikan wawasan yang baik kepada calon guru sejarah untuk mendekatkan siswa dalam pembelajaran sejarah dengan lingkungan tempat belajarnya, sehingga ada perubahan paradigma pembelajaran sejarah yang dahulunya membosankan, tidak menarik dan hanya hafalan menjadi materi yang disenangi dan menarik bagi peserta didik.

Di Bali satu-satunya perguruan tinggi negeri yang memiliki Jurusan Pendidikan Sejarah adalah Universitas Pendidikan Ganesha-Singaraja yang berlokasi di Kabupaten Buleleng-Bali. Sumber pembelajaran sejarah di Bali tersedia cukup banyak. Sumber belajar yang ada berupa peninggalan sejarah seperti benda megalithikum di Pura Penulisan-Bangli, peninggalan sejarah Istana Tampak Siring yang merupakan istana Presiden Ir. Soekarno presiden pertama Indonesia dan Candi Gunung Kawi di Gianyar. Museum yang mengoleksi berbagai ragam benda, mulai dari benda bersejarah, lukisan-lukisan tua dan modern, kerajinan tangan khas Bali, alat-alat tradisional, sampai contoh kain ikat, miniatur upacara agama, dan contoh tarian yang ada di Bali yaitu Museum Bali di Denpasar, Museum Neka di Denpasar, Museum La Mayeur di Denpasar, Museum Subak di Tabanan dan Museum Gedong Kirtya di Buleleng.

(5)

commit to user

tidak harus terpatok pada harga yang mahal; (2) Praktis: tidak memerlukan pengelolaan yang rumit, sulit dan langka; (3) Mudah: dekat dan tersedia di sekitar lingkungan kita; (4) Fleksibel: dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan instruksional dan; (5) Sesuai dengan tujuan: mendukung proses dan pencapaian tujuan belajar, dapat membangkitkan motivasi dan minat belajar siswa. Berdasarkan kriteria tersebut, Museum Gedong Kirtya termasuk sebagai sumber pembelajaran sejarah lokal di Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Pendidikan Ganesha, karena dekat dari lokasi, biaya yang dibutuhkan pun sedikit, memberi hal yang baru sehingga bisa memotivasi mahasiswa untuk mengembangkan diri dan sesuai dengan tujuan pembelajaran sejarah lokal untuk mengembangkan sejarah yang ada di sekitarnya.

Selain itu, keunikan yang dimiliki museum ini adalah koleksi utama berupa dokumen yang tidak seperti museum pada umumnya. Dokumen atau naskah yang menjadi koleksi Museum Gedong Kirtya berupa lontar, prasasti, manuskrip kertas dalam bahasa Bali dan huruf Bali, juga dokumen-dokumen dari zaman kolonial (1901-1950) yang baik digunakan dalam penulisan sejarah (Suharsana, 2006:3). Museum Gedong Kirtya dari segi sejarahnya merupakan museum pertama di Bali (Suteja Neka,1995:14). Museum Gedong Kirtya terletak di kompleks Sasana Budaya, yang merupakan istana tua kerajaan Buleleng yaitu di Jalan Veteran 20 Singaraja-Bali.

METODE PENELITIAN

(6)

commit to user HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kualitas proses belajar mengajar yang baik tidak bisa dilepaskan dari baik buruknya kualitas dosen sebagai sumber belajar utama, sarana dan prasarana pendukung dan ketersediaan sumber belajar yang beranekaragam. Dosen sebagai sumber belajar utama juga perlu mengembangkan diri dengan pengembangan strategi pembelajaran, media belajar dan sumber belajar yang bervariasi. Dengan terpenuhinya ketiga hal tersebut pembelajaran yang ada bisa meningkat dan berkembang semakin baik. Salah satu di antaranya yang perlu untuk dikembangkan oleh pengajar atau dosen adalah sumber belajar. Sumber belajar sangat penting karena bisa mendekatkan pembelajar pada situasi yang sebenarnya yang ada dilapangan. Dalam pembelajaran sejarah khususnya lagi sejarah lokal adalah mata kuliah yang memiliki keunikan tersendiri dan berbeda dengan mata kuliah lainnya.

Mata kuliah sejarah lokal sangat dekat dengan lokalitas suatu kelompok masyarakat dengan kekhasan sejarah, budaya dan adat istiadatnya. Kekhasan ini telah ada sejak zaman dahulu, sehingga untuk mengetahuinya diperlukan sumber-sumber informasi yang bisa menjelaskannya. Salah satu sumber informasi itu adalah hasil peninggalan budaya yang ditinggalkannya. Hasil budaya ini dapat berupa benda, tulisan, maupun cerita-cerita lisan yang ada dimasyarakat. Khusus untuk benda dan tulisan sekarang banyak tersimpan dalam museum-museum yang ada di setiap daerah. Oleh karena itu, dalam pembelajaran sejarah lokal sangat penting untuk mengembangkan sumber belajar museum. I Gde Widja (1991: 138) menjelaskan museum merupakan sumber informasi berupa benda yang tidak sembarangan dapat kita jumpai. Sumber informasi dari koleksi sebuah museum menjadi sangat penting untuk mengetahui hasil budaya suatu masyarakat dengan melihat peninggalan sejarah yang dihasilkan. Di samping koleksi berupa benda, beberapa museum juga memiliki koleksi manuskrip seperti Museum Gedong Kirtya-Singaraja dan Museum Jakarta.

(7)

commit to user

museum yang mengumpulkan lontar-lontar dari berbagai daerah yang ada di Bali. Selain itu, lontar tersebut berasal dari sumbangan pemilik lontar yang bersedia menyerahkan lontar miliknya untuk dikoleksi di Museum Gedong Kirtya.

Oleh pihak Museum Gedong Kirtya lontar-lontar yang telah terkumpul tersebut secara bertahap dilakukan alih bahasa dan juga penyalinan ke aksara latin. Lontar yang sudah disalin ini kemudian dibagi menjadi tujuh klasifikasi yaitu Weda, Agama,

Wariga, Itihasa, Babad, Tantri dan Lelampahan. Masing-masing klasifikasi

memberikan informasi dan pengetahuan yang berbeda tentang berbagai sejarah lokal yang ada di Bali dan Lombok. Isi lontar ini memberikan berbagai informasi tentang kehidupan religius, sosial, budaya dan tata pemerintahan orang Bali dan Lombok. Sedangkan arsip Belanda memberikan informasi tentang keadaan Bali dan Lombok pada masa penjajahan di Indonesia. Dengan mempelajari arsip-arsip ini kita akan diajak untuk melihat bagaimana keadaan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Bali dan Lombok pada masa sebelum kemerdekaan. Dari isi lontar dan arsip itu mahasiswa mendapatkan pengetahuan yang cukup lengkap mengenai keadaan di Bali dan Lombok pada zaman dahulu.

Pemilihan Museum Gedong Kirtya sebagai sumber belajar dalam pembelajaran sejarah lokal disesuaikan dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Keberadaan Museum Gedong Kirtya sebagai sumber belajar sejarah lokal tidak bisa dilepaskan dari koleksi yang dimiliki yakni merupakan pusat dokumen tentang Bali dan Lombok yang banyak mengoleksi arsip Belanda dan berbagai lontar yang menjelaskan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya Bali dan Lombok. Sebagai sumber sejarah, koleksi Museum Gedong Kirtya menyimpan sumber-sumber dokumen asli seperti arsip dan lontar yang merupakan sumber primer dalam penulisan sejarah. Arsip Belanda memberikan fakta tentang gambaran kehidupan masyarakat Bali pada zaman dahulu. Oleh karena itu, penulisan sejarah yang menekankan pada rekonstruksi fakta memerlukan sumber yang bisa mendukungnya, salah satunya adalah koleksi Museum Gedong Kirtya. M.C Ricklefs (1987: 199) menjelaskan “…if history was a bouth facts,

its study must rest on source which factual...”, dari penjelasan tersebut dapat diketahui

(8)

commit to user

Museum Gedong Kirtya juga dapat dikategorikan sebagai salah satu sumber belajar yang bisa dipakai karena masuk ke dalam kriteria sumber belajar seperti yang dijelaskan oleh Nana Sujana (2001:84-85) sumber belajar yang baik harus memenuhi beberapa kriteria yaitu (1) Ekonomis: tidak harus terpatok pada harga yang mahal; (2) Praktis: tidak memerlukan pengelolaan yang rumit, sulit dan langka; (3) Mudah: dekat dan tersedia di sekitar lingkungan kita; (4) Fleksibel: dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan instruksional dan; (5) Sesuai dengan tujuan: mendukung proses dan pencapaian tujuan belajar, dapat membangkitkan motivasi dan minat belajar siswa. Beliau juga menjelaskan bahwa kriteria sumber itu adalah (1) Memiliki guna untuk memotivasi; (2) Memiliki tujuan untuk pengajaran; (3) Memiliki guna untuk penelitian; (4) Memiliki tujuan untuk memecahkan masalah, dan (5) Untuk presentasi. Dari penjelasan tersebut pemilihan Museum Gedong Kirtya sebagai sumber belajar merupakan suatu hal yang tepat dilakukan untuk meningkatkan pembelajaran di kelas.

Untuk memaksimalkan pemanfaatan koleksi Museum Gedong Kirtya sebagai sumber belajar, dosen sebagai sumber belajar utama terlebih dahulu memberikan wawasan dan pengetahuan awal tentang berbagai sumber belajar dan materi yang diajarkan. Dengan adanya pemahaman awal yang baik, nantinya pemahaman mahasiswa terhadap sumber belajar yang dipakai menjadi semakin baik, karena pada dasarnya sumber belajar itu memiliki fungsi seperti yang dijelaskan Mulyasa (2009: 182-183) yakni: (a) merupakan pembukaan jalan dan pengembangan wawasan terhadap proses belajar mengajar yang akan ditempuh. Disini sumber belajar merupakan peta dasar yang perlu dijajagi secara umum agar wawasan terhadap proses pembelajaran yang akan dikembangkan dapat diperoleh lebih awal; (b) merupakan pemandu secara teknik dan langkah-langkah operasional untuk menelusuri secara lebih teliti menuju pada penguasaan keilmuan secara tuntas; (c) memberikan berbagai macam ilustrasi dan contoh-contoh yang berkaitan dengan pembelajaran dan pembentukan kompetensi dasar; (d) memberikan petunjuk dan diskripsi tentang hubungan antara apa yang sedang dikembangkan dalam pembelajaran dengan ilmu pengetahuan lainnya; dan (e) menginformasikan sejumlah penemuan baru yang pernah diperoleh dari orang lain sehubungan dengan pembelajaran yang sedang dikembangkan.

(9)

commit to user

dijelaskan oleh Sri Wulan Rujiwati Mulyadi (1990:243), ada beberapa karya sastra yang dapat dipakai dalam penulisan sejarah tradisional kita yaitu:

1. Kitab-kitab yang bersifat sejarah, seperti babad, tambo dan silsilah;

2. Kesusastraan, yang berlangsung atau tidak langsung memuat sumber sejarah; dan

3. Dongeng-dongeng atau cerita setempat yang masih dikenal rakyat.

Berdasarkan hal itu pengembangan sumber-sumber belajar di sekitar kita terutama sumber tradisional menjadi sangat penting. Lebih lanjut disampaikan oleh Sulastin Surono (1990:213) alasan babad sebagai sebuah karya sastra sejarah dapat dipakai sebagai sumber penulisan sejarah karena fungsi dari babad atau karya sastra yang ditulis pada zaman dahulu adalah: (1) Untuk mencatat segala peristiwa; (2) Untuk mencatat peraturan; (3) Untuk mencatat adat-istiadat; (4) Agar cerita itu sampai ke anak-cucu, dan (5) Agar anak cucu bisa belajar dari peristiwa masa lampau nenek-moyang. Melihat fungsi tersebut koleksi museum berupa karya sastra sejarah seperti babad, hikayat, cerita panji, dan yang lainnya bisa dijadikan sebagai rujukan dan alasan dalam pemanfaatannya sebagai sumber belajar sejarah lokal.

Koleksi museum ini memiliki nilai sejarah, Sartono Kartodirdjo (1992: x) proses national building for national identity yang dilakukan republik ini, menuntut rekonstruksi sejarah sebagai sejarah nasional yang akan mewujudkan kristalisasi identitas bangsa Indonesia. Rekonstruksi nilai sejarah secara menyeluruh dan lengkap bagi warga masyarakat salah satunya dapat dilakukan di lembaga penyelenggara pendidikan, yakni dengan pembelajaran sejarah secara berkelanjutan di sekolah-sekolah.

Demikian pentingnya pengajaran sejarah untuk meningkatkan rasa cinta tanah air melalui nilai-nilai yang diwariskan. Seperti yang dijelaskan oleh Sartono Kartodirdjo (1992: 35) bahwa banyak peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat lokal, sebenarnya hanya bisa dimengerti dengan baik apa bila dihubungkan dengan dimensi sejarah nasional. Beliau menambahkan bahwa pengembangan sejarah ditingkat nasional tetapi realitasnya ditingkat lokal.

(10)

commit to user

kepahlawanan seorang tokoh lokal untuk dijadikan panutan generasi disebuah lokalitas dengan catatan tidak merusak tatanan nasional yang ada. Perlu ada penanaman sikap nasionalisme dan persatuan dikalangan generasi muda kita.

Rasa persatuan dan kesatuan itu dapat dilihat dari kisah kepahlawanan yang ada dalam buku-buku sejarah perjuangan masyarakat Bali dan Indonesia umumnya yang menjadi koleksi Museum Gedong Kirtya. Perjuangan para pahlawan kita pada masa melawan penjajah memberi dorongan untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air yang telah mulai surut dengan munculnya berbagai sikap etnisitas dan kedaerahan yang berlebihan (Pageh dan Bawa Atmadja, 2010). Mengajarkan kembali semangat perjuangan dan nilai kepahlawanan merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan agar generasi penerus bangsa ini mengingat kembali perjuangan tanpa pamrih yang dilakukan oleh para pahlawan bangsanya.

Pembelajaran sejarah yang tepat dapat menyiapkan jalan bagi berkembangnya nasionalisme (S. K. Kochhar, 2008: 62). Penekanan nilai kepahlawanan sebagai salah satu tujuan pembelajaran sejarah agar generasi sekarang tidak lupa dengan perjuangan yang dilakukan oleh pahlawan yang telah mendahului perlu ditingkatkan. Sebab, sekarang ada kecenderungan masyarakat mulai lupa akan nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan para pejuang dalam menentang penjajah. Ini dapat dilihat dengan adanya kekerasan dan konflik antar komponen bangsa yang mengatas namakan suatu kelompok tertentu.

Seperti yang dijelaskan oleh I Gde Widja dalam Pageh dan Bawa Atmadja (2010: 111) bahwa secara empiris salah satu fenomena kritis yang paling mengkhawatirkan terlihatnya konflik horisontal yang menjurus ke proses balkanisasi dari kehidupan berbangsa kita. Hal ini tampaknya sejalan dengan pendangkalan nilai-nilai serta semangat kebangsaan yang telah diperjuangkan bertahun-tahun oleh para “the

founding father” kita. Generasi baru kita seakan mengalami alienasi (keterasingan) dari

(11)

commit to user

kepahlawanan bisa juga dilakukan dengan mengembangkan rasa cinta seni dan budaya yang dimiliki.

Dengan belajar di Museum Gedong Kirtya mahasiswa dikenalkan kepada bentuk-bentuk peninggalan sejarah dan budaya Bali yang adi luhur yang telah ada sejak zaman dahulu. Melalui koleksi Museum Gedong Kirtya berupa lelampahan dan tantri

membuktikan bahwa budaya Bali sekarang ini merupakan hasil buah pikiran dan kreatifitas dari para leluhur yang telah ada sejak dulu kala. Dari sana mahasiswa dikenalkan kepada nilai budaya dan seni yang harus dijaga dan dilestarikan karena memiliki nilai yang sangat besar. Sejarah memberitahu kita bahwa kebudayaan kita saat ini telah mengalami perkembangan sebagai akibat berbagai pengaruh yang dibawa ke dalam kebudayaan nenek moyang melalui abad-abad panjang (S. K. Kochhar, 2008: 61). Sikap cinta dan ikut menjaga kelestarian budaya bangsanya diharapkan semakin dimiliki oleh para generasi penerus sehingga bangsa kita tidak kehilangan jati dirinya.

Nilai-nilai etika juga banyak diajarkan dalam pembelajaran di Museum Gedong Kirtya terutama yang ada dalam koleksi kelompok atau klasifikasi tatwa (filsafat) atau etika. Etika yang ada di dalam koleksi Museum Gedong Kirtya memberikan pengetahuan kepada mahasiswa bahwa masyarakat dahulu telah memiliki nilai atau norma yang dijadikan panutan dan batasan mereka dalam melakukan tindakan. Dengan adanya hal itu, masyarakat pada zaman dulu bisa hidup damai dan saling menghormati satu dengan yang lainnya. Etika yang diajarkan dalam awig-awig (peraturan adat Bali) masih dilestarikan sampai sekarang di setiap desa di Bali yang di kenal dengan awig-awig desa pakraman.

Dalam awig-awig ini terdapat aturan yang jauh lebih diterima oleh masyarakat dalam suatu daerah desa dari pada peraturan pemerintah. Ini tidak bisa dilepaskan dari adanya ikatan emosional antara aturan yang berupa awig-awig dengan nilai-nilai positif yang dianut dalam masyarakat. Awig-awig mengajarkan nilai etika yang merupakan wujud keagungan nilai masyarakat desa di Bali. Pengenalan nilai lokalitas seperti itu tentunya sangat penting untuk pengembangan pengetahuan mahasiswa sebagai calon guru agar memiliki bekal yang kuat ketika menjadi seorang guru.

(12)

commit to user

terhadap norma-norma hukum; (2) Integritas: kepatuhan berdasarkan kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasional; (3) Fenomenalist: kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekadar basa-basi, dan (4) Hedonist: kepatuhan berdasarkan pada kepentingan diri. Berdasarkan hal tersebut kepatuhan terhadap nilai-nilai sejarah diharapkan bersifat normatif dan integritas sehingga bisa ikut membantu pembangunan bangsa ini. Untuk kepatuhan yang bersifat fenomenalist dan hedonist tidak muncul supaya tidak menimbulkan permasalahan yang bisa mengganggu stabilitas berbangsa.

Melihat pentingnya nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai koleksi yang ada di Museum Gedong Kirtya, maka untuk ke depannya pemanfaatan museum ini sebagai sumber belajar sejarah agar terus ditingkatkan supaya kesadaran untuk menghargai masa lalu semakin meningkat. Kesadaran ini diharapkan dapat memotivasi mahasiswa untuk mengisi diri agar berguna bagi nusa dan bangsanya.

Dengan adanya nilai-nilai tersebut akhirnya memunculkan apresiasi mahasiswa untuk mempelajari koleksi Museum Gedong Kirtya. Bentuk apresiasi itu dapat dilihat dari Suasana pembelajaran yang biasanya monoton dengan ceramah dari dosen sebagai sumber belajar utama berubah menjadi interaktif ketika mahasiswa sudah memiliki banyak pengetahuan yang diperoleh dari kunjungan ke Museum Gedong Kirtya. Mahasiswa semakin antusias untuk mengetahui lebih lanjut koleksi di museum itu yang terkait dengan materi sejarah lokal. Materi-materi tersebut terutama yang ada hubungannya dengan kesejarahan Bali dan Lombok.

I Gde Widja (1988: 116-117) menjelaskan pentingnya pemanfaatan museum sebagai sumber belajar sejarah lokal karena dapat menunjukkan kelebihan dari sejarah lokal yang bisa memotivasi dan meningkatkan apresiasi mahasiswa dalam pembelajaran. Apresiasi yang begitu baik adalah bukti riil jika Museum Gedong Kirtya memberikan dampak positif dalam pembelajaran, untuk kedepannya sumber belajar ini bisa dimanfaatkan terus dalam pembelajaran sejarah lokal atau sejarah lainnya yang relevan dengan koleksi di Museum Gedong Kirtya.

(13)

commit to user

aksara latin dan ke Bahasa Indonesia, supaya isi lontar yang ada di Museum Gedong Kirtya bisa dipelajari oleh masyarakat luas dan mahasiswa khususnya; (2) pegawai yang mengetahui koleksi masih kurang, karena pegawai yang ada di Museum ini tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memadai sehingga mereka sulit untuk memberikan pelayanan yang maksimal; (3) kurangnya informasi dan sosialisasi, Museum Gedong Kirtya belum begitu banyak memberikan sosialisasi dan informasi kepada masyarakat tentang tentang koleksi yang dimiliki sehingga mahasiswa juga tidak begitu tahu koleksi yang ada di museum tersebut; (4) tata ruang dan sarana prasarana museum yang kurang baik, hal ini dapat menghambat pelayanan dan juga tidak bisa menjamin keberlangsungan koleksi Museum Gedong Kirtya untuk masa selanjutnya karena tidak ada sarana dan prasarana yang memungkinkan untuk itu, dan (5) waktu, padatnya jam kuliah dan materi sejarah lokal yang diberikan dikelas membuat mahasiswa semakin sulit untuk melakukan pembelajaran di luar jam pelajaran ditambah lagi dengan waktu kunjungan ke Museum Gedong Kirtya yang berbarengan dengan jam efektif belajar sehingga mahasiswa menjadi kesulitan dalam mengatur waktu untuk berkunjung.

PENUTUP

Simpulan dari penelitian ini adalah sebagai sumber belajar sejarah lokal Museum Gedong Kirtya selama ini telah berjalan cukup maksimal. Koleksi-koleksi yang dimanfaatkan untuk pembelajaran sejarah lokal yaitu arsip Belanda, buku-buku Belanda, gambar kuno, alat-alat membuat lontar, patung-patung kuno, candra sangkala di pintu masuk Museum Gedong Kirtya dan lontar-lontar yang terbagi menjadi tujuh kelompok yaitu, Wariga, Itihasa, Babad, Tantri, Agama. dan Lelampahan kecuali

(14)

commit to user

Referensi

Dokumen terkait

Untuk meningkatkan perkembangan populasi ternak kerbau diperlukan berbagai upaya terutama memperpendek masa kelahiran, status padang penggembalaan dan manajemen pemeliharaan

Dikarenakan perbedaan yang ditunjukkan oleh hasil pengamatan peneliti terhadap dampak persepsi kecenderungan gaya kepemimpinan atasan pada stres kerja karyawan di lapangan,

Oleh karena itu, peneliti ingin mencoba melakukan penelitian dengan judul “ PENGARUH PROFESIONALISME FISKUS, KEPUASAN KERJA, KOMITMEN ORGANISASI TERHADAP KINERJA FISKUS ( STUDI

Variabel trust, e-service quality, attitude toward the website, customer satisfaction, repurchase intention, revisit intention dan positive word of mouth yang

Langkah selanjutnya yaitu melakukan pengolahan terhadap data pasang surut yang akan digunakan untuk acuan koreksi pasut.. Adapun data pasut acuan yang digunakan untuk koreksi

Objek yang akan dibahas dalam website tersebut terbatas pada informasi MAPALA Garba Wira Bhuana Universitas Sebelas Maret Surakarta.... Wesite ini hanya single user, jadi

Tahap pencetakan memiliki risiko potensial, yaitu bahan baku yang diterima tidak sesuai dengan yang diharapkan, naiknya biaya produksi karena kenaikan beban listrik yang harus

bahwa pada saat latihan (senam) kebutuhan energi meningkat sehingga otot menjadi lebih aktif dan peka lalu membuat reseptor insulin menjadi lebih aktif dan