• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - PENGARUH TERAPI KOGNITIF BERBASIS SPIRITUAL TERHADAP PENURUNAN TINGKAT STRESS (STUDI KASUS PADA REMAJA DI LPKA KELAS I BLITAR) - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - PENGARUH TERAPI KOGNITIF BERBASIS SPIRITUAL TERHADAP PENURUNAN TINGKAT STRESS (STUDI KASUS PADA REMAJA DI LPKA KELAS I BLITAR) - Institutional Repository of IAIN Tulungagung"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Remaja merupakan generasi penerus, sebagai tonggak harapan bangsa maupun agama. Masa remaja merupakan masa bereksplorasi, menyalurkan bakat dan minat mereka. Sehingga mereka para remaja harus bersemangat dalam belajar, beribadah dan mewujudkan cita-cita.

Masa remaja juga merupakan masa yang kritis, dimana mereka cenderung mencoba hal-hal baru, karena keingintahuan terhadap sesuatu yang baru bahkan dapat mengarah pada hal-hal yang negatif. Sehingga dalam hal ini peran dari berbagai pihak diperlukan, utamanya peran keluarga.

(2)

Meningkatnya angka keterlibatan remaja dalam perilaku-perilaku yang beresiko menyebabkan banyak kalangan resah, tidak hanya orang tua namun juga masyarakat bahkan negara. Konsekuensi negatif jangka panjang terhadap kesehatan dan kesejahteraan remaja bergantung pada tingkat dan tipe keterlibatan mereka dalam perilaku beresiko. Semakin dini keterlibatan remaja dalam perilaku-perilaku negatif maka proses eksperimental akan terus berlanjut dan terjadi dalam sebuah konteks gaya hidup dengan perilaku yang beresiko. Sehingga tidak sedikit dari mereka harus berurusan dengan hukum sebagai akibat dari perilaku kriminal mereka, dewasa ini fenomena keterlibatan remaja dalam perilaku yang membawa mereka untuk berurusan dengan hukum makin banyak dijumpai. Bahkan setiap tahunnya mengalami peningkatan. Hal tersebut mengharuskan remaja untuk mengikuti peembinaan di lembaga pemasyarakatan.

Lembaga pemasyarakatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 merupakan sebuah instansi yang bertujuan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan atas asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan, harkat dan martabat manusia, terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu disamping itu kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan.1

(3)

Akan tetapi lembaga pemasyarakatan tetaplah suatu lingkungan yang paling dihindari daripada lingkungan yang lain. Karena hakikatnya manusia menginginkan kebebasan, berkumpul dan mendapatkan kasih sayang dari keluarga, terbatasnya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan disamping itu juga keadaan lingkungan dan aktivitas yang monoton yang membuat individu cenderung bosan sehingga berakibat pada munculnya permasalahan lain.

Panjaitan dalam Prima Aulia mengungkapkan bahwa lembaga pemasyarakatan merupakan akibat dari adanya sistem pemberian jaminan kepastian hukum di Indonesia terutama hukum pidana. Kepastian hukum ini menurut Sudarsono tidak hanya ditujukan bagi pelaku tindak pidana dalam usia dewasa tetapi juga untuk anak dan dewasa. Sudarsono menambahkan bahwa anak yang bersalah dan harus menjalani pidana penjara maka ia akan menjalani hukumannya dipenjara khusus atau lebih dikenal dengan Lembaga Pemasyarakatan Anak (LAPAS Anak).2

Berbagai Undang-Undang yang ada di negara di dunia tidak dikenal istilah remaja. Di Indonesia sendiri, konsep remaja tidak dikenal dalam sebagian Undang-Undang yang berlaku. Hukum Indonesia hanya mengenal anak-anak dan dewasa, walaupun batasan yang diberikan untuk itu pun bermacam-macam.

Hukum pidana dalam pasal 45-47 KUHP memberikan batasan 16 tahun sebagai usai dewasa. Anak-anak yang berusia kurang dari 16 tahun

(4)

masih menjadi tanggung jawab orang tuanya jika melanggar hukum pidana. Tingkah laku mereka yang melanggar hukum itu (misal: mencuri) belum disebut sebagai kejahatan (kriminal) melainkan hanya disebut sebagai kenakalan. Kalau ternyata kenakalan anak itu sudah membahayakan masyarakat dan patut dijatuhi hukuman oleh negara, dan orang tuanya ternyata tidak mampu mendidik anak itu lebih lanjut, maka anak itu menjadi tanggung jawab negara dan dimasukkan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak (di bawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) atau dimasukkan ke lembaga-lembaga rehabilitasi lainnya seperti Parmadi Siwi (di bawah Kepolisian Derah Metropolitan Jakarta Raya).

Beberapa Undang-Undang lain, juga tidak dikenal istilah remaja. Undang-Undang Kesejahteraan Anak misalnya, menganggap semua orang dibawah 21 tahun dan belum menikah sebagai anak-anak dan karenanya berhak mendapat perlakuan dan kemudahan-kemudahan yang diperuntukkan bagi anak (misalnya pendidikan, perlindungan dari orang tua, dll). Tetapi, batas usia ini lebih rendah, yaitu 16 tahun, dalam UU Perlindungan Anak No.23/2002, Pasal 1.3

Sementara dalam sudut pandang psikologi, menurut Witherington dalam Dadang Sulaeman membagi masa remaja atau adolesen menjadi dua fase, yaitu masa remaja awal berkisar antara usia 12-15 tahun dan masa remaja akhir yaitu antara usia 15-18 tahun.4 Pembagian lain dikemukakan oleh

(5)

Monks, Knoers & Hadianto, sebagaimana dikutip dalam Desmita membedakan masa remaja atas empat bagian yaitu: masa pra-remaja (10-12 tahun), masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-18 tahun), dan masa remaja akhir (18-21 tahun).5

Berdasarkan uraian di atas, dapat dimengerti bahwa dalam berbagai Undang-Undang yang ada tidak mengenal konsep remaja dalam peraturannya. Hukum Indonesia hanya mengenal anak dan dewasa dengan berbagai batasan usia yang telah ditentukan. Batasan usia anak yang dimaksudkan menurut hukum, dalam pandangan ilmu psikologi batasan umur tersebut dikategorikan sebagai usia remaja. Jadi dalam penelitian ini, anak binaan yang berada di LAPAS anak dikategorikan sebagai usia remaja sesuai pandangan ilmu psikologi.

Walaupun LAPAS Anak ini bertujuan mendidik dan membina anak-anak tersebut agar mampu berperan secara optimal di dalam masyarakat, namun kehidupannya menjadi anak didik pemasyarakatan tentu saja sangat berbeda dengan kehidupan anak-anak seusianya yang tidak menghuni LAPAS, karena ketika seseorang berada di LAPAS mereka kehilangan kebebasan. Mulyadi mengungkapkan bahwa pidana penjara pada prinsipnya bersifat perampasan kemerdekaan pribadi terpidana karena penempatannya dalam bilik-bilik penjara. Kehilangan-kehilangan itu antara lain adalah kehilangan kebebasan (loos of autonomy), hilangnya pelayanan (loos of good and service), hilangnya rasa aman (loos of security) dan hilangnya hubungan

(6)

heteroseksual (loos of heterosexual) serta akibat prasangka buruk masyarakat

(moral rejection of the inmates by society).

Disamping hilangnya hak-hak ketika berada di LAPAS, dampak lainnya yang muncul yaitu terjadinya masalah-masalah psikologis. Masalah tersebut juga sebagai akibat dari hilangnya hak mereka. Masalah psikologis yang muncul yaitu rasa rendah diri, stress, bahkan kasus yang paling parah dapat terjadi depresi.6

Individu yang berada di LAPAS tidaklah mudah menjalani kehidupannya. Mereka akan mengalami perubahan dalam hidupnya. Kebanyakan individu tidak bisa menerima dirinya berada di dalam LAPAS dengan waktu yang cukup lama. Hal ini menjadi beban pikiran tersendiri bagi mereka. Jika individu tidak mampu mengendalikan dirinya maka persepsi-persepsi tersebut dapat membuat seseorang menjadi stress karena adanya tekanan-tekanan yang tidak mampu ia hadapi. Stress terjadi karena ketidakmampuan seseorang dalam menghadapi atau menyelesaikan berbagai masalah atau tuntutan yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Penilaian para anak binaan terhadap kondisi LAPAS membuat mereka stress. Stress yang dialami oleh anak binaan cukup beragam. Dan memiliki dampak yang berbeda-beda, bergantung pada kemampuan individu dalam mengelola pemasalahan mereka.7

6 Prima Aulia, Terapi Kelompokhlm. 69

(7)

Menurut Kendall dan Hammen dalam Triantoro Safaria, menyatakan stress dapat terjadi pada individu ketika terdapat ketidakseimbangan antara situasi yang menuntut dengan perasaan individu atas kemampuannya untuk bertemu dengan tuntutan-tuntutan tersebut. Situasi yang menuntut tersebut dipandang sebagai beban atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. Ketika individu tidak dapat menyelesaikan atau mengatasi stress dengan efektif maka stress tersebut berpotensi untuk menyebabkan gangguan psikologis lainnya. 8

Berdasarkan penelitian Yulia Sholicatun tahun 2011, pada anak binaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo menunjukkan bahwa masalah-masalah yang menyebabkan stress pada subjek di LAPAS adalah kerinduan pada keluarga, masalah dengan teman, kejenuhan di LAPAS serta kebingungan memikirkan masa depan. Respon stress yang dialami oleh para anak binaan paling umum dirasakan oleh semuanya adalah respon afeksi berupa kesedihan. Selain itu juga respon kognitif seperti sulit konsentrasi , fisiologis berupa pusing dan perilaku berupa kebosanan dan malas mengikuti kegiatan.

Menurut Lazarus dalam Meyse mengatakan bahwa faktor kognitif berpengaruh terhadap stress pada individu. Penilaian kognitif adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan interpretasi individu terhadap peristiwa yang dianggap berbahaya, mengancam atau menantang dan pemahaman yang

(8)

dimiliki individu terhadap sumber daya yang cukup untuk mengatasi peristiwa tersebut.9

Observasi yang dilakukan oleh peneliti pada 25 Oktober 2017, secara umum anak-anak binaan mengalami stress selama berada di LPKA Kelas I Blitar. Beberapa anak binaan berada di LPKA Kelas I Blitar mengalami stress dan tertekan. Mereka merasa tidak nyaman saat jauh dari keluarga, setiap malam selalu memikirkan keluarga dan merasa rindu dengan dunia luar. Tidak pernah terpikirkan oleh mereka untuk hidup berada di LAPAS, terkadang terlintas bahwa apa yang dialaminya saat ini hanya mimpi. Mereka menyesali perbuatannya, dan berniat untuk tidak mengulanginya. Beberapa anak binaan juga terlalu memikirkan kemungkinan buruk tentang masa depannya. Stress yang dialami didukung oleh kurang mampunya dalam mengontrol pemikiran negatif yang muncul dan belum tentu kebenarannya. Selanjutnya muncul respon fisiologis seperti nafsu makan, sulit tidur. Respon emosi yang dirasakan merasa cemas, mudah putus asa, merasa tegang, tertekan dan selalu ingin pulang, sedih. Respon kognitif sulit berkonsentrasi, respon perilaku yang muncul adalah tingginya intensitas merokok, dan menyendiri.

Seiring dengan semakin banyaknya timbul berbagai kecemasan, stress, keterasingan, kekerasan, egoisme, dan depresi, sementara semangat hidup manusia harus tetap berjalan terus, kini masyarakat mulai tertarik terhadap model-model terapi berlatar belakang spiritual. Di negara-negara

(9)

yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Indonesia dan Malaysia telah bermunculan terapi-terapi berbasis spiritual Islami sebagai sebuah harapan baru dalam membangun kembali mental dan jiwa umat manusia yang telah rapuh.10

Aspek spiritual penting bagi individu untuk mengatasi tekanan. Masuk lembaga pemasyarakatan atau penjara merupakan sumber tekanan atau stressor tersendiri bagi individu. Dengan memiliki nilai-nilai spiritualitas berarti individu meyakini kekuatan di luar dirinya, yaitu kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga akan membuat individu terus bertahan menghadapi tekanan, kehidupan seperti di penjara, mendorong individu untuk terus berharap dan tidak putus asa. Dengan demikian hidup akan dapat dijalani dengan lebih mudah.

Kemudian menurut Ekasari dan Susanti dalam penemuan penelitiannya pada tahun 2013 menjelaskan bahwa salah satu cara untuk mengurangi stress yaitu melalui pendekatan kognitif. Efektivitas terapi kognitif sebagai salah satu pendekatan psikoterapi telah terbukti secara ilmiah pada kasus-kasus klinis. Pada awalnya, terapi kognitif diaplikasikan pada gangguan depresi, dan kecemasan, akan tetapi perkembangan selanjutnya terapi kognitif diterapkan pada kasus-kasus kesulitan bersosialisasi, kemarahan, phobia, stress, gangguan panik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan makan, gangguan manik-depresif.11 Kemudian penelitian yang

10 Ahmad Razak dkk, Terapi Spiritual Islami Suatu Model Penanggulangan Gangguan Depresi ,e-Jurnal.Vo.14, No.1 ,(Universiti Kebangsaan Malaysia: 2013), hlm. 143

(10)

dilakukan oleh Amalia Roza Brillianty, menyebutkan bahwa program psikologi yang menggunakan pendekatan kognitif dinilai berhasil mengatasi masalah melonjaknya populasi penjara dan juga sebagai penanggulangan tingginya tingkat residivis. Perspektif kognitif mengungkapkan bahwa manusia memiliki potensi untuk menyerap pemikiran yang rasional dan irasional. Setiap individu mampu mengolah informasi sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat, namun kebiasaan buruk pikiranlah yang menyebabkan kriminalitas. Pemikiran yang irasional dapat mendorong timbulnya gangguan emosi dan tingkah laku.12

P.Scott Richards dan Allen E. Bergin dari American Psychological

Association (APA) juga menawarkan sebuah strategi psikoterapi yang

bernama psikoterapi teistik, yaitu pendekatan psikoterapi yang didasari pandangan teistik, yang juga menyerap dan mengintregasikan psikoterapi utama, seperti psikodinamik, interpersonal, perilaku dan kognitif serta humanistik.

Berbagai upaya dilakukan psikoterapis untuk mengadaptasi intervensi kognitif-perilaku dengan pandangan teistik dari agama Islam, Kristen, Yahudi, dan Buddha. Integrasi tersebut sudah dipraktikkan, dilakukan penelitiannya, dan dipublikasikan. Upaya yang dilakukan adalah mengganti pikiran dan keyakinan disfungsional mengenai diri, orang lain dan dunia dengan pikiran

(11)

dan keyakinan yang lebih fungsional dari pandangan atau keyakinan agama yang sumbernya yaitu kitab suci.

Berdasarkan perspektif agama islam, ayat-ayat al-Qur’an dapat dijadikan upaya untuk mengatasi gangguan psikologis. Hal tersebut termuat dalam surat al-Qur’an berikut ini :

“Hai manusia,sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari

Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada

dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS.

Yunus:57).13

Oleh sebab itu bagi individu yang memiliki gangguan masalah psikologis yang ditimbulkan oleh pikiran dan keyakinan yang disfungsional maka dengan merefleksikan, memikirkan dan menghayati ayat-ayat al-Qur’an akan dapat memperbaiki pikirannya, sehingga perasaan menjadi tentram.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti akan menggunakan intervensi terapi kognitif dalam mengatasi stress pada anak binaan LPKA Kelas I Blitar, dengan didekati pendekatan spiritual. Yaitu merupakan pendekatan terapi manual yang dirancang untuk membantu individu dalam mengembangkan pikiran yang positif dan mengurangi pikiran yang negatif melalui keyakinan keagamaan menjadi sumber utamanya. Dengan terapi kognitif dengan pendekatan spiritual, diharapkan dapat memberikan keyakinan baru berlandaskan keislaman. Sumber yang digunakan yaitu al-Qur’an, karena

(12)

dalam kitab ini terdapat janji-janji Allah yang pasti. Oleh sebab itu, berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh terapi kognitif berbasis spiritual terhadap stress remaja binaan LPKA Kelas I Blitar.

B.Identifikasi dan Pembatasan Masalah

Penelitian ini dilakukan di LPKA Kelas I Blitar, hasil dari penelitian dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya yang berkaitan degan variabel maupun tempat penelitian. Agar tidak keluar dari permasalahan dan terarah, maka penelitian ini berfokus pada permasalahan tentang Pengaruh Terapi Kognitif Berbasis Spiritual Terhadap Penurunan Tingkat Stress Remaja

di LPKA Kelas I Blitar.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian latar belakang permasalahan di atas, peneliti mengajukan rumusan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana gambaran tingkat stress remaja di LPKA Kelas I Blitar ?

(13)

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari rumusan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui gambaran tingkat stress remaja di LPKA kelas I Blitar

2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh terapi kognitif berbasis spiritual terhadap penurunan stress remaja LPKA Kelas I Blitar.

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dapat didefinisikan sebagai jawaban sementara yang kebenarannya masih harus diuji, atau rangkuman kesimpulan teoritis yang diperoleh dari tinjauan pustaka. Hipotesis juga merupakan proposisi yang akan diuji keberlakuannya atau merupakan suatu jawaban sementara atas pertanyaan penelitian. Menurut James E. Greighton dalam Nanang Martono, hipotesis merupakan sebuah dugaan tentatif atau sementara yang memprediksi situasi yang akan diamati.14 Maka pada penelitian ini penulis merumuskan hipotesis-hipotesis sebagai berikut :

(14)

1. Hipotesis Alternatif (Ha)

a. Ada pengaruh terapi kognitif berbasis spiritual tehadap penurunan tingkat stress pada remaja di LPKA Kelas I Blitar

2. Hipotesis Nol (Ho)

a. Tidak ada pengaruh terapi kognitif berbasis spiritual terhadap penurunan tingkat stress remaja di LPKA Kelas I Blitar

F. Kegunaan Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi teoritis dalam bidang ilmu Psikologi Klinis, bidang konseling dan terapi yang berkaitan dengan terapi jiwa. Dan juga diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah untuk memperluas kajian ilmu tasawuf dan psikoterapi.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti :

(15)

b. Bagi Narapidana Anak :

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi warga binaan berkaitan dengan stress, sehingga dengan cara berpikir dan terapi yang telah diberikan mereka mampu mengelola stress mereka.

c. Bagi Lembaga Pemasyarakatan

Penelitian ini dapat memberikan kontribusi mengenai kondisi fisik maupun psikologis pada para anak binaan, dan dapat digunakan untuk acuan dalam melakukan pembinaan kepada anak binaan secara tepat.

G. Penegasan Istilah

Sebelum menguraikan isi penelitian, maka diawali terlebih dahulu dengan memberikan penjelasan pengertian dari berbagai istilah yang digunakan dan menjadi dasar pada penelitian ini. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahan dalam penafsiran atau interpretasi isi keseluruhan skripsi

(16)

1. Penegasan Konseptual

Penegasan konseptual adalah definisi yang diambil dari pendapat atau teori dari pakar sesuai dengan tema yang diteliti.15 Penegasan konseptual dalam penelitian ini, yakni sebagai berikut :

a.Terapi Kognitif Berbasis Spiritual

Terapi kognitif berbasis spiritual merupakan terapi kognitif yang diintegrasikan dengan pendekatan spiritual. Terapi kognitif sendiri kemunculannya dipelopori oleh Aeron Beck. Terapi kognitif adalah suatu pendekatan yang mengkombinasikan penggunaan teknik kognitif dan perilaku yang dapat membantu individu memodifikasi mood dan perilakunya dengan menggunakan pikiran merusak diri.16

Terapi kognitif dalam prosesnya mengarahkan klien untuk memunculkan kesalahan-kesalahan atau kesesatan-kesesatan dalam berpikir atau yang dikenal dengan istilah distorsi kognitif. Melalui pendekatan spiritual, pikiran individu yang terdistorsi dimodifikasi agar menjadi pikiran yang lebih positif.

Spiritual berasal dari kata “spirit” yang berarti napas dan

“spirare” yang berarti bernafas. Menjadi spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibanding hal yang bersifat fisik atau material.

15 Tim Penyusun, Pedoman Penyusunan Skripsi Program Strata Satu (S1) Tahun 2015, (Tulungagung: IAIN, 2015), hlm.29

(17)

Menurut Ahmad Yusuf, spiritual memiliki makna yaitu sesuatu yang berhubungan dengan spirit, semangat untuk mendapatkan keyakinan, harapan dan makna hidup. Spiritualitas merupakan suatu kecenderungan untuk membuat makna hidup melalui hubungan intrapersonal, interpersonal, dan transpersonal dalam mengatasi masalah kehidupan.17

Sehingga pendekatan spiritual diberikan dengan tujuan untuk

menumbuhkan semangat untuk mendapatkan keyakinan, harapan baru dan makna hidup. Terapi kognitif berbasis spiritual dalam pelaksanaannya pada dasarnya menggunakan teknik yang sama dengan yang dimiliki oleh terapi kognitif pada umumnya, namun perbedaannya hanya terdapat pada penambahan unsur-unsur keislaman yang diberikan untuk membantu individu mendapatkanpikiran dan keyakinan baru yang lebih positif.

b. Penurunan Tingkat Stress

Pengertian stress ditinjau dari respon stress yaitu merupakan suatu peristiwa yang menekan sehingga seseorang dalam keadaan tidak berdaya akan menimbulkan dampak negatif.

(18)

Sedangkan menurut Kartono dan Gulo, mendefinisikan stress sebagai suatu kondisi ketegangan fisik atau psikologis disebabkan oleh adanya persepsi ketakutan dan kecemasan. 18

Stress dapat menimbulkan berbagai respon, baik respon secara psikologis maupun fisiologis. Menurut Helmy dalam Triantoro Safaria, reaksi akibat stress dibagi menjadi empat macam, yakni :

1). Reaksi psikologis, yakni lebih dikaitkan pada aspek emosi, seperti mudah marah, sedih maupun mudah tersinggung.

2). Reaksi fisiologis, muncul dalam bentuk keluhan fisik, seperti pusing, nyeri tengkuk, tekanan darah naik, nyeri lambung, gatal-gatal ataupun rambut rontok.

3). Reaksi proses kognitif, biasanya tampak dalam gejala sulit berkonsentrasi, mudah lupa, ataupun sulit mengambil keputusan.

4). Reaksi perilaku, pada remaja tampak dari perilaku-perilaku menyimpang seperti mabuk, nge-pil, frekuensi merokok meningkat, ataupun menghindar bertemu dengan temannya.19 Stress memiliki klasifikasi atau tingkatan-tingkatan, yaitu stress rendah, sedang hingga tinggi.20 Setiap individu memiliki tingkat

18 Triantoro Safaria dan Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), hlm. 28

(19)

stress yang berbeda-beda, ketika berada pada tingkat stress tertentu kemudian berada dalam keadaan tingkat yang lebih rendah dari sebelumnya atau penurunan skor stress maka dapat dikatakan individu tersebut mengalami penurunan stress. Penurunan stress dipengaruhi oleh bagaimana individu dapat mengelola stressnya dengan baik dan tepat.

c. Remaja

Masa remaja adalah masa perlaihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang meiputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif dan psikososial.21 Batasan umur remaja yang umum digunakan para ahli yaitu antara 12 tahun hingga 21 tahun.22

Berdasarkan perundang-undangan di Indonesia tidak dikenal dengan usia remaja. Dalam pembagiannya hanya menggunakan istilah anak-anak dan dewasa. Hukum Pidana dalam pasal 46,47 KUHP memberikan batasan seseorang dengan usia dibawah 16 tahun sebagai usia anak-anak, dan usia 16 tahun ke atas sebagai usia dewasa.23

20 Maturi, Hubungan Tingkat Stress dengan Siklus Menstruasi Pada Mahasiswa

Keperawatan Semester VIII UIN Alauddin Makassar, (Makassar: Skripsi Tidak Diterbitkan, 2017), hlm. 44

21Khalimatus Sa’diyah, Diktat Psikologi Perkembangan, (Tulungagung: Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah, 2014), hlm. 76

(20)

2. Penegasan Operasional

Penegasan operasional adalah definisi yang didasarkan pada sifat-sifat hal yang didefinisikan serta dapat diamati.24 Adapun definisi secara operasional dalam penelitian ini, yakni sebagai berikut :

a. Terapi Kognitif Berbasis Spiritual

Terapi kognitif spiritual sama halnya dengan teknik terapi kognitif. Dimana dalam terapi kognitif spiritual diberikan pendekatan spiritual untuk membantu klien merubah pikiran ataupun keyakinan negatifnya menjadi keyakinan yang lebih positif.

Pada pelaksanaan intervensi, teknik terapi kognitif berbasis spiritual sama halnya dengan terapi kognitif. Langkah pertama diawali dengan identifikasi pikiran otomatis klien dan mengenali distorsi kognitifnya, kemudian memodifikasi keyakinan klien , dan pada akhir sesi terapi diberikan pekerjaan sebagai monitoring sejauh mana klien dapat menerapkan terapi kognitif berbasis spiritual secara mandiri.

Pendekatan spiritual yang digunakan dalam memodifikasi keyakinan klien yaitu dengan refleksi ayat-ayat al-Qur’an. Refleksi dalam hal ini diartikan sebagai berfikir secara mendalam. Ayat-ayat yang digunakan yaitu Ayat-ayat yang relevan untuk mengatasi

(21)

masalah klien saat itu, diantaranya surah Anfal ayat (46), al-Maida ayat (39), dan al-Mu’minun ayat (62).

b. Penurunan Tingkat Stress

Stress adalah suatu keadaan yang dapat menimbulkan reaksi psikologis, fisiologis, kognitif, dan perilaku sebagai akibat dari ketidakmampuan individu menghadapi tekanan dari suatu situasi.

Stress memiliki beberapa tingkatan yaitu, stress rendah, sedang dan tinggi. Setiap tingkatan stress menimbulkan respon-respon yang berbeda. Untuk mengetahui tingkat stress yang dimiliki subjek, dalam penelitian ini digunakan instrumen berupa skala stress berupa angket. Skala yang digunakan yaitu skala likert yang dikembangkan dari teori stress.

(22)

c. Remaja

Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Rentang usia remaja yaitu usia 12 hingga 21 tahun. Namun berbeda menurut perundang-undangan di Indonesia yang dalam peraturannya tidak mengenal istilah remaja. Perundang-undangan di Indonesia mengkategorikan usia dibawah 16 tahun adalah usia anak-anak.

Subjek sasaran dalam penelitian ini adalah anak binaan LPKA Kelas I Blitar yang mana pada umumnya mereka berusia 16 tahun hingga 19 tahun. Sehingga dalam penelitian ini, sesuai dengan teori dalam psikologi perkembangan anak binaan LPKA Kelas I Blitar dikategorikan sebagai usia remaja.

H. Sistematika Pembahasan

(23)

halaman daftar gambar, halaman lambang dan singkatan, halaman pedoman transliterasi, halaman abstrak, halaman daftar isi. Bagian isi terdiri dari:

BAB I Pendahuluan, terdiri dari: (a) Latar Belakang Masalah, (b) Identifikasi Masalah dan Pembatasan Masalah, (c) Rumusan Masalah, (d) Tujuan Penelitian, (e) Hipotesis Penelitian, (f) Kegunaan Penelitian, (g) Penegasan Istilah, (h) Sistematika Pembahasan.

BAB II Landasan Teori, terdiri dari: (a) Deskripsi Teori (b) Penelitian Terdahulu (c) Kerangka Konseptual/Kerangka Berfikir Penelitian.

BAB III Metode Penelitian, terdiri dari: (a) Rancangan Penelitian, meliputi: Pendekatan Penelitian dan Jenis Penelitian, (b) Variabel Penelitian, (c) Populasi dan Sampel Penelitian, (d) Kisi-kisi Instrumen, (e) Instrumen Penelitian, (f) Data dan Sumber Data, (g) Teknik Pengumpulan Data, (h) Analisis Data.

BAB IV Hasil Penelitian, terdiri dari: (a) Deskripsi Data, (b) Pengujian Hipotesis.

BAB V Pembahasan, terdiri dari: (a) Pembahasan Rumusan Masalah I, (b) Pembahasan Rumusan Masalah II.

BAB VI Penutup, terdiri dari: (a) Kesimpulan, (b) Implikasi Penelitian, (c) Saran.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah dilakukan program penghematan energi tersebut, kemudian dihitung kembali nilai IKE, dan dari hasil perhitungan seperti yang terlihat pada gambar 6,

Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan penelitian lebih lanjut terkait pengaruh program pendampingan gizi dan latihan stretching terhadap status gizi, asupan

[r]

Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat dipetakannya kebutuhan bentuk informasi terkait asuransi publik BPJS Kesehatan bagi kelompok deaf , sehingga pemberian

[r]

d oalam melaksrnakan tlgasnya, Dekan dibantu oleh 3 orang Pembantu Dekan vartu P€mbantu Oelcn BidamAkademik (Po l), P€mbantu Dekan sidary AdmnistrasiUmum.. dan

Bahan yang diteliti adalah kartu rekam medik pasien stroke yang menjalani rawat di instalasi RSUD AM Parikesit Tenggarong tahun 2014 dan lembar pengumpulan data yang

Sosiologi merupakan ilmu masyarakat yang mempelajari stuktur social. dan proses social, termasuk