• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata Kunci: Gaya Bahasa, Kau-kaudara PENDAHULUAN - GAYA BAHASA DALAM NYANYIAN RAKYAT KAU-KAUDARA MASYARAKAT MUNA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kata Kunci: Gaya Bahasa, Kau-kaudara PENDAHULUAN - GAYA BAHASA DALAM NYANYIAN RAKYAT KAU-KAUDARA MASYARAKAT MUNA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 GAYA BAHASA DALAM NYANYIAN RAKYAT

KAU-KAUDARA MASYARAKAT MUNA OLEH:

ROSMIATI

E-mail : rosimotzz25@gmail.com ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Gaya Bahasa Dalam Nyanyian Rakyat Kau-kaudara Masyarakat

Muna”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran peneliti mengenai keberadaan nyanyian

rakyat kau-kaudara dalam masyarakat Muna yang semakin langka dan kemungkinan akan

berujung pada kepunahan. Sementara itu, sebagaimana tradisi masyarakat pada umumnya, banyak hal penting dan bermanfaat yang terkandung di dalam nyanyian rakyat kau-kaudara yang perlu diketahui dan dipahami. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah gaya bahasa

dalam nyanyian rakyat kau-kaudara masyarakat Muna? Penelitian ini bertujuanuntuk

mendeskripsikan gaya bahasa dalam nyanyian rakyat kau-kaudara masyarakat Muna. Jenis

penelitian ini adalah penelitian lapangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini adalah data lisan berupa tuturan para informan. Sumber data dalam penelitian ini adalah informan di lapangan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik rekam dan simak catat. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan stilistika dengan langkah-langkah, yaitu: transkip rekaman data, penerjemahan data, identifikasi data, klasifikasi data, dan analisis data.Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa yang digunakan dalam nyanyian rakyat kau-kaudara masyarakat Muna meliputi gaya bahasa personifikasi, metafora,metonimia, sinekdok,hiperbola, dan simile.

Kata Kunci: Gaya Bahasa, Kau-kaudara

PENDAHULUAN

Secara geografis, negara Indonesia merupakan negara kepulauan. Kondisi itu menyebabkan masyarakatnya pun umumnyadipisahkan oleh kepulauan-kepulauan. Sebelum menjadi masyarakat modern seperti sekarang ini, masyarakat Indonesia pernah melewati masa kuno yang serba tradisional. Akses kehidupan luar sangat terbatas.Dalam keadaan yang sangat tradisional demikian tidak memungkinkan untuk terjadi interaksi manusia antarpulau (secara mudah), sehingga dalam kurun waktu yang lama hidup dan berinteraksi dengan pola yang dikembangkan sendiri.Akhirnya, masyarakatnya pun terbentuk berdasarkan kelompok-kelompok geografis yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat berkesinambungan dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.Dampak interaksi yang dibatasi oleh pulau ini adalah keanekaragaman adat-istiadat dan budaya masyarakat bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, sudah pasti akan memiliki keragaman budaya. Namun tidak berarti akan menimbulkan perpecahan diantara mereka.

Dengan asas Bhineka Tunggal Ika, cabang –cabang kebudayaan dari berbagai daerah dapat

(2)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

dan sastranya. Bahasa daerah merupakan bahasa yang hidup dan berkembang dalam pemeliharaan penuturnya. Bahasa daerah dipergunakan oleh masyarakat pendukungnya sebagai alat komunikasi untuk berbagai keperluan baik pribadi maupun sosial yang berlangsung sejak nenek moyang hingga sekarang. Dalam berbagai aktivitas kehidupan peran bahasa daerah sangat penting pada masyarakat tradisionalnya misalnya tradisi lisan.

Pada awalnya, adat-istiadat atau tradisi yang ada dalam suatu masyarakat bentuk interaksi dan peredarannya adalah secara lisan.Tradisi tulis pada saat itu belum ada, sehingga penyebaran ilmu berupa tradisi mengenai pola kehidupan secara turun-temurun dilakukan secara lisan.

Dalam hal ini, unsur kelisanan menjadi ciri khas yang menandai tradisi ini, sehingga kemudian

muncul istilah folklor atau tradisi lisan. Tradisi lisan itu perlu dikaji, dipelihara dan

dilestarikankarena dengan tradisi lisan kita bisa melihat gambaran sejarah paradigma berpikir masyarakat pemilik tradisi bersangkutan pada masa itu. Masyarakat masa kini bukan masyarakat yang terlahir bersama tradisinya sendiri, namun tradisi yang dimiliki itu adalah tradisi yang telah lama lahir. Tradisi atau kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat masa kini merupakan kelanjutan budaya atau tradisi lama yang berkembang maju sesuai dengan perkembangan masyarakatnya.

Tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang diwariskan secara turun-temurun dengan media lisan dari suatu generasi ke genarasi lain, baik radisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verba) maupun tradisi lain yang bukan lisan (non verba). Tradisi lisan tidak sekedar penuturan, melainkan konsep pewarisan sebuah budaya dan bagian diri kita sendiri sebagai makhluk sosial. Pernyataan itu memiliki arti bahwa tradisi lisan tidak hanya kelisanan yang membutuhkan tuturan seperti pribahasa, dongeng, legenda, mantra dan pantun, tetapi juga bagaimana kelisanan itu diwariskan secara epistemologis, untuk apa diwariskan secara aksiologis, siapa yang mewariskan, kepada siapa diwariskan, dan segala hal yang berhubungan dengan konteks kelisanan itu.

Tiga bentuk tradisi lisan yang mengisi kebudayaan suatu masyarakat (Danandjaja, 2007: 21-21; Hutomo, 1991: 8-9), yaitu (1) tradisi lisan yang lisan; (2) tradisi lisan yang sebagian lisan; dan (3) tradisi lisan yang bukan lisan.Misalnya nyanyian rakyat dan sajak rakyat.Dilihat dari bentuknya, kedua jenis tradisi itu, termasuk dalam bentuk tradisi lisan yang pertama, yakni tradisi lisan yang lisan.Hal ini disebabkan karena nyanyian rakyat dan sajak/puisi rakyat merupakan tradisi yang menggunakan media lisan secara utuh.

Menurut Jan Harold Brunvand (Danandjaja, 2009: 141), nyanyian rakyat adalah salah

satu genre atau bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di

antara kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian. Sebagai salah

satu bagian dari tradisi lisan, nyanyian rakyat juga dikhawatirkan kebertahanannya di tengah-tengah masyarakat pemiliknya, lebih-lebih dalam keberadaannya sebagai bagian dari bentuk

tradisi lisan Indonesia. Tampak sekali posisi nyanyian rakyat sekarang ini sudah diambang

kepunahan. Nyanyian rakyat, misalnya nyanyian anak, pada masa lalu sangat marak digunakan

anak-anak dalam mengiringi permainan mereka. Sedangkan sekarang, anak sudah tidak

menggunakan bahkan tidak mengenal lagi nyanyian-nyanyian rakyat terebut. Wujud tradisi dapat berupa tradisi berkesusastraan lisan seperti bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional atau teka-teki, puisi rakyat, cerita rakyat, dan nyanyian rakyat.

Nyanyian rakyat kau-kaudara merupakan salah satu kebudayaan daerah yang hidup di

(3)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

dikenal dengan suku Muna. Setelah lama menetap, mereka mendirikan sebuah kerajaan yang disebut dengan nama Kerajaan Muna. Secara geografis, letak kerajaan Muna membujur dari Timur ke Barat pulau Muna dengan bata-batas sebagai berikut:

 Selat Tiworo dan selat Wawonii di sebelah Utara

 Laut Banda di sebelah Timur

 Kabupaten Buton di sebelah Selatan

 Selat Muna di sebelah Barat

Banyak sastra lisan yang berkembang dalam masyarakat Muna, seperti mantra, pribahasa, teka-teki (wata-watangke), pantun (kabhanti), cerita rakyat (kapu-kapuna) dan nyanyian rakyat (kau-kaudara). Beberapa produk sastra lisan ini hanya sebagian saja yang bisa bertahan pada zaman modernisasi seperti sekarang ini. Masyarakat Muna yang masih menghidupkan sastra lisan sudah jarang ditemukan khususnya untuk kalangan remaja. Melihat kondisi yang demikian sastra lisan berada pada posisi kepunahan jika tidak diadakan penelitian. Telah ada peneliti yang

meneliti tentang nyanyian rakyat kau-kaudara yaitu Oktavianingsih (2014) mengkaji mengenai

Analisi Bentuk, Fungsi, dan Makna. Untuk membedakan dengan penelitian yang sudah ada

dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti Gaya Bahasa dalam nyanyian rakyat kau-kaudara.

Peneliti mengangkat judul ini karena penelitian tentang gaya bahasa masih sangat kurang. Padahal, gaya memegang peranan utama untuk menyusun sejarah sastra. Karena, sejarah sastra tidak disusun atas dasar rangkaian periode, atau orang-orang dengan karyanya. Sejarah sastra adalah bagaimana perkembangan gaya, perkembangan struktur intrinsik dari masa ke masa. Peneliti sebelumnya yang terkait dengan gaya bahasa dilakukan oleh Reni Justianingsih (2015) mengenai gaya bahasa dalam novel kakak batik karya Setomulyadi dan Zulmiati (2015) mengenai gaya bahasa dalam cerpen sepi pun menari diatas hari karya Radhar Panca Dahana.

Nyanyian rakyat kau-kaudara merupakan salah satu bentuk sastra lisan masyarakat Muna yang biasa dilantunkann pada waktu tertentu, seperti ketika berada di kebun dalam keadaan lelah seusai bekerja dengan tujuan menghibur diri, di rumah ketika hendak menidurkan anak (Berg

dan La Ode Sidu Marafad, 1996:191). Nyanyian rakyat kau-kaudara sering digunakan dalam

kehidupan masyarakat Muna yang banyak mengandung nilai budaya, norma-norma sosial dan mengandung nilai estetika dan moral dari masyarakat pendukungnya.

Tinjuan Pustaka

Pengertian Kesusastraan

Menurut Teeuw (dalam Fananie, 2002:3-4) kata kesusastraan berawal dari bahasa

sansekerta yaitu sas yang berarti mengarahkan, memberi petunjuk atau intrinsik, sedangkan tra

berarti alat atau sarana. Kemudian ditambah dengan kata su yang berarti indah atau baik. Jadi

kesusastraan adalah tulisan yang indah.

Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna. (Fananie, 2002:6).

(4)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

Sastra merupakan ungkapan rasa yang spontan. Perasaan pribadilah yang sering kali diungkapkan dengan kuat, dan sekaligus juga hakekat hidup dan hakekat alam. Sastra juga merupakan sebuah karya yang terikat pada waktu dan budaya, karena sastra merupakan hasil kebudayaan. (Luxemburg, dkk, 1991:7).

Pengertian Sastra Lama

Dalam kamus kebahasaan dan kesusastraan Haryanta (2012:241) menyatakan bahwa sastra lama adalah sastra yang berkembang sebelum pertemuan dengan kebudayaan Barat dan belum mendapat pengaruh dari kebudayaan Barat tersebut, ciri-cirinya (1) anonim (2) bersifat paralogis (3) berkembang secara statis dan mempunyai rumus baku (4) umumnya mengisahkan kehidupan istana, raja-raja, dewa-dewa, dan para pahlawan.

Sastra lama adalah karya sastra yang lahir dalam masyarakat lama, yaitu suatu masyarakat yang masih memegang adat istiadat yang berlaku di daerahnya. Karya sastra lama biasanya bersifat moral, pendidikan, nasihat, adat istiadat, serta ajaran-ajaran agama.

Sastra lama memiliki ciri-ciri (i) terikat oleh kebiasaan dan adat masyarakat. (ii) bersifat istana sentris (iii) bentuknya baku (vi) biasanya nama pengarangnya tidak disertakan (anonim). (Padi, 2013:11-12).

Pengertian Sastra Lisan

Jauh sebelum manusia mengenal tulisan, bahasa telah digunakan oleh manusia. Manusia memakai bahasa lisan dalam berkomunikasi. Bahasa lisan menjadi bahasa yang utama dalam hidup manusia karena lebih dahulu dikenal dan digunakan oleh manusia daripada bahasa tulis. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa sebagian besar manuisa berada dalam budaya lisan.

Istilah sastra lisan di dalam bahasa Indonesia, merupakan terjemahan bahasa Inggris oral

literature.Ada juga yang mengatakan bahwa istilah ini berasal dari bahasa Belanda orale

letterknde. Kedua pendapat ini dapat dibenarkan, tetapi yang menjadi soal adalah bahwa istilah

ini di dalam dirinya sendiri sebenarnya mengandung kontradiksi sebab kata leterature

(letterkunde), yang di dalam bahasa Indonesia disebut sastra (susastra, atau kesusastraan)

merujuk pada pengertian tulisan atau buku (Finnegan dalam Hutomo, 1991: 1). Karena

pengertian tersebut itulah maka, di Indonesia, perhatian terhadap „sastra yang tidak tertulis‟

kurang sekali jika dibandingkan dengan perhatian terhadap „sastra tertulis‟.

Barnet (Hutomo, 1991: 1) berpendapat bahwa yang dinamakan „sastra lisan‟ sebenarnya adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut).Bagi Barnet, kesusastraan

yang bermakna as anything written itu, sebenarnya, mengandung dua hal, baik luas

maupunsempit. Dikatakan luas, sebab segala yang tercetak atau tertulis dapat disebut sebagai karya sastra tanpa membedakan adanya: (1) segala sesuatu yang tercetak atau tertulis yang bukan karya seni; dan (2) segala yang tercetak atau tertulis yang berupa karya seni. Dikatakan sempit sebab pengertian itu tidak mencakup sastra lisan (sastra yang tidak tertulis). Di dalam kenyataan, sastra lisan itu ada, dan hidup berdampingan dengan sastra tulis.

(5)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

Salleh (1995: 24) mengemukakan bahwa sastra lisan itu merupakan cabang besar dari suatu budaya lisan.Sastra lisan menunjuk kepada suatu cara berpikir secara lisan dengan logika dan sistem penyampaian informasi tersendiri.Budaya lisan yang dimaksud berupa tradisi lisan atau folklor.Puisi rakyat, berupa mantra, pantun, gurundam, syair, dan nyanyian rakyat, oleh Danandjaja (2007:22) sebagai folklor lisan yang murni lisan.

Hutomo (1991: 3) mengemukakan bahwa di dalam masyarakat tradisional, peranan sastra lisan itu lebih besar daripada peranan sastra tulis; sebaliknya, di dalam masyarakat modern peranan sastra tulis itu lebih besar daripada sastra lisan.Masyarakat tradisional yang dimaksud

oleh Hutomo tampaknya adalah masa kelisanan (primer), sedangkan masyarakat modern

merupakan istilah lain dari kelisanan sekunder (tradisi tulis). Kedua istilah itu merupakan istilah

yang sering digunakan Ong (1983) untuk membedakan antara tradisi masyarakat sebelum

mengenal tulisan dan setelah masyarakat telah mengenal tulisan.Di lanjutkannya, bahwa sastra

lisan di dalam masyarakat tradisional itu bersifat komunal, artinya, milik bersama; sebaliknya

sastra tulis modern di dalam masyarakat modern itu bersifat individual.Rasa “kepememilikan

bersama” sebagai ciri tradisi masyarakat tradisional (kelisanan primer) mengakibatkan sulitnya diketahui mengenai siapa pencipta pertama suatu tradisi (anonim); dalam masyarakat modern, biasanya pencipta tradisi (puisi atau novel maupun pengetahuan lain) dapat diketahui karena sudah dituliskan. Karena sifatnya yang anonim, Hutomo (1991:3) menyebut sastra lisan sebagai cerita rakyat (folk literature).

Keanoniman mite, puisi, prosa, maupun bentuk sastra lisan lainnya pada masa tradisional terjadi dalam kurun waktu yang lama dari masa tradisi itu diciptakan. Pada awalnya, tradisi yang diciptakan bisa saja memiliki pencipta dan itu (akan) masih diketahui dan diakui oleh kelompok masyarakatnya, namun dengan sifatnya yang lebih pada rasa “kepemilikan bersama” tadi; seiring dengan berlalunya waktu membuat nama pencipta itu anonim. Ketika proses pewarisan, baik pemberi maupun penerima tidak lagi mengedepankan persoalan siapa pencipta tradisi itu. Jadi, keanoniman suatu tradisi lisan atau sastra lisan tidak spontan, melainkan berproses dalam kurun waktu yang lama setelah melewati beberapa generasi.

Sastra lisan adalah karya sastra yang diciptakan dan disampaikan secara lisan dengan mulut, baik dalam suatu pertunjukan seni maupun di luarnya Hutomo (dalam Depdikbud, 1998:1). Sastra lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun-temurun. Endraswara (dalam Rafiek, 2010:53). Menurut Taum (2011:53) sastra lisan adalah sekelompok teks yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan, yang secara intrinsik mengandung sarana-sarana kesusastraan dan memiliki efek estetik, dalam kaitannya dengan konteks moral maupun kultur dari sekelompok masyarakat tertentu.

Sastra lisan atau budaya lisan dalam masyarakat Muna sekarang ini telah banyak berubah dan jarang dipakai lagi. Hal ini disebabkan oleh pengaruh dan perubahan dari masyarakat Muna yang disebabkan oleh interaksi budaya yang ada. Perubahan yang terjadi pada sastra lisan disebabkan oleh pengaruh perkembangan masyarakat dari berbagai segi, seperti pendidikan, ekonomi, politik dan kepercayaan senada dengan hal tersebut, Finegan mengatakan bahwa keberadaan sastra lisan perlu dipertimbangkan dari hal-hal yang menyangkut hal geografi, sejarah, kepercayaan, dan agama, serta semua aspek kebudayaan yang lainnya Finegan (dalam Udu, 2009: 47-48).

Ciri-ciri Sastra Lisan

Sastra lisan merupakan bagian dari tradisi lisan (oral tradition). Menurut perumusan

(6)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

the world and act” (tradisi-tradisi yang diwarisknan dalam ruang dan waktu dengan ujaran dan tindakan) Hutomo (dalam Taum 2011: 22)

Selanjutnya Hutomo (1991: 3-4), memaparkan beberapa ciri sastra lisan, adalah sebagai berikut.

1) Penyebarannya dari mulut atau secara lisan.

2) Lahir dalam masyarakat yang masih bercorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakat

yang belum mengenal huruf.

3) Menggambarkan ciri-ciri budaya suatu masyarakat.

4) Tidak diketahui siapa pengarangnya, dan karena itu menjadi milik masyarakat;

5) Bercorak puitis, teratur, dan berulang-ulang; maksudnya, (a) untuk menguatkan ingatan; (b)

untuk menjaga keaslian sastra lisan supaya tidak cepat berubah;

6) Tidak mementingkan fakta dan kebenaran, lebih menekankan pada aspek khayalan/fantasi

yang tidak diterima oleh masyarakat modern, tetapi sastra lisan itu mempunyai fungsi penting di dalam masyarakatnya;

7) Terdiri dari berbagai versi;

8) Bahasa: menggunakan gaya bahasa lisan (sehari-hari), mengandung dialek, kadang-kadang

diucapkan tidak lengkap.

Selain Hutomo, Rusyana (dalam Taum 2011: 23) juga mengemukakan ciri dasar sastra lisan yaitu:

1. Sastra lisan tergantung pada penutur, pendengar, ruang dan waktu.

2. Antara penutur dan pedengar terjadi kontak fisik, sarana komunikasi dilengkapi

paralinguistik;

3. Bersifat anonim.

Kemudian Danandjaja (dalam Taum 2011: 23) juga mengemukakan ciri-ciri sastra lisan, yaitu:

1. Penyebarannya dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan atau disertai gerak isyarat

dan alat pembantu pengingat;

2. Bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar,

disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi);

3. Bersifat anonim;

4. Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum.

Adapun ciri-ciri sastra lisan adalah sebagai berikut:

1. Penyebarannya melalui mulut.

2. Lahir di dalam masyarakat yang masih bercorak desa.

3. Menggambarkan ciri-ciri budaya suatu masyarakat.

4. Tidak diketahui siapa pengarangnya.

Memperhatikan beberapa ciri yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa sastra lisan itu memiliki ciri: (1) teksnya berbentuk lisan; (2) umumnya disajikan dalam bahasa daerah tertentu; (3) berbentuk versi-versi atau varian-varian dengan sastra lisan daerah lain; (4) mampu bertahan minimal dalam kurun waktu 2 generasi; (5) memiliki konvensi dan poetiknya sendiri

atau; (6) bersifat anonym; (7) milik masyarakat tertentu; dan (8) menggambarkan budaya

(7)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Fungsi Sastra Lisan

Sastra lisan selain sebagai wahana bagi masyarakat untuk mengaplikasikan kebudayaan mereka juga memiliki beberapa funfsi, menurut Hutomo (1991:69-70) fungsi sastra lisan adalah sebagai berikut:

1. Sebagai sistem proyeksi yaitu sebagai pencerminan angan-angan suatu kolektif.

2. Sebagai alat pengesahan kebudayaan.

3. Sebagai alat pendidikan anak.

4. Sebagai alat pemaksa dan berlakunya norma-norma sosial dan sebagai alat pengendalian

sosial.

Selanjutnya fungsi sastra lisan menurut Apituley adalah sebagai berikut:

1. Fungsi mendidik

a. Membina tingkah laku yang baik agar tercapai keserasian dalam kehidupan bersama;

b. Membina kemauan dan perasaan seperti kemauan keras, sabar dan tidak sombong;

c. Mendidik moral yang tinggi seperti jujur, belas kasihan, dan suka menolong;

d. Mengajarkan cara hidup hemat, rukun, dan sebagainya.

2. Fungsi menyimpan budaya

Dengan mendengar sastra lisan, generasi muda dapat mengetahui bagaimana sikap hidup yang luhur dari nenek moyang.

3. Fungsi motivasi, agar generasi muda dapat mengambil manfaat dari sastra lisan tersebut.

4. Fungsi rekreasi

Jika diamati dari fungsi sastra lisan di atas maka nyanyian rakyat kau-kaudara sebagai

salah satu bentuk sastra lisan masyarakat Muna dapat pula menunjukan fungsi sebagaimana telah diuraikan di atas yaitu sebagai alat penghibur, sasaran pendidikan, dan sarana rekreasi.

Bentuk-Bentuk Sastra Lisan

Sastra lisan terdiri dari beberapa bentuk menurut Danandjaja (2007:22-141) bentuk-bentuk sastra lisan adalah sebagai berikut:

1. Bahasa rakyat adalah suatu bentuk bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari,

baik suasana pergaulan maupun dalam situasi khusus.

2. Ungkapan tradisional adalah bahasa yang digunakan dalam hal pengendalian masyarakat

yang secara konkret untuk mengkritik seorang yang telah melanggar norma masyarakat.

3. Pertanyaan tradisional adalah pertanyaan yang bersifat tradisional dan mempunyai jawaban

yang tradisional pula, yang berupa teka-teki yang biasanya digunakan seseorang untuk mengasah otak.

4. Cerita rakyat adalah kisaran antonim yang tidak terikat pada orang dan waktu yang beredar

secara lisan di tengah-tengah masyarakat.

5. Puisi rakyat adalah kesusastraan rakyat yang sudah tertentu bentuknya, biasanya terdiri dari

beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan mantra, ada yang berdasarkan panjang pendek suku kata, lemah kuatnya tekanan suara, atau hanya berdasarkan irama.

6. Nyanyian rakyat yaitu salah satu bentuk sastra lisan yang terdiri dari kata-kata dan lagu yang

beredar secara lisan diantara kolektif tertentu, yang berbentuk tradisional.

Pengertian Gaya Bahasa

(8)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

bervariasi. Misalnya, gaya bahasa dalam pidato, gaya bahasa dalam ceramah, gaya bahasa dalam khutbah, dan gaya bahasa dalam karya sastra. Gaya bahasa dalam sastra sering disebut majas (Marafad dan Nirmala Sari, 2011:192).

Hakikat gaya (style), tidak lain adalah cara mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa, tingkah laku, berpakaian dan sebagainya. Gaya itu bersifat pribadi. Maka, dengan mempelajari gaya sesuatu dari seseorang, kita akan mengetahui dan menilai pribadi, watak dan kemampuan seseorang yang bersangkutan. Misalnya, semakin baik gaya bahasa seseorang, semakin baik pula penilaianya terhadap orang pemakai gaya bahasa tersebut. Sebaliknya, semakin buruk pemakai gaya bahasanya, semakin buruk pula penilaian yang diberikan kepadanya. Jadi, gaya bahasa (Style of Language) sebenarnya merupakan bagian dari pilihan kata atau diksi yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu, untuk menghadapi situasi tertentu. Gorys Keraf (dalam Satoto, 1989: 126).

Gaya bahasa adalah cara penggunaan bahasa agar daya ungkap atau daya tarik atau sekaligus dua-duanya bertambah. Jakop (dalam Depdikbud, 1997:5). Menurut Slametmuljana dan Simanjuntak (dalam Sukada, 1993:84) gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang tumbuh atau yang hidup dalam hati penulis, dan yang sengaja ataupun tidak sengaja menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Menurut J. Middleton Mury (dalam Sukada, 1993:84) gaya bahasa itu di tentukan oleh sifat atau watak si pengarang itu sendiri, sebab gaya bahasa itu merupakan pola dari pengalaman dan kebiasaan-kebiasaan perasaan pengarang.

Menurut Shipley gaya bahasa adalah hasil kesatuan antara keindahan-keindahan dan kebenaran. Sedangkan, Stafford dan Cardelaria menyatakan, bahwa gaya bahasa merupakan simbol yang di sebelah luar dan selalu tampak pada seseorang, dan tidak bisa lain lagi. (dalam Sukada, 1993:84-85).

Pradopo (2010: 93) mengungkapkan bahwa gaya bahasa dapat menghidupkan kalimat dan memberikan gerak pada kalimat itu. Gaya bahasa dalam nyanyian rakyat berbeda dengan gaya bahasa pada puisi walaupun nyanyian rakyatjugadilihat dari liriknya merupakan salah satu dikaji dalam struktur yang sama dengan puisi. Bahasa dalam nyanyian rakyat biasanya berisi dengan kata-kata yang sederhana yang disesuaikan dengan fungsi nyanyian rakyat tersebut bagi masyarakat pemiliknya.

Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa majas atau gaya bahasa adalah bahasa kias, yaitu bahasa yang digunakan untuk menciptakan efek tertentu. Majas merupakan bentuk retoris yang penggunaannya antara lain untuk menimbulkan kesan imajinatif bagi penyimak atau pembacanya.

Jenis-jenis Gaya Bahasa

Gory Keraf, (dalam Satoto, 1989:127-128) mengklasifikasikan Gaya Bahasa berdasarkan titik tolak yang dipergunakan ke dalam empat jenis:

(1) Gaya Bahasa berdasarkan pilihan kata

Gaya bahasa ini mempersoalkan ketatapan dan kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu.

Dalam bahasa standar (bahasa baku) dapat dibedakan:

(i) Gaya bahasa resmi (bukan bahasa resmi)

Gaya bahasa resmi adalah gaya dalam bentuknya yang lengkap, yang dipergunakan dalam kesempatan-kesempatan resmi.

(9)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

(ii) Gaya bahasa tak resmi

Gaya bahasa tak resmi merupakan gaya bahasa yang dipergunakan dalam bahasa standar, khususnya dalam kesempatan yang tidak formal.

Contoh: Karya tulis, buku pegangan, dan artikel.

(iii) Gaya bahasa percakapan

Gaya bahasa percakaan merupakan gaya bahasa yang pilihan katanya adalah kata-kata yang populer dan kata-kata percakapan.

(2) Gaya Bahasa berdasarkan struktur kalimat

a. Struktur kalimat

Dilihat dari segi kegayabahasaannya, kalimat-kalimat dapat bersifat periodik, kendur, dan berimbang. Yang dimaksud dengan periodik yaitu menurut periode tertentu atau terjadi dalam selang waktu yang tepat, sedangkan kendur berarti struktur kalimatnya mulai berkurang, dan berimbang berarti seimbang.

b. Gaya bahasa

Berdasarkan corak struktur kalimat, dapatlah dihasilkan gaya bahasa-gaya bahasa berikut:

(i) Klimaks, yaitu gaya bahasa penegasan berupa pemaparan pikiran atau hal secara

berturut-turut dari yang sederhana/kurang penting meningkat kepada hal yang kompleks/lebih penting.

Contoh: Kesengsaraan membuahkan kesabaran, kesabaran pengalaman, dan

pangalaman harapan.

(ii) Antiklimaks, yaitu gaya bahasa penegasan berupa pemaparan pikiran atau hal

secara berturut-turut dari yang kompleks/lebih penting menurun kepada hal yang sederhana/kurang penting.

Contoh: Ketua pengadilan negeri ini adalah orang kaya, pendiam, dan tidak

terkenal namanya.

(iii) Repetisi, yaitu gaya bahasa penegasan yang berupa perulangan kata, frase, dan

klausa yang sama dalam suatu kalimat.

Contoh: Baru beberapa langkah ia berjalan tiba-tiba suara gemuruh mengejutkan –orang berteriak siaaap! Siaaap…

(iv) Paralellisme, yaitu gaya bahasa penegasan berupa pengungkapan dengan

menggunakan kata, frase, atau klausa yang sejajar. Contoh: Jika kamu minta, aku akan datang.

(v) Antitesis, yaitu gaya bahasa yang menggunakan kata-kata yang berlawanan arti satu

dengan yang lainnya.

Contoh: Kaya miskin, tua muda, besar kecil, semuanya mempunyai kewajiban

terhadap keamanan bangsa.

(3) Gaya Bahasa berdasarkan nada yang terkandung di dalamnya

Berdasarkan nada yang terkandung dalam sebuah wacana atau rangkaian ujaran seseorang, gaya bahasa dapat dibedakan ke dalam:

(i) Gaya yang sederhana, yaitu gaya yang cocok untuk memberi intruksi, perintah,

pelajaran, perkuliahan, dan sejenisnya.

(ii) Gaya mulia dan bertentangan, yaitu gaya yang penuh dengan vitalitas dan energi, dan

(10)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296 Contoh: Khotbah tentang kemanusiaan dan keagamaan.

(iii) Gaya menengah, ialah gaya yang diarahkan kepada usaha untuk menimbulkan suasana

tenang dan damai, karena tujuannya adalah menciptakan suasana tenang dan damai, maka nadanya pun juga bersifat lemah-lembut, penuh kasih sayang, dan mengandung humor yang sehat.

Contoh: Gaya bahasa yang di pakai pada saat pesta, pertemuan, dan rekreasi, orang

lebih menginginkan ketenangan dan kedamaian.

(4) Gaya Bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yang terkandung di dalamnya.

Berdasarkan langsung tidaknya makna yang terkandung dalam sebuah kata, frasa, atau klausa, gaya bahasa dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (i) gaya langsung atau gaya retoris; dan (ii) bahasa kiasan.

(i) Gaya bahasa retoris

Gaya bahasa retoris dapat dibedakan lagi ke dalam ragam-ragam:

(a) Aliterasi, adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi konsonan pada suatu

kata atau beberapa kata.

Contoh: Keras-keras kena air lembut juga.

(b) Anastrof atau Inversi, adalah gaya bahasa yang menyebutkan terlebih dahulu

predikat dalam suatu kalimat sebelum subjeknya.

Contoh: Pergilah ia meninggalkan kami, kebenaran kami melihat perangainya.

(c) Apofasis (bandingan dengan occupatie), adalah gaya bahasa penegasan dengan cara

seolah-olah menyangkal yang ditegaskan.

Contoh: Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa saudara telah

menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara.

(d) Apostraf, adalah gaya bahasa berupa pengalihan pembicaraan kepada benda atau

sesuatu yang tidak bisa berbicara kepada kita terutama kepada tokoh yang tidak hadir atau sudah tiada, dengan tujuan lebih menarik atau memberi nuansa lain.

Contoh: Wahai Nabi Suci yang kami cintai dan hormati, malam ini kami berkumpul disini untuk melantunkan shalawat dan kasidah nan syahdu untukmu, terimalah sayang, kekasihku.

(e) Asindeton, adalah gaya bahasa yang menyebutkan secara berturut-turut tanpa

menggunakan kata penghubung agar perhatian pembeca beralih pada hal yang disebutkan.

Contoh: Dan kesesakan, kesedihan, kesakitan, seribu derita detik-detik penghabisan orang melepaskan nyawa.

(f) Kiasmus (Chiasmus), adalah gaya bahasa yang berisikan perulangan dan sekaligus

merupakan infersi atau pembalikan susunan antara dua kata dalam satu kalimat. Contoh: Ia menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah.

(g) Elipsis, yaitu gaya bahasa yang berupa penghilangan satu atau beberapa unsur

kalimat, yang dalam susunan normal unsur tersebut seharusnya ada. Contoh: Risalah derita yang menimpa ini.

(h) Eufemismus, adalah pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar

dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus.

Contoh: Maaf bapak ini pendengarannya sudah berkurang. (orang tersebut tuli).

(i) Histeron Porteron, adalah gaya bahasa berupa penyusunan kalimat yang mengandung

(11)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

Contoh: Pegang teguhlah sifat jujur maka kamu bakal hancur, bertindaklah adil

maka justru kamu akan terpencil.

(j) Ironi, adalah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang isinya bertentangan dengan

kenyataan yang sebenarnya.

Contoh: Bagus benar rapormu bar, banyak merahnya.

(k) Litotes, adalah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang bersifat mengecilkan

kenyataan yang sebenarnya. Gaya bahasa litotes adalah ungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta dengan tujuan merendahkan diri.

Contoh: Mampirlah ke gubuk saya (padahal rumahnya besar dan mewah)

(l) Inuendo, adalah gaya bahasa sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang

sebenarnya.

Contoh: Karena ia menyisihkan selembar dua lembar kertas karton, ia kini telah

membuka toko alat-alat tulis.

(m)Perifrasis, yaitu ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang pendek.

Contoh: Ke mana pun ia pergi, besi tua bermerek, Yamaha produksi tahun 1970

selalu menemaninya.

(n) Pleonasme, adalah gaya bahasa yang menambahkan keterangan pada pernyataan

yang sudah jelas atau menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan. Contoh: Darah merah membasahi baju dan tubuhnya.

(o) Prolepsis, adalah gaya bahasa berupa kalimat yang diawali dengan kata-kata yang

sebenarnya baru ada setelah suatu peristiwa terjadi.

Contoh: Pada tahun 571 Masehi di Mekah, lahirlah seorang Nabi Besar bernama

Muhammad S.A.W.

(p) Pernyataan Retoris, yaitu ungkapan pertanyan yang jawabannya telah terkandung

didalam pertanyaan tersebut.

Contoh: Inikah yang kau namai bekerja?

(q) Silepsis dan Zeugma, yaitu gaya bahasa dimana orang mempergunakan dua

kontruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama.

Contoh: Ia menundukan kepala dan badannya untuk memberi hormat kepada kami.

(ii) Gaya bahasa kiasan

Gaya bahasa kiasan adalah gaya yang dilihat dari segi makna tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan makna kata-kata yang membentuknya. Gaya bahasa kiasan ini pertama dibentuk berdasarkan perbandingan dan persamaan.

Perbandingan berbentuk bahasa kiasan pada mulanya berkembang dari analogi:

(a) Persamaan atau Simile, yaitu pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang

dinyatakan dengan kata depan dan penghubung, seperti layaknya, bagaikan, umpama, bak, bagai. Membandingkan suatu dengan keadaan lain yang sesuai dengan keadaan yang dilukiskan.

Contoh: Pikirannya kusut bagai benang dilanda ayam

(b) Metafora, yaitu gaya bahasa yang membandingkan suatu benda dengan benda yang

(12)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

(c) Personifikasi, ialah pengungkapan dengan menggunakan prilaku manusia yang

diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia. Atau yang mengumpamakan benda mati sebagai makhluk hidup.

Contoh: Hujan itu menari-nari di atas genting.

(d) Alusi, ialah pemakian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal.

Contoh: Apakah peristiwa Madium akan terjadi lagi di sini?

(e) Metonimia, merupakan pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain

yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut. Contoh: Aku selalu minum Aqua.

(f) Sinekdok, adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama sebagian sebagai nama

pengganti barang sendiri. Sinekdok terbagi atas dua, yaitu pers pro toto dan totem pro parte.

 Contoh Sinekdok pars pro toto: Lima ekor kambing telah di potong pada acara

itu.

 Contoh Sinekdok totem pro parte: Dalam perbandingan ini indonesia memang

satu lawan satu malaysia.

(g) Hiperbol, adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang melebih-lebihkan

kenyataan, sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal. Contoh: Kita berjuang sampai titik darah penghabisan.

(h) Paradoks, ialah gaya bahasa yang mengemukakan dua hal yang seolah-olah

bertentangan, namun sebenarnya keduanya benar. Contoh: Dia besar tetapi nyalinya kecil

(i) Oksimoron, yaitu gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan

mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama. Contoh: Keramah-tamahan yang bengis.

(j) Hipalase, adalah gaya bahasa yang mangandung pemakaian kata yang menerangkan

kata yang bukan sebenarnya.

Contoh: Di hari yang berbahagia ini jangan lupa mensyukuri segenap nikmat

karunia Allah.

(k) Eponim, adalah gaya bahasa yang menyebut nama seseorang begitu sering di

hubungkan dengan sifat tertentu sehingga itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Contoh: Kita main ke rumah ina.

(l) Epitet, adalah gaya bahasa berupa frasa reskriptif untuk menggantikan nama

seseorang, binatang, atau suatu benda.

Contoh: Raja siang bertahta di angkasa raya (=Matahari).

(m)Paranomasia, adalah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang berisi penjajaran

kata-kata yang sama bunyinya, tetapi berlainan maknanya. Contoh: Bisa ular itu bisa masuk ke sel-sel darah.

Hubungan antara Bahasa dan Sastra

Hubungan antara gaya bahasa dan sastra merupakan masalah biasa, dibicarakan dalam berbagai kesempatan. Karya sastra berawal dari bahasa, sebab medium utamanya adalah bahasa. Meskipun demikian belum banyak disadari bahwa proses tersebut masih banyak masalah yang tersembunyi, khususnya apabila dikaitkan dengan mekanisme antarhubungan itu sendiri.

(13)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

berdiri sendiri. Keduanya seharusnya sama-sama saling memanfaatkan kopetensi puitika interlocutor. Seperti diatas, bahasa adalah medium utama karya sastra. Tidak ada karya sastra tanpa bahasa. Mempelajari sastra pada dasarnya sama dengan mempelajari bahasa. Menurut Wellek dan Werren dalam Ratna Nyoman (2013:148) bahwa yang di teliti adalah perbedaan sistem bahasa karya sastra dengan sistem bahasa pada zamannya. Sebaliknya, bahasa seharusnya juga memanfaatkan sastra dalam rangka mengembangkan ilmu bahasa itu sendiri. Dalam karya sastralah bahasa di eksploitasi sedemikian rupa dengan berbagai kemungkinannya sehingga berbeda dengan bahasa sehari-hari.

Peran dan Fungsi Gaya Bahasa Dalam Karya Sastra

Gaya bahasa tidak ubahnya sebagai aroma dalam makanan yang berfungsi untuk meningkatkan selera. Gaya bahasa merupakan bentuk retorika, yakni penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk mempengaruhi pembaca atau pendengar (Tarigan, 1985:5). Jadi, gaya bahasa berfungsi sebagai alat untuk meyakinkan atau mempengaruhi pembaca atau pendengar. Gaya bahasa juga berkaitan dengan situasi dan suasana karangan artinya, gaya bahasa menciptakan suasana hati tertentu, misalnya, kesan baik atau buruk, senang, tidak senang, yang diterima karena pelukisan tempat, peristiwa, dan keadaan tertentu (Ahmadi dalam Aminuddin, 2000:169).

Stile dalam penulisan sastra juga tak akan lepas dari hal-hal penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, dan sebagainya. Ia akan menjadi stile (bahasa) sastra karena memang ditulis dalam konteks kesastraan, ditambah tujuan mendapatkan efek keindahan yang menonjol (Nurgiyantoro, 2010:277).

Pengertian Nyanyian Rakyat

Dalam kamus kebahasaan dan kesusastraan Haryanta (2012:182) mengemukakan bahwa nyanyian rakyat adalah jenis nyanyian yang termasuk tradisi lisan, pengarangnya secara individual tidak diketahui dan temanya universal, yaitu suka duka manusia.

Bruvard (dalam Danandjaja 2007:141) mengatakan bahwa nyanyian rakyat adalah nyanyian yang terdiri dari kata-kata dan lagu yang beredar secara lisan dalam suatu masyarakat tertentu yang berbentuk tradisional serta banyak mempunyai varian. Zaidan juga mengatakan bahwa nyanyian rakyat adalah jenis nyanyian yang termasuk tradisi lisan, pengerangnya individual, yaitu suka dan duka manusia.

Danandjaja (2007: 142-145) mengemukakan bahwa perbedaan nyanyian dari nyanyian lainnya, seperti nyanyian pop, atau klasik (art song), antara lain

a. sifatnya yang mudah dapat berubah-ubah, baik bentuk maupun isinya,

b. nyanyian rakyat lebih luas peredarannya pada suatu kolektif daripada nyanyian seriosa

atau nyanyian pop dan dapat bertahan untuk beberapa generasi, dan

c. penyebarannya yang melalui lisan.

Dalam kenyataan, berdasarkan asalnya, sukar sekali membedakan nyanyian-nyanyian ke dalam nyanyian rakyat, nyanyian pop, atau nyanyian seriosa. Dalam keadaan sesungguhnya, suatu lagu yang berasal dari salah satu tipe nyanyian (rakyat, pop, atau seriosa) dapat saja mengubah diri menjadi tipe yang lain. Misalnya, nyanyian rakyat, jika bagus, dan kebetulan ada penggubah lagu yang ingin mengolahnya lagi secara gaya seriosa atau pop. Contohnya nyanyian

rakyat ”Terang Bulan” dari Indonesia, malah di Malasyia telah berubah menjadi nyanyian

(14)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

Sejalan dengan pendapat ahli diatas maka dapat dikatakan bahwa nyanyian rakyat

kau-kaudara adalah kata-kata dan lagu yang beredar secara lisan, dari mulut ke mulut secara turun-temurun dari nenek monyang, anonim, dan bersifat tradisi menurut adat kebiasaan yang dijalankan oleh suatu masyarakat.

Jenis-Jenis Nyanyian Rakyat

Berhubung nyanyian rakyat terdiri dari dua unsur yang penting, yakni lirik dan lagu, maka sudah tentu dalam kenyataannya dapat saja terjadi bahwa salah satu unsurnya akan lebih menonjol daripada unsur yang lain. Brunvand (Danandjaja, 2007: 146) membagi nyanyian rakyat menjadi beberapa jenis.

1) Nyanyian yang lagunya lebih menonjol daripada liriknya. Di Indonesia nyanyian rakyat yang

dapat digolongkan ke dalam jenis ini adalah nyanyian yang dipergunakan untuk mengiringi tarian Kecak dari Bali. Kata-kata yang diucapkan dalam nyanyian Kecak hanya berupa suara menirukan suara gamelan Bali (gong). Itulah sebabnya nyanyian Kecak oleh penduduk Bali digolongkan dalam jenis gong pesuara, yakni gamelan yang mempergunakan suara manusia.

2) Nyanyian rakyat yang liriknya lebih menonjol daripada lagunya. Jenis nyanyian rakyat ini

oleh Brunvand, disebut sebagai near song. Nyanyian rakyat Indonesia yang tergolong

kategori ini antara lain adalah seruan yang dipergunakan oleh penjaja makanan sewaktu

berkeliling di kampung-kampung. Seruan semacam ini istilah Inggrisnya adalah peddlers’

cries yang liriknya lebih penting daripada lagunya. Oleh karena itu, peddlers, ciers ini sering digolongkan juga ke dalam kategori sajak rakyat (Danandjaja, 2007:146).

Berhubungan sifat kedua jenis nyanyian rakyat itu (wordless folksong dan near song)

kurang sempurna untuk dianggap sebagai nyanyian rakyat, maka mereka dapat kita golongkan sebagai nyanyian rakyat yang tidak sesungguhnya.Menurut Brunvand (Dananjaja, 2007:146-152), nyanyian rakyat yang sesungguhnya harus mempunyai lirik dan lagu yang sama kuatnya. Contoh nyanyian rakyat ini sebagai berikut.

(a) Nyanyian rakyat yang berfungsi, adalah nyanyian rakyat yang kata-kata dan lagunya

memegang peranan yang sama penting. Jenis nyanyian rakyat ini selanjutnya dapat dibagi lagi menjadi beberapa kategori:

1. Nyanyian kelonan, nyanyian yang mempunyai lagu dan irama yang halus tenang,

berulang-ulang, ditambah dengan kata-kata kasih sayang, sehingga dapat membangkitkan rasa santai, sejahtera, dan akhirnya rasa kantuk bagi anak yang mendengarnya.

2. Nyanyian kerja, yakni nyanyian yang mempunyai irama dan kata-kata yang bersifat

menggugah semangat, sehingga dapat menimbulkan rasa gairah untuk bekerja.

3. Nyanyian permainan, yakni nyanyian yang mempunyai irama gembira serta kata-kata lucu

dan selalu dikaitkan dengan permainan bermain atau permainan bertanding.

(b) Nyanyian rakyat yang bersifat liris, yakni nyanyian rakyat yang teksnya bersifat liris, yang

merupakan pencetusan rasa haru pengarangnya yang anonim itu, tanpa menceritakan kisah yang bersambung. Sifat yang khas ini dapat dijadikan ukuran untuk membedakan nyanyian rakyat liris yang sesungguhnya dan nyanyian liris yang bukan sesungguhnya yang berakhir dengan kisah yang bersambung. Uraian yang lebih terperinci mengenai kedua subjenis nyanyian rakyat yang bersifat liris adalah sebagai berikut:

1. Nyanyian rakyat liris yang sesungguhnya, yakni nyanyian-nyanyian yang liriknya

mengungkapkan perasaan tanpa menceritakan suatu kisah yang bersambung.

2. Nyanyian liris yang bukan sesungguhnya, yakni nyanyian rakyat yang liriknya

(15)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

rakyat yang bersifat kerohanian dan keagamaan, nyanyian rakyat yang memberi nasihat untuk berbuat baik, nyanyian rakyat mengenai pacaran dan pernikahan, nyanyian bayi dan kanak-kanak, nyanyian bertimbun banyak, nyanyian jenaka, nyanyian-nyanyian daerah dan orang-orang yang mempunyai mata pencaharian tertentu.

(c) Nyanyian rakyat yang bersifat berkisah, yakni nyanyian rakyat yang menceritakan suatu

kisah. Nyanyian-nyanyian rakyat yang termaksud dalam kategori ini adalah Balada dan epos.

Fungsi Nyanyian Rakyat

Menurut Danandjaja (2007: 152-153), nyanyian rakyat memiliki banyak fungsi, antara lain

1) nyanyian rakyat mengandung fungsi kreatif, yaitu nyanyian rakyat sebagai penghibur hati

yang sedih dan mengobati kelelahan setelah melakukan suatu pekerjaan, sehingga dapat memperoleh kedamaian jiwa. Nyanyian rakyat yang berfungsi demikian itu adalah nyanyian

jenaka, nyanyian untuk mengiringi permainan kanak-kanak, dan nyanyian “Nina Bobo”.

2) Fungsi kedua adalah sebagai pembangkit semangat, seperti nyanyian bekerja “Holopis

Kuntul Baris”, nyanyian untuk berbaris-baris, perjuangan, dan sebagainya.

3) Fungsi ketiga adalah untuk memelihara sejarah setempat, klen, dan sebagainya.

4) fungsi yang keempat adalah sebagai protes sosial.

Fungsi-fungsi yang disebutkan di atas itu merupakan fungsi-fungsi yang umumnya dimiliki oleh setiap nyanyian rakyat, di Indonesia khususnya.Tidak menutup kemungkinan, ada fungsi-fungsi lain yang akan ditemukan sesuai dengan karakter nyanyian yang dianalisis nanti. Lebih fleksibel lagi pembahasan fungsinya, kalau nyanyian itu dilihat dalam berbagai bidang kehidupan, seperti pendidikan, keagamaan, dan sebagainya.

Produk Sastra Masyarakat Muna

Menurut Danandjaja (2007:21) folklor lisan yaitu folklor yang bentuknya memang lisan, yang dimaksud bentuk folklor lisan ini antara lain : (a) bahasa rakyat, seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan title bangsawan, (b) ungkapan tradisional seperti pribahasa, pepatah, dan pemeo, (c) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki, (d) puisi rakyat seperti, pantun, gurindam, dan syair, (e) cerita prosa rakyat seperti, mite, legenda, dan dongeng, dan (f) nyanyian rakyat.

Masyarakat Muna juga memiliki produk sastra lisan seperti bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, puisi rakyat, cerita rakyat, dan nyanyian rakyat.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan karena peneliti secara langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, karena tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan mendeskripsikan gaya bahasa dalam nyanyian

rakyat kau-kaudara. Di samping itu, karena fenomena yang menjadi sasaran penelitian

dideskripsikan sebagaimana adanya tanpa disertai perhitungan statistik, maka metode dalam penelitian inipun menggunakan metode kualitatif.

(16)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

Data dalam penelitian ini adalah bahasa lisan yang berupa lantunan kau-kaudara yang di

lantunkan oleh informan yang masih mengetahui secara mendalam tentang nyanyian rakyat kau-kaudara.

Sumber data dalam penelitian ini adalah informan di lapangan. Informan yang dimaksud ialah informan yang memiliki pengetahuan tentang obyek yang diteliti.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik rekamdan teknik simak catat. Hal ini dilakukan untuk memperkuat bukti bahwa data yang ada sesuai dengan kenyataan di lapangan.

1) Teknik rekam yaitu pemerolehan data dengan cara merekam pembicaraan informan yang

sengaja dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan data yang falid.

2) Teknik simak catat yaitu teknik yang digunakan untuk menyimak serta mencatat hal-hal

yang dianggap perlu pada saat pengambilan data.

Teknik yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan stilistika yaitu sebagai barikut. (1) dapat mengkaji masalah pemakaian bahasa secara lebih mendalam; (2) dengan menggunakan pendekatan ini dapat dilihat dimana kekuatan sebuah karya sastra dari segi bahasa, dari segi gagasan, atau karena perpaduan keduanya secara harmonis.

Analisis data dalam penelitian ini dimulai dari data yang terkumpul dalam bentuk rekam dan simak catat, selanjutnya melakukan transkripsi dengan menyalin data lisan menjadi data tertulis. Setelah data ditranskripsi menjadi data tulis kemudian dilakukan pemaknaan untuk

menemukan gaya bahasa yang terpadat pada nyanyian rakyat kau-kaudara. Pemaknaan

dilakukan secara bebas dengan menyesuaikan arti dan makna yang sesuai dan mudah dimengerti dari data tersebut.

Adapun tahap-tahap analisis data pada gaya bahasa tuturan tentang nyanyian rakyat

kau-kaudara masyarakat Muna adalah sebagai berikut:

1. Transkip rekaman data, yaitu memindahkan data lisan kedalam bentuk tulisan.

2. Penerjemahan data, pada tahap ini data diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.

3. Identifikasi data, yaitu memberi kode pada data yang sesuai dengan permasalahan

penelitian.

4. Klasifikasi data, yaitu mengklasifikasikan (mengelompokkan) data berdasarkan

permasalahan penelitian.

5. Analisis data, pada tahap ini peneliti berusaha untuk menganalisis semua data yang

terkumpul berdasarkan makna pada setiap tuturan.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Nyanyian rakyat kau-kaudara merupakan salah satu bentuk sastra lisan masyarakat Muna yang biasa dilantunkann pada waktu tertentu, seperti ketika berada di kebun dalam keadaan lelah seusai bekerja dengan tujuan menghibur diri, di rumah ketika hendak menidurkan anak (Berg

dan La Ode Sidu Marafad, 1996:191). Nyanyian rakyat kau-kaudara sering digunakan dalam

kehidupan masyarakat Muna yang banyak mengandung nilai budaya, norma-norma sosial dan

mengandung nilai estetika dan moral dari masyarakat pendukungnya.Kau-kaudara termasuk

(17)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

La Ode Ngkohe (informan) mengatakan bahwa kau-kaudara yang diterimanya saat itu

merupakan karya jadi (sudah tercipta), namun bukan orang tua maupun neneknya yang

menciptakan. Artinya, kau-kaudara yang dinyanyikannya pada saat itu bukan ciptaan orang

tua.Orang tua hanya menyanyikan kau-kaudara yang diketahuinya yang juga sebelumnya telah

diturunkan atau diwariskan kepadanya.Kau-kaudara itu biasanya setiap kali kesempatan

dinyanyikan oleh orang tua secara berulang-ulang. Pada saat tertentu biasanya anak-anak akan bisa menyanyikan secara mandiri nyanyian itu. Senada dengan itu, Marisini (informan) mengatakan bahwa ketika mereka (bersama saudara-saudaranya) malam, sebelum tidur, ibu

mereka hampir setiap malam menyanyikan beberapa kau-kaudara.Kau-kaudara yang sering

menjadi andalan ibunya adalah Wakaina-inanggure.

Terkadang, orang tua memberi kesempatan atau meminta kepada anak yang lebih tua untuk berkau-kaudara. Hal itu dilakukan untuk mengetahui kemampuan anak-anaknya dalam

melantunkan kau-kaudara, sehingga pada kesempatan lain anak tersebut secara mandiri bisa

menyanyikannya. Misalnya, ketika anak (yang lebih tua) bertugas menjaga adiknya yang kecil

ketika orang tua pergi berkebun, anak tersebut dapat berkau-kaudara, baik untuk menenangkan

adiknya yang menangis, maupun untuk menidurkannya.

Gaya Bahasa Personifikasi

Gaya bahasa personifikasi adalah pengungkapan dengan menggunakan prilaku manusia yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia atau mengumpamakan benda mati sebagai

makhluk hidup. Hal ini dapat dilihat pada nyanyian rakyat kau-kaudara ende-ende dan

kau-kaudara dao-dao berikut.

Ungkapan yang mengandung gaya bahasa personifikasi dalam nyanyian rakyat

kau-kaudaraende-ende, yaitu terdapat pada larik kelima. Tanapoia tanapoia ite (4)

Labhi-labhino wakamomo mbilodho (5)

Larik kelima labhi-labhino Wa kamomo mbilodho „melebihi Wa kembang bunga yang

segar‟. Kata wa dalam bahasa Muna merujuk pada nama perempuan. Oleh karena itu, larik ini

termasuk menggunakan gaya bahasa personifikasi. Karena, dalam larik ini bunga yang segar diumpamakan sebagai seorang perempuan.

Sedangkan, ungkapan yang mengandung gaya bahasa personifikasi dalam nyanyian rakyat kau-kaudaradao-dao, yaitu terdapat pada gabungan larik keempat dan kelima.

Wolio waa bhora (4)

Bhora ntoga waa ntara bugisi (5)

Kutipan di atas, bila digabungkan akan memiliki terjemahan Buton berteriak memegang

bugis. Pada kalimat ini buton diumpakan sebagai makhluk hidup yang bisa berteriak sekaligus memegang.

Gaya Bahasa Metafora

Gaya bahasa metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan suatu benda dengan benda yang lain karena mempunyai sifat yang sama atau hampir sama. Hal ini dapat dilihat pada nyanyian rakyat kau-kaudara ende-ende dan kau-kaudara wakaina-inanggure berikut.

Gaya bahasa metafora dalam teks nyanyian rakyat kau-kaudaraende-ende ditemukan pada

(18)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

yaitu Wa kamomo mbilodho „ Wa seperti kembang bunga segar‟. Maksudnya ialah kelebihan Wa

ini sama seperti kembang bunga segar.

Selanjutnya gaya bahasa metafora dalam nyanyian rakyat kau-kaudara wakaina-inanggure dapat dilihat pada kalimat keempat atau gabungan larik ketujuh dan kedelapan berikut.

Sariafa naetisa (7)

Nomate ndonomponamo (8)

Kutipan di atas, bila digabungkan akan memiliki terjemahan sejak kapan menanam

(sedangkan) dia meninggal sudah lama. Dengan kata pembandingan sedangkan, kalimat tersebut termaksud gaya bahasa metafora.

Gaya Bahasa Metonimia

Gaya bahasa metonimia adalahpengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut.

Gaya bahasa metonimia dapat dilihat dalam nyanyian rakyat kau-kaudara

wakaina-inanggure, yaitu pada larik pertama Wakaina-inanggure „Ibu berambut kusut‟. Penyebutan ibu

tersebut berdasarkan atribut atau ciri-ciri dan keadaan yang dimiliki oleh si ibu pada saat itu, yakni memiliki rambut yang kusut karena belum keramas.

Gaya Bahasa Sinekdok

Gaya bahasa sinekdok adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama sebagian sebagai nama pengganti barang sendiri. Gaya bahasa sinekdok terdiri atas dua jenis yaitu pars pro toto dan totem pro parte. Adapun gaya bahasa sinekdok yang digunakan ialah gaya bahasa sinekdok jenis totem pro parte, yaitu kiasan yang menyatakan keseluruhan untuk sebagian. Hal ini dapat dilihat

pada nyanyian rakyat kau-kaudara ende-ende, kau-kaudara wakaina-inanggure dan

kau-kaudara oina oama berikut.

Ungkapan yang mengandung gaya bahasa totem pro parte pada nyanyian rakyat

kau-kaudara ende-ende dapat dilihat pada kata sulapa padhamarano yang berada pada larik empat

belas. Istilah sulapa padhamarano berarti sabut kelapa sebagai lampunya. Sedangkan dalam

konteks nyanyian rakyat kau-kaudara ende-ende, kata sulapa padhamarano merujuk pada

sebuah obor.

Ungkapan yang mengandung gaya bahasa totem pro parte pada nyanyian rakyat

kau-kaudarawakaina-inanggure dapat dilihat pada kata ngkulou yang berada dalam larik kedua.

Istilah ngkulou berarti kelapa yang sudah diolah atau sudah berbentuk kopra. Sedangkan dalam

konteks nyanyian rakyat kau-kaudarawakaina-inanggure, kata ngkulou merujuk pada santan

kelapa yang akan digunakan untuk berkeramas.

Selanjutnya, Gaya bahasa sinekdok jenis totum pro parte juga terdapat pada nyanyian

rakyat kau-kaudara oina oama yang dapat dilihat pada larik ketiga nokopio bungkano „berbunyi

pantatnya‟. Hal ini dikatakan sebagai gaya bahasa sinekdok totem pro parte karena kata yang

digunakan menjelaskan kata perkata, yaitu nokopio „berbunyi‟ dan bungkano „pantatnya‟,

padahal sebenarnya dapat diganti dengan kata neghotu „dia kentut‟.

Gaya Bahasa Hiperbola

(19)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

Gaya bahasa hiperbola dalam nyanyian rakyat kau-kaudara oina oama dapat dilihat pada

gabungan larik keempat dan kelima berikut. Bungkano pea (4)

Pea manduli (5)

Kutipan di atas, bila digabungkan akan memiliki terjemahan pantatnya busuk, busuk menyengat. Kalimat tersebut terlalu melebih-lebihkan. Karena tidak ada kentut yang baunya sampe menyengat. Oleh karena itu, kalimat di atas merupakan kalimat yang mengandung gaya bahasa hiperbola.

Sedangkan, ungkapan yang mengandung gaya bahasa hiperbola dalam nyanyian rakyat

kau-kaudara awatu hae anano terdapat pada larik keenam, yaiut dolipaga pongkeno „dia buang

muka‟ merupakan kata yang mengandung pernyataan yang melebih-lebihkan dan tidak masuk

akal, karena sesungguhnya muka tidak bisa dibuang. Oleh karena itu, larik keenam merupakan larik yang menggunakan gaya bahasa hiperbola.

Gaya Bahasa Simile

Gaya bahasa simile adalah pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang menyatakan dengan kata depan dan penghubung, seperti, ibarat, umpama, laksana, bagaikan dll. Gaya bahasa simile dapat dilihat pada nyanyian rakyat kau-kaudara aoina oama berikut ini.

Ungkapan yang mengandung gaya bahasa simile dalam nyanyian kau-kaudaraoina oama

dapat dilihat pada larik keenam dan larik terakhir berikut. Manduli kebho (6)

Buri keo kadondo (11)

Larik keenam manduli kebho „seperti kumbang‟. Yang dimaksudkan seperti kumbang disini

ialah bau kentutnya La Ea.

Relevansi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran di Sekolah

Berdasarkan hasil penelitian diatas, kontribusi hasil penelitian terhadap pendidikan dan pengajaran di sekolah dikemukakan sebagai berikut:

Hasill penelitian ini dijadikan bahan bacaan di sekolah-sekolah dan di perguruan tinggi

dengan maksud untuk memperkenalkan nyanyian rakyat kau-kaudara sebagai salah satu

keanekaragama budaya daerah. Hal ini didasarkan pada penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang disusun sesuai jenjang pendidikan.

Sehubungan dengan itu, tujuan dijadikannya nyanyian rakyat kau-kaudara sebagai bahan pembelajaran khususnya muatan lokal di sekolah adalah:

1. Tujuan pendidikan anak usia dini adalah meningkatkan kemampuan berbahasa dan kognitif

sebagai bekal dasar dalam memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang lebih kompleks.

2. Tujuan pendidikan menengah keatas adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan

kepribadian, dan mampu menerapkan kau-kaudara dalam kehidupan sehari-hari.

(20)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

satu karya sastra dapat dikaji berbagai aspek, untuk mendapatkan pemahaman lebih jelas yang berkenaan dengan pengajaran, siswa dapat mempelajarinya melalui mata pembelajaran muatan lokal (mulok).

Berdasarkan kurikulun tingkat satuan pendidikan (KTSP), hasil penelitian tentang

nyanyian rakyat kau-kaudara dapat dijadikan bahan ajar di SMA kelas XII. Dapat dilihat pada

kopetensi dasar: Menanggapi pembacaan puisi lama tentang lafal, intonasi, dan ekspresi.Berdasarkan pernyataan tersebut, maka penelitian ini sangat relevan dengan pembelajaran di sekolah dan penelitian ini layak digunakan sebagai bahan ajar di sekolah.

Penutup Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa yang digunakan

dalam nyanyian rakyat kau-kaudara masyarakat Muna meliputi gaya bahasa personifikasi, gaya

bahasa metafora, gaya bahasa metonimia, gaya bahasa sinekdok, gaya bahasa simile, dan gaya bahasa hiperbola.

Saran

Pelestarian tradisi lisan melalui penelitian ilmiah dan upaya pemanfaatannya merupakan salah satu strategi yang baik untuk mempertahankan dan melestarikan kebudayaan nasional. Oleh karena itu, kepada para peneliti selanjutnya diharapkan agar lebih jeli melihat kekurangan dari hasil penelitian-penelitianyang sudah ada untuk mengembangkannya dalam penelitian yang baru.

Nyanyian rakyat kau-kaudara dalam masyarakat Muna, seperti halnya nyanyian rakyat

atau tradisi lisan daerah lain, juga menggunakan bahasa daerah dalam penyampaiannya. Dalam upaya pelestarian,sebenarnya bukan hanya nyanyian rakyat kau-kaudara itu sendiri yang penting untuk diperhatikan, namun juga bahasa daerah yang digunakan, dalam hal ini bahasa daerah

Muna. Dalam kenyataannya, banyak kosakata dalam teks nyanyian rakyat kau-kaudara sudah

tidak digunakan lagi oleh masyarakat Muna dalam berkomunikasi. Dalam kamus bahasa daerah

Muna yang telah diterbitkan pun, kosakata teks nyanyian rakyat kau-kaudara tersebut masih

banyak yang belum dimuat dan diperoleh makna leksikalnya. Oleh karena itu, perlu ada kajian

khusus untuk meneliti kosakata bahasa Muna yang digunakan dalam nyanyian rakyat

kau-kaudara sebagai register untuk menambah kosakata dalam kamus yang sebelumnya telah

diterbitkan.

Dartar Pustaka

Aminuddin. 2000. Pengantar Memahami Unsur-unsur Dalam Karya Sastra. BagianII. Malang: FPBS IKIP Malang.

Berg, Rene van den dan La ode Sidu Marafad. 1996. Kamus Muna-Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pultika.

Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia (ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain). Jakarta: Grafiti.

(21)

Jurnal Humanika No. 16, Vol. 1, Maret 2016/ ISSN 1979-8296

Depdikbud. 1998. Sastra Lisan Ekagi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Fananie, Zainuddin. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: MUS.

Haryanta, Agung Tri. 2012. Kamus Kebahasaan dan Kesusastraan. Surakarta: Aksarra Sinergi Media.

Haryanta, Agung Tri. 2012. Kamus Sastra Indonesia dan Kebahasaan. Surakarta: Aksarra Sinergi Media.

Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan (pengantar studi sastra lisan). Surabaya: HISKI.

Luxemburg, Jan Van, Bal, mieke, Westseijin, Willen G. 1991. Tentang Sastra. Jakarta:

Intermasa.

Marafad, La Ode Sidu dan Nirmala Sari. 2011. Mutiara Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Puitika.

Marafad, La Ode Sidu. 1997. Semiotika. Kendari: Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP UHO.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Padi, Editorial. 2013. Kumpulan Super Lengkap Sastra Indonesia. Jakarta: Padi. Rafiek, M. 2010. Teori Sastra (kajian teori dan praktik). Bandung: Rafika Aditama.

Rahmawati, dkk. 2010. Inventarisasi Sastra Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.

Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Satoto, Soediro. 1989. Stilistika. Surakarta: UNS.

Sukada, Made. 1993. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia (masalah sistematika analisis struktur fiksi). Bandung: Angkasa.

Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.

Taum, Yoseph Yapi. 2011. Studi Sastra Lisan (sejarah, teori, metode dan pendekatan disertai

contoh penerapannya). Yogyakarta: Amalera.

Udu, Sumiman. 2009. Perempuan dalam Kabhanti:Tinjauan Sosiofeminisme. Yogyakarta:

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian ekstrak etanol herba putri malu (Mimosa pudica L.) dapat menghasilkan jumlah sel neutrofil yang lebih tinggi pada tikus galur Wistar yang telah

Kebijakan persediaan yang diterapkan pada penelitian ini adalah continuous review (r,Q) dengan tujuan meminimalisir total biaya persediaan dan meningkatkan service level

@ari gambar tersebut dapat dilihat bah4a endapan ephitermal sulfidasi rendah berasosiasi dengan lingkungan olkanik, tempat pembentukan yang relatif dekat permukaan serta larutan

seseorang yang telah didiagnosis sebagai penderita SARS, dim gnosis sebagai penderita SARS, dimana ora ana orang yang ng yang   beresiko tersebut adalah orang yang merawat,

This study aims to determine the effect of employee involvement, focus on customers, reward systems, commitment to quality and continuous improvement to employee

Dari penelitian ini didapatkan nilai sensitivitas tertinggi pada material WO3 hasil perlakuan temperature post hydrothermal 160 0 C dengan temperatur operasi 100 0 C dan

Pada hari ini Kamis, tanggal sebelas bulan Agustus tahun dua ribu sebelas (11-08-2011), Kami Kelompok Kerja Pengadaan Barang/Jasa Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa

Pengaruh Gerakan Wahabi Terhadap Berdirinya Organisasi Kemasyarakatan Nahdlatul Ulama (NU) Tahun 1926; Halik, 060210302105; 83 Halaman Program Studi Pendidikan