• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partai Politik di Indonesia. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Partai Politik di Indonesia. pdf"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

Program Penelitian GIGA: Legitimasi dan Kemampuan Sistem Politik

Partai Politik di Indonesia Pasca Suharto:

Antara Politik Aliran dan Filipinanisasi

Andreas Ufen No.37

Desember 2006 GIGA WP 37/2006 GIGA Essay

Telah diedit oleh GIGA German Institute of Global and Area Studies/Leibniz-Institut für Globale und Regionale Studien.

Seri Makalah Kerja ini dibuat untuk menyebarluaskan hasil karya penelitian yang tujuannya untuk mendorong pertukaran gagasan dan perdebatan akademis. Tujuan dari seri ini adalah untuk segera mempublikasikan temuan-temuan dalam penelitian, sekalipun bentuk pemaparannya masih belum terlalu sempurna. Dimasukkannya suatu makalah dalam Seri Makalah Kerja bukan merupakan publikasi dan tidak membatasi publikasi di tempat lain. Hak cipta tetap berada di tangan pengarang. Bila Makalah Kerja akhirnya disetujui untuk diterbitkan di jurnal atau buku, rujukan referensi yang benar dan, bila memungkinkan, hasil penelitian lanjutan yang relevan akan

(2)

Unit Kerja GIGA yang bertanggung-jawab atas penerbitan ini: Program “Legitimasi dan Efisiensi Sistem Politik”.

Editor Makalah Kerja GIGA: Bert Hoffmann. Email: hoffman@giga-hamburg.de Hak cipta edisi ini: Andreas Ufen

Asisten editor dan produksi: Verena Kohler dan Vera Rathje

Semua Makalah Kerja GIGA tersedia di internet dan dapat diakses secara gratis di situs: www.giga-hamburg.de/workingpapers. Makalah Kerja juga bisa dipesan dalam bentuk cetak. Untuk produksi dan pengiriman bentuk cetak akan dikenakan biaya sebesar 5 poundsterling. Untuk pemesanan pengiriman, silakan hubungi:

E-mail: workingpapers@giga-hamburg.de Phone: ++49 (0)40-428 25 548

GIGA German Institute of Global and Area Studies/Leibniz-Institut für Globale und Regionale Studien

Neuer Jungfernstieg 21 20354 Hamburg

Germany

(3)

Abstrak

Secara mengejutkan, hasil pemilu di Indonesia pada tahun 1999 dan 2004 dan konstelasi partai politik yang terbentuk sebagai hasil pemilu memiliki kesamaan dengan demokrasi parlementer pertama di Indonesia pada tahun 1950an. Dinamika partai politik tersebut masih memiliki ciri aliran (‘streams’), yaitu beberapa partai politik yang besar masih mempunyai basis massa dan mengakar di wilayah-wilayah tertentu. Namun politik aliran telah kehilangan sebagian besar makna pentingnya dan kemudian muncul kembali dalam bentuk yang berbeda sejak jatuhnya Suharto di tahun 1998. Berangkat dari pengamatan tersebut, kita hendak berargumen bahwa partai masih memiliki akar sosial, sehingga suatu pendekatan aliran dengan

modifikasi tertentu masih bisa dipakai sebagai alat untuk analisa. Tetapi, nyata juga terlihat adanya pelemahan aliran (dealiranisasi) dan ‘Filipinanisasi’ yang terkait; ini ditandai dengan naiknya partai presidensial dan presidensialisasi partai,

berkembangnya otoritarianisme dalam tubuh partai, meluasnya ‘politik uang’, dan kurangnya platform politik yang berarti, melemahnya kesetiaan terhadap partai, kartel-kartel dengan koalisi yang berganti-ganti serta munculnya elit-elit lokal baru.

Kata Kunci: partai politik, Indonesia pasca Suharto, Filipinanisasi, politik aliran

Dr. Andreas Ufen,

adalah Ilmuwan Politik dan Mitra Penelitian Senior di GIGA Institute of Asian Affairs di Hamburg, Jerman.

(4)

Partai Politik di Indonesia Pasca Suharto:

Antara Politik Aliran dan ‘Filipinanisasi’

Andreas Ufen

Struktur Artikel

1. Pengantar 5

2. Masa Emas Politik Aliran pada Tahun 1950an dan Erosi pada Zaman Suharto 7 3. Partai dan Pemilu sejak Tahun 1998: Re-konfigurasi Pasca Suharto 11

4. ‘Filipinanisasi’: Indikasi Pergantian Partai 20 5. Kesimpulan 35

1. Pengantar

Setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998, lebih dari 200 partai politik muncul. Pada akhirnya, 48 dari partai-partai tersebut diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam pemilu pada bulan Juni 1999, pemilu yang bebas yang pertama semenjak tahun 1955. Jumlah pemilih sangat tinggi, begitu juga antusiasme dari penduduk. Secara

mengherankan, sistem kepartaian baru yang muncul sebagai hasil pemilu ini terlihat memiliki kesamaan dengan sistem kepartaian tahun1950an, di mana Indonesia menerapkan demokrasi parlementer untuk pertama kalinya. Dinamika partai politik masih ditandai dengan aliran (‘streams’), yaitu beberapa partai politik besar masih mempunyai basis massa dan mengakar di wilayah-wilayah tertentu. Tetapi makna penting politik aliran telah berkurang dan muncul kembali secara berbeda setelah tahun 1998. Terlebih lagi, dalam waktu yang singkat partai-partai tersebut

(5)

selain kesetiaan dan ideologi yang sudah ada sejak dahulu, banyak kekuatan lainnya yang berpengaruh.

Dalam perdebatan tentang partai politik yang berkembang sekarang ini, aliran umumnya diakui masih merupakan faktor yang menonjol oleh sejumlah pengamat politik (King, 2003; Baswedan, 2004), walaupun seringkali sejumlah penulis lain memiliki sejumlah keberatan terhadap argumen tentang hal ini (Johnson Tan, 2004; Sherlock, 2004 dan 2005). Beberapa penulis memfokuskan pada

kelemahan-kelemahan partai seperti ‘kartelisasi’ (Slater, 2005) dan kelemahan-kelemahan institusi formal (Sherlock, 2005) atau mereka mencoba untuk menilai ketidakseimbangan atau kelemahan institusionalisasi partai politik (Jonson Tan, 2006; Tomsa, 2006b). Beberapa akademisi mempertanyakan kesahihan pendekatan aliran dari sudut pandang kelas (Robinson dan Hadiz 2004; Hadiz, 2004a dan 2004b), sementara beberapa penulis lain menunjukkan bukti baru berdasarkan metode analisa regresi dan mempertanyakan argumen bahwa politik aliran masih kental di Indonesia (Mujani dan Liddle, 2006). Berbagai penelitian politik lokal yang dilakukan oleh beberapa penulis (Hadiz 2004a;Choi 2004;Vel 2005; Mietzner 2007) menunjukkan gambaran yang sangat rumit. Sampai saat ini belum ada pendekatan yang lebih komprehensif untuk memahami politik kepartaian di Indonesia.

Artikel ini menganalisa partai politik dari dua sudut pandang berbeda. Penulis berargumen bahwa partai masih memiliki akar sosial, sehingga pendekatan aliran dengan modifikasi tertentu masih bisa dipakai sebagai alat untuk analisa. Pada saat yang sama, aliran (dealiranisasi) juga semakin terlihat melemah, seiring dengan ’Filipinanisasi’, yang menunjukan beberapa kesamaan ciri pokok partai politik dan sistem kepartaian di Filipina dan Indonesia. Dengan begitu, keunikan partai politik dan berbagai kekuatan yang bertentangan akan ditunjukan dengan sistematis. Bagian ke-2 tulisan ini membantu untuk memahami konsep ’aliran’ seperti yang diartikan pada 1950an, karena pada masa sekarang istilah tersebut menjadi

(6)

Menggambarkan partai politik Indonesia dalam konteks politik ’aliran’ akan membantu menjelaskan perkembangan saat ini yang seringkali kontradiktif, yang akan dianalisa pada bagian 3 dan 4. Proses ini dikonseptualisasikan sebagai ’Filipinanisasi’, yang diindikasikan dengan munculnya partai presidensial atau presidensialisasi partai, munculnya otoriterianisme dalam partai, meluasnya praktik politik uang, kurangnya platform atau program partai politik yang berarti, lemahnya kesetiaan kepada partai, kartel-kartel dengan koalisi yang berganti-ganti dan naiknya elit-elit lokal baru.

2. Masa Emas Politik Aliran pada Tahun 1950an dan Erosi pada Zaman

Suharto

Pada saat partai-partai politik pertama didirikan di Indonesia pada tahun 1920an, mereka tidak bisa memenuhi fungsi normal mereka. Di bawah aturan kolonial, pemilu dan parlemen tidak diperbolehkan. Namun sebagai pelopor mobilisasi massa, mereka menkonsolidasikan wilayah sosial (social milieus) dan menguatkan apa yang nantinya dinamakan aliran. Pada tahun 1950an dan 1960an, para Indonesianis

mengkonseptualisasikan akar ideologi partai politik dengan pendekatan aliran ini. Clifford Geertz (1960) pada awalnya menggaris-bawahi model ini di dalam hasil kerja utamanya ‘The Religion of Java (Agama di Jawa)’. Pembedaan yang terkenal yang dibuat oleh Clifford antara abangan (kepercayaan bersifat animisme), santri (pengikut muslim yang saleh) dan priyayi (mereka yang kebanyakan dipengaruhi oleh

kebudayaan aristokrat Hindu) mempunyai dampak yang tahan lama pada penelitian lebih lanjut tentang Jawa1. Akan tetapi Geertz di dalam karyanya ‘Peddlers and Princes (pedagang kaki lima dan pangeran)’ menunjukan analisa mengenai partai politik 1950an secara lebih praktis, di mana dia menggambarkan PNI2, Masyumi, NU

(7)

dan PKI sebagai wadah organisasi untuk aliran: ‘Sebagaimana dengan organisasi politiknya, masing-masing partai telah menjalin hubungan baik secara formal maupun tidak: dengan klub perempuan, kelompok pemuda dan pelajar, serikat pekerja,

organisasi rakyat, perkumpulan amal, organisasi buruh tani, sekolah swasta, masyarakat agama dan filosofis, veteran, dan berbagai macam organisasi lainnya, yang akan mengikatkannya pada sistem sosial lokal. Dengan alasan tersebut, setiap partai dengan sekelompok perkumpulan khususnya tersebut menjadi kerangka di mana berbagai kegiatan sosial dapat dilaksanakan, dan partai memberikan panutan ideologi yang rasional untuk mengarahkan kegiatan-kegiatan tersebut (Geertz, 1963: 14). Menurut Geertz, gejala aliran selain merupakan gerakan sosial juga merupakan partai politik. Aliran pada masa itu didasarkan pada sistem integrasi sosial terkait dengan pandangan mereka mengenai dunia, tetapi partai politik dan organisasi lainnya yang berkaitan tidak mau membentuk pola hubungan antaraliran yang stabil sampai dengan tahun 1950an. Empat partai terpenting, yang secara kolektif meraih 4/5 suara pada tahun 1955 (lihat Tabel 1), telah tumbuh dari basis aliran yang ada dan pada saat yang sama membentuk ulang dan mempolitisasi aliran tersebut (Feith, 1957: 31ff; Feith, 1962: 125ff). PNI yang nasionalis merepresentasikan semua anggota bukan priyayi Jawa dan mencari nafkah sebagai pegawai negara dan pegawai negri atau sebagai klien mereka3. PKI mungkin adalah partai yang terbaik pengorganisasiannya dengan pengikutnya yang setia di kalangan pekerja abangan di kota dan daerah perdesaan4. Santri yang ortodoks terdiri dari modernis dan tradisionalis. Yang tradisionalis di bawah NU terdiri dari ulama (akademisi agama) dan pengikutnya; yang modernis di bawah Masyumi terdiri dari cendekiawan kota, pedagang dan seniman dari luar pulau Jawa. Pada pemilu bebas dan adil yang pertama di tahun 1955, terutama dengan masa kampanyenya yang lama, identifikasi aliran menjadi

3Abangan dan priyayi nantinya tergabung ’menjadi satu unit yang melawan santri (Geertz 1965: 128). Geertz (1965: 129ff) telah membedakan lima rekahan (’pembedaan’): pertama, antara Jawanis (priyayi-abangan) dan kelas Islamik ’ideologikal-keagamaan’; kedua, antara insaf (yang responsif secara politis) dan masa bodo (tidak responsif secara politis); ketiga, antara ’elit’ dan ’massa’; keempat, antara ’dalam kota’ dan ’pedesaan’; dan yang kelima, antara ’modern’ dan ’tradisional’.

4 PKI sebagian besar terdiri atas kader yang tidak sekuler dan kurang ideologis. Ia harus menyesuaikan retorika agenda revolusinya dengan pandangan keagamaan dari

(8)

kuat dan sering menjadi pemicu beberapa konflik bahkan di daerah pedesaan, sebagai contohnya pertikaian antara pengikut PNI yang sekuler dengan pengikut Masyumi yang saleh. Oleh karena fragmentasi dan polarisasi sistem partai yang sangat besar, koalisi-koalisi biasanya sangat lemah dan tidak tahan lama5.

Tabel 1: Hasil pemilu untuk parlemen nasional (1955)

Partai Politik Persentase Jumlah Kursi

PNI 22,3 57

Masyumi 20,9 57

NU 18,4 45

PKI 16,4 39

PSII 2,9 8

Parkindo 2,6 8

Partai Katolik 2,0 6

PSI 2,0 5

Lainnya 12,5 32

Total 100 257

Catatan: PNI (Partai Nasional Indonesia, Indonesian Nationalist Party) Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia, Consultative Council of Indonesian Muslims)

NU (Nahdatul Ulama, Renaissance of Islamic Scholars) PKI (Partai Komunis Indonesia, Indonesian Communist Party)

PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia, Islamic Association Party Indonesia) Parkindo (Partai Kristen Indonesia, Indonesian Christian Party)

Partai Katolik (Catholic Party)

PSI (Partai Sosialis Indonesia, Indonesian Socialist Party) Sumber: Rülland, 2001.

Partai-partai ini tidak mempunya kriteria keanggotaan yang kuat dan tidak mampu memastikan aliran dana masuk yang stabil (Feith, 1962: 122ff). Paling tidak pimpinan mereka biasanya terdiri dari para politisi yang mempunyai pandangan yang skeptis terhadap demokrasi liberal modern. Partai di tahun 1950an berakar secara mendalam, tetapi juga elitis. Mereka merupakan jalur utama untuk mendapat akses ke dalam birokrasi. Sehingga kekuatan mereka didasarkan pada pengaruh mereka dalam

(9)

birokrasi, militer dan perusahaan negara, dan juga koneksi dengan pengusaha swasta yang mereka miliki6.

Oleh karena kekurangmampuan kelembagaan (sentralisasi yang berlebihan, misalnya, yang memungkinkan naiknya pergerakan kedaerahan mulai pada tahun 1956 dan seterusnya), meningkatnya pengaruh militer, meluasnya korupsi, polarisasi antara sekuler dan Islamis dalam Badan Konstituante7, dan oposisi fundamental PKI terhadap demokrasi liberal, parlementarisme lambat laun kehilangan legitimasinya. Pada bulan Juli 1959, Sukarno memberlakukan kembali UUD 1945, yang

memberikan kewenangan besar pada dirinya sendiri sebagai presiden. Berbagai partai politik kehilangan sebagian besar pengaruhnya semasa periode Demokrasi Terpimpin ini (1959-65). Kabinet dan parlemen dipertahankan untuk menjadi alat bagi Sukarno dan kepemimpinan militer. Demokrasi Terpimpin ini jatuh pada tahun 1965/66. Para elit Orde Baru (1965/66-98) di bawah pimpinan Suharto, mulai untuk

mendepolitisasi masyarakat, melakukan sentralisasi administrasi dan merampingkan sistem politik. Partai-partai dipotong habis dan pemilu ”basa-basi” diperkenalkan. Pada tahun 1973, kendali politik diperkuat dengan penyederhanaan sistem kepartaian yang memaksakan penggabungan partai-partai yang ada menjadi hanya 3 partai (lihat Diagram 2). Golkar8, yang menjadi kendaraan rejim, selalu mampu mendapatkan dua pertiga kursi mayoritas di parlemen nasional, sedangkan PPP dan PDI hanya ada untuk mengisi fungsi adanya partai oposisi yang terkukung.

Tabel 2: Hasil Pemilu Parlemen 1971-1997 (%)*

1971** 1977 1982 1987 1992 1997

Golkar 62,8 62,1 64,2 73,2 68,1 74,5

6 Sebagai contohnya, semua kementrian diubah menjadi alat partai politik; NU memegang penuh kewenangan Departemen Agama dengan 27.000 (1958) dan 102.000 (1967) anggota. Sampai dengan 1965, Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian

Perhubungan didominasi oleh PNI, sementara PKI memegang kekuasaan dalam sebagian besar Kementrian Pertanian.

7 Setelah Pemilu 1955, Badan Konstituante diberikan tugas untuk mengelaborasikan konstitusi baru, tetapi kemudian dibubarkan oleh Sukarno

(10)

PPP 27,1 29,3 28,0 16,0 17,0 22,4

PDI 10,1 8,6 7,9 10,9 14,9 3,1

* Kelompok Protes – Golongan Putih (Golput) – memasukkan kertas suara yang kosong ke dalam kotak suara. Jumlah suara yang tidak sah, termasuk Golput, adalah 8.3% (1971), 10.4% (1977), 8.6% (1982) dan 8.7% (1987). (Inside Indonesia, June 1992: 5).

** Hasil suara setelah partai-partai tersebut digabungkan: PPP (gabungan dari NU 18.7%; Parmusi 5.4%; PSII 2.4%; Perti 0.7%); PDI (gabungan dari PNI 6.9%; Parkindo 1.3%; Partai Murba 0.1%; IPKI 0.6%; Partai Katolik 1.1%)

Catatan: Golkar (Golongan Karya, Functional Groups)

PPP (Partai Persatuan Pembangunan, United Development Party) PDI (Partai Demokrasi Indonesia, Indonesian Democratic Party) Sumber: Rüland 2001.

Para elit rejim ini bersitegas untuk menghapus politik aliran. Namun kendali penuh atas suatu masyarakat yang begitu beragam tidak pernah berhasil dilakukan, dan ideologi Orde Baru terlalu dangkal untuk mempengaruhi publik secara mendalam dan meluas. Sehingga nasionalisme sekuler yang sangat moderat yang direpresentasikan oleh PDI dan kelompok muslim yang tidak bergigi seperti direpresentasikan oleh PPP ditoleransi.

Di tengah krisis finansial negara-negara Asia, era Orde Baru jatuh, bukan karena munculnya perlawanan partai politik, melainkan bangkitnya demonstrasi mahasiswa dan juga hasil dari konflik dan tawar-menawar antar elit.

3. Partai dan Pemilu sejak Tahun 1998: Rekonfigurasi Pasca Suharto

(11)

menonjol–Abdurrahman Wahid (PKB), Amien Rais (PAN) dan Megawati Sukarnoputri (PDI-P)- masih dikesampingkan sampai dengan Pemilu1999.

Total 148 partai terdaftar secara resmi. Setelah proses penyaringan yang lama, 48 di antaranya akhirnya diperbolehkan untuk mengambil bagian dalam pemilu pada bulan Juni 1999. Berbagai macam partai dibentuk untuk mewadahi kelompok profesional tertentu (Partai Mencerdaskan Bangsa untuk para pengajar), suku/etnisitas (Partai Reformasi Tionghoa Indonesia), para buruh (Partai Buruh Nasional, Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia), kaum perempuan (Partai Perempuan Indonesia), kaum lansia (Partai Lansia Indonesia) dan kaum agama minoritas (Partai Buddhis Demokrat Indonesia, Partai Katolik Indonesia, Partai Kristen Nasional Indonesia, dan lainnya.). Lebih dari itu, beberapa partai yang bersifat kebarat-baratan seperti Partai Hijau (Green Party) dan Partai Demokrasi Liberal Indonesia (Liberal Democratic Party of Indonesia) dibentuk sebagai tambahan dari partai-partai yang dulunya dinyatakan tidak legal seperti PUDI (Partai Uni Demokrasi Indonesia, United Democratic Party of Indonesia) dan PRD (Partai Rakyat Demokratik, People’s Democratic Party) dengan agenda sosial demokratnya (setidaknya sampai batasan-batasan tertentu) (Suryakusuma, 1999; Kompas, 2004a dan 2004b). Semua pengelompokan ini gagal. Untuk bisa sukses, partai membutuhkan infrastruktur dan koneksi yang dibangun pada masa Orde Baru (Golkar, PPP dan, tidak sebanyak dengan yang lainnya, PDI-P), dukungan organisasi agama secara tidak langsung (PKB, PAN, PPP, PBB, dan lain-lain) dan hubungan jaringan yang sudah terjalin lama dari dulu (PK).

Dalam proses pemilihan, banyak spekulasi bahwa pola aliran yang terjadi di era 1950an akan timbul kembali. Pada akhirnya, dapat terlihat politik aliran masih memainkan peran, tetapi dalam bentuk yang berbeda dari politik aliran di masa 1950an, dan ada mekanisme lainnya yang juga mempengaruhi perilaku partai serta pemilih.

(12)

kesekuleran mereka, orientasi mereka pada Pancasila menghalangi banyak perdebatan mengenai penerapan syariat Islam atau bahkan membentuk negara Islam sejak awal persidangan di parlemen.

Dalam pemilu 2004 (Sebastian, 2004; Aspinall, 2005; Hadiwinata, 2006; Ananta/ Arifin/ Suryadinata, 2005), tidak lebih dari 24 partai diperbolehkan untuk

berpatisipasi oleh karena adanya batasan-batasan hukum tambahan9. Walaupun

pemilu pada dasarnya dikarakterisasikan dengan kesinambungan, beberapa pergeseran tertentu terjadi yang menandai akselerasi dealiranisasi antara tahun 1999 sampai 2004.

Golkar menang dengan 21,6% (1999: 22.5%) dan sekarang menjadi partai terkuat di parlemen. PDI-P mengalami kekalahan yang mengejutkan dan kehilangan lebih dari 15 persen yang disebabkan oleh ketidakpuasan akan kepemimpinan Megawati sebagai presiden dan kinerja politisi PDI-P lain pada umumnya. Kejutan besar lainnya selain kekalahan PDI-P yang telak dan kenaikan Partai Demokrat adalah kemenangan PKS yang Islamis (dulunya PK), yang memenangkan 7,3% dari seluruh suara. Partai ini bahkan mampu menjadi nomor satu di Jakarta, lebih unggul dari PD. Hasil ini menunjukkan ketidakpuasan yang besar terhadap partai-partai yang sudah lebih mapan, terutama di ibu kota. PKB, PPP dan PAN jatuh satu demi satu. Prestasi mereka yang mengecewakan hanya dikalahkan oleh remuknya PDI-P.

Enam dari sepuluh partai terbesar dalam parlemen nasional sekarang ini adalah Islamis dan empat lainya sekuler (lihat tabel 3.) Pembelahan yang sangat jelas yang membentuk sistem kepartaian yang ada sekarang ini ialah antara partai Islam atau sekuler. Partai Islam sendiri terdiri dari partai Islam moderat dan partai Islamis10.

9 Hanya partai-partai dengan paling sedikit mempunyai sepuluh kursi di DPR atau dengan lebih dari tiga persen suara di lebih dari setengah jumlah DPRD provinsi dan kabupaten, bisa diikut sertakan dalam pemilu 2004. Selain itu mereka harus memiliki cabang-cabang di dua pertiga dari seluruh provinsi dan sekitar dua pertiga dari seluruh kabupaten di masing-masing provinsi tersebut.

(13)

Tabel 3: Hasil Pemilu 1999 dan 2004 (DPR)*

Partai Politik Jumlah Suara

1999 (%)

* Anggota Kamar Pertama (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR) dipilih dengan sistem proporsional dalam konstituensi multianggota. Kamar Kedua (Majelis

Permusyawaratan Rakyat/MPR) terdiri atas anggota-anggota DPR dan 132

perwakilan dari provinsi yang disebut DPD (Dewan Perwakilan Daerah, House of Regional Representative) yang sebenarnya memiliki posisi lemah. DPD didirikan tahun 2004 dan anggota-anggotanya dipilih dengan sistem mayoritas dalam konstituensi multianggota. Mereka tidak boleh berasal dari partai politik. Lagipula sudah ada pemilihan presiden langsung sejak 2004 dan pemilihan kepala daerah (walikota, bupati, dan gubernur) sejak 2005.

** Alokasi jumlah kursi disesuaikan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi. *** Militer (TNI, Tentara Nasional Indonesia) secara otomatis mendapat jatah kursi sebanyak 38 dari 1999-2004

Catatan: Partai Golongan Karya (Golkar), Functional Groups Party

Partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan (PDI-P), Indonesian Democratic Party – Struggle

(14)

Partai Keadilan (PK), Justice Party (2004: Partai Keadilan Sejahtera, PKS, Justice and Properity Party)

Partai Amanat Nasional (PAN), National Mandate Party Partai Bulan Bintang (PBB), Crescent and Star Party

Partai Persatuan Pembangunan Reformasi (PPP Reformasi), United

Development Party Reform (2004: Partai Bintang Reformasi, PBR, Star Party of Reform)

Partai Damai Sejahtera (PDS), Prosperity and Peace Party Source: Ananta/Arifin/Suryadinata 2005.

Polarisasi antara status-quo dan partai pro-demokrasi setelah jatuhnya Suharto dengan cepat memudar. Sekarang, rekahan yang jelas ini11 hampir sama sekali tidak

tercermin dalam parlemen. Golkar dan PDI-P, sebagai contohnya hampir tidak ada bedanya dalam menunjukkan sikap mereka mengenai isu-isu kebijakan,

keterlibatannya dalam skandal korupsi dan cara manajemen pengurus partainya. Partai sekuler adalah Golkar, PDI-P, PDS (intinya Kristen) dan PD12. PDI-P, yang mempunyai banyak pengikut berlatar-belakang Kristen dan sekuler juga, masih diasosiasikan dengan Sukarno, presiden pertama Indonesia yang berkarisma dan sangat populer. Putri Sukarno yang menjadi ketua umum PDI-P, Megawati, masih merupakan simbol Sukarnoisme. Keenam partai Islam ialah PKB (Islam tradisionalis moderat), PPP (Islamis modern dan tradisional), PKS (Islamis modernis), PAN (modernis moderat), PBB (Islamis moderat, mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai pengganti Masyumi) dan PBR (pecahan dari PPP). PKB dan PAN mendefinisikan

11 Pendekatan aliran dan rekahan saling berhubungan satu sama lainnya. Rekahan muncul sebagai akibat konflik sosial yang fundamental. Mereka membentuk wacana mengenai permasalahan-permasalah inti dan dilembagakan oleh aktor politik, terutama partai-partai (lihat Lipset/ Rokkan, 1967, sebagai locus classicus mengenai rekahan). Penyebutan abangan dan santri tidak dengan mudah mendenotasikan pengelompokan dengan tingkatan kesetiaan akan agama mereka; dalam waktu yang sama mereka meyiratkan dimensi sosio-ekonomik tertentu. Abangan, sebagai contoh, terikat erat dengan lingkungan sosial tertentu bersamaan dengan basis sosial khas mereka. Di dalam konteks rekahan, pendekatan Geertz menyoroti pembedaan agama dan sosio-ekonomi pada saat yang bersamaan. Model yang sangat kompleks ini masih membingungkan dalam ajang perdebatan tentang partai politik di Indonesia

12 Harus diingat bahwa para pemilih Golkar, anggota dan pengurus partainya adalah Islam ortodoks. Mantan ketua Golkar, Akbar Tanjung, dulunya anggota gabungan alumni HMI (Himpunan Muslim Indonesia, Association of Muslim Students). Ketuanya yang baru, Yusuf Kalla, berhubungan erat dengan NU. Oleh karena ini, Baswedan (2004: 674) menyebutnya ’partai yang ramah terhadap Islam’ (Islam-friendly). yang

(15)

dirinya sebagai sekuler, tetapi nyatanya mereka adalah partai Islam moderat. PKB terhubung langsung dengan Islam tradisionalis Nahdatul Ulama (NU), yang secara resmi mempunyai sekitar 40 juta anggota. PAN, bisa dikatakan antagonis PKB, mempunyai hubungan kuat dengan organisasi massa perkotaan Islamis modernis Muhammadiyah, yang mengaku mempunyai sekitar 35 juta anggota.

Dua tipe partai yang baru juga tercipta: Partai Demokrat (Democrat Party) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dibentuk pada tahun 2001, dan Partai Keadilan dan Sejahtera, PKS. Keduanya tidak mempunyai pendahulu pada tahun1950an dan Orde Baru. PKS ialah partai kader Islamis yang terorganisasi secara effisien. Pelanggaran aturan partai atau korupsi akan dijatuhi hukuman berat. Mayoritas kadernya adalah laki-laki muda dan intelektual, dan merupakan gabungan antara teknik manajemen dari Barat dan indoktrinasi Islamis yang unik. Berbeda dengan mereka, Partai Demokrat sangat bergantung pada Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam pemilihan presiden 2004, ia menggunakan PD sebagai kendaraan untuk menjadi presiden.

Dua dari empat partai besar pada tahun 1950an (PNI, Masyumi, NU dan PKI) mempunyai penerus langsung sekarang ini. Ada bukti yang jelas mengenai keberlanjutan antara PNI dan PDI-P, begitu juga antara NU dan PKB. Masyumi sekarang terpecah menjadi beberapa partai modernis, dan PKI tidak berlanjut sama sekali. Golkar meraup suara dari sumber-sumber yang beragam.

Meskipun ada beberapa perbedaan antara sekarang dan era 1950an, politik aliran masih tetap kental. Sistem kepartaian didasarkan pada beberapa konflik yang sama, yaitu antara politik Islam dan sekulerisme dan antara Islam tradisionalis dan

modernis. Tentunya merupakan kesalahan bila hanya menerapkan kerangka

Geertzianis ke politik kepartaian kontemporer dan mengabaikan perubahan sosial dan budaya yang fundamental. Garis yang membedakan Islam tradisionalis dan modernis telah menjadi lebih kabur, dan pembedaan antara abangan dan santri dapat

dipertanyakan karena ekspansi Islam ortodoks di seluruh kepulauan ini (proses ini dijuluki santrinisasi). Sementara di era 1950an proporsi jumlah abangan seharusnya berkisar setengah atau dua per tiga dari jumlah populasi Muslim; sekarang

(16)

antara tahun 1965 dan 1966. Kesetiaan primordial sekarang lebih lemah dibanding pada tahun 1950an karena perkembangan sosial-ekonomi, perbaikan fasilitas pendidikan, urbanisasi dan pengaruh media massa.

Sementara pada masa 1950an afiliasi suku atau agama menentukan kesetiaan dan perilaku dalam memilih, sekarang relasinya lebih kompleks. Liddle dan Mujani (2006) di dalam konteks ini telah menunjukkan bahwa untuk meramalkan pilihan individual para pengikut sehubungan dengan seberapa kuatnya seseorang menganut agamanya (sebagaimana tercermin dalam melakukan beberapa kegiatan keagamaan tertentu) sangatlah sulit sekarang ini. Namun, dengan menggunakan teknik dua variabel (bivariable) dan teknik regresi ganda (multiple regression techniques) , King (2003) menunjukkan bahwa ada kontinuitas yang luas pada hasil pemilu (1955 dan 1999) di tingkat kabupaten. Ia menghubungkan dukungan bagi partai-partai besar dan menemukan kesamaan yang mengejutkan bahwa kesetiaan fundamental terhadap partai, pada intinya dalam hal agama, masih tetap ada, walaupun dengan pergeseran sosial-ekonomi sekarang ini.

Namun, penggunaan kata abangan dan santri sekarang ini dapat dipertanyakan. Lebih masuk akal untuk membedakan antara ’pengikut Islam politis’ (semua yang Islam Ortodoks) dan ’sekularis’ (Kristen, sinkretis, dan Islam Ortodoks yang tidak tertarik dengan mempolitisasikan agama merea). Analisis regresi mungkin nantinya akan menuntun kepada korelasi yang lebih kuat daripada hasil penelitian Liddle dan Mujani (2006)13. Politik aliran yang sudah dimodifikasi ini berbeda dengan dua versi yang dipresentasikan oleh Geertz (1960 dan 1963) dan memperhitungkan variabel perkembangan sosial-ekonomi dan agama sejak era 1950an.

Hasil pemilu 1999 dan 2004 serupa dengan hasil di tahun 195514 dalam berbagai aspek. Tetapi aliran yang sekarang berbeda dan –yang lebih penting- partai tidak lagi merupakan gerakan sosial yang memiliki jejaring organisasi sendiri yang erat (Antlov, 2004a:12). Mereka biasanya dipimpin oleh pemimpin yang kuat yang berhasil

13 Lihat juga korelasi yang lemah antara keagamaan dan pengambilan suara di dalam Ananta / Arifin/ Suryadinata (2004). Dapat dikatakan, bahwa pembedaan antara

’Muslim’ dan ’non-Muslim’ yang tidak jelas menghasilkan kurangnya korelasi keagamaan dan pengambilan suara.

(17)

mensentralisasi pengambilan keputusan. Beberapa dari mereka seperti Megawati Sukarnoputri dan Abdurrahman Wahid, menikmati status kultus15. Di tahun 1950an, perselisihan antar faksi di dalam partai sendiri sangat sering disebabkan oleh

perbedaan ideologis, di mana sekarang percekcokan lebih mengenai gaya

kepemimpinan dan posisi. Partai pada zaman sekarang mengendalikan satuan tugas (milisi) mereka sendiri, dan para elit lebih sering menjauhkan diri dari politik partai oleh karena kedangkalan programatis16. Pada pemilu 1955, pengaruh politik uang lebih tidak nampak jika dibandingkan dengan sekarang. Kandidat untuk posisi-posisi di partai dan parlemen tidak harus membayar untuk dinominasikan. Walaupun pendanaan partai pada tahun1950an dalam banyak hal ternodai oleh korupsi atau pengaruh yang dipertanyakan17, politik tidak berhubungan dekat dengan bisnis seperti sekarang ini. Terlebih lagi, partai di tahun 1950an bergantung pada jejaring di tingkat perdesaan dan mengharapkan dukungan aktif dari elit-elit desa18. Sekarang, hubungan jejaring dalam bentuk yang berbeda masih ada, tetapi identifikasi secara langsung dengan pemimpin partai melalui media massa telah meningkat cukup besar.

Pengamatan demikian telah digarisbawahi oleh sejumlah survei yang diadakan selama beberapa tahun belakangan ini19. Survei tersebut menunjukkan bahwa transformasi telah terjadi. Mereka menggambarkan, sebagai contohnya, kesetiaan pada partai berkurang sebagai konsekuensi dari pengikisan wilayah sosial. Satu laporan dari Asia Foundation (2003), misalnya, menunjukkan bahwa, dengan merujuk pada pemilu

15 Cf. dari sini dan juga berikutnya: Fealy (2001: 102ff)

16 Hampir semua pegawai negeri, termasuk atasan dan para hakim dan kejaksaan, adalah anggota partai. Hanya anggota polisi dan tentara yang tidak diperbolehkan untuk menjadi anggota di partai. Ketika seseorang tidak menjadi anggota partai secara formal, selayaknya ia dinilai dari latar belakang perkumpulan pribadi dan citranya’ (Feith, 1962: 124)

17 Pendanaan PNI dengan hubunganya dengan birokrasi negara, dipertanyakan secara spesifik (Feith, 1957; 26-27; Rocamora, 1975: 112ff). Feith menduga bahwa PKI mendapatkan dana dari luar negeri, sementara partai-partai Muslim lainnya

memanfaatkan relasinya dengan pemilik tanah, petani karet, perajin batik, dsb. NU dulu dikatakan sangat miskin. Dengan ‘modal sosial’ pimpinannya, yaitu hubungan sosial dan politik di sekitar pedesaan, modal keuangan menjadi tidak terlalu penting (Feith, 1957: 28).

18 ‘Partai-partai yang tidak mampu untuk membangun hubungan ekstensif di tingkat perdesaan, dan mengharapkan untuk melakukan pendekatan melalui media massa, akhirnya tidak sukses- walaupun mereka mempunyai modal finansial yang cukup dan keuntungan dari kedudukan di pemerintahan’ (Feith 1957, 26).

(18)

parlemen, ada proporsi yang tinggi dari non-identifikan atau ’pemilih mengambang’ di antara para pemilih (Asia Foundation 2003: 100). The International Foundation for Election System dalam survey nasionalnya menemukan bahwa 40,2% dari mereka yang memilih Golkar di pemilihan parlementer tahun 2004 cenderung memilih Susilo dan bukan kandidat resmi dari partai itu, yakni Wiranto, di tahap pertama pemilihan presiden. 23,7% pemilih PDI-P memilih Susilo, dan 22,7% dari PPP menjadikan Amien Rais sebagai pilihan mereka, dan bukan kandidat yang ditentukan oleh

partainya, Hamzah Haz. 40% anggota PBB, yang seharusnya Islamis, memilih Susilo. Survey IFES lainnya (IFES, 2004b) menunjukkan 84% dari semua yang memilih PBB, PBR, PKB dan PAN memilih Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla dalam pemilihan presiden tahap kedua dan dari 82% yang memilih Golkar di pemilu nasional 2004 juga memilih Susilo dan Yusuf Kalla, walaupun pimpinan pusat resminya mendukung Megawati dan Hasyim Muzadi.

Survey yang diadakan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI, 2006) menunjukan adanya pengurangan identifikasi dengan partai politik dari pemilu 2004 sampai dengan awal 2006. Hanya 25% dari lebih 1200 warga Indonesia mengidentifikasikan diri dengan partai tertentu. Penemuan lainnya adalah bahwa 90% dari pemilik suara tidak sadar dengan kebijakan partainya mengenai import beras dan 94% tidak tahu tentang kebijakan partainya berkenaan dengan kenaikan harga bensin yang merupakan keputusan politik yang paling penting di tahun 2005.

Indikator lainnya mengenai proses dealiranisasi, yakni sebagai perpindahan dan pelemahan aliran Geertzian, adalah dinamika politik lokal. Pilkada20, yaitu pemilu untuk pemilihan pimpinan daerah (gubernur, bupati dan walikota) yang dimulai pada tahun 2005, menunjukkan bahwa pilihan pasangan kandidat oleh partai politik, keputusan pemilih, dan pembangunan koalisi antarpartai di berbagai kasus terjadi bukanlah berdasarkan kesetiaan jangka panjang dalam wadah sosial tertentu

melainkan merupakan hasil dari keputusan yang pragmatik. Banyak koalisi terbentuk hanya karena untuk memenangkan pilkada. Di Maluku, bahkan PKS dan PDS, yaitu partai Islamis dan partai yang seharusnya merupakan pembela kuat Kristen,

membentuk koalisi (Rinakit, 205; Djadijono, 2006).

(19)

Sebagai kesimpulan, pendekatan aliran masih terlihat berguna sebagai alat analisa seperti yang ditunjukan dari hasil pemilu 1999 dan 2004 dibanding dengan hasil tahun 1955. Tetapi, proses dealiranisasi, yang mencakup perilaku politisi dan pemilih, menimbulkan kebutuhan akan konsep yang lebih terperinci untuk dapat lebih mengerti kinerja internal partai politik dalam Indonesia kontemporer.

4. ’Filipinanisasi’: Indikasi Pergantian Partai

Dalam bagian ini akan dilakukan perbandingan dengan partai-partai di Filipina agar lebih jelas mengerti dinamika partai politik Indonesia yang sekarang dan mungkin juga di masa depan. Kedua negara sangat serupa dalam konteks sosial ekonomi, kualitas demokrasi (menurut Freedom House dan Politi IV), sejarah politik mereka (demokrasi di tahun 1950an, kemudian neopatrimonial otoritarianisme dan akhirnya re-demokratisasi) dan ciri utama dari sistem pemerintahan (presidensial).

Partai politik di Filipina memiliki ciri kurangnya dasar atau platform yang berguna, karena seringnya anggota berpindah partai, pembangunan koalisi jangka pendek, faksionalisme, dan juga sejumlah pembubaran dan kemunculan kembali (Rocamorra, 2000; Arlegue / Coronel, 2003; Teehankee, 2006). Partai-partai kebanyakan tidak aktif dalam masa antar pemilu, jumlah anggota yang rendah sama seperti rendahnya tingkat pengorganisasian. Sebagai hasilnya, bidang kepartaian sangat berliku-liku seperti labirin. Setiap tiga tahun, sangat banyak partai dengan nama yang serupa namun tidak bermakna, bersaing di dalam sistem pemilihan yang sangat kompleks. Mayoritas partai politik baru berumur beberapa tahun. Mereka umumnya diaktifkan atau didirikan oleh kandidat presiden yang menentukan pilihan calon kongres dan calon lokal bersama dengan beberapa pimpinan politik nasional lainnya dan membuat keputusan penting dengan cara otoriter. Di dalam parlemen, partai-partai ini menjadi kelompok kepentingan yang beranggotakan anggota-anggota parlemen, dan mereka hanya ingin mencari akses finansial yang mudah. Karena presiden tidak

mengendalikan mesin partai yang efisien, ia sangat tergantung kepada elit lokal untuk memobilisasi pemilih. Kampanye lebih terfokus pada para kandidat, bukan partainya sendiri. Alasan lain yang menjelaskan lemahnya kelembagaan mereka ialah

(20)

bertahan secara finansial pada waktu antara dua pemilu akan menggalang dana dari para anggota parlemen dari partainya, kandidat mereka dan sponsor. Elit politik di Filipina terkartelisasi: politikus saling berbagi keuntungan dari kedudukan mereka, mereka menghalangi pesaing baru dan menolak tuntutan bagi reformasi yang fundamental.

Di Indonesia, ada kecenderungan kesamaan dengan politik kepartaian yang ada di Filipina. Yang terlihat paling jelas, seperti yang akan dideskripsikan dengan secara rinci di bawah ini, adalah: munculnya partai presidensial, sifat otoriter partai yang cenderung terfaksionalisasi dalam kelompok-kelompok tertentu, menonjolnya tujuan yang murni materialistis (‘politik uang’), kurangnya program yang rinci, lemahnya kesetiaan terhadap partai, pembangunan kartelisasi dengan koalisi yang cair, dan munculnya elit lokal.

Munculnya Partai Presidensial dan Presidensialisasi Partai

Semenjak amandemen UUD, penerapan pemilihan presiden secara langsung dan penguatan kepresidenan dengan membuat impeachment lebih sulit dilakukan, badan eksekutif telah tumbuh menjadi lebih kuat dalam hubungannya dengan parlemen. Partai politik telah kehilangan kemampuan untuk memilih presiden di dalam MPR seperti yang dapat mereka lakukan di tahun 1999.

Pemilihan presiden secara langsung telah mencuatkan parpol gurem sebagai

kendaraan bagi para kandidat presiden. Contoh yang sangat mencolok adalah Partai Demokrat yang dimanfaatkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono21. Dalam sistem pemilihan tidak langsung sebelumnya, partai kepresidenan tersebut tidak mungkin dapat terbentuk. Partai Demokrat tidak memiliki program yang nyata dan tidak memiliki struktur organisasi yang kuat terutama di bawah level nasional. Dalam

(21)

Kongres tahun 2005, Kristiani Herawati, istri Susilo dan wakil pemimpin partai, dilaporkan telah memainkan peran dalam terpilihnya kakak iparnya sebagai ketua partai. PD mungkin akan tetap bisa bertahan asalkan Susilo tetap menjadi presiden22. Sebagai tambahan, dapat dikatakan bahwa beberapa partai –seperti PDI-P, Golkar di bawah Yusuf Kalla, PAN dibawah Amien Rais dan PKB dengan Abdurrahman Wahid- telah dipresidensialisasikan karena masing-masing mereka menyiapkan pimpinannya (atau kandidatnya yang ditunjuk) untuk pemilihan presiden berikutnya di tahun 2009 dan mengorganisasikan mekanisme partainya untuk tujuan tersebut23. Hasilnya adalah penokohan yang otoriter (authoritarian personalism) (lihat bawah)24. Partai Presidensialisasi akan cenderung mengorbankan fokus kebijakan, ‘(…) dan organisasi partai akan terpinggirkan dalam penetapan agenda partai dan pembentukan ideologi partai’ (Samuels 2002: 271). Pemilu presiden, terutama dengan sistem dua tiket dalam dua ronde, semakin mengaburkan perbedaan antar ideologi. Masing-masing pasangan calon presidenan dan wakil presiden mewakili tingkat keagamaan dan latar belakang geografis yang berbeda. Oleh karena itu, di dalam dua tahap pemilihan di tahun 2004, beberapa koalisi partai yang tidak terduga terbentuk. Poguntke dan Webb (2005) menyatakan presidensiliasi terjadi bahkan dalam sistem non-presidensial: pertama, oleh karena internasionalisasi politik modern yang disertai dengan ’bias eksekutif’ dalam proses politik; kedua, karena menurunnya stabilitas koalisi politik yang telah mengurangi tradisi kesetiaan kepada partai; dan ketiga, oleh karena meningkatnya kapasitas pimpinan politik yang memungkinkan mereka untuk mengambil jalan pintas di luar struktur partai mereka dan membujuk para pemilih secara langsung. Faktor-faktor ini juga mempengaruhi partai-partai dalam demokrasi yang baru.

22Tempo, 24-30 May 2005: Partai Nasional Demokrat: Pilihan ketua dari SBY.

23 Terlebih lagi, ada kecendungan untuk menominasikan artis terkenal seperti aktor sinetron sebagai kandidat legislatif. PDI-P mengangkat Desy Ratnasari, Marissa Haque, Deddy Sutomo dan penyanyi Franki Sahilatua dalam pemilu 2004. PKB mendaftarkan aktor-aktor seperti Rieke Dyah Pitaloka dan Ayu Azhari, dan Golkar menominasikan Nurul Arifin. Cara nominasi seperti ini adalah bagian dari politik di Filipina dengan mantan bintang film seperti mantan presiden Estrada atau kandidat presiden Fernando Poe.

(22)

Proses Internal: Penokohan yang Otoriter dan Faksionalisme

Penokohan yang otoriter sampai tingkat-tingkat tertentu dapat dikatakan sebagai warisan kebudayaan politik Orde Baru25. Organisasi partai yang tersentralisasi dalam pengorganisasiannya dan pengambilan keputusan dibuat seburam mungkin dan tidak demokratis seperti sistem otoriter. Penindasan di tahun 1990an memunculkan para pemimpin yang karismatik yang semestinya pro-demokrasi seperti Megawati,

Abdurrahman Wahid dan Amien Rais. Setelah tahun 1998 penokohan lebih diperkuat kembali oleh media massa, sistem presidensial dan aturan partai yang menguntungkan eksekutif pusat di Jakarta.

Di kebanyakan partai yang sekarang, keputusan penting seperti nominasi kandidat (Haris 2005: 9ff) diambil oleh beberapa anggota eksekutif inti yang umumnya setia kepada satu pemimpin yang karismatik. Proses pengambilan keputusan biasanya diteruskan dari atas ke bawah dan ke cabang-cabang lainnya26. Lebih lanjut, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dari kebanyakan partai tidak mengatur dengan jelas bagaimana kongres dan pemilihan dalam partai harus diatur (Notosusanto, 2005). Terkadang AD/ART ini bahkan diubah pada awal konvensi, dengan contoh yang terkenal yaitu konggres Golkar dan PDI-P pada akhir tahun 2005 dan awal tahun 200627.

Partai-partai politik besar sudah merancang undang-undang pemilu dan partai politik sedemikian rupa untuk keuntungan mereka sendiri. Mereka melarang kandidat individu atau non-partai dan mempersulit kandidat partai-partai kecil untuk bersaing. Partai lokal tidak diperbolehkan, kecuali di Aceh. UU no. 31 tahun 2002 menyatakan bahwa Dewan Pimpinan Pusat (DPP) suatu partai harus bertempat di Jakarta. Seluruh

25 Penokohan nantinya menguat oleh karena pemilihan presiden dilaksanakan secara langsung (cf. Mujani / Liddle, 2006).

26 Di bulan Agustus 2005, pengusaha terkenal Fuad Bawazier keluar dari PAN oleh karena PAN ’telah melanggar prinsip demokrasinya sendiri’ setelah Dewan Pusatnya membuat keputusan pada tanggal 22 Juli, yang menyatakan bahwa anggota tingkat cabang di provinsi dilarang untuk memilih eksekutif daerah yang tidak patuh dengan aturan di Jakarta (PAN split wider as co-founder tenders his resignation, Jakarta Post, 15.8.2005)

(23)

sistem representasi proporsional menguatkan kedudukan kepemimpinan partai pusat. Sistem representasi proporsional semi-terbuka yang baru saja diluncurkan membuat sangat tidak mungkin bagi seorang kandidat untuk terpilih melalui mekanisme ini. Sebagaimana diatur dalam UU no. 23 tahun 2003, hanya partai politik atau koalisi dari partai politik yang mempunyai minimum 3% kursi di parlemen atau 5% jumlah suara di pemilu parlemen 2004 diperbolehkan untuk menominasikan sepasang calon eksekutif. Pada tahun 2009 jumlah minimumnya akan menjadi 15% dari seluruh jumlah kursi dan 20% dari jumlah suara.

Hampir semua partai mempunyai pusat kekuasaan di Jakarta dan mengucilkan anggota yang membangkang. Oposisi dalam partai dipinggirkan khususnya di PDI-P dan PKB, terkadang tanpa mengindahkan AD/ART resmi partai. Anggota PDI-P yang terkenal, seperti Sophan Sophiaan, Indira Damayanti Sugondo, Meilono Suwondo, Arifin Panigoro dan Haryanto Taslam, dipinggirkan karena dianggap sebagai kritikus partai atau mengundurkan diri sebagai wujud kekecewaan terhadap kepemimpinan Megawati. Salah satu bentuk hukuman ialah ‘recall’ atau pemanggilan kembali28 anggota parlemen, yakni mengakhiri mandat mereka dan kedudukan mereka untuk digantikan orang lain29. Hak untuk melakukan ‘recall’gaya Orde Baru, digunakan kembali di tahun 2002. Lebih jauh lagi, Megawati masih mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan vital tanpa harus berunding dengan badan eksekutif partai (hak prerogatif). Konggres terakhir di Bali pada tahun 2005 ditandai dengan Megawati sebagai satu-satunya kandidat dan terbatasnya waktu untuk

memperdebatkan pidatonya pertanggung-jawabannya. Kritikus partai secara sistematis dibungkam sebelum dan selama konvensi30.

Dalam PKB, Dewan Penasihat (Dewan Syuro) memiliki posisi di atas dewan

eksekutif (Dewan Tanfidz). Bahkan para kandidat Dewan Tanfidz sebelumnya harus

28 Pasal 12 dari UU No. 31/2002 mengenai partai politik menyatakan bahwa anggota partai yang terpilih sebagai anggota legislatif bisa dikeluarkan dari badan legislatif apabila mereka kehilangan keanggotaannya di partai politik mereka sendiri.

29 Beberapa anggota parlemen meminta digunakannya kembali sistem distrik dengan tujuan untuk meningkatkan posisi tiap anggota parlemen sendiri dan mengimbangi kekuasaan pemimpin partai regional dan nasional. Pada saat yang sama mekanisme menarik mandat (recall) akan lebih sulit untuk diterapkan.

(24)

mendapatkan persetujuan Dewan Syuro (Notosusanto, 2005). Dapat dikatakan bahwa persengketaan-persengketaan besar di PKB umumnya diselesaikan dengan cara yang bermasalah. Konlifk internal yang lama antara ’PKB Kuningan’ di bawah

Abdurrahman Wahid dan Alwi Shibab dan ’PKB Batu Tulis’ yang dipimpin oleh Matori Abdul Jalil melumpuhkan PKB selama beberapa bulan. Matori akhirnya dipecat, Alwi Shibab diangkat menjadi ketua partai sementara. Di tahun 2004, Alwi Shibab dan Syaifullah Yusuf, yang saat itu adalah ketua dan sekretaris general, mendukung Susilo Bambang Yudhoyono selama kampanye pemilihan presiden dan nantinya mereka diberi imbalan dengan kedudukan sebagai menteri. Namun setelah itu mereka dipecat dan tidak diundang ke kongres partai di Semarang tahun 2005. Abdurrahman Wahid secara aklamasi diangkat sebagai ketua pelindung oleh Dewan Syuro; cara aklamasi ini tidak sesuai dengan aturan partai. Kemenakan laki-lakinya, Muhaimin Iskandar diangkat sebagai ketua partai lagi-lagi secara aklamasi dan tanpa pesaing31.

Pada kongres PAN yang terakhir di Semarang bulan April 2005, ketua partai dan pemimpin spiritual Amien Rais mengundurkan diri secara resmi dengan tujuan untuk mendorong peremajaan. Tetapi sekali lagi, Amien menjadi ’penasihat partai’, yang berarti pada kenyataanya ia yang akan memutuskan isu-isu yang penting. Ia menunjuk pengusaha yang tidak terkenal bernama Sutrisno Bachir sebagai ketua umum partai setelah ’meyakinkan’ kandidat lain untuk tidak ikut bersaing. Sutrisno adalah pengagum Amien dan penyandang dana PAN.

Berbagai contoh di atas mengindikasikan bahwa faksionalisme tersebar luas dan seringkali sebagai akibat dari otoritarianisme di dalam tubuh partai politik. Bahkan di pelbagai kasus, faksionalisme mengantar pada terbentuknya partai baru. PBB

terguncang oleh karena pertikaian antara kedua pendirinya, Ketua Yusril Ihza

Mahendra dan Hartono Mardjono; Hartono Mardjono adalah ketua umum Partai Islam Indonesia (PII)32. Di sekitar waktu yang sama, PAN menghadapi krisis yang serupa33. PBR, yang didirikan oleh ustadz terkenal Zainuddin MZ, adalah sempalan dari PPP dan juga terguncang pertikaian internal. PPP sekali lagi dalam bahaya perpecahan

31Tempo, April 19-25, 2005: Wahid’s Way; Muktamar Dinilai Tak Demokratis, Rekonsiliasi PKB Makin Sulit), Kompas, 20.4.2005.

32 Hartono Mardjono Dipecat PBB, Republika, 24.2.2001

(25)

karena adanya kelompok yang saling bertikai di dalamnya. Dalam PDI-P, Dimyati Hartono dan Eros Jarot, keduanya adalah kritikus Megawati, mendirikan partai politik baru, dan memberontak dalam kongres partai tahun 200534.

Ekonomi Partai: ’Politik Uang’

Kebanyakan pengamat politik tertarik dengan institusi-institusi seperti partai atau undang-undang pemilu dan cenderung menilai masa depan Indonesia secara optimis, terutama bila mereka dibiayai oleh organisasi luar negeri yang bekerja untuk

memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia. Kebalikannya, semua yang

menganalisa politik Indonesia dari perspektif politik ekonomi neo-Marxis mengamati dengan pendekatan Fungsionalis arus utama: ’(...) kebanyakan partai-partai ini bukanlah entitas politik yang terbentuk secara alamiah, yang menjalankan fungsi agregatif dan artikulasi, tetapi merupakan persekutuan taktis yang berasal dari kepentingan pemangsa yang sama. Meskipun perbedaan ideologi tertentu ada di dalam dan antar partai, fungsi mereka yang terpenting adalah sebagai kendaraan untuk merebut akses ke kekuasaan negara.’(Robison/Hadiz, 2004:228)

Menurut Robison dan Hadiz (2004a:258), politik di Indonesia pada zaman sekarang ’(...) semakin dipengaruhi oleh logika politik uang’. Tentunya, partai membutuhkan dukungan keuangan dari pengusaha swasta. Iuran anggota umumnya kecil, demikian juga pendanaan publik. Peraturan mengenai pendanaan partai ada, tetapi pelanggaran aturan itu jarang dihukum (Hadiwinata, 2006:106). Pengusaha bisa dikatakan

mendikte (atau ’mempengaruhi’) kedudukan partai di dalam berbagai permasalahan tertentu. Dalam tahun belakangan ini, beberapa pengusaha menjadi ketua partai seperti contohnya Yusuf Kalla (Golkar) dan Sutrisno Bachir (PAN)35. Penyandang dana sepeti milyuner Aburizal Bakrie bahkan diberikan imbalan dengan kedudukan sebagai menteri.

34 Pengusaha minyak Arifin Panigoro, mantan menteri investasi Laksamana Sukardi, Roy B.B Janis, Didi Supriyanto, Muchtar Buchori, Sukowaluyo Mintohardjo, Postdam

Hutasoit dan lainnya. Beberapa bulan yang lalu mereka mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP).

(26)

Dan ada banyak sekali indikasi bahwa kandidat terpilih karena kekuatan finansial mereka. Ini sangat berbeda dengan era 1950an. ’Politik uang’ dalam berbagai bentuk tidak dikenali pada zaman itu, tetapi pemilu 1955 terkarakterisasi dengan ’(...) penekanan yang sangat kecil pada arti uang (...)’ (Anderson 1996:29)36.

Bukan rahasia lagi bahwa sebelum penerapan pilkadasung pada tahun 2005 di tingkat propinsi, kabupaten dan kota, DPRD propinsi dan Kabupaten/kota mempunyai kuasa penuh untuk menentukan siapa yang akan menjadi gubernur, bupati atau walikota; kebanyakan persaingan untuk jabatan pemerintah daerah ini ditentukan oleh pembayaran uang yang sangat besar kepada para anggota dewan (Rifai, 2003). Penyelenggaraan pemilu secara langsung di tingkat-tingkat tersebut tidak

menghapuskan ’politik uang’, melainkan memindahkannya. Dalam pilkada pasangan harus membayar partai-partai politik mereka supaya dapat dinominasikan sebagai kandidat dan mereka juga harus menanggung biaya kampanye. Mereka menghabiskan kira-kira 10 juta dollar AS di tingkat propinsi dan 1,6 juta dollar AS di tingkat

kota/kabupaten (Rinakit 2005). Contoh yang paling baru adalah persaingan untuk posisi gubernur di Jakarta37. Untuk dapat dinominasikan sebagai kandidat resmi, seseorang harus mengeluarkan 20 juta dollar AS, ditambah biaya kampanye. Jumlah uang yang sangat besar ini adalah jumlah minimum yang harus ia dapatkan selama ia menjabat hanya agar dapat memperoleh kembali investasi pertamanya38.

Bahwa investasi membutuhkan kegiatan pencarian rente adalah fenomena yang juga banyak terjadi di parlemen. Situasi dalam DPR sama buruknya dengan situasi di DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Dalam laporan barometer korupsi 2004, sebagai contoh, Transparansi Internasional Indonesia (TI Indonesia) memberikan posisi nomor satu kepada DPR dan partai politik di dalam indeks korupsi

(dikategorikan ’sangat korup’), disusul oleh kantor bea dan cukai, pengadilan dan

36 Anderson mengutip gambaran kabinet kementrian sebelum 1949 ’dengan memakai celana pendek dan sandal’ dan berbeda dengan kongres yang begitu makmur di Filipina. Para kaum revolusioner ’(...) tidak jauh berbeda antara satu sama lain berdasarkan latar belakang sosial dan kemampuan ekonomi (...)’ (Anderson 1996: 28). Beberapa bentuk dari kesederhanaan ini masih ada di kalangan politikus di era 1950an.

37Tempo, 5-11 September 2006: The Lure of the Governorship

(27)

polisi, dan kantor pajak39. Sekretaris Jenderal TI Indonesia Emmy Hafild

mendaftarkan beberapa wujud korupsi yang mencakup upaya suap kepada anggota DPR yang berencana untuk memeriksa pengusaha yang aktivitasnya mencurigakan, aktivitas anggota dewan sebagai pialang untuk menolong perusahaan swasta untuk mendapatkan kontrak dari pemerintah, dan penghargaan finansial dari pegawai publik dalam “uji kelayakan dan kepatutan” (fit and proper test) di hadapan parlemen. Lebih jauh lagi partai politik digunakan oleh koruptor dari rezim sebelumnya sebagai tempat berlindung dari proses pengadilan korupsi40.

Pada awal bulan Oktober 2006, kelompok kerja DPR tentang penegakan hukum dan administrasi daerah menyarankan bahwa pemerintah seharusnya merehabilitasi nama baik pimpinan daerah dan anggota dewan yang terkait kasus korupsi. Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa sebanyak 55 kasus korupsi yang melibatkan 350 pejabat umum dan penegak hukum diajukan ke pengadilan negeri mulai dari Januari 2005 sampai Juni 2006, dan sekitar 1.200 anggota dewan daerah telah dijadikan tersangka, diputus bersalah dan dihukum karena korupsi dari tahun 1999 sampai akhir 200441.

Merenggangnya Hubungan antara Partai dan Pemilih: Platform yang Lemah

dan Berkurangnya Kesetiaan terhadap Partai

Kebanyakan partai mempunyai platform yang tidak jelas. Di antara 48 yang diterima secara resmi pada tahun 1999, delapan partai mendefinisikan diri sebagai Islamis, lima berdasarkan pada Pancasila42 dan Islam, 31 hanya berazaskan Pancasila, dua berazas Pancasila dan faham lainnya (demokrasi sosial atau Marhaenis) dan dua

39 Dewan, partai-partai ‘paling korupsi’, Jakarta Post, 10.12.2004.

40 Dewan, partai-partai ‘paling korupsi’, Jakarta Post, 10.12.2004.

41 Government told to get tough on corrupt lawmakers, Jakarta Post, 7.10.2006; House calls for halt to graft trials of local leaders, Jakarta Post, 11.10.2006.

(28)

lainnya eksklusif hanya pada faham lainnya (PUDI dengan ’demokrasi agama’ dan PRD dengan ’demokrasi sosial kerakyatan’) sebagai ideologi mereka (Suryakusuma, 1999: 592 dan 596). Enam partai memakai gambar banteng dengan latar belakang merah sebagai simbol mereka, menandakan Marhaenisme, yaitu Sukarnoisme; tetapi partai-partai ini lebih memilih untuk dilihat sebagai partai Pancasilais. Pada tahun 2004, dari 24 partai yang bersaing dalam pemilu parlemen, 13 memilih Pancasila sebagai dasar ideologi mereka, lima Islam, dua Marhaenisme dan empat partai kecil lainnya berazaskan gabungan Pancasila dan UUD 1945, atau Pancasila ’Keadilan dan Demokrasi’, atau Pancasila yang berdasarkan dengan kekeluargaan dan gotong royong (Djadijono, 2006). Bahkan partai Kristen yang kental seperti PDS tidak merujuk pada ajaran Kristiani, melainkan kepada Pancasila.

Akibatnya, partai-partai utama di Indonesia dalam esensinya bila tidak Islamis maka sekuler dengan merujuk pada ideologi mereka, yaitu didasarkan pada Pancasila. Tetapi bahkan partai Islamik lazimnya tidak menentang prinsip-prinsip dalam Pancasila, yang diartikan tidak jelas dan tidak memadai sebagai platform partai politik. Partai Sukarnois menambahkan ‘Marhaenisme’ kedalam agenda utama mereka, yang mendenotasikan – sekali lagi dengan secara umum – komitmen untuk mewakili ’orang kecil’ (dilambangkan sebagai Marhaen, petani yang Sukarno konon pernah temui). Sehingga kebanyakan partai bersaing untuk posisi tengah. Pada hakekatnya partai Islamis seperti PAN dan PKB telah memilih platform netral sehubungan dengan keagamaan; bahkan partai Islamis seperti PKS tidak bersedia memainkan kartu Islamnya selama pemilu, melainkan memusatkan perhatiannya kepada permasalahan-permasalahan seperti pemberantasan korupsi.

Dalam konteks perkembangan global, dangkalnya platform-platform ini tidak mengejutkan. Setelah jatuhnya komunisme, selama krisis demokrasi sosial dan berkurangnya polarisasi politik di banyak negara Barat, program partai telah

(29)

Indonesia, Golkar dan PDI-P adalah versi partai catch-all (partai tanpa pandang bulu) yang paling terlihat jelas.

Platform yang lemah mengindikasikan bahwa hubungan antara partai dan pemilih menjadi lemah dan pengakaran partai di wilayah sosial tertentu berkurang. Menurut survey nasional yang dilakukan Asia Foundation, ditemukan bahwa hubungan antara pemilih dan partai kebanyakan bersifat ’emosional’ dan tidak didasarkan pada pengetahuan pemilih yang mendalam tentang platform partai secara spesifik: ’Tidak adanya preferensi partai yang luas (di kalangan para pemilih), selain berdasarkan pada identifikasi emosional, dapat dijelaskan dengan fakta bahwa kebanyakan warga Indonesia tidak tahu perbedaan di antara partai-partai politik. Dua pertiga pemilih (66%) mengatakan mereka berpikir bahwa perbedaan antara partai politik tidak ada.’ (Asia Foundation 2003:100).

Setelah pemilu, pemilih di Indonesia tidak tertarik untuk mengetahui kegiatan sehari-hari partainya dan tidak memiliki informasi tentang penetapan kebijakan partai. Kampanye kurang berisi. Pemilih kebanyakan tidak memilih partai politik berdasarkan platform partai.

Hubungan Kolusif di antara Partai-partai: Kartel dan Pergeseran Koalisi

Dalam artikel yang sering dipakai sebagai referensi utama oleh para akademisi, Katz dan Mair (1995) menggaris-bawahi tentang bagaimana “partai tanpa pandang bulu” di Eropa Barat telah berubah menjadi partai dalam satu kartel. Partai-partai kartel

bersimbiosis dengan negara; partai-partai kartel semakin jauh dari masyarakat dan dikuasai oleh pejabat publik. Para aktivis partai hanya mempunyai sedikit pengaruh dalam prosedur pengambilan keputusan, sementara kampanye dalam pemilu diatur oleh ahli-ahli profesional43. Partai-partai ini bersama-sama membentuk suatu kartel untuk mencegah munculnya pesaing baru; sehingga mereka bisa membagi

(30)

keuntungan yang dapat diperoleh dari suatu kedudukan tertentu. Slater (2004) melihat fenomena yang sama di Indonesia. Beberapa indikasi dari keberadaan kartel adalah terbentuknya koalisi pelangi, kurangnya oposisi yang terorganisir di kebanyakan parlemen, dihindarinya pengambilan suara secara terbuka dan kurangnya kehendak untuk memberantas korupsi. Menurut Slater (2004: 75ff), ketika posisi kartel terancam bahaya akibat kebijakan yang tidak jelas yang dibuat oleh Presiden

Abdurrahman Wahid, yang mulai memecat menteri dan pada akhirnya juga mencoba untuk membubarkan Golkar, elit-elit politik bersekongkol dan bereaksi dengan meminta pertanggungjawaban dan akhirnya menurunkan Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenannya.

Kartel juga merupakan hasil dari sistem kepartaian yang terfragmentasi dengan mayoritas yang tidak jelas44. Abdurrahman Wahid dipaksa untuk membentuk koalisi besar-besaran pada bulan Oktober 1999 karena partainya hanya memperoleh 12,6%45 dari seluruh suara. Setelah tumbangnya pemerintahan Abdurrahman Wahid pada bulan Juli 2001, Megawati bergantung pada dukungan dari sejumlah partai-partai yang kemudian diberi imbalan posisi di kabinet. Susilo Bambang Yudhoyono tidak punya dukungan partai yang kuat karena PD hanya memperoleh 7,5% suara46. Setelah Yusuf Kalla menjadi ketua umum Golkar pada bulan Desember 2004 dan

44 Bisa jadi, fragmentasi sistem kepartaian di Indonesia bukanlah akibat dari sistem proporsional tetapi adalah penyebabnya. Pemilihan sistem ini setelah kemerdekaan dan kemudian lagi di tahun 1998/99 disebabkan oleh tingginya jumlah aktor politik yang relevan. Penggunaan sistem mayoritas mungkin dilakukan bila hanya ada dua pemain besar (Nohlen 2004: 408 dan 415ff).

45 Koalisi secara umum tidak didasarkan pada kontrak yang jelas menggambarkan tujuan pemerintah dan kepentingan khusus partai politik yang menjadi anggota koalisi tersebut. Kerjasama antarpartai sangat cair dan sangat bergantung pula pada perebutan

kekuasaan antarpartai tersebut.

46 Ia kemudian berusaha untuk mengkooptasi partai lain. Namun sebelum putaran kedua pemilihan presiden, Golkar, dibawah kepemimpinan Akbar Tanjung, memutuskan untuk berpihak dengan Megawati, walaupun Yusuf Kalla adalah pasangan Susilo. Setelah kemenangan Susilo dan Yusuf Kalla, polarisasi yang nyata terjadi antara “koalisi rakyat” Susilo yang terdiri dari PD, PAN, PPP, PKS, dan juga partai kecil lainnya yang

berkelompok dibawah faksi ‘Bintang Pelopor Demokrasi (BPD), dan ‘Koalisi

(31)

mengarahkan partainya untuk mendukung pemerintahan Yudhoyono, barulah ia meraih mayoritas suara di DPR.

Kesulitan pembentukan koalisi sering terjadi dalam sistem presidensial, terutama ketika hal ini disertai dengan sistem multipartaisme. Persengketaan yang tidak terselesaikan antara Eksekutif/Legislatif tekadang bisa muncul sebagai akibat dari situasi ini (Mainwaring 1993). Di Indonesia, kecenderungan ini membawa parlemen ke situasi kemandegan pada tahun 2001 selama proses permintaan

pertanggungjawaban terhadap Abdurrahman Wahid yang berlangsung sangat lama; kemandegan ini terulang kembali pada akhir tahun 2004. Tetapi kelumpuhan semacam ini kemudian memicu terbentuknya koalisi baru untuk menyelamatkan logika sistem kartel yang mendasarinya.

Perubahan kepemimpinan yang mendadak dalam tubuh Golkar pada akhir tahun 2004 bisa diartikan sebagai gerakan untuk menyelamatkan posisi yang menguntungkan di Jakarta, yaitu posisi menteri47. Manuver delegasi partai untuk memilih wakil presiden, Yusuf Kalla, dan menyingkirkan Akbar Tanjung menunjukkan kuatnya posisi politisi yang dipilih langsung dan mengingatkan kita pada sifat oportunis para anggota parlemen di Filipina, yang berpindah ke kubu presiden baru segera setelah pemilu usai48. Sekarang muncullah seorang presiden yang (seharusnya) kuat dengan dukungan mayoritas di parlemen. Tetapi pola hubungan yang stabil antara ‘pemerintah’ melawan ‘oposisi’ belum dikembangkan. Juga di banyak DPRD

kabupaten dan propinsi, oposisi terhadap kartel hanya dapat diorganisir oleh segelintir anggota dewan49.

Indikasi yang paling jelas dari organisasi partai politik yang berkarakter kartel ini ialah mekanisme pengambilan keputusan yang aneh yang dinamakan ‘musyawarah dan mufakat’, yang mendominasi di parlemen Indonesia. Sesuai dengan Peraturan

Tata Tertib DPR-RI, 2001, kebanyakan keputusan dalam rapat komisi dan pleno yang melibatkan para pembuat undang-undang ini diambil secara mufakat, bukan dengan

47 Tentang peristiwa ini lihat Tomsa (2006a:17ff)

48 Tapi tidak seperti politisi Filipina, anggota parlemen di Indonesia hampir tidak pernah berganti partai, setidaknya di tingkat nasional.

(32)

pemungutan suara. Mekanisme ini menyebabkan banyak kemandegan dan membuat sangat sulit bagi publik dan bahkan peneliti politik untuk mencoba melacak sikap awal dari partai tertentu terhadap isu politik tertentu (Sherlock, 2005). Bahkan bila partai mengekspresikan sudut pandang mereka secara terbuka, mereka sering kali dengan tanpa dapat diduga bergeser ke posisi yang berbeda. Dalam DPR, sebagai contohnya, pemotongan subsidi bahan bakar tadinya ditentang oleh PPP, PKS, PAN dan PKB, tetapi pada akhirnya partai-partai ini mengalah. Taktik ini, pertamanya beroposisi tetapi kemudian mau bekerjasama sering kali digunakan seperti terlihat dalam hal penyidikan terhadap impor beras dari Vietnam, dengan PKS sebagai satu-satunya pengecualian, dan juga seperti dalam hal pembelian 32 kendaraan perang buatan Perancis tanpa didahului dengan penawaran publik. ‘Forum Masyarakat Peduli Pemimpin Indonesia” (Formappi) kemudian menyatakan bahwa anggota parlemen menyukai perdebatan-perdebatan yang berlangsung lama, seolah-olah akan

melakukan tindakan dan berbicara menentang kebijakan pemerintah, namun pada umumnya mendukung RUU yang dikritiknya itu setelah ada kesepakatan di belakang layar50.

Munculnya Bos Lokal Baru

Jatuhnya pemerintahan Orde Baru (di mana kepala daerah diangkat oleh Mendagri) dan desentralisasi administrasi dan politik telah memperkuat elit lokal. Penyerahan wewenang politik ke tingkat kabupaten dan, sebagai konsekuensinya, anggaran daerah yang melonjak, membuat politik lokal menjadi lebih kompetitif dan posisi politik di daerah lebih menarik. Neo-patrimonialisme terpusat ala Orde Baru dengan Suharto sebagai tokoh utama digantikan dengan neo-patrimonialisme yang terdesentralisasi dengan beragam jejaring yang saling berkaitan antara patron di tingkat nasional dan daerah.

Politik lokal yang tadinya dikendalikan secara ketat oleh rezim militer di bawah Orde Baru setidaknya sampai awal 1990an, semakin ditandai dengan ‘jejaring pemangsa’ (Robison/Hadiz, 2004) dan mungkin akan berkembang menjadi “bosisme” secara

(33)

terang-terangan (Sidel, 1999). Walaupun pimpinan pusat partai dapat mendikte kebanyakan keputusan tentang isu kebijakan dan dapat mendorong kepentingan mereka melalui kandidat mereka di DPR nasional dan eksekutif tingkat pusat, tarik menarik antara Jakarta dan daerah sudah biasa terjadi di tingkat yang rendah (Choi, 2004).

Hubungan klientelis yang lebih sering terjadi untuk keuntungan material, dalam hal ini uang, menyebar. Bahkan sebelum diadakannya pilkada, premanisme politik dan “politik uang” telah meningkat (Choi, 2004)51. Sejak itu, kegiatan satuan tugas partai telah berkurang52. Kekerasan politik selama kampanye sejak tahun 2004 tidak terjadi secara meluas dan sistematis seperti di Filipina. Namun tetap saja “jago” lokal muncul. Di beberapa daerah kombinasi desentralisasi, terbukanya akses baru untuk mendapatkan keuntungan dari jabatan di pemerintahan, dan penekanan kembali pada identitas daerah atau budaya telah berkembang.

Pilkada tidak saja telah memperkuat namun juga memperlemah pimpinan-pimpinan partai lokal dan daerah karena banyak kandidat yang dipilih berasal dari lingkungan pegawai negeri sipil (PNS) atau pengusaha yang tidak memiliki hubungan yang kuat dengan partai, walaupun hak nominasi dipegang oleh partai politik. Seringkali

kandidat tersebut sebelumnya bukan anggota partai itu, atau dia tadinya anggota partai A namun mencalonkan diri sebagai kandidat partai B. Pada tingkat ini, kandidat yang populer akan mencari partai yang dapat menawarkan mereka kesempatan yang paling

51 Satuan tugas “Islamis” sama menonjolnya setidaknya di Jogjakarta dengan satgas brutal dan rusuh (sayap paramiliter) PDI-P yang berkuasa sekarang ini . Milisi

berorientasi Islam mecakup Gerakan Pemuda Ka’bah yang memiliki hubungan dengan PPP secara longgar dan Front Pembela Islam (FPI) yang menyatakan dirinya berasosiasi dengan beberapa kelompok politik Islam. Di Sumatera Utara, premanisme umumnya adalah wilayah dari organisasi pemuda/criminal Order Baru seperti Pemuda Pancasila yang awalnya dibentuk untuk membantu militer menghadapi PKI pada tahun 1960-an dan pesaing lokalnya yang kuat, Ikatan Pemuda Karya (IPK). Sejumlah anggota organisasi semacam itu saat ini menjabat menjadi anggota DPRD di provinsi ini. Dua telah memenangkan pemilu bupati dan walikota pasca Suharto di Sumatera Utara (Hadiz 2004: 715). Lihat juga tentang elit-elit lokal baru ini dalam Widodo, 2003.

(34)

baik, dan pelembagaan partai pada tingkat lokal dan daerah jauh lebih lemah dari tingkat nasional di Jakarta. Kantor-kantor partai misalnya, pada umumnya tidak aktif di masa antara satu pemilu dan pemilu selanjutnya53.

Pada tingkat akar rumput, partai politik seringkali tidak memiliki kandidat yang cukup populer (dalam artian kaya). Pilkada kemudian menjadi arena bagi kaum birokrat yang memiliki banyak koneksi dan pengusaha kaya yang diuntungkan dengan proses lelang pencalonan oleh partai yang lemah54. (Mietzner 2005 and 2007). Konstelasi ini memperkuat kecenderungan dealiranisasi dan memperkaya oligarki lokal yang baru muncul.

Sebagai kesimpulan, elit lokal dan daerah baru telah muncul. Sampai tingkatan tertentu mereka dikendalikan oleh para politisi di Jakarta dan seringkali tidak identik dengan pemimpin partai di tingkat lokal dan daerah yang telah mapan. Sehingga pemberdayaan bos lokal baru belum separah yang terjadi di Filipina. Elit lokal dan daerah belum menimbulkan dampak yang besar pada tingkat politik nasional di DPR atau di tingkat DPP. Dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) tidak sepenting DPR. Lebih jauh lagi, delegasinya tidak diperbolehkan untuk menjadi anggota partai politik.

5. Kesimpulan

Perbandingan kedua sistem partai politik Indonesia pada tahun 1950an dengan yang sekarang di Filipina membantu memperjelas dua tipe dinamika yang membentuk sistem kepartaian di Indonesia sejak tahun 1998: politik aliran yang masih berpengaruh sampai sekarang dan efek erosi Filipinanisasi.

Pemilu nasional pertama tahun 1955 menghasilkan struktur sistem kepartaian yang berbasis aliran. Selama periode demokrasi terpimpin (1959-1965) beberapa

perbedaan mendasar semakin mendalam, yang memicu perang saudara. Selama

53 Komunikasi pribadi dengan Michael Buehler, Jakarta 7.10.2006

(35)

periode Orde Baru (1965/66-1998), oposisi ditekan dan politik aliran juga ditekan, namun akar permasalahan yang menyebabkan konflik sosial tidak dientaskan. Walaupun selama 40 tahun otoritarianisme dengan efektif membatasi kebebasan berorganisasi partai politik, banyak partai lama memasuki kembali ranah politik setelah tahun 1998. PKB, yang pendahulunya adalah partai NU tahun 1950an,

berbasis jejaring besar pesantren yang kebanyakan berada di daerah pedesaan dengan kepala sekolahnya yang karismatis, yakni sang kiai, dan PDI-P (1955: PNI) adalah partai sekuler yang mampu bertahan dengan dukungan karisma mantan presiden Sukarno yang luar biasa. Masyumi yang modernis sekarang memiliki beberapa penerus (PBB, sebagian PPP, PAN, dan sebagian PKS).

Aliran pada umumnya masih mendasari sistem kepartaian, walaupun bentuk sistem

kepartaian saat ini berbeda dengan tahun 1950an. Pembedaannya bukan lagi antara abangan dan santri (sistem Geertz), tetapi antara sekularis dan pengikut Islam Politis.

Rekahan yang paling penting dalam struktur sistem kepartaian secara keseluruhan sejak tahun 1998 adalah antara partai sekuler dan Islam. Partai Islam sendiri terbagi dua antara yang moderat dan yang Islamis.

Agar dapat mengerti politik partai Indonesia sejak tahun 1998, kita harus

menggunakan beberapa kombinasi pendekatan. Mekanisme utamanya tetap dapat dijelaskan dengan merujuk pada pandangan tentang ‘aliran’. Namun dinamika politik sejak Suharto mengesankan proses dealiranisasi dan ‘Filipinanisasi’.

Partai-partai Filipina dicirikan dengan platform yang lemah, anggota sangat sering berpindah partai, koalisi berjangka pendek, faksionalisme, ketidakaktifan pengurus partai pada masa di antara pemilu, jumlah anggota partai rendah, dominasi kandidat presiden, dan politisi yang mencari keuntungan pribadi dalam kartel. Berbagai faktor menandai suatu proses yang mendekatkan kedua sistem partai ini: pertama,

meningkatnya partai presidensial atau partai yang terpresidensialisasi, contoh

Gambar

Tabel 1: Hasil pemilu untuk parlemen nasional (1955)
Tabel  3: Hasil Pemilu 1999 dan 2004 (DPR)*

Referensi

Dokumen terkait

Aturan adalah perangkat penting dalam segala tindakan dan perbuatan orang. Makin maju dan majemuk suatu masyarakat makin besar peranan aturan dan dapat dikatakan orang

Konfirmasi hasil penandaan dilakukan dengan metode kromatografi kertas menaik dengan fase diam Whatman 3MM dan fase gerak aseton serta NaCl fisiologis Hasil

Berdasarkan masalah diatas, yang akan diangkat adalah Bagaimana Sistem Pendukung Keputusan mampu menentukan installasi listrik yang terpasang di rumah pelanggan sudah

Pada penelitian ini, seseorang yang mengalami gangguan bipolar menjadi salah satu kelompok yang rentan terhadap efek stres yang ditimbulkan karena kondisi mood

Hasil penelitian menunjukan bahwa berdasarkan data tahun 2015 pelayanan pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Aceh Besar memiliki kecendrungan masuk ke daerah efisiensi dengan

    Dalam melihat perkaitan antara salah laku pelajar dengan gaya keibubapaan yang diamalkan hasil kajian menunjukkan bahawa faktor gaya keibubapaan yang diamalkan oleh para ibu

Kanker leher rahim atau lebih dikenal dengan nama kanker serviks, menempati peringkat teratas di antara berbagai jenis kanker yang menyebabkan kematian pada perempuan di

Pendekatan Metode Self Organizing Maps (SOM) Untuk Pengelompokkan Zona Musim Kabupaten Ngawi dan Evaluasi Ketepatan Zona Musim dengan Metode General.. Regression Neural