• Tidak ada hasil yang ditemukan

Feminisme dalam Sudut Pandang Realisme K

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Feminisme dalam Sudut Pandang Realisme K"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Eric S Wicaksono - 071211231026

Feminisme Realis – Perlawanan Terhadap Skeptisisme Dunia

Hal yang pertama kali terlintas dalam pikiran setiap orang tentang wanita adalah lemah dan emosional. Ini merupakan salah satu alasan masyarakat tidak pernah memberikan kesempatan kepada perempuan di beberapa bidang, terutama politik. Stigma yang berkembang dalam masyarakat mengenai politik tak lebih sebagai arena yang eksklusif bagi kaum laki-laki. Selain didominasi oleh kontribusi kaum laki-laki, bidang politik sendiri lebih sering menjadikan pengalaman pria sebagai kajian utamanya. Bidang pemerintahan seperti militer dan perumusan keputusan merupakan sektor yang dinilai lebih membutuhkan sifat-sifat yang diasosiasikan dengan maskulinitas, seperti pentingnya kekuatan, kebebasan, rasionalitas, penggunaan kekerasan bersenjata, dan patriotisme. Kajian lebih komprehensif dapat menggunakan kata patriotis yang sering dikonotasikan dengan pria yang melindungi negaranya. Wanita dan anak-anak dinilai sebagai objek yang harus dilindungi. (Tickner, 1992:6). Oleh karenanya kapabilitas kaum wanita sangat diragukan ketika memasuki urusan bidang tersebut. Meskipun kompetensi mereka memadai, namun wanita masih dianggap terlalu lemah dan emosional dalam mengambil keputusan penting di sektor maskulin tersebut. Pendekatan maskulin dalam hubungan internasional ini yang disebut oleh R.W Connel sebagai hegemonic masculinity (Tickner, 1992: 3), merupakan salah satu perwujudan kekerasan struktur yang hendak dikritisi oleh kaum feminis. Paper ini akan mengulas sekaligus mengkritisi bacaan tentang sudut pandang feminisme realisme dalam Hubungan Internasional.

(2)

Eric S Wicaksono - 071211231026

would not understand the issues at stake at the meeting. Women are not going to understand (missile) throw-weights or what is happening in Afghanistan or what is happening in human rights…” (Tickner, 1992: 2). Ketidakadilan dalam kesempatan serta kekerasan struktur yang dialami oleh kaum perempuan inilah yang menjadi alasan gerakan feminisme untuk mendekonstruksi tatanan politik internasional.

Tantangan selanjutnya yang harus dihadapi oleh kaum feminisme adalah membuktikan eksistensinya dalam ranah pemikiran ilmu Hubungan Internasional. Salah satu aliran utama dalam kajian Hubungan Internasional adalah realisme. Dalam perkembangannya realisme mendapat banyak kritik dan tantangan dari aliran teori kritis, termasuk dari feminisme yang mengkritisi budaya pemikiran barat, binary fixed opposition. Cara pandang tersebut yang memunculkan kesadaran relasi dominatif antara maskulin dan feminin yang meluas hingga ranah hubungan internasional. (Tickner, 8). Keseluruhan asumsi dasar Realisme tersebut bersumber dari hasil pemikiran pria. Dari karya-karya mereka secara implisit dan eksplisit muncullah dikotomi atau oposisi biner antar dua hal yang berkebalikan, yang satu memiliki nilai yang lebih baik dari yang lain. Laki-laki adalah bukan perempuan. Laki-laki diidentikkan dengan rasionalitas, kemandirian serta kekuatan (maskulinitas). Sebaliknya perempuan yang identik dengan emosi, ketergantungan dan kerapuhan (femininitas) mendapatkan nilai yang lebih rendah. Pandangan tersebut didengungkan semakin keras oleh banyak ahli yang berkeyakinan bahwa titik pijak untuk berteorisasi atau menganalisa dan mengerti Hubungan Internasional, dimulai dari pemahaman atas sifat dasar laki-laki. Melalui pemikiran tersebut, adalah kurang tepat untuk mengatakan bahwa Realisme merefleksikan cara pandang laki-laki, namun lebih kepada bahwa kategori dan konsep Realisme merefleksikan suatu gagasan maskulinitas yang dibentuk oleh kondisi sejarah dan budaya, yang akhirnya membentuk cara pandang untuk ’knowing the world’ melalui pengalaman yang maskulin. Implikasi serius dari pandangan di atas adalah bahwa sifat anarkis, individualis, egois negara dalam upayanya untuk mendapatkan kekuasaan adalah sah dan dapat dibenarkan. Teori feminisme yang berkembang paska berakhirnya Perang Dingin dan mengusung pertanyaan utama tentang signifikansi perang tiada akhir yang menjadikan wanita sebagai korban utama. Dengan keterlibatannya dalam diskursus positivis dan non positivis dalam debat besar ketiga, feminisme berusaha mendekonstruksi realisme yang eksklusif, state-centric dan metanaratif. Asumsi dasarnya bahwa dunia kontemporer hidup dalam dunia gender yang mana kualitas yang dikaitkan dengan maskulinitas seperti rasionalitas dan power dipandang lebih tinggi daripada kualitas yang dikaitkan dengan feminisitas seperti kapasitas dan intuisi (Tickner, 17).

(3)

Eric S Wicaksono - 071211231026

berhasil merubah lansekap keamanan internasional. Kaum feminis berpendapat keamanan lebih baik dalam bentuk yang lebih multidimensional, yang tidak hanya terbatas pada militer, namun juga pada politik, ekonomi dan ekologi (Tickner, 1992:22). Bagi kaum feminis, keamanan multidimensional tidak akan dapat tercapai selama masih ada relasi dominatif antar gender (Tickner, 1992:23). Pendapat ini dipertegas dengan pernyataan Fukuyama yang menilai jika wanita mendominasi dunia, maka dunia akan menuju ke arah yang lebih beradab, tidak agresif, tidak kompetitif, dan berkurangnya penggunaan kekerasan. Namun yang menjadi masalah adalah meski sudah banyak dilakukan sosialisasi akan kesetaraan gender dan mereduksi dominasi maskulinitas, peran laki-laki dalam politik akan selalu lebih daripada perempuan. Karena produk patriarkal yang disebutkan tadi justru berakar dari biologis manusia (Fukuyama, 1992:27).

Secara keseluruhan, agenda dan tujuan feminisme memang merupakan perjuangan yang patut didukung karena dapat mensejajarkan posisi pria dan wanita, terutama terkait dengan kenyataan bahwa kompetensi dan kemampuan yang dimiliki wanita sering melampui kapasitas pria. Namun menurut opini penulis sekaligus kritikan terhadap bacaan, feminisme ini masih perlu pengembangan lebih jauh lagi dengan konsep agenda yang lebih jelas, yaitu bagaimana cara konkret untuk mensejajarkan posisi dua gender tersebut. Selain itu, dekonstruksi feminis terhadap realis juga cenderung bias untuk diaplikasikan, terutama dalam hal skeptisismenya terhadap entitas negara. Dalam keduanya masih memfokuskan pada apa yang seharusnya didapatkan oleh kaum feminis, namun tidak memberikan soulsi konkret untuk menghentikan permasalahan kesetaraan gender.

Referensi :

Fukuyama, Francis. 1998. “Women and the Evolution of World Politics”. Foreign Affairs, 77, 5m, h 24-40

Referensi

Dokumen terkait

Di dalam menentukan harga pokok produksinya CV Serelos Palembang belum dapat mengklasifikasikan antara biaya bahan baku langsung dan tidak langsung sehingga perhitungan

Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap

Dari permasalahan diatas dilakukan penelitian tentang adanya jamur entomopatogen pada lahan pertanaman kacang panjang ( Vigna sinensis di di Desa Bukit Batu Jalur

Observasi dan wawancara dilakukan untuk memperoleh data tentang isi portofolio, kriteria penilaian isi portofolio, format penilaian isi portofolio, teknik penilaian isi

Tuhan, jika memang ada, dan maha adil, dan maha cerdas, seharusnya tau bahwa hal seperti ini bukanlah sistem yang ideal untuk menyortir orang masuk surga dan neraka mengingat

Dengan ini menyatakan bahwa usulan PKM-M dengan judul: Penanaman Sikap Mandiri dan Jiwa Kewirausahaan Anak-Anak Jalanan Kawasan Balai Kota Tegal Dengan Pemberian Pelatihan

Dalam memenuhi hak-hak pasien terhadap jasa pelayanan medik, maka dokter sebagai pemberi jasa pelayanan medik disarankan untuk memberikan informasi yang

Selain itu, ormas – ormas islam besar di indonesia, seperti NU, Muhammadiyah, FPI ataupun yang lainnya, mereka secara resmi tidak pernah mengeluarkan pernyataan