STUDI KASUS HUBUNGAN DIPLOMATIK
Oleh:
Nama : Cynthia Reza Ayu
NIM : A01112013
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Hubungan Diplomatik Dan Konsuler.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang hubungan diplomatik serta analisa tentang kasus hubungan diplomatik, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Universitas Tanjungpura. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna.
Akhir kata, saya mohom maaf yang sebesar-besarnya, jika selama penulisan karya ilmiah ini ada salah kata atau perbuatan yang menyinggng semua pihak. Saya berharap Allah SWT membalas semua kebaikan para pihak yang telah membantu. Semoga karya ilmiah ini membawa manfaat bagi ilmu pengetahuan. Amin.
Pontianak, Desember 2014
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan 4
BAB II PEMBAHASAN 5
A. Identifikasi Kasus 5 1. Kronologi Kasus 6 2. Penyelesaian Kasus 6
B. Analisis Kasus 7
BAB III KESIMPULAN 9
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Jan Osmanczyk, Hukum Diplomatik merupakan cabang dari hukum Internasionalyang terdiri dari seperangkat aturan-aturan dan norma-norma hukum yang menetapkan kedudukan dan fungsi para diplomat, termasuk bentuk–bentuk organisasional dari dinas diplomatic.
Dan menurut Syahmin A.K., Hukum Diplomatik pada hakikatnya merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar prinsip persetujuan bersama timbal balik dan ketentuanataupun prinsip-prinsip tersebut dimuat dalam instrumen-instrumen hukum baik berupa piagam, statuta, maupun konvensi-konvensi sebagai hasil kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan perkembangan kemajuan hukum internasional secara progresif.
dapat secara efektif melaksanakan tugas-tugas mereka, dengan pengertian bahwa ini akan diberikan pada dasar timbal-balik.
Kekebalan diplomatik merupakan bentuk kekebalan hukum dan kebijakan antar-pemerintahan yang diberikan kepada seorang diplomat. Pemegangnya dijamin keamanannya, dalam artian hukum negara asing tak berlaku baginya. Kebijakan ini tertuang dalam konsensus hukum internasional, Konvensi Wina. Kebijakan ini biasanya diberikan kepada diplomat yang bekerja untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau lembaga internasional lain yang diakui PBB. Kekebalan diplomatik bertujuan agar diplomat yang bertugas terhindar dari kesalahpahaman atau sikap pemerintah negara tujuan yang tidak ramah dan bahkan menolak kehadiran komunitas internasional.
Konvensi Wina 1961 menentukan dengan tegas keistimewaan diplomatik bagi negara pengirim dan kepala misi diplomatik akan dibebaskan dari segala macam bentuk pungutan dan pajak-pajak, baik bersifat nasional, pajak daerah maupun iuran-iuran lain terhadap gedung perwakilan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Konvensi Wina 1961, dan pengecualiannya adalah sebagaimana yang diatur Pasal 34 Konvensi Wina 1961.
Salah satu gangguan yang dapat saja terjadi terhadap kekebalan diplomatik, yaitu perlakuan atau kegiatan yang tidak menyenangkan dari pihak negara penerima dimana perwakilan diplomatik tersebut ditempatkan. Apabila hal ini terjadi, maka negara pengirim dapat mengajukan keberatan kepada negara penerima (receiving state) dan negara penerima wajib bertanggung jawab sepenuhnya atas hal tersebut.
Akibat ulah agen intelijen Myanmar yang telah menyadap Kedubes RI di Yangoon tersebut mendapat banyak kecaman dari pihak internasional. Komisi I DPR RI meminta meninjau ulang kembali hubungan diplomatik antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Myanmar. Anggota Komisi I DPR RI Djoko Susilo mengungkapkan pemeriksaan tim gabungan keamanan Indonesia di Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Yangoon, Myanmar, terungkap bahwa adanya alat penyadap yang ditemukan pada dinding kamar kerja Duta Besar RI untuk Myanmar. Ulah agen intelijen junta militer Myanmar itu merupakan tindakan tidak terpuji dan melanggar asas kepatutan dan etika dalam hubungan diplomatik. Tindakan ilegal itu menyalahi tata krama hubungan diplomatik, lanjut Djoko Susilo. Tindakan penyadapan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Konvensi 1961 dan kejadian ini sangat disesalkan sekali karena merupakan bukti kegagalan pemerintah Myanmar dalam melindungi hak kekebalan diplomatik dimana hal tesebut merupakan kewajiban dari negara penerima sebagaimana telah diatur dalam konvensi.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut diatas, peneliti dapat merumuskan permasalahn
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pertanggungjawaban negara atas pelanggaran hak Kekebalan Diplomatik ditinjau dalam Hukum Internasional (Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik)?
2. Bagaimanakah kasus penyadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Myanmar tahun 2004 ditinjau dari Konvensi Wina 1961?
C. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban negara atas pelanggaran hak Kekebalan Diplomatik ditinjau dalam Hukum Internasional (Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik)
2. Untuk mengetahui kasus penyadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Myanmar tahun 2004 ditinjau dari Konvensi Wina 1961
BAB II
PEMBAHASAN
A. Identifikasi Kasus 1. Kronologi
Kronologis atas kasus penyadapan alat komunikasi yang dilakukan oleh Myanmar sebagai negara penerima terhadap perwakilan diplomatik Indonesia adalah pelanggaran terhadap hukum internasional tepatnya pelanggaran atas Konvensi Wina 1961 yang menyatakan bahwa kedutaan asing tidak boleh diganggu gugat termasuk dalam hal berkomunikasi. Kasus penyadapan tersebut terjadi pada pertengahan tahun 2004 dan terungkap setelah datangnya tim pemeriksaan dari Indonesia. Tim tersebut terdiri dari perwakilan Direktur Keamanan Diplomatik Departemen Luar Negeri, tim Lembaga Sandi Negara, dan tim dari Badan Intelijen Negara.
Penyadapan yang terjadi di kantor perwakilan diplomatik Indonesia di Myanmar ditemukan di dinding ruangan Duta Besar Indonesia. Kasus ini terungkap dengan dua metode, yakni super ground (semacam sistem anti sadap) dan penurunan daya listrik. Jika daya listrik terjadi penurunan hingga mencapai 50 persen maka terindikasi terjadi penyadapan. Kasus yang terjadi di kantor perwakilan diplomatik Indonesia di Myanmar penurunan daya listrik mencapai 70 persen. Sedangkan alat sadap yang ditemukan terdapat pada saluran telepon Duta Besar Indonesia dan saluran telepon atase pertahanan.
Konvensi wina 1961 adalah sebagai pengakuan oleh semua negara-negara akan adanya wakil-wakil diplomatik yang sudah ada sejak dahulu. Konvensi Wina 1961 telah menandai tonggak sejarah yang sangat penting karena masyarakat internasional dalam mengatur hubungan bernegara telah dapat menyusun kodifikasi prinsip-prinsip hukum diplomatik khususnya yang menyangkut kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang sangat mutlak diperlukan bagi semua negara. Khususnya para pihak agar di dalam melaksanakan hubungan satu sama lain dapat melakukan fungsi dan tugas diplomatknya dengan baik dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional serta dalam meningkatkan hubungan bersahabat antara semua negara. Konvensi Wina 1961 membawa pengaruh besar dalam perkembangan hukum diplomatik. Hampir semua negara yang mengadakan hubungan diplomatik menggunakan ketentuan dalam konvensi sebagai landasan hukum dalam pelaksanaannya.
2. Penyelesaian Kasus
Kasus penyadapan terhadap KBRI di Yangoon, Myanmar telah menimbulkan rasa kekecewaan luar biasa yang di rasakan oleh bangsa Indonesia. Tindakan ilegal yang dilakukan oleh pemerintahan Myanmar telah menyalahi tata krama dalam hubungan diplomatikse bagaimana dituangkan dalam Konvensi Wina 1961 yang menyatakan bahwa gedumh perwakilan diplomatik kebal terhadap alat-alat negara penerima serta tidak dapat diganggu gugat. Tindakan ini mengidentifikasikan bahwa rezim penguasa di Myanmar tidak menghargai dukugan politik dan diplomatik Republik Indonesia selama ini dalam menghadapi tekanan dunia baik dalam forum internasional melalui PBB maupun dalam forum regional ASEAN.
oleh setiap bangsa. Penyelesaian tersebut juga dilandaskan pada prinsip yang utama di dalam penyelesaian sengketa internasional yaitu prinsip itikad baik(good faith).
B. Analisis Kasus
Di dalam Konvensi Wina 1961 pasal 1 (i) secara jelas memberikan batasan bahwa gedung perwakilan merupakan gedung-gedung dan bagian-bagiannya dan tanah tempat gedung itu didirikan, tanpa memperhatikan siapa pemiliknya yang digunakan untuk keperluan perwakilan negara asing tersebut termasuk rumah kediaman kepala perwakilan. Kelalaian dan kegagalan negara penerima dalam memberikan perlindungan terhadap kekebalan diplomatik merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap ketentuan konvensi, oleh karenanya negara penerima wajib bertanggung jawab atas terjadinya hal yang tidak menyenangkan tersebut.
Kelalaian dan kegagalan tersebutlah yang akhirnya memunculkan
tanggung jawab tersendiri yang dikenal sebagai “pertanggungjawaban negara”.
Salah satu gangguan yang dapat saja terjadi terhadap kekebalan diplomatik, yaitu perlakuan atau kegiatan yang tidak menyenangkan dari pihak negara penerima dimana perwakilan diplomatik tersebut ditempatkan.
Apabila hal ini terjadi, maka negara pengirim dapat mengajukan keberatan kepada Negara penerima (receiving state) dan negara penerima wajib bertanggung jawab sepenuhnya atas hal tersebut.
Dalam kasus insiden penyadapan perwakilan diplomatik yang terjadi adalah kasus penyadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Myanmar pada tahun 2004. Kasus penyadapan ini diketahui setelah Tim Pemeriksa dari Jakarta melakukan pemeriksaan di gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yangoon, Myanmar. Berdasarkan temuan mereka, penyadapan dilakukan melalui frekuensi telepon. Walaupun pihak KBRI tidak mengetahui secara jelas sudah berapa lama kantor kedutaan disadap.
Komisi I DPR RI meminta meninjau ulang kembali hubungan diplomatik antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Myanmar. Anggota Komisi I DPR RI Djoko Susilo mengungkapkan pemeriksaan tim gabungan keamanan Indonesia di Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Yangoon, Myanmar, terungkap bahwa adanya alat penyadap yang ditemukan pada dinding kamar kerja Duta Besar RI untuk Myanmar. Ulah agen intelijen junta militer Myanmar itu merupakan tindakan tidak terpuji dan melanggar asas kepatutan dan etika dalam hubungan diplomatik. Tindakan ilegal itu menyalahi tata krama hubungan diplomatik, lanjut Djoko Susilo.
BAB III
KESIMPULAN
1. Kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki oleh seorang wakil diplomatik didasarkan pada pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada wakil diplomatik dalam melakukan tugasnya denan sempurna.
2. Tanggungjawab negara lahir apabila negara melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum karena kesalahan atau karena kelalaiannya sehingga menimbulkan pelanggaran kewajiban hukum internasional.
DAFTAR PUSTAKA
A. K. Syamin,Hukum Diplomatik Suatu Pengantar, Amrico, Bandung. Arsensius.(2014).Diktat Hukum Diplomatik dan Konsuler.Pontianak Kovensi Wina 1961