• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Mendengungkan Suara yang Terbungkam 115 1 10 20171017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "View of Mendengungkan Suara yang Terbungkam 115 1 10 20171017"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

402 SUSASTRA

Dan kalau malam minggu, orang pos biasanya main gitar ... Dangdut biasanya. Instrumennya lumayan lengkap. Ada gitar melodi, drum, bass, suling, dan lain-lain. Tapi ... semuanya dengan mulut. [ 158)

Waiau begitu nampaknya sulit untuk tidak terbawa suasana dengan adegan mencekam dari 'penyekolahan' yang terjadi di Aceh. Beberapa paragrafyang menggambarkan kekejaman perang tak dapat terhindarkan dan paragraf seperti itu memastikan pada pembaca bahwa sebenamya kejadian di Aceh tidak \ucu sama sekali. Cara pandang ada\ah satu cara untuk membuat kejadian itu menjadi biasa sehingga para tentara-dan mungkin Alfian sendiri-dapat bertahan dalam keadaan seperti itu. Artikel tersebut paling tidak membuka sebuah perspektif lain tentang psikologi militer dan kemanusiaan tentara Indonesia yang melaksanakan tugas di Aceh.

Pembahasan tiga artikel di atas memberikan gambaran kasar ba­ gaimana penggunaan elemen prosa sastra di dalam laporan jurnalistik.

Imajinasi, kreatifitas, dan dedikasi jumalis berperan besar da\am mem­ buat hal itu. Imajinasi pasti bercampur dengan fakta, namun dalam hal yang tidak melanggar aturan pemakaian fakta: bukti konkrit harus jelas. Kreatifitas membuat perrnainan plot, urutan, dan kata-kata dalam ranah fakta menjadi mungkin. Dedikasi membuat data akurat yang menjadi basis setiap kata yang ditulis menjadi mungkin untuk ada.

Namun kita akan selalu tersudut pada suatu kenyataan bahwa pers bebas di Indonesia baru memasuki masa IO tahun-pasca reformasi. Di sinilah kita dibawa kepada kesadaran bahwa wartawan berkualitas den­ gan kemampuan imajinasi, kreatifitas dan dedikasi menjadi tenaga kerja minor di negeri ini. Ditambah lagi visi kapitalis media di Indonesia juga belum memungkinkan diterbitkannya lagi majalah semacam Pantau di negeri ini. Tapi buku ini mestinya membuat kita menjadi lebih optimis; temyata masih ada hibrida seniman-wartawan dan masih ada pula geliat pers Indonesia untuk menuju ke sana.

C,S'l'()

Mendengungkan Suara Yang Terbungkam

Herlin Putri

Universitas Indonesia

Judul Buku : Rahasia Bulan (Kumpulan Cerita Pendek)

Penyunting : Is Mujiarso

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Tahun Terbit : 2006

Jum/ah Halaman: 232 ha/aman Dimensi (p x I) : 135 x 200 mm

R

ahasia Bulan adalah antologi pertama kolaborasi cerpen bertema ke­ hidupan gay, lesbian, biseksual, dan transgender (GLBT) di Indonesia atau Homosexual Literature. Buku ini merupakan produk kesengajaan dari Is Mujiarso, editor yang juga ikut menyumbangkan satu cerpen ber­ judul "Taman Trembesi" yang menjadi cerpen pembuka. Sebagaimana yang diutarakan Is dalam kata pengantamya, enam belas cerpen dalam antologi ini terdiri dari berbagai varian yang akan membuat pembaca serasa tengah menyantap "gado-gado" (9]: mulai dari yang pop sampai yang "nyastra" banget dan ada pula yang tidak terlalu "nyastra" dan tidak terlalu "ngepop". Kisah yang menggelitik, penuh romansa hingga yang membutuhkan perenungan batin yang mendalam. Penulis-penulis yang menyumbang pun beragam, baik yang sudah memiliki nama di khasanah literatur kita, maupun mereka yang namanya masih terdengar "asing".

(2)

404 SUSASTRA

sosial, budaya, seksualitas, psikis, etnisitas hingga dimensi spiritualitas internal para tokoh yang berada di dalamnya. Misalnya pada cerpen "Dinding" karya Ade Amui yang kaya akan perlambang-perlambang yang menanyakan kesahihan moralitas buatan masyarakat. "Dinding" mengisahkanAdam atau Sang Penanti yang menunggu kehadiran Romi, kekasihnya. Kisah ini sebenamya merupakan perenungan Sang Tokoh (Adam) yang mencerminkan dialog-dialog serta gejolak dalam relung spiritualitas intemalnya. Dari cerita yang dipaparkan terlihat adanya benturan antara realitas seksualitas Adam sebagai seorang gay dengan nilai-nilai spiritualitas dan sosial-budaya yang ia yakini.

Adam dan Romi sendiri adalah dua narna yang secara metonimik mewakili laki-laki dan keduanya sudah memiliki 'perempuannya' mas­ ing-masing;Adam dengan Hawa sementara Romi dengan Juli. Perkataan Bunda yang datang menasehati Adam bahwa "Romi akan tetap bersama Yuli dan Adam akan selamanya bersama llawa" [128) menjadi peng­ galan simbolik dari nilai-nilai normatif yang mengharuskan hubungan heteroseksual. Secara menyeluruh, kisah cinta Adam dan Rom i mewakili penggambaran kisah cinta sesama lelaki (gay).

"Dinding" di sini adalah simbol dari nilai-nilai moralitas yang dianggap adiluhung dan "sakral untuk dirusak" (124). Nilai-nilai mo­ ralitas yang mensegregasi terang-gelap, baik-benar, nonnal-abnormal, moral-amoral, dan legal-ilegal. Dalam dua kutub tersebut, cerpen ini menggarnbarkan bagaimana supremasi pemaknaan diletakkan pada kubu pertama ( heteroseksualitas), sementara homoseksualitas sendiri diang­ gap "melanggar perundangan Tuhan" [ I 22). lronisnya, nilai moralitas sebagaimana disim bolkan oleh dinding yang tinggi dan le bar tak bertepi ini adalah sesuatu yang "tipis dan transparan seperti kulit ari, namun kasat mata" (124) , yang menyiratkan bagaimana rapuhnya moralitas yang dikonstruksi dan dibuat oleh masyarakat. Bahkan, moralitas ini cenderung hipokrit karena, seperti yang disimbolkan dalam cerita, Sang Pemimpin justru menjadi orang yang melubangi dinding tersebut. "Dind­ ing", pendek kata, sarat akan simbol-simbol yang menggelitik kita untuk mempertanyakan kebenaran dari moralitas itu sendiri.

Sebagai kumpulan cerpen yang mengusung ideologi yang lebih ber­ pihak pada kaum GLBT, sosok-sosok GLBT dalam antologi ini tidak Jagi ditempatkan sebagai tokoh sampingan, tetapi menjadi sosok yang

HERLIN PUTRI

405

memegang suara di setiap penceritaan. Hal ini berdampak pada pem­ bongkaran dan pencitraan kembali konsep homoseksualitas.

Pemelintiran citra baku dan pemahaman ulang ini dapat dilihat dalam cerpen "Merindu Randu" karya Indra Herlambang. Nama Indra Herlarn­ bang sudah barang tentu akrab di mata dan lekat di kuping kita semua. Seorang presenter dan aktor temama yang wajahnya sering menyapa kita melalui layar kaca. Namun, dalam ranah literatur lndra boleh dibilang baru. Terlepas dari hal itu, ccrpen "Merindu Randu" justru menjadi cerpen yang menghadirkan pencitraan yang paling berbeda tentang kehidupan gay. Ketirnbang mengeksplorasi kehidupan seksual gay secara habis­ habisan, Indra menampilkan hubungan Randu dan tokoh Aku sebagai sebuah romantic relationship yang tidak hanya mengejar nafsu semata. Kisah tokoh Aku dan Randu tidak hanya berisi adegan persetubuhan yang diumbar vulgar. Tengok saja penggambaran persetubuhan antara tokoh Aku dan Randu berikut:

Tubuh kami adalah menu sarapan sore itu.

Dan kami bercinta. Dan kami saling dekap tanpa banyak bicara. Seperti ini rasanya rumah. Memabukkan dalam nyaman. Sambil menyentuh hidungnya aku berjanj1. surga ini akan terus kunikmati. [109)

Indra tidak menerangkan secara detil bagaimana persetubuhan antara

tokoh Aku dan Randu. Adegan tersebut digambarkan dalam ungkapan

metaforik bagaimana tubuh keduanya ibarat menjadi "menu sarapan"

yang menyiratkan bahwa keduanya sangat menikmati hubungan tersebut.

Ungkapan ini hanya ditambah dengan kalimat-kalimat sederhana, "ber­

cinta tanpa ban yak bicara" yang memperdalam bagaimana keduanya larut

dalam adegan tersebut. Teknik ini adalah cara yang cerdas. Indra terasa

sekali mengedepankan kedalaman maknawi dan kekuatan imajinatif dari

sebuah ungkapan. Sehingga pembaca bisa membayangkan dan merasakan

bagaimana adegan persetubuhan ini memiliki makna yang dalam bagi

kedua tokoh tersebut. Tidak hanya nafsu, tetapi cinta, kasih, kepercayaan,

dan kehangatan layaknya "sebuah rum ah". Di sini, bentuk perasaan tokoh

(3)

406 SUSASTRA

bergeser menjadi homo-'philia' alias cinta pada sesama jenis.

Penulisan ulang seputar homoseksualitas terus terjadi melalui ungka­ pan-ungkapan metaforik sederhana dan bermakna dalam cerpen.

Rasa ini bukan kami yang minta. Karena urusan hati tidak sama dengan lampu, tidak bisa dinyalakan dan dipadamkan sewaktu-waktu. (110)

Kalimat pertama dari tokohAku di atas justru menghadirkan penjung­ kir-balikan logika. Tokoh Aku mengibaratkan bahwa homoseksualitas bukanlah ha! yang bisa dicerabut begitu saja ataupun hadir begitu saja. Hingga akhir cerita, "Merindu Randu" berhasil menghadirkan pencitraan homoseksualitas yang baru sebagai bentuk perasaan, hasrat, dan cinta yang sifatnya fitrah dan hakiki dalam diri manusia.

Pencitraan serupa juga kental terasa dalam cerpen "Rahasia Bulan" dari Clara Ng, novelis yang sudah melahirkan beberapa bestseller. "Rahasia Bulan" bercerita tentang seorang perempuan bernama Diana. Apakah Diana seorang lesbian dengan kekasihnya Estella? Tentu bukan karena ia memiliki suami dan seorang anak perempuan bemama Chantal. Diana adalah seorang biseksual.

"Rahasia Bulan" mengungkap sebuah pencitraan homoseksualitas yang secara simbolik dan implisit hadir melalui perbandingan antara heteroseksualitas (Diana dengan Yayang, suaminya) dan homoseksualitas (Diana dengan Estella, kekasihnya).

Cerpen ini pada dasamya menggambarkan keseharian Diana selama 24 jam, dimulai dari pukul tujuh pagi hingga pukul tujuh pagi lagi di keesokan harinya. Cerpen dibuka dengan prolog yang temyata adalah sebuah penggalan dari tulis.an Diana:

Aku adalah bulan yang mencintai matahari. Bulan mencintai matahari karena dia membutuhkan cahaya terang. Tan pa cahaya, bu Ian tidak akan pemah bersinar. Matahari hangat menggairahkan. Tapi, bukankah sewaja­ mya bulan mencintai matahari? Karena dalam putaran satu hari manusia pasti akan bertemu dengan matahari dan bulan (dengan pengecualian pada saat gerhana). Matahari melengkapi bulan dan bulan melengkapi matahari. Sama seperti siang melengkapi malam dan malam melengkapi siang. Yin Yang. Lingkaran maskulin dan feminin. Sempuma. [29)

HERLIN PUTRI 407

Perpindahan adegan ditandai dengan keterangan waktu. Dari pem­ bagian waktu ini kita diajak untuk menelusuri dan memungut satu demi satu fakta bahwa ada rutinitas dalam hidup Diana. Pagi Diana selalu sama seperti yang disimbolkan bagaimana kegiatan pukul tujuh pagi di awal cerita sama dengan kegiatan pukul tujuh pagi keesokan harinya di akhir cerita; jam weker berbunyi, Diana membangunkan Chantal, suaminya mandi lalu membaca koran sambil minum kopi. Rutinitas ini yang dirujuk sebagai "perputaran satu hari dirnana matahari pasti akan bertemu bulan".

Hubungan bulan dan matahari, lingkaran maskulin dan feminin, serta

Yin-Yang merujuk pada hubungan Diana dan suaminya, heteroseksualitas. Hubungan inilah yang dicitrakan sebagai hubungan yang bersifat habitual serta lahir semata-mata karena menjadi kewajaran dan ·sempurna kar­ ena berhasil memenuhi nilai-nilai norrnatif; sudah sewajarnya laki-laki menikah dengan perernpuan, menikah, dan rnernpunyai anak. Apakah Diana bahagia? Ya. Suami Diana, Ya yang, berusia em pat puluh tahun dan merupakan suami yang mapan dengan "hidup yang lurus-lurus saja, ber­ hati emas, berjiwa tu/us, tidak suka dugem, main cewek, minum-minum apa/agi narkoba" , [35). Dalam narasi pun Diana mengakui bahwa ia bahagia hidup bersama Yayang:

Bahagiakah Diana dalam perkawinannya? Tentu, dia sangat bahagia. Seratus persen. Tidak ada potongan diskon. No excuse. [38)

Tapi bahagia seperti apa? Kebahagiaan Diana bersama Yayang tak lepas dari sekadar pencapaian atas kesempurnaan nilai. Dalam satu hari, Diana dua kali bersetubuh. Siang dengan Estella, dan malam dengan suaminya. Meski tidak ditampilkan secara garnblang, riak-riak konflik batin dalam diri Diana tergambarkan melalui perbandingan saat ia ber­ sama Estella dan suaminya. Saat bersetubuh dengan Estella, ada rasa balance of power dan ketersalingan.

Mereka berdua masuk ke ruang tidur tamu.

(4)

408 SUSASTRA

Bibir-bibir mereka saling memagut. [ .. .). Waktu saling melumer ketika mereka saling bergerak, menggelosor, dan menghisap.

[ ... ]

Mereka berdua terkapar diranjang, terengah-engah. Mata terpenjam. [37]

Kata "saling" dan "berdua" menunjukkan bahwa hubungan ini ber­ sifat resiprokal; intersubjektivitas. Tidak ada objektivikasi. Bandingkan ketika narasi menceritakan hubungan Diana dengan suaminya yang dimulai dengan "kode" dari Sang Suami yang berkata, "Yang, kangen nih," [38) yang dipahami oleh Diana adalah bahwa "suaminya meng­ ingin.kan tubuhnya," [38). Meskipun tidak tampak di permukaan, hal ini menyiratkan bahwa ketika bersama suaminya, Diana berpindah menjadi objek untuk suam inya; Sang Suami yang menginginkan, sementara tubuh Diana adalah yang diinginkan. Berbeda dengan persetubuhan antara Diana dan Estella yang diakhiri dengan tidur pulas, sehabis bersetubuh dengan suaminya Diana justru tak bisa tidur, seperti masih ada yang mengganjal dalam hatinya. Semua ini secara implisitmenarnpilkan bahwa dalam hubungan dengan suaminya seksualitas Diana adalah sebagai pemberi dan dipusatkan untuk suaminya. Timpang.

Persetubuhan Estella dan Diana berakhir dengan kata-kata, "I love

you very much," sementara Diana dengan suaminya sendiri berakhir dengan kata, "/ love you. " Perbedaan yang nampak sepele pada dua ungkapan ini sesungguhnya menggambarkan bagaimana hubungan Diana dan Estella sebagai sebuah hasrat tersendiri, sementara dengan suaminya bersifat lebih datar. Hal ini ditegaskan ketika narasi berkata, "takdir menyeret mereka" untuk menggambarkan persetubuhan antara Diana dan Estella. Serupa dengan "Merindu Randu", hal ini menghad­ irkan pembalikan logika bahwasanya homoseksualitas bukanlah hasrat

bentukan, melainkan sebuah takdir Tuhan, given, dalam arti ia adalah

suatu yang fitrah dan hakiki. Jika hubungan Diana dengan suaminya adalah wujud kesempurnaan normatif, maka Diana dan Estella adalah sebuah wujud kesempurnaan Diana sendiri sebagai manusia.

Dalam pencitraan transgender, dua cerpen dalam antologi ini, "Mereka Benci Aku Banci'' karya D. Jayadikarta dan "Numi" karya

HERLIN PUTRI 409

Yetti A. KA, mengambil sudut permasalahan yang kurang lebih sama, yakni kehidupan tokohnya sebagai lelaki yang terjebak dalam tubuh perempuan. Namun, orasi yang gamblang dan lantang dapat ditemui dalam "Mereka Benci Aku Banci" karya D. Jayadikarta, yang mengi­ sahkan seorang waria bernama Krisna yang memperolok gender sebagai "perkara selangkangan". Perjalanan kisah hid up Krisna terasa menyentil orang-orang yang mengagungkan kesempumaan gender, baik femininitas maupun maskulinitas. Krisna menunjukkan bagaimana eksistensi seorang transgender merupakan wujud dari tubuh yang menginterupsi dikotomi genderistik yang ada.

Cerpen lain yang memberi nuansa berbeda datang dari Rahmat Hidayat berjudul "Dua Lelaki". Di sini hubungan homoseksualitas ditampilkan dalam bentuk relasi kuasa yang tak kasat mata antara Si Lelaki Berkulit Coklat dan Si Lelaki Bermata Biru. Penyebutan tokoh melalui aspek fisik seperti wama kulit dan mata ini sudah menyiratkan perbedaan yang hendak ditampilkan; bahwa dua lelaki yang dikisahkan berasal dari ras yang berbeda. Hal ini seolah dipertegas dengan narasi yang secara eksplisit mengatakan bahwa mereka adalah "lelaki yang berbeda," [150].

Kisah ini sebenarnya hanya menceritakan percakapan antara Si Lelaki Berkulit Coklat (yang tengah merindukan tanah aimya) dan Si Mata Biru pada suatu malam. Seiring berjalannya cerita muncul satu per satu konflik yang terselubung dalam hubungan mereka. Ada perasaan te1tekan setiap kali Si Lelaki Berkulit Coklat merasa Si Mata Biru men­ golok kesukaannya, dari idenya tentang Tuhan dan hujan sampai selera makan mie instannya. Kisah ini menunjukkan bahwasanya hubungan homoseksualitas pada dasamya sama dengan hubungan heteroseksualitas; kompleks dan rumit.

(5)

410 SUSASTRA

Dalam hal pencitraan, minimnya eksplorasi ini berakibat pada ter­ jebaknya sebuah karya dalam citra baku terhadap bomoseksualitas itu

sendiri. Yang paling terasa adalah masih banyaknya penggambaran homo­ seksualitas sebagai bentuk trauma psikis, masa kecil, atau disharmoni ke­ luarga. Contohnya antara lain cerpen "Mercusuar" oleh Linda Christanty yang bercerita tentang seorang gadis keturunan Cina bemama Hana yang menjadi lesbian karena kejadian traumatis yang menimpanya saat terjadi kerusuhan Meil. Cerita pun berkutat di seputar kehidupan seksual Hana dengan pasangannya, Catwoman yang menggenggam cambuk, berbikini hitam dan memborgol tubuhnya [53-54). Homoseksualitas dan trauma masa kecil menjadi tema dalam "Anak Yang Ber-Rahasia" karya Ucu Agustin yang mengisahkan seorang anak bemama Massimo yang menjadi seorang gay karena pernah disodomi oleh ayahnya sendiri. Sementara itu, cerpen "Lolongan di Balik Dinding" karya Djenar Maesa Ayu, yang sudah tak asing lagi kiprahnya di khasanah literer kita, menyoroti ho­ moseksualitas dan kaitannya dengan disharmoni keluarga, begitu pula dengan cerpen "Taman Trembesi" karya ls Mujiarso. Walaupun tidak dipaparkan secara gamblang, ada kecenderungan untuk menampilkan ketiadaan figur bapak (the absence of the father) sebagai latar dari motif seseorang menjadi gay atau transgender.

Hal penting yang menjadi catatan untuk antologi ini adalah adanya bias-bias heteronormativitas dalam beberapa karya. Mohammad A. Yasir (2004) dalam bukunya berjudul Dekonstruksi Seksualitas Posko­ lonial menjelaskan bahwa heteronormativitas adalah ideologi yang mengedepankan bentuk hubungan laki-laki dan perempuan, kesejatian kelamin serta pentingnya prokreasi tubuh sebagai patokan norma(l) yang secara bersamaan menyingkirkan bentuk hubungan yang lain seperti GLBT [Yasir, 2004]. ldeologi ini merupakan perpanjangan dari konsep gender, yakni kontruksi sosial-budaya mengenai konsep menjadi' lelaki' dan 'perempuan' yang' ideal'. Pembedaan ini diterapkan lewat sosialisasi gender untuk menentukan maskulinitas bagi laki-laki (gagah, rasional, dan kuat) dan feminitas bagi perempuan (lembut, emosional, dan lemah). Masyarakat kita sebagai penganut ideologi tersebut memberi garis

de-Tragedi bulan Mei di sini merujuk pada Kerusuhan Mei 1998 paska de-Tragedi penem­ bakan empat mahasiswa Trisakti dalam upaya pendudukan gedung MPR/DPR masa rezim Soeharto. Saat itu terjadi penjarahan besar-bcsaran, penganiayaan, hingga pemerkosaan terhadap etnis Cina.

HERLIN PUTRI 411

markasi yang tajam antara maskulin dengan feminin sehingga mereka yang menyeberang akan dianggap sebagai anomali.

ldeologi ini sudah tersosialisasi dengan baik sehingga sulit untuk diruntuhkan bahkan dalam hubungan homoseksual. Masih sering sekali terdengar kelakar seseorang, "siapa yang jadi perempuan?" atau "siapa yang jadi laki-lak.i" manakala menanggapi pasangan sesama jenis. Opini ini secara implisit mencerminkan sebuab pandangan yang masih mem­ bawa bias heteronormativitas yang secara tidak langsung mengesankan bahwa dalam suatu hubungan harus ada yang menjadi 'perempuan' dan ada yang menjadi 'laki-\aki', 'feminin'dan 'maskulin'.

Dikotomi ini bertebaran dalam "Taman Trembesi" yang mengisahkao hubungan kasih antara Reno (narator) dan Danang yang harus berpisah ketika mereka telah dewasa karena Danang merasa bersalah menjadi gay. Hal ini secara eksplisit terlihat dari penggambaran tokoh Reno dan tokoh Danang kekasihnya [ 14-15).

Reno>< Oanang

lembut gagah

kecil besar

putih coklat

(6)

412 SUSASTRA

dan feminin) sebagai bentuk hubungan yang normatif.

Dikotomi yang heterosentris ini dicoba diruntuhkan pada cerpen "Menanti Pelangi" karya Andre Aksana yang mengusung ide egaliter

dalam hubungan homoseksual. Tidak ada macho-ngondek, top-bottom,

memasuki-dimasuki, maskulin-feminin. Cerpen ditutup dengan peng­ gambaran sang tokoh dan pasangannya yang sama-sama terlentang dengan dua kaki yang mengangkang (221]. Namun sayangnya, pendo­ brakan ini sekali lagi berkutat diseputar kehidupan seksual sang tokoh

dan cenderung mengeksplorasi promiscuos sex1 yang seakan menjadi

gaya hidup kalangan gay sehingga pencitraan dan penulisan kembali homoseksualitas tidak cukup berhasil hingga akhir cerita.

***

Kekurangan dalam hal kekompleksitasan pada sebagian besar karya sangat disayangkan karena, masih banyak dimensi lain yang bisa digali seperti budaya, sejarah, politik, ataupun hukum yang berhubungan den­ gan eksistensi mereka. Minimnya eksplorasi ini berakibat pada sempit­ nya representasi GLBT itu sendiri sehingga pembongkaran stereotipe nampaknya akan masih menjadi perjuangan yang panjang.

Hal lain yang menjadi kekurangan dalam antologi ini adalah tidak adanya pemilahan antara karya yang ditulis oleh penulis non-GLBT dengan karya yang langsung ditulis dari tangan GLBT sendiri. Pemilahan ini tentunya merupakan hal yang signifikan dalam melakukan pembacaan dan melihat perbedaan bagaimana isu-isu GLBT terepresentasi. Apakah isu yang sama akan digodok dan menghasilkan representasi yang berbeda ataukah sama saja. Representasi ini erat dengan suara yang ingin disam­ paikan dan dengan sikap serta cara berpikir "only the native can speak about the native" yang masih kental, tentunya hal ini masih menjadi hal yang signifikan. Meskipun demikian, ketiadaan pemilahan ini adalah sesuatu yang dapat dimafhumi mengingat masih adanya homophobia akut di tengah masyarakat kita sendiri.

Terlepas dari dua kekurangan tersebut, hadirnya antologi ini di tengah

2 Berhubungan seks dengan berganti-ganti pa�angan dalam satu waktu.

HERLIN PUTRI 413

ruang-ruang fiksi kita secara bersamaan menegaskan bahwa eksistensi kaurn GLBT tidak dapat dinafikan lagi. Mereka ada dan meojadi bagian dari masyarakat. Pastilah masih terlalu pagi bagi antologi ini untuk menginterupsi hegemon i heteronorrnativitas yang punitif dan represi f di tengah masyarakat kita yang belum mampu menerima kebhinekaan sek­ sualitas. Akan tetapi, antologi ini sebagai karya sastra tetaplah merupakan sebuah wujud dari perjuangan kaurn GLBT sebagai kaum marginal untuk menyuarakan eksistensi dan hak-hak mereka yang selama ini dibungkam, yang tidak boleh hadir dalam tindak dan wicara.

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, implikasi lain bagi teori konstruktivisme ini ialah guru haruslah dapat mengenal pasti Zon Perkembangan terdekat ( ZPD ) atau juga dikenali sebagai

Proses perangkaian suku kata menjadi kata, kata menjadi kelompok kata atau kalimat sederhana, kemudian ditindaklanjuti dengan proses pengupasan atau penguraian bentuk-bentuk tersebut

Dalam kegiatan penyuluhan, kondisi status sosial petani yang terlihat di lapangan memungkinkan petani untuk dapat lebih dimotivasi agar mau mengakses berbagai

ádalah orthofosfat. Orthofosfat sampai di badan air terutama berasal dari limbah detergen dan limpasan daerah pertanian. Fosfat sampai pada konsentrasi tertentu baik

Sutan Seri Alam mengajak anggota rombongan berguru kepada Mahmud Badarudin, Sutan Bagindo, dan Bujang Muda karena mereka bertiga sudah bersedia dan dengan senang hati

Setelah menangkap Galuh Gagalang, raja meminta para pengawal dan para prajurit untuk memboyong Putri Ringin Kuning dan kedua saudaranya.. Di bawah pimpinan masing-masing, para

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Mulai hari itu Si Kata Malem tinggal bersama anak dan istrinya. di