• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah Kuasa dan Kontroversi dalam Hist

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Masalah Kuasa dan Kontroversi dalam Hist"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Masalah Kuasa dan Kontroversi

dalam Historiografi

Tsabit Azinar Ahmad

Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang

Permasalahan sejarah kontroversial ditinjau dari aspek keilmuan merupakan permasalahan yang sampai saat ini senantiasa berkembang dan menjadi hal yang jamak dalam pergulatan keilmuan, terutama dalam proses tersusunnya historiografi. Menurut E.H. Carr (1987) sejarah merupakan proses berkesinambngan dari interaksi antara sejarawan dan fakta-fakta yang dimilikinya, suatu dialog yang tidak berkesudahan antara masa sekarang dengan masa lampau, sehingga tidak ada tulisan yang bersifat benar-benar final. Dengan demikian, kemungkinan munculnya fakta dan interpretasi baru senantiasa berkembang.

Permasalahan kontroversi tidak pernah lepas dari penulisan sejarah, karena dalam penulisan sejarah kemunculan kontroversi disebabkan adanya perbedaan pendekatan yang dilakukan oleh sejarawan dalam merekonstruksi data dan fakta sejarah. Dengan demikian, penelusuran terhadap munculnya kontroversi dalam penulisan sejarah tidak lepas dari permasalahan subjektivitas dalam historiografi.

Subjektivitas vs Subjektivisme

Permasalahan subjektivitas dalam historiografi diulas dalam sebuah buku karangan Poespoprodjo (1987) berjudul Subjektivitas dalam Historiografi, Suatu Analisis Kritis

Validitas Metode Subjektivo-Objektif dalam Ilmu Sejarah. Sejarah dalam pengertian histoire recité (kisah tentang peristiwa) merupakan hasil historiografi yang dipandang serba subjektif

karena sudah dipakai interpretasi dan seleksi sejarah yang melibatkan pendirian pribadi sejarawan, tidak seperti histoire réalité (kejadian sebenarnya sebagai peristiwa) yang bersifat objektif (Poespoprodjo, 1987: 1-2; Soedjatmoko, 1995: 360). Terkait hal tersebut, E.H. Carr (dalam Poespoprodjo: 1985: 2) menyatakan bahwa “fakta sejarah tidak dapat murni objektif karena menjadi fakta sejarah hanya karena arti yang diberikan oleh sejarawan”. Kemudian, Bambang Purwanto (2008: xxii) menyatakan bahwa dalam historiografi nasional terdapat pesan normatif dan pesan ideologis sebagai hasil dari subjektivitas personal dan generasi, maupun subjektivitas rezim.

(2)

Kepentingan dalam Historiografi

Permasalahan tentang subjektivitas makin memberikan kerumitan apabila terdapat kepentingan pada tataran sumber. Permasalahan terjadi terutama dalam sejarah kontemporer. Ini karena pelaku atau saksi sejarahnya masih ada dan masih memiliki satu implikasi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat pada masa ini. Kepentingan itu bisa datang dari pihak-pihak yang terlibat dalam satu peristiwa sejarah ataupun dari pihak-pihak-pihak-pihak yang ingin memanfaatkan satu peristiwa sejarah untuk tujuan-tujuan tertentu. Kepentingan yang datang dari pihak pelaku sejarah ataupun keturunannya karena pelaku sejarah merasa dirugikan dengan adanya penulisan sejarah dari pihak tertentu. Selain itu hal yang menyebabkan kontroversial adalah bahwa peristiwa sejarah, terutama sejarah kotemporer masih belum selesai sepenuhnya, tetapi senantiasa berproses. Sampai saat ini masih banyak terjadi perbedaan pandangan para pelaku sejarah berkaitan dengan satu peristiwa sejarah, dan ada pula perbedaan pandangan antara temuan berupa fakta-fakta baru dengan pemahaman masyarakat yang berkembang selama ini.

Selain ditinjau dari aspek filosofis dan metodologis, ada faktor lain yang menyebabkan munculnya sejarah kontroversial. Permasalahan tersebut dapat dilihat dari aspek kepentingan yang lekat dalam setiap penulisan sejarah. Sejarah senantiasa digunakan sebagai sarana untuk melegitimasi kepentingan, baik oleh kalangan mayoritas dan minoritas (Bambang Purwanto, 2005: 14). Dengan demikian, ada kecenderungan masing-masing kelompok untuk menulis sejarah yang disesuaikan dengan tujuan dan kepentingan masing-masing. Kecenderungan yang tampak di Indonesia adalah bahwa masing-masing kelompok berupaya untuk mengunggulkan dan membenarkan tindakan-tindakannya melalui sejarah. Tidak jarang pembelaan-pembelaan baik individu atau institusional terjadi, seperti pembelaan yang dilakukan di kalangan Angkatan Udara dengan penulisan buku “Menyingkap Kabut Halim”, selain itu ada pula pembelaan dari keluarga dari D.N. Aidit tentang kiprah Aidit di dalam PKI. Pembelaan-pembelaan yang merujuk pada pertentangan pendapat muncul pula pada kasus reformasi, seperti terjadinya pertentangan pendapat antara Habibie-Prabowo-Wiranto. Masing-masing saling membenarkan dirinya dalam perang wacana antara ketiganya yang sempat merebak pada tahun 2007.

Apabila kecenderungan untuk berbeda pendapat dalam historiografi dianggap wajar, pertanyaannya adalah mengapa hanya sejarah versi pemerintah yang berkembang? Permasalahan tersebut terjawab dengan alasan bahwa pemerintahlah yang memiliki akses untuk melakukan distribusi secara formal dan masif terhadap masyarakat. Dengan demikian, akses masyarakat terhadap sejarah-sejarah alternatif yang ditulis dengan perspektif berbeda sangat terbatas. Sementara itu para sejarawan terjebak dalam menara gading keilmuannya. Dengan demikian, kepentingan pemerintahlah yang akan dimenangkan dalam perang wacana pada konteks seperti itu.

(3)

individu dan menyatakan bahwa nasionalisme bukan termasuk dalam sebuah penelitian ilmiah. Namun demikian pemkiran Soedjatmoko tersebut tidak sesuai dengan konteks Indonesia pada tahun 1950-an ketika masyarakat tengah mencari identitas jati dirinya (Nordholt, 2004: 5).

Pertentangan kepentingan yang ada dalam penulisan sejarah seperti dijelaskan oleh Mohammad Ali (1995: 3) yang menyatakan bahwa ada dilema terhadap sejarah. Permasalahan tersebut yang pertama adalah demi kepentingan nasional, terdapat permasalan politls untuk menentukan dan mengembangkan kepribadian bangsa. Selain itu juga terdapat permasalahan ilmiah yang muncul dari tuntutan-tuntutan studi sejarah, yang mungkin bertentangan dengan kepentingan politis. Namun demikian, dalam perkembangannya kecenderungan historiografi yang muncul dan disepakati adalah tentang bagaimana menumbuhkan rasa cinta dan semangat nasionalisme melalui penulisan sejarah dalam perspektif Indonesia.

Kritik Historiografi Indonesia

Perkembangan historiografi dengan demikian masih belum mapan, sehingga senantiasa mencari format idealnya. Harapan untuk menumbuhkan kesadaran kolektif melalui historiografi justru berlawanan dengan kenendak politik pada masa demokrasi terpimpin, di mana sejarah Indonesia menjadi alat ideologis untuk memobilisasi massa (Nordholt, 2004: 4). Pada perkembangannya, historiografi Indonesiasentris ternyata cenderung menjauh dari sejarah objektif karena berkembangnya prinsip dekolonisasi historiografis yang bersifat ultranasionalis dan lebih mementingkan retorika. Mc Gregor (2008: 73) menyatakan bahwa pada masa demokrasi terpimpin sejarah digunakan untuk memajukan keseragaman ideologi dan persamaan misi tetang masa lalu masional yang digunakan untuk pembinaan bangsa. Hal itu terutama tercermin di dalam karya generasi-generasi sejarawan awal pascakolonial seperti M. Yamin, Sukanto, dan Sanusi Pane (Bambang Purwanto, 2001b: 32).

Kritik yang muncul dalam tradisi historiografi Indonesiasentris adalah bahwa historiografi itu dalam kenyataannya lebih mementingkan ideologisasi terhadap masa lalu daripada merekonstruksi kebenaran sejarah. Akibatnya, keberadaan validitas normatif dalam kebenaran naratif tidak didukung oleh validitas empirik (Bambag Purwanto, 2001b: 33). Faktor inilah yang dalam perkembangannya memunculkan kontroversi ketika tradisi keilmuan dan metodologi sejarah telah berkembang.

Kemudian dalam perkembangannya muncul anggapan bahwa Indonesiasentrisme yang menjadi dasar penulisan sejarah nasional ternyata tidak relevan bagi praktik penulisan sejarah nasional. Sejarah struktural atau penulisan sejarah dengan pendekatan multidimensional menjadi ciri penting perkembangan historiografi Indonesia selanjutnya (Bambang Purwanto, 2001b: 35). Pendekatan ini secara akdemis menguntungkan karena meningkatkan kualitas penulisan sejarah. Akan tetapi perkembangan sejarah dalam perspektif ini mendapatkan kritik karena hanya berada di menara gading. Sejarah menjadi bersikap netral terhadap penguasa, bahkan jauh dari posisi sebagai kritik sosial (Asci Warman Adam, 2007: 9). Permasalahan yang muncul ketika sejarawan sibuk dengan permasalahan internalnya, hal yang terjadi adalah upaya pembentukan sejarah yang dilakukan oleh penguasa. Di satu sisi ketika pnulisan sejarah mulai diambil alih oleh penguasa, sejarawan cenderung untuk memilih sikap berhati-hati dalam melakukan penelitian.

(4)

pertumbuhan ekonomi yang cepat serempak dengan stabilitas politik. Negara dilihat sebagai satu-satunya pelaksana yang sah dari proses terkendali yang akan membawa Indonesia pada sebuah era baru ke arah kemajuan dan kemakmuran. Secara ekstrem Nordholt (2004: 5) menyatakan bahwa mimpi dari Orde Baru adalah mencapai “akhir sejarah” dengan mendirikan sebuah orde yang bercirikan bebas dari kejadian-kejadian yang mengganggu. Pendekatan sentralistis ini diiringi dengan historiografi yang juga sentralistis dan eskatologis (Nordholt, 2004: 5).

Ciri historiografi nasional yang dibentuk selama Orde Baru adalah sentralitas negara yang di-ejawantah-kan oleh militer. Sejarah nasional menurut Nordholt (2008: xviii) disamakan dengan sejarah militer dan produksi sejarah dikenalikan oleh negara dan militer. Contohnya adalah menurut pandangan sejarah ini, sepanjang tahun 1950-an militerlah yang menyelamatkan bangsa dari disintegrasi dengan mengabaikan fakta bahwa militer memainkan peran penting dalam pemberontakan di daerah-daerah. Akibatnya muncul historiografi yang seragam sebagai produk dari interpretasi tunggal atas masa lalu, sehingga menuju pada arah mempertahankan dominasi penguasa dan cenderung merugikan rakyat dan bangsa secara umum (Bambang Purwanto, 2008: xx).

Asvi Warman Adam (1999: 567-576) menjelaskan bahwa fenomena tersebut merupakan pengendalian sejarah. Pengendalian sejarah tersebut dilakukan melalui dua cara, yakni dengan penambahan unsur tertentu dalam sejarah dan menciptakan kebisuan sejarah (le

silence de l’histoire). Kebisuan sejarah menyangkut beberapa hal, yakni aspek legitimasi,

kondisi masyarakat, dan hal-hal yang memalukan di masa lampau (Ferro dalam Asvi Warman Adam, 1999: 568-569). Pada masa Soeharto, pengendalian sejarah tampak dengan upaya untuk mereduksi peran Sukarno dan membesar-besarkan peran Soeharto. Hal ini tampak dari adanya penulisan buku ajar yang mengangkat peran Soeharto dalam berbagai peristiwa, seperti Serangan Umum 1 Maret dan Gerakan 30 September. Selain itu ada pula pembuatan film-film seperti Serangan Fajar yang menonjolkan peran Soeharto.

Pengendalian sejarah yang dilakuan oleh Orde Bau dijalankan melalui instansi militer. Mc Gregor (2009: 303) menjelaskan bahwa sejak Orde Baru militer memperkuat pengendaliannya atas sejarah resmi. Pada saat itu, sejarah menjadi alat legitimasi bagi penguasa sekaligus alat represi terhadap kelompok yang berseberangan (Asvi Warman Adam, 2007: 9). Sejarah digunakan sebagai sebuah sarana untuk legitimasi atas dalih persatuan (Wood, 2005: 209). Lebih lanjut lagi Wood (2005: 9) menyatakan bahwa ada beberapa peristiwa yang dimanfaatkan Orde Baru dalam menjaga integritas dan harmoni, seperti menangkat keunggulan Majapahit, Kesultanan Islam, kejayaan masa revolusi, serta peristiwa Gerakan 30 September yang secara terus menerus dikomunikasikan melalui media, seperti monumen-monumen, buku teks, film, televisi, surat kabar, novel, dan berbagai karya sastra.

Salah satu peristiwa yang mendapat perhatian cukup banyak pada saat ini adalah tentang historiografi peristiwa Gerakan 30 September 1965. Historiografi tentang peristiwa tersebut sangat beragam bahkan mengarah kepada kecarutmarutan. Bambang Purwanto (2006: 230) menjelaskan bahwa carut marut tersebut terjadi salah satunya karena politik historiografi. Politik historiografi tersebut kemudian ditransmisikan dalam praksis pendidikan melalui pembelajaran sejarah di kelas-kelas lewat materi-materi yang telah memiliki muatan

hidden curriculum.

Kontroversi:Antara Metodologis dan Politis

(5)

sejarah kontroversial karena permasalahan metodologis dan sejarah kontroversial karena permasalahan politis. Permasalahan metodologis menyangkut ketidakmampuan secara historiografis dan metodologis untuk melakukan konstruksi dan rekonstruksi atas masa lalu dengan muatan subjektivitas yang rendah yang tercipta karena keterbatasan wawasan, penguasaan ilmu, dan keterampulan para sejarawan yang membangun tradisi historiografi, para penulis buku ajar sejarah, dan para guru sejarah. Kemudian, permasalahan kontroversial politis menyangkut tiga hal, yaitu peristiwa politis itu sendiri, akibat politis yang ditimbulkan oleh peristiwa sejarah, dan kepentingan politis yang mengikuti interpretasi dan penjelasan dalam menyusn kurikulum dan menghadirkan peristiwa sejarah sebagai materi ajar. Bambang Purwano (2009: 2) menambahkan bahwa secara teoretis, sejarah dan pembelajarannya menjadi kontroversial ketika penulisan sejarah, penyusunan kurikulum sejarah, dan proses pembelajaran sejarah menjadi bagian yang integral dari politik kekuasaan sebuah rezim. Kontroversi biasanya diproduksi dan direproduksi dari sebuah subjektivitas esktrem politik kekinian negara atau rezim yang mendikte tradisi keilmuan sejarah, penyusunan kurikulum, materi ajar, dan proses pembelajarannya (Bambang Purwano, 2009: 2).

Aspek metodologis dan politis yang menyebabkan munculnya sejarah kontroversial menjadi penyebab adanya permasalahan dalam pembelajaran sejarah. Permasalahan tersebut tampak dari adanya lemahnya penguasaan guru terhadap materi-materi sejarha kontroversial. Selain itu faktor politis yang melahirkan kebijakan dalam pembelajaran sejarah menyebabkan adanya keengganan di kalangan guru untuk melakukan upaya mendekonstruksi pemahamannya tentang sejarah kontroversial, terutama dalam perspektif critical pedagogy.

Dengan demikian, sejarah kontroversial dapat dipahami ulang sebagai pertentangan antara pengetahuan sejarah (historical knowledge) yang dimiliki/dibentuk dengan fakta-fakta sejarah baru/berbeda yang tidak sevisi dengan pengetahuan sejarah yang dimiliki masyarakat. Oleh karena sejarah kontroversial erat kaitannya dengan masalah pertentangan, peneliti memberikan titik tekan kepada beberapa pertentangan yang muncul. Pertentangan tersebut menyangkut (1) pertentangan antara sesuatu yang tampak dan yang tersembunyi, (2) pertentangan antara sesuatu yang empiris dan normatif, (3) pertentangan antara fakta dan mitos atau sesuatu yang direkayasa, (4) pertentangan antara sejarah resmi/accepted

history/grand naration dengan sejarah alternatif, dan (5) pertentangan antara yang berjasa

dan yang berdosa. Pertentangan pertama dan keempat terkait dengan masalah peristiwa, sedangkan pertentangan terakhir terkait dengan posisi dan peran tokoh sejarah dalam peristiwa.

(6)

Salah satu contoh peristiwa yang termasuk dalam kategori pertentangan ini adalah tentang pertentangan tentang penemuan fakta-fakta baru terkait dengan manusia purba di daerah flores yang disebut homo fleresiensis. Permasalahan kontroversial yang juga termasuk dalam kategori ini adalah tentang mitos penjajahan 350 tahun. Pemahaman tentang mitos penjajahan 350 tahun masih terbatas pada mereka yang mempelajari sejarah, sementara pemahaman di kalangan masyarakat masih terbatas. Kemudian kasus yang belum lama ini marak adalah tentang munculnya pengakuan orang di daerah Semarang bernama Andaryoko Wisnuprabu yang mengaku sebagai Supriyadi, seorang tokoh pemberontakan peta. Andaryoko mengaku sebagai Supriyadi dan hadir pada peristiwa-peristiwa besar, seperti sidang BPUPKI tanggal 29 Mei-1 Juni 1945, menjadi pengibar bendera bersama Latif Hendraningrat pada saat proklamasi 17 Agustus 1945, dan yang tidak kalah menghebohkan adalah ia juga hadir di Istana Bogor saat tiga jenderal, yakni Basuki Rachmat, M. Yusuf, dan Amir Machmud mendatangi Sukarno untuk keperluan pembuatan Surat Perintah Sebelas Maret (Baskara T. Wardaya, 2008: 76-122). Munculnya Andaryoko yang mengaku sebagai Supriyadi secara tiba-tiba memunculkan kontroversi dalam masyarakat tentang kebenaran pengakuannya tersebut.

Contoh yang menandakan sesuatu yang belum ditampakkan adalah tentang historiografi etnis Tionghoa. Selama lebih dari empat dekade lalu, penulisan sejarah tentang etnis Tionghoa dalam konteks sejarah nasional mengalami kendala. Secara politis permasalahan langkanya tulisan sejarah tentang Tionghoa karena adanya upaya yang represif terhadap etnis Tionghoa oleh penguasa. Setelah reformasi muncul tulisan-tulisan tentang peran etnis Tionghoa dalam sejarah Indonesia yang bermuara pada munculnya kontroversi, seperti ketika muncul tulisan Slamatmulyana yang sempat ditarik pada tahun 1960-an tentang peran Tionghoa sebagai penyebar agama Islam. Fakta sejarah tentang peran etnis Tionghoa selama ini telah disembunyikan, sehingga ketika fakta tersebut muncul ke permukaan banyak melahirkan pertentangan.

Pertentangan kedua menyangkut pertentangan antara sesuatu yang empiris dan yang normatif. Sesuatu yang normatif biasanya merupakan peristiwa yang ditujuan untuk pendidikan nilai yang bekerja melalui sistem kepercayaan. Sesuatu yang normatif ini bisa berupa nilai budaya dan nilai keagamaan. Pesan-pesan moral atau ajaran tertentu menjadi titik tekan dari peristiwa yang bersifat normatif. Permasalahan normativisme menjadi permasalahan ketika disatu sisi dipertentangkan dengan sesuatu yang berangkat dari empirisme. Ada kecenderungan pertentangan ketika sebuah peristiwa semata-mata hanya digunakan untuk memberikan penanaman nilai bagi masyarakat tanpa memeprhatikan fakor empirisme dari peristiwa tersebut. Ketika normativisme terkait dengan nilai budaya tertentu, ada kecenderungan muncul kontroversi ketika dalam masyarakat ternyata penulisan sejarah dengan kaidah ilmiah masih merupakan sesuatu yang ahistoris, sehingga apabila muncul penulisan sejarah yang bertentangan dengan nilai yang diyakini oleh masyarakat maka kontroversi dalam sejarah tidak dapat dielakkan. Contoh dari kasus ini adalah ketika muncul gugatan terhadap mitos-mitos yang selama ini dipercayai oleh masyarakat, seperti upaya untuk mempertanykan kembali apakah benar kemampuan atau kesaktian yang dimiliki oleh para pemimpin kerajaan tradisional, apakah benar Jaka Tingkir menaiki perahu yang ditarik oleh buaya.

(7)

peninggalan-peninggalan masa lampau. Upaya mempertentangkan antara sesuatu yang normatif dan yang empiris merupakan permasalahan dalam filsafat ilmu, karena mempertentangkan antara kebenaran agama dan kebenaran ilmiah. Oleh karena itu, ketika terjadi pertentangan maka kontroversi sejarahlah yang akan muncul.

Pertentangan ketiga adalah pertentangan antara realitas dan mitos. Mitos yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tentang segala sesuatu yang keberadaannya sengaja untuk diciptakan dan tanpa adanya dukungan yang kuat dari sumber-sumber primer. Dalam tulisannya, Bambang Purwanto (2001a) memberikan gambaran tentang permasalahan mitos dan realitas yang terjadi dalam sejarah Indonesia. Permasalahan ini kemudian mengerucut pada permasalahan kontroversi sejarah, sehingga memunculkan sejarah kontroversial. Sejarah yang lebih menempatkan landasan pada aspek ideologi menjadi sarana untuk menciptakan mitos-mitos (Bambang Purwanto, 2001a: 116). Mitos yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mitos yang bersifat politis dan sengaja untuk diciptakan sebagai sarana legitimasi, dan berbeda dengan mitos yang dipercayai oleh masyarakat melalui sarana folklore. Akibatnya historiografi terjebak pada penciptaan mitos baru atau reinterpretasi atas mitos lama yang menguatkan mitos tersebut. Dibandingkan dengan aspek normatif dan empiris, aspek mitos dan realitas lebih cenderung politis daripada metodologis. Contoh mitos yang menjadi satu hal yang sengaja untuk diciptakan adalah seperti penulisan sejarah pada masa Orde Baru lebih menekankan peran sentral Soeharto dalam revolusi dan pengendalian keamanan, sehingga muncullah mitos bahwa “Soeharto sebagai pahlawan”. Selain itu dalam perkembangannya banyak pendapat yang mengunggulkan Soeharto dalam aspek ekonomi, sehingga terciptalah mitos “Bapak Pembangunan”.

Pertentangan keempat terkait dengan permasalahan antara kemunculan sejarah resmi dengan sejarah alternatif. Pertentangan antara keduanya menjadi permasalahan yang menyebabakan munculnya sejarah kontroversial karena ketika sejarah yang dipahami oleh masyarakat adalah sejarah yang termasuk dalam sejarah resmi mendapatkan tentangan dari sejarah dengan versi yang lain, maka muncul pertanyaan besar di kalangan masyarakat tentang “apa yang sebenarnya terjadi” serta “mana yang benar dari sejarah itu”. Permasalahan ini sangat mungkin muncul karena dalam sekian waktu masyarakat hanya disodori oleh versi-versi resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkuasa. Kemudian karena sejarah resmi dikeluarkan oleh pihak yang berkuasa, maka mereka melakukan upaya secara masif untuk melakukan sosialisasi dan indoktrinasi melalui sejarah versi resmi tersebut. Hal ini mengakibatkan pembentukan pengetahuan sejarah sesuai dengan harapan penguasa dan adanya pembatasan terhadap munculnya sejarah dalam versi yang berbeda. Sejarah dalam arti alternatif ini dapat berasal dari penulisan sejarah dengan perspektif yang berbeda melalui penelusuran data dari sumber-sumber yang berbeda pula. Contoh dari sejarah alternatif yang banyak bekembang pada setelah reformasi adalah munculnya tulisan-tulisan dari perspektif korban.

Contoh sejarah resmi yang berkembang di Indonesia adalah tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965. Pemerintah mengeluarkan versi resmi dari perstiwa tersebut dalam sebuah buku putih yang terbit pada tahun 1994. Sementara itu di satu sisi muncul upaya untuk membatasi peredaran historiografi alternatif. Contohnya adalah ketika terjadi pelarangan buku-buku yang memiliki kaitan dengan ideologi “kiri”, seperti tulisan Pramoedya Ananta Toer. Tulisan-tulisan alternatif yang telah berkembang dengan pesatnya pada dasarnya menjadi hal yang justru menyemarakkan penulisan sejarah di Indonesia dan memberi dampak positif sebagai sarana untuk menumbuhkan kesadaran multikultural pada masyarakat Indonesia yang plural.

(8)

yang ditunjang dengan adanya kemberdekaan pers. Pada kondisi seperti itu muncul kritik terhadap monopoli kebenaran sejarah yang dimiliki penguasa (Asvi Warman Adam, 2009: 1).

Pertentangan kelima tentang persamsalahan posisi dan peran tokoh dalam sebuah peristiwa. Pertentangan tersebut adalah pertentangan antara yang berjasa dan yang berdosa. tidak jarang dalam diri satu tokoh ada beberapa pandangan sekaligus, dianggap sebagai pahlawan atau penjahat. Tokoh-tokoh sejarah sangat sering memunculkan kontroversi. Dalam historiografi tradisional peran tokoh menjadi penggerak utama dalam jalannya sejarah, sehingga keberadaannya menjadi kunci sifat kontroversial dalam sebuah peristiwa. Mulai dari zaman klasik posisi tokoh sejarah sering berada di dua sisi, seperti kontroversi tentang Ken Arok atau Ken Angrok. Di satu sisi ia disebut sebagai penjahat karena menggulingkan kekuasaan yang sah, tetapi di sisi lain dianggap sebagai pahlawan yang mendirikan kerajaan Singhasari.

Pada masa kerajaan Islam di Jawa, ada beberapa tokoh yang kontroversial. Dalam kisah suksesi Demak, ada tokoh bernama Arya Penangsang. Keberadaan Arya Penangsang dianggap oleh masyarakat Demak dan Jepara sebagai penjahat karena melakukan pembunuhan terhadap Hadlirin dan saudaranya. Akan tetapi di kawasan Rembang ia dianggap sebagai tokoh yang berjasa.

Pada sejarah kontemporer, posisi tokoh sejarah tidak luput dari permasalahan kontroversi, salah satunya tentang peran Soeharto dalam sejarah Indonesia. Pada masa pemerintahannya, penulisan sejarah diarahkan untuk menampilkan Soeharto sebagai tokoh sentral dalam sejarah Indonesia.

Epilog

Pemasalahan kontroversi hendaknya mampu membuka mata kita bahwa terdapat ragam yang begitu semaraknya dalam sebuah karya sejarah. Sekilas permasalahn ini seolah menjadi chaos yang menambah runyam negara yang tengah bemasalah ini. Namun demikian, di tengah perdebatan yang muncul satu hal yang patut digarisbawahi adalah bahwa penulisan sejarah adalah menyangkut masalah selera dan kepentingan. Siapa yang berpengaruh memaksakan selera dan kepentingannya, sejarah miliknyalah yang berkembang dan dikenal.

Daftar Pustaka

Asvi Warman Adam. 1999. “Pengendalian Sejarah Sejak Orde Baru”. Dalam Chambert-Loid, Henri dan Hasan Muarif Ambary (ed). 1999. Panggung Sejarah: Persembahan

kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Jakarta: YOI.

---. 2007. Pelurusan Sejarah Indonesia (Edisi Revisi). Yogyakarta: Penerbit Ombak. Bambang Purwanto. 2001a. “Reality and Myth in Contemporary Indonesian History”.

Humaniora. Volume XIII, No. 2/2001. Hlm. 111-123.

---. 2001b. “Historisisme dan Kesadaran Dekonstruktif: Kajin Kritis terhadap Historiografi Indonesiasentris”. Humaniora. Volume XIII, No. 1/2001. Hlm. 29-44. ---. 2005. “Sejarawan Akademik dan Disorientasi Historiografi: Sebuah Otokritik”.

Dalam Asvi Warman Adam dan Bambang Purwanto. 2005. Menggugat Hisoriografi

Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

(9)

---. 2008. “Kata Pengantar” dalam Mc Gregor, Katharine. 2008. Ketika Sejarah

Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia.

Yogyakarta: Syarikat.

---. 2009. “Sejarah, Kurikulum, dan Pembelajaran Kontroversial: Sebuah Catatan Diskusi”. Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional Pembelajaran Sejarah Kontroversial: Problem dan Soslusi. Prodi Pendidikan Sejarah PPs UNS. Surakarta, 29 Mei 2009.

Baskara T. Wardaya. 2008. Mencari Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno. Yogyakarta: Galang Press.

Carr, E.H. 1987. What is History. New York. Alfred A Knoff.

Mc Gregor, Katharine. 2008. Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer

dalam Menyusun Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Syarikat.

Mohammad Ali. 1995. “Beberapa Masalah dalam Historiografi Indonesia” dalam Dalam Soedjatmoko dkk. (ed). 1995. Historiografi Indonesia sebuah Pengantar. Terjemahan. Jakarta: Gramedia Pusta Utama.

Nordholt, Henk Schulte. 2004. De-colonising Indonesian Historiography. Sweden: Centre for East and South-East Asian Studies, Lund University.

Poespoprodjo, W. 1987. Subjektivitas dalam Historiografi, Suatu Analisis Kritis Validitas

Metode Subjektivo-Objektif dalam Ilmu Sejarah. Bandung: Remadja Karya.

Soedjatmoko. 1995. “Sejarawan Indonesia dan Zamannya”. Dalam Soedjatmoko dkk. (ed). 1995. Historiografi Indonesia sebuah Pengantar. Terjemahan. Jakarta: Gramedia Pusta Utama.

Wood, Michael. 2005. Official History in Modern Indonesia: New Order Perceptions and

Referensi

Dokumen terkait

(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II Badung Nomor 14 tahun 1982 tentang Larangan Mendirikan Bangun – Bangunan pada

Untuk melihat komoditas buah- buahan di Kabupaten Majalengka pada tahun 2006 adalah sebagai berikut: produksi rambutan sebesar 996,00 ton dengan rata-rata

Kasultanan mengajukan Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai calon Gubernur atau Kadipaten mengajukan Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai calon

Kegiatan PPL dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut: 1. Mahasiswa praktikan mengadakan observasi langsung dalam proses KBM yang dilakukan oleh guru pamong/guru

Pinjaman modal kerja karyawan (MK karyawan) adalah pinjaman dana segar yang diberikan kepada karyawan Koperasi Simpan Pinjam Sarana Aneka Jasa dengan angsuran

Fungsi Komposisi dan fungsi

Manfaat dari penelitian ini antara lain dengan dibuatnya aplikasi sistem parkir ini maka diharapkan dapat membantu masalah parkir yang ada, aplikasi sistem parkir ini dapat

Students who join English club can get some benefits in their ability mastering English skill, there are students will be able to participate in the various