• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tipologi Fasade Bangunan Kolonial di Kor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tipologi Fasade Bangunan Kolonial di Kor"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011 143

TIPOLOGI FASADE BANGUNAN KOLONIAL

DI KORIDOR JALAN LETNAN JENDERAL SOEPRAPTO

KOTA SEMARANG

Bunga Indra Megawati, Antariksa, Noviani Suryasari

Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jl. Mayjen Haryono 167 Malang 65145 Telp.0341-567486

e-mail: ninja_archi@yahoo.com

ABSTRAK

Bangunan kolonial Belanda menjadi titik awal dari studi yang dapat memberikan pengetahuan tentang tipologi fasade dan perkembangan bentuk arsitektur kolonial berlandaskan kebudayaan lokal dan iklim tropis. Bentuk–bentuk arsitektur tersebut dapat menjadikan cermin bangunan-bangunan kolonial di Indonesia. Dalam studi ini, digunakan metode deskriptif-eksploratif, dan pemilihan sampelnya digunakan purpossive sampling, kemudian dilanjutkan dengan metode deskriptif-kualitatif dibantu dengan metode kuantitatif. Variabel yang dijadikan bahan antara lain adalah era pembangunan, elemen fasade bangunan, dan komposisi fasade bangunan. Hasil studi ditemukan empat periode pembangunan, yaitu pada abad ke-18, abad ke-19, abad ke-20 serta setalah abad ke-20, dan disetiap periode memiliki tipe fasade bangunan kolonial (elemen kepala bangunan, badan bangunan, dan kaki bangunan). Selain perbedaan periodesasi juga terdapat perbedaan fungsi–fungsi yang berbeda, yaitu sebagai tempat ibadah, perkantoran, perdagangan dan hunian. Tipologi berdasarkan elemen fasade bangunan mampu memberikan hasil visual terhadap kasus terpilih, yaitu 18 buah bangunan diketahui mempunyai morfologi elemen bangunan terhadap iklim. Secara umum disebutkan bahwa karakter visual dan tipe setiap tipologi fasade bangunan memiliki beberapa jenis atap, yaitu atap perisai, pelana, kubah serta kombinasi pada bentuk gable dan tower. Berdasarkan komposisi bangunan memiliki tipologi yang berbeda di setiap kasus bangunan antara lain memiliki sumbu yang simetris, dengan ritme atau perulangan pada elemen pembentuk fasade seperti pintu dan jendela yang dinamis, serta hirarki terpusat dengan nilai yang tinggi pada ukuran dan peletakkan entrance.

Kata kunci: tipologi, fasade, kolonial

ABSTRACT

The Dutch colonial buildings to be the first point of study which can given a knowledge relating to façade typologies, and the development of colonial architecture form is based on local culture and tropical climate. The architectural forms can construct a reflection of colonial buildings in Indonesia. This study used descriptive-exploratory methods, and the selection of the sample used purposive sampling methods, and then to analysis is used descriptive-qualitative method, which assisted with quantitative methods. Variables are used as aspect among others, is the era of development, building facade elements, and the composition of the building facade. The results study show four periods construction as in 18th, 19th, 20th and after 20th centuries, and each period had its own façade typology type (the head of the building element, body of the building, and foot of the building). Besides the different periods is found different functions, as place for pray, office, commerce and dwellings. Typology based on building façade elements be able to give visual result concerning selected cases, it results 18 buildings known have morphologies building elements toward climates. Generally, as is mention that visual character and every typology building façade types have several kind of roof shapes, which are angular roof (perisai), domes (pelana kubah), and combine gable and tower. Based on building compositions is have typology which different in every building cases, such as symmetric axes with its rhythm or repetition on its façade elements; as doors, windows which dynamic, and centralized hierarchy with high values on the sizes and entrance positioning.

(2)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011

144

Pendahuluan

Pandangan masyarakat menyatakan bahwa kekuatan sejarah sangatlah besar sehingga tidak mungkin dapat diubah oleh usaha manusia. Walaupun mungkin ada yang dapat mengubah jalannya sejarah, sehingga nantinya penerus bangsa tidak bisa melihat gambaran secara keseluruhan mengenai sejarah dan peninggalan-peninggalannya. Masih ada pandangan lain lagi yang menyatakan bahwa sejarah tidak pernah berulang, karena setiap kejadian sejarah merupakan sesuatu yang telah lampau. Dalam hal ini, ada banyak faktor yang menyebabkan berlangsungnya suatu kejadian sejarah yang tidak mungkin seluruh faktor ini muncul dan terulang lagi. Maka, pengetahuan yang telah dimiliki mengenai suatu kejadian di masa lampau tidak dapat secara sempurna diterapkan untuk kejadian di masa sekarang. Banyak yang menganggap bahwa pandangan ini tidak sepenuhnya benar, karena pelajaran sejarah tetap dapat dan harus diambil dari setiap kejadian bersejarah.

Sejarah yang terjadi mengakibatkan munculnya arsitektur yang semakin berkembang dan memperkaya arsitektur Indonesia yang nantinya mampu mempertinggi derajat manusia dan nilai historis bangsa Indonesia. Sejarah pada suatu kawasan akan membentuk arsitektur baru. Dengan begitu kekayaan bangsa Indonesia akan arsitektur semakin banyak dan hal tersebut berkaitan dengan bagaimana tipologi fasade pada arsitektur tersebut. Fasade bangunan yang beragam dan memiliki ciri khas pada zaman bersejarah memunculkan tipologi pada bangunan, dengan begitu bangunan kolonial peninggalan belanda akan dijaga keaslian arsitekturnya.

Kehidupan sebuah kota akan berjalan dan berkembang menurut putaran waktu, tidak akan terlepas dari masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Rentang waktu yang saling terkait mampu memberikan suatu refleksi bagi perjalanan kehidupan sebuah kota. Perkembangan Kota Semarang saat ini menunjukkan kemajuan yang cukup pesat. Sebagai kota yang berkembang, Semarang banyak mengalami pahit getirnya setiap kejadian sebagai suatu rangkaian sejarah. Bertumbuhnya Kota Semarang tentunya meninggalkan cerita dan peninggalan bersejarah yang harus tetap dipelihara dan dilestarikan sebagai kebanggaan kota, sehingga memperkaya dan menunjukkan identitas diri Kota Semarang.

Arsitektur kolonial Belanda di Kota Lama Semarang, yaitu arsitektur dengan beraneka ragam fasade bangunan yang mampu memberikan ciri khas arsitektur atau tipologi bangunan tersebut, dengan demikian suatu kawasan akan muncul tipologi bangunannya. Jika dilihat dari tipologi fasade bangunan yang terdiri dari elemen–elemen bangunan seperti bentuk, detail, tekstur dan bahan materialnya dapat dilihat pada kepala bangunan, tubuh bangunan, hingga kaki bangunan. Hal tersebut memperlihatkan bagaimana arsitek Belanda pada masa itu berusaha menerapkan bangunan tersebut di kawasan yang beriklim tropis. Keistimewaan pada tipologi fasade bangunan kolonial mampu menjadi daya tarik bagi wisatawan karena bangsa Indonesia memiliki arsitektur yang beragam.

Studi ini dilakukan, untuk dapat menggali lebih dalam lagi mengenai tipologi fasade bangunan kolonial di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang. Pemilihan objek dalam studi ini didasarkan dengan beberapa alasan di antaranya, objek ini memeliki bentuk arsitektur yang beragam serta beberapa permasalahan yang menarik untuk dilakukan studi.

(3)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011 145

Metode Penelitian

Dalam studi ini, digunakan metode deskriptif dan eksploratif, dan pemilihan sampelnya digunakan metode purpossive sampling, dan kemudian dilanjutkan dengan analisis menggunakan metode deskriptif-kualitatif, yang dibantu dengan metode kuantitatif. Variabel yang dijadikan bahan antara lain adalah era pembangunan, elemen fasade bangunan, dan komposisi fasade bangunan.

Data didapatkan melalui survey data primer, dan kegiatan observasi langsung ke lapangan, serta interview dengan beberapa pihak yang dianggap dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi studi dan survey data sekunder, melalui literatur-literatur, dan melalui survey ke beberapa instansi, seperti badan pertanahan nasional Kota Semarang, BAPEDA dan lain sebagainya.

Proses pemilihan sampel bangunan menggunakan purpossive sampling, sesuai dengan kriteria yang ditentukan dari 18 sampel bangunan, sebagai kasus studi. Kriteria pemilhan sampel berdasarkan aspek keaslian fasade bangunan berkaitan dengan tingkat keaslian fasade bangunan yang tidak memiliki perubahan pada fasade dan kondisi dalam bangunan yang masih asli. Aspek keaslian fasade bangunan, dengan tingkat keaslian pada fasade bangunan namun di dalam isi bangunan telah mengalami perubahan pola ruang, aspek estetika, berkaitan dengan nilai estetis dan arsitektonis keragaman fasade bangunan dilihat dari style, periodesasi, bentuk, motif, pola, warna, material, perletakan, dan fungsi, aspek pembangunan, berkaitan dengan tipologi dan keunikan pada fasade bangunan yang mewakili pada zamannya dan tidak terdapat pada daerah atau kawasan lain di Indonesia khususnya Kota Semarang.

Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif. memiliki sasaran studi mengenai bagaimana elemen-elemen yang digunakan pada bagian fasade bangunan kolonial rakyat di kawasan studi. Analisis data dan penarikan kesimpulan berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah. Parameter yang dijadikan acuan penilaian adalah kesesuaian antara teori dengan objek yang ada di lapangan.

Langkah awal adalah dengan mengumpulkan data di lapangan, lalu menyesuaikan dengan teori yang berkaitan dengan bentuk fasade bangunan. Langkah kedua, yaitu mencari tahu detail dari setiap elemen yang terdapat pada fasade bangunan. Hasil dari kedua langkah tersebut kemudian dijadikan acuan untuk membuat kesimpulan tentang tipologi fasade bangunan kolonial di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang.

Hasil dan Pembahasan

1. Tipologi berdasarkan bentukan atap

Bagian paling atas pada fasade bangunan adalah atap, sesuai dengan teori atap adalah mahkota bangunan sebagai bukti dari fungsinya sebagai perwujudan kebanggaan dan martabat dari bangunan tersebut yang di sangga oleh badan bangunan. Secara visual atap merupakan sebuah akhiran yang paling sering dikorbankan demi eksploitasi volume bangunan.

Kasus yang ditemukan pada bangunan kolonial di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang ini justru berbanding terbalik dengan teori yang menganggap atap sering dikorbankan, pada kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang atap merupakan bagian fasade bangunan yang masih dipertahankan keaslian bentuknya. Pada koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang serta kasus terpilih, mayoritas atap yang digunakan terbagi menjadi tiga, yaitu 1. Pelana; 2. Perisai (kombinasi gable dan tower pada bagian titik entrance); dan 3. Kubah dengan kombinasi tower di setiap sisi–sisi kubah.

(4)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011

146

di bangun pada tahun 1920, tepatnya pada masa kependudukan Belanda berlangsung, sehingga pada perkembangannya bentuk atap tersebut menjadi bentuk yang mayoritas digunakan pada kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang. (Gambar 1)

Penggunaan atap perisai pada fasade bangunan kolonial di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto ditemukan empat (4) bangunan, yaitu pada kasus 8 terdapat kombinasi dengan gable berbentuk segitiga sebagai penanda entrance pada bangunan, kasus 9 terdapat atap perisai dengan kombinasi gable yang runcing menyerupai kubah menggunakan bahan material dari semen dengan ornamen garis–garis geometri, kasus 15 bentuk atap perisai polos tanpa ada tambahan variasi terkesan tradisional dan sederhana, dan kasus 16 memeiliki bentuk atap perisai dengan kombinasi tower dan kubah yang ada pada atap bangunan.

Atap perisai digunakan pada tahun yang sama seperti atap pelana tahun 1920 namun, disetiap penggunaan atap perisai memiliki fungsi sebagai bangunan perkantoran. (Gambar 2)

Atap kubah ditemukan pada koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprpato Kota Semarang berjumlah satu kasus saja, yaitu pada kasus satu. Atap kubah digunakan pada kasus yang di bangun pada abad ke-18. Fungsi dari bangunan beratap kubah yakni sebagai tempat beribadah. Bentuk kubah pada atap bangunan mampu memberikan

Gambar.1. Bentuk atap pelana pada kasus di tahun 1920 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto No.37.

Bentuk atap pelana dengan bahan material genteng tanah liat digunakan untuk bahan utama atap pada tahun 1920 tanpa adanya elemen–elemen kepala bangunan, yang disebabkan oleh penyesuaian iklim dan budaya lokal.

Gambar 2. Bentuk atap perisai pada kasus tahun 1920 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto No.1.

(5)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011 147

bentuk dan ciri khas tersendiri pada koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang, sehingga fasade bangunan pada abad ke-18 mampu memberikan identitas, karakter, dan tipe tersendiri pada koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang. (Gambar 3 dan Tabel 1)

Tipologi listplank pada kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang hanya memiliki dua bentuk, yaitu polos dan permainan ornamen. Dua belas kasus menggunakan listplank polos, enam kasus tidak menggunakan listplank di karenakan memiliki bentuk fasade yang massif dan satu kasus menggunakan listplank dengan ornament (Gambar 4)

Jenis Atap Kombinasi Kasus

Pelana

Pelana Perisai Perisai Kubah

Polos

Gable Gable

Tower Tower

kasus 3, kasus 4, kasus 5, kasus 6, kasus 7, kasus 10, kasus 11, kasus

12, kasus 14, kasus 17. kasus 2 dan kasus 18 kasus 8, kasus 9, kasus 15

kasus 16. kasus 1

Gambar. 3. Bentuk atap kubah pada kasus 1 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto No.32.

Penggunaan atap kubah disebabkan oleh pengaruh dari fungsi bangunan serta status sosial pemilik bangunan. Atap kubah melambangkan kekuatan dan keselamatan.

Tabel.1. Klasifikasi Tipologi Berdasarkan Atap Bangunan

Gambar 4. Bentuk listplank berornamen pada kasus 12 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto No.9.

(6)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011

148

Tipologi berdasarkan bentuk–bentuk dari karakteristik bangunan kolonial pada koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang, keberadaan gable, dormer, dan

nok acroterie hanya terdapat pada beberapa kasus bangunan pada abad 18, abad ke-19 serta setelah tahun ke-1920. Bentuk gable mayoritas menggunakan bentuk segitiga dengan permainan garis–garis geometri serta menggunakan bahan material dari semen. Fungsi dari gable merupakan hiasan puncak atap yang mampu mewakili letak entrance

pada suatu bangunan. Keberadaan dormer hanya terdapat pada beberapa kasus bangunan yang fungsinya merupakan bangunan rumah tinggal dikarenakan fungsi dormer

sebagai sirkulasi udara pada perapian, bentuk dormer mayoritas menggunakan bentuk persegi dengan motif krepyak dan berbahan material dari semen. Nok acroterie

merupakan hiasan puncak atap yang paling tinggi letaknya. Bentuknya yang runcing berbahan material dari besi memberikan simbol keselamatan dan kemakmuran pemilik bangunan tersebut. Keberadaan bentuk fasade bangunan kolonial mampu menyiratkan kondisi arsitektur di Belanda dengan penerapan ini, maka arsitektur kolonial di Indonesia akan beragam, tidak seluruh bangunan kolonial menggunakan karakteristik tersebut melainkan penyesuaian terhadap status sosial pemiliki, iklim, budaya, serta fungsi bangunan menjadi perhatian penting dalam menentukan bentuk fasade bangunan, begitu juga pada koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto disesuaikan dengan fungsi pada bangunan.

1. Tipologi berdasar elemen pada dinding

Ditinjau dari tekstur dinding pada kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto terbagi menjadi dua, yaitu bertekstur halus dan bertekstur kasar. Hal ini dikarenakan pada 17 kasus bangunan menggunakan dinding polos bertekstur halus dan 1 kasus bangunan menggunakan permainan ornamen bata klinker pada bidang dinding. Terlihat pada kasus 2 menggunakan bata klinker sebagai bagian fasade bangunan. (Gambar 5)

Teritisan pada kasus yang ada di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang letak teritisan sepanjang lebar fasade bangunan. (Gambar 6)

Gambar 5. Bentuk dinding dengan bata klinker pada kasus 2 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto No.29.

(7)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011 149

Lubang angin untuk kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto terbagi atas dua jenis, yaitu berbentuk persegi dan berbentuk lengkung. Bentuk lubang angin lengkung hanya ditemukan pada kasus 4 dan kasus 16, sedangkan enam belas kasus yang lain menggunakan bentuk persegi pada lubang angin. Lubang angin pada kasus di Koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang mayoritas berbentuk persegi dengan permainan aksen garis. (Gambar 7)

Jenis pintu pada pada delapan belas kasus yang ditemukan di koridor Jalan Letnan Jederal Soeprapto, keseluruhan pintu pada fasade utama terbagi atas beberapa bentuk,

antara lain: 1. Pintu rangkap ganda; dan 2. Pintu ganda. (Gambar 9)

Gambar 8. Bentuk lubang angin pada kasus 5 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto No.19.

Gambar 7. Bentuk lubang angin pada kasus 13 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto No.23-25.

Bentuk bouvenlicth menyesuaikan dengan bentuk dan ukuran dari bukaan pada fasade bangunan.

Bentuk bouvenlicth memberikan kesan yang monoton, sehingga permainan garis–garis geometri akan membuat

bouvenlicth sebagai elemn fasade yang

juga penting bagi bangunan.

Gambar 9. Tipologi pintu pada kasus 5 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto No.19.

(8)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011

150

Bahan material yang digunakan pada pintu rangkap ganda adalah lapis terluar berupa besi dengan permainan garis–garis, sedang lapis terdalam berupa kayu massif dengan permainan ornamen kaca. Bahan material pintu jenis ganda yaitu berupa kusen kayu dan kaca. (Tabel.2)

Jenis Pintu Kasus

Pintu ganda

Pintu rangkap ganda

Kasus 1, kasus 2, kasus 3, kasus 4, kasus 7, kasus 9, kasus 10, kasus 11, kasus 12, kasus 13, kasus 14, kasus 15, kasus 16, kasus 17, kasus

18 Kasus 5, kasus 6, kasus 8

Jenis jendela pada delapan belas kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang, terbagi atas beberap bentuk, antara lain: 1. Jendela rangkap ganda; 2. Jendela ganda; dan 3. Jendela tunggal. (Gambar 10)

Jenis jendela yang ditemukan pada kasus 1 semua menggunakan bentuk jendela tunggal dengan motif krepyak dan permainan garis- garis. Bahan material yang digunakan pada jendela rangkap ganda pada lapis terluar berupa kayu massif dengan permainan garis–garis dan material kaca sedang lapis terdalam berupa besi teralis. Bahan material pada jendela jenis ganda dan tunggal, yaitu berupa kusen kayu dan kaca. (Tabel 3)

Jenis Jendela Kasus

Jendela tunggal Jendela ganda

Jendela rangkap ganda

kasus 1

2, kasus 4, kasus 6, kasus 7, kasus 9, kasus 10, kasus 11, kasus 12, kasus 13, kasus 14, kasus 15, kasus

16, kasus 17, dan kasus 18 kasus 3,kasus 5,dan kasus 8

Berdasarkan atas tinjauan gaya, pada kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto terbagi atas empat tipe, yaitu

1. Abad ke-18 (pada kasus 1), pada bangunan arsitektur kolonial pada abad ke-18 hanya memiliki satu tipe yang mayoritas menggunakan bentuk–bentuk dengan variasi garis lengkung serta permainan pada elemen fasade bangunan membuat fasade sangat menarik seperti pada peletakkan kubah dan tower di sisi–sisi titik

entrance.

Tabel 2. Klasifikasi Tipologi Berdasarkan Pintu

Gambar 10. Tipologi jendela pada kasus di tahun 1920 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto.

Tabel.3. Klasifikasi Tipologi Berdasarkan Bentuk Jendela

Tipologi bentuk jendela tunggal Tipologi bentuk jendela rangkap ganda

(9)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011 151

2. Abad ke-19 (pada kasus 2), pada bangunan arsitektur kolonial pada abad ke-19 hanya memiliki satu tipe yang menggunakan garis–garis lengkung pada kepala bangunan khususnya gable dan nok acroterie, penggunaan dinding dengan bata klinker menjadikan bangunan pada kasus 2 memiliki karakter yang cukup menonjol dan memiliki perbedaan pada fasade bangunan.

3. Tahun 1920 (pada kasus 3 hingga kasus 17), pada bangunan kolonial pada tahun 1920 menggunakan bentuk–bentuk elemen fasade bangunan yang cukup sederhana dengan penyesuaian terhadap budaya lokal, sehingga muncul bentu-bentuk arsitektur yang sederhana dan tradisional seperti pada penggunaan elemen–elemen fasade atap, jendela, pintu, bouvenlicth menggunakan bentuk persegi sebagai bentuk yang mampu mewakili arsitektur tradisional.

4. Setelah tahun 1920 (pada kasus 18), pada bangunan kolonial setelah tahun ke-1920 muncul bentuk fasade bangunan yang cukup berbeda dengan mengolah bentuk garis-garis geometri sebagai bentuk fasade bangunan dengan unsur–unsur klasik eropa pada bentuk jendela, gable, serta pintu sebagai entrance.

2. Tipologi berdasarkan lantai bangunan

Lantai menggunakan penutup lantai dengan dua tipe yang berbeda agar mampu menyesuaikan dengan budaya lokal dan iklim tropis di Indonesia. Lantai berwarna gelap menggunakan bahan material dari semen agar mampu menyerap panas dan menjaga kelembaban udara, sedangkan lantai dengan bahan material keramik merupakan pengembangan bahan material. Menurut ketinggian lantai pada lima kasus memiliki ketinggian yang berbeda dengan kasus yang lain karena memiliki ketinggian delapan meter dengan kondisi bangunan dua lantai dan memiliki balkon sebagai, sedangkan pada kasus bangunan yang lain memiliki ketinggian fasade mencapai 4 meter dengan kondisi bangunan satu lantai dan mengalami ketinggian pada pencapaian entrance berupa 2-3 anak tangga. (Tabel 4)

3. Tipologi berdasarkan komposisi fasade bangunan

Dapat diambil kesimpulan berdasakan tipologi komposisi fasade bangunan kolonial di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang berdasarkan sumbu, perulangan dan hirarki, sebagai berikut:

a. Pada abad ke-18 memiliki satu tipe bangunan, fasade bangunan memiliki komposisi yang simetri dengan perulangan yang seimbang serta bentuk hirarki yang terpusat menurut skala, wujud dan peletakkan unsur-unsur fasade bangunan seperti pada kolom, jendela, serta tower dan memiliki nilai hirarki yang tinggi pada entrance sebagai komposisi yang dominan pada fasade bangunan. (Gambar 11)

Jumlah lantai Fungsi bangunan Kasus

Satu lantai

(10)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011

152

a. Pada abad ke-19 memiliki satu tipe bangunan, fasade bangunan memiliki komposisi yang asimetri dengan perulangan yang tidak seimbang pada peletakkan elemen–elemen fasade bangunan seperti jendela serta elemen fasade lainnya. Namun, pada peletakkan gable dan pintu mampu membentuk nilai hirarki yang tinggi sebagai pusat entrance yang cukup dominan pada komposisi fasade bangunan. Abad ke-19 memiliki sisi–sisi yang berbeda oleh karena itu mesipun memiliki skala sisi–sisi yang berbeda namun peletakkan jendela dna pintu memiliki perulangan yang harmonis.(Gambar.12)

b. Pada tahun 1920 terdapat 15 kasus bangunan dengan komposisi yang berbeda - beda, fasade bangunan memiliki beberapa jenis komposisi fasade bangunan disesuaikan dengan skala, wujud dan peletakkan elemen fasade bangunan. Pada kasus 6, kasus 9, kasus 13 dan kasus 16 memiliki komposisi fasade asimetri dengan sisi–sisi yang tidak seimbang dan perulangan yang tidak harmonis atau linier dikarenakan adanya penyesuaian terhadap fungsi bangunan serta status sosial pemilik bangunan, namun dengan sisi yang asimetri mampu memberikan hirarki pada entrance sebagai komposisi yang cukup dominan pada setiap fasade bangunan. Sedangkan, pada kasus 3, kasus 4, kasus 5, kasus 7, kasus 8, kasus 10, kasus 11, kasus 12, kasus 14, kasus 15, dan kasus 17 memiliki komposisi

Gambar 11. Komposisi fasade bangunan abad ke-18 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto.

(11)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011 153

fasade bangunan yang simetri dengan sumbu radial, perulangan elemen–elemen fasade bangunan yang seimbang dan harmonis serta hirarki yang terpusat berdasarkan ukuran, wujud, serta peletakkan dari komposisi elemen fasade bangunan. (Gambar 13 dan Gambar 14)

c. Setelah tahun 1920 terdapat satu kasus bangunan yaitu pada kasus 18, dengan komposisi yang simetri pada fasade bangunan, seimbang pada perulangan letak jendela dan elemen fasade bangunan, serta memiliki hirarki terpusat pada atap dan gable serta nilai hirarki yang tinggi pada peletakkan entrance. (Gambar 15)

Gambar.13. Komposisi fasade bangunan simetri di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto pada tahun 1920.

Gambar.14. Komposisi fasade bangunan simetri di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto pada tahun 1920.

(12)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011

154

Kesimpulan

Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Tipologi berdasarkan gaya bangunan dan pembagian periodesasi yang dapat ditemukan pada kasus fasade bangunan di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang terbagi atas empat gaya:

a. gaya pada abad ke-18 mayoritas menggunakan bentuk–bentuk dengan variasi garis lengkung serta permainan pada elemen fasade bangunan membuat fasade memiliki langgam kolonial seperti pada peletakkan kubah, kolom dan tower di sisi–sisi titik entrance dengan fungsi sebagai bangunan ibadah.

b. abad ke-19 menggunakan garis–garis lengkung pada kepala bangunan khususnya gable dan nok acroterie, penggunaan dinding dengan bata klinker menjadikan bangunan pada kasus 2 memiliki karakter yang cukup menonjol dengan fungsi sebagai gudang perkantoran.

c. tahun 1920 menggunakan bentuk–bentuk elemen fasade bangunan yang cukup sederhana dengan penyesuaian terhadap budaya lokal, sehingga muncul bentuk–bentuk arsitektur yang sederhana dan tradisional seperti pada penggunaan elemen–elemen fasade atap, jendela, pintu, bouvenlicth

dengan fungsi bangunan sebagai perkantoran,perdagangan dan rumah tinggal.

d. setelah tahun 1920 mengolah bentuk garis-garis geometri sebagai bentuk fasade bangunan dengan unsur–unsur klasik eropa pada bentuk jendela,

gable, serta pintu sebagai entrance, bangunan tersebut berfungsi sebagai gudang alat–alat derek.

2. Tipologi berdasarkan elemen fasade bangunan mampu memberikan hasil analisis deskriptif visual terhadap studi kasus terpilih, yaitu 18 buah bangunan dapat diketahui morfologi elemen bangunan terhadap iklim, seperti adanya bentuk kepala bangunan, badan bangunan, serta kaki bangunan. Hasil visual secara umum disebutkan bahwa karakter dan tipe pada setiap bangunannya, antara lain: pada tipologi fasade bangunan di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang memiliki beberapa jenis atap, yaitu

a. Perisai pada kasus 8, kasus 9, kasus 15, dan kasus 16 serta beberapa variasi pada setiap bentuk atap dengan adanya penambahn gable.

b. Pelana pada kasus 2, kasus 3, kasus 4, kasus 5, kasus 6, kasus 7, kasus 10, kasus 11, kasus 12, kasus 14, kasus 17 dan kasus 18 serta beberapa variasi pada setiap bentuk atap dengan adanya penambahan gable, dan tower.

c. Kubah pada kasus 1 serta beberapa variasi pada setiap bentuk atap dengan adanya penambahan kubah.

d. Tipologi dinding dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu dinding polos dan dinding yang menggunakan bata klinker sebagai elemen fasade bangunan.

e. Elemen bukaan ditemukan empat jenis, yaitu jendela, bouvenlicht, dan lubang angin.

f. Jenis pintu dan jendela yang paling banyak ditemukan adalah jenis rangkap ganda dan ganda serta menggunakan bahan material kayu dan kaca.

(13)

ar s i t ek t ur e- J our nal , Vol ume 4 Nomor 3, Nov ember 2011 155

3. Berdasarkan komposisi bangunan memiliki tipologi yang berbeda di setiap kasus bangunan antara lain memiliki sumbu yang simetris, dengan ritme atau perulangan pada elemen pembentuk fasade seperti pintu dan jendela yang dinamis, serta hirarki terpusat dengan nilai yang tinggi pada ukuran dan peletakkan entrance, dan memiliki sumbu yang asimetris pada fasade bangunan, dengan ritme yang tidak harmonis dan tidak dinamis serta hirarki yang linier, sehingga adanya satu kesatuan bentuk pada komposisi fasade.

Saran

Diharapkan kajian mengenai tipologi fasade bangunan kolonial ini mampu menjadi acuan terhadap perkembangan bentuk arsitektur kolonial yang berlandaskan kebudayaan lokal dan iklim tropis, sehingga diharapkan bentuk– bentuk arsitektur mampu dijadikan cerminan pada bangunan kolonial di Indonesia serta mampu dijadikan titik awal mengenai tipologi fasade bangunan kolonial dalam rangka menambah pengetahuan mengenai pelestarian bangunan bersejarah di Indonesia serta menganalisis bangunan sebagai cagar budaya dan kekayaan bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka

Santosa, H. 2005. Karakteristik Fasade Bangunan Rumah Toko (ruko) di Kota Malang.

Jurnal RUAS (2): 137-146

Amiuza, C.B. 2006. Tipologi Rumah Tinggal Administrator P.G. Kebon Agung Kabupaten Malang. Jurnal RUAS. IV (1):1-12

Atmadi. P. 1988. Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Loekitokartono. 1942. Tipologi Tampak Rumah Tinggal di Kampung Surabaya Pada

Periode Sebelum Tahun 1942. Surabaya:Universitas Kristen Petra.

Kurniawan, S.H.N. 1988. Arsitektur Kolonial di Jawa Timur. Surabaya:Universitas Kristen Petra.

Amien. B. 1978. Semarang Riwayatmu Dulu. Jilid Pertama. Semarang: Tanjung Sari. Liem T.J. Riwayat Semarang. 1933.

Krier. R. 2001. Komposisi Arsitektur, Jakarta: Penerbit Erlangga

Artantya. 2008. Tipologi Fasade Rumah Tinggal Kolonial Belanda di Kayutangan – Malang. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang:Universitas Brawijaya.

Hany, P. 2008. Tipologi Wajah Bangunan Rumah Tinggal Kolonial Belanda di Ngamarto– Lawang. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang:Universitas Brawijaya.

Nova J.H. 2001. Tipologi Pintu dan Jendela Rumah Tinggal Kolonial Belanda di Kayutangan Malang. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang : Universitas Brawijaya. Satyawan, Y. 2001. Fasade Rumah Tinggal Kolonial Belanda di Pusat Kota Lawang.

Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang : Universitas Brawijaya.

Pertiwi, P.A. 2008. Tipologi Wajah Bangunan Kolonial di Ngamarto, Lawang. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang:Universitas Brawijaya.

Dewanti, A.W. 2002 . Tipologi Wajah Bangunan Peninggalan Kolonial Belanda di Kota Malang (Studi Kasus SMUN Tugu). Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang:Universitas Brawijaya.

Yulian, W.P.K. 2002 . Tipologi Wajah Bangunan Pada Gedung Pendidikan Katolik Peninggalan Kolonial Belanda di Kota Malang. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang:Universitas Brawijaya.

Gambar

Gambar 2. Bentuk atap perisai pada kasus tahun 1920 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto No.1
Gambar. 3. Bentuk atap kubah pada kasus 1 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto No.32
Gambar 6. Bentuk teritisan pada tahun 1920 kasus 14 dan kasus 17 di koridor  Jalan Letnan Jenderal Soeprapto
Gambar 8. Bentuk lubang angin pada kasus 5 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto No.19
+4

Referensi

Dokumen terkait

Analisis dilakukan dengan variabel penelitian berupa elemen pembentuk fasade meliputi atap, lisplang, pintu, jendela, pembayang, ventilasi dan elemen penanda.. Pada penelitian

Kajian Perubahan Elemen Fasade Arsitektur Kolonial (Studi Kasus : Stasiun Kereta Api

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi bangunan Stasiun Kereta Api Medan pada masa kolonial dan pada masa sekarang serta mengetahui elemen elemen arsitektur pada fasade

Kesimpulan hasil penelitian ini tidak mengatur fasade bangunan-bangunan rumah tinggal di kawasan perumahan Tjitaroem Plein secara langsung, melainkan hanya dibuat sebagai

Tipologi gaya yang dapat ditemukan pada kasus rumah tinggal Kayutangan terbagi atas empat gaya, yaitu gaya pra 1900, pasca 1900, 1920-an dan 1930-an. Elemen fasade bangunan yang

Preservasi, kegiatan yang perlu dilakukan pada fasade bangunan kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja adalah kegiatan pemeliharaan bentukkan fisik dalam kondisi

Pada penelitian tentang identifikasi fasade bangunan kolonial pada rumah tinggal di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe ini dapat disimpulkan bahwa delapan

Perbandingan hasil penilaian antara metode preferensi masyarakat dengan aplikasi program IAM terhadap keindahan tampilan visual fasade bangunan toko di koridor