• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Fasade Bangunan Peninggalan pada Rumah Tinggal di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Identifikasi Fasade Bangunan Peninggalan pada Rumah Tinggal di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1274

Identifikasi Fasade Bangunan Peninggalan pada Rumah Tinggal di

Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe

Armelia Dafrina1, Fidyati2, Riza Fitri3, Nova Purnama Lisa4 1,2,3,4

Jurusan Teknik Arsitektur, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, *Koresponden email: armelia@unimal.ac.id

Diterima: 29 Juli 2020 Disetujui: 14 Agustus 2020

Abstract

Colonial architecture is an architectural style from a mixture of European architecture and through a process of adaptation to form Dutch architecture during the Indonesian era during the Dutch colonialism. This colonial architecture adapted to the local environment and climate in order to produce buildings that were suitable and comfortable to live in. The research object is the residential house in Banda Sakti District, Lhokseumawe City. This area is a place where there are historical buildings identified as the Dutch Colonial Heritage Area. The aim of this research is to identify the existence of houses in Banda Sakti District, Lhokseumawe City through the building facades which still have the characteristics of Dutch colonial architecture. This research method is a qualitative research method through direct observation at the research location and interviews of home owners. The research focuses on the elements of the outdoor facade that are related to the exterior of the building. The identification resulted that eight residential houses in Banda Sakti District still used the architectural features of the colonial building façade, but 2 of them had adapted to the times.

Keywords: colonial architecture, facade, identification, roof, doors, windows Abstrak

Arsitektur kolonial merupakan gaya arsitektur yang berasal dari percampuran arsitektur Eropa dan melalui proses adaptasi membentuk arsitektur Belanda pada masa Indonesia masih dalam wilayah penjajahan Belanda. Arsitektur kolonial ini beradaptasi dengan lingkungan dan iklim setempat agar menghasilkan bangunan yang sesuai dan nyaman untuk dapat dihuni. Dalam hal ini obyek penelitian adalah hunian rumah tinggal di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe. Kawasan ini merupakan tempat dimana terdapat bangunan-bangunan bersejarah teridentifikasi sebagai Kawasan Peninggalan Bangunan Kolonial Belanda. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi keberadaan rumah di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe melalui fasade bangunan yang masih memiliki ciri arsitektur kolonial Belanda. Metode penelitian ini yaitu metode penelitian kualitatif melalui observasi langsung pada lokasi penelitian dan wawancara pemilik rumah. Penelitian fokus pada elemen fasade luar rumah yang berkaitan dengan wujud luar bangunan. Identifikasi menghasilkan bahwa delapan rumah hunian di Kecamatan Banda Sakti masih menggunakan ciri arsitektur fasade bangunan kolonial namun 2 diantaranya sudah beradaptasi dengan perkembangan jaman.

Kata Kunci: arsitektur kolonial, atap, fasade, identifikasi, pintu, jendela 1. Pendahuluan

Lhokseumawe merupakan salah satu kota di Provinsi Aceh yang pernah disinggahi Belanda pada masa penjajahan. Salah satu jejak sebagai bukti sejarah adalah hunian sebagai tempat tinggal bangsa Belanda yang berbeda dengan hunian masyarakat lokal. Hunian masyarakat Belanda merupakan tempat tinggal untuk warga negara Belanda yang saat itu berada di Indonesia khususnya Aceh yang akhirnya disebut dengan bangunan kolonial Belanda [1].

Ciri khas bangunan kolonial terlihat pertama kali pada fasade bangunan namun tidak hanya itu bagian lain seperti bagian interior juga sangat menjelaskan bangunan peninggalan masa kolonial. Aspek fisik yang terdapat pada perkembangan sejarah arsitektur kolonial dapat menjadikan tolak ukur sebuah perbandingan perkembangan pola tata ruang, pengunaan material, bentuk fasade dan lainnya. Bentuk fasade sangat mempengaruhi daya tarik masyarakat dan sangat membedakan antara fasade bangunan kolonial dan fasade bangunan lokal [2].

Fasade merupakan elemen penting pada suatu bangunan untuk menunjukan penampilan fisik atau wajah bangunan. Pentingnya mengetahui fasade bangunan merupakan cara untuk mengetahui fungsi dan makna suatu bangunan. Fasade bangunan kolonial memiliki perbedaan dengan fasade bangunan lokal

(2)

1275

karena itu dibutuhkan sebuah pengenalan terhadap wajah bangunan kolonial. Sebagian besar ciri khas bangunan yang bergaya arsitektur kolonial lebih tampak pada bagian fasade dikarenakan umumnya bagian ini sangat menonjol dan berbeda dengan bangunan lainnya .

Ada sepuluh bangunan rumah tinggal kolonial di Kota Lhokseumawe yang telah diteliti dan memiliki ciri khas fasade arsitektur kolonial. Namun keadaan bangunan rumah tinggal kolonial ini sudah banyak perubahan dikarenakan renovasi yang dilakukan oleh penghuni yang berganti kepemilikan. Seiring berkembangnya zaman perubahan dilakukan dengan mengikuti keadaan daerah tersebut dan memperbaiki segala kerusakan yang terdapat pada bagian bangunan kolonial tersebut. Bentuk fasade yang merupakan sebuah fokus pertama yang menjadi pembeda antara arsitektur lokal dan arsitektur kolonial akan menjadi sebuah pembahasan untuk menentukan bukti sejarah di Indonesia [3]. Identifikasi fasade pada bangunan rumah tinggal peninggalan kolonial menjadi keharusan dalam penelitian ini.

Pada dasarnya karakteristik sebuah bangunan tidak hanya dilihat pada eksteriornya saja melainkan dari segala aspek seperti interior, bentuk denah, warna, bahan material dan hingga fungsi bangunan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pemahaman masyarakat dalam mengenal bangunan bersejarah khususnya bangunan arsitektur kolonial. Tujuan lainnya yaitu memperkenalkan ciri khas fasade arsitektur kolonial yang berada pada bangunan lokal daerah sekitar tempat tinggal masyarakat khususnya di kawasan Banda Sakti Kota Lhokseumawe. Masyarakat umumnya diharapkan dapat mengetahui ciri khas fasade bangunan kolonial dan keberadaan bangunan kolonial sebagai hunian bagi warga Belanda yang pernah menjajah Indonesia melalui penelitian mengenai identifikasi keberadaan bangunan arsitektur kolonial.

2. Studi Kepustakaan

Menurut [4] kata fasade di ambil dari kata latin “facies” yang merupakan sinonim kata-kata face (wajah) dan appearance (penampilan). Karena itu fasade diterjemahkan sebagai bagian depan yang menghadap jalan. Komposisi fasade harus mempertimbangkan persyaratan fungsional yaitu jendela, bukaan pintu, pelindung matahari dan bidang atap, oleh karena itu desain fasade pada dasarnya berkaitan dengan penciptaan kesatuan harmonis antara proporsi yang baik, penyusunan struktur vertikal dan horisontal, ritme bahan, warna dan elemen dekoratif. Fasade tersusun dari beberapa elemen tunggal yaitu

entrance dan pintu masuk, arcade, lantai dasar, jendela, balkon, logia, dan atap. Komposisi fasade terdiri

dari penstrukturan disatu sisi dan penataan pada sisi lainnya. Elemen-elemen fasade itu merupakan benda yang berbeda sehingga memiliki bentuk, warna dan bahan yang berbeda pula meliputi [4]:

2.1. Komposisi Visual a. Geometri

Geometri memiliki unsur-unsur yaitu garis/ batang/ sisi/ rusuk, sudut dan bidang/ lempeng [5]. Menurut [4], geometri terbagi menjadi dua yaitu beraturan dan tidak beraturan. Geometri dasar bangunan terdiri atas tiga jenis yaitu bujur sangkar, segitiga dan lingkaran.

b. Tekstur

Tekstur adalah nilai raba pada suatu permukaan, baik itu nyata maupun semu. Suatu permukaan mungkin kasar, halus, keras atau lunak, kasar atau licin.

c. Bidang Solid dan Void

Bidang void pada fasade berupa bukaan pintu dan jendela yang berfungsi untuk memasukan udara dan cahaya ke dalam ruangan. Bukaan jendela yang terus menerus berulang, yang bersama elemen dinding, menciptakan kontras permukaan terbuka-tertutup, gelap-terang, kasar dan halus. Bagian bangunan yang sangat mudah untuk dilihat adalah bagian depan bangunan atau bagian fasade bangunan. kata fasade juga sering diartikan sebagai wajah bangunan. Wajah bangunan atau kulit luar bangunan sering sekali dijadikan tolak ukur penilaian oleh para pengamat tanpa memeriksa terlebih dahulu bagian keseluruhan bangunan. Komposisi suatu fasade dapat dengan mudah mempertimbangkan semua persyaratan fungsionalnya (jendela, pintu, sun shading, bidang atap) pada prinsipnya dapat dilakukan dengan menciptakan kesatuan yang harmonis yaitu dengan menggunakan komposisi yang proposional, unsur vertikal dan horizontal yang terstruktur, material, warna, dan elemen-elemen dekoratif.

2.2. Tinjauan Arsitektur Kolonial Belanda

Arsitektur kolonial adalah arsitektur yang dikembangkan di Indonesia selama Indonesia masih dalam kekuasaan Belanda. Masuknya unsur Eropa kedalam komposisi kependudukan menambah kekayaan ragam arsitektur di nusantara. Kolonialisme di Indonesia berlangsung selama tiga setengah abad oleh Belanda dan tiga setengah tahun oleh Jepang. Kolonialisme Belanda yang relatif lama meninggalkan

(3)

1276

peninggalan fisik berupa tata kota dan bangunan-bangunan yang di kenal sebagai arsitektur kolonial. Arsitektur kolonial adalah arsitektur yang dibangun selama masa kolonial, ketika Indonesia dijajah oleh Belanda pada tahun 1600-1942.

Arsitektur kolonial masuk ke Indonesia terjadi karena percampuran dari arsitektur Eropa, dengan proses adaptasi hingga membentuk arsitektur Belanda pada masa penjajahan di Indonesia. Karya peninggalan kolonial Belanda di Indonesia banyak dan beragam, terutama di wilayah atau kota yang pernah berperan penting bagi Belanda. Menurut [6] [7] penyebaran bangunan kolonial di Indonesia dimulai ketika perdagangan Belanda yang makin mantap sehingga perlu membangun berbagai sarana dan prasarana untuk keperluan hidup diantaranya bangunan tempat tinggal, bangunan perkantoran, bank, gereja, stasiun kereta api dan pabrik.

Arsitektur kolonial merupakan perpaduan antara budaya Barat dan Timur yang hadir melalui karya-karya arsitek Belanda, yang dirancang untuk bangsa Belanda yang saat itu menjajah Indonesia. Bentuk Arsitektur Belanda di Indonesia sesudah tahun 1900 merupakan bentuk yang spesifik. Bentuk spesifik menurut [8] adalah hasil dari penyesuaian desain untuk beradaptasi dengan iklim dan kebiasaan masyarakat Indonesia, sehingga arsitektur kolonial Belanda di Indonesia memiliki perbedaan dengan yang ada di Belanda. Rumah kolonial Belanda periode masa penjajahan Belanda merupakan aspek kehidupan di Indonesia termasuk dalam segi perkembangan arsitektur rumah tinggal.

2.3. Karakteristik Arsitektur Kolonial

Karakteristik bangunan arsitektur kolonial lahir dari proses berkembangnya gaya arsitektur dari Eropa saat Belanda menjajah bangsa Indonesia. Terciptanya sebuah karakter arsitektur kolonial mempengaruhi perkembangan gaya arsitektur di nusantara oleh karena itu proses adaptasi gaya arsitektur ini semakin berkembang dari tahun ke tahun sesuai dengan kebutuhan pada masanya. Adapun periodesasi perkembangan gaya arsitektur kolonial ini yaitu:

2.3.1. Ciri-Ciri Arsitektur Kolonial Belanda

Menurut [9] pada bangunan kolonial Belanda terdapat karakter yang mempengaruhi bangunan fasade. Karakter tersebut dapat dilihat dari beberapa elemen-elemen yang biasa digunakan sebagai pendukung fasade, antara lain:

a. Gavel: bagian depan atau tampak bangunan, memiliki bentuk segitiga atau yang mengikuti bentuk

dari atap itu sendiri

b. Tower/menara : Memiliki bentuk yang sangat beragam mulai dari bentuk kotak segi empat, bulat,

hingga bentuk-bentuk geometris lainnya, beberapa diantaranya memadukan degan gavel/depan.

Tower/menara biasanyaberfungsi sebagai penanda pintu masuk bagian depan.

c. Nok Acrotaire/hiasan puncak atap : Langit-langitnya tinggi, hiasan puncak atap biasanya digunakan

pada rumah-rumah para petani di Belanda. Pada awalnya di negara Belanda hiasan puncak atap menggunakan alang-alang.

d. Dormer/cerobong asap semu : Memiliki fungsi untuk penghawaan dan pencahayaan pada bangunan.

Memiliki bentuk yang menjulang tinggi ke atas, dormer di negara aslinya Belanda biasanya digunakan sebagai sebagai ruang atau cerobong asap api.

e. Windwijer/petunjuk angin : Berfungsi sebagai penunjuk arah angin biasanya diletakkan di atas nok

dan dapat berputar mengikuti arah angin.

f. Geveltoppen (hiasan kemuncak atap depan) : Voorshcot, berbentuk segitiga dan terdapat dibagian

depan rumah. Biasanya dihias dengan papan kayu yang dipasang vertikal dan memiliki makna simbolik.

g. Oelebord/oelebert : Berupa papan kayu berukir, digambarkan sebagai dua angsa yang bertolak

belakang yang bermakna membawa sinar terang atau pemilik wilayah.

h. Ragam hias tubuh bangunan: Biasanya berupa hiasan/ornamen ikal sulur tumbuhan yang berujung tanduk kambing. Hiasan pada lubang angin diatas pintu dan jendela, dan kolom. Ada 3 jenis yang terletak pada bangunan kolonial, yaitu kolom doric, ionic dan cornithian. Kolom-kolom ini banyak ditemukan pada bangunan kolonial klasik dengan gaya Yunani dan Romawi. Kolom biasanya diekspose sedemikian rupa, terutama pada bagian serambi bangunan kolonial.

i. Tembok tebal: Penggunaan tembok tebal biasanya digunakan pada bagian depan dengan adanya ukuran lapisan yang lebih tebal dan menonjol dari bagian yang lain.

j. Beranda depan dan belakang sangat luas dan terbuka: Beranda merupakan bagian terbuka pada rumah baik di sisi depan maupun belakang, seperti teras rumah atau serambi yang menghubungkan k. Diujung beranda terdapat barisan pilar atau kolom yang bergaya yunani, kolom yang menjulang

(4)

1277

kolonial. Pilar menjulang ke atas sebagai pendukung atap pilar atau kolom yang tinggi juga di fungsikan sebagai penopang bagian atap bangunan.

l. Bangunan dominasi warna putih umumnya bangunan menggunakan warna putih.

m. Model denah dan fasade yang simetris: Bentuk denah atau fasade bangunan yang simetris menjadi sebuah

n. Model jendela yang lebar dan berbentuk kupu tarung (dengan dua daun jendela) dan tanpa overstek (sosoran): Model jendela yang memiliki dua daun jendela pada bangunan biasanya menyerupai sayap kupu-kupu.

o. Penggunaan skala bangunan yang tinggi sehingga terkesan megah: Pada umumnya bangunan kolonial memiliki ukuran yang tinggi membawa kesan megah namun ada juga bangunan yang ukurannya lebih rendah namun tetap memiliki ciri arsitektur kolonial.

2.3.2 Ragam Hias Arsitektur Kolonial Sebagai Bentuk Simbolis

Pada penelitian [10] memberikan penjabaran mengenai beberapa ciri khas bangunan Belanda dalam bentuk fisik seperti fasade dan simbolis yang digunakan pada rumah Belanda. Beberapa penerapan simbolis pada bangunan rumah Belanda di antaranya:

1. Runeteken

a. Sebagai simbol kesuburan

b. Rund, jenis binatang kerbau atau sapi yang diwujudkan dalambentuk stilasi lambang ini timbul

lebih kurang tahun 800, yang kemudian sering kali dilukiskan dalam bentuk bunga tulip atau leli.

2. Tympanon (tanda angin)

a. Di wujudkan pohon hayat, kepala kuda, roda matahari lambang Kristen b. Lambang gambar salib, gambar hati, jangkar lambang roma khatolik

c. Miskelk dan hostie

3. Petunjuk Angin (Windwijzer)

Di letakkan di atas nok yang dapat berputar mengikuti arah mata anginn, seperti Gambar 1, 2 dan 3.

Gambar 1. Petunjuk angin (Windwijzer)

Sumber : [10]

Gambar 2. Petunjuk angin Sumber : [10]

(5)

1278

Gambar 3. Petunjuk angin

Sumber : [10]

4. Hiasan Puncak Atap (Nok Acroterie)

Dulu hiasan atap rumah petani terbuat dari daun alang-alang (stroo), kemudian dalam rumah bergaya Indis dibentuk dengan semen. Hiasan bisa dilihat pada Gambar 4 dan 5.

Gambar 4. Hiasan puncak atap (Nok Acroterie) Sumber : [10]

Gambar 5. Hiasan puncak atap (nok acroterie)

Sumber : [10]

5. Hiasan Kemuncak Tampak Depan (Geveltopen)

Bentuk segitiga pada bagian depan rumah di sebut voorschot, dihiasi papan kayu yang dipasang vertikal yang dipergunakan sampai abad ke-19 memberikan arti simbolik antara lain: Lambang manrune, mengandung arti kesuburan, digambarkan dengan hurun “M” atau bunga tulip/leli. Oelebord/uilebord/

oelenbred berupa papan kayu berukir dengan hiasan berupa makelar, yaitu papan kayu berukir, panjang 2

m, di tempel secara vertikal, diwujudkan seperti pohon palem, orang berdiri dan sebagainya seperti Gambar 6 hingga Gambar 12.

(6)

1279

Gambar 6. Hiasan kemuncak tampak depan (geveltopen)

Sumber : [10]

Gambar 7. Hiasan kemuncak tampak depan (geveltopen)

Sumber : [10]

Gambar 8. Hiasan kemuncak tampak depan (geveltopen)

Sumber : [10]

Gambar 9. Hiasan kemuncak tampak depan (geveltopen)

Sumber : [10]

Gambar 10. Hiasan kemuncak tampak depan (geveltopen)

(7)

1280

Gambar 11. Hiasan kemuncak tampak depan (geveltopen)

Sumber : [10]

Gambar 12. Hiasan kemuncak tampak depan (geveltopen)

Sumber : [10]

Pada tahun 2013 bangunan-bangunan bersejarah di Kota Lhokseumawe mulai dikenal satu persatu keberadaannya. Kondisi bangunan ada sebagian sudah rusak, sebagian ruang ada yang sudah musnah tetapi ada beberapa bangunan yang masih dipakai dan dirawat hingga sekarang. Salah satu bangunan yang masih terawat adalah rumah tinggal yang masih memiliki penghuninya dan masih terjaga beberapa bentuk bagian rumah walaupun sebagian bentuk rumah tinggal tersebut sudah di perbaiki dan di ganti dengan bentuk yang lain. Namun memperkenalkan kepada masyarakat ciri khas dari bangunan kolonial Belanda sangat penting sebagai bukti sejarah, meskipun tidak secara menyeluruh adanya bentuk dari bangunan tersebut.

2.3.3. Fasade Bangunan Arsitektur Kolonial Belanda

Sebuah penelitian mengenai pengaruh arsitektur kolonial terhadap rumah panggung era tahun 1890-an sampai tahun 1930-an di Gorontalo menemukan karakteristik fasade arsitektur kolonial yang sangat detail sehingga dapat dijadikan landasan teori dalam penelitian ini. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian tersebut bersumber dari penelitian [11]. Ada beberapa indikator yang digunakan dalam penelitian tersebut dalam meneliti fasade arsitektur kolonial Belanda yaitu:

a. Organisasi Ruang

Tabel 1.Organisasi ruang vertikal

Ruang

Vertikal Arsitektur Kolonial Rumah Panggung Kepala Tinggi atap hampir setinggi

(8)

1281

Badan  Tinggi tembok minimal 4 meter dari lantai hingga plafon

 Jumlah pintu dan jendela yang berlimpah pada satu ruangan

 Ventilasi pada bagian atas setiap daun jendela karena tinggi daun pintu minimal 2 meter

 Tinggi atap minimal 3 meter

 Dinding minimal 4 meter

 Kolom 1-1,5 meter

Kaki Bagian bawah/ kolong/ penyanggah pada rumah berarsitektur umumnya memiliki level yang tinggi

Memiliki jumlah jendela yang berlimpah

Tinggi daun pintu minimal 2 Meter

Ventilasi daun pintu dan jendela

Sumber: [11]

b. Bentuk/Model Atap

Tabel 2. Bentuk/model atap Bentuk/Model

Atap

Arsitektur Kolonial Rumah panggung

Penyelesaian double gevel

Tipologi bentukan atap pelana, perisai,

gevel  Perisai  Gabungan perisai-pelana tidak bersusun  Gabungan perisai-pelana bersusun Sumber: [11]

c. Bentuk/Model Pintu dan Jendela

Tabel 3. Bentuk/model pintu dan jendela

Bentuk Pintu Arsitektur Kolonial Rumah Panggung Pintu dan

Jendela

Pintu dan jendela tinggi hingga terkesan menegak (vertikal) yang kuat, penataan unsur dan komponen

tampang cenderung setangkup.

Pintu dan jendela rangkap berbentuk krepyak (jalusi) sebagai adaptasi rancangan terhadap iklim indonesia.

Komposisi pintu dan jendela

(9)

1282 2.3.4. Periodisasi Karakteristik Arsitektur Kolonial

Menurut [12] yang membagi periodisasi perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dari abad ke-16 sampai tahun 1940-an menjadi empat bagian yaitu:

a. Abad 16 sampai tahun 1800-an: Pada periode ini arsitektur Belanda kehilangan orientasinya hingga tidak mempunyai suatu orientasi yang jelas dikarenakan bangunan tidak dapat menyesuaikan diri dengan iklim setempat.

b. Tahun 1800-an sampai tahun 1902: Pada periodisasi ini bangsa Belanda harus memperkuat statusnya sebagai kolonialis dengan membangun gedung-gedung yang berkesan megah, pada dasarnya bangunan megah ini merupakan adaptasi dari gaya arsitektur neo-klasik yang berbeda dari gaya arsitektur nasional bangsa Belanda pada saat itu.

c. Tahun 1902-1920-an: Perkembangan politik etis pada bangsa Belanda mempengaruhi perkembangan arsitektur kolonial, pada masa ini muncul standar arsitektur yang berorientasi ke Belanda yaitu arsitektur modern.

d. Tahun 1920 sampai tahun 1940-an: Pada masa ini ada gerakan perubahan gaya arsitektur baik nasional hingga internasional di Belanda, yang juga mempengaruhi perkembangan arsitektur di Indonesia secara campuran atau ekletisme. Muncullah karakteristik arsitektur sebuah bangsa yang menjajah Indonesia yaitu bangsa Eropa dengan keinginan menjadikan negara jajahan seperti negara asli dari bangsa tersebut.

3.Metode Penelitian

Metode penelitian dalam riset ini adalah metode deskriftif kualitatif yaitu menganalisis, menggambarkan, mencatat dan menginterpretasikan makna-makna dari suatu objek. Menurut [13] bahwa penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti sebagai instrumen kunci. Lebih lanjut [14] juga menerangkan pengumpulan data juga dilakukan secara triangulasi (teknik penggabungan), analisis data bersifat induktif dan hasil penelitian lebih menekankan pada makna bukan generalisasi.Pada penelitian kualitatif ini data yang dikumpulkan berupa deskriptif yang bertujuan memaparkan atau mendeskripsikan tentang arsitektur kolonial pada bangunan rumah tinggal di Kota Lhokseumawe.

Peneliti menganalisis data yang dikumpulkan selama penelitian pada arsitektur kolonial pada bangunan rumah tinggal di Kota Lhokseumawe serta melakukan beberapa teknik analisis data. Menurut [14] pengertian observasi yaitu merupakan teknik pengumpulan data dimana peneliti melakukan pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan. Teori ini digunakan dalam penelitian ini dengan cara yaitu mengumpulkan data langsung dari lokasi penelitian, mengidentifikasi keberadaan bangunan, wawancara dan dokumentasi langsung.

Struktur Penelitian

Menurut [12] [15] karakteristik arsitektur kolonial dapat di lihat dari beberapa organisasi yang terdapat pada bangunan tersebut seperti Tabel 4.

Tabel 4. Struktur penelitian

Teori Variabel Parameter Pengamatan Objek

[7] Karakteristik arsitektur kolonial Organisasi Ruang Vertikal 1. Kepala 2. Badan 3. Kaki 1. Atap 2. Dinding 3. Kolom Organisasi Ruang Horizontal 1. Stoep 2. Serambi mini Bentuk Dan Model

Atap 1. Perisai 2. Gabungan perisai-pelana tidak bersusun 3. Gabungan perisai Atap Sumber: [9]

(10)

1283 4. Hasil dan Pembahasan

Propinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang memiliki kekayaan warisan sejarah yang sangat beragam terhitung pengaruh dari bangsa-bangsa yang menjajah atau singgah ke Aceh. Namun pada penelitian ini peneliti hanya mengambil lokasi penelitian di Kota Lhokseumawe saja. Hasil penelitian ditabulasikan seperti pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil dan pembahasan No Objek Penelitian Keterangan

1. Wajah hunian ini merupakan wujud luar yang memiliki karakteristik bangunan kolonial dengan ketinggian dinding bangunan ± 4 Meter dan memiliki atap perisai dan pelana. Pada bagian puncak atap terdapat hiasan

2. Bagian ventilasi pada rumah tinggal ini memiliki perbedaan pada bagian ventilasi rumah lain yang terdapat di kawasan jalan Iskandar Muda. Ventilasi pada bangunan ini memiliki karakteristik fasade kolonial yaitu ventilasi dengan bentuk garis horizontal tegas dengan pembagian seperti pola grid. Ukuran ventilasi pada hunian ini sepanjang pintu dan jendela.

3. Karakteristik kolonial pada bangunan ini terlihat pada atap, jendela dan ventilasi.

4. Wajah bangunan ini memiliki beberapa karakteristik arsitektur kolonial pada atap, jendela dan ventilasi

5. Pada bagian atas ventilasi jendela terdapat ukiran yang merupakan ciri khas bangunan kolonial pada masanya yaitu bagian tembok yang sengaja ditebalkan

(11)

1284

7. Pada bagian atap menggunakan atap perisai dengan bahan material genteng dan pada bagian atap memiliki hiasan kemuncak/geveltoven.

8. Ventilasi pada hunian ini memiliki ciri khas arsitektur kolonial. Dengan ukuran yang panjang dan bentuk garis horizontal yang mejadi pembeda antara bangunan lokal pada kawasan ini.

Sumber : Dokumentasi peneliti, 2019

Penelitian pada bangunan rumah tinggal di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe tentang identifikasi fasade bangunan kolonial, mengidentifikasi delapan rumah yang memiliki ciri arsitektur kolonial. Diantara kedelapan hunian tersebut sebagiannya sudah mengalami perubahan sehingga hunian memiliki sedikit perubahan namun tidak secara keseluruhan. Ciri arsitektur kolonial pada beberapa rumah ini sangat beragam dan tidak memiliki kesamaan yang signifikan antara bangunan yang satu dengan bangunan lainnya. Proses identifikasi dilakukan pada beberapa bagian fasade bangunan yaitu, pintu, jendela, ventilasi, tangga, ukiran, warna, atap hingga halaman. Proses identifikasi sedikit terhambat dikarenakan untuk mengumpulkan infomasi berubah data sejarah bangunan sudah tidak akurat dikarenakan pemilik dan warga sekitar kurang mengetahui informasi bangunan tersebut secara detail.

Pada penelitian ini terdapat dua rumah yang tidak ada penghuninya lagi yaitu hunian 3 dan hunian 6 dan enam rumah yang masih memiliki penghuni yaitu hunian 1, hunian 2, hunian 4, hunian 5, hunian 7 dan hunian 8. Beberapa lokasi dari keseluruhan bangunan ini ada yang bersebelahan dan ada yang berjauhan. Penelitian ini juga masih menyisakan bangunan kolonial lain yang terdapat di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe, namun bukan berfungsi sebagai rumah tinggal melainkan sebagai bangunan perkantoran dan bangunan sekolah. Bangunan kolonial Belanda ini menjadi bukti dan saksi sejarah bagi masyarakat Kota Lhokseumawe bahwa bangsa Belanda pernah menjajah Lhokseumawe. Masyarakat Lhokseumawe dapat mengambil kebaikan dari proses perkembangan sejarah untuk menjadikannya sebuah pengalaman dan mulai menghargai sejarah yang ada di Kota Lhokseumawe.

4. Kesimpulan

Pada penelitian tentang identifikasi fasade bangunan kolonial pada rumah tinggal di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe ini dapat disimpulkan bahwa delapan hunian rumah tinggal yang terdapat di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe memiliki ciri khas fasade bangunan kolonial. Beberapa ciri khas bangunan kolonial sudah tidak terlihat lagi dikarenakan sudah terdapat perubahan yang dilakukan oleh penghuni rumah dikarenakan faktor kerusakan material dan kebutuhan lain dari penghuni rumah.

Pada dasarnya bangunan rumah tinggal yang diteliti ini ada beberapa yang sudah pernah diteliti sebelumnya. Kedelapan hunian rumah tinggal yang bercirikan arsitektur kolonial ini juga sangat penting untuk dilestaraikan dan didokumentasikan dikarenakan masyarakat sekitar belum mengetahui peninggalan pada masa kolonial yang ada di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe. Oleh karena itu, dengan adanya penelitian ini diharapkan masyarakat dapat mengetahui peninggalan sejarah kolonial, bagaimana wujud fasade dari bangunan kolonial, perbedaan fasade bangunan kolonial dan bangunan lokal dan mengetahui keberadaan bangunan kolonial yang terdapat di kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe.

5. Daftar Pustaka

[1] Siregar, Raja Khairul Ihsan. Bangunan Peninggalan Kolonial Belanda di Kota Langsa. Diss. UIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2017.

[2] Suharto, Moh Fachruddin. "Karakter Bangunan Kolonial Belanda (Indisch) di Indonesia (Karya Arsitek CP Wolff Schoemaker)." FRONTIERS: JURNAL SAINS DAN TEKNOLOGI 2.1.2019.

(12)

1285

[3] Puspitasari, Novalinda, Antariksa Antariksa, and Abraham Mohammad Ridjal. "Pelestarian Bangunan Kantor Pos Besar Surabaya." Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur 5.2.2017.

[4] Krier, R. "Komposisi Arsitektur". Jakarta: Erlangga, 2001.

[5] Ching, F.D.K. Arsitektur Bentuk, Ruang dan Susunannya. Jakarta: Erlangga, 1996.

[6] Soekiman, (dalam Fitriani 2016). “Identifikasi Bangunan Kolonial Terhadap Arsitektur Tropis di Samudra Pase Geudong, Aceh Utara”. Diakses 5 Juni 2018, 1992.

[7] Sari, Laina Hilma. Pengaruh Karakter Arsitektur Tropis Pada Desain Rumah Belanda. Syiah Kuala University Press, 2019.

[8] Rizienta, Frisa, Arsitektur Fasade Bangunan Rumah Tinggal Kolonial Belanda Di Kawasan Nyai

Ageng Arem-Arem Gresik, 2015.

[9] Handinoto., & Soehargo, P.H. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di

Malang.Yogyakarta: Andi.A, 1996.

[10] Tutuko, P. Ciri Khas Arsitektur Rumah Belanda. diakses 9 Mei (2018), 2010.

[11] Nurmaningsih & Nico Abdul. Pengaruh Arsitektur Kolonial Terhadap Rumah Panggung Era

Tahun 1890-an Sampai Tahun 1930-An Di Gorontalo. Journal 27 Juni 2014, 2017.

[12] Handinoto, Architecture and Cities in Java During the Colonial Period, Graha Ilmu, Yogyakarta. 2012.

[13] Riduwan. Metode Riset. Jakarta: Rineka Cipta. 2004.

[14] Sugiono, Quantitative, Qualitative Research and R & D Methods, Alfaberta, Bandung. 2017.

[15] Sumalyo, Yulianto, Dutch Colonial Architecture in Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 1993.

Gambar

Gambar 1. Petunjuk angin (Windwijzer) Sumber : [10]
Gambar 5. Hiasan puncak atap (nok acroterie)  Sumber : [10]
Gambar 6. Hiasan kemuncak tampak depan (geveltopen)  Sumber : [10]
Tabel  1.Organisasi ruang vertikal Ruang
+4

Referensi

Dokumen terkait

informasi akan sangat membantu pemerintah dalam meningkatkan menyajikan data yang dimiliki pemerintah lebih cepat, memantau efektivitas regulasi/kebijakan,

Berdasarkan hasil analisis anova tunggal (tabel ada dilampiran) pada lulur tradisional ditinjau dari warna yang dihasilkan oleh Kulit Jeruk Nipis dan Daun Kelor

Pertumbuhan tinggi tanaman dan panjang ruas tiga tipe lada perdu sampai dengan tanaman berumur 4 bulan setelah tanam menunjukkan trend yang hampir sama diantara lada hibrida LH

(3) Masukan dari ahli materi terkait contoh gambar yang sesuai karakteristik tidak dapat dipenuhi oleh peneliti mengingat alat pendukung yang digunakan dalam

Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan remaja putri tentang menstruasi dengan kesiapan untuk

Telah banyak contoh pegajuan yang dialamatkan kepada undang undang yang merupakan contant hukum pidana undang-undang yang merupakan contant hukum pidana, seperti judicial

Pasal 19 Ayat 1 mengatakan bahwa penerimaan pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya alam Pertambangan

Dalam rangka mencapai visi pembangunan Jawa Barat tahun 2013-2018, misi pertama yang telah dirumuskan adalah Membangun Masyarakat Yang Berkualitas dan Berdaya