1.1. Definisi
Kejang demam atau febrile convulsion merupakan kelainan neurologis pada anak-anak dengan rentan umur 6 bulan sampai 4 tahun yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal diatas 380C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium(proses yang mengakibatkan kenaikan suhu rektal diatas 38 derajat celcius yang membuat adanya kenaikan suhu pula pada ekstrakranium atau di luar sistem saraf pusat otak atau di luar rongga tengkorak). Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak-anak setelah usia 1 bulan yang disertakan dengan suhu melebihi 38,40C yang tidak disebabkan pula dengan adanya infeksi pada sistem saraf pusat. Kejang demam akan berulang kembali pada usia <12 bulan. Menurut Putri & Baidul (2009) kejang demam ini secara umum dapat di bagi dalam dua jenis, yaitu:
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizures).
Bila kejang berlangsung kurang dari 15 menit dan tidak berulang pada hari yang sama. Kejang demam sederhana tidak menyebabkan kelumpuhan, meninggal, atau mengganggu kepandaian. Risiko untuk menjadi epilepsi di kemudian hari juga sangat kecil. Sekitar 2% hingga 3%. Risiko terbanyak adalah berulang kejang demam, yang dapat terjadi pada 30 – 50% anak. Risiko-risiko tersebut lebih besar pada kejang demam kompleks.
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizures/ complex partial seizures).
anak antara umur 6 bulan dan balita, berakhir kurang dari 15 menit dan terjadi hanya sekali dalam 24 jam.
Kejang adalah salah satu jenis kelainan yang banyak diderita oleh anak sehingga mengganggu pertumbuhan, termasuk otaknya. Kejang atau bagkitan pada bayi sering terjadi antara usia 1-5 persen pada neonatal (selama satu bulan kehidupan bayi), yang merupakan satu periode risiko bagkitan paling tinggi. Jika hal ini terus dibiarkan dan tidak segera mendapat penanganan, lama kelamaan kejang dapat mengakibatkan kerusakan otak sehingga menimbulkan cacat
neurologik. Menurut dr Agus Soedomo, kejang neonatal dipicu oleh suatu keadaan akut seperti periode ensefalopati iskhemik hipoksis (HIE), stroke atau infeksi otak dan bukan karena epilepsi. Kejang merupakan gejala yang paling sering dan penting dari ensefalopati neonatal akut dan telah diketahui sebagai faktor risiko kematian dan atau kecacatan neurologik(saraf).
Anak yang memiliki onset kejang setelah usia 5 tahun, anak tersebut tidak memiliki resiko epilepsi. Namun, risiko untuk terkena epilepsi akan lebih tinggi bila mempunyai riwayat keluarga yang menderita epilepsi maupun cerebral palsy. Kejang pada neonatal secara berulang akan mengakibatkan penurunan jumlah sel saraf, meskipun tidak sampai menimbulkan kematian sel. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa kejang
1.2. Klasifikasi
Menurut Putri & Baidul (2009) kejang demam ini secara umum dapat di bagi dalam dua jenis, yaitu:
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizures).
Bila kejang berlangsung kurang dari 15 menit dan tidak berulang pada hari yang sama. Kejang demam sederhana tidak menyebabkan kelumpuhan, meninggal, atau mengganggu kepandaian. Risiko untuk menjadi epilepsi di kemudian hari juga sangat kecil. Sekitar 2% hingga 3%. Risiko terbanyak adalah berulang kejang demam, yang dapat terjadi pada 30 – 50% anak. Risiko-risiko tersebut lebih besar pada kejang demam kompleks.
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizures/ complex partial seizures).
Bila kejang hanya terjadi pada satu sisi tubuh, berlangsung lebih lama dari 15 menit atau berulang dua kali atau lebih dalam satu hari.
1.3.Etiologi
Etiologi kejang tidak dapat ditentukan, hal yg dapat menyebabkan kejang pada anak yaitu, demam tinggi, vaksinasi, cedera kepala, infeksi virus, hidrosefalus, displasikortikal dan defek waktu lahir.
1. Kejang demam
2. Infeksi: meningitis, ensefalitis
4. Trauma kepala
5. Keracunan: alkohol, teofilin 6. Penghentian obat anti epilepsi
7. Lain-lain: enselopati hipertensi, tumor otak, perdarahan intrakranial, idiopatik.
Etiologi dari kejang bervariasi dan diklasifikasikan sebagai idiopatik (defek genetik, perkembangan) dan didapat.
Penyebab kejang didapat adalah hipoksemia pada beberapa kasus yang mencakup insufisiensi vaskular, demam (pada masa kanak-kanak), cedera kepala, hipertensi, infeki sistem saraf pusat, kondisi metabolisme dan toksik (seperti gagal ginjal, hiponatremia, hipokalsemia,
hipoglikemia), tumor otak, kesalahan penggunaan obat, dan alergi. Stroke dan kanker metastasis ke serebral menunjukkan adanya kasus kejang lansia. Adapun juga penyebab kejang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu intrakranial dan ekstrakranial.
1. Intrakranial
Penyebab intrakranial dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Penyebab intrakranial primer disebut juga idiopatik. Sedangkan sekunder dapat disebabkan karena neoplasma intrakranial, kelainan kongenital seperti hidrosefalus, infeksi seperti meningitis dan ensefalitis, dan trauma kepala.
2. Ekstrakranial
Penyebab ekstrakranial dapat juga disebabkan oleh metastasis keganasan ke otak. Menurut Lumbantobing, 2001 Faktor yang berperan dalam menyebabkan kejang demam:
1. Demam itu sendiri
2. Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus terhadap otak)
3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi 4. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak diketahui atau ensekalopati toksik sepintas
1.4. Patofisiologi
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang di sebab kan oleh infeksi di luar saluran saraf pusat, misalnya tonsillitis, otitis media akut, bronkitis, fluronkulosis, dan lain – lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik – klonik atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf.
klonik. Fase klonik terjadi dimana otot mulai mengalami kaku dan relaks secara bergantian. Setelah itu, pasien dapat kencing atau BAB tanpa sadar. Kejang ini biasanya berlangsung kurang lebih selama 2-3 menit. . Bentuk klinis kejang Klonik fokal berlangsung 1-3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran, dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini sebagai manifestasi akibat trauma fokal pada kontusio cerebri pada bayi besar atau bayi cukup bulan, atau pada kelainan ensefalopati metabolik. Kejang klonik multifokal adalah bentuk kejang yang sering ddapat pada bayi baru lahir, terutama pada bayi cukup bulan dengan berat badan lebih dari 2500gram. Bentuk kejang merupakan gerakan klonik dari salah satu atau lebih anggota gerak yang berpindah-pindah atau terpisah secara teratur. Kadang-kadang karena kejang yang satu dan yang lain sering berkesinambungan, seolah-olah memberi kesan sebagai kejang umum. Biasanya bentuk kejang ini terdapat pada gangguan metabolik.
Kejang tonik biasa didapatkan pada bayi berat lahir rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi-bayi dengan
komplikasi perinatal berat seperti perdarahan intraventrikuler. Bentuk klinis kejang ini yaitu pergerakan tungkai yang menyerupai sikap deserberasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus dibedakan dengan sikap opisititonus yang disebabkan oleh rangsang meningeal karena infeksi selaput otak atau kernicterus.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebihan dari sebuah focus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak
memperlihatkan bebebrapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut:
1. Instabilitas membrane sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskanmuatan secara berlebihan 3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetil kolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat.
4. Ketidakseimbanganion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron segingga terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabakan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
1.5. Manifestasi Klinis
1. Kejang parsial ( fokal, lokal )
1. Kejang parsial sederhana : Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini :
1. Tanda – tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi pupil.
2. Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik, merasa seakan ajtuh dari udara, parestesia.
b. Parsial Kompleks
1. Terdapat gangguankesadaran, walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial simpleks
2. Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap – ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan menongkel yang berulang – ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
3. Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku 2. Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi )
a. Kejang absens
1. Gangguan kewaspadaan dan responsivitas.
2. Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik .
3. Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan konsentrasi penuh
b. Kejang mioklonik
1. Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi secara mendadak.
2. Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila patologik berupa kedutan keduatn sinkron dari bahu, leher, lengan atas dan kaki.
3. Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok.
c. Kejang tonik klonik
1. Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit .
2. Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih. 3. Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah. 4. Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal
c. Kejang atonik
1. Hilngnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala menunduk,atau jatuh ke tanah. 2. Singkat dan terjadi tanpa peringatan.
1.6. Komplikasi
Menurut Ngastiyah (2005) risiko terjadi bahaya/komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kejang demam antara lain:
1. Dapat terjadi perlukaan misalnya lidah tergigit atau akibat gesekan dengan gigi.
2. Dapat terjadi perlukaan akibat terkena benda tajam atau keras yang ada di sekitar anak.
3. Dapat terjadi perlukaan akibat terjatuh. 1. Epilepsi
2. Retardasi mental
Terjadi pada pasien kejang demam yang sebelumnya telah terdapat gangguan perkembangan atau kelainan neurologis
3. Hemiparese
Biasanya terjadi pada pasien yang mengalami kejang lama (berlangsung lebih dari 30 menit)
4. Gagal pernapasan
Akibat dari aktivitas kejang yang menyebabkan otot-otot pernapasan menjadi spasme.
5. Kematian
1.7. Prognosis Kejang Demam
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat prognosisnya baik dan tidak menyebabkan kematian. Living-stone (1954) dari golongan kejanh demam sederhana mendapatkan 2,9% yang menjadi epilepsy dan golongan epilepsy yang diprovokasi oleh demam 97% menjadi epilepsy. Resiko yang dihadapi anak sesudah menderita kejang demam tergantung dari factor:
1. Riwayat penyakit kejang tanpa demam keluarga.
2. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang demam.
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut maka dikemudian hari akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, disbanding bila hanya ada 1 atau tidak sama sekali factor diatas, serangan kejang tanpa demam hanya 2% - 3%. Hemiparesis biasanya terjadi pada pasien yang mengalami kejang lama (berlangsung lebih dari 30 menit) baik umum / fokal. Kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang terjadi. Mula – mula kelumpuhan bersifat flaksid, tapi setelah 2 minggu timbul spasitas. Dari penelitian terhadap 431 pasien kejang demam sederhana, tidak terdapat kelainan pada IQ, tetapi pada pasien kejang demam yang sebelumnya telah terdapat gangguan perkembangan atau kelainan neuroogis akan didapat IQ lebih rendah. Jika kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, retardasi mental akan terjadi 5 kali lebih besar.
1.8. Penatalaksanaan
1. Selama Kejang
a. Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu . {pasien yang memiliki aura penanda ancaman kejam( memerlukan waktu untuk mencari tempat yang aman dan pribadi).
b. mengamankan pasien di lantai , jika memungkinkan.
c. melindungi kepala dengan bantalan untuk mencegah cedera (dari membentur permukaan keras).
d. lepaskan pakaian yang ketat.
f. jika pasien di tempat tidur, singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat tidur.
g. jika aura mendahului kejang,masukan spatula lidah yang di beri bantalan diatara gigi, untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.
h. jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada keadaan spasme untuk memasukan sesuatu. Gigi patah dan cedera pada bibir dan lidah dapat terjadi karena tindakan ini. i. tidak ada upaya yang dibuat untuk merestain untuk pasien
selama kejang karena kontraksi otot kuat dan restrain dapat menimbulkan cedera.
j. jika mungkin , tempatpatkan pasien miring pada salah satu sisi dengan kepala fleksi kedepan yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan pengeluaran saliva dan mukus. Jika di sediakan pengisap,gunakan jika perlu untuk membersihkan secret.
2. Setelah Kejang
1. pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi.yakinkan bahwa jalan nafas paten.
2. biasanya terdapat period ekonfusi setelah kejang granmal.
3. periode abnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba tiba setelah kejang.
5. jika pasien mengalami serangan berat setalh kejang
(posttiktal),coba untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan memberi restain yang lembut.
3. Tindakan Kolaboratif
Lakukan tindakan kolaborasi dengan pemberian
DIAZEPAM melalui intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg / kgBB / kali dengan kecepatan 1-2 mg /menit dengan dosis maksimal 20mg. bila kejang berhenti sebelum obat habis hentikan penyuntikan, lanjutkan dengan VENABURBITOL di berikan setelah kejang berhenti .jika kesulitan memberikan obat anti kejang melalui intravena , pemberian obat paling efektif melalui supositorial
Diazepam digunakan untuk memperpendek mengatasi gejala yang timbul seperti gelisah yang berlebihan, diazepam juga dapat diinginkan untuk gemeteran, kegilaan dan dapat menyerang secara tiba-tiba. Halusinasi sebagai akibat
mengkonsumsi alkohol. diazepam juga dapat digunakan untuk kejang otot, kejang otot merupakan penyakit neurologi.
dizepam digunakan sebagai obat penenang dan dapat juga dikombinasikan dengan obat lain.
1.9. Asuhan Keperawatan
Kasus
pengetahuan orangtua kurang. Diagnosa medis : kejang demam.
1. Pengkajian
Pengkajian menurut Judha & Nazwar (2011) adalah pendekatan sistemik untuk mengumpulkan data dan
menganalisa, sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan pasien tersebut. Langkah-langkah dalam pengkajian meliputi pengumpulan data, analisa dan sintesa data serta perumusan diagnosa keperawatan. Pengumpulan data akan menentukan kebutuhan dan masalah kesehatan atau keperawatan yang meliputi kebutuhan fisik, psikososial dan lingkungan pasien. Sumber data didapatkan dari pasien, keluarga, teman, team kesehatan lain, catatan pasien dan hasil pemeriksaan laboratorium. Metode pengumpulan data melalui observasi (yaitu dengan cara inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi), wawancara (yaitu berupa percakapan untuk memperoleh data yang diperlukan), catatan (berupa catatan klinik, dokumen yang baru maupun yang lama), literatur (mencakup semua materi, buku-buku, masalah dan surat kabar). Pengumpulan data pada kasus kejang demam ini meliputi :
1. Data subyektif: a. Biodata/ Identitas
Biodata anak mencakup nama, umur, jenis kelamin.
Biodata orang tua perlu dipertanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi nama, umur, agama, suku/bangsa,
Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang (1) Gerakan kejang anak
(2) Terdapat demam sebelum kejang (3) Lama bangkitan kejang
(4) Pola serangan (5) Frekuensi serangan
(6) Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan (7) Riwayat penyakit sekarang
(8) Riwayat Penyakit Dahulu c. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Kedaan ibu sewaktu hamil per trimester, apakah ibu pernah mengalami infeksi atau sakit panas sewaktu hamil. Riwayat trauma, perdarahan per vaginam sewaktu hamil, penggunaan obat-obatan maupun jamu selama hamil. Riwayat persalinan ditanyakan apakah sukar, spontan atau dengan tindakan (forcep atau vakum), perdarahan ante partum, asfiksi dan lain-lain. Keadaan selama neonatal apakah bayi panas, diare, muntah, tidak mau menetek, dan kejang-kejang.
d. Riwayat Imunisasi
Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum ditanyakan serta umur mendapatkan imunisasi dan reaksi dari imunisasi. Pada umumnya setelah mendapat imunisasi DPT efek sampingnya adalah panas yang dapat menimbulkan kejang.
1. Personal sosial (kepribadian atau tingkah laku sosial), kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan lingkungannya. 2. Gerakan motorik halus : berhubungan dengan kemampuan anak
untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil dan memerlukan koordinasi yang cermat, misalnya menggambar, memegang suatu benda, dan lain-lain.
3. Gerakan motorik kasar : berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.
4. Bahasa : kemampuan memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan.
f. Riwayat kesehatan keluarga.
1. Anggota keluarga menderita kejang
2. Anggota keluarga yang menderita penyakit syaraf
3. Anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ISPA, diare atau penyakit infeksi menular yang dapat mencetuskan terjadinya kejang demam.
g. Riwayat sosial
1. Perilaku anak dan keadaan emosional
1. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang kesehatan, pencegahan serta kepatuhan pada setiap perawatan dan tindakan medis.
2. Pola nutrisi
Asupan kebutuhan gizi anak, kualitas dan kuantitas makanan, makanan yang disukai, selera makan, dan pemasukan cairan. 3. Pola Eliminasi
a. BAK : frekuensi, jumlah, warna, bau, dan nyeri b. BAB : frekuensi, konsistensi, dan keteraturan 4. Pola aktivitas dan latihan
Kesenangan anak dalam bermain, aktivitas yang disukai, dan lama berkumpul dengan keluarga.
5. Pola tidur atau istirahat
Lama jam tidur, kebiasaan tidur, dan kebiasaan tidur siang.
Pengkajian menurut Riyadi & Sukarmin (2013) terdapat 3 pengkajian yang harus di lakukan, antara lain:
1) Riwayat Pengkajian
ini dilatarbelakangi adanya penyakit lain yang terdapat pada luar kranial seperti tonsilitis, faringitis. Sebelum serangan kejang pada pengkajian status kesehatan biasanya anak tidak mengalami kelainan apa-apa. Anak masih menjalani aktivitas sehari-hari seperti biasanya.
2) Pengkajian Fungsional
Pengkajian fungsional yang sering mengalami gangguan adalah terjadi penurunan kesadaran anak dengan tiba-tiba sehingga kalau di buktikan dengan tes GCS skor yang di hasilkan berkisar antara 5 sampai 10 dengan tingkat kesadaran dari apatis sampai somnolen atau mungkin dapat koma. Kemungkinan ada gangguan jalan nafas yang di buktikan dengan peningkatan frekwensi pernapasan >30 x/ menit dengan irama cepat dan dangkal, lidah terlihat menekuk menutup faring. Pada kebutuhan rasa aman dan nyaman anak mengalami gangguan kenyamanan akibat hipertermi, sedangkan keamanan terjadi ancaman karena anak mengalami kehilangan kesadaran yang tiba-tiba beresiko terjadinya cidera secara fisik maupun fisiologis. Untuk pengkajian pola kebutuhan atau fungsi yang lain kemungkinan belum terjadi gangguan kalau ada mungkin sebatas ancaman seperti penurunan personal hygiene, aktivitas, intake nutrisi.
3) Pengkajian Tumbuh Kembang Anak
cukupan nutrisi sebagai dampak anoreksia, tinggi badan yang kurang dari umur semestinya sebagai akibat penurunan asupan mineral. Selain gangguan pertumbuhan sebagai dampak kondisi atas anak juga dapat mengalami gangguan perkembangan seperti penurunan kepercayaan diri akibat sering kambuhnya penyakit sehingga anak lebih banyak berdiam diri bersama ibunya kalau di sekolah, tidak mau berinteraksi dengan teman sebaya. Saat dirawat di rumah sakit anak terlihat pendiam, sulit berinteraksi dengan orang yang ada di sekitar, jarang menyentuh mainan.
Kemungkinan juga dapat terjadi gangguan perkembangan yang lain seperti penurunan kemampuan motorik kasar (meloncat, berlari).
2.Analisa data
1. Data:
DS : Orang tua px mengatakan An. M badannya panas semakin tinggi
DO : Akral teraba hangat. TTV; Suhu 39,4oC, Nadi 135x/menit x / menit
ETIOLOGI :Suhu tubuh naik ->perubahan keseimbangan membran sel neuron -->difusi K⁺ maupun Na⁺ melalui membran -->lepas muatan listrik yang meluas ke seluruh sel -->Kejang
MASALAH : Kejang 3. Diagnosa:
1. Hipertermi berhubungan dengan proses perjalanan penyakit. 2. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi,
4. Intervensi
Diagnosis: Resiko Cedera. Diagnosis resiko cedera berhubungan dengan gerakan tidak terkontrol dan/atau tidak patennya jalan napas saat kejang.
Hasil yang di harapkan: Klien akan memiliki penurunan resiko cidera dan menjaga patensi jalan napas saat kejang yang ditunjukan dengan tidak adanya memar atau benjolan setelah kejang dan mampu kembali mendapatkan oksigenasi yang cukup setelah kejang.
Intervensi: Tindakan pencegahan kejang harus diterapkan pada semua klien dengan riwayat epilepsy dan kejang. Pemeriksaan suhu tidak dilakukan melalui oral; gunakan rute aksilaris atau rektal. Pagar tempat tidur harus diberikan bantalan empuk dan dinaikkan jika klien di atas ranjang. Pencegahan kejang juga meliputi pemasaqngan IV line untuk pemberian obat-obatan, serta memelihara oksigen dengan kanul nasal dan letakkan alat isap (suction), termasuk kateter isap, di samping ranjang klien. Tindakan pencegahan risiko jatuh juga diperlukan.
Hipertermia berhubungan dengan perjalanan penyakit (penyakit) (00007)
NOC NIC
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, suhu tubuh pasien normal
Kriteria hasil:
- Turunnya suhu kulit (5) - Respiratory rate (5) - Pusing (5)
- Atur oksigen sesuai kebutuhan - Monitor suhu kulit
Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, interpretasi terhadap informasi yang salah, kurangnya keinginan untuk mencari informasi, tidak mengetahui sumber sumber informasi.
NOC NIC
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selam 2x24 jam pasien menunjukan pengetahuan tentang proses penyakit
Kriteria hasil:
- Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan
- Pasien dan keluarga mapu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar - Pasien dan keluarga mampu
menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim
kesehatan lainnya
- Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga
- Gambarkan tanda dan gejala yang bias muncul pada penyakit, dengan cara yang tepas
- Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
- Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi dengan cara yang tepat.
6. Evaluasi
1. Gerakan pasien terkontrol sehingga tidak akan terjadi resiko cidera.
3. Keluarga pasien dan pasien memiliki pengetahuan tentang penyakit tersebut
4. Perkembangan Anak Dengan Masalah Kejang Perkembangan tumbuh kembang anak
Secara umum kejang demam tidak mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak. Ini di pahami dengan catatan kejang yang di alami anak tidak terlalu sering terjadi atau masih dalam batasan yang dikemukakan oleh Livingstone (1 tahun tidak lebih dari 4 kali) atau penyakit yang melatarbelakangi
timbulnya kejang seperti tonsilitis, faringitis, segera dapat di atasi. Kalau kondisi tersebut tidak terjadi anak dapat mudah mengalami keterlambatan pertumbuhan misalnya berat badan yang kurang karena ketidak cukupan nutrisi sebagai dampak anoreksia, tinggi badan yang kurang dari umur semestinya sebagai akibat penurunan asupan mineral. Selain gangguan pertumbuhan sebagai dampak kondisi atas anak juga dapat mengalami gangguan perkembangan seperti penurunan kepercayaan diri akibat sering kambuhnya penyakit sehingga anak lebih banyak berdiam diri bersama ibunya kalau di sekolah, tidak mau berinteraksi dengan teman sebaya. Saat dirawat di rumah sakit anak terlihat pendiam, sulit berinteraksi dengan orang yang ada di sekitar, jarang menyentuh mainan. Kemungkinan juga dapat terjadi gangguan perkembangan yang lain seperti penurunan kemampuan motorik kasar (meloncat, berlari).
Perkembangan Mental dan Neurologis
normal. Hauser menyatakan tidak ada kelainan neurologis permanen pada penelitian prospektif, tetapi ada beberapa peneliti mendapatkan kelainan neurologis pada penelitian retrospektif. Kelainan neurologis yang terbanyak adalah hemiplegi, dan yang lain seperti diplegi, koreoatetosis, rigiditas.
Gangguan intelektual dan belajar tidak umum pada kejang sederhana. Ellenberg dan Nelson melakukan penelitian pada 421 orang penderita kejang demam dibandingkan dengan saudaranya yang tidak menderita kejang demam, ternyata IQ-nya tidak berbeda.
Perkembangan mental dan neurologis penderita kejang demam tetap normal pada kebanyakan penderita yang sebelumnya normal. Hauser menyatakan tidak ada kelainan neurologis
permanen pada penelitian prospektif, tetapi ada beberapa peneliti mendapatkan kelainan neurologis pada penelitian retrospektif. Kelaninan neurologis yang terbanyak adalah hemiplegi, dan yang lain seperti diplegi, koreoatetosis, rigiditas.
Gangguan intelektual dan belajar tidak umum pada kejang demam sederhana. Ellenberg dan Nelson melakukan penelitian pada 421 orang penderita kejang demam dibandingkan dengan saudaranya yang tidak menderita kejang demam, ternyata IQ-nya tidak berbeda
Untuk meningkatkan perkembangan motorik serta pertumbuhan otot-otot tubuh diperlukan stimulasi yang terarah dengan bermain, latihan-latihan atau olah raga. Anak perlu diperkenalkan dengan olah raga sedini mungkin, misalnya
melempar/menangkap bola, melompat, main tali, naik sepeda dll).
Penting bagi orangtua untuk tetap tenang dan menjaga emosi mereka di bawah kontrol ketika anak mereka sedang mengalami kejang. Jangan panik. Baringkan anak di lantai dan palingkan wajah anak ke arah samping untuk menjaga supaya mereka tidak tersedak dan untuk mencegah jalur pernafasan mereka tersumbat. Hindari menaruh sesuatu ke dalam mulut anak saat mereka sedang kejang untuk menghindari resiko terjadinya cedera berbahaya.
Bagi orang tua Perawatan yang perlu dilakukan sebelum terjadi kejang demam meliputi:
1. anjurkan anak untuk segera berbaring dan beristirahat; 2. jangan pernah menyelimuti anak dengan selimut tebal;
3. beri minum lebih sering dan lebih banyak; 4. berikan kompres air biasa atau hangat;
5. beri obat penurun panas sesuai dosis yang ditentukan. Perawatan saat terjadi kejang demam meliputi:
1. miringkan posisi anak agar jangan terjadi aspirasi ludah atau lendir dari mulut;
2. jalan napas dijaga agar terbuka supaya suplai oksigen tetap terjamin; 3. jangan memberi kompres dengan es atau alkohol karena anak akan
menggigil dan suhu di dalam tubuh justru meningkat;
4. selimut dan pembungkus badan harus dibuka agar pendinginan badan berlangsung dengan baik;
5. pemberian obat diazepam melalui anus. Perawatan setelah kejang demam meliputi;
2. menyediakan diazepam per rektal menjadi pilihan pada anak dengan resiko tinggi berulangnya kejang demam (Putri dan Hasniah, 2009). cara mengurangi kecemasan pada orang tua saat anak terjadi kejang :
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Kecemasan dikurangi dengan cara:
1. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali 4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif
tetapi harus diingat adanya efek samping obat Peran orang tua terhadap anak dengan kejang.
Untuk para bunda jangan sekali-kali memasukkan apapun ke anak yang sedang kejang termasuk kopi. Salah-salah nanti malah tersedak dan masuk ke saluran pernafasan dan anak justru berhenti bernapas. Tidak ada manfaat apapun dari kopi guna mencegah atau mengobati kejang demam. Anak bisa kejang saat demam karena adanya gangguan hantran listrik di otak sehingga menimbulkan bangkitan kejang dan resikonya meningkat jika ada riwayat kejang pada orang tuannya atau sudah memiliki kelainan neurologis tertentu.
Pemberian minuman kopi setiap hari juga tidak berpengaruh dalam rangka pencegahan kejang pada anak yang sudah memiliki riwayat kejang. Kafein dalam kopi memiliki efek stimulan sehingga memacu kerja jantung. Si kecil malah bisa gelisah, tremor, dan hiperaktif. Selain itu, kafein bersifat diuretik (merangsang untuk buang air kecil) sehingga dapat memicu dehidrasi dan menyebabkan peningkatkan kadar asam lambung sehingga dapat menyebabkan sakit perut
mereka. orang tua harus memahami bahwa anak perlu studi kajian dan
laboratorium fisik periodik. mungkin efek buruk pada sistem hematopoietik, hati dan ginjal mungkin tercermin dalam gejala seperti demam, sakit tenggorokan, memperbesar kelenjar getah bening, sakit kuning, dan pendarahan. faktor umum dalam status epileptikus adalah tingkat darah yang tidak cukup obat antiepilepsi. orangtua perlu menyadari kemungkinan perubahan perilaku assosiate dengan beberapa obat antiepilepsi. perubahan kepribadian, ketidakpedulian terhadap kegiatan sekolah dan keluarga, hiperaktif atau peristiwa perilaku psikotik kadang-kadang dapat diamati. jika demikian, orang tua harus menghubungi dokter mereka. efek potensial dari obat antiepilepsi pada belajar dan perilaku juga harus dipertimbangkan.
Peran orang tua dalam menangani anak dengan kejang demam yaitu salah satunya memposisikan miring dan tengadahkan kepala agar jalan nafas tetap terjaga (Meadow 2005) orang tua yang memiliki anak dengan kejang demam sebelumnya akan lebih tau dan mengerti
bagaimana cara yang tepat untuk memberikan pertolongan pertama dalam mengatasi dan mencegah terjadinya kejang berulang sebelum anak dibawa kerumah sakit (Yusuf,2005). Berzonsky dalam yusuf (2005), menyatakan bahwa kemampuan seseorang dipengaruhi oleh pengalaman, membaca, literatur, hubungan interpersonal, sikap serta keinginan atau motivasi untuk mengakses informasi. pengetahuan merupakan hal yang penting untuk menentukan
Kemampuan orang tua dalam pemberian pertolongan pertama pada anak dengan kejang demam dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur, pendidikan dan pekerjaan. Dilihat dari umum terkait dengan masa produktif dan semakin dewasa seseorang pengalaman hidup juga semakin bertambah serta dimungkinkan kemampuan analisis dari seseorang akan bertambah sehingga pengetahuan juga semakin bertambah (Elizabet dalam Mubarak, 2006).
penyuluhan dari petugas kesehatan tentang penatalaksanaan kejang demam pada anak.(Notoatmojo, 2003)
Daftar Pustaka
http://health.kompas.com/read/2012/03/06/14404139/
Kejang.Demam.Anak.Jangan.Diremehkan.Jangan.Berlebihan diakses pada 8 Maret 2016 pukul 21.20 WIB
http://stikeskusumahusada.ac.id/digilib/files/disk1/11/01-gdl-muhammadyu-550-1-skripsi-f.pdf
http://www.scribd.com/doc/15689407, 29Desember2011
Dewanto, Gerge, dkk. 2007. Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC
Harjaningrum, Agnes Tri. Smart Patient : Mengupas Rahasia Menjadi Pasien Cerdas. Jakarta : Mizan Digital Publishing Judha, Mohammad, 2011, Sistem Persyarafan (Dalam Asuhan Keperawatan), Gosyen Publishing, Yogyakarta
Ketut Labir, N.L.K Sulisnadewi,Silvana Mamuaya. pertolongan Pertama Dengan Kejadian Kejang Demam Pada Anak.2014. diakses online : http://poltekkes-denpasar.ac.id/files/JURNAL %20GEMA%20KEPERAWATAN/DESEMBER%2020014/ ARTIKEL%20Ketut%20Labir%20dkk,.pdf
Matondang, Corry S. 2000. Diagnosis Fisis Pada Anak Edisi 2. PT. Sagung Seto : Jakarta
Marilyn E.Doengos.1999.Rencana Asuhan
Keperawatan.PenerjemahKariasa I Made.EGC.Jakarta Ngastiyah, 2005, Perawatan Anak Sakit, Ed 2, EGC, Jakarta. Putri, Triloka dan Baidul Hasniah, 2009, Menjadi Dokter Pribadi bagi Anak Kita,Katahati, Jogjakarta.
Rendle John,1994,Ikhtisarpenyakitanak,Edisi 6,BinapuraAksara,Jakarta.
Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2013, Asuhan Keperawatan Pada Anak, Graha Ilmu, Yogyakarta
Supartini, Y. (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta : EGC Suprajitno.2004.Asuhan Keperawatan
Keluarga:Aplikasi DalamPraktik.Jakarta:EGC
Wong. (2009), Pedoman Klinis Perawatan Pediatrik Edisi Buku Kedokteran. Jakarta : EGC.