• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perpajakan pada Masa Jawa Kuno dan Penja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perpajakan pada Masa Jawa Kuno dan Penja"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PERPAJAKAN PADA MASA

JAWA KUNO DAN MASA

PENJAJAHAN

LUH TAMI ASTINI

1417051141

AKUNTANSI PROGRAM S1

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

(2)

KATA PENGANTAR

Atas berkat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya penulis dapat menyelesaikan paper dengan judul “Perpajakan pada Masa Jawa Kuno dan Masa Penjajan” ini tepat pada waktunya.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian paper ini. Paper ini dibuat untuk melengkapi tugas mata kuliah Hukum Pajak.

Penulis menyadari bahwa paper ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan baik dari dosen pengampu mata kuliah Hukum Pajak maupun dari pembaca lainnya, guna penyempurnaan paper ini.

Singaraja, 19 Maret 2015

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….………i

DAFTAR ISI………..ii

BAB I PENDAHULUAN……….…..1

1.1 LATAR BELAKANG………....1

BAB II PEMBAHASAN………....2

2.1 SISTEM PERPAJAKAN PADA MASA JAWA KUNO……...2

2.2 PERKEMBANGAN PAJAK PADA MASA PENJAJAHAN…4 2.2.1 Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan dan Perkembangannya……….5

2.2.2 Sejarah Pajak Penghasilan dan Perkembangannya…..6

2.1.1 Sejarah Pajak Perseroan dan Perkembangannya……..9

BAB III PENUTUP………..………11

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pajak merupakan kewajiban yang harus dibayarkan oleh individu maupun organisasi dalam bentuk pungutan yang bersifat memaksa yang diatur dalam sebuah undang-undang.

Sejarah umat manusia, sangat kental dengan masalah perpajakan. Konon, sejarah pajak tercipta karena kebutuhan manusia untuk hidup berkelompok karena ketergantungan satu sama lain. Cara hidup seperti ini menciptakan negara dan karenanya dibutuhkan sumber-sumber untuk membiayai pengeluaran bersama terutama perang dan kepentingan umum lainnya.

Sejarah perpajakan telah ada sejak zaman kerajaan. Pada awalnya, pajak tidak merupakan suatu pungutan, melainkan hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara kepentingan Negara, seperti menjaga keamanan negara terhadap serangan musuh dari luar, membuat jalan untuk umum, membiayai pegawai kerajaan dan sebagainya. Bagi penduduk yang tidak melakukan penyetoran dalam bentuk natura, maka ia diwajibkan melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan umum untuk beberapa hari dalam satu tahun. Orang-orang yang memiliki status sosial tinggi dapat membebaskan diri dari kewajiban tersebut dengan cara membayar uang ganti rugi. Besarnya pembayaran ganti rugi ini ditetapkan sesuai dengan jumlah uang yang diperlukan untuk membayar orang lain yang menggantikan pekerjaannya.

(5)

BAB II PEMBAHASAN

2.3 SISTEM PERPAJAKAN PADA MASA JAWA KUNO

Pada masa Jawa Kuno, pajak merupakan salah satu sumber dikenakan kepada orang-orang dari luar negeri yang menetap di Jawa, yang bukan merupakan tamu kerajaan.

Pajak Bumi

Pajak bumi merupakan pajak yang dipungut dari masyarakat atas pengelolaan tanah. Pengelolaan tanah yang umum adalah pertanian. Pajak ini merupakan konsekuensi dari konsep Dewa-Raja dan kosmologinya yang berlaku pada masa itu. Dalam konsep Dewa-Raja, raja merupakan penjelmaan Dewa, yang menjadi pemilik dari semua benda yang ada dalam lingkaran kosmologinya.

Dirinya, istana, hingga kerajaan merupakan isi dari linggkaran kosmologinya. Manusia-manusia dan tanah yang ada di wilayah kekuaasaannya adalah milik raja. Oleh karena itu, masyarakat hanya dianggap menggarap tanah milik raja. Pajak bumi yang harus diberikan kepada raja adalah sebagian dari hasil usaha pengelolaan tanahnya.

(6)

menjadi sawah (Prasasti Ratawun I, 881 M). Konversi beberapa bentuk lahan menjadi sawah kemungkinan karena intensifnya usaha pertanian padi yang lebih menguntungkan..

Pajak Profesi

Pada masa Jawa Kuna, profesi yang terkena pajak antara lain profesi pedagang, profesi pengrajin, profesi seniman/penghibur. Kecuali profesi seniman/pengibur, tidak ada keterangan jelas dari sumber sejarah mengapa profesi pedagang dan pengrajin terkena pajak.

Profesi seniman sering disebut dalam prasasti penetapan sima. Profesi seniman yang dimaksud adalah mapadahi (penabuh gendang),

kicaka (penari), terimba, awayang (dalang), atapukan (penari topeng) dan

abanol (pelawak). Pada upacara penetapan sima, para seniman inilah yang menghibur seluruh tamu dan masyarakat yang hadir (Prasasti Wataruka 902 M, Prasasti Panggumulan 902 M). Para seniman penghibur ini mendapatkan upah atas pekerjaan mereka. Besar kemungkinan penghasilan mereka dipotong untuk membayar pajak.

Pajak pedagang tergantung dari jenis barang yang dijual. Pada prasasti Linggasutan (829 M) menyebutkan bahwa para pedagang ternak termasuk profesi yang terkena pajak. Jumlah pajak yang dibayarkan tergantung dari jumlah ternak yang terjual, namun jumlah penjualan kurang dari jumlah tertentu bebas dari pajak. Pedagang ternak akan terbebas dari pajak jika menjual kerbau kurang dari 30 ekor, atau sapi kurang dari 40 ekor.

(7)

mungkin sekali telah dikenal prajurit partikelir. Pada masa Jawa Kuna prajurit tetap yang dibayar dengan kas kerajaan adalah prajurit pengawal raja. Pada masa perang barulah terjadi perekrutan tentara sesuai kebutuhan. Pemimpin prajurit rekrutan inilah yang terkena pajak.

Pajak Orang Asing

Warga kilalan adalah istilah untuk menyebut orang asing, yang berasal dari luar kerajaan (dalam hal ini di luar daerah kosmologi raja). Orang asing yang pernah disebutkan dalam prasati berasal dari kling, aryya, pandikira, drawida (keempatnya dari India), singhala (Sri Langka),

campa (Vietnam) dan kmir (Khmer = Kamboja).

Pada masa kerajaan Majapahit, terdapat posisi pengawal kerajaan yang disebut juru kling dan juru cina. Mungkin pada masa kerajaan Majapahit orang asing dari India dan Cina memiliki jumlah yang sangat signifikan sehingga kerajaan perlu untuk membuat birokrasi khusus untuk mengurus mereka.

2.4 PERKEMBANGAN PAJAK PADA MASA PENJAJAHAN

Pada masa penjajahan Belanda, mereka menerapkan sistem

Landrent dengan nama Landrente. Pada perkembangannya, Belanda berjanji bahwa sistem ini mengarah pada keadilan dan kepentingan rakyat Indonesia. Namun pada akhirnya Landrente menyengsarakan rakyat dan mengarah pada keuntungan penguasa dan kelompok penjajah.

(8)

Eropa. Tentu saja perbedaan dalam pajak tersebut menguntungkan orang asing terutama orang Eropa dan sangat merugikan orang pribumi.

Mulai tahun 1920 perbedaan pajak yang didasarkan pada keturunan tersebut dihapuskan dan mulai dibuatnya peraturan yang lebih jelas dan lebih konkrit. Sistem pajak penghasilan ini berubah pada tahun 1944 dengan sistem pajak penghasilan yang dibuat oleh pemerintahan Hindia Belanda di Australia dengan nama Oorlogsbelasting atau pajak perang. Sistem ini dibuat dengan tergesa-gesa karena keadaan perang dunia II. Pada 1 Januari 1946, Oorlogbelasting diubah menjadi Overbelasting atau pajak peralihan yang merupakan penyempurnaan dari Oorlogbelasting. Pada perkembangannya sistem tersebut kembali diganti namanya dengan “Ordinansi Pajak Pendapatan 1944” pada 1957.

Kemudian yang terakhir adalah pajak perseroan. Pajak perseroan adalah pajak yang berkaitan dengan pajak pendapatan atau penghasilan. Pajak ini diberlakukan pertama kali di Indonesia pada 1878 yang mencakup pada pajak atas pendapatan atau laba dengan nama Patentrecht. Pajak ini hanya berlaku pada penduduk orang Eropa dan orang yang disamakan dengan orang Eropa. Sistem pajak ini terus berkembang sehingga pajak ini kini dikenakan bagi badan usaha.

Pada masa penjajahan, penjajah lebih menekankan pada fungsi

budgeted yaitu pemasukan keuangan untuk keperluan pemerintah penjajah. Pada 1945 Indonesia menggunakan sistem pajak self assessment system

yang memberikan kewenangan sepenuhnya kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungakan, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang.

2.4.1 Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan dan Perkembangannya

(9)

Pajak atas tanah ini dimulai sejak VOC masuk dan menduduki Hindia Belanda.

Pada masa pemerintaha Inspektur Liefrinch dari VOC, ia mengadakan survey atau penelitian di daerah Parahyangan. Hasil dari penelitian tersebut membuat VOC memutuskan untuk memberlakukan pajak pertanahan yang disebut dengan landrente. Rakyat setuju atas keputusan Pemerintah Hindia Belanda ini. Rakyat harus membayar uang sebesar 80% dari harga besaran tanah atau hasil lahan yang dimilikinya. Daendels, seorang Jendral yang terkenal akan kekejamannya menyatakan bahwa tanah di Hindia Belanda adalah milik dari Belanda. Pada masa kependudukan Inggris yang dipimpin oleh Raffles kebijakan landrente berubah. Raffles mengenakan tarif sebesar 2,5% untuk golongan pribumi dan tarif 5% untuk tanah yang dimiliki oleh bangsa lain. Selain itu, Raffles juga mengeluarkan Surat Tanah sebagai suatu Sertifikat Tanah Internasional bagi penduduk yang dikenal dengan nama girik dalam bahasa Jawa.

2.4.2 Sejarah Pajak Penghasilan dan Perkembangannya

Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816. Pada periode sampai dengan tuhun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan orang Eropa. Dapat dikatakan bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". Sebaliknya business tax atau

(10)

Pada tahun 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu.

Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General Income Tax yakni Ordonansi Pajak Pendapatan Yang Dibaharui tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas sumber. Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan (ondememing), pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan terhadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan).

(11)

Diadakannya tax reform, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932,

Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi

(Personal Income Tax). Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan pengenaan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada

Oorlogsbelasting (Pajak Perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting

(Pajak Peralihan). Dengan UU Nomor 21 tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944.

(12)

2.4.3 Sejarah Pajak Perseroan dan Perkembangannya

Pajak perseroan (PPs) berkaitan dengan pajak pendapatan atau pajak penghasilan. Pajak atas pendapatan dan laba pertama kali dilakukan di Indonesia tahun 1878 dengan nama

“Patentrecht” suatu pungutan pajak yang sederhana. Pungutan pajak atas pendapatan dan laba berdasarkan pada ketentuan yang lebih teratur dan terinci baru pada tahun 1908 sejak ordonansi pajak pendapatan 1908 (ordonantie op de Inkornstenbelasting

1908). Seperti halnya “Patentrecht”, ordonasi pajak pendapatan 1908 hanya berlaku terhadap golongan penduduk orang-orang Eropa dan orang-orang yang disamakan dengan orang Eropa, demikian pula terhadap badan-badan usaha yang dimilikinya. Untuk orang-orang pribumi dan lainnya terkena jenis pajak yang lebih sederhana seperti “Landrente” atau landrent dan

“Hoofdelijke Belasting”.

Ketika pecah perang Dunia ke I (1914-1918), menyebabkan Hindia belanda terlepas dari negeri Belanda. Untuk menggalang persatuan maka diberlakukan asas unifikasi yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa semua golongan penduduk mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum. Pelaksanaan asas unifikasi di bidang perpajakan berdampak pada digantinya Ordonansi Pajak pendapatan 1908 (yang hanya berlaku untuk golongan penduduk tertentu), dengan ordonansi pajak pendapatan 1920 (yang berlaku untuk semua golongan penduduk), yang memajaki baik orang maupun badan. Peningkatnya jumlah penanaman modal asing di Indonesia sejak tahun 1920 menimbulkan berbagai problema dalam bidang Yuridis fiskal yang mendorong segera dikeluarkan ketentuan tersendiri guna dapat memungut pajak dari badan usaha.

(13)

pendapatan 1920 dikeluarkan untuk kemudian disusun kembali dalam suatu ordonansi baru yang diberi nama Ordonansi pajak perseroan 1925 (Ordonantie op deVennootschapsblasting 1925). Ordonansi Pajak Perseroan 1925 setelah diadakan perubahan dan penambahan menjadi Undang-Undang Nomor 8 tahun 1970.

(14)

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Awalnya, pajak tidak merupakan suatu pungutan, melainkan hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara kepentingan Negara, seperti menjaga keamanan negara terhadap serangan musuh dari luar, membuat jalan untuk umum, membiayai pegawai kerajaan dan sebagainya. Pada masa Jawa Kuno, pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kerajaan. Pajak yang dipungut pada masa Jawa Kuno dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pajak bumi, pajak profesi dan pajak orang asing.

Pada masa penjajahan Belanda, mereka menerapkan sistem

Landrent dengan nama Landrente. Lalu, pada masa pemerintahan Jepang sistem Landrente berubah nama menjadi pajak tanah. Pada masa kemerdekaan, pajak tanah lebih dikenal dengan pajak bumi. Pada masa ini sistem pajak diberlakukan dengan membedakan orang pribumi, orang asing Asia dan orang asing Eropa.

Mulai tahun 1920 perbedaan pajak yang didasarkan pada keturunan tersebut dihapuskan dan mulai dibuatnya peraturan yang lebih jelas dan lebih konkrit.

Pada masa penjajahan, penjajah lebih menekankan pada fungsi

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Normandy, Yogi. 2013. ”Sejarah Pajak di Indonesia”. http://yogi-normandy.blogspot.com/2013/06/sejarah-pajak-di-indonesia.html. Diunduh pada 19 Maret 2015

Rakhman, Basuki. 2013. ”Mengenal Sejarah Perpajakan”. http://hamudunia.blogspot.com/2013/08/mengenal-sejarah-perpajakan-di.html. Diunduh pada 19 Maret 2015

Referensi

Dokumen terkait

1)Bekerja dapat menjadi obat bagi orang yang sedih. 2) Orang yang bekerja dengan sungguh-sungguh, serius, dan cermat biasanya melupakan hal-hal yang tidak

Kegiatan Penatausahaan Persediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilaksanakan sesuai pedoman yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak

[r]

Berikut adalah hasil kriteria usability yang merupakan website checklist , dalam bentuk metric usability factor untuk website e-commerce model B2C. Metric

Permasalahan dalam pembangunan sosial dan budaya adalah sebagian keluarga terutama yang tergolong Pra-Keluarga Sejahtera (Pra-KS) dan SejahteraI (KS I), belum berdaya

2 Subang, Kami Selaku Kelompok Kerja Pengadaan Barang pada Dinas Pendidikan Kabupaten Subang yang ditunjuk berdasarkan Keputusan Kepala Unit Layanan Pengadaan

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan:(1) citra diri perempuan Jawa dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto dan Amba karya Laksmi Pamuntjak, (2)

salah satu pondok pesantren yaitu Pondok Pesantren Al-Hikmah Pedurungan Semarang. Pondok Pesantren Al-Hikmah Pedurungan Semarang merupakan salah satu pondok