• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadilan Semu Penodaan Agama Aksi Bela I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Keadilan Semu Penodaan Agama Aksi Bela I"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

1

Penanggung Jawab Ahmad Syafii Maarif

Jeffrie Geovanie Rizal Sukma

Pemimpin Umum Fajar Riza Ul Haq

Pemimpin Redaksi Ahmad Imam Mujadid Rais

Wakil Pemimpin Redaksi Muhd. Abdullah Darraz

Redaktur Tamu Zainal Abidin Bagir

Dewan Redaksi Ahmad Najib Burhani

Ahmad–Norma Permata Clara Juwono

Haedar Nashir Hilman Latief Luthfi Assyaukanie M. Amin Abdullah

Sekretaris Redaksi M. Supriadi

Redaktur Pelaksana Khelmy K. Pribadi, Ahmad Imam Mujadid Rais

Pipit Aidul Fitriyana

Design Layout Deni Murdiani, Harhar Muharam

Keuangan Henny Ridhowati

Sirkulasi Awang Basri, Pripih Utomo

Alamat Redaksi

MAARIF Institute for Culture and Humanity

Jl. Tebet Barat Dalam II No. 6, Jakarta 12810 Telp +62-21 8379 4554 Fax +62-21 8379 5758 website : www.maarifinstitute.org

email : jurnal@maarifinstitute.org

mujadid.rais@gmail.com

darrazophy@yahoo.com

Donasi dapat disalurkan melalui rekening :

Yayasan A. Syafii Maarif

BNI MH. Thamrin (Wisma Nusantara)

0114179273

Terbit Perdana Juni 2003

(3)

2

Pengantar Redaksi

Setelah “Bela Islam”: Gerakan Sosial Islam, Demokratisasi,

dan Keadilan Sosial ... 4

Ahmad Imam Mujadid Rais dan Zainal Abidin Bagir

Aksi Bela Islam: Ragam Penjelasan

Aksi Bela Islam: Konservatisme dan Fragmentasi Otoritas Keagamaan ... 15 Ahmad Najib Burhani

“Aksi Bela Islam,” Akankah Mengubah Lanskap Muslim Indonesia? ... 30 Mohammad Iqbal Ahnaf

Aksi Bela Islam, Populisme Konservatif dan Kekuasaan Oligarki ... 43 Airlangga Pribadi Kusman

Ekonomi-Politik Aksi Bela Islam: Pluralisme dalam Krisis? ... 53 Rizky Alif Alvian

Keadilan Semu Penodaan Agama: Aksi Bela Islam, Ruang Publik

dan Dilema Negara Hukum Demokratis ... 71 Fiqh Vredian Aulia Ali

Islam Moderat Indonesia: Terlalu Besar Untuk Gagal?

MUI, Gerakan Islamis, dan Umat Mengambang ... 87 Moch Nur Ichwan

Quo Vadis FPI Dalam Aksi Bela Islam ... 105 Mark Woodward & Amanah Nurish

Ummat, Warga dan Ruang Kosong Pelayanan Dasar ... 123 Abdul Gaffar Karim & Longgina Novadona Bayo

Muhammadiyah dan Aksi Damai Bela Islam :

Rejuvenasi Politik Umat Islam? ... 135 Zuly Qodir

Kematian Gus Dur dan Lahirnya Habitus Baru Kebinekaan Indonesia ... 156 Ahmad Suaedy

Sisi-sisi Lain Aksi Bela Islam

Perempuan dan Media Dalam Aksi “Bela Islam” ... 168 Alimatul Qibtiyah

Aksi Damai 411-212, Kesalehan Populer, dan

Identitas Muslim Perkotaan Indonesia ... 188 Muhammad Wildan

Solidaritas Islam dan Gerakan Sosial

(4)

71

Abstrak

Aksi Bela Islam atas kasus penodaan agama Basuki Cahaya Purnama, Gubernur Jakarta, mampu memobilisasi aksi ratusan ribu massa yang menuntut keadilan. Beberapa pertanyaan reflektif dapat diajukan: Bagaimana kelompok-kelompok yang selama ini menciderai prinsip demokratis dapat menduduki ruang publik dengan basis massa yang sangat besar? Bagaimana argumen keadilan dan rule of the law kasus penodaan agama dimainkan untuk melegitimasi massa gerakan dan menjerat Ahok? Bagaimana strategi progresif yang dapat dibangun secara sosial dan legal di masa depan? Penulis berargumen, ada persoalan sistemik-paradigmatik dalam proses bernegara hukum, yang dalam kasus kontroversial seperti penodaan agama, menemui problem moral. Dalam kasus Ahok, hukum rentan disetir para juris-legalis dengan mendominasi interpretasi hukum untuk memihak kemauan mayoritas dan menjerat kebebasan berekspresi minoritas. Proses hukum seringkali abai terhadap konteks sosial-politik dan berbagai penggunaan teknologi politik identitas sentimen etnis dan agama. Pasca Aksi Bela Islam, hukum kian jamak digunakan sebagai senjata menundukkan pihak yang berseberangan secara ideologis dan politik. Penulis mendorong pengarusutamaan solidaritas (lebenswelt) yang berbasis cinta sosial dan pencangkokan keadilan restoratif dalam sistem pengadilan pidana penodaan agama.

Kata kunci: Aksi Bela Islam, Penodaan Agama, Keadilan, Ruang Publik, Negara Hukum, Demokrasi

Keadilan Semu Penodaan Agama:

Aksi Bela Islam, Ruang Publik dan

Dilema Negara Hukum Demokratis

(5)

Pendahuluan

Kasus penodaan agama memiliki daya magnetis sedemikian kuat dalam menyita sentimen gelombang massa yang begitu besar. Serangkaian unjuk rasa Aksi Bela Islam (ABI) di Indonesia, dengan mobilisasi besar massa dari berbagai tingkatan kelas sosial muslim, menuntut pemerintah mengadili Ahok atas pernyataannya yang dianggap menistakan kitab suci Al-Qur’an dan agama Islam. Kasus Ahok menambah daftar kasus penodaan agama. Sepan jang tahun 2003-2008, lebih dari 150 orang di tangkap, ditahan, dan diadili berdasarkan Pasal 4 UU Penodaan Agama jo Pasal 156a KUHP1.PolemikHukum penodaan/

penodaan agama berimbas pada mobilisasi kebencian dan permusuhan yang tidak terduga. Bahkan pada tahap tertentu memunculkan sikap-sikap ekstrim populisme konservatif yang dramatis seperti euforia pembunuhan, Salman Taseer, gubernur Punjab, yang menentang hukum penodaan agama di Pakistan, seperti digambarkan anaknya dengan memilukan.2

Banyak tawaran lensa amatan para analis sosial-politik dan keagamaan, baik apresiatif ataupun peyoratif terhadap gelombang gerakan ABI. Akan tetapi, dalam menyikapi isu penegakan hukum penodaan agama yang menjadi titik ledak massa bela Islam, sangat banyak analis senada mendukung; Ahok harus segara diadili secara hukum. Prinsip keadilan dan negara hukum menjadi alasan utama, selain menjaga stabilitas sosial. Apalagi dengan tekanan massa berskala besar yang sangat masif. Sebagian kalangan akademisi dan aktivis sipil-politik mempertanyakan supremasi hukum penodaan/penodaan agama untuk kasus Ahok yang banyak memakan banyak korban sebelumnya3. Meskipun

belum terang mekanisme kreativitas hukum dan non-hukum apa yang dapat ditempuh atau dibangun dengan meninjau norma hukum di Indonesia. Apalagi, betapapun cacatnya hukum penodaan agama di kalangan progresif, namun instrumen legal-formal yang tersedia konstitusional dan sah secara hukum.

Penulis berusaha melakukan refleksi kritis terhadap berbagai legitimasi keadilan dan negara hukum (rule of law, rechtstaat) dalam kasus penodaan agama yang dianggap agung dan mulia oleh publik, namun menyimpan penyakit filosofis dan kesalahfahaman sosial-hukum serius. Hal yang sudah melembaga lewat persinggungan ideologis di kalangan ahli dan penegak hukum sejak pasca

1 Uli Parulian Sihombing, Ketidakadilan dalam Beriman: Hasil Monitoring Kasus-Kasus Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian atas Dasar Agama di Indonesia (Jakarta: ILRC, 2012).

2 Aatish Taseer, My Father’s Killer’s Funeral, http://www.nytimes.com/2016/03/13/opinion/sunday/my-father’s-killer’s-funeral.html, diakses pada 15 Januari 2017.

(6)

73

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

kolonial bersama keyakinan populis masyarakat yang tidak jarang menjurus pada mobilisasi massa dan segregasi sosial. Kasus Ahok dan gelombang ABI dapat menjadi sumber pembelajaran demokrasi dan hukum yang kaya. Khususnya terkait kasus penodaan agama yang sudah lama menjadi polemik dan kini kembali aktual. Hal ini sejatinya dapat dijadikan momentum reintrospeksi dan perbaikan sistemis-paradigmatis.

Ahok dan Diskursus Hukum Penodaan Agama

“Negara dan aparatnya tidak boleh bertindak melebihi Tuhan sendiri.” - Djohan Effendi

“UU PNPS tidak soleh, banyak mund haratnya.” - Emha Ainun Nadjib4

Kasus penodaan agama Ahok berawal dari video berjudul “Penodaan Terhadap Agama?” yang dunggah Buni Yani, seorang wartawan dan netizen yang aktif, terkait kunjungan kerja ke Pulau Pramuka yang berlokasi di Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016. Kunjungan ini dalam rangka peninjauan dan pengarahan program pemberdayaan budi daya Ikan Kerapu. Ahok berupaya meyakinkan warga bahwa program tersebut akan terus berjalan meski ia tidak terpilih sebagai Gubernur pada Pilkada Jakarta. Video yang akhirnya dianggap menyulut emosi banyak kalangan dan mengundang gelombang ratusan ribu massa ABI, baik ABI I (14 Oktober 2016), ABI II/Aksi Damai 411 (4 November 2016), dan ABI III/Aksi Super Damai 212 (2 Desember 2016) yang akhirnya disambut presiden Jokowi. Ahok antara lain mengatakan sebagai berikut:

.... Sekalipun saya tidak terpilih jadi gubernur, jadi saya ingin ceritanya bapak ibu semangat. Jadi gak usah pikiran, ah, nanti kalo gak kepilih, pasti, Ahok programnya bubar. Gak, saya sampai oktober 2017. Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu, gak bisa pilih saya, ya dibohongin pake surat Al-Maidah surat 51 macam-macam gitu lho. Itu hak bapak ibu. Ya jadi kalo bapak ibu, perasaan, gak bisa pilih nih, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, gak apa-apa. karena ini kan panggilan pribadi bapak ibu. Program ini jalan saja. Ya jadi bapak ibu gak usah merasa gak enak, dalam nuraninya gak bisa pilih Ahok. Gak suka ama Ahok. “Tapi programnya, gue kalo terima, gue gak enak dong ama dia, gue utang budi”, jangan, kalo bapak ibu punya perasaan gak enak, nanti mati pelan-pelan lho kena stroke (hadirin tertawa)....5

4 Pernyataan saat menjadi saksi ahli UU No. 1/PNPS/1965.

(7)

Menurut Muzakkir, yang menjadi saksi ahli dalam sidang Mahkamah Konstitusi terkait Judicial review UU PNPS, dalam prinsip hukum pidana, cukup melihat kira-kira kalimat mana yang dianggap menghina, tidak harus dilihat dari awal sampai akhir. Menurutnya ada tiga konsep dalam pernyataan Ahok. Pertama,

“jangan percaya kepada orang”. Kedua, “dibohongin ‘pakai’ (atau tanpa kata pakai) dibohongin pakai al-Maidah 51”. Ketiga, “tidak memilih saya”. Sebagaimana ditekankan sebagai berikut:

Menurut saya, dalam analisis hukum pidana. Mungkin yang paling sifat pencemaran atau penodaan itu adalah kata-kata “dibohongi pakai surat al-Maidah”. Al-Maidah menyatakan bahwa intinya kepemimpinan dalam Islam, bagaimana memilih pemimpin. Maka dikatakan di situ, kalau memilih ya, orang muslim yang memilihnya adalah jangan yang beragama lain selain Islam, misalnya nasrani begitu. Sementara pengucap dari kalimat itu agamanya nasrani. Jadi dia, kalau itu dengan benar dikatakan memang ia rugi. Pertanyaannya kalau dibohongi apa konteksnya? Kalau dibohongi dikatakan begini, ‘milihlah saya walaupun saya nasrani, oh itu gak apa-apa. Dapat pahala. Kamu masuk surga.’ Itu namanya baru dibohongi, jadi konteksnya harus jelas.... Awas hati-hati jangan lompat “pagar agama lain”. Kalau ingin “main-main” ayat, mainlah ayat, kitab suci sendiri. Masing-masing punya kompetensi. Seseorang ahli agama Islam, ialah ialah bicara agama Islam, sebagaimana agama lain juga. Intepretasi harus sesuai kompetensi.... Peran majelis ulama itu luar biasa. Itu bisa dibaca dalam UU No. 1 PNPS Tahun 1965 yang telah diujikan dalam Mahkamah Konstitusi. Itu peran ulama penting khususnya yang terkait ajaran Islam. Sebagaimana peran Dewan Gereja pula dalam Kristen. “Standar intepretasi” sesat dan menyesatkan itu adalah wakil dari agama-agama itu....6

Modal simbolik yang dimiliki MUI sebagai representasi Islam, meskipun belum jelas dalam struktur ketatanegaraan, seolah dijadikan rujukan otoritatif para juris-legalis seperti Muzakkir. Padahal standar interpretasi yang diserahkan kepada MUI seringkali mengandung bias teologis-ideologis yang tinggi dan kesalahfahaman.7 Penempatan MUI sebagai representasi Islam Indonesia selain

sewenang-wenang, juga akan melanggengkan produk hukum yang bernuansa diskriminatif, karena mengakomodasi pandangan ideologis tertentu. Sembari mengabaikan interpretasi dan ideologi lainnya.

6 Indonesia Lawyer Club, Setelah “411”, https://youtu.be/F1N_goyvTU, diakses pada 16 Januari 2016. 7 Seperti halnya fatwa haram mengikuti paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme agama, serta fatwa

(8)

75

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

Berdasarkan pendapat dan sikap keagamaan Majelis Ulama Indonesia yang dirilis pada tanggal 11 Oktober 2016, pernyataan Ahok dikategorisasi menghina Al-Quran dan/atau menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum. Al-Quran surah al-Maidah ayat 51 dinilai menjadi salah satu dalil larangan menjadikan non Muslim (secara eksplisit Yahudi dan Nasrani) sebagai pemimpin dan setiap orang Islam wajib meyakini kebenaran isi surah al-Maidah ayat 51 sebagai panduan dalam memilih pemimpin.8 Zainut Tauhid Sa’adi,

Wakil Ketua Umum MUI, menjelaskan bahwa hierarki kedudukan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI lebih tinggi dari fatwa MUI, karena bukan hanya dirumuskan dalam komisi fatwa, namun diputuskan dalam sebuah rapat dewan pimpinan MUI yang ditetapkan dan ditandatangani oleh Ketua Umum MUI.9

Pendapat dan Sikap Keagamaan tersebut dianggap Ahmad Syafii Maarif tidak teliti, gegabah dan tidak benar-benar dipertimbangkan secara jernih, cerdas, dan bertanggung jawab. Bahkan Maarif menyebut hanya “otak sakit” saja yang berkesimpulan pidato Ahok menista Al-Qur’an, dan—seperti kalangan ‘progresif’ lainnya—memahami maksud Ahok adalah mereka yang menggunakan Al-Maidah: 51 sebagai politisasi untuk tidak memilih Ahok sebagai Gubernur.10

Pernyataan Maarif sontak ramai menerima hujatan, khususnya di media sosial, selain banyak pula apresiasi dan kekaguman.

Tak ayal, hukum menjadi legitimasi wacana dan penafsiran kebenaran sebagai suatu mekanisme kekuasaan yang disamarkan. Bahkan kebenaran hukum seringkali menjadi tipuan interpretatif11. Sebagaimana dikatakan mazhab

hukum dekonstruktif:

Hukum sejatinya bukanlah milik ahli hukum, dan memang tidak seharusnya demikian. Ahli hukum adalah produk angan-angan, ilusi yang dibenarkan oleh tekstualitas hukum. Seorang aktor yang suksesnya tergantung kepada ketidakmampuan audiens untuk membedakan fiksi dan kenyataan. Intrepetasi hukum bersifat performatif, selalu merupakan tindakan yang atasnya kita tidak bisa berlepas tanggung jawab12.

8 Indah Mutiara Kami, MUI Nyatakan Sikap Soal Ucapan Ahok Terkait Al Maidah 51, ini Isinya, http:// news.detik.com/berita/d-3318150/mui-nyatakan-sikap-soal-ucapan-ahok-terkait-al-maidah-51-ini-isinya, diakses 17 Januari 2017.

9 Indonesia Lawyer Club, Setelah “411”, https://youtu.be/F1N_goyvTU, diakses pada 16 Januari 2016. 10 Penjelasan Mengejutkan Buya Syafii, Nilai MUI Gegabah dan Nyatakan Ahok Tak Hina Al Quran, Tribun

News,

(9)

Pasal 156a seringkali digunakan oleh kelompok mayoritas untuk mengadili pemahaman/penafsiran yang berbeda dari penafsiran mayoritas. Pasal ini dijadikan alat oleh pihak yang memiliki kekuasaan untuk mem bungkam setiap kritik, pemikiran, maupun perbe daan pendapat yang dinilai bertentangan dengan kepentingan penguasa. Pasal-pasal yang terdapat dalam UU Penodaan Agama, khusus nya pasal 4, dalam prakteknya digunakan secara sewenang-wenang untuk mengkriminalkan ses eorang yang memberikan kritik, otokritik, penaf siran maupun kebebasan berekspresi seseorang. Pasal ini digunakan untuk mengkriminalkan penda pat/ekspresi yang berbeda. Perumusan Pasal 4 huruf (a) membuat pelak sanaannya mengharuskan diambilnya satu tafsir tertentu dalam agama tertentu untuk menjadi batasan permusuhan, penyalahgunaan dan pe nodaan terhadap agama.13 Oleh karena dianggap keluar “pagar” domain

agama. Sebagaimana dilakukan Ahok untuk mengkritisi politisi yang memakai Al-Maidah 51 sebagai alat politik untuk mendelegitimasinya.

Para juris-legalis yang menjadi penjaga gawang mistar hukum penodaan/ penodaan agama, biasanya berlindung dengan putusan MK yang tidak judicial review UU No. 1/PNPS/1965 di era pasca reformasi ini. Padahal walaupun berdasarkan Aturan Peralihan Pasal I Undang-Undang Dasar 1945 secara formal masih mempunyai daya laku (validity), namun secara substansial mempunyai berbagai kelemahan karena adanya perubahan yang sangat mendasar terhadap Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal-pasal yang menyangkut hak-hak asasi manusia.14 UU Penodaan Agama merupakan UU yang lahir sebelum

perubahan Konstitusi, yaitu pada era demokrasi terpimpin yang tidak demokratis. Oleh karena itu, sejatinya substansi UU Pe nodaan Agama sudah tidak sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan pasca amande men konstitusi. Secara prosedural telah terjadi perubahan kekuasaan dalam membentuk Undang-Undang, yaitu UU No.10 tahun 2004 yang memberikan pand uan penyusunan UU yang demokratis.

Pandangan positivistik yang menempatkan hukum sebagai suatu sistem normatif yang tertutup dan mempunyai logikanya sendiri (yang deduktif) yang terlepas dari konteks-konteksnya yang politik, sosial maupun kultural, banyak dipertanyakan dewasa ini. Muncul gerakan desakralisasi hukum yang menganggap hukum sekalipun telah dibentuk dalam wujudnya yang formal sebagai produk kebijakan suatu badan pemerintahan negara yang terbilang

13 Siti Aminah dan Uli Parulian Sihombing Memahami Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Putusan Uji Materiil UU Penodaan Agama (Jakarta: ILRC, 2011), h. 12.

(10)

77

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

tinggi, bukanlah suatu yang sakral dan berstatus di atas segala-galanya (the supreme lawstate, de hoogste rechtsstat). Hukum pada hakikatnya adalah produk aktivitas politik rakyat yang berdaulat, yang digerakkan oleh kepentingan-kepentingan yang terujuk dari norma-norma sosial, ideal kultur atau agama. Awal abad 20, model hukum nasional liberal-demokratik mengalami kritik dan dekonstruksi yang korektif justru di negara Barat. Banyak teoritisi ilmu hukum dan eksponen politik hukum menengarai konsep hukum yang liberal-demokratik itu sebagai konsep dan doktrin yang sesungguhnya tidak realistik.15

Karakter produk hukum senantiasa sejalan dengan perkembangan konfigurasi politik. Karakter hukum responsif senantiasa seiring bersamaan konteks konfigurasi politik demokratis. Sedangkan karakter hukum konservatif/ ortodoks/elitis muncul dalam karakter politik yang otoriter/birokratis16.

Namun, sebagaimana kasus hukum penodaan agama, justru semakin demokratis suatu sistem hukum dan politik, kian membuka peluang maraknya penggunaan hukum untuk kepentingan-kepentingan sektoral kemayoritasan, sembari menyingkirkan moralitas dan pihak yang dianggap liyan.

Bela Islam dan Pendudukan Ruang Publik

Jurgen Habermas, sebagaimana dijelaskan Hardiman, mengidentifikasi ada tiga jenis golongan aktor ruang publik, yakni para aktor sejati (autokhton), para aktor pemakai (nutzinießend), dan para aktor media massa (publicists).17 Para

autokhton berasal dari simpul-simpul publik, tumbuh dan mengambil bagian dalam perbanyakan dan pemeliharaan struktur-struktur ruang publik. Mereka memiliki akar-akar mendalam dalam solidaritas (Lebenswelt). Subjek ruang publik yang tidak terkooptasi kekuasaan ini berjuang penuh mendapatkan pengakuan sosial-politik atas identitas kolektif mereka dan menggencarkan pembelaan akan hak-hak dasar. Subjek ini berbeda dari para aktor pemakai (nutzinießend) yang sudah memiliki identitas sosial yang diakui dan telah dikooptasi kekuasaan. Sementara aktor ketiga adalah para publicists yang memiliki kuasa media (medienmacht) mengendalikan media massa melalui akses-akses untuk seleksi dan formasi tema, informasi, dan kontribusi, tapi tidak netral di hadapan ruang publik. Meski memiliki mandat publik untuk memediasi proses-proses

15 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Masalah (Jakarta: Elsam dan Huma, 2002), h. 181-183.

16 Philippe Nonet and Philip Selznick, Toward Responsive Law: Law and Society in Transition (New Brunswick/ New Jersey: Transactions, 1978); Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1998), h. 355.

17 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori

(11)

pembelajaran di dalam ruang-ruang publik dan bersikap independen, para

publicits media massa justru melalukan keberpihakan dan merugikan salah-satu pihak, baik Ahok maupun FPI.

Kelompok-kelompok yang selama ini mencederai prinsip demokratis, seperti FPI, melalui mobilisasi ABI, dapat menduduki ruang publik dengan basis massa yang sangat besar. Mereka memperalat ruang publik yang telah ada untuk melancarkan ABI untuk memenjarakan Ahok. Selain juga sebagai panggung presentasi kepentingan-kepentingan kelompok dan politik identitas dengan sentimen-sentimen anti-Cina, anti-minoritas agama (Syiah dan Ahmadiyah), sentimen antar agama, ketakutan demagomis akan PKI dan komunisme, termasuk golongan yang dicap liberal-sekular. Meski demikian, karena sifatnya sebagai aktor pemakai ruang publik, muncul arus penolakan yang berasal dari aktor utama ruang publik terhadap FPI juga belakangan bermunculan di berbagai daerah.

Ruang publik kembali lagi difungsikan untuk menundukkan minoritas (Ahok yang Kristiani keturunan Tionghoa) dengan menggunakan pasal karet penodaan agama yang biasa digunakan sebagai senjata mayoritas18.

Ihsan Ali Fauzi menyebut ABI sebagai gejala sebagai menguatnya mobokrasi yang merestui keadaan ketika hukum ditentukan oleh kerumunan massa, tergantung kepada opini publik, dan situasi dukungan kelompok mayoritas.19

Sementara Tim Lindsey, tuntutan massa atas kasus hukum penodaan agama Ahok, menunjukkan bangkitnya intoleransi di antara mayoritas muslim yang menduduki 80 persen presentasi penduduk Indonesia yang dimanipulasi oleh kelompok kecil elit politik yang mendominasi politik Indonesia.20

Meskipun demikian, sadar akan potretfaktual real politics masyarakat Indonesia dengan pluralitas pandangan dunia dan cara hidup, dengan basis massa yang mayor atau minor, upaya-upaya membangun komunikasi intersubjektif antara kelompok progresif dan kelompok konservatif penting dilakukan. Sebagaimana pula dibutuhkan komunikasi antar perspektif individualisme versus kolektivisme, kapitalisme versus sosialisme, dan juga liberalisme versus komunitarianisme. Prinsip-prinsip dan norma-norma negara hukum modern dan kondisi politik yang demokratis dalam masyarakat majemuk ini memungkinkan membuka

18 Lihat Sihombing, Ketidakadilan dalam Beriman.

19 Ihsan Ali-Fauzi, Ongkos-Ongkos “Aksi Bela Islam”, http://geotimes.co.id/ongkos-ongkos-aksi-bela-islam/#gs.SF4vsmQ, diakses 17 Januari 2017.

(12)

79

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

kanal-kanal komunikasi-komunikasi diskursif ini. Baik arogansi ekslusivisme atau konservatisme agama memandang kalangan liberal dan progresif sebagai ‘jiwa-jiwa yang tersesat’, ataupun arogansi liberalisme yang memandang mereka sebagai ‘kelompok sumbu pendek Arabis yang rasis dan radikalis’ juga tidak bisa dibenarkan. Perlu sikap saling belajar untuk mengerti posisi partner diskursus yang menjadi ciri demokrasi deliberatif.21

Membangun komunikasi diskursif-intersubjektif dalam ruang publik, penting jika melihat kekalahan kelompok progresif dalam banyak kontestasi norma-norma penting yang dianggap kontroversial, seperti penolakan MK terhadap seluruh permohonan judicial review UU No. 1/PNPS/1965 agar UU Penodaan Agama ini dicabut. Selain juga penolakan reaksioner dan pengiblisan (demonisasi) terhadap Fikih Lintas Agama (2004) dan Counter Legal Draft

Kompilasi Hukum Islam yang berakhir pada pembekuan oleh Kementerian Agama karena tekanan kelompok konservatif, belakangan MK juga menolak permohonan judicial review UU No. 1/Perkawinan/1974, khususnya terkait pasal yang melegitimasi larangan beda agama. Aspirasi publik progresif tersebut tidak lulus ujian-ujian diskursif, sementara hukum konservatif terus melembaga dan memakan korban.

Akan tetapi, betapapun agungnya kebebasan berbicara dan berekspresi, tanggung jawab moral sosial dan norma-norma kesopanan, serta keteraturan publik tetap tidak bisa dinafikan.22 Ungkapan “dibohongi pakai surat Al-Maidah: 51” yang

diucapkan Ahok secara publik meskipun bermaksud mengecam politisasi, nyatanya menyakiti muslim ‘fundamentalis’ secara komunal, yang merasa kitab sucinya ternistakan dan termanifestasi dengan gelombang besar ratusan ribu massa ABI, meskipun faktor-faktor lain juga menyertai. Sementara itu, pandangan kelompok muslim fundamentalis yang melegitimasi keharaman atau larangan yang merugikan dan mendiskriminasi pemimpin publik yang memiliki identitas agama atau etnis yang berbeda bahkan minoritas juga tidak dapat dibenarkan dalam demokrasi, hak asasi manusia, maupun konteks Islam Indonesia yang heterogen23.

Aksi massa untuk mengecam ungkapan Ahok terkait pemakaian surat Al-Ma’idah 51 dalam ruang publik sah-sah saja dan elegan dalam panggung demokrasi. Akan

21 Hardiman, Demokrasi Deliberatif.

22 Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h. 416-417.

(13)

tetapi menggunakan dan turut melembagakan hukum penodaan agama yang sangat bermasalah, diskriminatif, dan tiranik kemayoritasan justru bermasalah dan sangat tidak elegan. Akhirnya peran negara sebagai wasit berbagai kontestasi ideologi dan mediator lintas identitas penting ditekankan. Ruang dialog yang non-legalistik dalam bingkai persaudaraan dan kewargaan penting dibangun secara terbuka untuk resiprositas pembelajaran antara fundamentalisme dan progresivisme, serta ‘isme-isme’ lainnya. Sehingga penggunaan sentimen agama sebagai energi maha dahsyat memobilisasi massa secara diskriminatif dalam isu kepemimpinan dan kewargaan dapat dicegah di masa depan.

Agenda Krusial: Minghidupkan Kembali Lebenswelt

“Kenapa ustad yang ngajarin dianggap bohong. Kenapa al-Maidah dianggap sebagai alat kebohongan..., ini gak tepat nih. Ini melampaui batas. Kalau mau kampanye, sok lah, silahkan..., cuma minta yang kita cita-citakan bersama, minta adil. Hanya itu saja. Bukankah itu yang kita rindukan..., udahlah, kalau punya kaveling, di kavelingnya saja. Jangan sampai terjadi. Ini sensitif sekali. Jadi sebetulnya sederhana permintaan kami, adil ditegakkan dan jadi pembelajaran, karena ini membahayakan...,” – AA Gym24

Pendekatan legal-formal dijadikan jalan utama dan satu-satunya untuk menyelesaikan kasus penodaan agama, termasuk dalam kasus Ahok. Tidak peduli seberapa destruktifnya jalan ini terhadap sesama warga negara dan menebalkan sedimentasi konfrontasi sosial. Pasca Aksi Bela Islam, hukum kian jamak digunakan sebagai senjata menundukkan pihak atau kelompok yang berseberangan secara ideologi dan politik. Habib Rizieq, yang sering disebut Imam Besar pengawal kasus penodaan agama Ahok, juga turut dilaporkan, oleh PMKRI, karena dianggap menistakan agama Kristen, karena dalam salah satu ceramahnya di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, menyebut, “Kalau Tuhan beranak, Tuhannya siapa?”. Selain kasus pelecehan Pancasila yang dilaporkan Sukmawati Soekarnoputri. Megawati Soekarnoputri juga turut dilaporkan ke Bareskrim Polri atas tuduhan penodaan agama oleh LSM Aliansi Anak bangsa Gerakan Anti Penodaan Agama, LSM yang juga melaporkan Ahok sebelumnya.

Individu atau kelompok lebih mengutamakan aturan main legal-formal dan mengejar kepentingan masing-masing, sembari tanpa belas kasihan dan tidak

(14)

81

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

peduli betapa destruktifnya kepentingan itu bagi orang lain. Formalisme hukum yang membabi-buta atau keadilan yang zalim akhirnya dijadikan acuan. Baik ekstrem-ekstrem sisi formalistas individualis-liberal yang mengutamakan kebebasan dan hak, maupun sisi formalitas kolektivitas-komunitarian yang mengarusutamakan komunitas namun memungkinkan eksklusi, belum memenuhi tuntutan solidaritas. Semakin banyak keadilan substantif dikorbankan demi logika peraturan, semakin melembagakan sentimen awam akan kebenaran.25 Khas individu-individu dalam masyarakat modern kian

menunjukkan kecenderungan saling mengisolasi.

Meski telah berulang kali meminta maaf di banyak kesempatan dan mendapat pembelaan banyak muslim moderat yang menyatakan Ahok tidak menista Al-Qur’an mupun Islam, nyatanya Ahok tetap melalui proses hukum yang prosedural-formalistik. Hanya hitungan jari terlapor yang selamat dari proses hukum penodaan agama. Apalagi amatan jaksa dan hakim yang sangat positivistik lebih menjadi corong pasal-pasal delik penodaan agama. Selain mengidap arogansi hukum yang abai terhadap cuaca sosial-politik dan ratapan rekam jejak Ahok yang memiliki hubungan harmonis dengan Islam. Hukum penodaan agama prosedural belum memiliki mekanisme alternatif sistem peradilan pidana, seperti mediasi dan restitusi.

Meski beberapa tokoh agama telah menyatakan memaafkan Ahok, namun tetap mendukung proses hukum Ahok tetap berlangsung, atas dasar bahwa Indonesia merupakan negara hukum dan atas dasar keadilan. Pemaafan setengah hati ini meniscayakan proses hukum prosedural. Padahal, keadilan hukum yang dipahami merupakan hukum prosedural modern seperti yang diperkenalkan oleh penguasa kolonial Belanda. Bahkan dalam memposisikan fikih, fatwa atau sikap MUI dalam kerangka hukum prosedural ini. Hukum prosedural atau hukum acara yang harus ditempuh Ahok, atau orang yang dikonstruksikan sebagai penista agama lainnya, diperlukan untuk menegakkan rule of the law,

untuk menjaga stabilitas, untuk menjaga warga jajahan tetap terkendali dan terkontrol dan terkuasai fisik, pikiran, kesadaran, ekspresi, dan pendapatnya. Hukum prosedural untuk warga jajahan, sementara hukum substantif untuk golongan Eropa dan yang disederajatkan.26

25 Roberto MangabeiraUnger, Law in Modern Society: Towarda Criticism of Social Theory, (New York: The Free Press, 1977), h. 203-205.

(15)

Meskipun, seperti dikatakan Habermas, bagi masyarakat modern yang cenderung menjadi kompleks dan plural, hukum berfungsi sebagai the last safety belt yang mengikat masyarakat jika tidak ditemukan solusi-solusi moral untuk menjaga integrasi sosial,27 ketertiban umum menjadi alasan paling kuat

penerapan hukum penodaan agama. Sebagaimana pertimbangan putusan MK terkait UU PNPS: aspek preventif dari suatu negara menjadi pertimbangan utama dalam suatu masyarakat yang heterogen. Selain pertimbangan relasi hubungan antara agama dan negara ‘perspektif keindonesiaan’ yang polemis, seperti menurut Azhary,konsep negara hukum yang dianut UUD 1945 adalah negara yang tidak terpisah dengan agama.28 Ia mengaitkan dengan pasal 29

(1) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara Berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, maka negara hukum yang dimaksud berbeda dengan konsep negara hukum yang berkembang di Barat, yang meminggirkan posisi agama dari wilayah hukum (sekular).”

Halim mengungkapkan Indonesia adalah negara Pancasila, yang berarti negara Indonesia merupakan bukan negara agama dan bukan negara sekuler.29

Dikatakan Indonesia bukan negara agama, karena negara tidak didasarkan negara tertentu, dan juga bukan negara sekuler karena negara tidak memisahkan secara tegas antara urusan negara dan urusan agama. Indikator penting dapat dicermati dari dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “…, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ….”30. Negara Pancasila

dinilai merupakan jalan tengah bagi hubungan antara agama dan negara serta sekaligus menegaskan hukum Nasional di Indonesia. Namun, ketidakjelasan kelamin “negara agama” atau “negara sekuler” ini (seperti menjadi keyakinan Orde Baru), digunakan menertibkan dan mengharmoniskan relasi antara agama dan negara, serta medium saling mendukung dan “tukar-menukar kekuasaan”. Satu sisi negara berkewajiban menjalankan kemauan mayoritas, di sisi lain mayoritas mendukung penuh legitimasi negara. (Baso, 2005: 320-321)

Akan tetapi, penyediaan ruang yang lebih lapang di dalam hukum bagi nilai-nilai solidaritas, Lebenswelt, mendesak diperlukan. Solidaritas adalah wajah cinta sosial dan kepedulian kepada orang lain “sebagai manusia”. Bukan hanya, rasa hormat satu sama lain sebagai pembawa hak dan kewajiban masing-masing

27 Hardiman, Demokrasi Deliberatif.

28 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum

Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 34-38.

29 Abdul Halim. Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik Hukum

(16)

83

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

yang setara, atau malah kekaguman hanya karena bakat dan prestasi personal. Namun, cinta sosial yang melampaui batas pujian dan kesalahan, lingkaran kedekatan dan rasa permusuhan. Kepentingan kolektif yang terpenting adalah menegakkan sistem relasi sosial yang mewajibkan orang yang ada di dalamnya bertindak penuh kasih sayang, atau setidaknya mendorong belas kasih dalam level kemanusiaan yang ada.31 Mekanisme pemaafan dan pemulihan hubungan

‘pelaku’ dan korban berbasis keadilan restoratif, yang tengah menjadi gerakan mendunia, sebangun dengan semangat pengarusutamaan Lebenswelt ini. Bukan lebih berorientasi pada keteraturan sosial, melainkan yang lebih utama adalah menciptakan perdamaian (peacemaking) sebagai bentuk keadilan yang alamiah dan autentik dan lebih manusiawi. Seiring gerakan reformasi hukum global, model-model keadilan restoratif kian berkembang, lewat berbagai riset dan kebijakan publik.32

Pembaruan hukum penodaan/penodaan agama beserta perangkat hukum lain yang menghambat keragaman butuh terus dilakukan. Bukan hanya advokasi substansi perundang-undangan secara struktural yang beberapa kali digagalkan Mahkamah Konstitusi. Namun justru lebih menyasar pada pembaruan hukum secara paradigmatis suatu corpus iuris (sistem perundang-undangan) yang diideologisasikan berstatus supreme, sebagaimana dinyatakan oleh kaum yuris-legis sebagai ajaran the supreme state of law. Menurut teori kaum yuris-positivis, setiap kaidah hukum yang dicipta oleh negara itu harus dinyatakan telah berlaku dan wajib ditaati, bukan karena kandungan normatif-etisnya (seperti keadilan substantif-restoratif), melainkan karena kebenaran-kebenaran prosedur formal pembuatan dan pembentukannya menurut ketentuan-ketentuan konstitusional yang telah diikutinya. Keabsahan secara yuridis-positivis (ius constitutum)yang selalu pertama-tama dijadikan dasar pembenar, bukan kebenaran secara etis, yang dianggap basa-basi refleksi proyektif (ius constituendum).33

Penutup

Gerakan pluralis demokratik masih terus relevan untuk memperjuangkan hak sipil-politik kelompok minoritas dan cita-cita kemanusiaan pada negara yang lebih memihak suara mayoritas dan mengatasnamakan ketertiban sosial untuk mengekang secara hukum. Perlu memperbanyak dan memasifkan (multiplikasi) penggunaan ruang publik untuk komunikasi diskursus moral atas

norma-31 Unger, Law in Modern Society.

32 Afthonul Afif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restoratif Justice (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 40-341.

(17)

norma yang berarti bagi kalangan minoritas dan kelompok ‘yang berbeda’, namun bagi kalangan mayoritas dianggap kontroversial. Agar dapat menjadi diskursus moral yang dapat dipertimbangkan dan diuji secara intersubjektif, namun dengan mobilisasi solidaritas progresif ruang publik yang kuat, kian meluas dan memasyarakat. Kerusakan ruang publik dengan dipenuhinya politik identitas dan teknologi rasial (race technology) yang turut menyertai ABI menjadi pertanda besar bahwa proyek penghargaan kemanusiaan dan keragaman masih menyisakan pekerjaan rumah besar.

Peran sebagai aktor sejati (otokhton) ruang publik dalam memperjuangkan keragaman dan perdamaian, cinta sosial, pemaafan, keadilan pemulihan, serta membuat front melawan bentuk-bentuk ekslusif atau represi baik simbolik-terselubung maupun terang-terangan terhadap minoritas ataupun kelompok marjinal dan pihak-pihak yang didiferensiasi atas dasar identitas kian menemukan urgensinya. Terkhusus kegemparan Ahok dan ABI, anasir-anasir faktual menunjukkan arus pokok persoalan politik identitas demagogis dan tekanan hukum penodaan agama yang memiliki daya magnetis sedemikian kuat memobilisasi massa dari berbagai tingkatan kelas sosial. Argumen ekonomi-politik—yang biasanya berseberangan dengan perspektif pluralis—betapapun penting dan gagahnya dalam menilik ketimpangan kelas dan hegemoni oligarkis, belum memberikan data-data dan kausalitas yang memadai dalam meneropong meledaknya ABI dari berbagai tingkatan kelas dan menebalnya batas-batas ideologis (borders within). Namun, sinergi pandangan keduanya dalam melakukan liberasi-liberasi sipil-politik dan ekonomi-sosial-budaya tentunya sangat penting dilakukan.

vwv

DAFTAR PUSTAKA

Afthonul Afif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restoratif Justice. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.

Aminah, Siti

d

an Uli Parulian Sihombing.

Memahami Pendapat Berbeda

(Dissenting Opinion) Putusan Uji Materiil UU Penodaan Agama

.

Jakarta: ILRC, 2011.

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

(18)

85

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

Baso, Ahmad. Islam Pasca kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme dan Liberalisme. Bandung: Mizan, 2005.

Cornel, D. The Philosophy of The Limit. London, Routledge, 1992.

Dzuhayatin, Siti Ruhaini. “Islam, Kepemimpinan Non-Muslim dan Hak Asasi Manusia”, dalam Wawan Gunawan Abd. Wahid, et.al (Ed). Fikih Kebinekaan: Pandangan Islam Indonesia tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Muslim. Bandung: Mizan dan Maarif Institute.

Halim, Abdul. Politik Hukum Islam di Indonesia: Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi. T.tp: Departemen Agama RI, 2008.

Hardiman, F. Budi. Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Hunt, A. “The Big Fear: Law Confront Postmodernism”, McGill Law Journal, 35, 508, 1990.

Mahfud, Moh. MD. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1998.

Nonet, Philippe and Philip Selznick. Toward Responsive Law: Law and Society in Transition. New Brunswick/New Jersey: Transactions, 1978.

Parekh, Bikhu. Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik.

Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Sihombing, Uli Parulian

. Ketidakadilan dalam Beriman: Hasil Monitoring Kasus-Kasus Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian atas Dasar Agama di Indonesia.

Jakarta: ILRC, 2012.

Unger, Roberto Mangabeira. Law in Modern Society: Toward a Criticism of Social Theory. New York: The Free Press, 1977.

Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum: Paradigma, Metode dan Masalah. Jakarta: Elsam dan Huma, 2002.

Internet

Abdullah, Hasan. Inilah Pidato Ahok di Kepulauan Seribu Full Tanpa di Edit, https://www.youtube.com/watch?v=_aZM80tH4e8, diakses 17 Januari 2017.

Ali-Fauzi, Ihsan. Ongkos-Ongkos “Aksi Bela Islam”, http://geotimes.co.id/ ongkos-ongkos-aksi-bela-islam/#gs.SF4vsmQ, diakses 17 Januari 2017.

Bagir, Zainal Abidin. Supremasi Hukum untuk “Penista Agama”?, https:// islamindonesia.id/kolom/kolom-supremasi-hukum-untuk-penista-agama.htm, diakses pada 11 Januari 2016.

(19)

Kami, Indah Mutiara. MUI Nyatakan Sikap Soal Ucapan Ahok Terkait Al Maidah 51, ini Isinya, http://news.detik.com/berita/d-3318150/mui-nyatakan-sikap-soal-ucapan-ahok-terkait-al-maidah-51-ini-isinya, diakses 17 Januari 2017.

Lindsey, Tim. Blasphemy charge reveals real fault lines in Indonesia democracy, http://www.theaustralian.com.au/news/world/blasphemy-charge-reveals-real-fault-lines-in-indonesia-democracy/news-story/ d748c881028069a19d1459dc592d7213, diakses pada 27 Januari 2016.

Taseer, Aatish. My Father’s Killer’s Funeral, http://www.nytimes. com/2016/03/13/opinion/sunday/my-father’s-killer’s-funeral.html, diakses pada 15 Januari 2017.

Referensi

Dokumen terkait

Instrumen yang digunakan dalam penelitian terdiri dari 1) pedoman dokumentasi kelengkapan kurikulum; 2) lembar pengamatan RPP; 3) pedoman observasi

Indikator Penilaian Teknik Penilaian Bentuk Penilaian Contoh Instrumen Menjelaskan pengertian shalat berjama’ah Menjelaskan syarat- syarat menjadi imam dan makmum

Suatu pekerjaan yang sedang atau sudah berjalan perlu diawasi agar dapat diketahui bahwa pekerjaan tersebut sudah sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan atau

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dalam mengumpulkan data dan analisis datanya. Metode studi kasus peneliti gunakan untuk mengkaji peristiwa kontemporer yang

Perbedaan skripsi ini dengan skripsi yang penulis bahas adalah skripsi di atas hanya menjelaskan tentang kecocokan teori al-Qur‘an dengan teori biologi, tapi

Dalam aktifitas ini manager purchasing akan melakukan proses approval untuk pesanan ke supplier yang telah melewati tahap negosiasi dari Staff purchasing Aktifitas

Sistem transmisi yang digunakan untuk memindahkan daya dan kecepatan dari kincir ke generator terdiri dari beberapa elemen antara lain poros, roda gigi, dan bantalan..

Penggunaan Linux Virtual Server yang menggunakan round-robin scheduler dalam lingkungan percobaan yang telah disebutkan, ternyata meningkatkan performa dari sebuah sistem