KAJIAN EMISI CO
2DARI PEMBAKARAN BATUBARA DI INDONESIA
Oleh : Herni Khaerunisa
Miftahul Huda Retno Damayanti
Adhi Wibowo Harry Tetra Antono
Komarudin Dedy Yaskuri
M. Lutfi Endang Suryati Marsen Alimano
Nurhadi Nia Rosnia H. Lasmaria Sibarani
PUSLITBANG TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA
BADAN LITBANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
2009
PUSLITBANG TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA PROGRAM PENERAPAN TEKNOLOGI PENAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung 40211 Telpon : (022)6030483–5 Faksimili : (022)6003373 e-mail : info@tekmira.esdm.go.id
i
KATA PENGANTAR
Perubahan iklim (Climate Change) kaitannya dengan pemanasan global akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir semakin menjadi perhatian dunia internasional sehingga rutin dibahas pemantauan dan penanganannya. Penyumbang terbesar terhadap meningkatnya suhu adalah gas karbondioksida. Batubara termasuk bahan bakar fosil yang menghasilkan CO2.
Puslitbang tekMIRA sebagai instansi di bawah Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral ikut aktif memberikan masukan dalam kebijakan energi terutama berkaitan dengan pemanfaatan batubara. Salah satunya adalah dengan memberikan data dasar efisiensi pemanfaatan batubara di industri pengguna batubara.
Evaluasi performa efisiensi pembakaran batubara di industri pengguna batubara dan mencari teknologi tepat guna merupakan wujud dari upaya pengurangan CO2. Informasi perhitungan efisiensi yang tepat akan menjadi masukan untuk industri pengguna batubara terutama industri menengah untuk lebih meningkatkan efisiensi pembakaran sehingga dapat lebih hemat energi.
Bandung, Desember 2009
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
iii SARI
Saat ini sumber daya batubara adalah sekitar 104 milyar ton yang tersebar di seluruh Nusantara. Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan energi maka batubara sebagai sumber energi alternatif pemanfaatannya semakin meningkat. Batubara termasuk bahan bakar fosil yang mengandung hidrokarbon. Hidrokarbon ini jika dibakar sempurna akan menghasilkan gas CO2, salah satu gas rumah
kaca. Karbondioksida di atmosfir dapat berkurang secara alami karena terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis, namun aktifitas manusia yang melepaskan karbondioksida ke udara jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk menguranginya.
Maksud kegiatan Kajian Emisi CO2 dari Pembakaran Batubara ini adalah melihat sejauhmana tingkat efisiensi pembakaran batubara di Indonesia kaitannya dengan emisi CO2. Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah mendapatkan data tentang efisiensi pembakaran batubara dan tingkat keefektifan peralatan pada berbagai industri pengguna batubara, mengetahui tingkat CO2 dari pembakaran batubara, dan memperoleh rancangan awal alat pengurang dan
suatu adsorben CO2.
Selama kegiatan, telah dilaksanakan pengambilan data primer dan sekunder, pra-perancangan alat dan pembuatan adsorben pengurang CO2. Data primer dan sekunder dilakukan di 7 PLTU batubara (pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan), 25 perusahaan di sekitar Kabupaten Bandung, dan 2 pabrik semen (PT. Indocement Cirebon dan PT. Semen Padang). Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dievaluasi serta dijadikan masukan dalam perhitungan efisiensi dan prediksi emisi CO2. Perhitungan efisiensi mengacu pada neraca massa dan energi, sedangkan prediksi emisi CO2 mengikuti metode dalam IPCC. Perancangan alat dibuat dengan teknologi fluidisasi sedangkan pembuatan adsorben dengan pengaktifan zeolit menggunakan asam dan larutan monoetanolamin dalam metanol.
iv
2.1.3 Pengendalian Pemanasan Global ... 11
2.2 Pemanfaatan Batubara di Industri ………... 13
2.2.1 Batubara Sebagai Bahan Bakar Boiler ……… 14
2.2.1.1 Pemanfaatan Steam ………...………. 14
2.2.1.2 Sistem Boiler ………..………… 14
2.2.1.3 Cara Pembakaran Bahan Bakar Batubara ………..………… 15
2.2.1.4 Kinerja Boiler ………..…………... 19
2.2.1.5 Pengguna Batubara ………...……… 20
2.2.2 Batubara Sebagai Bahan Bakar Tungku ………. 27
BAB III PROGRAM KEGIATAN ... 29
3.1 Kajian Teknologi Pemanfaatan Batubara di Indonesia Saat Ini …. 29
3.1.1
Pengumpulan Data
………..
293.1.2 Evaluasi Data …….. ... 31
v
BAB IV METODOLOGI 33
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN…… ... 36
5.1 Kajian Teknologi Pemanfaatan Batubara di Indonesia Saat ini.…. 36 5.1.1 Efisiensi Peralatan/Efisiensi Energi Pemanfaatan Batubara ……… 36
5.1.2
Prediksi CO2
Secara Umum di Indonesia …………
455.2 Persiapan Design Alat Pengurang dan Adsorben Gas CO2……. 48
BAB VI PENUTUP……….. 53 Tabel 1.1 Daftar Lokasi Kegiatan di Pembangkit Listrik 4 Tabel 1.2 Daftar Lokasi Kegiatan di Industri Tekstil 4 Tabel 2.1 Keuntungan dan Kerugian Boiler Berdasarkan Pembakaran 16 Tabel 2.2 Pengurangan CO₂ Melalui Peningkatan Efisiensi 24 Tabel 2.3 Nilai Kinerja Pembandingan untuk Produksi Semen 28
Tabel 5.1 Data Umum PLTU Batubara 37
Tabel 5.2 Data PLTU-B Hasil Evaluasi 37
vi
Tabel 5.4 Data Efisiensi di Beberapa Perusahaan Tekstil Kabupaten Bandung
42 Tabel 5.5 Prediksi Emisi CO2 di Beberapa Perusahaan Tekstil 44
Tabel 5.6 Hasil Evaluasi CDM di Pabrik Semen 45
Tabel 5.7 Konsumsi Domestik Batubara (ton) 46
Tabel 5.8 Hasil Analisis Luas Permukaan dan Volume serta Ukuran Pori Zeolit
50
Tabel 5.9 Analisis Kandungan Amin pada MEA 50
Tabel 5.10 Luas Permukaan Zeolit Aktivasi MEA Variasi Waktu Pengadukan 52
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Peta Lokasi Kegiatan di PLTU Batubara 6
Gambar 1.2 Peta Lokasi Kegiatan di Industri Tekstil Kabupaten Bandung 7 Gambar 1.3 Peta Lokasi Kegiatan di Industri Semen 8
Gambar 2.1 Proses Efek Rumah Kaca 9
Gambar 2.2 Proses Pelarutan CO2 dan Gas-Gas Atmosfer di Air 11 Gambar 2.3 Tipe Boiler Berdasarkan Metode Pembakaran 16
Gambar 2.4 Tipe Boiler FBC 18
Gambar 2.5 Diagram Neraca Energi Boiler 19
Gambar 2.6 Kehilangan pada Boiler yang Berbahan Bakar Batubara 20
Gambar 2.7 Skema PLTU Berbahan Bakar Batubara 21
Gambar 2.8 Penempatan Teknologi Pembakaran Batubara Jenis Lignit 24 Gambar 2.9 Diagram Pohon Untuk Beberapa Jenis Produk Tekstil 26
Gambar 2.10 Proses Produksi Semen 27
Gambar 5.1 Grafik Hubungan Kapasitas PLTU dengan Efisiensi Total 38 Gambar 5.2 Grafik Hubungan Nilai Kalor dengan Efisiensi PLTU-B 38 Gambar 5.3 Grafik Hubungan Kapasitas Boiler dengan Efisiensi Boiler 43 Gambar 5.4 Grafik Hubungan Nilai Kalor dengan Efisiensi Boiler 43
Gambar 5.5 Emisi CO2 dari Pembakaran Batubara 47
Gambar 5.6 Prediksi Emisi CO2 dari Pembakaran Batubara sampai 2025 Berdasarkan BaU
47 Gambar 5.7 Grafik Analisis XRD Zeolit Asli dan Zeolit Aktivasi Variasi
Konsentrasi Asam
49
1 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perubahan iklim yang akan berdampak buruk pada kelangsungan kehidupan di bumi sudah menampakkan tanda-tandanya. Suhu rata-rata dunia telah meningkat, pada kurun waktu 1995-2006 (12 tahun) sebelas tahun di antaranya mempunyai suhu paling panas dibandingkan suhu rata-rata dunia sejak 1850. Akibat kenaikan suhu tersebut, ketinggian air laut meningkat rata-rata 1,8 mm per tahun sejak tahun 1961(www.cml.ui.ac.id › Home RDM › Semester 2007_GASAL).
Meningkatnya suhu rata-rata bumi disebabkan oleh meningkatnya jumlah gas rumah kaca di atmosfir. Gas rumah kaca adalah gas yang berfungsi sebagai selimut, tanpa gas rumah kaca suhu bumi akan sangat dingin (sekitar -18oC) sebaliknya terlalu banyak gas rumah kaca bumi akan semakin panas (Wikipedia, 2009). Yang termasuk gas rumah kaca antara lain adalah uap air, CO2, metan dan nitrous oksida. Gas karbon dioksida adalah gas yang paling mempengaruhi pemanasan global.
Pemerintah telah menetapkan batubara sebagai energi alternatif pengganti minyak bumi dan gas alam seperti tertuang dalam Peraturan Presiden No.5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional karena sumber daya batubara yang cukup melimpah. Saat ini sumber daya batubara adalah sekitar 104 milyar tonyang tersebar di seluruh Nusantara, terutama di Pulau Kalimantan dan Sumatera (Badan Geologi, 2009). Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan energi maka pemanfaatan batubara sebagai sumber energi alternatif diperkirakan juga akan semakin meningkat. Saat ini pemakai batubara terbesar adalah sektor pembangkit listrik, dimana PLTU berbahan batubara mulai banyak dibangun di hampir seluruh Indonesia.
2
diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis, namun aktifitas manusia yang melepaskan karbondioksida ke udara jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk menguranginya.
Saat ini teknologi pembakaran batubara di PLTU di Indonesia rata-rata memiliki efisiensi 33-36 % (Buana, 2009).
Untuk menurunkan CO2 yang sangat efektif adalah dengan meningkatkan efisiensi pembakaran menjadi sekitar 40 %. (http://www.iea.org/textbase/nppdf/free/2005/ciab.pdf). Teknologi-teknologi untuk peningkatan efisiensi pembakaran sudah tersedia. Namun, jika PLTU batubara yang ada harus mengimplementasikan teknologi tersebut maka akan membutuhkan investasi yang sangat mahal.
Untuk mengurangi jumlah CO2 yang dihasilkan dari pemanfaatan batubara, dalam jangka pendek harus dilakukan upaya-upaya pencegahan penurunan efisiensi dan dalam jangka panjang perlu dilakukan penggantian teknologi dengan bantuan pendanaan melalui CDM (Clean Development Mechanism). Penurunan efisiensi suatu peralatan bisa terjadi bila usia PLTU telah cukup tua atau tidak ada perawatan (maintenance) yang memadai. Penurunan efisiensi juga dapat terjadi bila kualitas batubara yang dipakai tidak sesuai dengan persyaratan teknis yang ada.
Puslitbang tekMIRA merupakan bagian dari institusi pemerintah yang salah satunya melakukan dalam kajian pemanfaatan energi kaitannya dalam pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar. Pada tahun anggaran 2009, Kelompok Kegiatan Lingkungan Pertambangan akan melakukan kegiatan Kajian Emisi CO2 dari Pembakaran Batubara sebagai implementasi dari misi Puslitbang tekMIRA di atas
1.2. Ruang Lingkup Kegiatan
Kegiatan akan mencakup hal sebagai berikut :
1) Kajian teknologi pemanfaatan batubara di Indonesia saat ini. Kajian ini meliputi :
- Identifikasi teknologi pemanfaatan batubara yang dipakai pada beberapa industri
3
- Perhitungan tingkat efisiensi peralatan /efisiensi energi pemanfaatan batubara.
- Prediksi emisi CO2 dari pemakaian energi fosil di Indonesia sampai tahun 2025 (berdasarkan prediksi pemakaian energi fossil yang dibuat oleh ESDM)
2) Prospek pengembangannya ke depan berkaitan dengan pengurangan CO2 yang berupa studi pendahuluan pengurangan CO2 dari pembakaran batubara skala laboratorium tahap persiapan desain alat dan adsorben.
1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud kegiatan Kajian Emisi CO2 dari Pembakaran Batubara ini adalah melihat sejauhmana tingkat efisiensi pembakaran batubara di Indonesia kaitannya dengan emisi CO2. Dari ruang lingkup yang disebut atas, maka tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah:
1) Mendapatkan data tentang efisiensi pembakaran batubara pada berbagai industri pengguna batubara dan memperoleh tingkat keefektifan peralatan yang digunakan berdasarkan jenis batubara yang dipakai serta mengetahui tingkat CO2 dari pembakaran batubara.
2) Memperoleh rancangan awal alat pengurang dan suatu adsorben CO2.
1.4. Sasaran Kegiatan
Sasaran kegiatan adalah
1) Diketahuinya tingkat efisiensi peralatan yang digunakan dalam pembakaran batubara dan tingkat emisi CO2 yang dihasilkan batubara berdasarkan data konsumsi batubara di Indonesia.
2) Diperolehnya suatu model alat pengurang dan adsorben gas CO2.
1.5. Lokasi Kegiatan
4
Adapun data sekunder yang dikumpulkan berupa data proses yang berkaitan dengan perhitungan efisiensi dan teknologi pembakaran batubara.
Pembangkit Listrik yang menjadi lokasi kegiatan dapat dilihat pada Tabel 1.1. Untuk industri tekstil dilakukan di daerah Kabupaten Bandung dan nama perusahaan disajikan dalam Tabel 1.2.
Adapun industri semen yang dikunjungi adalah PT. Indocement Tunggal Prakarsa pabrik Palimanan Cirebon dan PT. Semen Padang Sumatra Barat. Peta lokasi kegiatan masing-masing dicantumkan pada Gambar 1.1, Gambar 1.2, dan Gambar 1.3.
Analisis beberapa parameter emisi gas buang dan persiapan desain alat dan adsorben CO2 dilakukan di laboratorium Teknologi Lingkungan Puslitbang tekMIRA.
Tabel 1.1 Daftar Lokasi Kegiatan di Pembangkit Listrik
No. PLTU JUMLAH
Sumber : PLN Pusat Jakarta, 2009
5
NO NAMA PABRIK NO NAMA PABRIK
1 Dactex 16 Bima Jaya
2 Adetex 17 Vonex
3 Famatex 18 Sinar Sari
4 BSTM 19 Cemara Agung
5 Sinar Majalaya 20 Budi Agung 6 Alenatex 21 Anugrah 7 Sipatex 22 Naga Sakti 8 Nagamas 23 Sinar Baru 9 Daliatex 24 Tastex 10 Panca Agung 25 Delimatex
11 Badjatex
12 Dhanar Mas
13 BCP
14 RCP
6
7
8
9
2. TINJAUAN PUSTAKA
Karbon dioksida merupakan salah satu komponen atmosfir yang memiliki beberapa
peranan penting kaitannya dengan lingkungan. Karbon dioksida termasuk gas rumah kaca
yang menerangkap panas radiasi sinar merah di atmosfir, berperan dalam pelapukan batuan,
sumber karbon bagi tanaman, dan karbon dioksida ini tersimpan dalam biomassa, bahan
organik dalam sedimen juga batuan karbonat seperti kapur.
2.1. Pemanasan Global
Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut
dan daratan Bumi. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa,
"sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20
kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat
aktivitas manusia" melalui efek rumah kaca (Wikipedia Indonesia, 2009).
2.1.1 Efek Rumah Kaca
Efek rumah kaca, pertama kali ditemukan oleh Joseph Fourier pada 1824, merupakan
sebuah proses di mana atmosfer memanaskan sebuah planet.
Sumber : http://www.columbia.edu/~vjd1/carbon.htm
Angkasa
Atmosfer
10
Gambar 2.1 Proses Efek Rumah Kaca
Mekanisme terjadinya efek rumah kaca adalah sebagai berikut (gambar 2.1). Bumi secara
konstan menerima energi, kebanyakan dari sinar matahari tetapi sebagian juga diperoleh
dari bumi itu sendiri, yakni melalui energi yang dibebaskan dari proses radioaktif (Holum,
1998:237). Sinar tampak dan sinar ultraviolet yang dipancarkan dari matahari. Radiasi sinar
tersebut sebagian dipantulkan oleh atmosfer dan sebagian sampai di permukaan bumi. Di
permukaan bumi sebagian radiasi sinar tersebut ada yang dipantulkan dan ada yang diserap
oleh permukaan bumi dan menghangatkannya.
Dalam keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan, dengan adanya efek rumah kaca
perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh berbeda.
Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbondioksida (CO2) dan
gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas-gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan
pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batubara dan bahan bakar organik lainnya yang
melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk mengabsorbsinya (Wikipedia
Indonesia, 2009).
2.1.2. Gas Rumah Kaca
Gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek
rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi dapat
juga timbul akibat aktifitas manusia.
Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat
penguapan air dari laut, danau dan sungai. Karbondioksida adalah gas terbanyak kedua. Ia
timbul dari berbagai proses alami seperti: letusan vulkanik; pernafasan hewan dan manusia
(yang menghirup oksigen dan menghembuskan karbondioksida); dan pembakaran material
organik (seperti tumbuhan).
Karbon dioksida merupakan salah satu komponen atmosfir yang memiliki beberapa peranan
penting kaitannya dengan lingkungan. Karbon dioksida termasuk gas rumah kaca yang
11
sumber karbon bagi tanaman, dan karbon dioksida ini tersimpan dalam biomassa, bahan
organik dalam sedimen juga batuan karbonat seperti kapur.
Sumber : http://www.columbia.edu/~vjd1/carbon.htm
Gambar 2.2 Proses Pelarutan CO2 dan Gas-Gas Atmosfer di Air
Karbondioksida dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk
digunakan dalam proses fotosintesis.
Karbon dioksida dan gas-gas atmosfer lainnya larut dalam air permukaan. Gas-gas terlarut
dalam kesetimbangan dengan gas di atmosfer. Karbon dioksida bereaksi dengan air dalam
larutan membentuk asam lemah, asam karbonat (Gambar 2.2). Asam karbonat diurai menjadi
ion hidrogen dan ion bikarbonat. Ion hidrogen dan air bereaksi dengan kebanyakan mineral
(silikat dan karbonat) dan mengubahnya. Hasil pelapukan umumnya lempung (kelompok
mineral silikat) dan ion mudah larut seperti kalsium, besi, natrium, dan kalium. Ion bikarbonat
juga tetap berada dalam larutan; merupakan sisa dari asam karbonat yang digunakan untuk
melapukkan bebatuan.
Meskipun lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi karbondioksida di atmosfer,
namun aktifitas manusia yang melepaskan karbondioksida ke udara jauh lebih cepat dari
kemampuan alam untuk menguranginya.
Atmosfir
Air
Batua
Pelapukan kimia
12 2.1.3. Pengendalian Pemanasan Global
Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun.
Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat
mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi
efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya
iklim di masa depan.
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut
atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration
(menghilangkan/mengasingkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca
(Wikipedia Indonesia, Indonesia).
1) Carbon Sequestration
Sebelum gas karbon dioksida (CO2) hasil dari pembangkit listrik dan sumber-sumber
titik lain diasingkan (sequestration), CO2 harus ditangkap dalam kondisi relatif murni.
Di Amerika, CO2 hasil produk samping dari proses-proses industri seperti produksi amonia
sintetis, produksi H2, dan kalsinasi kapur telah secara rutin diasingkan.
Teknologi penangkapan yang ada, biayanya tidak efektif bila dipertimbangkan dalam
konteks pengasingan CO2 dari pembangkit listrik. Gas buang dari pembangkit listrik
batubara mengandung CO2 10-12 % volum, sementara gas buang dari pabrik siklus
gabungan gas alam hanya mengandung 3-6 %CO2. Untuk pengasingan CO2 yang efektif,
maka CO2 dari gas buang ini harus dipisah dan dipekatkan (dikonsentrasikan) terlebih
dahulu.
Baru-baru ini, pengambilan CO2 dari gas buang dilakukan dengan menggunakan penyerap
amin dan pendingin kriogenik. Adanya penambahan teknologi pengurangan emisi karbon ini
tentunya akan meningkatkan pula biaya listrik, tergantung tipe proses.
Secara umum, biaya estimasi penangkapan karbon ini hamper ¾ dari total keseluruhan
sistem (penangkapan, penyimpanan, transportasi dan pengasingan CO2).
Identifikasi pemilihan untuk pemisahan dan penangkapan CO2 yang paling mungkin,
meliputi:
13
- Adsorpsi (secara fisika dan kimia)
- Distilasi suhu rendah (Low-temperature distillation)
- Pemisahan gas dengan membrane (Gas separation membranes)
- Mineralisasi dan biomineralisasi
Kesempatan untuk pengurangan biaya secara signifikan masih terbuka dengan beberapa
inovasi riset yang dikhususkan pada ‘CO2 captured dan separation technologies’.
Contoh kegiatan program ini adalah :
Penelitian mengenai perbaikan revolusioner dalam teknologi pemisahan dan menangkap
CO2
o Pengembangan material baru (mis: absorben fisika/kimia, carbon fiber molecular
sieve, membran polimer)
o Unit proses micro-channel dengan kinetika cepat
o Proses pemisahan dan pembentukan hidrat CO2
o Pendekatan pembakaran oksigen yang disempurnakan
(http://www.fossil.energy.gov/programs/sequestration/capture/index.html)
2) Mengurangi Produksi Gas Rumah Kaca
Menurut sebuah artikel dalam situs http://www.kamase.org/?p=932, meningkatnya tingkat
emisi karbon di dunia menyebakan kadar CO2 di atmosfer tidak stabil. Oleh karena itu,
negara-negara maju yang tergabung dalam Annex1 berkomitmen untuk mengurangi emisi
CO2 sehingga tercetuslah Protokol Kyoto pada tahun 1997. Dengan adanya Protokol Kyoto
tersebut diharapkan mampu mengurangi efek dari Gas Rumah Kaca (GRK) di dunia. Selain itu
Protokol Kyoto diharapkan dapat meningkatkan kesadaran negara-negara di dunia terutama
negara maju untuk mengurangi emisi karbon di dunia.
Clean Development Mechanism (CDM) adalah salah satu dari tiga mekanisme fleksibel dalam
Protokol Kyoto yang dirancang untuk membantu negara industri/Annex1 untuk memenuhi
komitmennya mengurangi efek GRK dan membantu negara berkembang dalam mencapai
pembangunan berkelanjutan. CDM adalah satu-satunya mekanisme fleksibel yang
14
memiliki kewajiban membatasi emisi GRK-nya, akan tetapi dapat secara sukarela
berkontribusi dalam pengurangan emisi global dengan menjadi tempat pelaksanaan proyek
CDM.
Indonesia meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui UU No. 6 tahun 1994. Dengan
meratifikasi Protokol Kyoto berarti membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik lebih
banyak investor. Mengembangkan proyek CDM, akan bermanfaat dalam upaya menuju
pembangunan berkelanjutan. Sebagai konsekuensinya, akan diperlukan persiapan di
berbagai aspek mulai dari kebijakan dan regulasi, keuangan dan aspek teknis dalam
implementasi CDM.
2.2 Pemanfaatan Batubara di Industri
Sebagian besar pemanfaatan batubara adalah untuk sektor industri dan pembangkit listrik, baik pembangkit listrik milik PT. PLN maupun non PLN, sedangkan sisanya dibuat briket batubara untuk dipergunakan pada sektor rumah tangga (BPPT, 2009).
Batubara pada sektor industri dapat dipergunakan secara langsung sebagai bahan bakar
tungku (furnace), maupun secara tidak langsung sebagai bahan bakar boiler, namun
sebagian besar atau sekitar 70 % batubara dipergunakan sebagai bahan bakar tungku.
Industri semen merupakan konsumen batubara yang utama diikuti oleh industri kertas,
makanan, tekstil, logam dasar, dan pupuk (BPPT, 2009). Dalam bab ini yang akan diuraikan
adalah pemanfaatan batubara di pembangkit listrik tenaga uap, industri tekstil, dan industri
semen.
2.2.1 Batubara Sebagai Bahan Bakar Boiler
Boiler adalah bejana tertutup dimana panas pembakaran dialirkan ke air sampai
terbentuk air panas atau steam. Air panas atau steam pada tekanan tertentu kemudian
digunakan untuk mengalirkan panas ke suatu proses. Air adalah media yang berguna dan
15
mengalirkan panas ke suatu proses. Jika air dididihkan sampai menjadi steam, volumnya
akan meningkat sekitar 1.600 kali, menghasilkan tenaga yang menyerupai bubuk mesiu yang
mudah meledak, sehingga boiler merupakan peralatan yang harus dikelola dan dijaga
dengan sangat baik. (http://www.energyefficiencyasia.org/)
2.2.1.1 Pemanfaatan Steam
Energi kalor yang dibangkitkan dalam sistem boiler memiliki nilai tekanan,
temperatur, dan laju aliran yang menentukan pemanfaatan steam yang akan digunakan.
Berdasarkan ketiga hal tersebut sistem boiler mengenal keadaan tekanan-temperatur rendah
(low pressure/LP), dan tekanan-temperatur tinggi (high pressure/HP). Dengan perbedaan itu,
maka steam yang keluar dari sistem boiler dapat dimanfaatkan untuk:
- suatu proses dimana steam tersebut digunakan untuk memanaskan cairan dan
menjalankan suatu mesin (commercial and industrial boilers), atau
- membangkitkan energi listrik dengan merubah energi kalor menjadi energi mekanik
kemudian memutar generator sehingga menghasilkan energi listrik (power boilers),
dan
- menggabungkan kedua sistem boiler tersebut (LP dan HP). Sistem boiler keadaan
tekanan-temperatur tinggi untuk membangkitkan energi listrik, kemudian sisa steam
dari turbin dengan keadaan tekanan-temperatur rendah dapat dimanfaatkan ke
dalam proses industri dengan bantuan heat recovery boiler.
(http://febriantara.wordpress.com/2008/10/24/klasifikasi-boiler/)
2.2.1.2 Sistem Boiler
Sistem boiler terdiri dari sistem air umpan, sistem steam, dan sistem bahan bakar.
Komponen-komponen dari boiler yang mendukung terciptanya steam adalah sebagai
berikut:
- Furnace
Komponen ini merupakan tempat pembakaran bahan bakar. Beberapa bagian dari
furnace di antaranya: refractory, ruang perapian, burner, exhaust for flue gas, charge
and discharge door .
16
Komponen ini merupakan tempat penampungan air panas dan pembangkitan steam.
Steam masih bersifat jenuh (saturated steam).
- Superheater
Komponen ini merupakan tempat pengeringan steam dan siap dikirim melalui main
steam pipe dan siap untuk menggerakkan turbin uap atau menjalankan proses
industri.
- Air Heater
Komponen ini merupakan ruangan pemanas yang digunakan untuk memanaskan
udara luar yang diserap untuk meminimalisasi udara yang lembab yang akan masuk
ke dalam tungku pembakaran.
- Economizer
Komponen ini merupakan ruangan pemanas yang digunakan untuk memanaskan air
dari air yang terkondensasi dari sistem sebelumnya maupun air umpan baru.
- Safety valve
Komponen ini merupakan saluran buang steam jika terjadi keadaan dimana tekanan
steam melebihi kemampuan boiler menahan tekanan steam.
- Blowdown valve
Komponen ini merupakan saluran yang berfungsi membuang endapan yang berada
di dalam pipa steam.
2.2.1.3 Cara Pembakaran Bahan Bakar Batubara
Pada dasarnya metode pembakaran terbagi 3, yaitu pembakaran lapisan tetap
(fixed bed combustion), pembakaran batubara serbuk (pulverized coal combustion /PCC), dan
pembakaran lapisan mengambang (fluidized bedcombustion / FBC). Gambar 2.3 di bawah ini
menampilkan jenis – jenis boiler yang digunakan untuk masing – masing metode
pembakaran (Imam, 2009). Adapun keuntungan dan kerugian masing-masing metode
17
sumber : Idemitsu Kosan Co., Ltd; Imam, 2009
Gambar 2.3 Tipe Boiler Berdasarkan Metode Pembakaran
Tabel 2.1 Keuntungan dan Kerugian Boiler Berdasarkan Pembakaran
No Tipe Boiler Kelebihan Kelemahan
1 Stoker Combustion
Konstruksinya relatif sederhana. - Limbah yang diproduksi pembakaran lebih banyak
- Panas yang dihasilkan kurang merata jika tidak ada komponen pendukung
- Effisiensi relatif rendah 2 Pulverized - Efisiensi relatif tinggi
- Proses pembakaran lebih merata pada tungku pembakaran
Konstruksinya rumit dan membutuhkan dana investasi yang mahal
3 Fluidized Bed - Efisiensi relatif tinggi
- Suhu pembakaran tidak mencapai suhu 1000 oC sehingga tidak
menimbulkan NOx
Konstruksinya rumit dan membutuhkan dana investasi yang mahal
Sumber : http://febriantara.wordpress.com/2008/10/24/klasifikasi-boiler/
- Pembakaran Lapisan Tetap (Fixed Bed Combustion)
Metode lapisan tetap menggunakan stoker boiler untuk proses pembakarannya. Sebagai
bahan bakarnya adalah batubara dengan kadar abu yang tidak terlalu rendah dan
berukuran maksimum sekitar 30 mm. Selain itu, karena adanya pembatasan sebaran
ukuran butiran batubara yang digunakan, maka perlu dilakukan pengurangan jumlah fine
coal yang ikut tercampur ke dalam batubara tersebut. Bahan bakar dimasukkan ke dalam
ruang pembakaran melalui ban berjalan (conveyor)ataupun manual.
Alasan tidak digunakannya batubara dengan kadar abu yang terlalu rendah adalah karena
18
di atas kisi api (traveling fire grate) pada stoker boiler. Bila kadar abunya sangat sedikit,
lapisan abu tidak akan terbentuk di atas kisi tersebut sehingga pembakaran akan
langsung terjadi pada kisi, yang dapat menyebabkan kerusakan yang parah pada bagian
tersebut. Oleh karena itu, kadar abu batubara yang disukai untuk tipe boiler ini adalah
sekitar 10 – 15%. Adapun tebal minimum lapisan abu yang diperlukan untuk pembakaran
adalah 5cm.
- Pembakaran Batubara Serbuk (Pulverized Coal Combustion/PCC)
Saat ini, kebanyakan PLTU terutama yang berkapasitas besar masih menggunakan
metode PCC pada pembakaran bahan bakarnya. Hal ini karena sistem PCC merupakan
teknologi yang sudah terbukti dan memiliki tingkat kehandalan yang tinggi. Upaya
perbaikan kinerja PLTU ini terutama dilakukan dengan meningkatkan suhu dan tekanan
dari uap yang dihasilkan selama proses pembakaran. Perkembangannya dimulai dari sub
critical steam, kemudian super criticalsteam, serta ultra super critical steam (USC).
Pada PCC, batubara diremuk dulu dengan menggunakan coal pulverizer (coal mill) sampai
berukuran 200 mesh (diameter 74μm), kemudian bersama – sama dengan udara
pembakaran disemprotkan ke boiler untuk dibakar.
Pembakaran metode ini sensitif terhadap kualitas batubara yang digunakan, terutama
sifat ketergerusan (grindability), sifat slagging, sifat fauling, dan kadar air (moisture
content).
Batubara yang disukai untuk boiler PCC adalah yang memiliki sifat ketergerusan dengan
HGI (Hardgrove Grindability Index) di atas 40 dan kadar air kurang dari 30%, serta rasio
bahan bakar (fuel ratio) kurang dari 2. Pembakaran dengan metode PCC ini akan
menghasilkan abu yang terdiri diri dari clinker ash (bottom ash)sebanyak 15% dan sisanya
berupa abu terbang (fly ash).
- Pembakaran Lapisan Mengambang (Fluidized Bed Combustion/FBC)
Pada pembakaran dengan metode FBC, batubara diremuk terlebih dulu dengan
menggunakan crusher sampai berukuran maksimum 25 mm. Tidak seperti pembakaran
menggunakan stoker yang menempatkan batubara di atas kisi api selama pembakaran
19
pembakaran, butiran batubara dijaga agar dalam posisi mengambang, dengan cara
melewatkan angin berkecepatan tertentu dari bagian bawah boiler. Keseimbangan antara
gaya dorong ke atas dari angin dan gaya gravitasi akan menjaga butiran batubara tetap
dalam posisi mengambang sehingga membentuk lapisan seperti fluida yang selalu
bergerak. Kondisi ini akan menyebabkan pembakaran bahan bakar yang lebih sempurna
karena posisi batubara selalu berubah sehingga sirkulasi udara dapat berjalan dengan
baik dan mencukupi untuk proses pembakaran.
Karena sifat pembakaran yang demikian, maka persyaratan spesifikasi bahan bakar yang
akan digunakan untuk FBC tidaklah seketat pada metode pembakaran yang lain. Secara
umum, tidak ada pembatasan yang khusus untuk kadar zat terbang (volatile matter), rasio
bahan bakar (fuel ratio) dan kadar abu. Bahkan semua jenis batubara termasuk peringkat
rendah sekalipun dapat dibakar dengan baik menggunakan metode FBC ini. Hanya saja
ketika batubara akan dimasukkan ke boiler, kadar air yang menempel di permukaannya
(free moisture) diharapkan tidak lebih dari 4%. Selain kelebihan di atas, nilai tambah dari
metode FBC adalah alat peremuk batubara yang dipakai tidak terlalu rumit, serta ukuran
boiler dapat diperkecil dan dibuat kompak.
Berdasarkan mekanisme kerja pembakaran, metode FBC terbagi 2 yaitu Bubbling FBC dan
Circulating FBC (CFBC), seperti ditampilkan pada gambar 2.4. Dapat dikatakan bahwa
Bubbling FBC merupakan prinsip dasar FBC, sedangkan CFBC merupakan
pengembangannya.
Pada FBC, bila tekanan di dalam boiler sama dengan tekanan udara luar, disebut dengan
Atmospheric FBC (AFBC), sedangkan bila tekanannya lebih tinggi dari pada tekanan udara
luar, sekitar 1 MPa, disebut dengan Pressurized FBC (PFBC).
20
Sumber : Coal Science Handbook, 2005; Imam, 2009
Gambar 2.4 Tipe Boiler FBC
2.2.1.4 Kinerja Boiler
Sumber : (http://www.energyefficiencyasia.org/)
21
Parameter kinerja boiler, antara lain efisiensi dan rasio penguapan berkurang
terhadap waktu. Penurunan ini dapat disebabkan buruknya pembakaran kotornya
permukaan penukar panas serta buruknya operasi dan pemeliharaan. Bahkan, boiler yang
baru sekalipun jika kualitas bahan bakar dan kualitas air tidak sesuai dapat mengakibatkan
buruknya kinerja boiler.
Neraca panas dapat membantu mengidentifikasi kehilangan panas yang dapat atau tidak
dapat dihindari. Uji efisiensi boiler dapat membantu dalam menemukan penyimpangan
efisiensi boiler dari efisiensi terbaik dan target area permasalahan untuk tindakan perbaikan.
Proses pembakaran dalam boiler dapat digambarkan dalam bentuk diagram alir energi
(Gambar 2.5). Diagram ini menggambarkan tentang bagaimana energi masuk dari bahan
bakar diubah menjadi aliran energi dengan berbagai kegunaan dan menjadi aliran
kehilangan panas dan energi. Panah tebal menunjukkan jumlah energi yang dikandung
dalam aliran masing-masing.
Sumber : (http://www.energyefficiencyasia.org/)
Gambar 2.6 Kehilangan pada Boiler yang Berbahan Bakar Batubara
Kehilangan energi dapat dibagi ke dalam kehilangan yang tidak atau dapat dihindarkan
(Gambar 2.6).
Tujuan dari produksi bersih dan/atau pengkajian energi harus mengurangi kehilangan panas
yang dapat dihindari, yaitu dengan meningkatkan efisiensi energi. Kehilangan panas yang
dapat dihindari atau dikurangi adalah sebagai berikut:
22
- Udara berlebih (diturunkan hingga ke nilai minimum yang tergantung dari teknologi
burner, operasi (kontrol), dan pemeliharaan).
- Suhu gas cerobong (diturunkan dengan mengoptimalkan perawatan (pembersihan),
beban; burner yang lebih baik dan teknologi boiler).
Kehilangan karena bahan bakar yang tidak terbakar dalam cerobong dan abu (mengoptimalkan operasi dan pemeliharaan; teknologi burner yang lebih baik).
Kehilangan dari blowdown (pengolahan air umpan segar, daur ulang kondensat)
Kehilangan kondensat (manfaatkan sebanyak mungkin kondensat)
Kehilangan konveksi dan radiasi (dikurangi dengan isolasi boiler yang lebih baik)
2.2.1.5 Pengguna Batubara
Pengguna batubara paling besar untuk boiler adalah pembangkit listrik (PLTU).
Adapun salah satu contoh di industri yaitu industri tekstil.
1) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
Pada PLTU, batubara dibakar di boiler menghasilkan panas yang digunakan untuk
mengubah air dalam pipa yang dilewatkan di boiler tersebut menjadi uap yang memiliki
tekanan dan temperatur tinggi, yang selanjutnya digunakan untuk menggerakkan turbin
dan memutar generator (konversi energi panas menjadi energi mekanik). Perubahan energi
panas menjadi mekanikal dan energi listrik ini melalui suatu siklus konversi energi (Siklus
Rankine) yang sangat bergantung pada jumlah panas, pola suhu, dan suhu lingkungan atau
suhu penerima panas yang tersedia (dalam hal ini boiler). Gambar 2.7 menunjukkan alur
proses di PLTU batubara.
23 Sumber : www.canadiancleanpowercoalition.com
Keterangan gambar:
1. Batubara ; sebagai bahan bakar utama Pembangkit
2. Pulverizer ; untuk menghaluskan batubara hingga menyerupai butir-butir beras 3. Boiler ;
4. Cerobong, pengendap 5. Turbin
6. Sistem kondensor dan pendingin 7. Sistem pengolahan air
8. Sistem pembuangan abu 9. Substasiun/ transformer
Gambar 2.7 Skema PLTU Berbahan Bakar Batubara
Komponen-komponen terpenting pada sebuah PLTU adalah boiler, turbin uap dan
generator. Siklus Rankine terkadang diaplikasikan sebagai siklus Carnot, terutama dalam
menghitung efisiensi. Sebuah mesin nyata (real) yang beroperasi dalam suatu siklus pada
temperatur TH (temperature high)and TC (temperature cold)tidak mungkin melebihi efisiensi
mesin Carnot (Wikipedia Indonesia, 2009). Persamaan efisiensi Carnot dituliskan berikut ini:
Uap memasuki turbin pada temperatur 565 oC (batas ketahanan stainless steel) dan
kondenser bertemperatur sekitar 30 oC. Hal ini memberikan efisiensi Carnot secara teoritis
sebesar 63 %, namun kenyataannya efisiensi pada pembangkit listrik tenaga batubara
sebesar 42 % (Wikipedia Indonesia, 2009).
Dengan demikian, agar efisiensi menjadi setinggi mungkin pada sebuah PLTU, maka
perbandingan T2/T1 harus sekecil mungkin. Tetapi, meningkatkan efisiensi akan sangat sulit,
karena suhu lingkungan adalah fakta, sedangkan menaikkan suhu uap akan terbentur pada
daya tahan materialnya. Sehingga dalam siklus energi, sangat penting memperhatikan faktor
jenis sumber energi yang dipakai untuk proses pembakaran, siklus uap, mesin yang
digunakan (misalnya boiler uap), serta medium penerima panas dengan suhu terendah
(kondensor) (Murti, tanpa tahun).
Untuk itu, kinerja pembangkitan listrik pada PLTU sangat ditentukan oleh efisiensi panas
pada proses pembakaran batubara tersebut, karena selain berpengaruh pada efisiensi
pembangkitan, juga dapat menurunkan biaya pembangkitan.
24 Pengaruh Teknologi Pembakaran Terhadap Efisiensi dan Emisi CO2
Dari segi lingkungan, jumlah emisi CO2 per satuan kalori dari batubara adalah yang
terbanyak bila dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya. Perbandingan batubara,
minyak, dan gas adalah 5:4:3. Sehingga berdasarkan uji coba, diketahui bahwa kenaikan
efisiensi panas sebesar 1% akan dapat menurunkan emisi CO2 sebesar 2,5 %. Dengan
demikian, efisiensi panas yang meningkat akan dapat mengurangi beban lingkungan secara
signifikan akibat pembakaran batubara. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa teknologi
pembakaran (combustion technology) merupakan bagian utama upaya peningkatan efisiensi
pemanfaatan batubara secara langsung sekaligus upaya antisipasi isu lingkungan ke
depannya (Imam, 2009).
Saat ini, teknologi pembakaran batubara (lihat Bab 2.2.1/Cara Pembakaran Bahan Batubara)
mengalami perkembangan terutama akibat pengaruh faktor tekanan udara pembakaran.
Untuk Bubbling FBC berkembang dari PFBC menjadi Advanced PFBC (A-PFBC), sedangkan
untuk CFBC selanjutnya berkembang menjadi Internal CFBC (ICFBC) dan kemudian
Pressurized ICFBC (PICFBC).
Efisiensi netto pembangkitan (net efficiency) yang dihasilkan pada A-PFBC ini sangat tinggi,
dapat mencapai 46%.
Peningkatan efisiensi pembangkitan dengan mekanisme kombinasi melalui pemanfaatan gas
sintetis hasil proses gasifikasi seperti pada A-PFBC, selanjutnya mengarahkan teknologi
pembangkitan untuk lebih mengintensifkan penggunaan teknologi gasifikasi batubara ke
dalam sistem pembangkitan. Upaya ini akhirnya menghasilkan system pembangkitan yang
disebut dengan Integrated Coal Gasification Combined Cycle (IGCC) (Imam, 2009).
Dalam laporan Coal Industry Advisory Board yang ditulis tahun 2005 berjudul Reducing
Greenhouse Gas Emissions mengenai The Potensial of Coal, disebutkan bahwa pengurangan
emisi CO2 melalui penerapan teknologi yang lebih efisien pada pembangkit listrik tenaga
uap berbahan bakar batubara (PLTU batubara) mempunyai potensi sangat besar.
PLTU-batubara modern saat ini mampu mencapai tingkat efisiensi lebih dari 40% atau mempunyai
25
dibangun pada tahun 1950-1960-an. Disamping itu PLTU-batubara modern menghasilkan
debu, belerang dan NOx dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan PLTU lama.
Berikut adalah contoh-contoh PLTU-batubara modern di dunia. Di Jerman terdapat PLTU
lignit berkapasitas 965 MW menggunakan turbin dengan uap superkritis (supercritical
steam). PLTU ini beroperasi pada tahun 2003 di Niederaußem / Rheinland dan mempunyai
efisiensi lebih dari 43%. Di Australia terdapat PLTU batubara (‘Millmerran’ black coal power
station) berkapasitas 860 MW dengan efisiensi sekitar 40%. Di Jepang terdapat PLTU
batubara (Tachibanawan-2 black coal power station) berkapasitas 1,050 MW dan memiliki
efisiensi sekitar 42%.
Efisiensi PLTU baik berbahan bakar lignit (LG) atau Hard coal (HG) diprediksi akan terus
mengalami peningkatan (Gambar 2.8) dengan diterapkannya teknologi pengeringan
batubara dan digunakannya turbin dengan suhu uap air lebih tinggi pada beberapa tahun ke
depan.
Saat ini terdapat sekitar 1000 GW PLTU-batubara d di seluruh dunia. Hampir dua pertiga dari
PLTU tersebut telah berumur lebih dari 20 tahun dan memiliki efisiensi rata-rata sekitar 29%.
Pembangkit listrik ini mengeluarkan CO2 sebesar 3,9 milyar ton per tahun.
Jika diasumsikan PLTU tua ini akan memiliki ‘usia’ sampai 40 tahun, dan akan dilakukan
penggantian dengan pembangkit listrik modern (ultra-supercritical/USC plant) yang memiliki
efisiensi sekitar 45% ketika mencapai usia 40 tahun tersebut, maka total emisi gas rumah
kaca (GHG) berkapasitas 1000 GW akan berkurang sebesar 1,4 milyar ton CO2 per tahun,
atau terjadi pengurangan emisi gas rumah kaca (GHG) sebesar 36%. Bila jumlah emisi CO2
dari sektor energi sebesar 23,4 miliar ton, seperti dilaporkan oleh IEA tahun 2002, maka ini
berarti penggantian PLTU lama dengan PLTU baru berefisiensi tinggi akan mengurangi
jumlah CO2 dari sektor energi sekitar 6%. Ini berarti terjadi pengurangan emisi CO2 melebihi
target Protokol Kyoto sebesar 5%. Ini adalah kontribusi pengurangan CO2 yang sangat
26 Sumber : CIAB, 2005
Gambar 2.8 Penempatan Teknologi Pembakaran Batubara Jenis Lignit
Di beberapa negara berkembang, efisiensi PLTU-batubara jauh lebih rendah dibandingkan di
negara-negara OECD. Seperti yang tercantum dalam World Energy Outlook 2004, rata-rata
efisiensi batubara pada tahun 2002 di OECD adalah sebesar 36%, lebih besar dibandingkan
efisiensi di negara berkembang, yaitu sekitar 30%. Ini berarti bahwa satu unit listrik yang
dihasilkan di negara-negara berkembang menghasilkan karbon dioksida 20% lebih banyak
dibandingkan listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik Negara-negara OECD.
Tabel 2.2 Pengurangan CO2 melalui Peningkatan Efisiensi
Satuan China India Russia Total
Kapasitas Batubara TWh/tahun 1139 435,8 544,6 2119,4
Efisiensi Rata-Rata % 30 30 27,9 29,5
Emisi CO2 Rata-Rata Ton CO2/MWh 1202 1120 1325 1216 Emisi CO2 (Efisiensi = 30%) Ton CO2/MWh 1090 1120 1120 1083 Pengurangan Emisi CO2 Miliar
ton/tahun
127,6 43,6 111,6 282,8 Sumber : CIAB, 2005
Keterangan : Potensi Pembangkitan Listrik Berbahan Bakar Batubara di China, India dan Rusia
Tingkat teknologi
Efisiens i
27
Yang diperhitungkan sebesar 40% dari Kapasitas Pembangkit Listrik Global Berbahan Bakar Batubara
Peningkatan efisiensi PLTU batubara di China, India dan Rusia walaupun hanya beberapa
persen (seperti yang ditunjukkan pada tabel 2.2), akan mengurangi emisi CO2 sebesar 283
juta ton per tahun. Jumlah ini sama dengan sepertiga dari total emisi CO2 di Jerman.
Dalam jangka panjang, setelah tahun 2020, efisiensi teknologi pembakaran batubara dapat
mencapai hingga 50%. Pembangkit listrik modern dengan efisiensi 50% ini, berarti dapat
mengurangi emisi CO2 sebesar 28% dibandingkan dengan efisiensi pembangkit listrik dalam
keadaan normal, yaitu sekitar 36%.
Penggantian pembangkit listrik yang lebih tua dengan pembangkit listrik baru (modern) juga
akan menghasilkan berbagai manfaat tambahan, yaitu di antaranya efisiensi penggunaan
batubara yang lebih besar, pengurangan polutan konvensional seperti emisi SO2, NOx dan
partikulat serta pengurangan biaya untuk menerapkan kontrol emisi udara yang mungkin
akan diwajibkan di masa mendatang. PLTU baru juga dapat di desain untuk dikombinasikan
dengan Carbon Capture and Storage apabila secara teknologi dan ekonomi memungkinkan.
1) Industri Tekstil
Pengertian industri tekstil adalah industri yang memproduksi atau mengolah bahan
mentah, bahan baku dan atau bahan setengah jadi menjadi produk tekstil yang bernilai
tinggi. Industri tekstil di Indonesia menghasilkan berbagai macam produk, baik untuk pasar
dalam negeri maupun ekspor. Proses pembuatannya dilakukan secara konvensional maupun
secara modern (http://one.indoskripsi.com/node/4177). Diagram proses dasar untuk
berbagai jenis produk tekstil dapat dilihat pada gambar 2.8.
Menurut Sakti A. Siregar (2005: 86), proses pembuatan tekstil dibedakan menjadi dua, proses
kering dan basah.
28
Proses kering meliputi pemintalan benang (yarn) pada spinning mill, pelilitan benang
pada kumparan (gulungan), penenunan pada weaving mill, knitting (pekerjaan rajutan).
2) Proses basah
Proses produksi tekstil dengan proses basah meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pencucian.
Pencucian adalah proses pengeluaran kotoran-kotoran industri dan anorganik yang
dapat mengganggu proses-proses selanjutnya. Pencucian dilakukan dengan
menggunakan bahan pencuci yang dilarutkan ke dalam air, misalnya surfaktan.
b. Pemrosesan (Processing)
Dalam industri tekstil, processing adalah pemberian bahan pelapis pada permukaan
produk-produk tekstil atau pemindahan bahan-bahan dari serat (fiber) secara kimia.
Sumber : EDIPTEX, 2007
BAHAN PEMBUATAN KEGUNAAN PEMBUANGA
29
Gambar 2.9 Diagram Pohon Untuk Beberapa Jenis Produk Tekstil
Batubara di dalam industri tekstil dipakai sebagai bahan bakar boiler untuk menghasilkan
uap panas (steam) yang digunakan untuk memanaskan cairan dan menjalankan suatu mesin
dalam tahapan proses terutama pada tahap :
- Pemasakan (caustic scouring). Proses pemasakan untuk memindahkan kotoran. Proses ini
dibantu dengan penambahan surfaktan. Pemasakan untuk memindahkan kotoran
memberikan hasil yang lebih baik daripada pencucian dengan air dingin.
- Pemutihan (bleaching). Proses ini dilakukan dengan menggunakan larutan peroksida atau
khlorin dikombinasikan dengan sodium silikat dan soda kaustik.
- pencelupan/pewarnaan (Dyeing), merupakan proses pemberian warna.
- Pencucian, terutama pada pencucian dengan bahan kimia (dry cleaning).
- Pencetakan. Proses di mana catatan-catatan berwarna diletakkan pada kain menggunakan
roller atau mesin pencetak dengan screen. Warna-warna dilekatkan dengan
menggunakan proses penguapan atau cara pengolahan yang lain
2.2.2 Batubara Sebagai Bahan Bakar Tungku
Industri terbesar yang memanfaatkan batubara sebagai bahan bakar tungku adalah
industri semen.
Semen dihasilkan dengan membakar campuran bahan baku terutama dari batu kapur dan
tanah liat dalam suatu tanur putar (rotary kiln) pada temperatur di atas 1450oC. Proses ini
membentuk klinker yang dengan gipsum dan bahan-bahan lain digiling halus menjadi
semen. Kemudian semen dikemas dan diangkut untuk dijual, atau diangkut dalam ukuran
besar.
30
Sumber: http://ies.lbl.gov/iespubs/Process_Step_Benchmarking_ACEEE_LBNL-50444.doc
Gambar 2.10 Proses Produksi Semen
Dalam industri semen, energi panas merupakan kebutuhan yang paling utama terutama
untuk operasi pembakaran dalam tanur putar. Operasi pembakaran di tanur putar
menentukan operasi pada unit-unit yang lain serta memerlukan energi panas yang nilainya
dapat mencapai 30% dari biaya operasi keseluruhan sehingga produktifitas dari industri
semen umumnya ditentukan oleh produktifitas unit tanur putar. Sedangkan produktifitas
tanur putar sering ditentukan oleh faktor berjalan yang biasanya ditentukan oleh ketahanan
lapisan batu tahan api.
Aspek utama yang paling berpengaruh terhadap ketahanan lapisan batu tahan api dan
efisiensi operasi pembakaran dalam tanur putar, adalah jenis bahan bakar yang dipakai.
Untuk kedua tujuan tersebut diperlukan operasi pembakaran yang dapat menghasilkan nyala
yang stabil dan suhu yang setinggi mungkin (
http://bosstambang.com/minerals/coal/batubara-dalam-industri-semen.html).
Emisi CO2 yang dihasilkan dalam proses pembuatan semen berasal dari :
- Proses kalsinasi bahan baku
CaCO3 CaO + CO2 zat aditif (gips, abu terbang,
31
- CO2 dari konsumsi listrik
- Sebagian kecil dari proses transportasi , penerangan, dan lain-lain
Dalam menentukan suatu alat evaluasi CDM (clean development mechanism) dalam rangka
mengurangi emisi CO2 pada produksi semen, perlu ditetapkan suatu patokan nilai kinerja
untuk masing-masing tahapan. Tahapan yang paling banyak menyerap energi dari proses
produksi semen diidentifikasi ada tiga tahap, yakni:
- Proses produksi klinker
- Penggilingan bahan baku
- Penghalusan semen.
Nilai kinerja masing-masing tahap berdasarkan teknologi pendekatan pembandingan
(Benchmarking Value) disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Nilai Kinerja Pembandingan untuk Produksi Semen
Tahapan Proses Nilai Kinerja
Persiapan (penggilingan) bahan baku 20
kWh/ton bahan baku
Produksi klinker 3200
MJ/ton klinker
Penghalusan semen 36
kWh/ton semen Sumber : Michael, 2000
Suatu proyek CDM di suatu pabrik semen dapat dibandingkan terhadap nilai kerja di atas
29
3. PROGRAM KEGIATAN
Pelaksanaan kegiatan kajian emisi CO2 dari pembakaran batubara di Indonesia meliputi:
1) Kajian teknologi pemanfaatan batubara di Indonesia saat ini yang meliputi identifikasi teknologi, perhitungan efisiensi peralatan, dan prediksi emisi CO2. 2) Prospek pengembangannya ke depan berkaitan dengan pengurangan CO2
berupa tahap persiapan desain alat dan adsorben.
3.1 Kajian Teknologi Pemanfaatan Batubara di Indonesia Saat Ini
Kegiatan untuk mendukung hal ini dilakukan dengan cara pengumpulan dan evaluasi data untuk membuat perhitungan efisiensi peralatan pembakaran batubara/efisiensi energi dan prediksi emisi CO2 berdasarkan data yang dikumpulkan.
3.1.1 Pengumpulan Data
Data yang diperoleh merupakan hasil kegiatan di lapangan dan hasil percobaan di Laboratorium Lingkungan Pertambangan.
30
Penggabungan data primer dan sekunder ini dijadikan sebagai bahan dalam perhitungan efisiensi dan prediksi emisi CO2 dari pemanfaatan batubara.
Bahan dan Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan pada kegiatan pengambilan contoh (sampling) dan pengukuran kondisi operasional proses di PLTU dan perusahaan tekstil adalah sebagai berikut:
Stack Sampler
Thermocouple
Vacuum pump
GPS (Global Positioning System)
Adapun, alat-alat untuk percobaan studi pendahuluan pengurangan CO2 berupa persiapan adsorben terdiri dari :
Peralatan gelas laboratorium
Alat penggerus
Ayakan
Shaker
Pemanas
Oven
Bahan-bahan yang dipakai untuk percobaan, adalah :
Zeolit alam di pasaran
Larutan HCl teknis
Larutan monoetanolamin (MEA) dari Merck
Larutan Metanol dari Merck
Kertas saring teknis
31
Pengujian laboratorium dilakukan terhadap contoh batubara, abu batubara, gas buang, dan hasil percobaan adsorben.
Pengujian kualitas batubara, abu batubara, dan gas buang berdasarkan standar yang berlaku. Pengujian yang dilakukan terhadap masing -masing contoh tersebut adalah sebagai berikut :
- Batubara : nilai kalor, ultimate dan proximate analysis
- Abu Batubara : LOI dan nilai kalor - Gas buang : kandungan gas O2, CO2, N2
Adapun pengujian laboratorium pada percobaan persiapan adsorben meliputi analisis karakteristik zeolit alam asal, analisis luas permukaan dan analisis XRD zeolit hasil aktivasi asam dan zeolit hasil aktivasi amin serta kandungan amin dalam zeolit aktivasi amin
3.1.2 Evaluasi Data
Untuk mengetahui nilai efisiensi boiler dengan pembakaran batubara dilakukan perhitungan berdasarkan neraca massa dan neraca energi. Hasil -hasil pengujian/analisis dari masing-masing contoh dipergunakan untuk menentukan nilai efisiensi yang diperoleh.
3.2. Persiapan Desain Alat Dan Adsorben CO2
Dalam pelaksanaannya telah dilakukan desain alat dan pemodelannya serta pembuatan satu adsorben CO2 dari zeolit alam. Kegiatan studi pendahuluan pengurangan CO2 yang dilakukan berdasarkan teknologi Post Combustion, yaitu penangkapan CO2 dari gas buang hasil pembakaran batubara.
Adapun tahapan studi pendahuluan pengurangan emisi CO2 pada kegiatan tahun anggaran 2009 baru meliputi sebagai berikut:
(i) Pemilihan desain dan pra-perancangan alat pengurang CO2
Desain alat yang dirancang mengacu pada beberapa literature (Carlos, 2004; David, 2005). Untuk tahap pertama ini dipilih alat pengurang CO2 dengan prinsip fluidized bed. Detil rancangan disajikan pada lampiran 2.
32
Adsorben pertama yang dipilih adalah zeolit dengan alasan keberadaannya yang mudah didapat, harga yang terjangkau, dan telah ada eksperimen yang telah dilakukan sebelumnya terhadap zeolit sintetis 13X (Ravikrishna Chatti dkk, 2009). Tahapan kegiatan yang dilakukan adalah :
- Pengecilan ukuran zeolit.
Zeolit dipreparasi sampai diperoleh ukuran partikel sekitar 1,5 mm.
- Aktivasi zeolit alam dengan asam.
Asam yang dipergunakan adalah larutan asam klorida (HCl) dengan 3 macam konsentrasi, yaitu : 1 M, 2 M, 3 M.
Zeolit alam direndam dan sesekali diaduk sambil dipanaskan selama ± 1 jam, lalu disaring dan dikeringkan di udara terbuka. Kemudian dipanaskan pada suhu 200-300 oC di oven sampai kering sekali.
- Karakterisasi hasil aktivasi zeolit dengan asam mineral.
Zeolit yang telah diaktivasi dengan HCl ini dianalisis luas permukaan dengan surface area meter dan komposisi mineralnya dengan XRD. Hasil analisis tersebut dipakai untuk memilih zeolit dengan luas permukaan paling besar dan selanjutnya zeolit tersebut akan diaktivasi dengan larutan amin.
- Aktivasi zeolit dengan larutan aminalkohol.
Zeolit yang telah diaktivasi asam selanjutnya diaktivasi dengan amin yang diencerkan dengan pelarut alkohol. Larutan amin yang dipilih adalah Monoethanolamin atau dikenal dengan MEA. Larutan MEA ini dilarutkan dan diaduk dengan bantuan shaker dalam methanol dengan konsentrasi 50 % selama 15 menit dan 4 jam. Perbandingan zeolit dan larutan amin alkohol adalah 1:2. Selama pengadukan, perbandingan zeolit dan larutan amin alkohol tetap dipertahankan. Kemudian, disaring lalu dikeringkan di udara terbuka.
- Karakterisasi zeolit hasil aktivasi amin.
Zeolit yang telah diaktivasi dengan amin alkohol ini dianalisis luas permukaan, komposisi mineralnya dengan XRD, dan kandungan aminnya secara titrimetri.
33
4. METODOLOGI
Metode penelitian yang digunakan dalam kegiatan k ajian emisi CO2 dari pembakaran batubara di Indonesia, terdiri dari:
1. Kajian teknologi pemanfaatan batubara di Indonesia saat ini, meliputi :
1) Identifikasi teknologi dan efisiensi peralatan dari industri pengguna batubara.
Kegiatan ini dilaksanakan dengan kunjungan langsung ke lokasi dan memberikan daftar isian (metode survey research). Industri yang dikunjungi adalah pembangkit listrik tenaga uap, tekstil, dan semen.
Perhitungan Efisiensi Boiler
Efisiensi termis boiler didefinisikan sebagai “persen energi (panas) masuk
yang digunakan secara efektif pada steam yang dihasilkan.” Terdapat dua metode pengkajian efisiensi boiler:
34
Dikenal juga sebagai ‘metode input-output’ karena kenyataan bahwa metode ini hanya memerlukan keluaran/output (steam) dan panas masuk/input (bahan bakar) untuk evaluasi efisiensi. Efisiensi ini dapat dievaluasi dengan menggunakan rumus:
Parameter yang dipantau untuk perhitungan efisiensi boiler dengan metode langsung adalah:
- Jumlah steam yang dihasilkan per jam (Q) dalam kg/jam
- Jumlah bahan bakar yang digunakan per jam (q) dalam kg/jam - Tekanan kerja (dalam kg/cm2(g)) dan suhu lewat panas (oC), jika ada - Suhu air umpan (oC)
- Jenis bahan bakar dan nilai panas kotor bahan bakar (G CV) dalam kkal/kg
bahan Bakar
b) Metode Tidak Langsung: efisiensi merupakan perbedaan antara kehilangan dan energi yang masuk.
Metodologi
Standar acuan untuk Uji Boiler di Tempat dengan menggunakan metode tidak langsung adalah British Standard, BS 845:1987 dan USA Standard ASME PTC-4-1 Power Test Code Steam Generating Units.
Metode tidak langsung juga dikenal dengan metode kehilangan panas. Efisiensi dapat dihitung dengan mengurangkan bagian kehilangan panas dari 100 sebagai berikut:
Efisiensi boiler (n) = 100 - (i + ii + iii + iv + v + vi + vii)
Dimana kehilangan yang terjadi dalam boiler adalah kehilangan panas yang diakibatkan oleh:
35
ii. Penguapan air yang terbentuk karena H2 dalam bahan bakar iii. Penguapan kadar air dalam bahan bakar
iv. Adanya kadar air dalam udara pembakaran
v. Bahan bakar yang tidak terbakar dalam abu terbang/ fly ash vi. Bahan bakar yang tidak terbakar dalam abu bawah/ bottom ash vii. Radiasi dan kehilangan lain yang tidak terhitung
Kehilangan yang diakibatkan oleh kadar air dalam bahan bakar dan yang disebabkan oleh
pembakaran hidrogen tergantung pada bahan bakar, dan tidak dapat dikendalikan oleh
perancangan.
Data yang diperlukan untuk perhitungan efisiensi boiler dengan menggunakan metode tidak langsung adalah:
- Analisis ultimate bahan bakar (H2, O2, S, C, kadar air, kadar abu)
- Persentase oksigen atau CO2 dalam gas buang
- Suhu gas buang dalam oC (Tf)
- Suhu ambien dalam oC (Ta) dan kelembaban udara dalam kg/kg udara
kering
- GCV bahan bakar dalam kkal/kg
- Persentase bahan yang dapat terba kar dalam abu (untuk bahan bakar
padat)
2) Prediksi emisi CO2 dari pemanfaatan batubara.
Perhitungan prediksi emisi CO2 berdasarkan data statistik penggunaan batubara per sektor (ESDM/BPPT) dan faktor emisi yang diperoleh dari pengumpulan data primer yang mengacu metode IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change).
Perhitungan emisi CO2 berdasarkan persamaan berikut :
36
2. Prospek pengembangannya ke depan berkaitan dengan pengurangan CO2. Kegiatan ini baru berupa studi pendahuluan pengurangan CO2 dari pembakaran batubara skala laboratorium yang dibagi menjadi dua tahap, yaitu :
1) Persiapan alat pengurang CO2 berupa pra-perancangan alat dengan prinsip fluidisasi.
2) Persiapan material adsorben CO2 berupa aktivasi zeolit alam dengan asam dan larutan aminalkohol berikut karektarisasinya yang meliputi:
- Luas permukaan dengan alat surfacemeter
- Komposisi adsorben menggunakan X-RD analyzer
36 5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil pelaksanaan kegiatan di beberapa industri pengguna batubara dan kegiatan di studio serta laboratorium Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara diperoleh beberapa hal yang meliputi:
1) Kajian teknologi pemanfaatan batubara di Indonesia saat ini.
- Efisiensi peralatan pembakaran batubara di PLTU, industri tekstil, dan penggunaan
energi industri semen.
- Prediksi emisi CO2 di Indonesia secara umum. 2) Persiapan desain alat pengurang dan adsorben gas CO2
Adapun data lengkap hasil analisis dan perhitungan disajikan pada lampiran.
5.1 Kajian Teknologi Pemanfaatan Batubara di Indonesia Saat Ini.
Berikut adalah uraian hasil pengumpulan dan evaluasi data mengenai
pemanfaatan batubara di Indonesia.
5.1.1 Efisiensi Peralatan/Efisiensi Energi Pemanfaatan Batubara
Teknologi dan efisiensi peralatan/efisiensi energi pemanfaatan batubara yang akan dibahas dalam sub bab ini hanya untuk pengguna batubara di PLTU, industri tekstil, dan industri semen.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
Dalam rangka mengetahui efisiensi di PLTU Batubara yang ada di Indonesia. Maka telah dilakukan kegiatan pengambilan data di beberapa PLTU-B, yaitu :
1. PT. PLN (Persero) Pembangkitan Sumbagsel Sektor Pembangkitan Ombilin 2. PT. PLN (Persero) Pembangkitan Sumbagsel Sektor Pembangkitan Bukit Asam 3. PT. Pembangkitan Jawa-Bali Unit Pembangkitan Paiton
4. PT. PLN Sektor Pembangkitan Asam Asam 5. PT. PLN Sektor Pembangkitan Tarahan
37
7. PT. PLN Sektor Pembangkitan Labuhan Angin
Tabel 5.1 merupakan data umum dari PLTU dan tabel 5.2 menyajikan data hasil evaluasi dari data primer dan sekunder masing-masing PLTU-B.
Tabel 5.1 Data Umum PLTU Batubara Nama
PLTU-B Lokasi Operator/Pemilik Tahun Operasi
Daya Terpasang
Teknologi Pembakaran
Ombilin Sumbar PLN Pikitring
Sumbagsel 1996 2 x 100 MW PCC
Bukit Asam Sumsel PLN Pikitring
Sumbagsel
Asam-Asam Kalsel PLN Pikitring
Kalselteng 2000 2 x 65 MW PCC
Tarahan 3 & 4 Lampung PLN Pikitring
Sumbagsel 2007 2 x 100 MW CFBC
Tanjung Jati B Jateng
PLN UB Tanjung
- CFBC : Circulating Fludized Bed Combustion
Tabel 5.2 Data PLTU-B Hasil Evaluasi
No Nama PLTU-B
38
Menurut data umum dari masing-masing PLTU-B, terlihat PLTU-B paling lama
beroperasi adalah PLTU-B Bukit Asam (awal operasi tahun 1987) dan yang masih baru
adalah PLTU-B Labuhan Angin yang menerapkan teknologi CFBF yang secara teori
tidak memerlukan persyaratan spesifikasi bahan bakar yang seketat teknologi PCC.
Adapun PLTU-B Tanjung Jati B
didesain untuk menjadi pembangkit listrik modern, dengan dilengkapi instalasi pengendali dampak lingkungan yang lengkap termasuk peralatan pemantau dan pengendali kandungan SOx dan NOx. Kaitannya dengan nilai efisiensi (versi Puslitbang Tekmira) yang tercantum pada tabel 5.2, terlihat adanya pengaruh usia PLTU-B dan pembaharuan teknologi terhadap efisiensi peralatan yang mana PLTU-B Tanjung Jati dengan usia relatif baru dan teknologi PCC yang modern serta daya terpasang paling besar menunjukkan efisiensi paling tinggi dengan nilai 36 %.Adapun berdasarkan tabel 5.2, menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
- Kapasitas Listrik
Dari 7 PLTU-B yang ditinjau, kapasitas listrik yang terpasang paling tinggi adalah PLTU-B Tanjung Jati B sebesar 661 MWH dan terendah adalah PLTU-B Asam-Asam, 59 MWH.
Gambar 5.1 Grafik Hubungan Kapasitas PLTU dengan Efisiensi Total
39
Gambar 5.2 Grafik Hubungan Nilai Kalor dengan Efisiensi PLTU-B
- Nilai Kalor
Hasil pengambilan contoh batubara di 7 PLTU-B diperoleh nilai kalornya antara 4212 – 6387 kkal/kg. Nilai kalor yang mencapai sekitar ± 6000 kkal/kg adalah PLTU-Ombilin dan Tanjung Jati B, sedangkan yang nilai kalori sekitar 4000-an adalah PLTU-B Labuhan Angin dan nilai kalor di PLTU-B lainnya mencapai sekitar 5000-an.
Pada umumnya, PLTU-B di Indonesia memang memakai batubara dengan nilai kalori 5000-an.
Hubungan antara nilai kalor dengan efisiensi seharusnya semakin tinggi nilai kalor maka efisiensi akan semakin tinggi, namun dari gambar 5.2 kecenderungan tersebut tidak begitu terlihat. Hal ini dapat disebabkan banyaknya faktor lain yang mempengaruhi nilai efisiensi.
- Efisiensi
Hasil perhitungan neraca massa dan neraca energi yang telah dilakukan terhadap masing-masing PLTU-B diperoleh nilai efisiensi boiler antara 88 – 92 %, dan efisiensi total antara 27 – 36 %. Dari data yang tersaji, terlihat bahwa nilai efisiensi tertinggi ada di PLTU-B Tanjung Jati B.