• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diplomasi Vatikan dalam Mendorong Pelong

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Diplomasi Vatikan dalam Mendorong Pelong"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Diplomasi Vatikan dalam Mendorong Pelonggaran Status Sanksi

Amerika Serikat terhadap Kuba tahun 1997-2000

Rendi Kurniawan Dwi Sutanto NIM. 0811240072

Abstrak

Diplomasi Vatikan merupakan suatu aktivitas diplomasi yang unik. Utamanya karena Afiliasinya dengan Gereja Katolik Roma membuat peran dan aktivitasnya dalam diplomasi bersifat hirarkis dan berwarna Katolik sehingga tidak dapat dipisahkan urusan formal dan informalnya. Keterlibatannya dalam isu agama dan etnisitas memang telah banyak diteliti tetapi dalam konflik sekuler, warna diplomasi Vatikan bisa lebih dalam diteliti. Paus sebagai kepala negara Vatikan dan pemimpin Gereja Katolik Roma menjadi pusat komando diplomasi, dan segala sesuatunya berjalan secara hirarkis.

Hubungan Amerika Serikat dan Kuba selama empat dekade diwarnai dengan politik isolasi. Embargo Amerika Serikat terhadap Kuba telah mengakibatkan krisis di Kuba pasca perang dingin, tepat setelah Uni Sovyet sebagai penyokong dana Kuba runtuh. Namun dalam prosesnya, embargo tersebut berdampak opresif bukan pada pemerintahan Fidel Castro tetapi lebih kepada masyarakat Kuba. Hingga akhirnya embargo tersebut mengalami pelonggaran pada momen kunjungan Yohanes Paulus II ke Kuba di tahun 1998. Kunjungan tersebut ternyata merupakan bagian dari diplomasi Vatikan, tanda keterlibatannya dalam relasi Amerika Serikat dan Kuba.

Vatikan turun ke dalam hubungan Amerika Serikat dan Kuba ini melalui jalan diplomasi dan mengambil peran sebagai mediator. Vatikan memiliki atribut-atribut yang pada akhirnya membuatnya berpengaruh pada pelonggaran status sanksi Amerika Serikat terhadap Kuba. Pengaruh, Reputasi, Engagement, dan Mobilisasi yang diartikulasikan dalam tindakan diplomasi pada akhirnya mendorong Amerika Serikat untuk melonggarkan status sanksinya. Dalam pengartikulasian tersebut, diplomasi Vatikan berlangsung secara hirarkis yang diinisiasi Paus sebagai kepala negara dan kepala Gereja Katolik Roma. Aktivitas tersebut menurun dari pertemuan dengan kepala negara, pertarungan di tingkat regulasi(kongres Amerika Serikat), hingga pemberdayaan komunitas dan dukungan Internasional.

Kata Kunci: Diplomasi Vatikan, Sanksi Ekonomi Amerika Serikat, Faith-Based Diplomacy

Pendahuluan

Tahun 1998, 36 tahun setelah Presiden Kennedy menetapkan Embargo terhadap Kuba yang dipicu oleh nasionalisasi properti Amerika Serikat oleh Fidel Castro, Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Kuba.1 Yang menarik kunjungan ini dikonfirmasi sebagai momentum yang melandasi pelonggaran status embargo tersebut, yang sejak ditetapkan tidak pernah mengalami pelonggaran sekalipun. Hingga tahun 1990 Kuba bertahan hingga suntikan dana dari Uni Sovyet yang menutupi hingga 87 persen efek embargo tersebut dicabut, seiring dengan runtuhnya

(2)

komunisme.2 Di saat sanksi ekonomi tersebut menunjukkan efektivitasnya, Amerika Serikat justru melonggarkannya, dan yang lebih menarik dikaitkan dengan keterlibatan Paus.

Langkah tersebut diawali dengan pertemuan bilateral. Tahun 1996, Fidel Castro menemui Paus di Vatikan dan disepakati Kuba terbuka untuk kunjungan Paus. Lalu di tahun 1997, Madeleine Albright menemui Paus untuk membahas relasi Amerika Serikat dan Kuba. Kedua pertemuan tersebut memberi gambaran bahwa kunjungan Paus ke Kuba di tahun 1998 merupakan bentuk komunikasi kedua negara berkonflik tersebut. Di tahun 1998, Castro membebaskan 200 tawanan politik,3 dan Presiden Clinton membebaskan bantuan pangan dan obat-obatan mengalir ke Kuba, bantuan kemanusiaan, dan dibukanya arus remitansi warga Kuba-Amerika ke Kuba. Bagaimana kemudian diplomasi Vatikan tersebut dilakukan.

Faith-Based Diplomacy

Kegiatan Vatikan untuk masuk dalam konflik Amerika Serikat dan Kuba ini dikategorikan sebagai peacemaking yaitu suatu proses resolusi konflik yang bertujuan untuk mempertemukan dan merekonsiliasi sikap-sikap politik dan strategis pihak-pihak yang berkonflik melalui mediasi, negosiasi, dan arbitrasi. Dengan memperhatikan cirri khas Vatikan sebagai negara dan pusat otoritas Gereja Katolik Roma penulis melihat Faith-Based Diplomacy

menurut Douglas Johnston memberikan kerangka yang cukup baik dalam mengkaji permasalahan ini.

Faith-Based Diplomacy merupakan bentuk dari diplomasi Jalur Dua (jalur ketujuh) yang mengintegrasikan dinamika kepercayaan dengan peacemaking internasional. Faith-Based Diplomacy memiliki kerangka atribut. Atribut Faith-Based Diplomacy merupakan karakteristik yang memberikan pemimpin dan institusi agama pengaruh yang kuat dalam proses peacemaking

yang tidak dimiliki oleh aktor diplomasi sekuler, yang menjelaskan bagaimana kemudian aktor

Faith-Based Diplomacy melakukan diplomasi dengan menggunakan keistimewaan tersebut.4

Diplomasi Vatikan

Diplomasi Vatikan didefinisikan sebagai suatu sistem yang berisikan agen-agen publik yang diutus oleh Vatikan untuk menjalin hubungan yang stabil, formal, dan timbal-balik dengan negara-negara lain. Diplomasi Vatikan merupakan perantara bagi otoritas tertinggi Gereja Katolik untuk bisa berkomunikasi dengan pemimpin negara-negara lain dalam kerangka praktek internasional standar. Dalam beberapa konteks tertentu yang dalam hubungan tersebut membutuhkan persetujuan dari kedua belah pihak. Konsensus tersebut bisa berbentuk traktat ataupun bentuk lain dalam konteks non-formal. Dengan demikian diplomasi Vatikan bisa diartikan sebagai sistem perwakilan permanen yang resiprok.5 Dalam terang diplomasi multijalur, Diplomasi Vatikan bisa dikategorikan menjadi jalur formal dan informal yang berada dalam satu rantai komando Paus.

Aspek formal dalam Diplomasi Vatikan menurut McEachern ditentukan oleh empat aktor yaitu Paus, Sekretariat Negara, Korps Diplomatik, dan Kuria Roma.6 Paus sebagai aktor

2 Gary Clyde Hufbauer, Jeffrey J. Schott, Kimberly Ann Elliott, Milica Cosic. 2011. Case Studies in Economic

Sanction and Terorism: US v. Cuba. Peterson Institute fo International Economics Hal. 5-7 3 Carol Giacomo. 1998. Albright asks Vatican to help Cuban prisoners diakses melalui < http://www.cubanet.org/CNews/y98/mar98/25e1.htm> pada tanggal 6 Juni 2012

4 Douglas Johnston. 2003. Faith-Based Diplomacy: Trumping Realpolitik. New York: Oxford University Press. Hal 12-14

(3)

diplomasi Vatikan yang paling penting, memiliki peran yang majemuk. Sekretariat Negara membantu Paus dan bertanggung jawab secara administratif dan politis atas berlangsungnya diplomasi Vatikan. Korps Diplomatik memegang peranan penting terkait hubungan Vatikan dengan negara-negara atau kelompok-kelompok. Sedangkan Kuria Roma bekerja secara kontekstual di bawah kendali Paus.

Secara umum Paus memiliki peran sebagai peran yang majemuk. Paus merupakan Kepala Gereja Katolik, Kepala Negara negara kota Vatikan, kepala perkumpulan para uskup, dan kepala diplomat Vatikan. 7Tulisan, kunjungan, pertemuan, dan interaksinya didalam organisasi internasional merupakan sarana dan cara yang digunakan Paus untuk bisa terlibat secara Internasional. Melalui kunjungan pastoralnya, pesan, dan kotbahnya Paus dapat menyuarakan dan mendorong aktivitas perdamaian.8 Dengan demikian aktor paling penting dalam diplomasi Vatikan adalah Paus sendiri.

Paus mengendalikan badan yang bernama Kuria roma yang di dalamnya termasuk Sekretariat Negara yang bertindak atas nama dan otoritas Paus. Paus berhak secara penuh dan bebas mengutus,mentrasfer, dan memanggil utusannya dalam menangani urusan eksternal ataupun internal. Internal berarti Paus mengutus perwakilannya yang berkaitan dengan urusan gereja lokal, eksternal berarti Paus mengutus perwakilannya ke negara-negara dalam konteks hukum internasional.9 Dalam perkembangannya masing-masing Paus menerapkan caranya sendiri dalam mencapai tujuan diplomasi secara kontekstual, sehingga pemisahan eksternal dan internal misalnya, secara operasional bisa tidak berlaku.

Sanksi Ekonomi Amerika Serikat terhadap Kuba adalah Kebijakan yang Opresif bagi Masyarakat Kuba

Pertama-tama Vatikan melihat fenomena sanksi ini sebagai sebuah konflik yang berkepanjangan yang harus segera diselesaikan. Vatikan melihat bahwa sesungguhnya sanksi ini tidak akan pernah mencapai tujuannya yaitu jika yang dikehendaki reformasi di Kuba. Dengan tegas Vatikan menentang sanksi ekonomi Amerika Serikat terhadap Kuba karena efek negatifnya terhadap masyarakat Kuba.

Di dalam homilinya saat kunjungan ke Kuba, Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa fenomena isolasi Kuba ini memiliki efek negatif yang amat mendalam terhadap masyarakat Kuba.

“The Cuban people cannot be deprived of links to other peoples that are necessary for their economic, social, and cultural development, especially when the isolation provokes indiscriminate repercussions in the population, exaggerating the difficulties of the most weak in basic respects, as with food, health, and education.”10

Vatikan melihat bahwa embargo ini sangat tidak bisa ditoleransi. Sebenarnya istilah isolasi berlangsung dua arah, artinya Vatikan juga tidak menampik fakta bahwa Kuba juga menutup dirinya, dan beberapa kali menolak bantuan karena berbagai alasan. Dengan demikian, efek negatif yang dirasakan oleh masyarakat Kuba dari sanksi itu semakin diperparah oleh egosentrisme pemerintah.

7 Jaclyn O’Brien McEachern. Hal. 119 8 Ibid. Hal 120

9 Ibid. Hal 119. Lihat Juga Konferensi Waligereja Indonesia. Op Cit. Kanon 362 10 Human Rights Watch. 1999. Cuba’s Repressive Machinery. Diakses dari

(4)

Pandangan Vatikan ini dilandaskan atas Ajaran Sosial Gereja(ASG) yang merupakan kumpulan dokumen-dokumen di dalam Gereja Katolik yang terkait dengan permasalahan sosial. ASG juga menjadi landasan Gereja secara institusional. Dalam kopendium ASG, secara konkrit ditunjukkan pandangan Vatikan terhadap embargo ekonomi yang berorientasi pada penggunaan dan dampaknya:

Embargo ekonomi mesti dibatasi lamanya dan tidak dapat dibenarkan bila dampak-dampak yang dihasilkannya tidak pandang bulu…….tidaklah dibenarkan bahwa keseluruhan penduduk, dan terutama nian para anggotanya yang paling rapuh, dibuat menderita oleh karena sanksi-sanksi semacam itu.”11

Kutipan ASG tersebut bernada sama dengan apa yang disampaikan Paus yaitu menilai bahwa keseluruhan penduduk adalah pihak yang paling rapuh sehingga ketika mereka mulai menjadi korban maka perilaku embargo tersebut harus dihentikan. Di sinilah Vatikan melandasi pandangannya atas efek harmful sanksi ekonomi Amerika Serikat terhadap Kuba.

ASG juga memberikan penekanan tentang efektivitas sanksi ekonomi yang harus ditinjau oleh lembaga-lembaga dalam masyarakat internasional yang kompeten dan objektif berkaitan dampaknya pada penduduk sipil. 12 Pasal tentang sanksi ini terdapat dalam subbab ASG yang berjudul “Langkah-langkah untuk menghadapi orang-orang yang mengancam perdamaian”,13 menunjukkan Vatikan melihat sanksi-sanksi ekonomi dilihat dalam konteks perdamaian. Oleh karenanya tidak ditemukan alasan Vatikan untuk mendukung Amerika Serikat tetap memberlakukan sanksinya jika ternyata Kuba nyatanya bukanlah ancaman bagi perdamaian tetapi justru penerapan embargo itu sendiri. Menurut ASG, tujuan penerapan sanksi yang sebenarnya untuk membuka jalan dan dialog.14 Dengan demikian jika penerapan sanksi tidak membawa kedua negara pada proses dialog, maka sanksi itu harus dihentikan.

Pada tahun 1987, Paus Yohanes Paulus II sendiri menulis surat ensiklik yang berjudul

Solicitudo Rei Socialis (keprihatinan sosial) yang menunjukkan bahwa gap barat-timur dan utara-selatan memiliki sifat konfliktual yang berdampak buruk bagi pembangunan manusia.15 Surat itu pula yang mendasari semua sikap hirarki Gereja Katolik untuk menentang embargo. Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa kebijakan tersebut “opresif, tidak adil, dan secara etis tidak dapat diterima”16 dan sama sekali “tidak membantu rakyat Kuba mencapai martabat dan kebebasannya”17 yang selanjutnya konsep tersebut diadaptasi oleh hirarkinya(lihat subbab 5.1). Opresif berkaitan dengan tindakan ekonomi yang menekan. Menurut Paus rakyat Kuba tidak boleh hidup terisolasi dari dunia luar yang berakibat pada semakin tidak terjangkaunya

11 Konferensi Wali Gereja Indonesia. Kopendium Ajaran Sosial Gereja. Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia Pasal 507 hal 346 Cetak tebal ditambahkan

12 Ibid 13 Ibid 14 Ibid

15 Paus Yohanes Paulus II. 1987. Solicitudo Rei Socialis.

16 Teks asli "oppressive, unjust and ethically unacceptable". World News. 03-02-1998. Pope to U.S.: Lift Cuban

embargo. Diakses melalui < http://www.finalcall.com/international/cuba2-3-98.html>pada tanggal 18 September 2014

(5)

sumber kehidupan yang layak yaitu makanan, kesehatan, dan pendidikan.18 Dengan demikian Vatikan menyoroti masyarakat Kuba sebagai korban dari sanksi yang berkepanjangan ini, sehingga Vatikan perlu terlibat yang jika ditinjau dari tujuan penerapan sanksi sebenarnya yaitu sebagai pihak yang mewujudkan dialog di antara Kuba dan Amerika Serikat.

Sebagai Peluang untuk Memperbaiki Hubungan Gereja dan Negara

Sanksi ini secara tidak langsung juga berimplikasi terhadap isu keagamaan. Pemerintah Kuba menilai adanya ancaman atas kegiatan komunal keagamaan, sehingga selama 32 tahun pasca-revolusi, agama-agama ditekan di Kuba.19 Terlebih dalam konteks ini, Pemerintah Kuba sangat takut atas usaha Amerika Serikat menggunakan pengaruh politiknya melalui kelompok-kelompok keagamaan, sebagaimana Amerika Serikat berusaha mendorong Kuba untuk terbuka terhadap masyarakat sipil dan agama.20 Salah satunya Amerika Serikat pernah dianggap mendukung kelompok agama yang tidak sepakat dengan pemerintah Kuba termasuk salah satunya Gereja Katolik, untuk mendirikan NGO yang lepas dari pemerintahan di pertengahan 1990-an.

Ketakutan itu bukan tidak berdasar sama sekali, hingga tahun 1991 hubungan Gereja dan Negara di Kuba sangat buruk. Fidel Castro telah membatasi gerak Gereja khususnya Gereja Katolik selama tiga dekade. Semenjak revolusi tahun 1959, Kuba menerapkan anti-agama dan katolisisme. Banyak umat beragama yang kehilangan pemimpinnya karena dideportasi. Pada tahun 1961, pemerintah Kuba mengucilkan 130 pastor. Menurut Goldenziel, Katolik adalah agama yang paling terkena dampak Revolusi, utamanya dikarenakan dipisahkannya Gereja dan negara secara total. Hal tersebut membuat Kuba berbeda dengan negara Amerika Latin lainnya, di mana pejabat Gereja memiliki hubungan yang erat dengan pemerintahan kala itu. 21

Terjadi pertentangan secara terbuka di tahun-tahun awal revolusi tersebut. Gereja Katolik menunjukkan sikap anti-Marxist dan Pemerintah Kuba membalas dengan memarjinalkan Gereja Katolik melalui Reformasi Agraria antara tahun 1959-1964. Melalui reformasi tersebut, pemerintah Kuba menasionalisasi properti Gereja dan menyegel sekolah-sekolahnya, hingga memutus tali keberlanjutannya.22 Selain itu pemerintah Kuba menyebarkan propaganda anti-Katolik dan menawan banyak orang anti-Katolik atas tuduhan menentang revolusi yang membuat Gereja Katolik di Kuba pada waktu itu kehilangan resource-nya.23 Di tahun 1962, Kuba mendirikan Kementerian Urusan Agama(the Office of Religious Affairs) yang kemudian di tahun 1990 memiliki wewenang yang lebih luas yaitu mengawasi secara ketat urusan keagamaan melalui penugasan perwakilannya di setiap komunitas keagamaan.24

Dalam konteks hubungan gereja dan negara di Kuba, momen ini adalah kesempatan Vatikan untuk menegaskan posisi Gereja di Kuba. Oleh karena itu selain mengecam Amerika Serikat, Paus Yohanes Paulus II juga menuntut kebebasan beragama di Kuba dalam

18 Pidato penutupan Yohanes Paulus dalam kunjungan apostolik ke Kuba tanggal 21-26 Januari 1998. Diakses melalui

<http://www.vatican.va/holy_father/john_paul_ii/speeches/1998/january/documents/hf_jp-ii_spe_19980125_lahavana-departure_en.html> pada tanggal 18 September 2014

19 Goldenziel. 1998. Sanctioning Faith: Religion, State, and U.S.-Cuban Relation. Journal of Law and Politics Vol.25. Hal 179

20 Ibid. Hal 179-180 21 Ibid. Hal 184-185

22 J.C Super dalam Goldenziel. 1998. Sanctioning Faith: Religion, State, and U.S.-Cuban Relation. Journal of Law and Politics Vol.25. Hal 184-185

23 Ibid

(6)

kunjungannya ke Kuba. 25 Tuntutan ini juga sebagai upaya untuk menciptakan ruang gerak yang lebih luas bagi Gereja Katolik yang selama ini ditekan dan dianggap sebagai ancaman atas berlangsungnya rezim Castro. Perihal tuntutan ini juga disinggung oleh kongres Amerika Serikat di bab selanjutnya.

Dan memang benar bahwa kunjungan ini berimplikasi pada relaksasi hubungan Gereja dan negara di Kuba. Goldenziel dalam penelitiannya berjudul Sanctioning Faith: Religion, State, and U.S-Cuban Relation, menunjukkan bahwa implikasi tersebut cukup masiv. Disebutkan bahwa pilgrimage atau kunjungan apostolik tersebut merupakan bentuk rekonsiliasi final antara Gereja Katolik dan negara. Selain berdampak pada aktivitas keagamaan yang lebih bebas dan terbuka, hal tersebut juga berdampak secara institusional, yaitu bertambahnya jumlah keuskupan dan keuskupan agung dan muncul kerjasama dengan pemerintah Kuba seperti restorasi bangunan-bangunan gereja yang hancur selama masa revolusi.26 Gereja Katolik Kuba akhirnya bisa mengadopsi Rencana Pastoral Global, di mana selama isolasi berlangsung, Gereja Katolik tertutup hampir dari segala perkembangan dan bahkan tidak terkena dampak Konsili Vatikan II.27 Perkembangan hubungan Gereja dan negara di Kuba ini dalam perkembangannya menjadi tinjauan dan bahan dipomasi hirarki Vatikan di Amerika Serikat untuk mempengaruhi kongres.

Berbagai sumber ilmiah yang kemudian muncul juga menunjukkan bahwa pelonggaran sanksi ekonomi Amerika Serikat dikonfirmasi didorong oleh Vatikan. Berikut adalah penelitian- penelitian yang mengkonfirmasi hal tersebut: Marifeli Pérez-Stable dan Ana Covarrubias Velasco: The United States and Cuba: Intimate Enemies; Ernesto Betancourt: Cuban Public Opinion Dynamics (1997-1998) and the Potential for Building a Civil Society; Jill I. Goldenziel: Sanctioning Faith: Religion, State, and U.S.-Cuban Relations; Eric Driggs González: Humanitarian Aid for a Democratic Transition in Cuba; Remy Jurenas: Exempting Food and Agricultural Product from U.S. Economic Sanctions: Status and Implementation; Douglas Johnston: Faith-Based Diplomacy and Preventive Engagement;Gary Clyde Hufbauer, Jeffrey J. Schott, Kimberly Ann Elliott, Milica Cosic: Case Studies in Economic Sanction and Terorism: US v. Cuba; Ralph J. Galliano :U.S.* Cuba Policy Report. Volume 5 nomor 3 ;Susan Evan Eckstein Back from The Future: Cuba under Castro(edisi kedua).

Diplomasi Head to Head Paus Yohanes Paulus II, Madeleine Albright, dan Fidel Castro

Diplomasi Vatikan terhadap Amerika Serikat terkait kasus Kuba pertama-tama melalui

head to head antar kepala negara/perwakilan. Paus Yohanes Paulus II sebagai kepala negara Vatikan bertemu dengan Madeleine Albright menteri luar negeri Amerika saat itu di bulan maret tahun 1997 di Roma. Sebagaimana dilansir oleh Wahsington Post Paus Yohanes Paulus II dan Albright membicarakan embargo Amerika Serikat ke Kuba dan sanksi PBB terhadap Iran.28 Sebelumnya Paus sudah menemui Fidel Castro di Vatikan bulan November 1996 dan disepakati kunjungan Paus ke Kuba, yang menurut juru bicara negara James P. Rubin merupakan alasan

25 Human Right Watch. 1999. Limits on Religious Freedom. Diakses dari

<http://www.hrw.org/reports/1999/cuba/Cuba996-10.htm> pada tanggal 18 September 2014

26 Jennifer Del Vechlo. 9 Februari 2001. Religious of the Archdiocese Honored for Their Service. Indianapolis: The Criterion. Diakses dari <http://www.archindy.org/criterion/files/2001/pdfs/20010209 .pdf> pada tanggal 09 September 2014

27 Goldenziel. Op Cit. Hal 185

(7)

Albright menemui Paus.29 Seperti yang dibahas di subbab sebelumnya, bahwa diplomasi Vatikan dalam pertemuan head to head mempunyai bobot karena antara lain diafirmasi baik oleh presiden Clinton maupun presiden Castro.

Fidel Castro mengundang Paus ke Kuba dan Madeleine Albright berkonsultasi mengenai Kuba. Dengan demikian kedua belah pihak yang berkonflik (Amerika Serikat dan Kuba) mempercayakan peacemaking kepada Paus. Maka dengan adanya pandangan ini, maka efek

head to head dapat berkorelasi dengan variabel reputasi, mengingat konten dari ucapan-ucapan Albright merujuk pada peristiwa-peristwa masa lalu/ track record Paus. Pengaruh Paus Yohanes Paulus terhadap Albright bahkan mendorongnya untuk menulis tentang Faith and Diplomacy.30 Di dalamnya Albright mengafirmasi bahwa Amerika Serikat di tahun itu memutuskan untuk melibatkan agama dalam kebijakan luar negerinya terhadap Kuba melalui bekerjasama dengan Paus. Alhasil, presiden Clinton mau memutuskan untuk melonggarkan sanksi terhadap Kuba walaupun tidak permanen.31

Pengaruh Konferensi Waligereja Amerika Serikat(United States Conference of Catholic Bishop) yang Aktif dalam Menentang Embargo Amerika Serikat terhadap Kuba

Secara struktural, kelembagaan United States Conference of Catholic Bishops (USCCB) /Konferensi Para Uskup Amerika Serikat berada di bawah otoritas Tahta Suci Vatikan. Berdasarkan Kitab Hukum Kanonik, Vatikan berwenang untuk mendirikan, menghapus atau mengubah Konferensi-Konferensi Para Uskup. Konferensi Uskup di Amerika Serikat yang disebut USCCB didirikan dan disahkan oleh Vatikan. Dalam pasal yang lain terkait kegiatan-kegiatan yang dilakukan konferensi yang bersifat Internasional harus mengakomodir masukan-masukan dari Vatikan.32 USCCB juga memiliki kewenangan untuk menentukan pendekatan pastoral yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi domestik.

Dengan demikian USCCB dan Vatikan pada dasarnya mempunyai stand point yang sama terhadap penerapan sanksi ekonomi Amerika Serikat terhadap Kuba. Yang paling utama menganggap bahwa penerapan sanksi tidak bermanfaat dan berdampak buruk terhadap Kuba khususnya masyarakatnya. 33 Demikian halnya USCCB yang mempunyai misi khusus untuk menentang embargo terhadap Kuba yang nampak dalam kampanyenya:

Support the lifting of economic sanctions and restrictions on travel to Cuba and greater

engagement with the Cuban government; support the local Church and the promotion of human rights.”34

29 Celestine Bohlen. Pope Meets Castro at Vatican and Agrees to Visit Cuba. New York Times, 20 November 1996. Diakses dari

<http://www.nytimes.com/1996/11/20/world/pope-meets-castro-at-vatican-and-agrees-to-visit-cuba.html> pada tanggal 02 Oktober 2014

30 Madeleine Albright. 2006. Faith and Diplomacy: The Review of Faith & International Affairs. Diakses dari < https://www.globalengage.org/attachments/499_albright-faith-and-diplomacy.pdf> pada tanggal 02 Oktober 2014 31 Ibid.

32 Konferensi Waligereja Indonesia. 2006. Kitab Hukum Kanonik. Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia. Hal 144 Kan. 449

33 USCCB.2001. Cuba Sanctions. Diakses dari <http://old.usccb.org/sdwp/national/cubahillnotes.shtml> pada tanggal 21 maret 2013

34 USCCB. Legislative Issue for 112 Congress. Diakses dari

(8)

Dari pernyataan di atas USCCB menegaskan posisinya sebagai pihak yang mendukung pelonggaran sanksi dan peningkatan engagement antara pemerintah Amerika Serikat dan Kuba. Intensi USCCB selain mengkampanyekan penolakan embargo kepada Amerika Serikat juga mendukung gereja lokal di Kuba yang digambarkan di bab sebelumnya, telah mengalami penindasan sejak masa Revolusi di Kuba. Kata yang digunakan oleh USCCB adalah mendukung, dengan demikian USCCB tidak menginisiasi tetapi berintensi untuk menindaklanjuti proses yang ada.

Upaya USCCB dalam kasus Kuba dimulai dari tahun 1989, seiring dengan menurunnya bantuan dari Uni Soviet dan meningkatnya efek sanksi tersebut. Sebagai respon dan tanggapan terhadap pemerintah Amerika Serikat, USCCB biasanya mengeluarkan surat dan pernyataan resmi selain berinteraksi dengan kongres yang akan dibahas di subbab selanjutnya. Intensitas pengiriman surat resmi terhadap pemerintah Amerika Serikat meningkat dengan pesat di tahun 1996-1998 sejalan dengan proses diplomasi hingga kunjungan Paus ke Kuba.35 Secara umum memang tidak semuanya eksplisit menuntut Amerika Serikat untuk meringankan sanksi, tetapi langkah-langkah tersebut menunjukkan dukungan USCCB terhadap engagement Amerika Serikat-Kuba secara umum.

Kampanye penolakan secara langsung muncul secara masiv di tahun 1998 yang diinisiasi oleh Komite Kebijakan Internasional USCCB Uskup Agung Theodore E. McCarrick. Merujuk pada rencana kunjungan Paus, McCarrick menyampaikan dua hal fundamental, yang pertama kembali menegaskan standpoint USCCB terhadap embargo dan yang kedua mengenai tuntutan terhadap Amerika Serikat untuk membuka jalan bagi agen bantuan kemanusiaan.36 Orientasi McCarrick adalah menindaklanjuti proses pelonggaran yang sudah berlangsung. Selain hal yang bersifat bantuan McCarrick juga menunjukkan bahwa perlunya menghentikan embargo Amerika Serikat terhadap Kuba khususnya di bidang penjualan pangan dan obat-obatan. Untuk pertama kalinya USCCB fokus mendesak kongres selaku pembuat kebijakan dengan merujuk pada proses legislasi yang sedang berlangsung:

“Ending the restrictions on the sale of food and medicines, as legislation currently in both Houses of the U.S. Congress calls for, would be, in our view, a noble and needed humanitarian gesture and an expression of wise statesmanship on the part of our elected leaders.”

Oleh karena dua hal di atas USCCB menampakkan sikap oposisi dalam konteks kritis, sebab mempunyai pandangan konkrit terhadap permasalahan ini, yakni menjadi mitra kerja pemerintah Amerika Serikat jika orientasinyamelonggarkan sanksi terhadap Kuba.

Di tahun 1996 semenjak diumumkannya rencana kunjungan Paus ke Kuba, Thomas E. Quigley selaku penasihat kebijakan USCCB di washington D.C berkoordinasi dengan Kuba. Lalu terbentuk komisi conjunta, yang terdiri dari perwakilan Gereja Kuba, Tahta Suci Vatikan, dan pemerintah Kuba yang mempersiapkan detil kunjungan. Menurut USCPR (US*Cuba Policy Report), tanggal kunjungan disepakati di antara Gereja Katolik(komisi) dan Pemerintah Kuba,37 bukan antar pemerintah Kuba-Vatikan. Rencana kunjungan Paus berlangsung selama lima hari 21-25 januari 1998, dan mengadakan misa “terbuka dan publik” di Havana, Camaguey, Santiago

35 Lihat Subbab Latar Belakang

36 Theodore E. McCarrick.1998. Statement on Cuba in the Light of the Papal Visit. Diakses melalui <

https://www.usccb.org/issues-and-action/human-life-and-dignity/global-issues/latin-america-caribbean/cuba/statement-by-archbishop-mccarrick-on-cuba-in-light-of-the-papal-visit-1998-01-30.cfm> pada tanggal 19 november 2013

(9)

de Cuba, dan Santa Clara. Begitu didapatkan kesepakatan, departemen urusan keagamaan partai komunis Kuba, berkoordinasi untuk meningkatkan pengamanan.38 Dengan demikian kita melihat bahwa terbentuknya komisi adalah kontribusi USCCB diplomasi Vatikan dalam bentuk kerjasamanya dengan pemerintah Amerika Serikat.

Kesadaran Amerika Serikat

Kesepakatan Amerika Serikat dan Vatikan terlihat dalam fact sheet yang secara resmi dikeluarkan Amerika Serikat39 menjelaskan bahwa Pemerintah Amerika Serikat melihat kunjungan Yohanes Paulus II sebagai peristiwa penting dalam membawa pesan harapan dan kebutuhan untuk menghormati hak asasi manusia. Selain itu pemerintahan Clinton memfasilitasi seluruh perjalanan pihak yang berpartisipasi dalam kunjungan Paus ke Kuba dengan mempercepat ijin perjalanan, pengapalan barang-barang bantuan, dan donasi keuangan dari Gereja Katolik di Amerika Serikat ke Gereja di Kuba. Amerika Serikat juga telah mengijinkan kapal pesiar dan beberapa penerbangan langsung ke Kuba dan untuk mengirimkan bantuan untuk mendukung kunjungan tersebut.

Mulai muncul kesadaran dari Amerika Serikat untuk mengakomodasi perubahan ini dalam suatu kebijakan, yang diawali dengan terbentuknya staf gabungan. Staf ini merupakan gabungan dari Senate Foreign Relations Committee dan House Intemational Relations Committee melakukan investigasi selama sepuluh hari dan menyusun sebuah laporan terkait kunjungan Paus Yohanes Paulus ke Kuba. Laporan tersebut memaparkan data, foto, dan observasi mengenai dampak kunjungan dan kesempatan Amerika Serikat untuk membantu masyarakat Kuba mendapatkan kemerdekaannya.40 Dalam congressional staff report tersebut, staf gabungan mengusulkan sebelas rekomendasi kebijakan Amerika Serikat terhadap Kuba.

Hasil investigasi Congresional staff menunjukkan bahwa ada suatu rekomendasi untuk mengubah haluan kebijakan terhadap Kuba dan meninggalkan posisi isolasionis. Di sisi lain investigasi dan analisis kunjungan Paus tersebut merupakan hasil pengukuran dan konfirmasi terhadap hasil diplomasinya dengan Madeleine Albright, dan kunjungan tersebut secara fundamental dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan. Selain itu di subbab sebelumnya dijelaskan bahwa USCCB memberikan saran kepada kongres terkait terbentuknya komisi bipartisan yang fokus pada riset kebijakan terkait Kuba, sarana tersebut termanifestasi dalam staff gabungan ini dan secara konkrit memunculkan rekomendasi kebijakan.41 Dengan demikian di tahap ini, kesadaran Amerika Serikat didorong oleh fakta mengenai dampak kunjungan Paus ke Kuba.

Pelonggaran yang dilakukan oleh Amerika Serikat juga diakui secara eksplisit di tingkat eksekutif. Setelah pertemuannya dengan Paus di Roma dan masyarakat Amerika-Kuba di Miami, Madeleine Albright mengumumkan empat perubahan terukur (measured changes) terhadap Kuba yang disetujui oleh presiden Clinton. Pertama, mengembangkan kebijakan bipartisan untuk menghadirkan kebutuhan pangan di Kuba. Kedua, mempercepat dan mempersingkat penerbitan lisensi penjualan obat-obatan dan suplai medis ke Kuba. Ketiga, melanjutkan ijin terbang bagi aktivitas kemanusiaan langsung ke Kuba dari Amerika Serikat. Keempat, merestorasi perjanjian untuk mengijinkan keluarga Amerika-Kuba untuk mengirimkan remitansi kepada sanak

38 Ibid.

39 Ralph J. Galliano. 1997-1998. US*Cuba Policy Report. Washingthon D.C.: Institute for U.S Cuba Relations 40 US*Cuba Policy Report – Vol. 5, No.3 hal 6

(10)

saudaranya di Kuba.42 Selain itu Presiden Clinton menyatakan untuk menindaklanjuti dampak kunjungan Paus ke Kuba dan mendukung peran Gereja dan elemen masyarakat sipil di Kuba serta membantu mempersiapkan Kuba untuk transisi demokratis.43

Reputasi Vatikan sebagai Pontifex Maximus di Polandia mempengaruhi Amerika Serikat

Madeleine Albright yang kala itu adalah menteri luar negeri Amerika Serikat menulis pandangannya mengenai Paus dalam tulisannya berjudul Faith and Diplomacy dengan merujuk pada apa yang dilakukan Paus di Polandia. Kunjungan Paus dinilainya sebagai penyebab utama revolusi di Polandia. Pemerintah Polandia mengidentifikasi Paus sebagai musuh negara. Tetapi menurut Albright, Pemerintah Polandia melakukan kesalahan besar ketika memberikan wewenang untuk mengatur kunjungan itu kepada Gereja. Wewenang itu tak disia-siakan oleh Gereja dengan membuat serangkaian jadwal di mana terjadi kontak langsung antara masyarakat dan Paus. Di Polandia ini, menurut Albright, Yohanes Paulus II telah membangun jembatan yang merestorasi hubungan antara Eropa barat dan timur dan dijuluki pontifex maximus yang berarti pembangun jembatan terbesar.44

Albright menyadari reputasi Paus Yohanes Paulus sebagai pontifex maximus di Polandia sekalipun tidak bisa diduplikasi tetapi dalam konteks kunjungan Paus ke Kuba, terdapat beberapa kesamaan. Pertama kunjungan Paus di kedua negara tersebut sama-sama diatur oleh Gereja bukan pemerintah. Kedua pengaruh Paus dapat membuat rakyat Kuba menyadari rasa persatuan mereka sebagai umat beragama yang ternyata tidak terkikis oleh kedidaktoran. Dengan demikian Albright secara implisit sudah mengungkapkan harapan bahwa kunjungan Paus ke Kuba memiliki dampak revolusioner.45 Ketiga, Polandia dan Kuba adalah sama-sama negara komunis, sedangkan revolusi di Polandia adalah titik mula runtuhnya komunisme di Eropa timur. Penilaian atas reputasi Paus ini membuat Albright mendorongnya untuk menemui Paus di Vatikan tahun 1997 dan melibatkannya dalam menyikapi Kuba. Albright bahkan telah mengungkapkan secara lugas bahwa dia “berharap kunjungan Paus memiliki efek yang sama.”46

Paus Yohanes Paulus II adalah Paus pertama dari negara Polandia dan Paus pertama yang berasal dari luar italia selama 500 tahun terakhir hingga ia dipilih pada tahun 1978. Beberapa pihak telah mengakui peran pentingnya dalam kejatuhan komunisme di Eropa Timur. Baik pihak pencetus Revolusi Persaudaraan Lech Walessa maupun Mikhail Gorbachev yang merupakan pemimpin Uni Sovyet kala itu, mengakui hal yang sama dari wawancara yang dilakukan CNN International.47 Jack M. Bloom penulis buku Seeing Through the Eyes of the Polish Revolution: Solidarity and The Struggle Against Communism in Poland mengkonfirmasi Paus Yohanes Paulus II dan Gereja mendukung munculnya revolusi persaudaraan.48 Daniel Philpott dalam

42 Ralph J. Galliano. 1998. U.S.* Cuba Policy Report. Volume 5 nomor 3. Institute Cor U.S. Cuba RelatioDSı Washington, D.C., USA. Hal 1-3(127)

43 Ibid

44 Madeleine Albright. 2006. Faith and Diplomacy: The Review of Faith & International Affairs. Diakses dari < https://www.globalengage.org/attachments/499_albright-faith-and-diplomacy.pdf> pada tanggal 02 Oktober 2014 45 Ibid.

46 CNN. 20 Maret 1998. U.S. Announces Steps to Increase Humanitarian Aid to Cuba. Diakses dari < http://edition.cnn.com/WORLD/9803/20/cuba.albright/> pada tanggal 07 Oktober 2014

47 CNN International. 04 April 2005. Gorbachev: Pope was 'Example to All of Us'. Diakses dari

<http://edition.cnn.com/2005/WORLD/europe/04/03/pope.gorbachev/index.html> pada tanggal 02 Oktober 2014 48 Jack M. Bloom. 2013. (Historical Materialism) Seeing Through the Eyes of the Polish Revolution: Solidarity and

(11)

jurnalnya berjudul juga mengklaim bahwa jatuhnya komunisme diinisiasi oleh kunjungan Paus49 dan dilanjutkan oleh Gereja lokal di sana.50 Bahkan senator Helms, yang namanya digunakan dalam Helms-Burton Act, mengakui bahwa kehadiran dan pesan perdamaian Paus di Polandia telah menginspirasi perjuangan kemerdekaan di sana, hal ini ditulisnya dalam suratnya kepada Paus melalui nunciature Kuba saat kunjungan Paus.51 Pengakuan ini bagi Amerika Serikat mencapai puncaknya pada tahun 2005, ketika presiden George W. Bush memberikan

Presidential Medal of Honour, kepada Paus Yohanes Paulus II, atas bantuan beliau dalam kejatuhan komunisme.52

Pengakuan presiden Clinton untuk mendukung peran Gereja di Kuba juga merujuk pada reputasi Gereja di Kuba. Semenjak runtuhnya Uni-Sovyet, Gereja di Kuba berusaha mengembangkan pola relasi yang tetap terlihat netral terhadap politik praktis secara formal namun kritis melalui kegiatan internalnya. Di tahun 1993 uskup di Kuba menulis El Amor Todo Lo Espera, yang berorientasi pada pembangunan manusia paska Sovyet, yang secara tidak langsung mengkritisi rezim. Posisi netral ini diambil untuk tetap bisa menjaring masyarakat tanpa harus ditekan oleh rezim. Pengaruh Gereja yang besar juga ditunjukkan oleh masyarakat sipil dan organisasi sosialnya. Semenjak tahun 1991, mulai muncul gerakan mahasiswa universitas Katolik dan the Catholic Center of Civic-Religious Formation. Selain itu masyarakat sipil ini mulai berani mengadakan kegiatan dialog dengan akademisi dan politisi dunia, dengan begitu menjadikan mereka lebih bersifat oposisi daripada Gereja secara formal. Pada tahun 1991 pula organisasi sosial Katolik mulai bangkit, yang terbesar di Kuba adalah Caritas yang diijinkan berdiri sebagai respon Masa Khusus.53 Yang membuat Caritas menjadi penting adalah dijalankan oleh badan resmi terbesar Gereja di Kuba yaitu konferensi waligereja Kuba, bukan organisasi terpisah 54dan menjadi senjata untuk mempengaruhi kebijakan rezim55.

Upaya Mewujudkan Engagement Amerika Serikat-Kuba dengan Menawarkan Pendekatan Baru Menggantikan Politik Isolasionis

USCCB merupakan bagian dari hirarki yang mengelola Gereja dan sebagai “senjata kebijakan”. Secara kanonik USCCB berada langsung di bawah Otoritas tertinggi Roma(Vatikan). Sehingga dalam konteks diplomasinya terhadap kebijakan Amerika Serikat, jangkauan Vatikan dimungkinkan jika mengelola dan menggerakkan hirarki di bawahnya yaitu USCCB. Berdasarkan fungsi Kongres di atas maka sangatlah penting untuk melihat jangkauan Diplomasi Vatikan di ruang domestik Amerika Serikat tersebut. Vatikan dalam hal ini melalui USCCB berusaha mengubah status embargo terhadap Kuba dalam perannya sebagai kelompok kepentingan di level kongres. Berbeda dengan subbab sebelumnya yang memaparkan intensitas

49 Daniel Philpott. Christianity and Democracy: The Catholic Wave. Dalam Journal of Democracy. Vol 15 Number 2. Hal 1 Diakses dari < http://muse.jhu.edu/journals/jod/summary/v015/15.2philpott.html> pada tanggal 02 Oktober 2014

50 Daniel Philpott. What Religion Brings to The Politics of Transitional Justice. Dalam Journal of International

Affair. Fall/Winter 2007 vol. 61 no. 1. New York: Columbia University Hal 104

51 Jesse Helms. 1998. Letter to His Holiness John Paul II. Dalam US*Cuba Policy Report. Op Cit. Hal 118-119 52 The Associated Press. 2003. Poles Worried, Proud of Pope John Paul II. Diakses dari <

http://web.archive.org/web/20040404041319/http://www.cjonline.com/stories/101303/pag_pope.shtml> pada tanggal 02 Oktober 2014

53 Masa Khusus adalah krisis ekonomi Kuba berkepanjangan yang dimulai di tahun 1991 setelah kejatuhan Uni Sovyet. Louis A. Pérez, Jr. Cuba's Special Period an excerpt from:"Cuba: Between Reform & Revolution" diakses dari < http://www.historyofcuba.com/history/havana/lperez2.htm> pada tanggal 2 juni 2013

54 Jill I. Goldenziel. Op Cit. Hal 199

(12)

pernyataan dan surat resmi satu arah yang dilakukan oleh USCCB. Kongres merupakan tempat bagi kelompok kepentingan untuk berinteraksi, setidaknya dari sini kita bisa mengukur tingkat interaksi (lobby) terkait kasus sanksi ekonomi terhadap Kuba. Sekaligus menjadi catatan bahwa bukan berarti gagasan untuk melonggarkan sanksi ekonomi berjalan tanpa tentangan dari kelompok kepentingan lainnya di level kongres. 56

Sejalan dengan analisa diatas, rekaman kongres Amerika Serikat dalam rentang tahun 1997-2000 sebagaimana didokumentasikan dalam thomas.loc.gov, menunjukkan aktivitas kongres atas sanksi kuba ini begitu tinggi. Sama halnya dengan kongres pada umumnya, terjadi aktivitas lobi-melobi antara kelompok kepentingan dan yang lainnya. Dengan mengamati aktivitas ini kita akan melihat bagaimana USCCB mempunyai andil dalam mempengaruhi proses legislasi dalam konteks sanksi ekonomi Amerika Serikat terhadap Kuba ini.

Pada tahun 1997, pada Kongres ke 106, sudah mulai dipertimbangkan mengenai rencana kunjungan Paus Yohanes Paulus II sebagai referensi transformasi kebijakan embargo terhadap Kuba. Ernest H. Preeg57 menyampaikan pendapatnya bahwa sesungguhnya sudah saatnya untuk mengurangi kebijakan terhadap kuba tersebut karena pada hakikatnya merugikan Amerika Serikat. Hal ini terjadi karena kebijakan extra provision Helms Burton telah menimbulkan ketegangan Amerika Serikat dengan WTO. Ernest juga menilai rencana kunjungan Paus pada januari tahun 1998 merupakan faktor pertimbangan yang fundamental bagi transformasi kebijakan yang merugikan ini. Ernest menilai Gereja Katolik adalah entitas yang secara konsisten menentang embargo, tetapi Ernest juga melihat bahwa strategi Gereja dalam merespon perubahan politik dan sosial di Kuba lebih bersifat jangka panjang. Ernest sependapat dengan Vatikan bahwa sanksi ekonomi tak lagi efektif dalam mengubah Kuba, sekaligus memberikan penilaian bahwa strategi gereja untuk perubahan politik dan sosial di sana lebih bersifat jangka panjang.

Hal tersebut sejalan dengan Lee Hamilton58 yang berpendapat bahwa Amerika Serikat harus belajar dari kesuksesannya dalam engagement dengan Eropa Timur dan Cina.59 Menurutnya keberhasilan tersebut bukan dikarenakan aspek keterisolasian negara komunis tetapi karena masuknya ide-ide baru, bisnis, dan masyarakat. Hamilton juga menilai kunjungan Paus Yohanes Paulus II adalah penerapan pendekatan yang sama seperti yang dilakukannya dalam

engagement dengan Eropa Timur, Paus tidak berusaha mengisolasinya tetapi memberikan ide-ide baru tentang kemanusiaan60 yang lebih jauh menginisiasi revolusi dan berujung pada berakhirnya komunis di sana. Selanjutnya Hamilton menyarankan Amerika Serikat untuk mengikuti pendekatan yang sama terhadap Kuba, yang secara konkret diwujudkan melalui peringanan embargo secara bertahap sebagai respon perubahan positif di Kuba. Di luar itu Hamilton memiliki pandangan yang sama dengan Ernest bahwa sanksi tersebut justru merugikan

56 Gary Clyde Hufbauer, Jeffrey J. Schott, Kimberly Ann Elliott, Milica Cosic. 2011. Op Cit. Hal 29-31 57 Ernest H. Preeg adalah penasihat perdagangan dan finansial senior yang memiliki pengalaman hubungan internasional termasuk sebagai duta besar Amerika Serikat untuk Haiti tahun 1981 hingga 1983. Preeg menjadi pimpinan International Business at The Center for Strategic and International Studies saat menyatakan pendapatnya di atas. Diakses dari <http://www.mapi.net/who-we-are/experts/ernest-h-preeg-phd> pada tanggal 21 mei 2013 lihat juga <http://csis.org/testimony/helms-burton-law-and-u-s-interests-world-trade-organization>

58 Lee Hamilton adalah perwakilan Indiana

(13)

sistem perdagangan internasional Amerika Serikat.61 Sehingga pada dasarnya Hamilton dan Ernest melihat bahwa pendekatan engagement yang dilakukan Vatikan tidak bersifat dengan kontradiksi dengan kepentingan nasional Amerika Serikat justru selaras.

Sebelumnya Diaz Balart62 memberikan gambaran bahwa Presiden Amerika tidak mungkin memperingan sanksi Kuba untuk orang-orang yang mengambil keuntungan dari kesepakatan dengan Kuba.63 Yang artinya perdebatan mengenai memperingan embargo terhadap Kuba diwarnai oleh motif ekonomi, yang tidak feasible dibandingkan risiko gagalnya destabilisasi yang dimaksudkan melalui embargo ini. Oleh karena itu sangat masuk akal jika transformasi kebijakan baru terwujud di tahun 2000 melalui TSRA sedangkan peringanan embargo di Amerika Serikat pada tahun 1998 baru dalam konteks humanitarian Aid. Oleh karena itu pendapat Ernest, Hamilton, dan Diaz Balart sesuai dengan logika bahwa sanksi Kuba bisa diperingan jika ada peminimalan risiko, atau strategi dengan pendekatan alternatif yang bisa menggantikan dan mendukung tujuan yang sama dengan penerapan embargo. Dengan kata lain strategi dan pendekatan alternatif yang ditawarkan oleh Vatikan dan hirarkinya dinilai bisa menjadi jawaban dari diputuskannya keringanan embargo Amerika Serikat yang juga dimotivasi perubahan di Kuba paska kunjungan.

Kunjungan ini menjadi pertimbangan fundamental karena terjadi perdebatan di level kongres mengenai kunjungan Paus ke Kuba. Respon yang bertentangan disampaikan oleh Gilman,64 Gallegly65, Ros Lehtinen66 yang berpendapat bahwa kunjungan tersebut tidak berdampak positif karena menurutnya selama kunjungan justru banyak orang yang ditangkap oleh rezim Castro dan beberapa agen Kuba menyusup ke pangkalan militer Amerika Serikat .67 Namun Hamilton menanggapi bahwa kunjungan tersebut menjadi compromise resolution karena empat faktor. Yang pertama, atas kritik yang jujur terhadap pemerintahan Kuba dan memberikan pesan harapan moral terhadap masyarakat Kuba. Kedua, kunjungan tersebut mendorong Komunitas Internasional bergabung dengan Amerika Serikat untuk mendukung kebebasan dan reformasi demokratis di Kuba.68 Ketiga, resolusi mengakui kritik jujur dari Paus Yohanes Paulus II terhadap permerintahan Castro yaitu Kuba dianggap mengisolasi diri yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan hak dasar manusia. Keempat, Paus sangat kritis terhadap kebijakan Amerika Serikat terhadap Kuba dan menantang Amerika Serikat untuk bisa mempertimbangkan kebijakan tersebut, bahwa kebijakan isolasi merupakan hal yang kontraproduktif terhadap tujuan untuk membawa kebebasan bagi warga Kuba. Lee menambahkan lebih penting melakukan

engagement daripada isolasi, dan perilaku Amerika Serikat harus digarisbawahi bukanlah hasil dari perubahan di Kuba tetapi respon terhadap kunjungan Paus. 69

61 Ibid.

62 Diaz Balart adalah perwakilan dari Florida.

63 Rekaman Kongres- Diaz Balart. First Anniversary of Helms Burton Legislation (House of Representatives – 12 maret 1997) diakses dari <http://thomas.loc.gov/cgi-bin/query/D?r105:19:./temp/~r105GeZoUz::> pada tanggal 21 mei 2013

64 Gilman adalah perwakilan dari New York. Ibid 65 Callegly adalah perwakilan dari Kalifornia. Ibid 66 Ros Lehtinen adalah perwakilan dari Florida. Ibid

67 Pangkalan militer yang dimaksud adalah MacDill Air Force Base di Tampa dan the Boca Chica Naval Air Station di Key West

68 Homili adalah kotbah yang diberikan pada suatu peribadatan baik liturgis maupun non-liturgis Gereja Katolik Roma.

(14)

Dalam konteks pembicaraan ini, kunjungan tersebut menjadi bahan pertimbangan untuk kerjasama dalam transisi demokrasi di Kuba berdasarkan relasi pemerintah Kuba dan Gereja Katolik yang selaras dengan perspektif Vatikan.70 Di sini pandangan kongres sudah mengalami perkembangan yang sebelumnya fokus pada kunjungan Paus secara umum berdampak politis dan bersifat momentum, menjadi lebih konkret dengan merujuk langsung ke hubungan Kuba dan Gereja Katolik sebagai alasannya. Hal ini menjadi tepat mengkonfirmasi kesepakatan Vatikan-Amerika Serikat tentang digunakannya pendekatan gereja. Pandangan yang sedikit berbeda disampaikan oleh Laihy yang lebih normatif, yaitu mengenai nilai-nilai kebebasan yang menunjukkan keterbukaan rezim Castro. Sekalipun ada perbedaan pandangan mengenai implikasi dari kunjungan tersebut yang mana salah satu melihat sebagai wujud perubahan politik yang diwakili oleh berkembangnya relasi negara dan gereja sedangkan yang lain melihat sebagai perkembangan sosial yang digambarkan dengan berkembangnya ekspresi agama di Kuba, keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu sepakat untuk mendukung perubahan-perubahan yang ada di Kuba. Tetapi pada poin ini kita melihat adanya perkembangan pandangan, sebelumnya anggota kongres menyarankan untuk mendukung dan mengijinkan pendekatan

engagement terhadap Kuba, sekarang anggota Kongres sudah lebih konkret dengan mempertimbangkan untuk bekerja sama dengan institusi Gereja Katolik. Demikianlah proses-proses pembentukan pandangan di kongres yang mereferensikan kunjungan Paus sebagai alasan untuk meringankan embargo, selanjutnya perlu dijawab bagaimana tindak lanjut dari hirarki Vatikan di Amerika Serikat kunjungan tersebut dan respon atas pandangan-pandangan di atas, sebagai upaya konkret mempengaruhi kebijakan Amerika Serikat.

Satu bulan setelah kunjungan Paus ke Kuba, USCCB secara khusus melakukan follow up terhadap Pemerintah Amerika Serikat. Uskup Theodore E. McCarrick ketika berbicara di House of Representative berusaha menindaklanjuti dengan menegaskan bahwa kunjungan Paus ke Kuba dan kemungkinan-kemungkinan implikasinya terhadap Kuba sebagai alasan mempertimbangkan kebijakan Amerika Serikat terhadap Kuba. 71 Secara konkret McCarrick meminta larangan terbang ke Kuba dicabut terkait upaya Catholic Relief Services(CRS) dan Catholic Medical Mission Board memberikan bantuan kemanusiaan melalui Caritas Cubana yang merupakan agen bantuan dan pembangunan Gereja di Kuba. Kedua, meminta pemerintah Amerika Serikat mencabut larangan dagang untuk komoditas dan obat-obatan sebagai kebutuhan dasar masyarakat Kuba. Dalam konteks ini USCCB berusaha mengubah hal tersebut dengan memberikan argumen yang rasional. Dalam kesempatan yang sama McCarrick juga menegaskan bahwa tidak ada politisasi dalam pemberian bantuan kemanusiaan melalui Caritas Cubana, dan itu adalah kebijakan Gereja Kuba dari dulu hingga sekarang. USCCB ingin menunjukkan bahwa pendekatan engagement terhadap Kuba dijamin melalui afiliasinya dengan Gereja di Kuba, melalui institusi-institusi yang memiliki kapabilitas dan spesialisasi dalam konteks sosial di sana.

Menurut penilaian Madeleine Albright, pemerintah Kuba melakukan tindakan yang benar dengan mengijinkan Paus untuk berkunjung ke Kuba:“The Cuban Government did the right thing in permitting His Holiness, the Pope, to accept the invitation of his church to visit.”.72 Satu

70 Lihat bab IV

71 Berdasarkan ringkasan tujuan kunjungan Paus “`opportunity to strengthen not only the courageous Catholics of that country but also all their follow citizens in their efforts to achieve a homeland ever more just and united, where all individuals can find their rightful place and see their legitimate aspirations realized.” Diakses melalui <

http://thomas.loc.gov/cgi-bin/query/D?r105:7:./temp/~r105kDiyYU::> pada tangaal 24 mei 2013

(15)

hal yang menarik adalah di level ini justru ditemukan kesepakatan dalam diplomasi Vatikan-Amerika Serikat, yaitu apa yang bisa menggantikan pendekatan embargo dalam upaya menghadirkan perubahan politik di Kuba. Hal yang dikritik Paus terhadap Kuba adalah mengenai ruang gerak Gereja dan kebebasan umat beragama di sana yang terbatasi dan dari pendapat Ernest sebelumnya bahwa pendekatan melalui Gereja lebih bermanfaat daripada politik isolasi. Dengan demikian hal yang dipahami secara sama oleh Vatikan dan Amerika Serikat adalah pentingnya engagement dengan Kuba, khususnya masyarakatnya, selanjutnya perubahan-perubahan yang lain akan mengikuti. Sehingga dapat disimpulkan bahwa esensi dari pendekatan

engagement tersebut adalah menghadirkan kebebasan yang fundamental bagi masyarakat Kuba. Dan menurut oleh beberapa perwakilan di kongres Amerika Serikat di atas, engagement lebih efektif dari pada isolasi yang ditujukan pada pemerintahan(rezim Castro). Sehingga pelonggaran ini menjadi masuk akal ketika pendekatan embargo mulai dipertimbangkan tidak efektif lagi, sesuai gambaran Douglas Johnston ketika negara mengalami extended paralysis of action.73

Engagement ini jugalah yang mempertemukan Madeleine Albright dan Paus Yohanes Paulus di meja perundingan pada tahun 1997. 74

Poin penting yang bisa diambil adalah Vatikan melalui reputasinya (pasif) dan USCCB (aktif) menawarkan sebuah pendekatan engagement yang merupakan substitusi politik isolasi yang selama ini dilakukan namun secara rasional mendukung pencapaian Amerika Serikat di Kuba. Pertemuan diplomatik head to head tersebut terjadi setelah USCCB menulis surat ke Presiden Clinton pada januari 1997. Engagement dengan Kuba membutuhkan peran Gereja lokal di Kuba.

USCCB dalam komunikasinya terhadap kongres di tahun 1998 menunjukkan proses ini merupakan satu desain dengan diplomasi Vatikan. Hal ini ditunjukkan dalam pernyataan USCCB di kongres Amerika Serikat yang menjadikan kunjungan Paus ke Kuba sebagai referensi. Seperti halnya yang dilakukan oleh Thomas Quigley,75 yang berusaha menghubungkan debat sanksi Amerika Serikat dan Kebijakan Amerika Serikat terhadap Kuba dengan mencatat sejarah kekinian Gereja Katolik di Kuba khususnya momen kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Kuba. Thomas E. Quigley mewakili USCCB memberikan analisis tentang Gereja Katolik sebelum dan sesudah Revolusi Castro, Gereja masa kini, formasi Cuban Laity, peran caritas, posisi Gereja dan sanksi ekonomi, dan tuntutan USCCB terhadap pemerintah Amerika Serikat. Quigley menjelaskan afiliasi dengan Gereja di Kuba begitu penting karena pengalaman otoritas gereja di sana dengan Rezim yang bersifat independen dan adanya spesialisasi konteks sosiologis masyarakat Kuba yang memungkinkan kerjasama dalam transisi demokrasi.76

Quigley juga mengungkapkan kunjungan Paus tersebut sebagai ukuran seperti apa perkembangan Gereja di sana. Ribuan orang yang mengikuti misa di Kuba saat kunjungan Paus menunjukkan potensi komunitas religius di Kuba, tetapi Quigley juga menjelaskan bahwa masalahnya adalah komunitas tersebut selama ini terkekang oleh rezim, dan partisipasi tersebut

73 Douglas Johnston. Op Cit. Hal 22

74 Lihat pandangan Madeleine Albright di 5.2

75 Thomas E. Quigley adalah penasihat kebijakan USCCB atas Asia, Amerika Latin dan Karibia. Diakses dari Woodrow Wilson International Center for Scholars <

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&cad=rja&ved=0CFcQFjAI&url=http%3

A%2F%2Fwww.wilsoncenter.org%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2F4-28-08%2520Participant%2520Biographies.pdf&ei=Uh_hUff3E8iErgfEtYCwDw&usg=AFQjCNFJ5oDdqPKoJWNGsa ZRZbYwULQQCw&sig2=oTIuaiHvoG1IrdCXxrs1GQ&bvm=bv.48705608,d.bmk> pada tanggal 13 juli 2013 76 Thomas E. Quigley. 2003. The Catholic Church and Cuba’s International Ties. Dalam Margaret E.

(16)

terkesan besar karena adanya pengecualian dalam konteks kunjungan.77 Perubahan positif yang dinilai oleh pembuat kebijakan Amerika Serikat adalah potensi dari Gereja Katolik di Kuba, sesungguhnya tidak optimal karena keterbatasan sumber daya manusia yang mampu berperan di tingkat masyarakat yang lebih besar. Kita bisa melihat di poin ini Quigley menuntut ingin mengarahkan Amerika Serikat untuk melihat potensi yang bisa diaktualisasi jika Gereja Katolik diberikan ruang lebih besar di sana dan secara umum mengubah pendekatan politik isolasi.78 Selanjutnya Quigley menyoroti posisi Gereja Katolik di Kuba yang dianggap satu-satunya institusi di Kuba yang tidak dikontrol oleh partai Komunis. Pertumbuhan Gereja di Kuba terhambat karena tekanan pemerintah Kuba atas kegiatan keagamaan. Quigley ingin menekankan hal yang sama dengan McCarrick yakni afiliasinya yang ada di Kuba.

Dalam rezim Castro Gereja Katolik di Kuba telah mengalami kesulitan untuk memberikan bantuan bagi masyarakat Kuba hingga pada tahun 1990 Caritas dijinkan untuk berdiri di setiap provinsi di Kuba. Caritas adalah agen bantuan dan pembangunan Gereja dengan jaringan internasional yang menyalurkan bantuan pangan, obat-obatan, maupun bahan bangunan dan barang lainnya ke Caritas Cubana. Quigley juga menilai bahwa Caritas Cubana adalah organisasi non pemerintahan independen terbesar di Kuba, itu artinya Caritas Cubana tidak bisa menjadi sasaran program politik baik menjadi pendukung maupun oposisi dari rezim Castro79. Dengan demikian Quigley ingin menunjukkan sikap netralitas Gereja di sana sebagai mitra kerja Amerika Serikat.

USCCB melalui Quigley sebagai penanggungjawab kebijakan di wilayah Kuba mengkonfirmasi sekaligus menjembatani penilaian-penilaian yang ada di Kongres. Sebelumnya telah dijelaskan mengenai relasi negara dan gereja, dan perkembangan sosial. Quigley memang membenarkan potensi-potensi perubahan yang ada, tetapi dia juga menuntut Amerika Serikat untuk memberikan dukungan konkretnya. Misalnya memberikan dukungan terhadap gerakan-gerakan dan institusi seperti Caritas.

Selain itu, Quigley menjadi bukti aplikasi diplomasi Vatikan melalui USCCB. Di sini kita bisa melihat bahwa ada sebuah gambaran mengenai pendekatan yang bisa dilakukan oleh Gereja Katolik di dalam melakukan reformasi di Kuba. Pendekatan ini mencakup resources yang lain, dan USCCB membuat ini sebagai sebuah tawaran/alternatif atas kebijakan Amerika Serikat terhadap Kuba saat ini yang sangat represif. Dalam mengungkapkan tuntutannya USCCB kemudian memberikan posisi yang tegas. USCCB mendesak kongres untuk mengambil langkah untuk mengakhiri larangan minimal pada penjualan obat dan pangan ke Kuba.80 Seperti yang kita ketahui bahwa sebagian besar yang dituntutkan oleh USCCB memang terjadi seperti misalnya pelonggaran dimulai dengan aktivitas kemanusiaan, direspon oleh banyak organisasi kemanusiaan, dan dikecualikannya bantuan obat-obatan dan pangan dalam larangan, serta dilibatkannya organisasi non-pemerintahan Katolik baik di Kuba dan Amerika Serikat untuk berpartisipasi. Dengan demikian kita bisa mengerti engagement yang dimaksud oleh Vatikan secara praksis adalah upaya melibatkan Amerika Serikat dalam mendukung perubahan-perubahan positif di Kuba, dengan mengikuti ukuran-ukuran dan kemungkinan-kemungkinan sebagaimana yang dimaksud oleh Vatikan.

77 Ibid

78 Ibid 79 Ibid.

(17)

Mobilisasi Dukungan Lokal, Nasional dan Internasional dalam Mendorong Pelonggaran Sanksi Amerika Serikat terhadap Kuba.

Dukungan komunitas lokal di Amerika Serikat sangat tinggi selain USCCB yang sudah dijelaskan di subbab 5.1 yaitu keuskupan Agung Miami. OFAC telah menyetujui permintaan Keuskupan Agung Miami untuk melakukan perjalanan dari Miami ke Kuba menggunakan kapal pesiar dengan membawa seribu orang termasuk pengungsi Kuba untuk mengikuti proses kunjungan Paus. Namun, karena banyak ditentang, akhirnya jumlah rombongan tersebut dipangkas dan memutuskan untuk naik pesawat terbang.81 Mereka berpartisipasi dalam tur empat kota sesuai jadwal Paus di Kuba.

Dukungan tersebut dibangun dalam suatu proses keterikatan gereja Miami dan Kuba yang panjang. Adanya religious visas memungkinkan klerus Kuba dan Miami bertemu dan berdialog. Sejak tahun 1994, melalui program radio Katolik Miami yang bisa menjangkau bagian utara Kuba, gereja di Miami bersama warga Kuba-Amerika menjawab permintaan warga Kuba dengan mengirimkan obat-obatan yang diselipkan bersama dengan benda-benda rohani.82 Pastur-pastur dari Kuba rutin mengunjungi Miami sebulan sekali. Pada tahun 1997, diadakan beberapa pertemuan tingkat tinggi di antara klerus kedua belah pihak berjudul “Reuniones para Conocerse Mejor (Meetings to Get to Know One Another Better)” yang dibarengi dengan kunjungan-kunjungan emigran ke Kuba. Dan di tahun 1998 ketika jalan bagi bantuan untuk Kuba terbuka, ikatan ini segera memainkan perannya.

Dalam kunjungannya, secara garis besar Paus Yohanes Paulus II mendorong pemerintah Kuba untuk memberikan kebebasan politik dan religius bagi rakyat Kuba. Upaya pengaplikasian pendekatan Gereja terhadap Kuba memang ditindak lanjuti oleh Gereja lokal di Kuba namun tidak semulus yang diharapkan, ternyata pemerintah Kuba di tahun 1998 masih bersikap resisten terhadap bentuk-bentuk pendidikan religius. Hal pertama yang dilakukan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam menghadapi hal tersebut adalah mengendalikan institusi lokalnya di Kuba dengan mengundang 13 uskup Kuba di Roma.83 Dalam pertemuan tersebut dipetakan masalah seluruh keuskupan di Kuba atas pembatasan-pembatasan yang masih dilakukan oleh rezim Castro terhadap kegiatan gereja lokal.84

Paus Yohanes Paulus II merespon permasalahan mengadakan pertemuan dengan menteri luar negeri Kuba Felipe Peres Roque. Paus menilai belum ada permintaannya yang benar-benar terealisasikan yaitu seputar kebebasan politik dan kegiatan pendidikan, sosial, dan religius bagi Gereja di Kuba. Salah satu poin terbesar dampak kunjungan Paus ke Kuba yang relevan dengan proses demokratisasi adalah kembalinya konsep masyarakat sipil.85 Ernesto Betancourt melakukan penelitian mengenai opini publik dan potensi pembangunan masyarakat sipil di Kuba,86 dan menemukan fakta yang menarik bahwa dampak kunjungan Paus sekalipun berjalan kurang mulus di level rezim Castro tetapi berjalan sangat baik di level masyarakat Kuba, sebagaimana tampak pada gambar 12. Jika sebelumnya sudah muncul ide tentang reformasi dan sikap oposisi masyarakat sebagai respon melemahnya karisma Castro akibat gagal mengatasi

81 US*Cuba Policy Report. Op Cit. Hal 119

82 Katrin Hansing & Sarah J. Mahler. 2003. God Knows No Borders: Transnational Religiuos Ties Linking Miami

and Cuba. Dalam Margaret E. Crahan(Ed.).2003. Religion, Culture, and Society: The Case of Cuba. Hal. 128 83 Ralph J. Galliano. US*Cuba Policy Report Vol. 5 No.5. Hal.8

84 Ibid

85 Silvia Pedraza. Impact of Pope John Paul II’s Visit to Cuba. Diakses dari

<http://www.ascecuba.org/publications/proceedings/volume8/pdfs/48pedraza.pdf> pada tanggal 25 September 2014 86 Ernesto Betancourt. 1998. Cuban Public Opinion Dynamics (1997-1998) and the Potential for Building a Civil

(18)

krisis, maka kunjungan Paus memberikan energi terhadap respon tersebut, yaitu hilangnya rasa takut atas rezim, yang bila diitegrasikan menjadi “keberanian untuk melakukan reformasi”.

Komunitas Agama Lain

Paus Yohanes Paulus II mengadakan pertemuan ekumenis dengan kelompok keagamaan di Kuba pada tanggal 25 Januari 2014.87 Pertemuan ini telah dijadwalkan pada hari kunjungan Paus ke Kuba. Pertemuan ini melibatkan 30 komunitas/denominasi Kristen lain dan Yahudi. Dari transkrip pertemuan tersebut Paus menekankan beberapa hal yang ide besarnya adalah persatuan Umat Kristen di Kuba yang dibagi ke dalam empat poin. Pertama, Paus menghimbau kerjasama di antara keuskupan-keuskupan di Kuba dengan komunitas Kristen lainnya dalam membantu perkembangan rakyat Kuba yang meliputi fisik dan spiritual. Kedua, Paus menekankan pentingnya gerakan ekumenis yang mewujud pada kegiatan ekumenis yang konkret untuk mendukung perkembangan rakyat Kuba. Ketiga, paus menekankan pentingnya dedikasi yang intensif untuk mewujudkan persatuan ini, oleh karenanya dibutuhkan kompromi dan proyek bersama untuk membantu masyarakat Kuba. Keempat, Paus juga menginginkan kerjasama yang intensif dengan komunitas Yahudi yang didasari oleh semangat konsili Vatikan II.

Sebelumnya terdapat perbedaan sikap antara Gereja-Gereja Protestan dan Gereja Katolik Roma dalam menyikapi pemerintah Castro yang disebut Revolusi. Menurut Goldenziel, Gereja Protestan fokus pada aspek internal sedangkan Gereja Katolik pada aspek eksternal.88 Hal ini tampak dalam sikap Gereja Protestan yang tidak pernah terlihat oposisif terhadap Revolusi, sehingga tidak ada ketegangan hubungan Gereja dan Negara di kubu Protestan seperti yang terjadi di Gereja Katolik yang telah dijelaskan di bab sebelumnya . Sehingga dalam konteks ini USCCB berani meyakinkan kongres Amerika Serikat bahwa Gereja Katolik di Kuba menentang Castro. Pertemuan ekumenis yang dipimpin Paus tersebut menjadi upaya dari Vatikan untuk menyatukan perbedaan sikap, yang berorientasi pada perkembangan masyarakat Kuba.

Hal tersebut terkonfirmasi dari munculnya perubahan sebagian besar pandangan Gereja Protestan. Gereja Episkopal menyebutkan bahwa kunjungan Paus membuat mereka ingin ikut memperjuangkan nasib rakyat Kuba dengan menentang embargo.89 Gereja Reformasi mengakui mulai mengadvokasi sikap menentang embargo Amerika Serikat terhadap mulai dari tahun 1998.90 Gereja Methodis, Baptis, dan Prebysterian juga mengatakan bahwa efek dari kunjungan Paus menguntungkan kaum Kristen di Kuba sehingga dimungkinkan kerjasama antara Protestan

87 Paus Yohanes Paulus II. 1998. Ecumenical meeting in the Apostolic Nunciature of Cuba (January 25, 1998):

Meeting with Other Christian Communities. Diakses dari

<http://www.fjp2.com/en/john-paul-ii/online-library/speeches/14046-ecumenical-meeting-in-the-apostolic-nunciature-of-cuba-january-25-1998-> pada tanggal 25 September 2014

88 Goldenziel. Op Cit. Hal 189

89 Clark Groome. 2009. Religion thriving in Cuba, Episcopal bishop. Diakses dari

(19)

dan Gereja Katolik.91 Hal ini sejajar dengan perkembangan positif atas kebebasan beragama di Kuba yang menurut WOLA, 92juga terjadi pada tahun 1998 setelah kunjungan Paus.

Di Amerika Serikat organisasi interdenomenisasi setara USCCB, yaitu National Council of Churches (NCC) , melakukan kunjungan ke Kuba pada bulan mei tahun 1998. Dan menurut mereka kunjungan Paus sangat bermanfaat dengan diangkatnya agama pada tingkat diskursus publik. NCC yang merupakan representasi sebagian besar Gereja Baptis, Methodis, dan Prebysterian, juga mengapresiasi inisiatif pertemuan ekumenis yang dilakukan Paus tersebut. NCC menilai sejak saat itu, Gereja Protestan Kuba yang diwakili oleh Cuban Council of Churches perlu memperdalam hubungan dengan Gereja Katolik dalam membantu perkembangan rakyat Kuba yang terpuruk akibat embargo.

Dukungan Nasional

Sebelumnya sudah disinggung mengenai staf gabungan, rupanya ini adalah cara Vatikan dalam memobilisasi dukungan nasional. Selain staf gabungan kongres Amerika Serikat yang melakukan penelitian mengenai kunjungan Paus ke Kuba, Vatikan melibatkan pemain kunci kongres yaitu Roger Noriega dan Marc Thiessen dari the Senate Foreign Relations Committee

serta Caleb McCarry dari the House International Relations Committee yang semuanya dari partai republikan, partai yang memegang kendali kongres saat itu.93 Mereka menjadi saksi mata bahwa kunjungan tersebut menunjukkan arah yang positif, seperti yang mereka laporkan misalnya mereka melihat tepuk tangan meriah untuk Paus tetapi tidak satupun untuk Castro sebagai wujud sikap menentang masyarakat. Betancourt juga menilai bahwa temuan-temuan staf kongres baik melalui observasi ataupun kajian tidak hanya membuat mereka mempertimbangkan perubahan dalam kebijakan Helms-Burton, tetapi juga memunculkan ide-ide tambahan mengenai bantuan kemanusiaan di kongres. Dengan melibatkan staf kongres Amerika Serikat, Vatikan memberikan gambaran nyata tentang potensi perubahan di Kuba.

Dalam perkembangannya, Vatikan melihat bahwa tidak cukup menempatkan anggota senat sebagai observer maka Vatikan mulai untuk mengorganisasikan staff legislatif kongres Amerika Serikat untuk tak sekadar mengunjungi Kuba tetapi juga melakukan kunjungan pencarian fakta(fact-finding). Di tahun 1999, delegasi staf kongres yang mengunjungi Kuba meliputi Maxine Waters and Barbara Lee perwakilan California, Sheila Jackson Lee perwakilan Texas, Julia Carson perwakilan Indiana, Gregory Meeks perwakilan New York, Earl Hilliard perwakilan Alabama.94 Ini adalah upaya diplomasi untuk menjembatani(building bridge) antara Kuba dan Amerika Serikat, jika mediasi pada umumnya hanya mempertemukan lembaga eksekutif kedua negara(presiden, menteri luar negeri), maka Vatikan melalui perpanjangan tangannya di Kuba mempertemukan lembaga legislatif dengan mengorganisir kunjungan fact-finding. Sehingga kita bisa mengerti bagaimana kemudian ide-ide meringankan sanksi terhadap Kuba bisa muncul di kongres.

91 National Council of Churches. Background Information on Cuba’s Protestant Churches

Compiled by the (U.S.) National Council of Churches. Diakses dari

<http://www.ncccusa.org/news/cuba/protestant.html> pada tanggal 25 September 2014

92 Washington Office on Latin America(WOLA). 2012. WOLA Background Series on Religion in Cuba. Diakses dari<http://www.wola.org/commentary/wola_background_series_on_religion_in_cuba> pada tanggal 25 September 2014

93 Ernesto Betancourt. Op Cit. Hal 376

Referensi

Dokumen terkait

We found significant correlations for diagnosis of HIV/AIDS, opportunistic infections, time since HIV diagnosis, duration of ARV therapy, social support, modes of transport,

Sistem penanganan kebakaran usulan menggunakan software yang berisi database serta formulasi yang dapat memberikan output yang berupa informasi kebakaran, rute yang ditempuh,

Hasil dari pengelompokan buku, terdiri dari 2 Cluster beranggotakan DDC dengan peminjam terbanyak adalah kode jenis buku yang terdapat pada cluster 1 dan 2

Name and Adress of the College Composite Remarks Contact

Pada penelitian ini geotextile yang digunakan diganti dengan penggunaan terpal dan grid bambu yang diharapkan dapat menjadi alternatif material perkuatan untuk meningkatkan

Sedangkan untuk nilai maksimal pada parameter suhu adalah pada proses produksi cap dan tulis sebesar 28 o C, untuk penggunaan zat pewarna adalah zat pewarna indigosol

Informasi tentang mekanisme regulasi ekspresi gen yang berkaitan dengan fekunditas dan waktu perkembangan oleh suhu tinggi dapat memperkaya informasi pada bagian

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Akhir ini sebagai salah satu syarat untuk